Professional Documents
Culture Documents
(dara, tiara)
a. Doktrin informed consent
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis
pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari
siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus
disimpan dalam berkas rekam medis.1
b. Doktrin good Samaritan
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya.
Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:2,3
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan
atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun.
Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut
tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga
kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian
terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang
menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi
dan kondisi yang sama pula.
1. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
2. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication; 1981.
3. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan meninggal.
Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bida digunakan beberapa sistem penskoran,
antara lain adalah penskoran MNM (Matta, Napas, Motorik), dan penskoran yang lebih
komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup dengan tingkatan kecacatan adalah
Glasgow Outcome Score.
Prediksi luaran pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain
umur, beratnya cedera berdasarkan klasifikasi GCS dan CT Scan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat memperburuk
luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia pascacidera yang menetap lebih
dari 1 jam (pemeriksaan GOAT), fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik, atau gejala
neurologik saat keluar dari rumah sakit.
Pada kasus, pasien mengalami perdarahan otak sebayak 60 cc, sedangkan indikasi tindakan
operatif salah satunya adalah perdarahan otak 30 ml/44 ml, sehingga pasien pada kasus ini
seharusnya dilakukan tindakan operatif yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa
pasien. Apabila dilakuakan tindakan operatif dengan cepat dan tepat, maka kemungkinan pasien
dapat diselamatkan juga semakin besar.