You are on page 1of 14

METODE-METODE PENAFSIRAN AL-QUR'AN

BAB I

PENDAHULUAN

Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemahaman al-Quran, metode bermakna: prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman
yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran. Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran
merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh mufassir (penafsir) ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Quran.

Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial yang selalu dinamik.
Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks.
Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak,
para mufassir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Quran yang berbeda-beda.

Apabila diamati, akan terlihat bahwa metode penafsiran al-Quran akan menentukan hasil
penafsiran. Ketepatan pemilihan metode, akan menghasilkan pemahaman yang tepat, begitu juga
sebaliknya.

Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang teramat penting di dalam tatanan ilmu
tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa menempuh jalan yang menuju ke sana.

Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah,
sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan
pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk
membedah makna terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk
dibedah.[1]

Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas al-Quran. Setiap kali kita mendengar
khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun
melaksanakan nilai dan ajaran al-Quran dalam ibadah ritual maupun muamalah. Berbagai istilah,
seperti: sabar, tawakkal, amal, ilmu, salam, bismillhirrahmnirrahm, juga diucapkan sebagai bahasa
nasional dan bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat jauh berbeda dari masa lalu.
Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat akrab dengan bahasa al-Quran, dan mengerti intisari
ajarannya walaupun tak menguasai bahasa Arab.[2]

Selama empat belas abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai macam
perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Walaupun demikian terdapat
kecenderungan yang umum untuk memahami al-Quran secara ayat per-ayat bahkan kata perkata.
Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama didasarkan pada pendekatan filologis gramatikal.
Pendekatan ayat per-ayat atau kata per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial
(sepotong) tentang pesan al-Quran. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam ini secara tidak
semena-mena menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek kesejarahannya untuk membela sudut
pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran teologis, filosofis, dan
sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke dalam al-Quran tanpa memerhatikan konteks
kesejarahan dan kesusasteraan kitab suci itu.[3]

Itulah sebabnya upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat, membutuhkan ilmu alat.
Dengan ilmu alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan makna-makna al-Quran dalam kehidupan
sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Quran yang berkategori mutasybih, tentu kian rumit dan
pelik. Dengan demikian, penulis sangat tertarik untuk membahas tentang metode tafsir al-Quran
dengan berbagai pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan perkembangan metode tafsir,
serta macam-macam metode tafsir yang insya Allah akan dibahas lebih luas dalam makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Tafsir

Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Quran sesuai
kemampuan manusia.

Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran Al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu
: pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam
teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu
muncul.[4]

Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Quran sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan
bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Quran ini dilakukan dalam empat cara (metode),
sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran
(perbandingan), dan mawdhuiy (tematik):[5]

B. Macam-Macam Metode Tafsir

1. Metode Ijmali (Global)

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan
ayat-ayat Al-Quran secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti
dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di
samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Quran sehingga pendengar dan
pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Quran padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Quran al-
Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma al-Buhuts al-Islamiyyat,
dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-Mirghani.
b. Ciri-ciri Metode Ijmali

Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Quran dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun
uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih
banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak
ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir
Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum
sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Quran padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya;
namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada
wilayah tafsir analitis.

2. Metode Tahliliy (Analisis)

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy
yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu :
Al-Tafsir bi al-Matsur, Al-Tafsir bi al-Rayi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-
Tafsir al-Adabi al-Ijtimai.

Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-Matsur
(Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam
ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :






Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan
mereka orang-orang yang beruntung.

b. Ciri-ciri Metode Tahlili

Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa
mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-matsur, maupun al-ray, sebagaimana.
Dalam penafsiran tersebut, Al-Quran ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara
berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari ayat-ayat yang ditafsirkan.

Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk matsur (riwayat) atau ray
(pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk matsur (riwayat) adalah :

Jami al-Bayan an Tawil al-Quran al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan
terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
Maalim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)

Tafsir al-Quran al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan

Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Matsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)

Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ray banyak sekali, antara lain :

Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)

Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)

Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)

Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran, karangan al-Syirazi (w. 606 H)

Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)

Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran, karangan Thanthawi Jauhari;

Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain

3. Metode Mawdhuiy (Tematik)

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan metode mawdhuiy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema
atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata
dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Quran dan
Hadits, maupun pemikiran rasional.

b. Ciri-ciri Metode Mawdhuiy

Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga
tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Quran itu sendiri,
ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Quran, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan
belaka (al-Ray al-Mahdh).

Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-
Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhui mengemukakan secara rinci langkah-
langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhui. Langkah-langkah tersebut
adalah :

1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);


2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;

3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-
nuzulnya;

4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;

5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);

6) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;

7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya


yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang
khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.

4. Metode Muqarin (Komparatif)

a. Pengertian

Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama;

2) Membandingkan ayat Al-Quran dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;

3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Quran.

Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu[6]:

b. Membandingkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lain;

Mufasir membandingkan ayat Al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan
redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi
berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam
variasi redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagai berikut :

1) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :










Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk (QS : al-Baqarah :
120)










Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah (QS : al-Anam : 71)

2) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :




Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman (QS : al-Baqarah : 6)



Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman (QS : Yasin: 10)

3) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :




...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-
Quran) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka (QS. Al-Baqarah :129)





...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada
mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (QS. Al-Jumuah : 2)

4) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan marifah (definte noun), seperti :



...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat : 36)







...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al-Araf : 200)

5) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :









...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja. (QS. Al-
Baqarah : 80)




...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat
dihitung. (QS. Ali-Imran : 24)

6) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :





Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ... (QS. Al-
Baqarah : 58)





Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ... (QS. Al-Araf
: 161)

7) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :






Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami. (QS. Al-Baqarah : 170)









Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami. (QS. Luqman : 21)

8) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :







Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa
menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
(QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi ditempuh beberapa
langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Quran yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus
yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan
perbandingan.

c. Membandingkan ayat dengan Hadits;

Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan.
Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara
ayat al-Quran surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :

Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Nahl : 32)

Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya (HR.
Tirmidzi)

Antara ayat al-Quran dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan
pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga
karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas
tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang
akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya.
Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :

Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya. (HR. Tirmidzi)

Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang
ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.

d. Membandingkan pendapat para mufasir.

Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-matsur) maupun yang
bersifat rayu(al-tafsir bi al-rayi).

Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Quran; 2)
membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Quran yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat;
dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.

Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha
mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-
masing.

e. Ciri-ciri Metode Muqarin

Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang
prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan
bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan
tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola
semacam itu tidak dapat disebut metode muqarrin.
KLASIFIKASI TAFSIR DAN CORAK TAFSIR

1. Klasifikasi Tafsir

a. Tafsir bi Al-Matsur

Tasir bil Al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul, yaitu tafsir al-Quran yang dalam
penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para
sahabat dan dari riwayat para tabiin. Tasir bil Al-Matsur adalah penjelasan Al-Quran sendiri dari
Rasulullah Saw, yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya,
dan dari para tabiin juga berdasarkan ijtihadnya.

Keistimewaan tafsir bi al-matsur sebagai berikut:

Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran

Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya

Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus
dalam subjektivitas yang berlebihan.

Kelemahan Tafsir bi al-Matsur antara lain sebagai berikut:

Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.

Penghilangan sanad

Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele


sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.

Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di
katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang
hampa budaya.

Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam
penafsiran al-Quran.

Tafsir-tafsir bil matsur yang terkenal antara lain:

Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Matsur fit Tafsiri bil Matsur
(karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad,
Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Jafar An Nahhas.
Hukum Tafsir bil Matsur.

Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna
kitabullah. Ibnu Jarir berkata : "Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling
jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah
dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf. (Tafsir Thobari:
1/66 dengan beberapa ringkasan.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata : "Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur'an telah dibaca oleh para
sahabat, tabi'in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang
kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu' Fatawa:
13/362.)

b. Tafsir bi al Rayi

Kata al rayi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al rayi adalah
penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran
setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya
dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping
memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qiraat dan lain-lain.[18]

Tafsir bir Royi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya
dengan akal semata. Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu
kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur'an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari
kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak
pula dari tafsir mereka. Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan
pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali Al-
Juba'i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.

Kelebihan Tafsir bi al Rayi

Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka
merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:



Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)

"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-
Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada
ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:

Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai
urusan di anatara mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal
ini (QS.An-Nisa:83)
Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan, dan
tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar

Sesungguhnya para sahabat telah membaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidak semua yang mereka katakan tentang al-Qur'an itu
mereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka,
melainkan beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan
yang sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.

Kelemahan Tafsir bi al Rayi

Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa


berdasarkan suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT:



Artinya: .. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah tentang
sesuatu yang tidak kamu ketahui

Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan Al-Qur'an
dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:










Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan
barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya
di neraka (HR at-Turmudzi)

Firman Allah SWT




Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya
(QS.an-Nahl;44)

Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat
mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:


:
:



Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata sesuatu
tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak
kuketahu.

Tafsir-tafsir bi ar-rayi yang terkenal antara lain:


Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur
Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-Nasafy,
Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi.

Hukum Tafsir Bir Royi

Adapun menafsirkan Al-Qur'an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana
Firman Allah: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya (QS. Al-Isro': 36)

Rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka
hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.

2. Corak Tafsir

a. Tafsir Ash-Shufi

Tafsir sufi adalah penafsiran al Quran yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-
petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan
terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-
rahasia al- Quran. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Quran sesuai dengan pembahasan dan
pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan
dengan Syariat Islam dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan
tentang Islam.[23] Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qurn al-Karim,
karya Sahl al-Tustar, Haqiq al-Tafsr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulam, Lataif al-Isyarat karya al-
Qusyairi, dan Aris al-Bayn f Haqiq al-Qurn karya al-Syiraz.

b. Tafsir Fiqh

Tafsir fiqhi, adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah
fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di antara imam
madzhab. Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam karena tafsir ini lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat al-ahkam).[25] Di antara kitab-kitab yang
tergolong tafsir fiqh adalah Ahkm al-Quran karya al-Jasss, Ahkm al-Quran karya Ibn al-Arabi, dan
Al-Jmi li ahkm al-Quran karya al-Qurtub .

c. Tafsir falsafi

Adalah upaya penafsiran al-Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu
tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan
tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini
berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-
Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan
teori-teori filsafat.[27] Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi,
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi.

d. Tafsir ilmi

Tafsir ilmi adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan istilah-istilah yang ilmiyah dalam
al-Quran dan menghasilkan berbagai macam teori ilmiyah dan filsafat. Dapat kita pahami bahwa
yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah seorang mufassir yang berusaha menjelaskan makna yang
terkandung dalam al-Quran dengan metode atau pendekatan ilmiyah atau ilmu mengetahuan.[29]
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabr karya Imam Fakh al-
Raz dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan
beberapa karya seperti Ihy ulm al-dn, dan Jawhir al-Quran karya Imam al-Ghazli; serta al-Itqan
karya al-Suyt sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami
sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Quran berdasarkan tata urutan ayatnya
sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga
karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.[30]

e. Tafsir Adabi wa Ijtimai

Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-ijtimai itu tersusun dari dua kata,
yaitu al-adabi dan al-ijtimai, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil dari fiil madhi
aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtimaiy yaitu
mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan
kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtimai adalah tafsir yang berorientasi
pada sastra budaya dan kemasyarakatan.

Tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran dari segi balaghah
dan kesastraannya serta berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-Quran itu sebagai sebuah
mujizat mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui
petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat,
serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga
berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu
bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa yang
nantinya dapat mengugah hati untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk
mengetahui segala makna dan rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.

Diantara kitab tafsir al-adaby al-Ijtimai adalah :

a. Tafsir Al-Manar, karya Rasyidh Ridha

b. Tafsir Al-Maraghi, karya Al-Maraghi

c. Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Karya Syaikh Mahmud Syaltut

KESIMPULAN

1. Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.

2. Metode-metode penafsiran dibagi dalam empat cara (metode), yaitu :

a. Metode Ijmali (Global) adalah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
dengan cara mengemukakan makna global.

b. Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.

c. Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan


merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.

d. Metode Maudhuiy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau
judul yang telah ditetapkan.

3. Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:

a. Tafsir bi Al-Matsur

b. Tafsir bi Al-Rayi

c. Tafsir Ash-Shufi

d. Tafsir Al-Fiqhi

e. Tafsir Al-Falsafi

f. Tafsir Al-Ilimi

g. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima

You might also like