You are on page 1of 10

PENINGKATAN PENERIMAAN PADA NYERI KRONIS, COMFORT DAN KUALITAS

HIDUP LANSIA MELALUI ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY (ACT)


(The Improvement of Elderly Acceptance in Cronic Pain, Comfort, and Quality of Life through
Acceptance and Commitment Therapy (ACT))

Dhina Widayati*, Ahmad Yusuf*, Rizki Fitryasari P.K.*


*Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Jl. Mulyorejo (Kampus C UNAIR) Surabaya
E-mail: dhinawida@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Nyeri sendi kronis masih menjadi masalah utama pada lansia. Faktor psikososial berdampak besar terhadap
penderita nyeri kronis. Penerimaan terhadap nyeri pada penderita nyeri kronis diduga dapat meningkatkan kemampuannya
melakukan aktivitas sehari-hari, kenyamanan, dan kualitas hidup. Acceptance and Commitment Therapy (ACT) merupakan
bentuk psikoterapi yang cukup efektif dalam manajemen nyeri kronis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh ACT terhadap peningkatan penerimaan nyeri, kenyamanan, dan kualitas hidup lansia dengan nyeri sendi kronis.
Metode: Penelitian berdesain quasy experiment pre-post test control group. Populasi adalah lansia yang tinggal di UPT
PSLU Jombang di Pare-Kediri. Sampel meliputi 32 responden, diperoleh dengan teknik purposive sampling, dibagi menjadi
kelompok perlakuan dan kontrol. Data dikumpulkan dengan kuesioner CPAQ (penerimaan nyeri), GCQ (kenyamanan),
dan WHO-QOLBREF (kualitas hidup), lalu dianalisis dengan Wilcoxon Signed Ranks Test, Mann Whitney U Test, Paired
t test dan Independent Samples t test, dengan tingkat signifikansi 0,05. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh
ACT terhadap peningkatan penerimaan nyeri (p=0,003), kenyamanan (p=0,008), dan kualitas hidup lansia dengan nyeri
sendi kronis (p=0,002). Diskusi: ACT meningkatkan penerimaan, kenyamanan, dan kualitas hidup lansia dengan nyeri
sendi kronis. Perawat geriatrik dapat menggunakan aktivitas psikososial dalam kegiatan sehari-hari lansia, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, kualitas pelayanan keperawatan kepada lansia juga dapat ditingkatkan.

Kata kunci: ACT, penerimaan nyeri, kenyamanan, kualitas hidup, lansia, nyeri sendi kronis

ABSTRACT
Introduction: Chronic joint pain is a problem for the majority of elderly. Psychosocial factors have a great impact on
people with chronic pain. The acceptance of pain in people with chronic pain can increase their activity daily living,
comfort, and quality of life. Acceptance And Commitment Therapy (ACT) is a form of psychotherapy which effective in the
management of chronic pain. The objective of this study was to analyze the effect of ACT on improvement acceptance of
chronic pain, comfort, and quality of life elderly with chronic joint pain. Method: This study was used a quasy experiment
pre-post test control group design. Population were elderly who lived at UPT PSLU Jombang di Pare-Kediri. Sample were
32 respondents gotten by purposive sampling, divided into experiment and control group. Independent variable was ACT,
and dependent variables were pain acceptance, comfort, and quality of life elderly with chronic joint pain. Data were
collected by using questionnaire with CPAQ (pain acceptance), GCQ (comfort) and WHO-QOLBREF (Quality of Life).
Data then analyzed by using Wilcoxon Signed Ranks Test, Mann Whitney U Test, Paired t test and Independent Samples
t test with significance value of 0.05. Result: The results had showed that there was an influence ACT to improvement
acceptance of chronic pain (p=0,003), comfort (p=0,008), and quality of life elderly with chronic joint pain (p=0,002).
Discussion: ACT improved pain acceptance, comfort, and quality of life of elderly with joint chronic pain. Geriatric nurses
should include psychosocial activities as a routine activities, as an effort to improve the quality of life. Beside that, the
quality of nursing care for elderly can be improved .

Keywords: ACT, pain acceptance, comfort, quality of life, elderly, chronic joint pain

PENDAHULUAN
sebanyak 18,57 juta jiwa, meningkat 7,9% dari
Perubahan karakteristik demografi tahun 2000.
populasi dunia yang mengarah pada Pertambahan usia yang dialami lansia
peningkatan jumlah penduduk usia lebih dari juga diikuti oleh berbagai penurunan fungsi
65 tahun menjadi tantangan bagi para praktisi tubuh yang meliputi fungsi penglihatan,
kesehatan. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, pendengaran, pengecapan, penciuman,
di mana pada 2010 jumlah penduduk lansia kekuatan otot, serta kerentanan terhadap

252
Peningkatan Penerimaan pada Nyeri Kronis (Dhina Widayati, dkk.)

penyakit tertentu. Berbagai penurunan fungsi Pertama, membantu penderita menemukan


tubuh inilah yang menyebabkan lansia rentan solusi dari masalah yang dimilikinya secara
menderita nyeri (pain) yang dapat menghambat mandiri, sehingga dapat meningkatkan
rutinitas harian. Menurut sebagian besar perasaan optimis di dalam dirinya. Hal ini
lansia, nyeri merupakan keadaan yang sangat juga membuat penderita menyadari bahwa
mengganggu, suatu masalah yang akan nyeri kronis yang dialaminya dapat diatasi
mempengaruhi aktivitas harian dan kualitas dengan baik. Kedua, penderita nyeri kronis
hidup (Papila 2009; Sares 2008). khususnya lansia dapat menyadari hubungan
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan antara pikiran, emosi, dan perilaku yang
di UPT Panti Sosial Lanjut Usia (PSLU) dimilikinya. Hal ini penting untuk membantu
Jombang di Pare-Kediri menyatakan keluhan penderita memahami bahwa pikiran dan
nyeri kronis pada persendian menduduki emosi yang negatif dapat mempengaruhi
peringkat pertama. Sekitar 37,64% lansia persepsinya terhadap nyeri, emotional distress,
mengalami nyeri kronis yang disebabkan oleh dan hambatan psikososial yang dialami.
penyakit pada persendian. Hasil wawancara Terakhir, membantu penderita khususnya
yang dilakukan lebih lanjut menunjukkan lansia menemukan strategi yang efektif untuk
bahwa lansia merasa terganggu dan tidak mengatasi rasa nyeri, emotional distress, dan
nyaman dengan nyeri yang dirasakan. hambatan psikososial yang dialami (Hayes
Sejumlah 56,25% lansia menyatakan nyeri 2006; Morrison & Bennet 2009).
tersebut sampai mengganggu aktivitas sehari- Berdasarkan latar belakang di atas,
hari, merasa putus asa karena nyeri yang peneliti ingin membuktikan Acceptance and
dirasakan tidak kunjung sembuh walaupun Commitment Therapy (ACT) sebagai salah
sudah meminum obat setiap hari. Nyeri satu upaya untuk meningkatkan comfort dan
yang terus-menerus membuat lansia merasa kualitas hidup melalui peningkatan penerimaan
hidupnya menjadi kurang berkualitas dan terhadap nyeri kronis. Tujuan penelitian ini
tergantung dengan bantuan orang lain. adalah menganalisis pengaruh ACT dalam
Penerimaan lansia terhadap nyeri meningkatkan penerimaan terhadap nyeri
kronis yang dirasakan dapat meningkatkan kronis, comfort dan kualitas hidup lansia
keberfungsiaannya dalam kehidupan sehari- dengan nyeri kronis persendian.
hari. Kolcaba (2011) dalam teori Comfort
menyatakan terdapat tiga tipe intervensi
BAHAN DAN METODE
comfort, yaitu: teknis pengukuran kenyamanan,
coaching (mengajarkan), dan comfort Desain penelitian yang digunakan
food (untuk jiwa, meliputi intervensi yang adalah quasy experiment pre post test
menjadikan penguatan jiwa dan merupakan control group design. Besar sampel diperoleh
terapi untuk kenyamanan psikologis, ACT 32 responden (dibagi menjadi kelompok
termasuk di dalamnya). perlakuan dan kelompok kontrol). Teknik
Penerimaan (acceptance) bermakna sampling menggunakan purposive sampling
menerima. Individu harus terlebih dulu dengan kriteria inklusi: 1) lansia dengan nyeri
mengerti mengenai keadaannya, setelah itu kronis pada persendian; 2) lansia dengan
baru individu tersebut mampu menerima skor MMSE=24-30; dan 3) lansia kooperatif.
kondisinya. Komitmen mempunyai arti Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
perjanjian (keterikatan) untuk melakukan 1) lansia yang mengalami komplikasi dan
sesuatu. Melalui penerapan ACT diharapkan membutuhkan perawatan penuh; 2) lansia
lansia dengan nyeri kronis akan menerima dengan nyeri kronis persendian yang
kondisinya dan dapat menentukan apa yang mengalami ketergantungan dengan konsumsi
terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk analgesik; dan 3) lansia yang mengalami
melakukan apa yang dipilihnya. gangguan pendengaran.
Pendekatan ACT yang digunakan Variabel independen pada penelitian ini
dalam manajemen nyeri memiliki tiga tujuan. adalah ACT. Variabel dependennya meliputi

253
Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 252261

penerimaan terhadap nyeri kronis, comfort, meninggal, telah menderita nyeri kronis
dan kualitas hidup. Pengumpulan data persendian dalam kurun waktu 13 tahun,
dilakukan dengan menggunakan kuesioner: telah tinggal di UPT PSLU Jombang di Pare-
CPAQ (penerimaan nyeri), GCQ (comfort), Kediri selama 13 tahun, lokasi nyeri di area
dan WHO-QOLBREF (kualitas hidup). ekstremitas bawah, mempunyai penyakit
Pre-test dilakukan pada kelompok dasar Hipertensi dan Persendian (Arthritis/
kontrol terlebih dahulu dengan melakukan Gout), dan datang ke Panti dengan diantar
pengukuran penerimaan nyeri, comfort, oleh keluarga.
dan kualitas hidup. Dua minggu kemudian D a t a p a d a kelo m p ok ko nt r ol
dilakukan post-test pada kelompok kontrol. menu nju k kan bahwa sebagian besar
Pada minggu ketiga responden perlakuan responden berumur 7590 tahun, laki-laki,
diberikan inter vensi ACT selama 60 riwayat pendidikan terakhir tidak bersekolah,
menit 2/minggu (selasa dan kamis) yang beragama islam, riwayat pekerjaan sebagai
terbagi dalam 4 sesi dengan terlebih dahulu petani, status pernikahan duda karena
melakukan pre-test. Setiap sesi dilaksanakan pasangan meninggal, telah menderita nyeri
dalam 1x pertemuan, kecuali pada sesi ke-4 dalam kurun waktu 13 tahun, lama tinggal
yang dilaksanakan selama 3 kali. Latihan di UPT PSLU Jombang di Pare-Kediri dalam
dilakukan pada pukul 09.0010.00 secara kurun waktu 13 tahun, lokasi nyeri di area
kelompok di Ruang pertemuan. Post-test ekstremitas bawah, mempunyai penyakit dasar
kelompok perlakuan dilakukan 1 hari setelah Hipertensi dan persendian (Arthritis/Gout),
perlakuan yang terakhir dengan mengukur dan diantar ke panti oleh keluarga.
tingkat penerimaan nyeri, tingkat comfort dan Hasil analisis uji homogenitas pada data
kualitas hidup lansia. umum menggunakan Independent sample
Dat a yang diperoleh dianalisis t test (usia dan skor MMSE), Chi square
menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test dan (jenis kelamin) dan Kruskall Wallis (riwayat
Mann Whitney U Test (penerimaan terhadap pendidikan, agama, riwayat pekerjaan, status
nyeri kronis dan comfort), Paired t Test dan pernikahan, lama nyeri, lama tinggal di panti,
Independent Samples t Test (kualitas hidup) lokasi nyeri, penyakit dasar, dan pengantar
dengan nilai signifikansi 0,05. lansia ke panti) menunjukkan hampir seluruh
data umum homogen, kecuali pada data jenis
kelamin.
HASIL
Data tingkat penerimaan lansia terhadap
Sebagian besar responden kelompok nyeri kronis pada tabel.1 menunjukkan bahwa
perlakuan berumur 7590 tahun, perempuan, mayoritas responden kelompok perlakuan,
riwayat pendidikan terakhir SD, beragama yait u 14 orang (87,50%) mempunyai
islam, riwayat pekerjaan sebagai petani, penerimaan terhadap nyeri kronis dalam
pengantar lansia
status pernikahan ke panti)
janda oleh menunjukkan
karena pasangan kecualisedang
kategori pada data jenis
pada prekelamin.
test dan 10 orang
hampir seluruh data umum homogen,

Tabel1.
Tabel 1. Tabulasi
Tabulasi silang
silang pre
pretest dan post
testdan post test tingkat
t penerimaan terhadap nyeri kronis
test t
ingka
nyeri

kronis
responden kelompok
kelompokperlakuan
perlakuandan
dankontrol
responden
kontrol

Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol


Post test Post test

R S T R S T
R 1 1 Pre R 2 1 3
Pre S 6 8 14 S 12 12
test
test
T 1 1 T 1 1
0 6 10 16 2 13 1 16
Wilcoon (p= 0,004) Wilcoon (p= 0,317)
Mann whitney u test (p= 0,003)
Ket : R (Ringan), S (Sedang), T (Tinggi)

Data tingkat penerimaan lansia pada kelompok kontrol, menunjukkan


254
terhadap nyeri kronis pada tabel.1 bahwa mayoritas responden, 12 orang
menunjukkan bahwa mayoritas (75,00%) mempunyai penerimaan
responden kelompok perlakuan, yaitu 14 terhadap nyeri kronis dalam kategori
orang (87,50%) mempunyai penerimaan sedang pada pre test dan 13 orang
terhadap nyeri kronis dalam kategori (81,25%) pada post test. Analisa data
pengantar lansia ke panti) menunjukkan kecuali pada data jenis kelamin.
hampir seluruh data umum homogen,

Peningkatan
Tabel 1.Penerimaan
Tabulasi silangpada Nyeri
pre testKronis (Dhina
dan post testWidayati, dkk.)
tingkat penerimaan terhadap nyeri kronis
responden kelompok perlakuan dan kontrol
(62,50%) mempunyai penerimaan terhadap Hasil pengukuran tingkat comfort
nyeri kronis dalam Kelompok
katagori Perlakuan
tinggi pada post seperti yang Kelompok
tampakKontrol
pada tabel 2 menunjukkan
Post
test. Analisa data pre-post menggunakan test bahwa pada pre test testPost kelompok perlakuan

R S T R S T
uji Wilcoxon R Signed Rank Test dengan 1
nilai
1
terdapat
R
2 orang
2
(11,11
1
%) dengan 3
tingkat
Pre
p=0,004 Pre (p<0,05)
S menunjukkan 6 terdapat
8 14 comfort S dalam kategori 12 tinggi. Sedangkan12
test
test tingkat penerimaan lansia terhadap
perbedaan pada post test didapatkan hasil 8 orang
T 1 1 T 1 1
nyeri kronis
pre dan post
0 pemberian
6 intervensi
10 16 (50,00%) dengan
2 tingkat
13 comfort
1 16dalam
ACT pada kelompok perlakuan.
Wilcoon (p= 0,004) kategori tinggi. Uji Wilcoxon
Wilcoon (p= 0,317) Signed Rank Test
Hasil pengukuran tingkat penerimaan Mann whitney u testdengan nilai p=0,020 (p<0,05) menunjukkan
(p= 0,003)
lansiaKetterhadap nyeriSkronis
: R (Ringan), (Sedang),pada kelompok
T (Tinggi) terdapat perbedaan tingkat comfort pre dan
kontrol, menunjukkan bahwa mayoritas post pemberian intervensi ACT pada kelompok
responden, 12 Data tingkat
orang penerimaan
(75,00%) mempunyai lansia pada kelompok kontrol, menunjukkan
perlakuan.
terhadap nyeri kronis
penerimaan terhadap nyeri kronis dalam pada tabel.1 bahwaTingkat
mayoritas responden,
comfort pre test 12 danorang
post test
menunjukkan bahwa mayoritas (75,00%) mempunyai penerimaan
kategori sedang pada pre test dan 13 orang pada kelompok kontrol menunjukkan hasil
responden kelompok perlakuan, yaitu 14 terhadap nyeri kronis dalam kategori
(81,25%) pada post test. Analisa data pre-post pengukuran yang tidak jauh beda. Sebagian
orang (87,50%) mempunyai penerimaan sedang pada pre test dan 13 orang
menggunakan
terhadap uji Wilcoxon
nyeri kronisSigned
dalamRank Test
kategori besar
(81,25%)responden mempunyai
pada post comfort
tingkat data
test. Analisa
dengan nilai p=0,317
sedang pada pre (p>0,05)
test dan menunjukkan
10 orang dalam
pre-post kategori sedang, 11
menggunakan ujiorang (68,75%)
Wilcoon
tidak (62,50%)
terdapat perbedaan
mempunyai tingkat penerimaan
penerimaan pada
Signed preRank
test Test
dan dengan
10 orang (62,50%)
nilai p=0,317pada
lansiaterhadap
terhadapnyeri
nyeri kronis
kronis padadalamkelompok
katagori post test. Analisa
(p>0,05) data pre-post
menunjukkan tidakmenggunakan
terdapat
tinggi pada post test. Analisa data pre-
kontrol. perbedaan
uji Wilcoxontingkat
Signed Rank penerimaan lanisanilai
Test dengan
post menggunakan uji
Perbedaan antara dua kelompok Wilcoon Signed terhadap nyeri kronis pada
p=0,180 (p>0,05) menunjukkan tidak terdapat kelompok
Test dengan
Rank menggunakan
dianalisis uji nilai Whitney
Mann p=0,004 kontrol. tingkat comfort pre dan post pada
perbedaan
post test didapatkan hasil 8 orang Perbandingan data tingkat
U (p<0,05)
Test dengan menunjukkan terdapat Perbedaan
kontrol. antara dua kelompok
(50,00%) dengan nilai
tingkatp=0,003
comfort dalam(P<0,05) kelompok
comfort responden pada kelompok
perbedaan tingkat penerimaan lansia dianalisis menggunakan uji Mann
menunjukkan
kategori tinggi. bahwa
Ujiterdapat
Wilcoon pengaruh
SignedACT perlakuan Perbandingan
dan kontrol data tingkat
sesudahcomfort
terhadap nyeri kronis pre dan post Whitney U Test dengan nilai p=0,003
dalampemberian dengan
meningkatkan nilai
penerimaan p=0,020
terhadap pemberian
responden intervensi
pada kelompok ACT
perlakuan
terdapat dan
Rank Test
intervensi ACT pada (P<0,05) menujukkan bahwa
(p<0,05)
nyeri kronis menujukkan
pada lansia
kelompok perlakuan. dengan terdapat
nyeri kronis menunjukkan
kontrol bahwa
pengaruh ACT dalam meningkatkanACT
sesudah pemberian sebagian
intervensi
perbedaan tingkat
persendian. Hasil comfort pre
pengukuran dan post
tingkat responden,
menunjukkan
penerimaan 8 orangbahwa(50,00%)
terhadap sebagian
nyeri kronis padapada 8
responden,
pemberian intervensi ACT
penerimaan lansia terhadap nyeri kronis pada kelompok perlakuan mempunyai
lansia dengan nyeri kronis persendian. tingkat
kelompok perlakuan. comfort dalam kategori tinggi.
Tingkat comfort
Tabel2. 2 Tabulasi
Tabulasi silang pre
silang pre test
pretest dan
danpost
testdan posttest Sedangkan
tingkatcomfort
testtingkat pada kelompok
responden
comfortresponden kontrol,
Tabel
post test pada kelompok kontrol terdapat 1 orang (6,25%) yang
menunjukkan hasil pengukuran
Kelompok Perlakuan yang mempunyai tingkat Kelompokcomfort Kontrol dalam
tidak jauh beda. Sebagian Post test besar kategori tinggi. Uji Mann
Post testWhitney U
responden mempunyaiR tingkat S comfort
T Test dengan nilai p=0,008
R S menunjukkan
T
dalamPrekategori R sedang,
1 11
1 orang 2 bahwa Pre terdapat
R 4 perbedaan1 tingkat5
(68,75%)
test pada S pre test dan 510 orang 7 12 comfort test post S intervensi 10 ACT pada 10
(62,50%) pada T post test. Analisa 1 data
1 2 kelompok Tperlakuan dan kelompok 1 1
pre-post menggunakan
1 uji 7Wilcoon 8 16 kontrol. Hasil kedua 4 jenis
11 uji 1statistik 16
Signed Rank Test Wilcoondengan nilai p=0,180
(p= 0,002) menunjukkan bahwa Wilcoon hipotesis
(p= 0,180) diterima,
(p>0,05) menunjukkan tidak terdapat Mann whitney uyang test (p=artinya
0,008) terdapat pengaruh ACT
perbedaan tingkat Scomfort
Ket : R (Ringan), (Sedang),pre dan post
T (Tinggi) terhadap comfort pada lansia dengan
pada kelompok kontrol. nyeri kronis persendian.
Hasil pengukuran tingkat test kelompok perlakuan terdapat 2
Tabelcomfort seperti
3. Tabulasi silangyang tampak skor
rekapitulasi pada kualitasorang hidup(11,11 %) dengan
responden padatingkat
kelompok comfort
Tabeltabel.2
3. Tabulasi silang rekapitulasi
menunjukkan bahwa skor kualitas
pada pre hidup responden
dalam kategoripada
tinggi.kelompok
Sedangkan perlakuan
pada dan
perlakuan dan kontrol sesudah intervensi
kontrol sesudah intervensi
Naik Tetap Turun Total Paired Independent
No Klp Test Mean SD
f % f % f % f % t test t test
Pre
1 P 0,003 8,949,69
Post 12 75,00 1 6,25 3 18,75 16 100 0,002
Pre
2 K 0,366 1,004,28
Post 3 18,75 10 62,50 3 18,75 16 100
Ket : P (Perlakuan), K (Kontrol)

Data pengukuran kualitas hidup terhadap kualitas hidup pada kelompok


255
pada kelompok perlakuan pada tabel 3 perlakuan dan kontrol di uji
menunjukkan bahwa mayoritas menggunakan Independent t test dengan
responden kelompok perlakuan, yaitu 12 nilai p=0,002 (p<0,005) menujukkan
orang (75,00%) mengalami peningkatan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 252261

orang (50,00%) pada kelompok perlakuan terhadap nyeri kronis yang diderita. Motivasi
mempunyai tingkat comfort dalam kategori dan antusiasme responden yang tinggi
tinggi. Sedangkan pada kelompok kontrol, mempunyai pengaruh dalam peningkatan
terdapat 1 orang (6,25%) yang mempunyai penerimaan terhadap nyeri kronis tersebut.
tingkat comfort dalam kategori tinggi. Uji Peningkatan penerimaan terhadap nyeri kronis
Mann Whitney U Test dengan nilai p=0,008 juga seiring dengan peningkatan kemampuan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan adaptasi terhadap nyeri. Hal ini sejalan
tingkat comfort post intervensi ACT pada dengan penelitian Esteve dkk. (2007) yang
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. menemukan bahwa penerimaan yang tinggi
Hasil kedua jenis uji statistik menunjukkan terhadap nyeri kronis yang diderita membuat
bahwa hipotesis diterima, yang artinya terdapat penderita semakin dapat beradaptasi dengan
pengaruh ACT terhadap comfort pada lansia nyeri kronisnya tersebut dan mengoptimalkan
dengan nyeri kronis persendian. keberfungsiannya sehari-hari. Penerimaan
Data pengukuran kualitas hidup terhadap nyeri kronis juga dapat menurunkan
pada kelompok perlakuan pada tabel 3 perhatian penderita terhadap nyeri dan
menunjukkan bahwa mayoritas responden meningkatkan keterlibatannya di dalam
kelompok perlakuan, yaitu 12 orang (75,00%) aktifitas harian. Meskipun demikian, tidak
mengalami peningkatan kualitas hidup setelah semua responden mengalami peningkatan
pemberian intervensi ACT. Sedangkan pada dalam masing-masing subskala penerimaan
kelompok kontrol yang tidak mendapatkan terhadap nyeri kronis.
ACT, sebagian besar responden, yaitu 10 Data pada subskala activit y
orang (62,50%) tidak mengalami perubahan. engganggement (tetap menjalani rutinitas
Hasil uji Paired t test menunjukkan nilai sehari-hari dengan normal, bahkan saat
p=0,003 (p<0,05) pada kelompok perlakuan nyeri yang dialami muncul) terdapat dua
dan p=0,366 pada kelompok kontrol. Hal ini responden yang mengalami penurunan. Hal
menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ini berkaitan dengan penurunan jumlah
terdapat perbedaan kualitas hidup pre dan post aktivitas harian. Terlalu banyak kegiatan
intervensi ACT, sedangkan pada kelompok yang dikerjakan oleh dua responden tersebut,
kontrol tidak terdapat perbedaan. sehingga meningkatkan intensitas nyeri yang
Perbedaan efektivitas ACT terhadap dideritanya. LeFort (2008) menyatakan bahwa
kualitas hidup pada kelompok perlakuan dan terlalu banyak melakukan aktivitas di luar
kontrol di uji menggunakan Independent t test kapasitas tubuh dapat menyebabkan intensitas
dengan nilai p=0,002 (p<0,005) menunjukkan nyeri yang dirasakan penderita meningkat,
bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup post sehingga ia perlu menyeimbangkan antara
intervensi ACT pada kedua kelompok. Hasil waktu aktivitas dan istirahat. Oleh karena itu,
kedua jenis uji statistik menunjukkan bahwa dua orang responden tersebut menurunkan
hipotesis diterima, yang artinya terdapat jumlah aktivitas hariannya dan meningkatkan
pengaruh ACT t
erhadap kualitas hidup. waktu istirahatnya. Hal ini mengindikasikan
Pengujian statistik yang dilakukan bahwa penerimaan terhadap nyeri kronis
terhadap kedua kelompok (perlakuan dan pada kedua responden tersebut mengalami
kontrol) menunjukkan hasil bahwa terdapat penurunan. Bila dikaitkan dengan data
pengaruh Acceptance and Commitment demografi yang mendukung yaitu keduanya
Therapy (ACT) terhadap penerimaan nyeri berusia usia <75 tahun. Menurut Brunner dan
kronis, comfort dan kualitas hidup lansia Suddarth (2001), semakin tinggi usia seseorang,
dengan nyeri kronis persendian. dia akan cenderung mengabaikan nyeri dan
menahan nyeri karena sudah terbiasa dengan
nyeri yang dirasakannnya, sehingga lebih
PEMBAHASAN
menerima nyeri yang dirasakan. Sebaliknya
Mayoritas responden pada kelompok pada kedua responden tersebut berada pada
perlakuan mengalami peningkatan penerimaan usia <75 tahun, sehingga penerimaan terhadap

256
Peningkatan Penerimaan pada Nyeri Kronis (Dhina Widayati, dkk.)

nyeri kronis yang dirasakan menjadi lebih pikiran dan perasaannya, kemudian menerima
rendah. kondisi untuk melakukan perubahan yang
Pada subskala pain willingness terjadi tersebut dan berkomitmen terhadap
( ke t e r bu k a a n at au ke m au a n u nt u k diri sendiri. Hal ini dapat diperoleh setelah
mengalami sensasi nyeri) terdapat satu seseorang melaksanakan sesi 1-3 dalam ACT.
responden yang mengalami penurunan. Hal Pada sesi 1: identifikasi kejadian, pikiran, dan
ini menunjukkan bahwa responden tersebut perasaan yang muncul dan menghilangkan
cenderung menghindari nyeri kronis yang pikiran negatif (acceptance & cognitive
dideritanya. Upayanya menghindari nyeri defusion). Penerimaan (acceptance) bermakna
kronis ini ditunjukkan melalui jarangnya ia menerima, sehingga penekanannya adalah
menggerakkan tangan kanannya pada latihan bahwa seseorang harus terlebih dulu mengerti
exercise ringan. Ia hanya menggerakkan mengenai keadaannya, setelah itu barulah
tangan kanannya saat benar-benar harus ia mampu menerima kondisinya dengan
melakukannya. Dengan sikapnya tersebut, menghilangkan pikiran-pikiran negatif
responden tersebut terhindar dari nyeri bahu (cognitife defusion). Seseorang akan menerima
saat tangan kanan digerakkan. Meskipun kondisinya apabila mendapat pengetahuan
demikian, selama menjalani intervensi, ia cukup mengenai kondisi penyakitnya yang
melaporkan adanya penurunan dalam sikapnya akan mengubah persepsinya menjadi positif
tersebut. Ia mulai mencoba menggerakkan sehingga koping juga positif. Upaya ini dapat
tangan kanannya perlahan-lahan secara rutin, dilakukan melalui pemberian psikoedukasi
salah satunya dengan melakukan exercise tentang nyeri kronis yang dilakukan di awal
ringan. Bila dikaitkan dengan data demografi sesi 1.
yang mendukung, responden tersebut berjenis Selu r u h responden menganggap
kelamin laki-laki dan baru menderita nyeri pemberian psikoedukasi nyeri kronis sebagai
sejak 1 tahun yang lalu. Seorang wanita lebih kegiatan yang bermanfaat untuk meningkatkan
dapat mengekspresikan nyeri yang dirasakan pemahaman mereka tentang nyeri kronis yang
dari pada seorang laki-laki, sehingga diderita, termasuk mengenai cara-cara efektif
penerimaan akan nyerinya lebih baik. Kurun dalam menghadapinya. Sifat nyeri kronis
waktu menderita nyeri juga berkorelasi positif yang berkelanjutan sering kali membuat
dengan tingkat adaptasi terhadap nyeri. penderitanya membutuhkan pengobatan yang
Semakin lama seseorang menderita nyeri, berkesinambungan untuk mengatasinya.
maka tingkat adaptasi terhadap nyerinya Pemberian psikoedukasi juga dapat membuat
semakin tinggi. penderita lebih mengenal nyeri kronis yang
Perbedaan hasil pengukuran pre dan dialami. Dengan pengetahuan tersebut,
post intervensi menunjukkan bahwa ACT penderita dapat membuat rencana untuk
efektif dalam meningkatkan penerimaan mengatasi nyeri kronis yang diderita sesuai
lansia terhadap nyeri kronis. Hal ini dapat dengan kondisi tubuhnya saat ini sehingga
disebabkan oleh sifat-sifat pendekatan ACT lebih dapat menerimanya.
yang digunakan dalam pemberian intervensi Penerimaan terhadap nyeri kronis juga
ini. Menurut Hayes (2007), terapi ACT diperkuat dengan pelaksanaan sesi dua dan
bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologi tiga, di mana pada sesi 2: Identifikasi nilai
yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk berdasarkan pengalaman untuk mendapatkan
menjalani perubahan yang terjadi saat ini pengalaman yang lebih terarah ( present
dengan lebih baik. moment & values) dan sesi 3: berlatih
Terapi ACT menggunakan konsep menerima kejadian dengan nilai yang dipilih
penerimaan, kesadaran, dan penggunaan dan berfokus pada kemampuan diri (self as
nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor context). Sesi kedua dan ketiga ini bermanfaat
internal jangka panjang, dalam hal ini nyeri untuk meningkatkan kepercayaan diri klien
kronis persendian, yang dapat menolong bahwa mereka mempunyai kemampuan
seseorang untuk dapat mengidentifikasi untuk menerima kejadian dan menentukan

257
Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 252261

nilai-nilai positif terkait manajemen nyeri tahan tubuh dalam menghadapi stres sehingga
melalui identif ikasi pengalaman yang dapat menurunkan tingkat stres, di mana
positif. Hal ini membuat seseorang optimis dalam hal ini nyeri sebagai suatu stressor.
dalam merencanakan kegiatan positif untuk Apabila kondisi stres berkurang, maka
mengatasi nyeri kronis yang diderita, sehingga melalui sistem HPA Axis akan mempengaruhi
mempunyai perasaan lebih dapat menerima. hipothalamus dalam menurunkan CRF
Pada umumnya terjadi peningkatan (Corticotropin Releasing Factor), sehingga
comfort pada kelompok perlakuan setelah kadar ACTH (Adrenocorticotropic Hormone)
pemberian ACT. Akan tetapi terdapat satu yang diproduksi oleh kelenjar pituitary menjadi
berkurang yang berdampak pada penurunan
orang yang tidak mengalami perubahan
growth hormone dan kortisol dari korteks
tingkat comfort (tetap rendah) dan satu
adrenal. Apabila jumlah kortisol menurun,
orang yang mengalami penurunan tingkat
maka akan diikuti dengan pengolahan
comfort (tinggi ke sedang). Responden yang prekursor Pro Opio Melano Cortin (POMC)
tetap rendah tingkat comfort-nya adalah yang akan mensekresi -endorphin sebagai
responden perempuan dengan usia 74 tahun, indikator fisiologis tingkat kenyamanan.
janda, mengalami nyeri sejak 3 tahun yang ACT dalam beberapa sesi yang
lalu dan tinggal di panti dalam kurun waktu pada akhirnya tercapai suatu commitment
7 bulan yang lalu. Sedangkan responden bersama dalam manajemen nyeri dengan
yang mengalami penurunan tingkat comfort multi komponen (beberapa cara: slow deepth
adalah seorang perempuan, 74 tahun, janda, breath, musik, berdoa, dan exercise ringan)
telah menderita nyeri dalam kurun waktu dengan setting kelompok ini juga serupa
5 tahun, dan baru 2 bulan tinggal di panti. dengan hasil penelitian Rycarczyk, dkk. (2001)
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang dalam Hanum, L (2012) yang menemukan
telah mengalami nyeri kronis dalam waktu bahwa intervensi multi-komponen kelompok
yang lama mempunyai kondisi emosi yang efektif dalam mengurangi nyeri yang diderita
lebih stres dari pada seseorang yang baru individu. Intervensi multi-komponen ini
mengalami nyeri kronis. Selain itu, lama mengajarkan berbagai keterampilan kepada
tinggal di panti juga menjadi salah satu faktor responden untuk membantu menghadapi rasa
yang meningkatkan stres. Lansia yang baru nyerinya, sehingga mereka dapat mengatasi
tinggal di panti masih mengalami proses nyeri yang dideritanya tersebut secara lebih
adaptasi dengan lingkungan yang baru dan menyeluruh.
rentan mengalami stres. Pengukuran kualitas hidup pada
Komponen komitmen (commited action) kelompok perlakuan menunjukkan bahwa
dalam ACT yang tergambar pada sesi ke- mayoritas responden, 12 orang (75,00%)
4 menunjukkan kemauan dan kesanggupan mengalami peningkatan kualitas hidup
seseorang dalam melakukan manajemen nyeri setelah pemberian intervensi ACT. WHO
yang efektif yang telah dipilih dan disepakati, (1991) menyatakan terdapat empat domain
dalam hal ini terdapat aspek relaksasi (slow pada kualitas hidup, yaitu domain kesehatan
deep breath dan doa diiringi alunan musik) dan fisik, psikologis, relasi sosial dan lingkungan.
aspek exercise dengan gerakan ringan. Teknik Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai
ini dapat memberikan dua manfaat sekaligus, tertinggi terdapat pada domain psikologis.
yaitu: aspek relaksasi dengan timbulnya Hal ini berkaitan dengan intervensi ACT
ketenangan dan perasaan rileks, aspek yang berbasis psikoterapi. Terapi ini
exercise ditandai dengan timbulnya getaran mengajarkan pasien untuk menerima pikiran
ritmis pada otot yang dapat melancarkan yang mengganggu dan dianggap tidak
peredaran darah ke seluruh tubuh serta dapat menyenangkan dengan menempatkan diri
meningkatkan sekresi opiad endogen yang sesuai dengan nilai yang dianut, sehingga ia
dapat menimbulkan perasaan gembira. Secara akan menerima kondisi yang ada (Hayes 2006;
akumulatif kedua aspek tersebut menghasilkan Montgomery, Kim & Franklin 2011).
ketenangan, kebugaran, kesehatan serta daya

258
Peningkatan Penerimaan pada Nyeri Kronis (Dhina Widayati, dkk.)

Melalui penerapan ACT, lansia dengan dalam mengahadapi nyeri persendian yang
nyeri kronis akan menerima kondisinya dan diarasakan.
dapat menentukan apa yang terbaik untuk Faktor usia, perubahan nilai kualitas
dirinya dan berkomitmen untuk melakukan hidup yang paling besar dialami oleh
apa yang dipilihnya. Pemberian ACT terdiri responden usia 81 tahun, dalam konsep
dari beberapa rangkaian kegiatan dari latihan pembagian usia menurut Hurlock, termasuk
relaksasi dan psikoedukasi. Latihan relaksasi dalam advanced old age. Pada tahapan ini,
dengan iringan musik yang mengawali setiap seseorang lebih menerima dan memberikan
sesi pelaksanaan ACT diharapkan dapat penilaian terhadap hidupnya dengan lebih
mempengaruhi persepsi lansia terhadap nyeri positif karena mereka beranggapan bukan
yang dirasakan, sehingga akan menimbulkan saatnya lagi untuk melakukan perubahan-
kondisi comfort. Lansia dengan nyeri kronis perubahan dalam hidupnya.
yang merasakan comfort akan mempunyai Faktor pendidikan, Wahl, dkk (2004)
respons yang baik terhadap nyeri, sehingga dalam Nofitri (2009) menemukan bahwa
intensitas nyeri yang dirasakan juga kualitas hidup akan meningkat seiring
akan berkurang. Dengan demikian akan dengan lebih tingginya tingkat pendidikan
menurunkan respons ketidakberdayaan dan yang didapatkan oleh individu. Hal ini sesuai
meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan hasil penelitian ini, bahwa perubahan
dengan nyeri kronis. nilai kualitas hidup yang paling besar dialami
ACT yang dilakukan secara berkelompok oleh responden dengan tingkat pendidikan
juga bermanfaat dalam menurunkan stres terakhir pada jenjang SMA. Pada jenjang
yang dialami responden karena baik fasilitator pendidikan yang lebih tinggi, seseorang
maupun peserta dapat saling mengkonfrontasi dimungkinkan mendapatkan informasi yang
berbagai stressor yang meningkatkan stres lebih banyak terkait nyeri yang dirasakan
pada responden. Di samping itu, format dan mempunyai pemahaman yang lebih baik
pertemuan yang terstruktur dapat mengurangi terhadap manajemen nyeri.
stres yang dialami. Aktivitas-aktivitas Faktor pekerjaan, perubahan nilai
menyenangkan dan santai di dalam kelompok kualitas hidup tertinggi didapatkan pada
juga menjadi salah satu faktor penurun stres responden yang mempunyai riwayat pekerjaan
yang dapat meningkatkan perasaan bahagia sebagai petani. Walaupun demikian, secara
dan nyaman, sehingga membuat hidup lebih khusus riwayat pekerjaan ini tidak berkorelasi
berkualitas. secara penuh terhadap kualitas hidup lansia,
Ku alit as h idup seseorang juga karena mereka saat ini sama-sama tidak
dipengaruhi oleh tujuh faktor, antara lain: bekerja. Korelasi yang ada berkaitan dengan
faktor jenis kelamin, Bain, dkk. (2003) stressor yang timbul di masa lalu, seorang
dalam Nofitri (2009) menemukan bahwa petani bekerja dengan waktu yang fleksibel dan
kualitas hidup perempuan cenderung lebih tidak dikejar oleh target layaknya pedagang.
tinggi daripada laki-laki. Hal ini sejalan Hal ini yang menyebabkan nilai kualitas hidup
dengan hasil pada penelitian ini, peningkatan yang paling tinggi didapatkan pada responden
kualitas hidup tertinggi terjadi pada responden dengan riwayat pekerjaan sebagai petani.
perempuan. Seorang perempuan lebih dapat Faktor status pernikahan, Wahl (2004)
mengekspresikan nyeri persendian yang menemukan bahwa baik pada pria maupun
dirasakan, sehingga merasa lebih lega dan wanita, individu dengan status menikah
nyaman. Selain itu, mayoritas penghuni memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.
panti yang didominasi oleh perempuan juga Hal ini sejalan dengan hasil pada penelitian
menyebabkan peer group support yang lebih ini, perubahan nilai kualitas hidup tertinggi
bagus berkaitan dengan perasaan senasib terdapat pada responden dengan status
sepenanggungan. Hal ini memberikan pernikahan sebagai istri dan tinggal bersama
penguatan pada masing-masing individu untuk dengan suami dalam satu wisma di Panti.
melawan perasaan putus asa dan tidak berdaya Kondisi ini memungkinkan responden tersebut

259
Jurnal Ners Vol. 9 No. 2 Oktober 2014: 252261

mendapatkan dukungan pasangan yang kenyamanan (comfort) yang diperoleh dari


mempunyai pengaruh terhadap penerimaan komitmen dalam melakukan manajemen nyeri
terhadap nyeri kronis dan komitmen dalam dengan cara yang efektif sesuai pilihan dan
manajemen nyeri. Ia menjadi lebih termotivasi kesepakatan.
dan mempunyai perasaan yang lebih
tenteram. Saran
Faktor penghasilan, Baxter, dkk. (1998)
Kegiatan ACT dapat digunakan oleh
dan Dalkey (2002) dalam Nofitri (2009)
perawat gerontik sebagai salah satu upaya
menemukan adanya pengaruh dari faktor
meningkatkan penerimaan nyeri, comfort dan
demografi berupa penghasilan dengan kualitas
meningkatkan kualitas hidup lansia dengan
hidup seseorang. Pada penelitian ini, semua
nyeri kronis persendian, sehingga mutu
responden tidak mempunyai penghasilan
pelayanan keperawatan pada lansia dengan
dari hasil bekerja melainkan mendapatkan
nyeri kronis persendian melalui pendekatan
pendanaan biaya hidup dari pemerintah.
psikoterapi dapat ditingkatkan. Penelitian
Faktor hubungan dengan orang lain,
selanjutnya tentang tingkat comfort diharapkan
Myers dalam Kahneman, Diener, & Schwarz
agar dilakukan pengukuran indikator
(1999) yang mengatakan bahwa pada saat
penilaian comfort terhadap nyeri tidak
kebutuhan akan hubungan dekat dengan
hanya menggunakan kuesioner, akan tetapi
orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan
juga menggunakan uji laboratorium melalui
pertemanan yang saling mendukung maupun
pemeriksaan -Endorphin agar didapatkan
melalui pernikahan, manusia akan memiliki
hasil pengukuran yang komprehensif.
kualitas hidup yang lebih baik secara fisik
maupun emosional. Pada penelitian ini
responden yang mempunyai perubahan KEPUSTAKAAN
kualitas hidup paling besar adalah sesorang
Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk
yang mempunyai hubungan pertemanan baik
lanjut usia menurut provinsi. Buletin
dengan semua lansia yang ada di panti, dia Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
berperan sebagai ketua kelompok dari wisma Kementerian Kesehatan RI.
yang dihuni. Kondisi ini memungkinkan dia Diener dan Suh. 2000. Similarity of the
mendapatkan rasa percaya diri dan perasaan relations between marital status and
optimis yang lebih tinggi. subjective well-being across cultures.
Journal of Cross-Cultural Psychology,
31 (4), 419436
SIMPULAN & SARAN Hanum, L. 2012. Manajemen nyeri untuk
Simpulan meningkatkan penerimaan nyeri kronis
pada lansia dengan intervensi Multi-
ACT meningkatkan pener imaan
komponen kelompok Cognitive Behavior
nyeri pada lansia yang menderita nyeri
Therapy (CBT). Tesis. Fakultas Psikologi
kronis persendian melalui peningkatan
UI. Tidak Dipublikasikan.
pengetahuan dari pemberian psikoedukasi Hayes, Steven., Jason, B.L., Frank W.B.,
dalam meningkatkan komponen acceptance Akihiko. M., Jason, L. 2006. ACT:
dan cognitive defusion. ACT meningkatkan Model, processes and outcomes. Journal
kenyamanan (comfort) pada lansia yang of Behaviour Research and Therapy,
menderita nyeri kronis persendian melalui 44, 125
komponen committed action dan komitmen Kolcaba. 2011. Comfort theory colcaba. http.
pada manajemen nyeri yang efektif (aspek currentnursing.com. Diakses pada
relasasi dengan slow deep breath dan doa tanggal 26 September 2013
diiringi alunan musik, aspek exercise dengan LeFort, S. M. (Ed.). 2008. Chronic pain self-
gerakan ringan). ACT meningkatkan kualitas management program workbook. St.
hidup pada lansia yang menderita nyeri kronis Johns. NL: Author.
persendian melalui penerimaan nyeri dan

260
Peningkatan Penerimaan pada Nyeri Kronis (Dhina Widayati, dkk.)

Nofitri. 2009. Gambaran kualitas hidup. Sares, A. 2008. Coping strategies of older
Skripsi. FPsiUi. Tidak dipublikasikan adults living with chronic pain.
Papila, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. Fullerton: California State University.
D. 2009. Human Development (11th Schwarz, N., & Strack, F. 1999. Reports of
edition). USA: McGraw-Hill. subjective well-being: The foundations
Pochop, J. A. 2011. Acceptance and commitment of hedonic psychology (pp. 6184). New
group therapy for older women with York: Russell Sage Foundation.
chronic pain. California: Faculty of the The WHOQOL Group. 1996. The world health
Kalmanovitz School of Education Saint organization quality of life assessment
Marys College of California. (WHOQOL): Position paper from
the world health organization, Social
Science and Medicine, Vol. 41, No. 10,
pp. 14031409

261

You might also like