Professional Documents
Culture Documents
MODUL II BATUK
KATA SULIT : -
KATA KUNCI :
Laki-laki 49 tahun.
Batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu.
Batuk kental terkadang berwarna kuning dan terdapat darah.
Nafsu makan menurun.
Nyeri dada dan sesak nafas.
Suara nafas tambahan ronkhi basah.
PROBLEM TREE :
PERTANYAAN :
1. Batuk Akut
Batuk akut merupakan fase awal dan masih mudah untuk disembuhkan.
Jangka waktunya kurang dari tiga minggu dan terjadi karena iritasi, bakteri, virus,
penyempitan saluran nafas atas.
3.Batuk Kronis
Batuk kronis adalah batuk yang sulit disembuhkan dikarenakan penyempitan
saluran napas atas dan terjadi lebih dari delapan minggu. Batuk kronis biasanya
adalah tanda atau gejala adanya penyakit lain yang lebih berat. Banyak penyakit
berat yang ditandai dengan batuk kronis,misalnya asma,TBC, gangguan refluks
lambung, penyakit paru obstruksi kronis,sampai kanker paru. Untuk itu, batuk
kronis harus diperiksakan ke dokter untuk memastikan penyebabnya dan diatasi
sesuai dengan penyebabnya itu.
1. Batuk Berdahak
Batuk berdahak yaitu batuk yang terjadi karena
adanya dahak pada tenggorokan.Batuk berdahak lebih sering
terjadi pada saluran napas yang peka terhadap paparan debu,
lembab berlebih, alergi dan sebagainya.Batuk berdahak
merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan zat-zat asing
dari saluran napas, temasuk dahak. Batuk ini terjadi dalam waktu
yang relatif singkat.
2. Batuk Kering
REFERENSI
Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). 2014. Jakarta :
EGC.
MEKANISME BATUK
Mekanisme batuk dapat dicetuskan secara volunter atau refleksif. Sebagai
reflek defensif, batuk mempunyai jaras aferen dan aferen. Jaras aferen termasuk
reseptor di dalam serabut sensorik saraf trigeminus, glosofaringeus, laringeus
superius dan vagus. Jaras aferen termasuk saraf laringeus rekuren (yang
menyebabkan penutupan glotis) dan saraf spinalis (yang menyebabkan kontraksi
otot-otot abdominal dan toraks). Urutan batuk terdiri dari stimulus yang sesuai
yang memulai inspirasi dalam. Keadaan ini diikuti oleh penutupan glotis, relaksasi
diagfragma, dan kontraksi otot melawan glotis yang tertutup sehingga
menghasilkan tekanan dalam jalan napas dan intratoraks positif maksimal. Tekanan
intratoraks positif ini menyebabkan penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh
lipatan kedalam membrana postperior yang lebih lentur. Begitu glotis terbuka,
kombinasi perbedaan tekanan yang besar antara jalan napas dan atmosfer yang
disertai penyempitan trakea ini menyebabkan laju aliran melalui trakea mendekati
kecepatan suara. Tekanan pembersihan yang timbul membantu eliminasi mukus
dan benda-benda asing. Sirkuit pendek trakeostomi dan tuba endotrakeal mencegah
penutupan glotis. Oleh karena itu, keduanya menurunkan aktivitas mekanisme
batuk.
1. Inspirasi
Terjadi inspirasi dalam untuk meningkatkan volume gas yang terinhalasi.
Semakin dalam inspirasi semakin banyak gas yang terhirup, teregang otot-otot
napas dan semakin meningkat tekanan positif intratorakal.
2. Kompresi
3. Ekspirasi(eksplusif)
Pada fase ini glotis dibuka, dengan terbukanya glotis dan adanya tekanan
intratorakal dan intra abdomen yang tinggi maka terjadilah proses ekspirasi yang
cepat dan singkat (disebut juga ekspulsif). Derasnya aliran udara yang sangat kuat
dan cepat maka terjadilah pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti
mukus dll.
4. Relaksasi
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang
alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan :
- Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran nafas.
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam
itu sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau di luar paru dan
kadang-kadang merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat
berarti pada penularan penyakit melalui udara (air borne infection). Batuk
merupakan salah satu gejala penyakit saluran nafas disamping sesak, mengi, dan
sakit dada. Sering kali batuk merupakan masalah yang dihadapi para dokter dalam
pekerjaannya sehari-hari. Penyebabnya amat beragam dan pengenalan patofisiologi
batuk akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanggulangan
penderita batuk.
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu fase
iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi (ekspirasi). Secara singkat batuk dimulai
ketika suatu zat atau benda asing mencapai salah satu reseptor batuk di hidung,
tenggorokan, atau dada. Reseptor tersebut kemudian menyampaikan pesan ke pusat
batuk di otak yang memberi perintah untuk batuk. Lalu hidung menghirup napas,
epiglotis dan pita suara menutup rapat sehingga udara dalam paru-paru terjebak.
Otot perut dan dada akan berkontraksi dengan kuat sambil menekan sekat rongga
tubuh. Akhirnya epiglotis akan membuka dengan tiba-tiba, dan udara yang terjebak
tadi mendadak keluar, maka terjadilah batuk.
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar
rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring,
trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada
cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di laring,
trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di
saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan diafragma.
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari
telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan
rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari
faring dan nervus freenikus menyalurkan rangsang dari pericardium dan
diafragma.
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di
medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju
ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-
otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian
terjadi. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan
esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
Fase inspirasi
Fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar, dimulai dengan inspirasi
dalam dan cepat dari sejumlah besar udara akibat kontraksi otot abduktor kartilago
aritenoidea, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Hal ini disertai
terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga
dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Volume
udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai
3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Ada dua manfaat utama dihisapnya
volume yang besar (di atas kapasitas residu fungsional). Pertama, volume yang
besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi
yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret (mekanisme
pembersihan) akan lebih mudah.
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan
tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat sampai 50-100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk,
yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan
menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup
adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain.
Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan
pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi
tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan
intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
Penyebab Batuk
Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang sebagai berikut:
- Rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan sekret trakeobronkial yang banyak.
- Rangsang mekanik seperti benda asing pada saluran nafas seperti benda asing dalam
saluran nafas, post nasal drip, retensi sekret bronkopulmoner.
- Rangsang suhu seperti asap rokok ( merupakan oksidan ), udara panas/ dingin, inhalasi gas.
- Rangsang psikogenik.
REFERENSI :
A.Price, Sylvia., M.Wilson, Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
M. Zetvandi Ibrahim (2013730151)
TUBERKULOSIS PARU
a. Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat kuman mycobakterium
tuberkulosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif
Mansyur, 2000). Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi saluran napas
bagian bawah yang menyerang jaringan paru atau atau parenkim paru oleh basil
mycobakterium tuberculosis. Tb dapat mengenai hampir semua organ tubuh
(meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe).
b. Patofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis.
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel
infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung
pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari hari sampai berbulanbulan. Bila
partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau
paruparu. Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari
5 mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar
dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila
menjalar sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke
dalam saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian
bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier. Sarang primer akan timbul
peradangan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran
getah bening hilus (limfangitis regional). Sarang primer limfangitis lokal serta
regional menghasilkan komplek primer (range). Proses sarang paru ini memakan
waktu 38 minggu. Berikut ini menjelaskan skema tentang perjalanan penyakit TB
Paru hingga terbentuknya tuberkel ghon.
c. Epidemiologi
Di Indonesia setiap tahunnya bertambah dengan seperempat juta kasus baru
TBC paru-paru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan
oleh TBC paru-paru. Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan
masalah TBC paru-paru di dunia. Survei prevalensi TBC paru-paru yang dilakukan
di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC paru-
paru di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka
insidensi TBC paru-paru pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256
kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus
baru.
d. Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah diakibatkan adanya infeksi dari kuman
(bakteri) yang bernama Mycobacterium tuberculosis dan biasanya menyerang
paru-paru. Selain itu bakteri penyebab TBC ini juga menyerang organ tubuh
lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, bahkan bisa
menyerang otak. Penyakit TBC adalah jenis penyakit yang mudah menular, media
penularannya bisa melalui cairan di dalam saluran nafas yang keluar ketika
penderita batuk atau bersin kemudian terhirup oleh orang lain yang berada di
lingkungan sekitar penderita TBC tersebut. Bakteri penyebab TBC akan tertidur
dan tidak akan menyerang terhadap orang yang mempunyai tubuh sehat dengan
asupan gizi cukup dan daya tahan tubuh yang baik. Bakteri TBC lebih mudah
menular dan menyerang terhadap orang-orang yang mengalami kekurangan gizi
dan daya tahan tubuh yang buruk. TBC bisa juga menginfeksi orang yang tinggal
di lingkungan dengan udara buruk dan mengandung banyak kuman TBC. Gizi
buruk dan lingkungan yang buruk bisa menyebabkan kuman (bakteri) TBC yang
tertidur pulas di dalam tubuh menjadi aktif. Serangan infeksi kuman TBC
seringkali muncul tanpa disertai tanda-tanda atau gejala khas apapun, biasanya
indikasi yang muncul cuma batuk-batuk ringan dan hali ini sering dianggap remeh
dan tidak dihiraukan oleh calon penderita. Seorang penderita infeksi TBC paru-
paru dapat dengan mudah menularkan kuman (bakteri) TBC kepada orang lain di
lingkungan sekitarnya baik itu di rumah, sekolah atau tempat kerja (kantor). Jika
sudah menjadi kuman yang aktif di dalam tubuh, kuman TBC akan terus merusak
jaringan paru-paru hinggga menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang khas ketika
penyakitnya sudah dalam keadaan cukup parah.
e. Manifestasi klinis
1. Batuk/Batuk darah
Pada penderita biasanya tampak batuk yang lama, batuk dapat
mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan, akan tetapi batuk juga berfungsi
mengeluarkan produk radang keluar seperti dahak.
2. Demam
Sering terjadi demam pada kondisi tertentu malahan kadang kadang terjadi
peningkatan suhu tubuh biasa mencapai 39 40 C, karena kondisi ini terpengaruh
akan daya tahan tubuh terhadap infeksi kuman tuberkulosis.
3. Sesak nafas
Biasa terjadi jika kondisi penyakit sudah pada tahap yang kronis, dimana
telah terjadi komplikasi pada paruparu seperti terjadi efusi pleura, pneumothorak
dan abses paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini jarang terjadi, ini akibat terjadi infiltrasi radang yang sudah
mencapai pleura sehingga menimbulkan pleuritis atau radang pleura. Tampak
inspirasi dan ekspirasi yang tidak normal.
5. Malaise
Gejala sering ditemukan berupa tidak nafsu makan (anoreksia), berat badan
turun secara drastis, pusing, nyeri otot dan lain sebagainya.
f. Alur diagnosis
1. Anemnesis
Anamnesis (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat penyakit keluarga).
2. Pemeriksaan fisik
Kelainan pada pemeriksaan fisis tergantung luas dan kelainan struktural
paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisis paru tersebut
dapat berupa: vocal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler
atau adanya ronkhi terutama di apeks paru.
Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru
yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda
adanya penebalan pleura.
3. Pemeriksaan laboratorium
a) Darah
Untuk menngetahui pada saat tuberkulosis baru mulai akan didapatkan
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitungan pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit masih di bawah normal.
b) Sputum
Pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali setiap hari, berdasarkan pemeriksaan
pada basil tahan asam (BTA) guna memastikan hasil diagnosis. Akan tetapi hanya
30% 70% saja yang dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ini karena diduga
tidak terlalu sensitif.
c) Radiologi
Pada hasil foto toraks posterior anterior (PA), lateral terlihat gambaran
infiltrat atau nodular terutama pada lapangan atas paru, terlihat kavitas, serta
tuberkuloma atau tampak seperti bayangan atau coin lesion. Pada TB primer
tampak gambaran radiologi berupa infiltrat pada paru-paru unilateral yang disertai
pembesaran kelenjar limfe di bagian infiltrat berada.
4. Tes tuberculosis
Tes mantouk diberikan dengan menyuntikan 0,1 cc Derivat Protein Murni
(PPD) secara intra muskuler (IM), kemudian dapat terlihat dalam 48 72 jam
setelah dites, dikatakan positif bila diameter durasi lebih besar dari 10 mm.
Gambar berikut ini merupakan gambaran pemeriksaan tes mantouk.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan penderita tuberkulosis paru dengan penggunan obat anti
mikroba dalam jangka waktu tertentu, dapat ditekankan pada 3 aspek, antara lain
(Mansjoer, dkk, 2001):
3. Pengobatan harus dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang
cukup guna menghasilkan efek pengobatan yang efektif serta aman.
Beberapa cara ( regimen ) pengobatan yang dianjurkan, antara lain
(Tabrani,1996):
Alternatif pertama:
c) Pirazinamide 25 -30 mg/kg BB, diberikan selama 2 bulan berturut turut dan
dilanjutkan INH 300 mg dan Rifampisin 600 mg selama 4 bulan.
Alternatif kedua
a) INH 300 mg
Alternatif ke tiga
a) INH 900 mg
b) Rif 600 mg, diberikan sebulan dan dilanjutkan dengan 2 kali seminggu selama 8
minggu.
h. Preventif
Menurut Baughman (2001), pencegahan penularan sebagai berikut :
1. Kasus dengan penderita positif harus diobati secara efektif agar tidak menular
terhadap orang lain.
2. Bila kontak langsung dengan penderita tuberkulosis sebaiknya lakukan
pemeriksaan tuberkulin dan photo thorak.
3. Pada anakanak lakukan vaksinasi BCG guna mencegah tertularnya penyakit
tuberkulosis paru.
W.Sudoyo, Aru., Setiyohadi, Bambang dll. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Rezka Fadillah Y ( 2013730170 )
BRONKITIS
a. Definisi
Bronkitis adalah suatu penyakit yang mempunyai gambaran histologi berupa
hipertrofi kelenjar mukosa bronkial dan peradangan peribronkial yang
menyebabkan kerusakan lumen bronkus berupa metaplasia skuamukosa, silia
menjadi abnormal, hyperplasia otot polos saluran pernapasan, peradangan dan
penebalan mukosa bronkus. Sel neutrofil banyak ditemukan pada lumen bronkus
dan infiltrat neutrofil pada submukosa. Pada bronkiolus respiratorius terjadi
peradangan, banyak ditemukan sel mononuclear, banyak sumbatan mucus,
metaplasia sel goblet, dan hyperplasia otot polos. Seluruh kelainan ini akan
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. Terbagi menjadi dua :
1. Bronkitis Akut :
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membrane mukosa bronkus yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyakit ini sering melibatkan trakea
sehingga lebih tepat jika disebut trakeobronkitis akut.
2. Bronkitis Kronik :
Suatu definisi klinis yaitu batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahunnya dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun. Beberapa penyakit lain juga
memberikan gejala yang sama antara lain tuberculosis paru, bronkiektasis, tumor
paru, asma bronkial. Karena itu penyakit-penyakit tersebut harus disingkirkan dulu
sebelum diagnosis bronchitis kronik dapat ditegakkan. Kadang-kadang sukar
membedakan antara bronchitis kronik dan asma bronkial, malahan dapat timbul
bersamaan pada seorang penderita.
b. Patofisiologi
Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis. Bila sudah timbul gejala
sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Pada
bronkitis kronik sesak nafas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran
pernafasan kecil, yang diameternya kurang dari 2mm, menjadi lebih sempit,
berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen terjadi
juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan besar juga berubah. Timbul
terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga saluran
pernafasan lebih menyempit. Kelainan utama pada bronchitis kronik adalah
hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus bronkus. Terjadi sekresi mucus yang
berlebihan dan lebih kental. Secara histologis dapat dibuktikan dengan
membandingkan tebalnya kelenjar mucus dan dinding bronkus. Angka ini
dinamakan indeks Reid. Normalnya 0,26 tetapi pada bronchitis kronik rata-rata
0,55. Terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuclear disubmukosa
trakeo bronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada penderita yang
sering mengalami bronkospasme, otot polos sauran bertambah dan timbul fibrosis
peribronkial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran nafas kecil (small
airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa,
edema, fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan
otot polos.
c. Epidemiologi
Bronkitis kronik didapatkan lebih banyak pada laki-laki daripada wanita.
Mungkin ini disebabkan penyebab utama sampai saat ini adalah merokok, dan laki-
laki lebih banyak yang merokok dibandingkan wanita. Di Asia jumlah perokok
kira-kira 50%, sedangkan di Indonesia jumlah perokok menurut Survey Kesehatan
Rumah Tangga 1996 adalah 53% laki-laki dan 4% wanita. Saat ini diperkirakan
20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, dan pada wanita dewasa lebih
sedikit. Namun karena wanita yang merokok terus meningkat maka angka
bronkitis kronik pada wanita akan meningkat. Menurut Balter MS dalam Suyono S
(2001), pada bukan perokok terdapat 15% yang menderita batuk kronik dengan
sputum, meningkat menjadi 33% pada perokok dengan pipa dan cerutu, sedangkan
pada perokok sigaret yang mengonsumsi setengah sampai satu pak rokok, akan
mengalami batuk kronik sebanyak 40-50%, dan akan meningkat menjadi 70-80%
pada yang mengonsumsi rokok dua bungkus atau lebih. Di Amerika Serikat kira-
kira 10-25% penduduk menderita simple chronic bronchitis, lebih banyak terdapat
pada laki-laki di atas 40 tahun. Di Inggris bronkitis kronik terdapat pada 17% laki-
laki dan 8% wanita. Diperkirakan didapatkan 30.000 kematian karena bronkitis
kronik setiap tahun, merupakan angka kematian terbanyak ketiga pada laki-laki
dengan usia di atas 65 tahun.
d. Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah virus seperti influenza, parainfluenza,
adenovirus, serta rhinovirus. Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah
Mycoplasma pneumonia, tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer.
Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya, namun jika dilatarbelakangi oleh
penyakit kronik seperti emfisema, bronchitis kronik, serta bronkiektasis, infeksi
bakteri ini harus mendapat perhatian serius. Ada 3 faktor utama yang
memperngaruhi timbulnya bronkitis kronik yaitu rokok, infeksi dan polusi. Selain
itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial.
1. Rokok
Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus
bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernapasan. Juga dapat
menyebabkan bronkokonstriksi akut.
2. Infeksi
Menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
lebih berat. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada penderita bronchitis
kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah.
3. Polusi
Polusi bila ditambahkan merokok, resiko akan lebih tinggi. zat-zat kimia
yang dapat juga menyebabkan bronkitis adalah zat-zat pereduksi seperti O2, zat-
zat pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
4. Keturunan
5. Faktor sosial ekonomi
e. Manifestasi klinis
Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas seperti
hidung buntu, pilek, dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan
sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat
menganggu diwaktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta
tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri
retrosternal, dan rasa gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi
produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mucus tetapi dapat juga
mukopurulen. Sesak napas hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik
kardiopulmonal. Peradangan bronkus biasanya menyebabkan hiperreaktivitas
saluran pernapasan yang memudahkan terjadi bronkospasme. Pada penderita asma,
penyakit ini dapat menjadi pencetus serangan asma. Pada pemeriksaan fisik,
biasanya ditemukan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar suara wheezing
dibeberapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika produksi sputum meningkat. Foto
toraks menunjukan gambaran normal. Bronkitis kronik suatu penyakit menahun,
terjadi sedikit demi sedikit bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang penderita
perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya
mulai menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi
paru mulai pula berubah antara lain kenaikan closing volume. Sesak nafas,
hipoksemia dan perubahan pada pemeriksaan spirometri sudah ada pada umur 45-
55 tahun. Sering berulang-ulang mendapat infeksi saluran pernapasan bagian atas
sehingga sering pula atau sama sekali tidak dapat bekerja. Umur 55-65 tahun sudah
ada kor pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan meninggal
dunia.
1. Keluhan
Pada bronkitis kronik keluhan utama adalah batuk, berdahak dan sesak.
Menurut burrows dkk 75% bronkitis kronik mulai dengan batuk, 22% mulai
dengan sesak. Rachmat Sumantri mendapatkan batuk 95%, sesak 95% dan
mengeluarkan dahak 88%. Sedangkan hadiarto mendapatkan batuk 100% sesak
49% dan dahak 88,6%.
a. Batuk
b. Dahak
c. Sesak
2. Pemeriksaan fisik
f.Alur diagnosis
1. Pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau
menyokong diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain.
a. Tubular shadows atau tram lines, terlihat bayangan garis-garis yang paralel,
keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
b. Corak paru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru.
3. Analisis gas darah.
g. Penatalaksanaan
Biasanya simtomatik, yaitu tirah baring, menghindari udara dingin dan
kering, kadang-kadang inhalasi uap air akan sangat membantu. Pada pasien yang
menderita batuk yang sangat menganggu, dapat diberikan obat batuk yang
mengandung kodein atau dekstrometorfan. Antibiotic hanya diberikan jika
terdapat infeksi sekunder bacterial atau pada PPOK.
h. Preventif
1. Penyuluhan
Penyuluhan tentang bronkitis kronik kepada para penderita sangat penting.
Harus diterangkan hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus
dihindari dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan.
Hubungan rokok dengan penyakit ini sudah jelas. Karena itu merokok harus
dihentikan. Meskipun sukar, penyuluhan dan usaha yang tak kenal lelah harus
dilakukan.
REFERENSI:
Waspadji,SarwonodanSoeparman.IlmuPenyakitDalamJilidII
BRONKIOLITIS
a. Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernafasan yang ditandai dengan
pernafasan yang cepat dan dangkal dengan pelebaran cuping hidung yang
disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi ini menyebabkan pembengkakan dan
peningkatan jumlah lendir di saluran pernafasan terkecil di dalam paru-paru
(bronkiolus), menyebabkan kesulitan bernafas dan mengi. Kondisi ini sering terjadi
pada bayi dan anak-anak di bawah usia 2 tahun. Bronkiolitis merupakan penyakit
menular dan dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung
dengan cairan hidung, atau melalui droplet udara.
b. Patofisiologi
Pada brokiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena edema dan
akumulasi mucus (penimbunan lendir) dan eksudat yang lain. Karena tahanan
terhadap aliran udara di saluran pernapasan besarnya berbanding terbalik dengan
radius pangkat empat, maka penebalan yang sangat sedikit sekali pun pada dinding
bronkiolus bayi akan mempengaruhi aliran napasnya. Tahanan pada saluran
pernapasan kecil bertambah selama fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena
selama ekspirasi sa;uran napas menjadi lebih kecil maka hasilnya adalah obstruksi
pernapasan katup bola yang menimbulkan perangkap udara awal dan overinflasi.
Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak sepadan menyebabkan hipoksemia yang terjadi pada awla
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasasnya tidak terjadi
kecuali pada penderita berat. Makin tinggi frekuensi pernapasan makin rendah
tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi kecuali pernapasan
mencapai 60 kali per menit. Selanjutnya hiperkapnea ini berubah menjadi takipnea.
Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan emfisema dan obstruksi total
menimbulkan atelektasis (mengempisnya paru akibat tidak dapat masuk udara)
c. Epidemiologi
Bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki anatara umur 3-6 bulan
yang belum pernah disusui ibunya dan yang hidup pada keadaan penuh sesak.
Sumber infeksi virus biasanya anggota keluarga dengan penyaki pernapasan yang
minor. Anak yang lebih tua dan orang dewasa mentoleransi edema bronkiolus lebih
baik dibandingkan dengan bayi, dan tidak berkembang bronkiolitis kronis
walaupun saluran pernapasannya yang lebih kecil terinfeksi oleh virus. Bayi yang
ibunya merokok lebih mungkin berkembang bronkiolitis daripada bayi ibu-ibu
yang tidak merokok.
d. Etiologi
Bronkiolitis akut disebabkan oleh respiratory syncytial virus (50%).
Penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (Mycoplasma
pneumonia), adenovirus, dan beberapa virus lainnya. Adenovirus dapat
dihubungkan dengan lomplikasi jangka lama termasuk bronkiolitis obliterans dan
sindrom paru hiperlusen unilateral (Sindrom Swyer-James). Tidak ada bulti kuat
bahwa bakteri menyebabkan bronkiolitis.
e. Manifestasi klinis
Sebagian besar bayi yang terkena mempunyai riwayat terpajan pada anak
yang lebih tua atau dewasa yang menderita penyakit pernapasan ringan pada
minggu sebelum mulainya penyakit. Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh
infeksi saluran pernapasan bagian atas, disertai dengan batuk pilek untuk beberapa
hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu ataupun hanya subfebril.
Perkembangan kegawatan pernapasan ditandai dengan anak yang mulai mengalami
sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat dan disertai
dengan serangan batuk. Menyusu ibu atau botol dapat sangat sulit karena frekuensi
napas yang cepat tersebut tidak memberikan kesempatan untuk mengisap dan
menelan. Pada kasus ringan, gejala tersebut dapat menghilang 1-3 hari. Pada kasus
yang lebih berat, gejala dapat berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan
penyakitnya dapat berlarut-larut.
f. Alur diagnosis
Pemeriksaan Fisis : ditemukan pernapasan cuping hidung disertai retraksi
(pemendekan) interkostal dan suprasternal karena paru terus menerus terdistensi
oleh udara yang terperangkap, anak gelisah dan sianotik. Depresi hati dan limpa
akibat overinflasi paru dapat mengakibatkannya teraba di tepi bawah kosta. Pada
pemeriksaan fisis juga didapati suara perkusi hipersonor, ekspirium memanjang
disertai dengan mengi. Ronkhi nyaring halus kadang terdengar pada akhir
inspirium atau pada permulaan ekspirium. Pada keadaaan yang berat sekali, suara
pernapasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir total.
Pemeriksaan Penunjang :
Foto roentgen thoraks menunjukkan paru-paru dalam keadaan aerasi
dan diameter anterior posterior membesar pada foto lateral. Pada
serpertiga penderita ditemukan bercak konsolidasi tersebar yang
disebabkan atelektasis atau radang.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam
batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis
respiratorik, maupun metabolic. Usapan nasofaring menunjukkan
flora bakteri normal. Virus dapat diperagakan pada sekresi nasofaring
dengan deteksi antigen (biasanya immunoassay enzim) atau dengan
biakan
Diagnosis ditegakkan atas gambaran klinis yang khas seperti tersebut di atas.
Keadaan ini harus dibedakan dengan asma yang kadang juga timbul pada usia
muda. Pada asma terdapat riwayat keluarga menderita asma juga. Selain itu, asma
tidak didahului dengan infeksi, ekspirasinya sangat memanjang dan pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan eosinofilia. Anak dengan asma akan
memberikan respon terhadap bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis
tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan pertusis, bronkopneumonia yang
disertai emfisema obstruktif dan gagal jantung.
g. Penatalaksanaan
Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang
tinggi, sebaiknya dengan uap dingin. Keadaan ini dapat mencairkan secret bronkur
yang liat. Untuk tujuan ini dapat juga diberikan pengobatan inhalasi. Oksigen perlu
diberikan walaupun anak belum dalam keadaan sianosis. Cairan intravena dengan
elektrolit yang diperlukan diberikan untuk mengoreksi asidosis respiratorik dan
metabolic yang mungkin timbul dan juga untuk mengoreksi kemungkinan
dehidrasi. Antibiotika diberikan apabila tersangka ada infeksi bacterial dan
sebaiknya dipilih obat berspektrum luas. Bila dicurigai Mysoplasma pneumoniae
sebagai penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin. Tentang pemberian
steroid belum ada keseragaman. Pemeberian sedativum tidak diperkenankan
karena dapt menimbulkan depresi pernapasan. Bila dianggap perlu dapat diberikan
kloralhidrat. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan
indidkasi kontra, karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi
lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
Ribavirin (Virazol), suatu gen antivirus telah tersedia untuk pengobatan RSV
sejak 1985. Beberapa percobaan terkendalimemanfaatkan penderita beresiko tinggi
menunjukkan adanya perbaikan dalam oksigenasi dan penurunan pelepasan
virus.Penggunaannya telah dianjurkan untuk bayi dengan penyakit jantung
kongenitalatau displasia bronkopulmonal oleh Komite Penyakit Infeksi Akademi
Pediatri Amerika (AAP). Satu penelitian pada bayi yang diintubasi dan diberi
ribavirin secara acak menunjukkan hasil yang lebih baik untuk orang yang diobati
ribavirin.
Karena obstruksi terjadi pada tingkat bronkiolus, trakeostomi tidak
bermanfaat dan menimbulkan resiko besar bahkan tidak dibenarkan pada bayi yang
sakitnya akut. Beberapa penderita dapat menjelek dengan cepat menjadi kegagalan
pernapasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi.
h. Preventif
Beberapa tindakan pencegahan pada bronkiolitis:
REFERENSI
BRONKIEKTASIS
a. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
dilatasi(ektasis) dan distrosi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan
kronik, persisten atau ireversibel.
b. Patofisiologi
Bronkiestasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi kronik bronkus
dan bronkiolus ukuran sedang(kira-kira generasi percabangan keempat sampai ke
Sembilan). Terdapat dua bentuk anatomis yang lazim: sakular dan silindris.
Bronkiekstasis sakular yaitu dilatasi berupa rongga yang bulat seperti kavitas,
seringkali ditemukan pada bronkus yang mengalami dilatasi dan khas pada orang
dewasa. Brokiekstasis timbul apabila dinding bronkus melemah akibat perubbahan
peradang kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan-bahan purulent
terkumpul pada daerah yang melebar ini dan mengakibatkan infeksi yang menetap
pada segmen atau lobus yang terserang . Infeksi kronik selanjutnya semakin
merusak dinding bronkus, dan terbentuk suatu lingkaran setan yang tak
berkesudahan. Tidak ada penyebab tunggal yang khas dari bronkiekstasis karena
penyakit ini dilandasi oleh suatu kelainan anatomis. BRONKIESTASIS paling
sering timbul pada anak-anak akibat infeksi berulang pada saluran nafas bawah,
yang timbul sebagai komplikasi penyakit campak, batuk rejan, influenza.
Penyembuhan bronkus akibat neoplasma atau aspirasi benda asing (terutama benda
organic seperti kacang) juga dapat menimbulkan brokiekstasis dan infeksi
sekunder pada percabangan bronkus bagian distal. BRONKIESTASIS pada lobus
atas dapat dikaitkan dengan tuberculosis, meskipun keadaan ini seringkali tak
menimbulkan gejala karena drainase bronkus dapat terjadi dengan bantuan
gravitasi. Fibrosis kistik dan sindrom kartagener (bronkiekstasis yang disertai
sinusitis dan kelainan letak jantung yaitu di rongga toraks sisi kannan) merupakan
contoh penyakit kongenital yang berkaitan dengan bronkiekstasis.
e. Manifestasi klinis
Tingakatan beratnya penyakit bervariasi mulai dari yang ringan sampai
berat. Brewis membagi tingkatan beratnya bronkiektasis menjadi derajat ringan,
sedang, dan berat.
Bronkiektasis Ringan. Ciri klinis : Batuk-batuk dan sputum warna hijau
hanya terjadi sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum terjadi
dengan adanya perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptysis sangat ringan,
pasien tampak sehat dan fungsi paru normal. Foto dada normal.
Bronkiektasis Sedang. Ciri klinis : Batuk-batuk produktif tejadi tiap saat,
sputum timbul setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, serta bau
mulut busuk), sering-sering ada hemoptysis, pasien umunya masih tampak sehat
dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari tabuh. Pada pemeriksaan fisis sering
ditemukan ronki basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada
boleh dikatakan masih normal.
Bronkiektasis Berat. Ciri klinis : Batuk-batuk produktif dengan sputum
banyak berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya pneumonia dengan
hemoptisis dan nyeri pleura. Sering ditemukan jari tabuh. Bila ada obstruksi
saluran napas akan dapat ditemukan adanya dyspnea, sianosis atau tanda kegagalan
paru. Umumnya pasien mempunya keadaan umum kurang baik. Sering ditemukan
infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata dan sebagainya. Pasien mudah timbul
pneumonia, septikemia, abses metastasis, kadang-kadang terjadi amiloidosis. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah kasar pada daerah yang terkena.
Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan: 1) penambahan Bronchocaskular
marking, 2) multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance).
f. Alur diagnosis
Diagnosis bronkiektasis kadang-kadang sukar ditegakkan walaupun sudah
dilakukan pemeriksaan lengkap. Diagnosis penyakit ini kadang-kadang mudah
diduga, yaitu hanya dengan anamnesis saja.
Diagnosis pasti broniektasis dapat ditegakkan apabila telah ditemukan adnya
dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi,
melihat bronkogram yang didapatkan dan CT scan. Bronkografi tidak selalu dapat
dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis, karena terikat oleh adanya indikasi,
kontraindikasi, syarat-syarat kapan melakukannya dan sebagainya.
Computed tomography (CT) Scan paru, menjadi alternatif pemeriksaan
penunjungan yang paling sesuai untuk evaluasi bronkiektasis, karena sifatnya non
in vasif dan hasilnya akurat bila menggunakan potongan yang lebih tipis dan
mempunyai spesifitas dan sensivitas lebih dari 95%. Oleh karena pasien
bronkiektasis umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat dikenal,
penegakan diagnosis bronkiektasis dapat ditempuh melewati proses diagnostic
yang lazim dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi : 1) Anamnesis, 2)
Pemeriksaan fisis, 3) Pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan radiologic
(bronkografi) dan CT scan paru.
g. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok: Pengobatan
konservatif dan pengobatan pembedahan. Pengobatan konservatif terdiri atas :
pengelolaan umum, pengelolaan khusus, pengelolaan simtomatik .
-Pengobatan konservatif
Pengelolaan Umum. Pengelolaan ini ditunjukan terhadap pasien bronkiektasis,
meliputi:
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasian, contoh:
-membuat ruangan hangat, udara ruangan hangat
- mencegah atau menghentikan rokok
-mecegah atau menghindari debu,asap dan sebagainya
Melakukan drainase secret bronkus.
Cara yang baik dikerjakan sebagai berikut:
-melakukan drainase postural, tindakan in merupakn cara yang paling
efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus dikerjakan sedemikian rupa
sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
dilakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20menit dan tiap hari
dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase ini adalah usaha mengeluarkan
sputum (secret bronkus) daengan bantuan gaya gravitasi. Untuk keperluan
tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus diletakan sesuai
letak kelainan brokiektasisnya. Tujuan membuat posisi tubuh seperti yang
dipilih tadi adalah untuk menggerakan sputum dengan pertolongan gaya
gravitasi agar menuju kehilus paru bahkan mengali sampai tenggorok
sehingga mudah ke luar. Drainase postural tiap kali dikerjakan selama 10-20
menit atau sampai sputum tidak keluar lagi. Apabila degan mengatur posisi
tubuh pasien seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum secara
maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari
pada punggung pasien(tabotage).
-mencairkan sputum yang kental. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan,
misalnya : inhalasi uap air panas atau dingin (menurut keadaan) ,
menggunakan obat-obatan mukolitik dan perbaikan hidrasi tubuh.
-mengatur tempat tidur pasien. Posis tempat tidur pasien sebaiknya diatur
sedemikian rupa sehingga posisi tidur pasien dapat memudahkan drainase
secret bronkus. Hal ini dapat dicapai, mesalnya dengan mengganjal kaki
tempat tidur bagian kaki pasien( disesuaikan menurut kebutuhan) sehingga
diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk memudahkan drainase sputum.
-mengontrol infeksi saluran napas. Adanya infeksi saluran nafas
akut(ISPA) harus diperkecil dengan jalan mencegah pemajanan kuman.
Apabila telah ada infeksi saluran nafas akut(ISPA) harus diberantan dengan
antibiotic yang sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan. Apabila da sinusitis
harus di sembuhkan.
-Pengelolaan khusus
Kemoterapi pada Brokiektasis. Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:
1)secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus(ISPA)
2)untuk pengobatan secara eksraserbasi infeksi akut pada bronkus atau paru, atau
3) keduanya. Kemoterapi disini menggunakan antibiotic mana yang harus dipakai
sebaiknya harus berdasarkan hasil uji sensitifitas kuman terhadap anfbiofk atau
menggunakan pengobatan atibiotik secara empiric.
Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada pengelolaan brokiektasis,
tidak setiap pasien diberikan antibiotic. Antibiotic hanya diberikan kalau
diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksraserbasi infeksi akut. Antibiotik
diberikan selama 7-10hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotic,
sampai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna
sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (putih jernih).
Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan. Ada yang berpendapat
bahwa kemoterapi dengan antibiotic ini apabila berhasil akan dapat mengurangi
gejala batuk,jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat eksraserbasi
infeksi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara.
Drainase secret dengan bronkoskop. Cara ini penting dikerjakan terutama pada
permulaan perawatan pasien. Keperluannya antara lain adalah untuk:
1) Menentkan darimana hasil secret atau (sputum)
2) Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus, dan
3) Menghilangkan obstruksi brokus dengan suction drainage daerah obstruksi
tadi (misalmnya pada pengobatan atelectasis paru).
Pengobatan simtomatik. Pengobatan lain yang perlu ditambahkan adal
pengobatan simtomatik. Sesuai dengan namanya, pengobatan ini hanya diberikan
kalau timbul simtom yang mungkin mengganggu atau membahayakan pasie.
Pengobatan obstruksi Bronkus. Apabila ditemukan tanda obstruksi yang
diketahui dari hasil faal paru (% VEP1 <70%) dapat diberikan obat
bronkondilator. Sebaaiknya waktu dihasilkan uji faal paru dan diketahui
adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus dilakukan ter terhadap
bronkondilator. Apabila hasil tes bronkondilator positif, pasien tersebut
perlu diberikan bronkondilatot tersebut.
Pengobatan Hipoksia. Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama
pada waktu terjadinya eksaserbasi infeksi akut) perlu diberikan oksigen.
Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian
oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit).
Pengobatan Hemoptisis. Apabila terjadi hemoptisis, tindakan yang perlu
segera diberikan adalah upaya menghentian perdarahan tersebut. Kadang-
kadang sulit menghentikan perdarahan ini. Telah banyak dilaporkan oleh
para penelti hasil pengobatan hemoptysis ini dengan obat-obat hemostatik.
Dicatat hasilnya sangat baik (memuaskan), walaupun sulit diketahui
mekanisme kerja obat-obatan tersebut dalam menghentikan perdarahan.
Apabila perdarahan massif, mungkin merupakan perdarahan arterial yang
memerlukan tindakan operatif dan sementara harus diberikan transfusi
darah.
Pengobatan Demam. Pada pasien yang mengalami eksaserbasi infeksi akut
sering terdapat demam. Lebih-lebih kalau terjadi septicemia. Pada keadaan
ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu
ditambahkan obat antipiretik seperlunya.
Pengobatan Pembedahan
Tujuan pembedahan : mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang terkena
(terdapat bronkiektasis).
Indikasi pembedahan :
- Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespons
terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat.
Pasien perlu dipertimbangkan untuk operasi.
- Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi
berulang atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien
dengan hemoptysis masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
Kontraindikasi
- Pasien bronkiektasis dengan PPOK.
- Pasien bronkiektasis berat.
- Pasien bronkiektasis dengan komplikasi korpulmonal kronik
dekompensata.
Syarat-syarat operasi
- Kelainan (bronkiektasis) harus terbatas dan resektabel.
- Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan yang ireversibel.
- Bagian paru yang lain harus masih baik, misalnya tidak boleh ada
bronkiektasis atau bronkitis kronik.
Cara operasi
- Operasi elektif : Pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidka
terdapat kontraindikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif
dipersiapkan secara baik untuk operasi. Umumnya operasi berhasil baik
apabila syarat dan persiapan operasinya baik.
- Operasi paliatif : ditujukan pada pasien bronkiektasis yang mengalami
keadaan gawat darurat paru, misalnya terjadi hemoptisis masif
(perdarahan arterial) yang memenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat
kontraindikasi operasi. Oleh karena persiapan kurang baik, biasanya cara
ini jarang memberikan hasil yang baik.
Persiapan operasi.
- Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri, analisis gas darah (kalau
perlu), pemeriksaan bronkospirometri (uji fungsi paru regional).
- Sanning dan USG (bila ada fasilitasnya).
- Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi pada pasien.
- Memperbaiki keadaan umum pasien.
h. Preventif
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk
kongenital tidak dapat dicegah. Menurut kepustakaan dicatat beberapa usaha untuk
pencegahan terjadinya bronkiektasis, antara lain:
Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat terhadap
semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak, akan dapat mencegah
(mengurangi) timbulnya bronkiektasis.
Tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza, pneumonia)
pada anak dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap
timbulnya bronkiektasis.
REFERENSI
A.Price,Sylvia dan Lorraine M.Wilson.2006.PATOFISIOLOGI.EGC;Jakarta
W.Sudoryo,Aru, Bambang Setiohadi dkk. 2006. buku ajar ilmu penyakit dalam
edisi ke4.Departemen ilmu penyakit dalam FKUI;Jakarta
Lisa Nopiyanti ( 2013730149 )
INFLUENZA
a. Definisi
b. Patofisiologi
Setelah virus berhasil masuk menerobos sel . dalam beberapa jam sudah
mengalami replikasi . Partikel partikel virus baru in kemudian akan
menggabungkan diri dekat permukaan sel , dan langsung meninggalkan sel untuk
pindah ke sel lain. Virus influenza dapat menimbulkan demam tetapi tidak sehebat
efek pirogen lipopoli-sakarida kuman gram negatif.
c. Epidemiologi
Pada saat ini sudah diketahui bahwa pada umumnya dunia dilanda pandemic
oleh influenza 2-3 tahun sekali . Jumlah kematian pada pandemi ini dapat
mencapai puluhan ribu orang dan jauh lebih tinggi daripada angka angka pada
keadaan non epidemic .
d. Etiologi
Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A , B dan C . Ketiga tipe ini
dapat dibedakan dengan complement fixation test . Tipe B biasanya hanya
menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan kadang kadang saja
sampai mengakibatkan epidemic . Tipe C adalah tipe yag diragukan
patogenesisnya untuk manusia , hanya mengakibatkan ganguan ringan . Virus
penyebab influenza merupaka suatu orthomyxovirus golongan RNA dan
berdasarkan namnaya sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo
atau musin .
H1N1, yang menimbulkan Flu Spanyol pada tahun 1918, dan Flu Babi pada
tahun 2009
H2N2, yang menimbulkan Flu Asia pada tahun 1957
Struktur antigen virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama berupa :
antigen S (solube antigen ) hemaglutinin dan neuramidase . Antigen S yang
merupakan suatu ini partikel virus yang terdiri atas ribonukleoprotein . Antigen ini
spesifik untuk masing masing tipe . Hemaglutinin menonjol keluar dari selubung
virus dan memegng peran pada imunitas terhadap virus . Neuramidase juga
menonjol keluar dari selubung virus dan hanya memegang peran yang minim pada
imunitas . Selubung initi virus berlapis matrik protein sebelah dalam dan
membrane lemak disebelah luarnya .
e. Manifestasi klinis
Pada umunya pasien mengeluh demam , sakit kepala, sakit otot , batuk,
pilek, dan kadang kadang sakit waktu menelan dan suara serak . gejala gejala ini
dapat didahuli perasaan malas dan rasa dingin , dan kadang kadang sakit waktu
menelan dan suara serak . Gejala gejala akut ini dapat berlangsung beberapa hari
dan hilang dengan gejala spontan . Badan dapat mengatasi infeksi virus influenza
melalui mekanisme zat anti dan pelepasan interferon . Setelah sembuh akan
terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus homolog .
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza juga menyerang
paru . Mortalitas yang tinggi pada pasien usia lanjut yangterserang pneumonia
virus intertisial . disebabkan adanya saturasi oksigen yang bekurang serta akibat
asidosis dan anoksia . Kompilikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder ,
seperti pneumonia bakterial .
Batuk batuk kering berubah menjadi batuk yang produktif tang kadang
kadang dapat mengandung bercak bercak warna coklat . Penyakit umumnya akan
membaik dengan sendirinya tapi kemudian pasien acapkali mengeluh lagi
mengenai demam dan sakit dada . Infeksi sekunder umunya akibat streptokokus
pneumonia atau hemiphilus influenzae .
g. Penatalaksanaan
Obat obat yang tersedia adalah amantadine dan rimantadine serta inhibitor
neuraminidase . Amantadine dan rimantadine aktif melawan influenza tipe A dan
tidak digunakan tipe B . Obat ini diberikan dalam 48 jam setelah onset penyakit.
Pemberian secara oral mempunyai efek samping berupa mual dan muntah . Obat
yangtersedia dari golongan amantadine adalah symetrel dan lysvoir , sedangkan
dari golongan rimantadine adalah flumadine .Inhibitor neuraminidase ditujukan
untuk melawan influenza tipe A dan juga influenza tipe B . Ada dua golongan ,
yaitu zanamivir (relenza) dan oseltamivir (Tamiflu) Zanamivir dapat diberikan
local secara inhalasi sebelum gejala berlangsung selama 30 jam sedangkan
oseltamivir diberikan per oral sebelum gejala mencapai 36 jam .Pasien dapat
diobati secara simtomatik . Obat oseltamivir 2 x 75 mg dalam 5 hari akan
memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluaan antimikroba untuk infeksi
sekunder .
h. Preventif
Tutup hidung dan mulut dengan tisu saat batuk atau bersin atau gunakan
masker
Untuk menghindari orang lain sekeliling anda tertular
Bersihkan Tangan
Hindari kontak erat dengan orang sakit, Jika anda sakit jaga jarak dengan
yang lain agar mereka tidak tertular.
Aerosol akan menularkan virus pada setiap lingkungan
Cukup tidur, aktif, atasi stres minum cukup air dan makan bergizi.
Kurangi migrasi yang tidak penting dari daerah epidemi dan endemi.
f. Alur diagnosis
Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaaan fisik untuk sakit influenza dapat ditemukan tanda tanda
karakteristik hyperemia ringan sampai berat pada selaput lender tenggorokan .
dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal .
Pemeriksaan Radiologi : Foto thorak AP dan PA dapat menujukan adanya infiltrate
di paru .
Pemeriksaan Laboratorium :
Sudoyo , Aru W dkk . 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Jilid III . Edisi V ,
Jakarta : Interna Publishing.
KANKER PARU
a. Definisi
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas
atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan
pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang
terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan
perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
b. Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen / sub bronkus
menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar.
Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan
supurasi di bagian distal. Gejala gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Pada stadium lanjut, penurunan berat
badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru
dapat bermetastase ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding
esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
c. Epidemologi
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga
dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif
kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika
efek dari rokok dihilangkan. Tingginya angka merokok pada masyarakat akan
menjadikan kanker paru sebagai salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti
masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka kesakitan penyakit keganasan,
seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena kanker masih
sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 19901. Data yang dibuat WHO menunjukan
bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab
kematian utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada
laki laki tetapi juga pada perempuan2. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin
berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika penyakitnya
masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita kanker
paru pascabedah menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I
sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika
dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
d. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain.
Dibawah ini akan diuraikan mengenai faktor risiko penyebab terjadinya kanker
paru :
1. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling
penting, yaitu 85% dari seluruh kasus Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan
kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker
paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok
yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti
merokok.
2. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok pasif,
atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam ruang tertutup,
dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain,
risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali. Diduga ada 3.000 kematian
akibat kanker paru tiap tahun di Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif .
3. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan
dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih
sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang
paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini,
sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang
lebih rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat
udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang
ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4
benzpiren.
5. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
kanker paru
6. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc)
dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor.
e. Manifestasi Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat :
Lokal (tumor tumbuh setempat) :
Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
Hemoptisis
Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas
Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
Ateletaksis
Invasi lokal : Nyeri dada
Dispnea karena efusi pleura
Invasi ke pericardium, terjadi tamponade atau aritmia
Sindrom vena cava superior
Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis
servikalis
Gejala Penyakit Metastasis :
Pada otak, tulang, hati, adrenal
Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
f. Alur diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk
diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal
penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang
bercampur darah, sesak nafas dengan suara pernafasan nyaring (wheezing), nyeri
dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang
mendukung. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker
paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok, dan terpapar zat
karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru.
g. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara
total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada
kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2
N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan.
tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga
dilakukan pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan
paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan
demikian kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik.
Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara :
a. Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor,
bersamaan dengan margin jaringan normal.
b. Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.
c. Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan
2. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru
dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada
NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan
pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik
pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk
dilakukan pembedahan. Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X
untuk membunuh sel kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh
(eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara
meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter
dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan
sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan
pada SCLC atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah bermetastasis ke luar
paru seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil
sel kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel kanker ke
organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai kombinasi pada terapi
pembedahan atau radioterapi Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan
(sitostatika) untuk membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya
diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu
berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih.
h. Preventif
Pencegahan yang paling penting adalah tidak merokok sejak usia muda.
Berhenti merokok dapat mengurangi risiko terkena kanker paru. Penelitian dari
kelompok perokok yang berusaha berhenti merokok,hanya 30% yang berhasil.
REFERENSI :
Sudoyo , Aru W dkk . 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Jilid III . Edisi V ,
Jakarta : Interna Publishing.
LARINGITIS
a. Definisi
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah
laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi
baik akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan
berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari
3 minggu dinamakan laringitis kronis.
b. Patofisiologi
Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan
laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut
disebabkan oleh adanya suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja
membunuh mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian
akan menjadi tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami
gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh
gangguan fonasi. Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna
kemerahan dan membengkak.
Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan
adanya peradangan pada mukosa laring yang berlangsung lama. Pada laringitis
kronis proses peradangan dapat tetap terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah
tidak ada. Proses inflamasi akan menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada
laring, terutama pada dinding belakang laring. Hal ini akan menyebabkan
gangguan dalam pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi,
sekret akan berada tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara
menimbulkan reaksi timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat
menimbulkan laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada epitel
dari pita suara berupa hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis dan akantosis.
c. Epidemiologi
Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun.
Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan,
dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43 : 1 . Banyak dari kasus-kasus
laringitis timbul pada musim dingin dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih
banyak timbul dan juga dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari
para penderita mempunyai riwayat laringitis pada keluarganya.
d. Etiologi
Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis.
Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian
atas. Akan tetapi inflamasi tesebut juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab diantaranya adalah :
3. Adenovirus 3. Sifilis
8. Alergi 9. Alergi
e.
e. Manifestasi klinis
f. Alur diagnosis
1. Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala
6. Riwayat merokok
7. Riwayat makan
Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat
apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan
memberikan hasil yang lebih baik.
g. Penatalaksanaan
h. Preventif
1. Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok tidak
langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi
pada pita suara.
2. Minum banyak air putih. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang
terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.
Marcdante, Karen J. et. al. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi 6. Jakarta :
Elsevier
FARINGITIS
a. Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan
invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Penyakit ini banyak
menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang
dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah
Secara umum, jenis faringitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Faringitis akut adalah radang tenggorok yang masih baru, ditandai secara
klinis oleh adanya nyeri tenggorok mulut berbau, nyeri menelan, kadang
disertai otalgia (sakit di telinga), demam tinggi.
b. Faringitis kronis adalah radang tenggorok yang sudah berlangsung lama,
ditandai secara klinis oleh nyeri tenggorok. Nyeri tenggorok biasanya lebih
ringan dibandingkan nyeri yang berkaitan dengan infeksi yang dikemukakan
diatas. Dapat ditemukan perasaan gatal dengan sering berdahak. Dinding
faring posterior kemerahan dan seringkali mempunyai gambaran
cobblestone (batu kerikil) karena hipertrofi limfoid.
b. Patofisiologi
Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet
udara yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan
bersin. Jika bakteri ini hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan
mensekresikan toksin. Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan
inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya
tampakan kemerahan pada faring.
Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang
menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak
tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang
rusak akibat pengaruh toksin.
Organisme yang menghasilkan eksudat saja atau perubahan kataral sampai
yang menyebabkan edema dan bahkan ulserasi dapat mengakibatkan faringitis.
Pada stadium awal, terdapat hiperemia, kemudian edema dan sekresi yang
meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal atau berbentuk mukus
dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi melebar. Bentuk
sumbatan yang berwarna putih, kuning atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tidak adanya tonsilia, perhatian biasanya difokuskan pada faring
dan tampak bahwa folikel limfoid atau bercak-bercak pada dinding faring posterior
atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. Tekanan
dinding lateral jika tersendiri disebut faringitis lateral. Hal ini tentu saja mungkin
terjadi, bahkan adanya tonsilia, hanya faring saja yang terkena.
c. Epidemiologi
Faringitis terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin,
tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak. Faringitis akut jarang
ditemukan pada usia dibawah 1 tahun. Insedensi meningkat dan mencapai
puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa nak-
anak dan kehidupan dewasa. Kematian akibat faringitis jarang terjadi, tetapi dapat
terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.
d. Etiologi
Etiologi infeksi saluran pernapasan akut terdiri lebih dari 300 jenis bakteri,
virus dan ricketsia. Bakteri penyebab antara lain genus streptokokus,
staphylococcus, pneumococus, hemofilus, bordetella dan korinebakterium. Virus
penyebab antara lain golongan miksovirus, adnevirus, koronovirus, pikornavirus.
Disamping itu faktor-faktor berikut adalah faktor beresiko untuk berjangkitnya
atau mempengaruhi timbulnya infeksi saluran pernapasan akut, yaitu ; gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan
tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial
ekonomi rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, dan tingkat pelayanan kesehatan
rendah. Gejala umum yang sering terjadi pada penyakit Faringitis yaitu : batuk,
sesak nafas, nyeri dada, suara serak, influenza dan kadang disertai demam.
Ada tiga penyebab radang tenggorokan yang gejalanya dapat berupa rasa
sakit di bagian tersebut, susah menelan, susah bernapas, batuk, dan demam. Ada
kalanya terjadi pembengkakan di leher. Penyebabnya adalah infeksi, iritasi atau
alergi. Sekitar 90% dari kasus radang tenggorokan yang disertai hidung berair,
demam, dan nyeri telinga disebabkan oleh virus. Bakteri menjadi penyebab dari
10% kasus sisanya. Pada 10% kasus sisanya bakteri penyebab radang tenggorokan
tersering adalah Streptokokus. Gejala infeksi bakteri ini adalah tenggorokan yang
berwarna merah daging dan tonsil yang mengeluarkan cairan. Untuk mendiagnosis
bakteri ini sebagai penyebab secara pasti adalah dengan melakukan usap tenggorok
untuk kemudian di kultur serta dilakukan pemeriksaan darah.
1. Infeksi
Infeksi yang menyebabkan radang tenggorokan bisa bersumber dari 3 hal,
yakni kesehatan mulut dan gigi, amandel sebagai sumber infeksi, dan sinusitis.
Kurang menjaga kebersihan bagian mulut, khususnya gigi, dapat menyebabkan
radang tenggorokan. Gigi yang busuk atau berlubang menjadi tempat
berkumpulnya kuman. Kuman inilah yang kemudian masuk ke dalam tenggorokan
dan menyebabkan infeksi. Untuk mencegahnya, harus rajin menjaga kebersihan
mulut dan gigi. Kalau ada gigi yang busuk atau berlubang, harus langsung
ditangani. Misalnya, ditambal atau dicabut. Infeksi pada amandel juga dapat
menyebabkan terjadinya radang tenggorokan. Amandel sebenarnya sangat
berfungsi pada anak usia 4 10 tahun karena ia merupakan bagian dari pertahanan
tubuh. Terutama pernapasan bagian atas. Amandel yang sudah tidak berfungsi lagi
akan menjadi tempat berkumpulnya kuman sehingga menyebabkan infeksi pada
tenggorokan. Sumber ketiga penyebab infeksi tenggorokan adalah sinusitis. Setiap
orang punya beberapa pasang organ yang disebut sinus paranasal, ada di pipi, di
dekat mata, di dahi, dan di dekat otak. Jika organ ini meradang, itu yang disebut
sinusitis. Pada orang dengan sinusitis kronis, lendir akan terus-menerus mengalir di
belakang tenggorokan dan hidung. Hal ini menimbulkan iritasi ke tenggorokan dan
menyebabkan radang.
2. Iritasi
Iritasi juga bisa menjadi biang keladi radang tenggorokan. Hal ini
disebabkan makanan yang masuk, yaitu makanan yang terlalu pedas, terlalu asam,
terlalu panas atau dingin, dan makanan-makanan yang terlalu bergetah. Makanan
bergetah, contohnya buah-buahan. Jadi, tidak semua buah-buahan aman,
khususnya pada mereka yang punya alergi, karena justru dapat membuat iritasi
pada tenggorokan. Untuk mencegahnya, sebaiknya tidak makan buah-buahan
dalam jumlah terlalu banyak. Iritasi juga sering terjadi pada mereka yang bekerja
di lingkungan pabrik. Instalasi zat kimia yang di hirup bisa menyebabkan iritasi
dan radang pada tenggorokan. Oleh sebab itu, penting sekali memakai masker.
2. Alergi
Sementara alergi merupakan reaksi hipersensitif bagi orang yang
memilikinya. Alergi dapat disebabkan bermacam hal, seperti makanan dan
minuman, obat-obatan tertentu, cuaca, dan debu. Zat yang menyebabkan alergi
disebut allergen. Jika allergen masuk ke dalam tubuh penderita alergi, tubuh pun
akan mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan alergi. Akibatnya, timbul reaksi-
reaksi tertentu, seperti gatal-gatal atau batuk-batuk. Alergi terhadap suatu makanan
dapat menyebabkan reaksi sakit pada tenggorokan. Selain itu, radang tenggorokan
sering dialami mereka yang alergi terhadap jenis buah-buahan tertentu dan
olahannya, misalnya jus. Hati-hati, tidak semua jus aman bagi orang-orang yang
mengalami radang tenggorokan berulang karena alergi. Sering batuk dan sakit
tenggorokan. Paling sering justru pada jus tomat.
Minyak goreng bekas juga sering menjadi penyebab alergi dan mengakibatkan
radang tenggorokan. Orang yang alergi terhadap minyak goreng bekas harus selalu
mengganti minyak setiap kali akan menggoreng
e. Manifestasi Klinis
1. Mengeluh rasa kering / gatal pada tenggorok.
2. Malaise dan sakit kepala
3. Suhu tubuh meningkat
4. Nyeri
5. Disfagia
6. Batuk
7. Edema Faring
Berdasarkan besar kecilnya anak makamanifestasi klinis penderita
faringitis dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Anak yang lebih kecil
a) Demam
b) Malaise umum
c) Anoreksia
d) Sakit tenggorok sedang
e) Sakit kepala
f) Hiperemia ringan sampai sedang
2. Anak yang lebih besar
a) Demam(dapat mencapai 400C)
b) Sakit kepala
c) Anoreksia
d) Disfagia
e) Nyeri abdomen
f) Muntah
g) Faring edema, merah ringan
3. Hiperemia tonsil dan faring dapat meluas ke palatum lunak dan uvula
4. Sering menimbulkan eksudat folikuler yang menyebar dan menyatu
membentuk pseudomembran pada tonsil
5. Kelenjar servikal membesar dan nyeri tekan
Berdasarkan penyebabnya, manifestasi klinis faringitis dapat dibagi dua,
tetapi ada banyak tanda dan gejala yang tumpang tindih dan sulit dibedakan antara
satu bentuk faringitis dengan yang lain.
1. Faringtis Virus
a) Tanda awal: Demam, malaise, anoreksia dengan nyeri tenggorokan
sedang
b) Suara parau, batuk dan rinitis
c) Pada kasus berat dapat terbentuk ulkus kecil pada palatum lunak dan
dinding faring posterior.
d) Eksudat.
2. Faringitis Streptokokus
a) Pada anak umur lebih dari 2 tahun: Nyeri kepala, nyeri perut, muntah.
b) Demam 40oC kadang tidak tampak
c) Pembesaran tonsil dan tampak eksudat dan eritema faring
d) Disfagia
e) Kemerahan difus pada tonsil dan dinding penyangga tonsil dengan
bintik-bintik petekie palatum lunak, limfadenitis atau eksudasi
folikuler.
f. Alur diagnosis
1. Anamnesis
Demam akibat infeksi streptokokus biasanya lebih dari 380C.
Faringitis dengan penyebab bakteri dan virus biasanya bertahan dalam waktu 1
minggu, namun faringitis dengan penyebab noninfeksi biasanya lebih lama.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang terutama pada faringitis yaitu pemeriksaan
tanda vital dan pemeriksaan THT. Pada pemeriksaan tenggorokan, dapat
ditemukan adanya: Eksudat dan kemerahan pada tonsil, Bercak kemerahan
pada lidah. Pada pemeriksaan paru, dapat ditemukan beberapa tanda klinis
pada pasien dengan riwayat demam reumatik, yaitu pembengkakan sendi,
nyeri, nodul subkutan, murmur jantung.
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pada pemeriksaan dengan mempergunakan spatel lidah
Tampak tonsil membengkak, hiperemis, terdapat detritus, berupa
bercak (folikel, lakuna, bahkan membran). Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak.
2. Pemeriksaan Biopsi
Contoh jaringan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dari saluran
pernapasan (sekitar faring) dengan menggunakan teknik endoskopi.
Jaringan tersebut akan diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui
adanya peradangan akibat bakteri atau virus.
3. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum makroskopik, mikroskopik atau bakteriologik
penting dalam diagnosis etiologi penyakit. Warna bau dan adanya darah
merupakan petunjuk yang berharga.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Sel darah putih (SDP)
Peningkatan komponen sel darah putih dapat menunjukkan adanya
infeksi atau inflamasi.
b. Analisa Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat, perlu juga
mempelajari hal-hal diluar paru seperti distribusi gas yang diangkut
oleh sistem sirkulasi.
g. Penatalaksanaan
1. Terapi
Terapi terhadap penderita faringitis yang disebabkan oleh bakteri,
diberikan penisilin, dan jika pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan
eritromisin merupakan obat yang paling disarankan. Untuk menghindari infeksi
dari jamur maka diberikan solusi dengan nystatin 100.000 unit dua kali sehari.
Pada penderita yang disebabkan oleh virus maka diberikan aspiria,
acetominopher (tylenol) untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada
tenggorokan. Dianjurkan untuk beristirahat dirumah, karena faringitis yang
disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Kepada pasien
juga dianjurkan untuk mengurangi aktivitas sehari-hari dengan kata lain
beristirahat, mengkonsumsi cairan yang banyak, tidak meminum minuman
mengandung alkohol dan minuman yang dingin, kumur-kumur larutan NaCl
hangat setiap 2-3 jam untuk mengurangi keluhan rasa sakit, menghindari
makanan yang merangsang seperti cabai dan lain-lain.
2. Pengobatan
a) Untuk Faringitis Akut
Jika di duga atau ditunjukkan adanya penyebab bakterial, pengobatan dapat
mencakup pemberian Agens antimicrobial untuk streptokukus group A, penisilin
merupakan obat pilihan. Untuk pasien alergi terhadap penisilin atau yang
mempunyai organisme resisten terhadap eritromisin digunakan sefalosporin.
Antibiotik di berikan selama sedikitnya 10 hari untuk menghilangkan
streptokokus grup A dari orofaring. Diet cair atau lunak diberikan selama tahap
akut penyakit, tergantung pada nafsu makan pasien dan tingkat rasa tidak nyaman
yang terjadi bersama proses menelan. Kadang tenggorok sakit sehingga cairan
tidak dapat di minum dalam jumlah yang cukup dengan mulut. Pada kondisi yang
parah, cairan diberikan secara intravena. Sebaliknya, pasien didorong untuk
memperbanyak minum sedapat yang ia lakukan dengan minimal 2 sampai 3 liter
sehari.
b) Untuk Faringitis Kronik
Didasarkan pada penghitungan gejala, menghindari pemajanan terhadap
iritan, dan memperbaiki setiap gangguan saluran napas atas, paru atau jantung
yang mungkin mengakibatkan terhadap batuk kronik.
Kongesti nasal dapat dihilangkan dengan sprei nasal / obat-obatan yang
mengandung epinefrin sulfat (Afrin) atau fenilefrin hidroklorida (Neo-
Synphrine). Jika terdapat riwayat alergi, salah satu medikasi dekongestan
antihistamin seperti Drixarol/ Dimentapp, diminum setiap 4-6 jam. Malaise
secara efektif dapat dikontrol dengan aspirin / asetaminofen.
c)Pada Anak-anak
Bila anak menjadi gelisah, rewel, sulit tidur, lemah atau lesu karena gejala
radang tenggorokan ini, kita dapat membantu meredakan gejalanya. Tidak harus
selalu dengan obat, mungkin dengan tindakan yang mudah dan sederhana bisa
membantu menenangkan anak.
d) Nyeri menelan :
Banyak minum air hangat, obat kumur, lozenges, paracetamol untuk
meredakan nyeri
e) Demam
Banyak minum, paracetamol, kompres hangat atau seka tubuh dengan air
hangat.
f) Hidung tersumbat dan berair
Banyak minum hangat, anak diuap dengan baskom air hangat, tetes hidung
NaCl.
h. Preventif
Dalam beberapa kasus, radang tenggorokan karena virus baru sembuh
setelah 2 minggu. Yang diperlukan adalah kesabaran dan pengawasan orang tua
terhadap gejala anak. Bawalah anak ke dokter bila gejala terlihat makin berat;
anak tampak sulit bernapas, kebiruan pada bibir atau kuku, anak tampak gelisah
atau justru sangat mengantuk, atau anak batuk/demam berkepanjangan. Karena
hampir seluruh kasus disebabkan oleh virus, maka antibiotik biasanya tidak
dipergunakan. Infeksi oleh virus (misalnya batuk-pilek, radang tenggorokan)
sama sekali tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik. Infeksi virus akan sembuh
dengan sendirinya, tubuh akan melawan dengan sistem kekebalan tubuh.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan justru akan merugikan karena akan
membuat menjadi resisten dan antibiotik menjadi tidak mempan untuk melawan
infeksi saat dibutuhkan, terutama pada anak-anak
REFERENSI:
Adams, George L. 1997. Buku Ajar Penyakit THT, ed.6. Jakarta: EGC.
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, vol.2, ed.15. Jakarta: EGC.
Iskandar, Nurbaiti, dkk. 1993. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok,
ed.2. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 2008. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2008. Jakarta: EGC.
Sally Novrani Puteri ( 2013730174 )
TRAKEITIS
a. Definisi
Trakeitis adalah gangguan pada trakea, merupakan suatu infeksi akut saluran
pernapasan atas, yang disebabkan oleh bakteri, tidak melibatkan epiglotis, tetapi
seperti epiglotitis dan croup, trakeitis mampu menyebabkan obstruksi jalan napas
yang mengancam jiwa.
b. Patofisiologi
Trakeitis adalah peradangan yang terjadi pada trakea. Lokasi utama dari
penyakit ini ialah pada kartilago krikoid, bagian yang paling sempit pada trakea.
Trakeitis lebih sering ditemukan pada pasien anak dikarenakan ukuran dan bentuk
dari subglottic trachea (bagian trakea dibawah laring). Subglottis adalah bagian
tersempit dari jalan napas anak. Di jalan napas yang sempit ini, edema kecil
sekalipun dapat mengurangi diameter dari jalan napas anak, yang dapat
menyulitkan aliran udara masuk dan kerja pernapasan.
c. Epidemiologi
d. Etiologi
Staphylococcus Aureus adalah patogen yang paling banyak ditemui. Virus para
influenza tipe 1, Moraxell catarrhalis, dan H.influenzae juga dapat menyebabkan
infeksi ini.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi
selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini
akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala
sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi
sesak napas,retraksi, dan anak tampak gelisah juga bertambah berat pada malam
hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu 1 minggu. Anak akan sering menangis, rewel,
dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.
f. Alur Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit saluran napas atas yang
disebabkan oleh bakteri, yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk
batang, demam tinggi, dan sekresi jalan napas purulen dengan tidak adanya tanda-
tanda klasik epiglottitis. Kebanyakan penderita menjadi afebris dalam 2-3 hari
pemberian terapi antimikroba yang tepat, tetapi rawat inap di rumah sakit mungkin
diperlukan. Dengan berkurangnya edema mukosa dan sekresi purulen, penderita
dapat meneruskan terapi antibiotic dan oksigen.
g. Penatalaksanaan
h. Preventif
1. Makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, bila perlu diberi vitamin.
2. Selalu menjaga kebersihan dengan mencuci tangan saat ingin makan atau
beraktifitas.
3. Saat akan bersin atau batuk hendaklah menutup mulut dengan lengan atau
siku.
5. Imunisasi untuk influenza juga dapat mengurangi resiko terkena penyakit ini.
REFERENSI :
Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson ED.15 Vol.2
Hal. 1477. Jakarta:2000.
Marcdante, Karen J. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Ed.6. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Rahajoe, Nastiti N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
KESIMPULAN