Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
kemajuan Pembangunan Daerah. Kegiatan Tindakan Operasional Forensik adalah salah satu dari
Perencanaan Program yang ada di lingkungan POLRI yang juga dimaksudkan untuk kelancaran
pelaksanaan pencatatan dan pelaporan dan pelayanan penyidikan kasus kedokteran kehakiman.
Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh Pelaksana Kegiatan Forensik dalam memberikan
pelayanan penyidikan kasus kedokteran Kehakiman adalah belum adanya PERDA yang mengatur
tentang pembiayaan Visum Et Repertum atau Otopsi yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus-
kasus kedokteran kehakiman, sehingga POLRI tidak dapat menarik biaya yang dikeluarkan
selama penyidikan. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan kepada kasus kedokteran kehakiman di
Kepolisian belum optimal. Sejalan dengan hal itu perlu kiranya disediakan dana untuk penunjang
pelayanan bagi penyelesaian kasus Kedokteran Forensik berupa dana untuk Kegiatan Tindakan
Operasional Forensik meliputi biaya Tindakan Kedokteran dan biaya Transportasi Penyidikan ke
Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sesuai dengan Nota Dinas yang dikeluarkan oleh Kepolisian
Resort Lebak kepada Kepala Dinas Kesehatan Lebak perihal Permohonan Pengajuan Biaya
Visum Et Repertum dan Otopsi, maka disusunlah suatu petunjuk tekhnis pelaksanaan Kegiatan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang
keseluruhan ada diDinkes dan sebagian ada di Puskesmas. Wilayah Kerja dapat berdasarkan
B. Visi Puskesmas
C. Misi Puskesmas
Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya
2
Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya
D. Fungsi Puskesmas
E. Kedudukan
Sistem Kesehatan Nasional sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang
kecamatan. Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama sebagai mitra dan sebagai
pembina upaya kesehatan berbasis dan bersumberdaya masyarakat seperti Posyandu, Polindes,
D. Tata Kerja
E. Upaya Puskesmas
Ada dua upaya yang harus dilakukan puskesmas : UKM & UKP.
Upaya kesehatan Wajib : upaya berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta punya
daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta wajib diselenggarakan
6. Upaya Pengobatan
4
2. Upaya Kesehatan Olah Raga,
F. Azas Penyelenggaraan
keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya
Puskesmas
Azas Keterpaduan
Azas Rujukan
G. Manajemen Puskesmas
P1: Perencanaan
5
Rencana Usulan Kegiatan
Pengorganisasian
Penyelenggaraan
Pemantauan
Pertanggungjawaban
Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal secara merata
kedokteran forensik dan medikolegal berjenjang di rumah sakit dan puskesmas. Strategi ini
dikembangkan dan disesuaikan dengan kebijakan, standar, pedoman dan by-laws yang telah ada
memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal yang bersifat dasar, seperti
pelayanan pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban kekerasan fisik dan seksual, tata laksana
barang bukti dan pelayanan laboratorium forensik sederhana. Puskesmas juga diharapkan dapat
memberikan pembinaan kepada masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan sesuai kebutuhan
kesehatan sesuai dengan program kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Salah satu diantara
6
tugas itu adalah pemeriksaan terhadap jenazah yang meninggal dalam daerah cakupan
Puskesmas yang bersangkutan. Jika ada ada kematian warga yang tinggal atau meninggal dalam
cakupan wilayah suatu Puskesmas tertentu, maka keluarga orang yang meninggal tersebut
laporan tentang kematian tersebut wajib melakukan pemeriksaan atas jenazah tersebut dan
memberikan bantuan kepada keluarga orang yang meninggal tersebut untuk pengurusan jenazah
tersebut. Pada prinsipnya, penanganan jenazah yang meninggal akibat hal yang wajar (akibat
penyakit atau tua) berbeda dengan yang tidak wajar (akibat bunuh diri, kecelakaan atau
masyarakat, bertanggung jawab atas setiap kematian yang terjadi dalam wilayah kerjanya.
Sebagai salah satu konsekuensi dari tugas ini adalah adanya kewajiban setiap dokter Puskesmas
Kesehatan. Dengan demikian, setiap dokter Puskesmas sudah selayaknya memiliki pengetahuan
mengenai tata cara pemeriksaan jenazah serta pengurusan jenazah lainnya sehubungan dengan
tugasnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai tata laksana pemeriksaan luar jenazah dan
pencatatannya serta pengurusan jenazah selanjutnya, baik pada kematian wajar maupun tidak
wajar.
Pemeriksaan jenazah seyogyanya dilakukan sendiri oleh dokter karena pada prinsipnya
hanya dokterlah yang memiliki cukup pengetahuan untuk membedakan apakah suatu kematian
itu wajar atau tidak wajar. Begitu seorang dokter Puskesmas mendapatkan laporan mengenai
adanya kematian salah seorang warganya, maka dokter tersebut wajib melakukan pemeriksaan
7
luar atas jenazah tersebut. Dalam pelaporan kematian tersebut, ada kemungkinan dokter
Puskesmas merupakan orang yang pertama dilapori oleh kerabat almarhum (ah), tetapi bisa juga
keluarga melapor ke Puskesmas dengan membawa surat keterangan mati dari dokter praktek
atau surat pernyataan Death on Arrival (DOA) dari Rumah Sakit. Kasus-kasus ini tidak boleh
ditolak oleh dokter Puskesmas, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban yasng dibebankan
tersebut ada fasilitas untuk pemeriksaan tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, jika
pemeriksaan di Puskesmas tak mungkin dilakukan, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain,
baik di rumah almarhum ataupun di tempat lain yang memenuhi syarat. Pemeriksaan jenazah
harus dilakukan pada suatu tempat yang penerangannya baik. Sebelum dokter melakukan
untuk mencari data mengenai riwayat kematian, adanya gejala yang dikeluhkan atau diketahui
diderita almarhum menjelang kematiannya, adanya penyakit yang diderita baik yang baru
maupun yang lama serta adanya riwayat pengobatan atau minum obat sebelumnya. Dengan
pengetahuan dan pengalaman klinisnya, berdasarkan keterangan tersebut diatas, dokter dapat
meyakini kemungkinan adanya penyakit tertentu sebagai penyebab kematian orang tersebut.
Kesimpulan dokter ini merupakan titik awal untuk pencarian penyebab kematian yang lebih pasti
Pada setiap kasus kematian, dokter harus melakukan pemeriksaan luar jenazah secara
seksama, lengkap dan teliti. Jika pada pemeriksaan tersebut dokter tidak menemukan adanya
luka atau tanda kekerasan lainnya, tidak menemukan tanda-tanda keracunan dan anamnesisnya
mengarah pada kematian akibat penyakit, maka dokter dapat langsung memberikan surat
8
kematian (Formulir A) dan jenazahnya kepada keluarga korban. Dalam Formulir A, dokter
(ICD) sebagaimana tercantum pada bagian belakang Formulir A tersebut. Formulir A diperlukan
oleh keluarga korban untuk berbagai keperluan administrasi kependudukan, seperti untuk
administrasi dalam rangka penyimpanan jenazah, pengangkutan jenazah keluar kota/negeri serta
pembuatan Akte Kematian (yang diperlukan untuk pengurusan pembagian warisan, asuransi, izin
kawin lagi dsb). Jika oleh suatu alasan tertentu, keluarga ingin menyimpan jenazah lebih dari 24
jam sebelum dikubur atau dikremasi, maka demi keamanan lingkungan terhadap jenazah
selayaknya dilakukan pengawetan. Pada kasus kematian wajar akibat penyakit, pengawetan
jenazah dapat langsung dilakukan setelah pemeriksaan luar jenazah selesai dilakukan.
Pengawetan jenazah pada kasus ini terutama dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses
pembusukan, membunuh kuman serta mempertahankan bentuk mayat seperti pada keadaan
awalnya.
Jika pada pemeriksaan luar dokter menemukan adanya luka, adanya bau yang mencurigakan dari
mulut atau hidung, adanya tanda bekas suntikan tanpa riwayat berobat ke dokter, serta adanya
tanda keracunan lainnya, maka kasusnya kemungkinan merupakan kematian yang tidak wajar.
Kematian yang tidak wajar dapat terjadi pada kematian akibat kecelakaan, bunuh diri atau
pembunuhan. Pada kasus-kasus ini dokter sebaiknya hanya berpegang pada hasil pemeriksaan
fisik dan analisisnya sendiri dan bisa mengabaikan anamnesis yang bertentangan dengan
kesimpulannya. Biasanya pada kasus kematian tidak wajar, ada kecenderungan keluarga korban
9
untuk membohongi dokter dengan mengatakan korban meninggal akibat sakit, karena malu
(misalnya pada kasus bunuh diri, narkoba) atau karena mereka sendiri pelakunya (pada kasus
penganiayaan anak, pembunuhan dalam keluarga) atau takut berurusan dengan polisi (pada kasus
kecelakaan karena ceroboh). Dokter Puskesmas yang menemukan kasus dengan dugaan
kematian yang tidak wajar, berdasarkan Pasal 108 KUHAP, sebagai pegawai negeri (dokter PTT
dianggap sebagai pegawai negeri) wajib melaporkan kasus tersebut ke polisi resort (polres)
setempat. Pada kasus ini dokter Puskesmas TIDAK BOLEH memberikan surat Formulir A
kepada keluarga korban dan mayat tersebut harus ditahan sampai proses polisi selesai
Berdasarkan adanya laporan tersebut, penyidik berdasarkan pasal 133(1) KUHAP dapat
meminta bantuan dokter untuk melakukan pemeriksaan luar jenazah (pemeriksaan jenazah) atau
pemeriksaan luar dan dalam jenazah (pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi), dengan
mengirimkan suatu Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) jenazah kepada dokter tertentu.
Setiap dokter yang diminta untuk melakukan pemeriksaan jenazah di puskesmas oleh penyidik
WAJIB melakukan pemeriksaan sesuai dengan permintaan penyidik dalam SPV. Dokter yang
secara sengaja tidak melakukan pemeriksaan jenazah yang diminta oleh penyidik, dapat
dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9 bulan (pada kasus pidana) dan 6 bulan (pada
kasus lainnya) berdasarkan Pasal 224 KUHP. Dengan demikian, seorang dokter Puskesmas yang
mendapatkan SPV dari penyidik untuk melakukan pemeriksaan jenazah WAJIB melaksanakan
kewajibannya. Segera setelah menerima SPV dari penyidik, dokter harus segera melakukan
pemeriksaan luar terhadap jenazah tersebut. Jika pada SPV yang diminta adalah pemeriksaan
bedah jenazah, maka dokter pada kesempatan pertama cuma perlu melakukan pemeriksaan luar
10
jenazah saja. Selanjutnya dokter baru boleh melakukan pemeriksaan dalam (otopsi) setelah
keluarga korban datang dan menyatakan kesediaannya untuk dilakukannya otopsi terhadap
korban. Penyidik dalam hal ini berkewajiban untuk menghadirkan keluarga korban dalam 2 x 24
jam sejak mayat dibawa ke dokter Selewat tenggang waktu tersebut, jika keluarga tidak
ditemukan, maka dokter dapat langsung melaksanakan otopsi tanpa izin dari keluarga korban.
Pemeriksaan luar jenazah dalam rangka SPV dari penyidik harus dilakukan secara seksama,
selengkap dan seteliti mungkin, dan bila dianggap perlu dilengkapi dengan sketsa atau foto luka-
luka yang ditemukan pada tubuh korban. Untuk mencegah kemungkinan adanya data yang
terlewatkan, maka dokter yang melakukan pemeriksaan luar hendaknya berpedoman pada
Jika pemeriksaan yang diminta oleh penyidik hanya pemeriksaan luar jenazah
(pemeriksaan jenazah) saja, maka setelah pemeriksaan luar selesai dilakukan, mayat dan
Formulir A dapat langsung diserahkan kepada keluarga korban. Pada Formulir A tersebut, dokter
harus menyatakan bahwa penyebab kematian korban tidak dapat ditentukan karena tidak
dilakukan bedah jenazah sesuai dengan permintaan penyidik. Kesimpulannya harus demikian
karena pada kematian yang tidak wajar berlaku ketentuan bahwa penyebab kematian hanya
Jika penyidik meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan luar dan dalam (pemeriksaan bedah
jenazah atau otopsi), dan keluarga korban tidak menyetujuinya, maka dokter Puskesmas wajib
menjelaskan tujuan otopsi kepada keluarga korban. Dokter pada kesempatan tersebut hendaknya
Bahwa kewenangan meminta pemeriksaan dalam atau otopsi ada di tangan penyidik POLRI,
berdasarkan Pasal 133(1) KUHAP. Dokter yang diminta melakukan pemeriksaan jenazah hanya
11
melaksanakan kewajiban hukum, sehingga setiap keberatan dari pihak keluarga hendaknya
disampaikan sendiri ke penyidik yang mengirim SPV. Keputusan boleh tidaknya dilakukan
pemeriksaan luar saja pada kasus ini, ada di tangan penyidik. Jika penyidik mengabulkan
permohonan keluarga korban, kepada keluarga korban akan dititipkan surat pencabutan visum et
repertum, untuk diserahkan kepada dokter yang akan melakukan pemeriksaan jenazah. Dalam
hal ini, dokter hanya perlu melakukan pemeriksaan luar jenazah saja. Jika penyidik tidak
menyetujui keberatan keluarga korban, maka keluarga korban masih mempunyai dua pilihan,
yaitu menyetujui otopsi atau membawa pulang jenazah secara paksa (disebut Pulang Paksa)
dengan segala konsekuensinya. Jika keluarga menyetujui otopsi, maka untuk kasus di DKI
Jakarta, mayat akan dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Jika keluarga memilih pulang paksa, maka
mereka baru boleh membawa pulang jenazah setelah menandatangani Surat Pulang Paksa. Surat
Pulang Paksa merupakan surat yang menyatakan bahwa mayat dibawa pulang secara paksa oleh
keluarga korban dan bukan tanggung jawab dokter. Berdasarkan surat ini, maka keluarga korban
yang menandatangani surat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9
bulan karena menghalang-halangi pemeriksaan jenazah, berdasarkan Pasal 222 KUHP. Bagi
dokter surat ini penting, karena merupakan surat yang mengalihkan beban tanggung jawab atas
tidak terlaksananya pemeriksaan jenazah dari dokter ke keluarga korban. Atas dasar itulah, maka
surat ini harus disimpan baik-baik oleh dokter sebagai bukti pulang paksa, jika di kemudian hari
penyidik menanyakan Visum et Repertum kasus ini ke dokter. Untuk amannya, pada kasus
semacam ini dokter sebaiknya memberitahukan adanya pulang paksa ini ke penyidik yang
mengirim SPV sesegera mungkin. Dalam hal keluarga korban cenderung untuk memilih pulang
paksa, maka dokter hendaknya menerangkan terlebih dahulu konsekuensi pulang paksa kepada
12
keluarga korban, sebagai berikut :
Dokter tidak akan memberikan surat kematian (formulir A). Tanpa adanya surat formulir A,
maka keluarga korban akan mengalami kesulitan saat akan mengangkut jenazah keluar
kota/negeri, menyimpan jenazah di rumah duka atau saat akan mengubur atau melakukan
kremasi di tempat kremasi/kuburan umum. Karena tidak diberikan Formulir A, maka keluarga
korban tak dapat mengurus Akte Kematian korban di kantor Catatan Sipil. Akte Kematian
merupakan surat yang diperlukan untuk pengurusan berbagai masalah administrasi sipil, seperti
pencoretan nama dari Kartu Keluarga, dasar pembagian warisan, pengurusan izin kawin lagi bagi
pasangan yang ditinggalkan, pengajuan klaim asuransi dsb. Dokter tak akan melayani
permintaan keterangan medis dalam rangka pengajuan klaim asuransi sehubungan dengan
kematian korban. Dokter tidak akan membuat Visum et Repertum, sehingga kasus tersebut tidak
mungkin bisa dituntut di pengadilan. Di kemudian hari mayat dapat digali kembali jika penyidik
menganggap perlu dan jika hal itu dilakukan, maka biaya penggalian menjadi tanggungan pihak
keluarga korban. Keluarga yang membawa pulang mayat secara paksa dapat dikenakan sanksi
pidana menghalang-halangi pemeriksaan jenazah berdasarkan Pasal 222 KUHP dengan ancaman
Pada kasus kematian tidak wajar yang diotopsi, setelah dokter selesai melakukan
pemeriksaan dalam, mayat dan formulir A dapat segera diserahkan kepada keluarga korban.
kesimpulannya berdasarkan temuan otopsi. Dalam hal masih perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan sedangkan penyebab kematian belum dapat ditentukan, dokter hendaknya menulis
penyebab kematian belum dapat ditentukan. Jika terhadap mayat yang meninggal tidak wajar
perlu dilakukan pengawetan jenazah, maka pengawetan baru boleh dilakukan setelah mayat
13
selesai diperiksa sesuai dengan permintaan penyidik. Untuk kasus yang pulang paksa,
pengawetan jenazah TIDAK BOLEH dilakukan, karena tindakan pengawetan jenazah dapat
menyebabkan hilangnya banyak barang bukti biologis sehingga dapat menyulitkan penentuan
penyebab kematian jika kemudian mayatnya digali lagi. Dokter yang nekad melakukan
pengawetan pada kasus kematian tidak wajar sebelum proses polisi selesai, dapat dituntut oleh
penyidik karena secara sengaja menghilangkan barang bukti dari suatu tindak pidana.
14
BAB III
PENUTUP
mempunyai kewajiban untuk melakukan pemeriksaan jenazah yang dilaporkan meninggal atau
bertempat tinggal dalam wilayah cakupan Puskesmas tersebut. Hal yang pertama harus dilakukan
dokter setelah mendapatkan laporan kematian adalah melakukan pemeriksaan luar untuk
menentukan (1) benar tidaknya orang tersebut telah meninggal, (2) ada tidaknya luka-luka atau
tanda-tanda keracunan serta (3) mencari kemungkinan kematian akibat penyakit tertentu.
Jika setelah pemeriksaan luar dokter tidak menemukan adanya luka serta tanda kekerasan
lainnya, tak ada tanda yang mengarah pada kemungkinan keracunan dan tak ada kecurigaan
kematian akibat hal yang tidak wajar (karena bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan) dan
dokter telah dapat memperkirakan penyebab kematiannya akibat penyakit tertentu, maka dokter
dapat langsung membuat formulir A dan menyerahkan mayat kepada keluarganya. Pencatatan
pemeriksaan luar jenazah cukup dilakukan dalam buku khusus pencatatan kematian.
Jika pada pemeriksaan luar dokter mendapatkan adanya luka atau tanda kekerasan
lainnya, adanya dugaan keracunan atau adanya kecurigaan kematian terjadi akibat penyebab
yang tidak wajar (bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan), maka dokter wajib melaporkan
kematian tersebut ke polisi resort terdekat. Pada kasus semacam ini, penyidik akan mengirimkan
Surat Permintaan Visum et Repertum jenazah ke dokter, yang berisi permintaan pemeriksaan luar
15
jenazah (sering disebut pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan luar dan dalam jenazah (sering
disebut pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi). Dokter yang diminta oleh penyidik untuk
permintaan penyidik. Pada kasus ini pemeriksaan jenazah harus dilakukan secara teliti dan
lengkap dengan mengacu pada suatu laporan obduksi yang baku. Setelah selesai dilakukan
pemeriksaan, dokter membuat laporan pemeriksaan berupa Visum et Repertum jenazah. Pada
kasus ini pemberian Formulir A dan penyerahan jenazah kepada keluarganya baru dapat
16
DAFTAR PUSTAKA
Unsyiah/RSUDZA.
3. Aji, Jati Pulung.2008.Peranan Dokter Forensik dalam Praktek Peradilan Perkara Pidana.
Purworejo.
7. Soekanto, Soerjono dan Mohammad Kartono. 1983. Aspek Hukum dan Etika Kedokteran
8. Idries, AM. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik. Sagung Seto, Jakarta.
17
10. Muasyaroh 2003, tentang Peranan Dokter Forensik dalam Membantu
Proses Peradilan (Studi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang dan Pengadilan Negeri
Malang)
11. Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
12. Nugroho 2009, Tinjauan Hukum terhadap Pembuktian dengan Visum Et Repertum
13. Oemar Seno Adjie. 2000. Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana
14. Raharjo, Satjipto. 1997. Hukum Kesehatan. Dalam Amir Amri ( Ed ), Bunga Rampai
15. Singh. 2005. Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman Permasalahan Visum et
Sumatera Utara-Medan
18
19