You are on page 1of 19

PERANAN PELAYANAN FORENSIK DIPUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

Perencanaan program di puskesmas saat ini diarahkan pada kegiatan-kegiatan untuk

kemajuan Pembangunan Daerah. Kegiatan Tindakan Operasional Forensik adalah salah satu dari

Perencanaan Program yang ada di lingkungan POLRI yang juga dimaksudkan untuk kelancaran

pelaksanaan pencatatan dan pelaporan dan pelayanan penyidikan kasus kedokteran kehakiman.

Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh Pelaksana Kegiatan Forensik dalam memberikan

pelayanan penyidikan kasus kedokteran Kehakiman adalah belum adanya PERDA yang mengatur

tentang pembiayaan Visum Et Repertum atau Otopsi yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus-

kasus kedokteran kehakiman, sehingga POLRI tidak dapat menarik biaya yang dikeluarkan

selama penyidikan. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan kepada kasus kedokteran kehakiman di

Kepolisian belum optimal. Sejalan dengan hal itu perlu kiranya disediakan dana untuk penunjang

pelayanan bagi penyelesaian kasus Kedokteran Forensik berupa dana untuk Kegiatan Tindakan

Operasional Forensik meliputi biaya Tindakan Kedokteran dan biaya Transportasi Penyidikan ke

Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sesuai dengan Nota Dinas yang dikeluarkan oleh Kepolisian

Resort Lebak kepada Kepala Dinas Kesehatan Lebak perihal Permohonan Pengajuan Biaya

Visum Et Repertum dan Otopsi, maka disusunlah suatu petunjuk tekhnis pelaksanaan Kegiatan

tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang

bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja UPT

tugasnya adalah menyelenggarakan sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan. Pembangunan

Kesehatan maksudnya adalah penyelenggara upaya kesehatan. Pertanggung jawaban secara

keseluruhan ada diDinkes dan sebagian ada di Puskesmas. Wilayah Kerja dapat berdasarkan

kecamatan, penduduk, atau daerah terpencil.

B. Visi Puskesmas

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya

Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat.

Indikator Kecamatan Sehat:

(1) lingkungan sehat,

(2) perilaku sehat,

(3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu

(4) derajat kesehatan penduduk kecamatan

C. Misi Puskesmas

Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya

Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya

Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan

2
Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta

lingkungannya

D. Fungsi Puskesmas

Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan

Pusat Pemberdayaan Masyarakat

Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama

Pelayanan Kesehatan Perorangan

Pelayanan Kesehatan Masyarakat

E. Kedudukan

Sistem Kesehatan Nasional sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang

bertanggungjawab menyelenggarakan UKP dan UKM di wilayah kerjanya. Sistem Kesehatan

Kabupaten/Kota sebagai UPT Dinas Kesehatan yang bertanggungjawab menyelenggarakan

sebagian tugas pembangunan kesehatan Kabupaten/kota di wilayah kerjanya. Sistem adalah

sebagai unit pelaksana teknis dinasPemerintahan Daerah kesehatan kabupaten/kota yang

merupakan unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat

kecamatan. Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama sebagai mitra dan sebagai

pembina upaya kesehatan berbasis dan bersumberdaya masyarakat seperti Posyandu, Polindes,

Pos Obat Desa dan Pos UKK.

D. Tata Kerja

Kantor Camat koordinasi


3
Dinkes UPT bertanggung jawab ke Dinkes

Jaringan Pelayanan Kesehatan Strata Pertama sebagi mitra

Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat sebagai pembina

Jaringan Pelayanan Kesehatan Rujukan kerjasama

Lintas sektor koordinasi

Masyarakat perlu dukungan/partisipasi BPP (Badan Penyantun Puskesmas)

E. Upaya Puskesmas

Ada dua upaya yang harus dilakukan puskesmas : UKM & UKP.

Upaya kesehatan Wajib : upaya berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta punya

daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta wajib diselenggarakan

puskesmas di wilayah Indonesia.

Upaya Kesehatan Pengembangan : upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan

yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas

Upaya Kesehatan Wajib:

1. Upaya Promosi Kesehatan

2. Upaya Kesehatan Lingkungan

3. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana

4. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

5. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

6. Upaya Pengobatan

Upaya Kesehatan Pengembangan

1. Upaya Kesehatan Sekolah,

4
2. Upaya Kesehatan Olah Raga,

3. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat,

4. Upaya Kesehatan Kerja,

5. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut,

6. Upaya Kesehatan Jiwa

7. Upaya Kesehatan Mata,

8. Upaya Kesehatan Usia Lanjut,

9. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.

F. Azas Penyelenggaraan

Azas Pertanggungjawaban Wilayah bertanggung jawab meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya

Azas Pemberdayaan Masyarakat Puskesmas wajib memberdayakan perorangan,

keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya

Puskesmas

Azas Keterpaduan

Azas keterpaduan lintas program MTBS, UKS, PUSLING, POSYANDU

Azas Keterpaduan Lintas Sektor UKS, GSI, UKK

Azas Rujukan

Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan kasus, spesimen, ilmu pengetahuan

Rujukan Upaya Kesehatan Masyarakat sarana dan logistik, tenaga, operasional

G. Manajemen Puskesmas

P1: Perencanaan
5
Rencana Usulan Kegiatan

Rencana Pelaksanaan Kegiatan

P2: Pelaksanaan dan Pengendalian

Pengorganisasian

Penyelenggaraan

Pemantauan

P3: Pengawasan dan Pertanggungjawaban

Pengawasan internal dan eksternal

Pertanggungjawaban

H.Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di puskesmas

Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal secara merata

di Indonesia sesuai amanat undang-undang, terutama KUHAP dibuatlah strategi pelayanan

kedokteran forensik dan medikolegal berjenjang di rumah sakit dan puskesmas. Strategi ini

dikembangkan dan disesuaikan dengan kebijakan, standar, pedoman dan by-laws yang telah ada

sebelumnya. Upaya pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal di puskesmas ditujukan

memberikan pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal yang bersifat dasar, seperti

pelayanan pemeriksaan mayat, pemeriksaan korban kekerasan fisik dan seksual, tata laksana

barang bukti dan pelayanan laboratorium forensik sederhana. Puskesmas juga diharapkan dapat

memberikan pembinaan kepada masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan sesuai kebutuhan

dan ketentuan yang berlaku.

Setiap dokter Puskesmas di Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan pelayanan

kesehatan sesuai dengan program kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Salah satu diantara
6
tugas itu adalah pemeriksaan terhadap jenazah yang meninggal dalam daerah cakupan

Puskesmas yang bersangkutan. Jika ada ada kematian warga yang tinggal atau meninggal dalam

cakupan wilayah suatu Puskesmas tertentu, maka keluarga orang yang meninggal tersebut

mungkin melaporkan kematian tersebut ke Puskesmas. Dokter Puskesmas yang mendapat

laporan tentang kematian tersebut wajib melakukan pemeriksaan atas jenazah tersebut dan

memberikan bantuan kepada keluarga orang yang meninggal tersebut untuk pengurusan jenazah

tersebut. Pada prinsipnya, penanganan jenazah yang meninggal akibat hal yang wajar (akibat

penyakit atau tua) berbeda dengan yang tidak wajar (akibat bunuh diri, kecelakaan atau

pembunuhan). Dokter Puskesmas, sebagai petugas kesehatan pelayanan primer dalam

masyarakat, bertanggung jawab atas setiap kematian yang terjadi dalam wilayah kerjanya.

Sebagai salah satu konsekuensi dari tugas ini adalah adanya kewajiban setiap dokter Puskesmas

untuk secara berkala melaporkan kasus-kasus kematian di wilayah Puskesmasnya ke Dinas

Kesehatan. Dengan demikian, setiap dokter Puskesmas sudah selayaknya memiliki pengetahuan

mengenai tata cara pemeriksaan jenazah serta pengurusan jenazah lainnya sehubungan dengan

tugasnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai tata laksana pemeriksaan luar jenazah dan

pencatatannya serta pengurusan jenazah selanjutnya, baik pada kematian wajar maupun tidak

wajar.

I. Tugas Dokter Dipuskesmas

Pemeriksaan jenazah seyogyanya dilakukan sendiri oleh dokter karena pada prinsipnya

hanya dokterlah yang memiliki cukup pengetahuan untuk membedakan apakah suatu kematian

itu wajar atau tidak wajar. Begitu seorang dokter Puskesmas mendapatkan laporan mengenai

adanya kematian salah seorang warganya, maka dokter tersebut wajib melakukan pemeriksaan

7
luar atas jenazah tersebut. Dalam pelaporan kematian tersebut, ada kemungkinan dokter

Puskesmas merupakan orang yang pertama dilapori oleh kerabat almarhum (ah), tetapi bisa juga

keluarga melapor ke Puskesmas dengan membawa surat keterangan mati dari dokter praktek

atau surat pernyataan Death on Arrival (DOA) dari Rumah Sakit. Kasus-kasus ini tidak boleh

ditolak oleh dokter Puskesmas, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban yasng dibebankan

kepada dokter sebagai petugas Puskesmas.

Pemeriksaan jenazah oleh dokter dapat dilakukan di Puskesmas, jika di Puskesmas

tersebut ada fasilitas untuk pemeriksaan tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, jika

pemeriksaan di Puskesmas tak mungkin dilakukan, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain,

baik di rumah almarhum ataupun di tempat lain yang memenuhi syarat. Pemeriksaan jenazah

harus dilakukan pada suatu tempat yang penerangannya baik. Sebelum dokter melakukan

pemeriksaan, ia sebaiknya melakukan allo-anamnesis terhadap keluarga korban, khususnya

untuk mencari data mengenai riwayat kematian, adanya gejala yang dikeluhkan atau diketahui

diderita almarhum menjelang kematiannya, adanya penyakit yang diderita baik yang baru

maupun yang lama serta adanya riwayat pengobatan atau minum obat sebelumnya. Dengan

pengetahuan dan pengalaman klinisnya, berdasarkan keterangan tersebut diatas, dokter dapat

meyakini kemungkinan adanya penyakit tertentu sebagai penyebab kematian orang tersebut.

Kesimpulan dokter ini merupakan titik awal untuk pencarian penyebab kematian yang lebih pasti

berdasarkan hasil-hasil temuan pada pemeriksaan jenazah.

Pada setiap kasus kematian, dokter harus melakukan pemeriksaan luar jenazah secara

seksama, lengkap dan teliti. Jika pada pemeriksaan tersebut dokter tidak menemukan adanya

luka atau tanda kekerasan lainnya, tidak menemukan tanda-tanda keracunan dan anamnesisnya

mengarah pada kematian akibat penyakit, maka dokter dapat langsung memberikan surat

8
kematian (Formulir A) dan jenazahnya kepada keluarga korban. Dalam Formulir A, dokter

Puskesmas harus mencantumkan nomor penyakit yang diduganya merupakan penyebab

kematian, sesuai dengan klasifikasi penyakit dalam International Classification of Diseases

(ICD) sebagaimana tercantum pada bagian belakang Formulir A tersebut. Formulir A diperlukan

oleh keluarga korban untuk berbagai keperluan administrasi kependudukan, seperti untuk

administrasi dalam rangka penyimpanan jenazah, pengangkutan jenazah keluar kota/negeri serta

pembuatan Akte Kematian (yang diperlukan untuk pengurusan pembagian warisan, asuransi, izin

kawin lagi dsb). Jika oleh suatu alasan tertentu, keluarga ingin menyimpan jenazah lebih dari 24

jam sebelum dikubur atau dikremasi, maka demi keamanan lingkungan terhadap jenazah

selayaknya dilakukan pengawetan. Pada kasus kematian wajar akibat penyakit, pengawetan

jenazah dapat langsung dilakukan setelah pemeriksaan luar jenazah selesai dilakukan.

Pengawetan jenazah pada kasus ini terutama dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses

pembusukan, membunuh kuman serta mempertahankan bentuk mayat seperti pada keadaan

awalnya.

G. Pemeriksaan Kasus Kematian Tidak Wajar di Puskesmas

Jika pada pemeriksaan luar dokter menemukan adanya luka, adanya bau yang mencurigakan dari

mulut atau hidung, adanya tanda bekas suntikan tanpa riwayat berobat ke dokter, serta adanya

tanda keracunan lainnya, maka kasusnya kemungkinan merupakan kematian yang tidak wajar.

Kematian yang tidak wajar dapat terjadi pada kematian akibat kecelakaan, bunuh diri atau

pembunuhan. Pada kasus-kasus ini dokter sebaiknya hanya berpegang pada hasil pemeriksaan

fisik dan analisisnya sendiri dan bisa mengabaikan anamnesis yang bertentangan dengan

kesimpulannya. Biasanya pada kasus kematian tidak wajar, ada kecenderungan keluarga korban

9
untuk membohongi dokter dengan mengatakan korban meninggal akibat sakit, karena malu

(misalnya pada kasus bunuh diri, narkoba) atau karena mereka sendiri pelakunya (pada kasus

penganiayaan anak, pembunuhan dalam keluarga) atau takut berurusan dengan polisi (pada kasus

kecelakaan karena ceroboh). Dokter Puskesmas yang menemukan kasus dengan dugaan

kematian yang tidak wajar, berdasarkan Pasal 108 KUHAP, sebagai pegawai negeri (dokter PTT

dianggap sebagai pegawai negeri) wajib melaporkan kasus tersebut ke polisi resort (polres)

setempat. Pada kasus ini dokter Puskesmas TIDAK BOLEH memberikan surat Formulir A

kepada keluarga korban dan mayat tersebut harus ditahan sampai proses polisi selesai

dilaksanakan. Dokter Puskesmas sebaiknya tidak memberikan pernyataan mengenai penyebab

kematian korban ini sebelum dilakukan pemeriksaan otopsi terhadap jenazah.

Berdasarkan adanya laporan tersebut, penyidik berdasarkan pasal 133(1) KUHAP dapat

meminta bantuan dokter untuk melakukan pemeriksaan luar jenazah (pemeriksaan jenazah) atau

pemeriksaan luar dan dalam jenazah (pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi), dengan

mengirimkan suatu Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) jenazah kepada dokter tertentu.

Setiap dokter yang diminta untuk melakukan pemeriksaan jenazah di puskesmas oleh penyidik

WAJIB melakukan pemeriksaan sesuai dengan permintaan penyidik dalam SPV. Dokter yang

secara sengaja tidak melakukan pemeriksaan jenazah yang diminta oleh penyidik, dapat

dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9 bulan (pada kasus pidana) dan 6 bulan (pada

kasus lainnya) berdasarkan Pasal 224 KUHP. Dengan demikian, seorang dokter Puskesmas yang

mendapatkan SPV dari penyidik untuk melakukan pemeriksaan jenazah WAJIB melaksanakan

kewajibannya. Segera setelah menerima SPV dari penyidik, dokter harus segera melakukan

pemeriksaan luar terhadap jenazah tersebut. Jika pada SPV yang diminta adalah pemeriksaan

bedah jenazah, maka dokter pada kesempatan pertama cuma perlu melakukan pemeriksaan luar

10
jenazah saja. Selanjutnya dokter baru boleh melakukan pemeriksaan dalam (otopsi) setelah

keluarga korban datang dan menyatakan kesediaannya untuk dilakukannya otopsi terhadap

korban. Penyidik dalam hal ini berkewajiban untuk menghadirkan keluarga korban dalam 2 x 24

jam sejak mayat dibawa ke dokter Selewat tenggang waktu tersebut, jika keluarga tidak

ditemukan, maka dokter dapat langsung melaksanakan otopsi tanpa izin dari keluarga korban.

Pemeriksaan luar jenazah dalam rangka SPV dari penyidik harus dilakukan secara seksama,

selengkap dan seteliti mungkin, dan bila dianggap perlu dilengkapi dengan sketsa atau foto luka-

luka yang ditemukan pada tubuh korban. Untuk mencegah kemungkinan adanya data yang

terlewatkan, maka dokter yang melakukan pemeriksaan luar hendaknya berpedoman pada

formulir laporan obduksi.

Jika pemeriksaan yang diminta oleh penyidik hanya pemeriksaan luar jenazah

(pemeriksaan jenazah) saja, maka setelah pemeriksaan luar selesai dilakukan, mayat dan

Formulir A dapat langsung diserahkan kepada keluarga korban. Pada Formulir A tersebut, dokter

harus menyatakan bahwa penyebab kematian korban tidak dapat ditentukan karena tidak

dilakukan bedah jenazah sesuai dengan permintaan penyidik. Kesimpulannya harus demikian

karena pada kematian yang tidak wajar berlaku ketentuan bahwa penyebab kematian hanya

dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan dalam (otopsi atau bedah jenazah).

Jika penyidik meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan luar dan dalam (pemeriksaan bedah

jenazah atau otopsi), dan keluarga korban tidak menyetujuinya, maka dokter Puskesmas wajib

menjelaskan tujuan otopsi kepada keluarga korban. Dokter pada kesempatan tersebut hendaknya

memberikan beberapa keterangan sebagai berikut:

Bahwa kewenangan meminta pemeriksaan dalam atau otopsi ada di tangan penyidik POLRI,

berdasarkan Pasal 133(1) KUHAP. Dokter yang diminta melakukan pemeriksaan jenazah hanya

11
melaksanakan kewajiban hukum, sehingga setiap keberatan dari pihak keluarga hendaknya

disampaikan sendiri ke penyidik yang mengirim SPV. Keputusan boleh tidaknya dilakukan

pemeriksaan luar saja pada kasus ini, ada di tangan penyidik. Jika penyidik mengabulkan

permohonan keluarga korban, kepada keluarga korban akan dititipkan surat pencabutan visum et

repertum, untuk diserahkan kepada dokter yang akan melakukan pemeriksaan jenazah. Dalam

hal ini, dokter hanya perlu melakukan pemeriksaan luar jenazah saja. Jika penyidik tidak

menyetujui keberatan keluarga korban, maka keluarga korban masih mempunyai dua pilihan,

yaitu menyetujui otopsi atau membawa pulang jenazah secara paksa (disebut Pulang Paksa)

dengan segala konsekuensinya. Jika keluarga menyetujui otopsi, maka untuk kasus di DKI

Jakarta, mayat akan dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Jika keluarga memilih pulang paksa, maka

mereka baru boleh membawa pulang jenazah setelah menandatangani Surat Pulang Paksa. Surat

Pulang Paksa merupakan surat yang menyatakan bahwa mayat dibawa pulang secara paksa oleh

keluarga, sehingga tidak terlaksananya pemeriksaan jenazah merupakan tanggung jawab

keluarga korban dan bukan tanggung jawab dokter. Berdasarkan surat ini, maka keluarga korban

yang menandatangani surat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penjara selama-lamanya 9

bulan karena menghalang-halangi pemeriksaan jenazah, berdasarkan Pasal 222 KUHP. Bagi

dokter surat ini penting, karena merupakan surat yang mengalihkan beban tanggung jawab atas

tidak terlaksananya pemeriksaan jenazah dari dokter ke keluarga korban. Atas dasar itulah, maka

surat ini harus disimpan baik-baik oleh dokter sebagai bukti pulang paksa, jika di kemudian hari

penyidik menanyakan Visum et Repertum kasus ini ke dokter. Untuk amannya, pada kasus

semacam ini dokter sebaiknya memberitahukan adanya pulang paksa ini ke penyidik yang

mengirim SPV sesegera mungkin. Dalam hal keluarga korban cenderung untuk memilih pulang

paksa, maka dokter hendaknya menerangkan terlebih dahulu konsekuensi pulang paksa kepada

12
keluarga korban, sebagai berikut :

Dokter tidak akan memberikan surat kematian (formulir A). Tanpa adanya surat formulir A,

maka keluarga korban akan mengalami kesulitan saat akan mengangkut jenazah keluar

kota/negeri, menyimpan jenazah di rumah duka atau saat akan mengubur atau melakukan

kremasi di tempat kremasi/kuburan umum. Karena tidak diberikan Formulir A, maka keluarga

korban tak dapat mengurus Akte Kematian korban di kantor Catatan Sipil. Akte Kematian

merupakan surat yang diperlukan untuk pengurusan berbagai masalah administrasi sipil, seperti

pencoretan nama dari Kartu Keluarga, dasar pembagian warisan, pengurusan izin kawin lagi bagi

pasangan yang ditinggalkan, pengajuan klaim asuransi dsb. Dokter tak akan melayani

permintaan keterangan medis dalam rangka pengajuan klaim asuransi sehubungan dengan

kematian korban. Dokter tidak akan membuat Visum et Repertum, sehingga kasus tersebut tidak

mungkin bisa dituntut di pengadilan. Di kemudian hari mayat dapat digali kembali jika penyidik

menganggap perlu dan jika hal itu dilakukan, maka biaya penggalian menjadi tanggungan pihak

keluarga korban. Keluarga yang membawa pulang mayat secara paksa dapat dikenakan sanksi

pidana menghalang-halangi pemeriksaan jenazah berdasarkan Pasal 222 KUHP dengan ancaman

hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.

Pada kasus kematian tidak wajar yang diotopsi, setelah dokter selesai melakukan

pemeriksaan dalam, mayat dan formulir A dapat segera diserahkan kepada keluarga korban.

Dalam Formulir A, dokter hendaknya menuliskan penyebab kematian sesuai dengan

kesimpulannya berdasarkan temuan otopsi. Dalam hal masih perlu dilakukan pemeriksaan

lanjutan sedangkan penyebab kematian belum dapat ditentukan, dokter hendaknya menulis

penyebab kematian belum dapat ditentukan. Jika terhadap mayat yang meninggal tidak wajar

perlu dilakukan pengawetan jenazah, maka pengawetan baru boleh dilakukan setelah mayat

13
selesai diperiksa sesuai dengan permintaan penyidik. Untuk kasus yang pulang paksa,

pengawetan jenazah TIDAK BOLEH dilakukan, karena tindakan pengawetan jenazah dapat

menyebabkan hilangnya banyak barang bukti biologis sehingga dapat menyulitkan penentuan

penyebab kematian jika kemudian mayatnya digali lagi. Dokter yang nekad melakukan

pengawetan pada kasus kematian tidak wajar sebelum proses polisi selesai, dapat dituntut oleh

penyidik karena secara sengaja menghilangkan barang bukti dari suatu tindak pidana.

14
BAB III
PENUTUP

Sebagai penanggung jawab kesehatan dalam wilayah Puskesmas, dokter Puskesmas

mempunyai kewajiban untuk melakukan pemeriksaan jenazah yang dilaporkan meninggal atau

bertempat tinggal dalam wilayah cakupan Puskesmas tersebut. Hal yang pertama harus dilakukan

dokter setelah mendapatkan laporan kematian adalah melakukan pemeriksaan luar untuk

menentukan (1) benar tidaknya orang tersebut telah meninggal, (2) ada tidaknya luka-luka atau

tanda-tanda keracunan serta (3) mencari kemungkinan kematian akibat penyakit tertentu.

Jika setelah pemeriksaan luar dokter tidak menemukan adanya luka serta tanda kekerasan

lainnya, tak ada tanda yang mengarah pada kemungkinan keracunan dan tak ada kecurigaan

kematian akibat hal yang tidak wajar (karena bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan) dan

dokter telah dapat memperkirakan penyebab kematiannya akibat penyakit tertentu, maka dokter

dapat langsung membuat formulir A dan menyerahkan mayat kepada keluarganya. Pencatatan

pemeriksaan luar jenazah cukup dilakukan dalam buku khusus pencatatan kematian.

Jika pada pemeriksaan luar dokter mendapatkan adanya luka atau tanda kekerasan

lainnya, adanya dugaan keracunan atau adanya kecurigaan kematian terjadi akibat penyebab

yang tidak wajar (bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan), maka dokter wajib melaporkan

kematian tersebut ke polisi resort terdekat. Pada kasus semacam ini, penyidik akan mengirimkan

Surat Permintaan Visum et Repertum jenazah ke dokter, yang berisi permintaan pemeriksaan luar

15
jenazah (sering disebut pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan luar dan dalam jenazah (sering

disebut pemeriksaan bedah jenazah atau otopsi). Dokter yang diminta oleh penyidik untuk

melakukan pemeriksaan jenazah WAJIB melakukan pemeriksaan tersebut, sesuai dengan

permintaan penyidik. Pada kasus ini pemeriksaan jenazah harus dilakukan secara teliti dan

lengkap dengan mengacu pada suatu laporan obduksi yang baku. Setelah selesai dilakukan

pemeriksaan, dokter membuat laporan pemeriksaan berupa Visum et Repertum jenazah. Pada

kasus ini pemberian Formulir A dan penyerahan jenazah kepada keluarganya baru dapat

dilakukan setelah pemeriksaan selesai dilakukan menurut permintaan penyidik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Mulyo, R Cahyono Adi.2006.Perananan Dokter dalam Proses Penegakan Hukum

Kesehatan.Universitas Negeri Semarang.

2. Suryadi,Taufik. 2009. Pengantar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Buku

Penuntun Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal.Banda Aceh: FK

Unsyiah/RSUDZA.

3. Aji, Jati Pulung.2008.Peranan Dokter Forensik dalam Praktek Peradilan Perkara Pidana.

Purworejo.

4. Amir,Amri.2007. Ilmu Kedokteran Forensik.Medan:Bagian Ilmu Kedokteran Forensik

dan Medikolegal Fakultas Kedokteran USU.

5. Sampurna, Budi.2009. Kedokteran Forensik Ilmu dan Profesi.Universitas Indonesia.

6. Hamdani, Nyowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman, edisi kedua, Jakarta.

7. Soekanto, Soerjono dan Mohammad Kartono. 1983. Aspek Hukum dan Etika Kedokteran

Di Indonesia. Jakarta : Grafitti Press.

8. Idries, AM. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik. Sagung Seto, Jakarta.

9. Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan, Rambu-rambu Bagi Profesi Kedokteran.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

17
10. Muasyaroh 2003, tentang Peranan Dokter Forensik dalam Membantu

Proses Peradilan (Studi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang dan Pengadilan Negeri

Malang)

11. Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika

12. Nugroho 2009, Tinjauan Hukum terhadap Pembuktian dengan Visum Et Repertum

13. Oemar Seno Adjie. 2000. Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana

Dokter. Jakarta : Grafitti Press.

14. Raharjo, Satjipto. 1997. Hukum Kesehatan. Dalam Amir Amri ( Ed ), Bunga Rampai

Hukum Kesehatan. Jakarta : Sinar Grafika.

15. Singh. 2005. Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman Permasalahan Visum et

Repertum. Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara-Medan

18
19

You might also like