You are on page 1of 12

FILOSOFI EKONOMI ISLAM

Allah telah menghalalkan bagimu jual-beli, dan mengharamkan


bagimu riba (QS. Al Baqarah: 275)

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan


harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka (QS. At
Taubah: 111)

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan


untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. (QS. Lukman:
20)

Urgensi Ekonomi

Ekonomi merupakan sebuah aktivitas dasar manusia dalam rangka memenuhi naluri
mereka untuk tetap bertahan hidup semampu mereka di dunia ini. Mereka melakukan apa
saja yang mereka mampu, sehingga segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dan
terlayani dengan maksimal. Pelayanan kebutuhan ini pun terus berkembang bukan hanya
jenis pelayanan dari variasi kebutuhan, tapi juga kualitas pemenuhan kebutuhan itu
sendiri.

Dari dua penggal pertama kalimat Allah SWT yang ada dalam kitab-Nya Al Quran
diatas, tergambar dua maksud yang diinginkan Allah SWT terhadap manusia yang tengah
menjalani masa hidupnya di dunia. Pertama, bahwa aktivitas manusia dalam bertahan
hidup untuk mencapai kemenangan dunia-akhirat salah satu tumpuannya adalah pada
aktivitas ekonomi, dan aktivitas utama ekonomi adalah jual-beli. Kedua, bahwa segala
aktivitas ekonomi tersebut tidak lepas dari konsep ibadah kepada Allah SWT. Maksud
kedua ini juga menjelaskan bahwa ekonomi dalam Islam memiliki dimensi yang lebih
luas dari ruang lingkup ekonomi konvensional, yaitu dimensi ekonomi tidak hanya
melingkupi logika-logika dunia tetapi juga logika-logika akhirat. Sementara itu, pada
penggal terakhir dari firman Allah SWT diatas, ditegaskan bahwa untuk kepentingan
kehidupan manusia tersebut Allah SWT menyediakan segala keperluan mereka di dunia
(dari apa yang disediakan di langit dan di bumi), baik keperluan lahir maupun bathin.
Dan memang dalam Islam kesejahteraan pada hakikatnya terdiri atas kesejahteraan lahir
dan kesejahteraan bathin.

Dan dalam praktek ibadah, Islam memiliki prinsip-prinsip dan aturan-aturannya sendiri,
ia memiliki konsekwensi yang khas. Islam tidak memenjara hak individu secara mutlak,
tapi juga tidak membebaskan mereka secara total sehingga dapat menganiaya manusia
lain dan lingkungannya. Islam mengatur aktivitas kehidupan secara moderat dengan asas
keadilan dan keseimbangan, sehingga keselamatan terjaga, kesejahteraan dirasakan dan
kedamaian didapatkan (baik pada dimensi dunia maupun dimensi akhirat).
Dalam Islam bentuk konkrit dari kesuksesan manusia dalam hidupnya adalah menjadi
penghuni syurga. Dan untuk mendapatkan itu Islam memiliki aturan, prinsip atau bahkan
konsekwensi-konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh manusia baik secara individual
maupun secara kolektif, pada seluruh aktivitas hidupnya termasuk ekonomi. Dalam
aktivitas ekonomi, Islam memiliki sistem yang sempurna bagi manusia untuk
memperoleh kesuksesan hidup tadi. Sistem yang ditawarkan Islam ini lebih luas
cakupannya jika dibandingkan dengan sistem yang dimiliki konvensional. Sistem ini
tidak hanya meliputi mekanisme praktis (sistem ekonomi), tapi juga prilaku moral
manusia; individual dan kolektif.

Jadi dalam buku ini akan dibahas secara sistematis dari pembahasan filosofi ekonomi
dalam perspektif Islam, hingga aplikasi sistem ekonomi, baik yang sifatnya individual
seperti prilaku ekonomi (economic behavior) maupun yang sifatnya kolektif seperti peran
dan fungsi negara, dari pembahasan moral prilaku, hingga mekanisme regulasi-institusi
dalam sistem ekonomi. Buku ini menggunakan dua pendekatan dalam penulisannya,
yaitu pendekatan teoritis bersandar pada prinsip-prinsip baku akidah, akhlak dan syariah
Islam serta pendekatan empiris menggunakan informasi sejarah sosio-ekonomi dan
budaya Islam dilengkapi dengan fenomena ekonomi terkini sebagai informasi pendukung
dan pelengkap. Memaklumi bahwa hingga kini belum ada satupun negara muslim yang
menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif, diharapkan fakta-fakta sejarah
perekonomian yang pernah dilakukan oleh generasi Islam masa lalu, dapat memberikan
gambaran yang lebih baik dalam memahami teori-teori ekonomi Islam. Sehingga
informasi sejarah diharapkan juga menjadi inspirasi penting atas praktek ekonomi yang
mampu memberikan solusi atas masalah-masalah ekonomi modern saat ini.

Masalah Ekonomi Kontemporer

Sudah begitu banyak analisa yang selalu menampilkan kesimpulan bahwa perekonomian
kontemporer memiliki banyak sekali kelemahan, bahkan ada yang mengkategorikan
bahwa perekonomian kontemporer cenderung berbahaya secara jangka panjang bagi
kehidupan manusia dari beragam sudut pandang. Dari analisa yang bersifat kritis pada
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh perekonomian dunia kontemporer (kapitalis),
hasil pembangunan semu yang memanjakan sekelompok kecil dari masyarakat sampai
pada kekacauan sistem ekonomi dunia yang bukan hanya memporak-porandakan
kehidupan ekonomi tapi juga merusak tatanan social-budaya dalam pergaulan umat
manusia, telah menjadi wacana hangat dalam diskusi-diskusi ekonomi saat ini.

Kehancuran sistem perekonomian sebagai konsekwensi ekstrim dari kesalahan internal


sistem tersebut, merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Hal ini yang
menjadi argumentasi mengapa sistem ekonomi marxis hanya mampu bertahan setengah
abad dalam mengatur aktivitas ekonomi manusia. Bagaimana dengan kapitalisme?
Dengan alasan yang sama, kebangkrutan tentu juga kemudian menjadi sebuah hipotesa
yang wajar bagi kapitalisme.
Alasan ini dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi1, beliau mengungkapkan bahwa
karakteristik dua sistem ekonomi; marxis dan kapitalis, adalah dua titik ekstrim yang
saling bertolak belakang. Dimana marxis menempatkan negara sebagai pengatur mutlak
dalam perekonomian, ia membelenggu hak dan kebebasan individu dalam aktivitas
ekonomi. Sementara kapitalis sebaliknya, kebebasan menjadi nafas dari ekonomi, dimana
keadaan ini memungkinkan terjadinya eksploitasi antar pelaku ekonomi. Atau bahkan
bisa juga terjadi eksploitasi sistem terhadap subjek-subjek ekonomi akibat kesalahan
internal yang ada pada sistem tersebut. Kerancuan-kerancuan sistem ekonomi
kontemporer akan terus dimunculkan dalam bab-bab buku ini. Sedangkan Islam memiliki
karakteristik pertengahan jika dibandingkan dengan dua sistem ekonomi tadi. Sistem
ekonomi Islam mengakui kebebasan hak individu dalam ekonomi, bahkan melindungi hal
tersebut dari ketidakadilan dan kezaliman. Namun dalam interaksinya, prioritas utama
terletak pada kepentingan kolektif dengan menggunakan parameter syariah yang khas.

Dengan runtuhnya sistem ekonomi sosialis yang ditandai dengan kebangkrutan dan
bubarnya negara komunis di belahan bumi Eropa Timur dan Uni Soviet, perekonomian
kapitalis menjadi dominan berperan dalam mengatur aktivitas ekonomi dunia. Maka
memang menjadi wajar ketika kritisasi kebijakan ekonomi kemudian terfokus pada
sistem kapitalis ini. Namun tetap saja kritisasi tadi memerlukan jawaban dan respon yang
tepat ketika secara ilmiah dan nyata sistem kapitalis tidak dapat memainkan perannya
dalam menata kehidupan ekonomi dunia.

Sejauh ini memang telah begitu mendalam dan detil kritikan muncul terhadap kebijakan-
kebijakan ekonomi kapitalis, terlebih ketika hasil yang disuguhkan oleh sistem ini tidak
memberikan tatanan ekonomi yang kokoh dan sustainable. Kesenjangan ekonomi,
kemiskinan, pengangguran, jerat hutang, ketimpangan kekuatan ekonomi berikut
masalah-masalah sosial yang muncul seperti, kriminalitas, pelacuran, perjudian dan lain
sebagainya, menjadi indikator-indikator negatif yang populer dalam fenomena
perekonomian kapitalis.

Fenomena Sosial Dari Kapitalisme

Ekonomi kapitalis berperan dengan nyata dalam membuat kecenderungan konsumeristik,


materialistik dan individualistik dalam masyarakat dunia yang kemudian menggerogoti
perekonomian, terlihat dari variabel-variabel seperti corak konsumsi, jenis dan variasi
produk, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan lain-lain.

Nilai-nilai yang dibawa atau yang kemudian terbentuk oleh sistem kapitalis pada awalnya
tidak disadari dengan begitu baik oleh para ekonom, namun ketika sistem ini telah
mewujud dalam aktivitas ekonomi dengan demikian kompleksnya, nilai-nilai tersebut
membentuk fenomena tersendiri dalam aktivitas sosial manusia. Nilai-nilai seperti yang
telah disebutkan muncul menjadi sebuah anomali yang kemudian dirasakan mengganggu
kinerja ekonomi.

1
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Rabbani Press, Jakarta, 1995.
Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul dalam ekonomi seperti kesenjangan
sosial, kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, konflik sosial dan lain-lain, masih terus
menjadi rapor merah yang mengacaukan prediksi-prediksi pembangunan. Di satu sisi
kesemua variabel negatif tadi menjadi sasaran tembak dari semua aktivitas pembangunan
ekonomi, namun pada sisi yang lain pembangunan itu sendiri, melalui nilai-nilainya,
relatif memperbesar kecenderungan variabel negatif tadi. Misalnya saja nilai egoistik,
individualistik atau materialistik dari kapitalisme yang mendorong pelaku pasar untuk
mengesampingkan nilai-nilai altruisme, seperti kebersamaan, tolong-menolong dan
kedermawanan, karena terfokus pada sasaran kepuasan individu yang maksimal.
Sementara kepuasan maksimal ini definisinya terbatas pada besar kecilnya materi yang
dapat dimiliki atau dikonsumsi. Sehingga dapat kemudian disimpulkan bahwa tanpa
disadari, ternyata nilai-nilai yang ada dalam kapitalisme memberikan kecenderungan
yang kontradiktif dari apa yang menjadi tujuan pembangunan fisik ekonominya.

Hingga kini kapitalisme belum mampu mengatasi fenomena ini. Dari analisa sederhana,
sementara pihak berpendapat bahwa fenomena ini tidak akan mampu diselesaikan dengan
baik oleh kapitalisme karena nilai-nilai tadi merupakan nilai dasar bagi kapitalisme untuk
berkembang, baik secara keilmuan maupun aplikasinya. Jadi dari sudut pandang sistem,
kerancuan dan instability telah built in dalam tubuh kapitalisme berupa nilai-nilai
dasarnya sendiri.

Bahkan seiring dengan perkembangan ekonomi berupa fasilitas dan segala kemudahan
didukung oleh kemajuan teknologi bukan semakin membuat peradaban yang terbangun
oleh kapitalisme menjadi lebih baik, tapi semakin menunjukkan paradoks-paradok
kemajuan ekonomi. Semakin maju ekonomi semakin tak terlihat kemajuan pada sisi
moral yang digambarkan oleh kualitas dan kuantitas interaksi diantara manusia sebagai
subjek dan objek pembangunan ekonomi.

Hal ini juga menjadi salah satu faktor perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan sistem
ekonomi kapitalis (konvensional) yang nanti kita akan jelaskan pada bab-bab selanjutnya.
Dalam Islam sistem ekonominya memiliki asumsi-asumsi awal bahwa manusia
hendaknya mengerti, memahami dan mengikuti nilai, prinsip dan aturan yang ada dalam
Islam.2 Artinya segala prilaku manusia dalam aktivitas ekonomi bersumber dari akidah
dan akhlak yang ada dalam Islam. Hal ini berdasarkan alasan bahwa manusia itu
menyadari diri mereka lemah dan bodoh, sehingga memerlukan faktor eksternal yang
dapat menjaga mereka agar selalu berada dalam kebenaran. Dan Islam sebagai nilai hidup
diyakini cukup sempurna untuk menjadi faktor eksternal tadi.

Sementara sistem ekonomi kapitalis, berasumsi bahwa nilai-nilai awal yang digunakan
adalah nilai yang memang telah menjadi kecenderungan bebas manusia3, artinya ia tidak
2
Hal ini yang juga merupakan salah-satu konsekwensi dari posisi afiliasi kepada Islam. Ketika manusia
meyakini Islam sebagai sistem hidupnya, maka segala prilaku ekonominya harus menyesuaikan diri dengan
sistem yang ia yakini itu, karena keduanya ; prilaku ekonomi dan sistem hidup ada dalam satu semesta
sistem yang sama yaitu Islam.
3
Ini pula yang selalu didalihkan para penganut kapitalis bahwa system ekonomi tersebut adalah system
yang bebas nilai, dan dapat digunakan siapa saja. Namun ketika unsure bebas nilai tersebut kemudian
menggerogoti system ekonomi, baik dari kecenderungan negatif dari fitrah manusia maupun dari
terikat pada sebuah idiologi, ajaran, nilai-nilai tertentu diluar diri manusia. Dan pada
masa interaksinya dalam sistem kapitalis ini, nilai-nilai tadi mengkristal dalam sebuah
formula nilai yang lebih spesifik yaitu nilai-nilai yang mengikuti kecenderungan sistem
kapitalis, seperti materislistik, individualistik dan egoistik.

Contoh yang sangat jelas adalah ketika kapitalisme mendefinisikan kepuasan ekonomi
direpresentasikan oleh jumlah materi yang dapat manusia miliki.4 Kemudian disadari atau
tidak, materi yang dimiliki tersebut menjadi parameter status sosial pelaku ekonomi, dan
bahkan menurut Umer Chapra (2000)5 parameter tersebut kini menjelma menjadi nilai
atau norma dalam aktivitas perekonomian kontemporer (konvensional).

Umer Chapra (2000) juga mengungkapkan dalam sistem ekonomi konvensional terdapat
kesenjangan atau lebih tepat disebut kontradiksi antara kecenderungan pribadi pada
tingkat mikroekonomi dengan tujuan-tujuan kolektif makroekonomi. Masalah yang
ditimbulkan akibat kontradiksi ini, seperti tak tercapainya full employment dan
pertumbuhan ekonomi yang sustainable, juga tidak dapat dipecahkan oleh pemikir
konvensional baik mazhab klasik maupun Keynessian.

Namun perlu diakui bahwa ekonomi konvensional mengandung kebenaran-kebenaran


yang bersifat universal. Tapi perlu dibedakan kebenaran-kebenaran tersebut dengan
konsekwensi-konsekwensi logis dari filosofi, nilai dasar dan paradigma ekonomi
konvensional, sehingga dalam membangun mekanisme ekonomi Islam tidak terjadi
kebingungan dan kerancuan, seperti terjebak pada usaha-usaha pemadanan apa yang ada
di konvensional.

Fenomena Ekonomi Dari Kapitalisme


Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif
bagi peradaban ummat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi,
variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya
yang signifikan dalam sejarah peradaban ummat manusia. Namun terlepas dari hal itu
semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme
memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif
yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.

Selama abad 20, yaitu masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya
pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan
bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-
implikasi negatif. Jeratan utang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang
semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor
keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia.6 Bahkan krisis-krisis

kecenderungan yang dibentuk oleh system itu sendiri, system kapitalis tidak dapat memberikan jalan
keluar. Karena secara logika yang menggerogotinya adalah nilai dasarnya sendiri, ketika ia ingin merubah
niali dasar tadi berarti ia kemudian merubah kapitalisme itu sendiri.
4
Hal ini dijelaskan dalam mikroekonomi pada pembahasan teori kepuasan (marginal utility theory).
5
Umer Chapra, Future of Economics: An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, United Kingdom,
2000/1420 H.
6
Lihat bahasan lengkapnya pada bab riba dan implikasinya.
ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods, semakin tinggi
frekuensi kekerapannya.

Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis


menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia,
bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap
sekelompok negara yang lain. Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan
oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga
menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi
diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi
eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, social budaya dan bahkan politik.

Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi merupakan sebuah kewajaran,


baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut
dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya. Artinya bahwa
sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi
yang ada, sehingga diperlukan sebuah kebijakan (treatments) yang kemudian secara tak
langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun kenapa krisis kini semakin sering
terjadi ? Hal ini kontradiktif dengan hipotesa pakar ekonomi di atas. Kesimpulan yang
sangat masuk akal adalah ada yang salah dengan sistem yang dianut.

Ketidakmampuan sistem ekonomi kapitalis melayani kebutuhan manusia, baik secara


individu maupun kolektif, membuat beberapa kalangan terutama pakar ekonomi,
merekomendasikan sebuah perubahan sistem, perubahan arsitektur, yang harus diambil
oleh para pemimpin dunia atau lembaga-lembaga ekonomi dunia dalam membangun
perekonomiannya.

Roy Culpeper (1999)7 dalam artikelnya mengatakan dengan tegas dan jelas bahwa
kesalahan bukanlah terletak pada manusia-manusia dibalik pembuatan kebijakan dalam
sebuah sistem perekonomian, tapi adalah sistem itu sendiri yang menjadi sumber dari
semua kekacauan ekonomi.

It is the system that is at fault rather than particular actors--or, as


Robert Wade put it metaphorically, widespread accidents are caused by
the "design of the road network" rather than the "bad habits of certain
drivers." In the Briefing paper I wrote for the North-South Institute in
June 1998, I characterized the problem as "systemic instability." This
instability has been brought on by the relentless drive by certain
governments--led by the US and its G-7 groupies--and pressures from
the financial industry itself, to liberalize the financial sector and capital-
account transactions around the world.

7
Roy Culpeper, New Economic Architecture: Getting The Right Specs, Remarks to the Canadian
American Research Centre Faculty of Law, University of Windsor, The North-South Institute, February 15,
1999.
Bahkan dengan kondisi yang ada saat ini, Barberton dan Lane (1999)8 memprediksikan
sebuah kisis yang akan memukul sistem keuangan barat hingga keakarnya. Hal ini
dikarenakan pasar kredit dan modal yang berkembang begitu cepat dengan sedikit
transparansi dan pertanggung jawaban. Mereka berpendapat bahwa sistem finansial barat
sejak awal 1970-an sudah sangat tergantung dengan hutang (debt addiction). Sehingga
kecenderungan yang ada dari sistem kapitalis khususnya yang ada pada sector
keuangannya, membuat bangunan perekonomian barat semakin rentan (vulnerable).

Ekonomi Dalam Islam

Pada dasarnya praktek ekonomi Islam sudah mulai dilakukan semenjak masa kenabian
Rasulullah Muhammad SAW. Secara bertahap teori, syariat dan praktek perekonomian
Islam terus terbangun seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Setelah Rasulullah
wafat, generasi Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti
Utsmaniyyah, Kerajaan Mamalik di Mesir, Kerajaan Murabithin dan Muwahhidin di
Maroko dan Kerajaan Mongol di India dan Asia, telah mempraktekkan dan
mengembangkan sistem perekonomian Islam yang memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran.

Banyak ahli dan penulis sejarah Islam yang meragukan eksistensi berfungsinya sistem
perekonomian Islam dan mekanisme sistem syariah secara keseluruhan, karena fakta
konflik politik, korupsi pejabat dan kesewenangan penguasa pada masa masa itu.
Namun Dr. Yusuf Qardhawi membantah analisa ini.9 beliau mengakui bahwa fenomena
negatif tadi terjadi tapi itu merupakan dinamika wajar sebuah negara atau sebuah
peradaban. Tapi bukan berarti mekanisme syariah tidak berjalan. Aplikasi zakat,
pelarangan riba, jual beli, sewa menyewa, institusi Baitul Mal, Lembaga Hisbah dan
lain-lain, semua itu berjalan dan wujud. Sehingga kesewenangan dan konflik politik yang
melekat pada rezim Islam klasik tidak berarti sistem syariah tidak berjalan, harus
dibedakan dua permasalahan tersebut. Kadangkala ketika membaca satu paragraf tentang
sejarah sebuah kesultanan atau kisah seorang sultan yang penuh dengan konflik dan
kesewenangan, maka secara tak sadar seorang pembaca akan memiliki persepsi bahwa
konflik tersebut memenuhi masa usia kesultanan atau berlangsung selama sultan tersebut
berkuasa, dan menutup semua fakta kebaikan yang terjadi pada sisi lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah Islam pada masa lampau telah
memberikan data yang kaya tentang aplikasi ekonomi Islam pada semua sisi kehidupan
dengan variasi bentuk dan intensitasnya seiring dengan waktu dan tempatnya. Namun tak
kalah penting juga adalah memahami kondisi masyarakat Islam ketika sistem ekonomi
Islam teraplikasi mengatur aktivitas dan melayani kebutuhan mereka. Kondisi masyarakat
ini meliputi kualitas keimanan, kemajuan tingkat pendidikan, peran sentral ulama dan
cerdik pandai dari komunitas terkecil hingga tingkat negara.

Sudah menjadi kesimpulan banyak analisa sejarah bahwa kemunduran peradaban Islam
tidak terlepas dari kemunduran akhlak atau keimanan masyarakat Islam yang begitu

8
Peter Barberton dan Allen Lane, Excerpts from Debt and Delusion, The Pinguin Press, 1999, pp.260-261.
9
Yusuf Qardhawi, Distorsi Sejarah Islam, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2005.
terlihat pada gaya hidup mereka yang mengagung agungkan kemegahan harta.10 Dan
ini kemudian menjadi sumber malapetaka bagi keruntuhan dominasi peradaban Islam
yang berlangsung belasan abad lamanya, baik dominasi politik maupun dominasi
ekonomi dan budaya.

Oleh karena itu, berkaca dari sejarah ini tentu perhatian pada pembinaan keimanan baik
individu maupun pada tingkat masyarakat menjadi sangat penting dalam rangka
mewujudkan kembali perekonomian Islam di dunia ini. Kita lihat saja contoh sederhana
yang ditunjukkan oleh Rasulullah, dimana Beliau melakukan pembinaan keimanan
terlebih dahulu pada generasi pertama Islam di Mekkah & Madinah selama 13 tahun.
Setelah itu selama 10 tahun Beliau mulai menerapkan ketentuan ketentuan syariat dan
selama itu terlihatlah kemajuan Islam dalam hal politik dan ekonomi. Artinya Rasulullah
menerapkan strategi penguatan individu dan masyarakat pada sisi spiritual terlebih
dahulu, baru setelah itu Beliau mulai membangun sistem kemasyarakatan yang bersifat
materi.

Islam telah menggariskan dengan sangat jelas bahwa fungsi manusia baik secara individu
maupun secara kolektif dalam hidup dan kehidupannya adalah beribadah. Dan muara
yang dituju dari segala aktivitas dunia mereka adalah kebahagiaan dan kedamaian dunia-
akhirat (falah).

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (QS. Adz Dzariyaat: 56)

Dan definisi ibadah yang dimaksud adalah ibadah yang merujuk pada definisi yang Allah
SWT gariskan dan Rasulullah SAW contohkan, ia tidak muncul dari interpretasi bebas
manusia. Ibadah memiliki nilai (akidah), asumsi prilaku (akhlak) dan aturan (syariah)
yang jelas dalam risalah Islam. Ketika tidak merujuk pada hal ini maka ia memiliki
konsekwensi jelas yaitu tidak akan menuju pada kebahagiaan dan kedamaian dunia-
akhirat (falah).

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut


apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan
kepada kamu (QS. Al Maidah: 49)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (QS. An Nisaa:
105)

10
Rasulullah Muhammad SAW sendiri telah memperingatkan manusia melalui hadits beliau bahwa
kemunduran Islam pada generasi setelah beliau adalah akibat penyakit wahn yang menghinggapi
masyarakat muslim, yaitu penyakit cinta dunia takut mati.
Merujuk pada paradigma ini, ekonomi dalam Islam tak lebih dari sebuah aktivitas ibadah
dari rangkaian ibadah pada setiap jenis aktivitas hidup manusia. Jadi dapat disimpulkan
bahwa ketika ada istilah ekonomi Islam, yang berarti beraktivitas ekonomi menggunakan
aturan dan prinsip Islam, dalam aktivitas ekonomi manusia, maka ia merupakan ibadah
manusia dalam berekonomi. Begitu juga dalam jenis-jenis aktivitas lain, misalnya politik
Islam merupakan ibadah manusia dalam berpolitik, hukum Islam merupakan ibadah
manusia dalam beraktivitas hukum. Begitu seterusnya hingga tak ada sisi kehidupan
manusia yang tidak ada nilai ibadah, atau dengan kata lain tidak ada sisi hidup dan
kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam.

Secara prakteknya sistem konvensional memfokuskan aktivitas ekonomi pada pemecahan


masalah ekonomi yang utama yaitu masalah kelangkaan (scarcity). Masalah ini timbul
menurut konvensional karena ada perbedaan antara kebutuhan manusia (yang tak
terbatas) dan faktor-faktor produksi yang tersedia (yang relatif terbatas). Apakah ini juga
yang menjadi perhatian ekonomi Islam?

Sistem ekonomi Islam meyakini bahwa Allah SWT menciptakan alam raya, termasuk
bumi beserta isinya, cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia. Sehingga
kelangkaan pada dasarnya tidak menjadi masalah dalam perspektif ekonomi Islam.

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan


untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. (QS. Lukman:
20)

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan
sebagiannya kamu makan. (QS. An Nahl: 5)

Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman;


zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan (QS. An
Nahl: 11)

Masalah kelangkaan ini sebenarnya cukup masuk akal dan wajar ketika dasar
argumennya menggunakan asumsi kepentingan dan kepuasan individu dengan sistem
pasar bebas. Namun mekanisme tersebut akan terlihat tidak relevan dan bahkan pada
akhirnya akan tercipta kecenderungan ketidakadilan. Bahwa ada individu-individu yang
tidak memiliki akses ekonomi akhirnya akan dipandang sebagai parasit bagi
perekonomian karena memang sistem ekonomi tidak mengakomodasi keberadaan
mereka. Sementara itu asumsi dan ruang lingkup ekonomi Islam tidak hanya terbatas
pada individu tapi juga pada mekanisme kolektifitas. Sehingga masalah kelangkaan
sebenarnya tidak pernah terjadi ketika meknisme kolektifitas dilakukan dengan benar.

Itulah mengapa Allah SWT dengan tegas mengungkapkan:


Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan.
(QS. An Najm: 48)

Allah tidak akan menyusahkan manusia selama manusia mengikuti apa yang telah
dituntunkan dalam Quran dan Sunnah. Artinya selama manusia menjalani aktivitas
ekonomi menggunakan mekanisme Allah SWT, maka masalah ekonomi tidak akan
menjadi beban mereka untuk dapat beribadah secara maksimal kepada Allah SWT.

Pada perspektif lain, masalah kelangkaan yang menjadi fokus masalah ekonomi
konvensional diperkuat oleh Robert Malthus dalam teorinya yang terkenal. Teori Malthus
menyebutkan bahwa populasi manusia bertambah menurut deret hitung sementara faktor
produksi bertambah sesuai deret ukur. Sehingga secara logis akan terlihat bagaimana
faktor produksi tidak dapat menghasilkan semua barang yang ingin dikonsumsi manusia.

Sebagai tambahan dari pemikiran konvensional tentang kelangkaan, dapat dilihat dalam
paragraph yang dituliskan oleh Samuelson dan Nordhaus dibawah ini.11

Intisari ilmu ekonomi adalah kebenaran tak terbantah yang kita sebut
hukum kelangkaan, yang mengatakan bahwa semua barang bersifat
terbatas karena sumber daya yang diperlukan tidak cukup untuk
menghasilkan semua barang yang ingin dikonsumsi manusia.

Jika dianalisa lebih dalam teori Malthus ini lebih terkesan mengabaikan kemampuan
manusia dalam mencari dan mengembangkan faktor-faktor produksi, baik melalui
kemampuan usaha maupun kemampuan teknologi. Artinya dengan kelebihannya manusia
memiliki kemampuan dalam mencari dan mengembangkan faktor-faktor produksi untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Atau mungkin Malthus sudah memperhitungkan ini
juga, sehingga ia beranggapan bahwa daya kreasi manusia pun pertumbuhannya masih
dibawah pertumbuhan jumlah manusia itu sendiri.

Padahal daya kreasi manusia yang menjadi sebab adanya daya tahan hidup merupakan
kelebihan manusia yang cukup kuat mempengaruhi aktivitas kehidupan (terutama
ekonomi) mereka. Dan hal ini diperkuat oleh firman Allah SWT:

Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah kami ciptakan. (QS. Al Isra: 70)

Disamping itu perlu diingat bahwa ada perbedaan makna dalam kalimat pemenuhan
barang yang ingin dikonsumsikan manusia dan pemenuhan barang yang dibutuhkan
manusia. Artinya disini perlu dipahami bahwa titik perhatian ekonomi Islam lebih
terletak pada kebutuhan, bukan keinginan, yang memang bermakna lebih luas atau
bahkan tak terbatas jika dibandingkan dengan kata kebutuhan.

11
Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, Makro-Ekonomi, Edisi Keempatbelas, Erlangga Jakarta,
1995. pp. 9-10.
Selain itu, penggunaan sudut pandang yang lebih bersifat individualistik membuat logika
yang digunakan Malthus menjadi sangat rasional. Keinginan seseorang yang memang
bersifat abstrak dan relatif tidak memiliki batas tidak akan mampu ditandingi oleh faktor-
faktor produksi yang bersifat konkrit. Sehingga komparasi keduanya memunculkan
masalah ekonomi yang diidentifikasi oleh konvensional sebagai masalah kelangkaan.

Masalah ekonomi juga bukan sekedar bersumber dari isu pilihan (choice). Sebab tidak
sedikit manusia sebagai pelaku ekonomi pada kenyataannya tidak memiliki alternatif
pilihan sama sekali. Jadi sangat tidak adil ketika sistem ekonomi dalam teori dan
prakteknya, hanya mengakomodasi manusia-manusia yang memiliki pilihan, memiliki
pendapatan (modal), dan memiliki akses pada perekonomian.12

Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki pilihan? Apakah cukup dengan kebijakan
negara? Atau harus dengan sebuah kemestian sistem, artinya sistem ekonomi yang dianut
memang memiliki porsi dalam mekanismenya bagi mereka (yang tak memiliki pilihan)
untuk beraktivitas ekonomi. Sistem ekonomi Islam dalam hal ini mengakomodasi semua
kondisi ekonomi, baik lingkungan maupun pelakunya. Khususnya bagi mereka yang
tidak memiliki pilihan atau akses, Islam menawarkan mekanisme zakat sebagai
kemestian sistem untuk memecahkan masalah ekonomi mereka, di samping beberapa
kebijakan ekonomi negara yang memang ditujukan pada mereka.

Sehingga yang relatif menjadi potensi untuk menjadi masalah adalah distribusi harta yang
tidak merata, yang diberikan Allah SWT kepada masing-masing manusia. Ketika
penyikapan manusia baik secara individu maupun kolektif tidak benar, maka akan
menimbulkan masalah-masalah, bukan hanya ekonomi tapi juga masalah sosial.
Penyikapan terhadap harta inilah yang kemudian menjadi titik perhatian sistem ekonomi
Islam. Pengaturan ekonomi Islam terhadap perhatian ini begitu menyeluruh, dari
penyikapan individu, keluarga masyarakat hingga negara.

Namun pendistribusian harta (rezeki) yang tidak merata oleh Allah SWT bukanlah
dilakukan tanpa maksud. Itu sebenarnya merupakan sebuah sunnatullah, bahkan pada
perspektif tertentu merupakan tanda kasih-sayang Allah pada hamba-Nya. Misalnya
dengan keadaan tersebut manusia dianjurkan untuk saling berinteraksi dengan baik,
saling mengasihi, bersyukur atas keadaan yang telah diberikan Allah SWT pada diri
mereka. Nah, atas dasar paradigma ibadah interaksi inilah yang kemudian menjadi
perhatian sistem ekonomi Islam.

Salah satu titik perbedaan filosofis yang kemudian berpengaruh pada perbedaan
pengembangan dalam aplikasi sistem ekonomi Islam dan konvensional adalah eksistensi
nilai iman (beliefs) sebagai inspirasi motif prilaku ekonomi manusia. Nilai iman bukan
sekedar bermakna keyakinan, tetapi juga memahami betul dan secara konsisten sejalan

12
Karakteristik inilah yang yang menjadi warna kental pada perekonomian kapitalis, tergambar dalam
definisi ekonomi dan teori-teori prilaku ekonomi (economic behavior). Sementara itu perekonomian
sosialis marxis menjadikan alasan tersebut untuk mengembangkan system ekonomi yang sebaliknya
(daripada kapitalis), mengekang segala kebebasan ekonomi individu dengan menerapkan system ekonomi
yang terpusat pada kewenangan negara.
dengan nilai aqidah, akhlaq dan ketentuan-ketentuan syariah Islam. Artinya iman
meliputi keyakinan sekaligus juga komitmen atau kepatuhan serta konsistensi amal
shaleh.

Keberadaan nilai iman dalam prilaku ekonomi manusia inilah yang kemudian membuat
aktivitas perekonomian menjadi cukup berbeda antara Islam dan konvensional. Diyakini
bahwa nilai inilah yang kemudian membuat ego dan faktor rasional materialism menjadi
inferior dalam memotivasi prilaku ekonomi manusia. Sehingga selain corak dan bentuk
aplikasi seperti ketentuan-ketentuan syariah berupa zakat dan pelarangan riba, fluktuasi
nilai iman juga menjadi penentu jurang perbedaan perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dan konvensional.

Kesimpulan

Permasalahan ekonomi dalam Islam lebih terletak pada perputaran harta (wealth-income
distribution) dibandingkan dengan masalah kelangkaan dan pilihan. Ekonomi selain
merefleksikan aktifitas yang berhubungan dengan prilaku individu dalam usaha
memelihara hidup, juga sebagai proses interaksi diantara manusia dalam kerangka
kolektifitas untuk kemashlahatan bersama. Orientasi ekonomi tidak sempit hanya tertuju
pada pencapaian materi, tapi juga pencapaian spiritual. Ekonomi merupakan salah satu
wajah ibadah dalam bentuk muamalah, dimana tujuan akhir ekonomi dalam perspektif
Islam tak lain adalah mendapatkan keselamatan, kedamaian, kemenangan atau
kesejahteraan dunia dan akhirat (falah). Untuk memperoleh falah dalam Islam tentu harus
merujuk pada segala tuntunan Allah SWT mengenai falah, yang telah digariskan dalam
syariat-Nya.

Dengan demikian, agama dan ekonomi dalam Islam tidak bisa dipisahkan. Keduanya
merupakan entitas yang sama. Hal ini menunjukkan juga bahwa ilmu dan agama memang
bukan sesuatu yang berbeda, penegasan ini juga membuktikan keyakinan integralitas
keilmuan. Agama yang merepresentasikan kebenaran sejalan dengan sifat ilmu yang juga
sudah sepatutnya menjelaskan sebuah fenomena kebenaran. Dan muara dari kebenaran
tak lain dan tak bukan adalah pengakuan keberadaan, kekuasaan dan kemuliaan Tuhan.

You might also like