You are on page 1of 42

BAB I

DATA KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Usia : 74 tahun

Agama : Islam

Tgl masuk : 17 Mei 2017

Pekerjaan : Pensiunan

Anamnesa (Alloanamnesis, 11 Desember 2014, 10.30 WIB)

Keluhan Utama : penurunan kesadaran

Perjalanan penyakit : saat sedang menonton tv pasien tiba-tiba sulit berbicara disertai wajah
mencong ke arah kiri menurut cerita dari keluarga pasien. Sebelumnya
tidak ada nyeri kepala, kejang (-), kesemutan (-), baal (-). Bicara pelo
(+), pusing berputar (-), baal sekitar mulut (-), gelap mendadak (-).
Badan terasa pegal (-), sakit sendi (-). BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Os merasakan sakit seperti ini pertama kali.

RPD : riwayat menderita hipertensi diakui keluarga pasien sejak 5 tahun.


Pasien tidak rutin berobat dan jarang mengontrol sakit HT ini. Penyakit
jantung, ginjal, diabetes disangkal oleh keluarga pasien.

RPK : keluarga pasien menyangkal bahwa terdapat riwayat penyakit


keluarga seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal
ataupun keganasan.

R Pengobatan : Os sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan HT.

R Psikososial : Pasien maakan teratur 3 x sehari. Pasien sering berolahraga


bulutangkis setiap hari minggu.

Pemeriksaan Fisik (11 Desember 2014, 10.30 WIB)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis tidak adekuat


Tanda-tanda vital :

nadi : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,2 C
TD : 180/100 mmHg

Status Generalis

Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-).
Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah (-/-).
Mulut : bibir kering (-), bibir simetris, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid (-).
Thoraks

Paru

Inspeksi : simetris, retraksi dinding dada (-/-)

Palpasi : vocal fremitus kedua paru sama

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS 5 midclavikula sinistra

Perkusi : Batas kanan jantung ICS 4, linea parasternalis dextra

Batas kiri jantung ICS 4, linea midclavikularis sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : bentuk datar

Auskultasi : BU (+) normal pada 4 kuadran

Perkusi : timpani pada seluruh abdomen, asites (-)

2
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri epigastrium (-), hepar, lien tidak
teraba.

Extremitas
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : Compos Mentis

- Kaku Kuduk : (-)

- Lasegue sign : (-)

- Kernig sign : (-)

- Brudzinski I : (-)

- Brudzinski II : (-)

- Patrick : (-)

- Kontrapatrick: (-)

N. cranialis Dextra Sinistra

N.I
(Olfaktorius) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Daya pembau
N.II (Optikus)
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang Normal Normal
Pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi

3
N.III
(Okulomotorius)
- -
Ptosis 3 mm 3 mm
Ukuran Pupil Bulat (isokor) Bulat (isokor)
Bentuk Pupil
Gerakan Bola
Mata Normal Normal
- Atas Normal Normal
- Bawah Normal Normal
- Medial + +
Refleks Cahaya + +
- Direk
- Indirek

N. Cranialis Dextra Sinistra

N.IV (Trokhlearis)
Gerakan Mata Normal Normal
Ke Medial
Bawah

N.V (Trigeminus)
Menggigit + +
Membuka Mata Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
Refleks Kornea Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

N.VI (Abdusens)
Gerakan Mata Normal Normal
Ke Lateral

4
N. cranialis Dextra Sinistra

N.VII (Fasialis)
Kerutan Kulit Dahi Normal Normal
Lipatan Nasolabialis Normal lebih rendah
Menutup Mata Normal Normal
Mengangkat Alis Normal Normal
Menyeringai Normal tertinggal
Daya Kecap Lidah Tidak Dilakukan
2/3 Depan

N.VIII
(Vestibulokokhleari
s) Tidak dilakukan
Tes Bisik Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Schwabach

Dextra Sinistra

N.IX
(Glosofaringeus
) & X (Vagus)
Daya Kecap Tidak dilakukan
Lidah 1/3 Normal Normal
Belakang
Uvula Secara Tidak dilakukan
Pasif Tersedak
Refleks Muntah
Menelan

5
N.XI
(Aksesorius) Normal Normal
Memalingkan Normal Normal
Kepala
Mengangkat
Bahu
N.XII
(Hipoglosus) - Deviasi
Deviasi Lidah - -
Atrofi Otot -
-
Lidah
Fasikulasi Lidah

MOTORIK

Kekuatan Otot :

D S

555 555
5 5

555 555
5 5

SENSORIK

6
Nyeri : Ektremitas Atas : dextra : Normal ; sinistra : Normal

Ekstremitas Bawah : dextra : Normal ; sinistra : Normal

Raba : Ektremitas Atas : dextra : Normal ; sinistra : Normal

Ekstremitas Bawah : dextra : Normal ; sinistra : Normal

Suhu : Ektremitas Atas : Tidak dilakukan

Ekstremitas Bawah : Tidak dilakukan

FUNGSI VEGETATIF

Miksi : baik

Defekasi : baik

FUNGSI LUHUR

Afasia motorik (-)

Afasia sensorik (-)

REFLEK FISIOLOGI

Reflek bisep : (+/+)

Reflek trisep : (+/+)

Reflek patella : (+/+)

Refleks tendo Achiles : (+/+)

REFLEK PATOLOGIS

Babinski : (-/-)

7
Chaddock : (-/-)

Oppenheim : (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Foto CT-Scan :

Gambaran lesi hiperdens didaerah pons sinistra

RESUME :

Os laki-laki usia 74 tahun datang dengan keluhan wajah mencong ke kiri. Wajah
mencong ke kiri mendadak saat sedang menonton tv disertai bicara pelo. Kejadian ini
dialami pertama kali. Pemeriksaan neurologis didapatkan parase N. VII dan N. XII
sinistra. Refleks fisiologis dan reflek patologis normal tidak ada keluhan. Nilai
kekuatan motorik 5 pada seluruh ekstremitas dextra dan ekstremitas sinistra.

Diagnosa :

Stroke perdarahan intraserebral sistem carotis sinistra dengan faktor risiko hipertensi,
lesi di pons hemisfer sinistra

Penatalaksanaan :

Posisikan kepala 30, posisi kepala dan dada satu bidang


O2 nasal 2L/menit
NGT
Katater intermitten
Inf/ assering
Manitol 250 150 - 150
Citicolin 125 mg (2 x 1)
Captopril 3 x 25 mg
Ranitidin 2 x 1 amp

8
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA KASUS

A. Definisi
Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu
sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak.
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan
oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di
bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang
antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya
pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada
struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).
B. Epidemiologi

Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang
lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan
Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition Examination
Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang
kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.

C. Faktor Risiko

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral spontan


yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia
darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan
dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :

1. Hipertensi

Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang


memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima
dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan mikrohematoma dan
edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan aneurisma-aneurisma kecil
(diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal
sebagai aneurisma Charcot Bouchard.

10
2. Cerebral Amyloid Angiopathy

Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai
oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri
kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah
arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan
lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit
amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap
faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.

3. Arteriovenous Malformation

4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma


yang hipervaskular.

Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.


lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat
pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral

D. Patofisiologi
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang
otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna).

11
Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh
darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom.
Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema
pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau
penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka
gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi
pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
E. Gejala klinis
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah
di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur
sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut.
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi
frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi
secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami
koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel,
ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan
muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada
PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan
sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala
dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat
mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus
stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.
F. Pemeriksaan Fisik

Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik
seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli
pada kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya
tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid
(adanya darah di ruang preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan
subarakhnoid) yang mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk
terdapat pada 48% kasus PIS.

Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae


ke arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak
horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan

12
berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke
bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.

Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi
unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di
thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di
mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil
negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada
perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke,


sedang pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi
sentral neurogenik. Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan
pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula
oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien dalam stadium
agonal.

G. DIAGNOSIS
PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi
Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan
ocular bobbing.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya
sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif
Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih
terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke
lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral
neurogenik
Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola
pernafasan apneustik
Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang
tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral

13
serta progresif dan fatal. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan
koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral,
kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala,
mual dan muntah jarang.

H. Penanganan Perdarahan Intraserebral


Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus
mendapat pengobatan untuk :
1. Normalisasi tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang.
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan
karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi
terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut
autoregulasi dari aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik
maupun oleh tekanan intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan
terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan
otak.
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma
pada 16 penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah
sistolik. Tekanan darah sistolik 160 mmHg tampak berhubungan dengan
penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik
150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila
perdarahan tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang
disebabkan oleh efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi
perdarahan yang luas meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama
yang bila dilakukan segera setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas.
Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang

14
sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan
kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS
yang besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang
menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan
tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan
terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga
kelompok :
1. Perdarahan progresif fatal.
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat
tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya,
gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat
efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan.
Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-
tanda peninggian TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus
berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang
tepat, memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan
tekanan intrakranial dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan
tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan
defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak
dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia
keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah.

Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah.


Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa,
usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain :

15
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan


TIK kurang dari 20 mmHg.

5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.

Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK


jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara
rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih
mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering
terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS
dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama.
Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu
memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.

Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah


dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan
bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan
komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan

16
parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema
serebral yang berat.

I. Prognosis
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3
cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar
mortalitas berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung
(bukan diameter hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume
darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk
prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat
menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan
letaknya dalam, pada fossa posterior atau yang meluas masuk ke dalam
ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien meninggal bila disertai
perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk memperkirakan
mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3 variabel pada
saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran perdarahan
dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus,
sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS
lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien
koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif
jarang terjadi perdarahan ulang.

J.

17
A. DIAGNOSIS

Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke
non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.7

Pemeriksaan Penunjang

Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Arteriografi
Pemeriksaan koagulasiharus dikerjakan pada pasien.

B. KOMPLIKASI

o Stroke hemoragik

o Kehilangan fungsi otak permanen

o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi

C. PENANGANAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus mendapat

pengobatan untuk :

5. Normalisasi tekanan darah

6. Pengurangan tekanan intrakranial

7. Pengontrolan terhadap edema serebral

8. Pencegahan kejang.

Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena


adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena

18
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.9

Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui


hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PISH,
mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara
bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik 160
mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingkan
dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan
adalah dari golongan :9

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors


Angiotensin Receptor Blockers
Calcium Channel Blockers

Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung


terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya. Tindakan
medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan tumoral)
digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh efek massa
perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas meninggikan
survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera setelah onset
perdarahan.

Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera dari
hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah
sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan
dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit
neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.

Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan


neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. Beratnya
perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok :9,10

1. Perdarahan progresif fatal.

19
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya, gangguan elektrolit
umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari
perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat
diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan
mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik,
mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid
( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya
kurang dari 6.

2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).

3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan defisit


neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan
hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah.

PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL

Penilaian dan Pengelolaan Inisial

Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta etiologi,


ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif atau bedah yang
akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama.

Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial
dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan
prognosis, juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis
serial harus dilakukan.

Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan


sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder
akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting baik pada pasien

20
hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang
sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif.
Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan
lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada
pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-masing
pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah
210 mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan
awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.

Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang,
diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif,
atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi
dipantau.

Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.

Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi
atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan
mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal
umum serta pencegahan komplikasi.9

21
Pencegahan atas Perdarahan Ulang

Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien sampai di


dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko perdarahan ulang dari AVM dan
tumor juga jarang. Tindakan utama yang dilakukan adalah mengontrol tekanan darah
seperti dijelaskan di atas. Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko
perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di atas tingkat
normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko
perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik.
Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.

Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau perdarahan


yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan
kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.

Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah.


Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa,
usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain :9

1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan


TIK kurang dari 20 mmHg.

22
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.

Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK


jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara
rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih
mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering
terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS
dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama.
Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu
memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.

Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah


dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan
bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan
komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan
parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema
serebral yang berat.

Perawatan Umum

Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan


subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin diberikan 60 mg
melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian intravena lebih baik.
Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti.

23
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial disukai
fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV,
mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1
g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus
dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat
penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena
fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval PR dan gelombang
Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan
hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20 g/ml) dan pasien bebas
kejang.

Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari,
kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari,
kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK
dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial
untuk menambah cedera otak sekunder.

Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial.

PENGOBATAN DENGAN CARA OPERASI

Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu masalah
yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan atau pedoman :

1. Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus dioperasi.

2. Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan norma-norma
kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus terfokus terhadap quality
of survival yang dapat diterima oleh pasien, keluarganya dan masyarakat.

24
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus
mempertimbangkan status neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :8,9

1. Massa hematoma kira-kira 40 cc

2. Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

3. IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang.

4. Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.

5. Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai


berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari
25 mmHg.

Tindakannya :

Pemasangan kateter yang melewati pembuluh darah otak untuk melebarkan


pembuluh darah otak, guna menghindari prosedur operasi yang invasif.

Aspirasi dengan stereotactic surgery atau endoscopic drainage digunakan untuk


basal ganglia hemorrhage, meskipun angka keberhasilannya masih sedikit.

Penggunaan manitol

Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis


diuretik yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent
yang digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran
darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M,
2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan
untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu
dipakai untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol

25
masih merupakan obat magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika
hanya digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan
toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus dicegah dan dimonitor.

Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.

Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial


dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management penatalaksanaan
peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik
osmotik (manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak.
Tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, diuretik osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari
kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.

Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 1 gram/kgbb


diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama lebih dari
10 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan Infus 1,5 2
gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol
diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 320 mOsm/L.
Osmolalitas serum sering kali dipertahankan antara 290 310 mOsm. Tekanan
Intrakranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit, karena
efek manitol dimulai setelah 0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit,
osmolalitas serum juga dimonitor selama pasien mendapatkan manitol. Perawat perlu
memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila osmolalitas lebih dari 320
mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi dengan pemberian
manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter harus dipasang selama
pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi dari peningkatan
sodium serum dan nilai osmolalitas.

Obat Neuroprotektor :

1. Piracetam 1200 mg/kaplet

Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, gangguan reaksi


psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi. Disfungsi serebral sehubungan
dengan akibat pasca trauma.

26
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan penuaan, awal 6
kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi untuk 6 minggu. Pemeliharaan :
1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal 2 kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai
mencapai efek yang diinginkan, lalu 1 kapsul atau kaplet/hari. Inj IM atau IV 1
g 3x/hari.

Pemberian obat : sesudah makan.

Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.

Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar, agitasi,
lelah, gangguan GI, mengantuk.

Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.

Rencana edukasi :

Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal, peringatan harus


diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu dianjurkan
melakukan pengecekan fungsi ginjal.

Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.

2. Injeksi Citicoline

Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera serebral,


trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat rehabilitasi
tungkai atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.

Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg
1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral
1000 mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara
oral atau injeksi IV.

Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.

Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.

27
Mekanisme kerja :

Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang otak,


terutama sistem pengaktifan formatio reticularis ascendens yang
berhubungan dengan kesadaran.

Citicoline mengaktifkan sistem pyramidal dan memperbaiki kelumpuhan


sistem motoris.

Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki


metabolisme otak.

D. PROGNOSIS

Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan
pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar
dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter
hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20
mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.

Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk


prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%.
Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada fossa
posterior atau yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa
45% pasien meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan
untuk memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3
variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran
perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus,
sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9,
perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas hidupnya
dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien koma, perdarahannya besar dan
tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari
hanya 8%. Pada PIS hipertensif jarang terjadi perdarahan ulang.8

28
Monografi Bahan Captropil

Captopril mempunyai rumus bangun sebagai berikut:

Gambar 1. Rumus bangun captopril

Captopril (Gambar 1) mengandung tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari 102,0%
C9H15NO3S. Captopril berupa serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti
sulfida. Captopril mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform
(Anonim, 1995).

Farmakologi
Captopril menghambat enzim pengkonversi angiotensin (ACE), dengan demikian menyekat
konversi angiotensin I menjadi II. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang poten dan
bertindak untuk melepaskan aldosteron. Dengan demikian, captopril menurunkkan tahanan
vascular perifer dan tekanan darah dan menghambat retensi air dan garam yang normalnya
ditimbulkan oleh aldosteron. Captopril jugan menurunkan prabeban dan pascabeban. ACE
juga bertanggung jawab bagi metabolisme bradikinin dalam jaringan meningkat setelah
pemberian captopril. Aliran darah otak dan tekanan intracranial meningkat

Farmakokinetik
a. Absorpsi : Diabsorpsi dgn cepat sekitar 65% dr saluran GI. Makanan menurunkan
absorpsi. Sebaiknya obat ini digunakan pada saat perut kosong. Sekitar 30% terikat
dengan protein plasma
b. Distribusi : Didistribusi secara luas, tetapi tidak menembus barier darah otak.
Menembus plasenta, memasuki ASI dalam jumlah kecil

29
c. Metabolisme dan Ekskresi: 50% dimetabolisme oleh hati. 50% diekskresi dalam
bentuk yang tidak diubah oleh ginjal

Waktu / Profil Kerja Obat


Awitan Aksi : PO/SL, < 15 menit
Efek puncak : PO, 60-90 menit; SL<60 menit
Lama Aksi : PO/SL 2-6 jam
Interaksi/Toksisitas : Efek hipotensi aditif dengan diuretic, vasodilator, penyekat beta,
penyekat saluran kalsium, anestetik volatile; meningkatkan kadar
kalium serum, yang dapat bermakna pada insufisiensi ginjal dan
penggunaan diuretic hemat-kalium sepetri spironolakton, triamteren,
atau amilorid; efek antihipertensi diantagonisir oleh indometasin dan
obat-obatan anti-radang nonsteroid lainnya

Bentuk Sediaan dan Nama Dagang


Bentuk sediaan:
- Tablet: 12.5 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg

tablet 12,5 mg tablet 25 mg tablet 50 mg

- 25 mg atau 50 mg dalam kombinasi dengan hidrokhlorothiazide 15 mg atau 25 mg.

Nama Dagang:
Acepress tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Caporetic tablet : Captopril 50 mg dan hidroklorotiazida 25 mg/tablet
Capoten tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Capozide tablet : Captopril 50 mg dan hidroklorotiazida 25 mg/tablet
Captensin tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Casipril tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Dexacap tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Farmoten tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Otoryl tablet : Captopril 25 mg; 50 mg/tablet

30
Praten tablet : Captopril 25 mg/tablet
Scantensin tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Tensicap tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Tensobon tablet : Captopril 25 mg/tablet
Vapril tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet

Indikasi
1. Hipertensi
2. Gagal jantung
3. Setelah Infark miokardium (serangan jantung)
4. Diabetic nephropathy

Kontraindikasi dan Perhatian

1. Neutropenia/agranulositosis:

Neutropenia akibat pemberian captopril (jumlah neutrofil kurang dari


1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan, insidensinya 0,02%
(1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2 mg/dl), dan
menjadi 7,2% (8/111) pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit
vaskular kolagen seperti lupus (SLE) atau skleroderma.

Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan reversibel


bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3 minggu) atau dosisnya
diturunkan.

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang
mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit (obat-obat
sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus dilakukan hitung
leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan
periodik setelah itu.

Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya bila
mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena mungkin merupakan
petunjuk adanya neutropenia.

31
2. Proteinuria/sindroma nefrotik:

Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769) penderita
hipertensi yang diobati dengan captopril.

Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan,


insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada dosis captopril < 150 mg sehari
dan 1% pada dosis captopril > 150 mg sehari. Pada penderita dengan penyakit
ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1%
946/2196), yakni 1% pada dosis captopril > 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi
kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria.

Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada.


Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu disebabkan oleh
captopril karena glumerulonefritis yang subklinik jugma ditemukan pada penderita
hipertensi yang tidak mendapat captopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita
tanpa penyakit ginjal sebelumnya pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi
ginjal. Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan (range 4 hari hingga
22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap meskipun obat dihentikan. Oleh
karena itu pada penderita dengan risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein
dalam urin sebelum pengobatan, sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan
dan periodik setelah itu.

3. Gagal ginjal/akut:

Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian captopril pada penderita


dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala ini muncul dalam
beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan kasus) reversibel atau stabil
meski pengobatan diteruskan, sedangkan pada yang berat dan progresif, obat harus
dihentikan. Gejala ini akibat berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh captopril, dan
karena captopril menghambat sintesis A II intrarenal yang diperlukan untuk konstriksi
arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi glomerulus pada stenosis arteri
ginjal. Gagal ginjal yang akut dan progesif terutama terjadi pada penderita dengan
stenosis arteri tinggi tersebut, pemberian captopril harus disertai dengan monitoring
fungsi ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi tersebut,

32
pemberian captopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin serum
dan BUN), dan dosis captopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang
progresif, captopril harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari.

4. Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus:

Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan


gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus. Apabila pada pemakaian obat ini
ternyata wanita itu hamil, maka pemberian obat harus dihentikan dengan segera. Pada
kehamilan trimester II dan III dapat menimbulkan gangguan antara lain; hipotensi,
hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversibel atau irreversibel dan
kematian.

Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial, perkembangan paru


hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan, retardasi intrauteri, patenduktus
arteriosus.

Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya mendapat


pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang kemungkinan
terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.

Bab III

Pembahasan

3.1 Pengertian Captopril

33
Captopril merupakan obat yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi
(hipertensi), dapat digunakan sendiri atau bersama dengan
obat-obatan lain. Tekanan darah tinggi menambah beban kerja
jantung dan arteri.
Jika berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan
fungsi jantung dan arteri menurun. Sehingga dapat
menyebabkan rusaknya pembuluh darah otak, jantung,
dan ginjal yang dapat mengakibatkan terjadinya stroke, gagal jantung, atau ginjal. Hipertensi
juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Hal-hal tersebut dapat dihindari ketika
hipertensi dapat terkontrol dengan baik.

Captopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron), sehingga


efektif pada hipertensi dengan PRA (Plasma Renin Activity) yang tinggi yaitu pada
kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi renovaskular dan pada kira-kira 1/6-1/5 hipertensi
essensial.

Captopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada
hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif
untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid
memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan b-blocker memberikan efek yang
kurang aditif.

3.2 Penyakit yang dapat diobati oleh obat Captopril


Captopril pada umumnya digunakan untuk mengobati penyakit :
a. Tekanan darah tinggi
Penyakit tekanan darah tinggi atau lebih dikenal dengan hipertensi biasanya
disebabkan oleh pola makan yang kurang tepat dan kurangnya aktivitas fisik sehari-
hari, sehingga menimbulkan penimbunan lemak yang tinggi di sekujur tubuh.
Penyakit tekanan darah tinggi sangat sulit dideteksi dan didiagnosa
kehadirannya. Gejala-gejala yang timbul sebagai pertanda awal kehadirannya cukup
banyak antara lain: kepala sering pusing, jantung berdebar-debar, bahu terasa kaku,
kesulitan untuk tidur (insomnia), sesak nafas, sembelit (kesukaran buang air besar),
kelelahan, dan mengeluarkan keringat dingin.

34
Seseorang dapat dikatakan menderita penyakit tekanan darah tinggi apabila
memiliki iekanan systole mencapai lebih dari 160 mm Hg dan diastole melebihi 95
mm Hg.
b. Serangan jantung
Serangan jantung merupakan suatu keadaan di mana para penderitanya
mendapat serangan nyeri di dada yang berifat seperti diremas, ditusuk, atau hanya
merasa berat saja. Rasa nyeri ini dapat tinggal setempat di dada sebelah tengah atau
menyebar ke arah dagu dan lengan terutama sebelah kiri.
Sindrom ini disertai dengan rasa sesak nafas dan rasa takut yang timbul
apabila penderita mengeluarkan tenaga berlebihan seperti mendaki, mendorong
mobil mogok, mengangkat peti berat atau pada waktu musim dingin. Rasa nyeri ini
berlangsung hanya beberapa menit dan akan hilang apabila penderita beristirahat,
atau hilang emosinya.
c. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh suatu
kelainan jantung dan dapat dikenali dari respons hemodinamik, renal, neutral, dan
hormonal yang karakteristik. Gagal jantung kongestif merupakan gagal jantung
yang disertai retensi cair dan edema.
Ciri-ciri penyakit gagal jantung antara lain: napas pendek saat beraktivitas dan
juga saat istirahat, batuk berdahak, naik berat badan, pembengkakan kaki dan
perut, pusing-pusing, kelelahan dan lesu, denyut jantung yang cepat, mual,
palpitasi, dan sakit dada.
d. Diabetic nephropathy.
Nefropati diabetes (Diabetic nephropathy), juga dikenal sebagai
Kimmelstiel-Wilson syndrome dan glomerulonefritis intercapillary, adalah
penyakit ginjal progresif yang disebabkan oleh angiopati kapiler-kapiler glomeruli
ginjal dalam. Hal ini ditandai dengan sindrom nefrotik dan glomerulosklerosis
menyebar. Hal ini akibat diabetes mellitus berlangsung lama, dan merupakan
penyebab utama dialisis di banyak negara Barat.
Sindrom ini dapat dilihat pada pasien dengan diabetes kronis (15 tahun atau
lebih setelah onset), sehingga pasien biasanya usia lebih tua (antara 50 dan 70
tahun). Penyakit ini bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian dua atau
tiga tahun setelah lesi awal, dan lebih sering pada pria.

35
3.3 Cara kerja obat Captopril
Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal jantung
dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan
ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat
inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah angiotensin I menjadi
angiotensin Il yang bersifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat
menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi
aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta meretensi kalium.
Dalam kerjanya, captopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin
ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi
natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan
tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga
terjadi peningkatan kerja jantung.
Jadi dapat disimpulkan Captopril bekerja dengan menghambat enzim dalam tubuh yang
menghasilkan zat yang menyebabkan pembuluh darah mengencang, sehingga dapat
menurunkan tekanan darah, meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke jantung, serta
mengurangi preload dan afterload pada pasien gagal jantung kongestif

3.4 Dosis yang sebaiknya diberikan kepada pasien


Captopril harus diberikan 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat tergantung dari
kebutuhan penderita (individual).
1. Hipertensi
Dewasa
- Hipertensi awal 12,5 - 25 mg 2 sampai 3 kali sehari
- Untuk mengontrol hipertensi lanjut 25-50 mg 2 kali sehari
Max: 50 mg 3 kali sehari
Untuk penyakit Hipertensi, dosis awal: 12,5 - 25 mg dua sampai tiga kali
sehari. Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan darah masih belum memuaskan
maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2
minggu lagi, tekanan darah masih belum terkontrol sebaiknya ditambahkan obat
diuretik golongan tiazida misal hidroklorotiazida 25 mg setiap hari.
Dosis diuretik mungkin dapat ditingkatkan pada interval satu sampai dua
minggu. Maksimum dosis captopril untuk hipertensi sehari tidak boleh lebih dari
450 mg
36
Pediatri
Pada neonatus : awal 0,01 mg/kg dua kali sampai tiga kali sehari
Pada anak : awal sampai 0,3 mg/kg tiga kali sehari
2. Gagal jantung
Dewasa
Gagal jantung awal 6,25-25 mg 2-3 kali sehari
Max: 50 mg 3 kali sehari
Penggunaan obat ini diberikan bersama diuretik dan digitalis, dari awal terapi harus
dilakukan pengawasan medik secara ketat.
3. Infark miokardium (Serangan Jantung)
Dewasa
Mulai 3 hari setelah Infark miokardium
Awal: 6,25 mg/hari, dapat meningkat setelah beberapa minggu 150 mg/hari dalam
dosis terbagi jika diperlukan.
4. Diabetic nephropathy
Dewasa
25 mg 3 kali sehari

3.5 Efek samping dari penggunaan obat captopril


Reaksi samping utama
a. Kardiovaskular : Hipotensi, palpitasi, takikardia

Hipotensi (tekanan darah rendah)

b. Pulmoner : batuk, dispne, bronkospasme

batuk

c. SSP : Pusing, kelelahan

37
Pusing dan kelelahan

d. GI : Nyeri abdomen, disgeusia, tukak lambung

tukak lambung

e. Dermatologik: Ruam, pruritus

ruam

f. Ginjal: Peningkatan kadar BUN dan kreatinin, proteinuria, gagal ginjal

gagal ginjal

g. Hematologik: Neutropenia, trombositopenia, anemia hemolitik, eosinofilia


h. Lain: angioedema, limafadenopati

angioedema

Captopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita dan
pada 1,2% penderita dengan penyakit ginjal. Dapat tejadi sindroma nefrotik serta membran
glomerulopati pada penderita hipertensi. Karena proteinuria umumnya terjadi dalam waktu 8
bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan pemeriksaan protein urin sebelum
dan setiap bulan selama 8 bulan pertama pengobatan.

38
Neutropenia/agranulositosis terjadi kira-kira 0,4 % penderita. Efek samping ini
terutama terjadi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Neutropenia ini muncul
dalam 1 - 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentikan sebelum penderita terkena
penyakit infeksi. Pada penderita dengan resiko tinggi harus dilakukan hitung leukosit
sebelum pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan secara
periodik.
Pada penderita yang mengalami tanda-tanda infeksi akut (demam, faringitis)
pemberian captopril harus segera dihentikan karena merupakan petunjuk adanya neutropenia.
Hipotensi dapat terjadi 1 - 1,5 jam setelah dosis pertama dan beberapa dosis
berikutnya, tapi biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan rasa pusing
yang ringan. Tetapi bila mengalami kehilangan cairan, misalnya akibat pemberian diuretik,
diet rendah garam, dialisis, muntah, diare, dehidrasi maka hipotensi tersebut menjadi lebih
berat. Maka pengobatan dengan captopril perlu dilakukan pengawasan medik yang ketat,
terutama pada penderita gagal jantung yang umumnya mempunyai tensi yang nomal atau
rendah. Hipotensi berat dapat diatasi dengan infus garam faal atau dengan menurunkan dosis
captopril atau diuretiknya.
Sering terjadi ruam dan pruritus, kadang-kadang terjadi demam dan eosinofilia. Efek
tersebut biasanya ringan dan menghilang beberapa hari setelah dosis diturunkan.
Teriadi perubahan rasa (taste alteration), yang biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama
dan menghilang meskipun obat diteruskan. Retensi kalium ringan sering terjadi, terutama
pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlu diuretik yang meretensi kalium seperti
amilorida dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati-hati.

BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh darah


dalam parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala umum termasuk
defisit neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit kepala, mual, dan
penurunan kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral juga dapat terjadi ganglia
basal, lobus otak, otak kecil, atau pons. Perdarahan intraserebral juga dapat terjadi di
bagian lain dari batang otak atau otak tengah. Aada sindroma utama yang menyertai

39
stroke hemoragik menurut Smith dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu
putaminal hemorrhage, thalamic hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar
hemorrhage, lobar hemorrhage.

Pemeriksaan penunjang dengan lumbal pungsi, CT-scan, MRI, serta


angiografi. Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan
diagnosis, terapi umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi
hemodinamik, pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian peninggian TIK,
pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan penunjang) kemudian
penatalaksanaan di ruang rawat inap (cairan, nutrisi, pencegahan dan mengatasi
komplikasi, penatalaksanaan medik yang lain. Penatalaksanaan stroke perdarahan
intraserebral (PIS) meliputi terapi medik pada PIS akut (terapi hemostatik, reversal of
anticoagulation) dan tindakan operatif.

Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume


perdarahan. Semakin rendah nilai GCS, maka prognosis semakin buruk dan tingkat
mortalitasnya tinggi. Semakin besar volume perdarahan maka prognosis semakin
buruk. Dan adanya darah di dalam ventrikel berhubungan dengan angka mortalitas
yang tinggi. Adanya darah di dalam ventrikel meningkatkan angka kematian sebanyak
2 kali lipat.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage. In:Youmans


JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006
.p. 1890-1913.

2. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.


Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.

3. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu Bedah


Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006.

4. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.

5. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical


Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.

6. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-

41
1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu
Penyakit Saraf. 2000.

7. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victors Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.

8. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline


Stroke 2007. Jakarta.

9. Baehr M, Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005.

42

You might also like