Professional Documents
Culture Documents
DATA KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 74 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Perjalanan penyakit : saat sedang menonton tv pasien tiba-tiba sulit berbicara disertai wajah
mencong ke arah kiri menurut cerita dari keluarga pasien. Sebelumnya
tidak ada nyeri kepala, kejang (-), kesemutan (-), baal (-). Bicara pelo
(+), pusing berputar (-), baal sekitar mulut (-), gelap mendadak (-).
Badan terasa pegal (-), sakit sendi (-). BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Os merasakan sakit seperti ini pertama kali.
nadi : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,2 C
TD : 180/100 mmHg
Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-).
Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah (-/-).
Mulut : bibir kering (-), bibir simetris, sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid (-).
Thoraks
Paru
Jantung
Abdomen
2
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyeri epigastrium (-), hepar, lien tidak
teraba.
Extremitas
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
STATUS NEUROLOGIS
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Patrick : (-)
- Kontrapatrick: (-)
N.I
(Olfaktorius) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Daya pembau
N.II (Optikus)
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang Normal Normal
Pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi
3
N.III
(Okulomotorius)
- -
Ptosis 3 mm 3 mm
Ukuran Pupil Bulat (isokor) Bulat (isokor)
Bentuk Pupil
Gerakan Bola
Mata Normal Normal
- Atas Normal Normal
- Bawah Normal Normal
- Medial + +
Refleks Cahaya + +
- Direk
- Indirek
N.IV (Trokhlearis)
Gerakan Mata Normal Normal
Ke Medial
Bawah
N.V (Trigeminus)
Menggigit + +
Membuka Mata Baik Baik
Sensibilitas Baik Baik
Refleks Kornea Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
N.VI (Abdusens)
Gerakan Mata Normal Normal
Ke Lateral
4
N. cranialis Dextra Sinistra
N.VII (Fasialis)
Kerutan Kulit Dahi Normal Normal
Lipatan Nasolabialis Normal lebih rendah
Menutup Mata Normal Normal
Mengangkat Alis Normal Normal
Menyeringai Normal tertinggal
Daya Kecap Lidah Tidak Dilakukan
2/3 Depan
N.VIII
(Vestibulokokhleari
s) Tidak dilakukan
Tes Bisik Tidak dilakukan
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan
Tes Schwabach
Dextra Sinistra
N.IX
(Glosofaringeus
) & X (Vagus)
Daya Kecap Tidak dilakukan
Lidah 1/3 Normal Normal
Belakang
Uvula Secara Tidak dilakukan
Pasif Tersedak
Refleks Muntah
Menelan
5
N.XI
(Aksesorius) Normal Normal
Memalingkan Normal Normal
Kepala
Mengangkat
Bahu
N.XII
(Hipoglosus) - Deviasi
Deviasi Lidah - -
Atrofi Otot -
-
Lidah
Fasikulasi Lidah
MOTORIK
Kekuatan Otot :
D S
555 555
5 5
555 555
5 5
SENSORIK
6
Nyeri : Ektremitas Atas : dextra : Normal ; sinistra : Normal
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : baik
Defekasi : baik
FUNGSI LUHUR
REFLEK FISIOLOGI
REFLEK PATOLOGIS
Babinski : (-/-)
7
Chaddock : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Foto CT-Scan :
RESUME :
Os laki-laki usia 74 tahun datang dengan keluhan wajah mencong ke kiri. Wajah
mencong ke kiri mendadak saat sedang menonton tv disertai bicara pelo. Kejadian ini
dialami pertama kali. Pemeriksaan neurologis didapatkan parase N. VII dan N. XII
sinistra. Refleks fisiologis dan reflek patologis normal tidak ada keluhan. Nilai
kekuatan motorik 5 pada seluruh ekstremitas dextra dan ekstremitas sinistra.
Diagnosa :
Stroke perdarahan intraserebral sistem carotis sinistra dengan faktor risiko hipertensi,
lesi di pons hemisfer sinistra
Penatalaksanaan :
8
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA KASUS
A. Definisi
Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu
sindroma yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak.
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan
oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di
bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang
antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya
pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada
struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).
B. Epidemiologi
Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang
lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan
Jepang. Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition Examination
Survey Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang
kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.
C. Faktor Risiko
1. Hipertensi
10
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai
oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri
kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah
arteri-arteri kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan
lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit
amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan
terjadi perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap
faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
D. Patofisiologi
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang
otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna).
11
Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh
darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom.
Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema
pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau
penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka
gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi
pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
E. Gejala klinis
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah
di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur
sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut.
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi
frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi
secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami
koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel,
ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan
muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada
PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan
sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala
dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat
mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus
stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.
F. Pemeriksaan Fisik
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik
seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli
pada kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya
tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid
(adanya darah di ruang preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan
subarakhnoid) yang mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk
terdapat pada 48% kasus PIS.
12
berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke
bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi
unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di
thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di
mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil
negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada
perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.
G. DIAGNOSIS
PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi
Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan
ocular bobbing.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya
sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif
Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih
terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke
lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral
neurogenik
Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola
pernafasan apneustik
Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang
tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral
13
serta progresif dan fatal. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan
koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral,
kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala,
mual dan muntah jarang.
14
sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan
kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS
yang besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang
menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan
tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan
terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga
kelompok :
1. Perdarahan progresif fatal.
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat
tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya,
gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat
efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan.
Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-
tanda peninggian TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus
berat ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang
tepat, memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan
tekanan intrakranial dengan manitol, steroid ( bila penyebabnya perdarahan
tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan
defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak
dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia
keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah.
15
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
16
parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema
serebral yang berat.
I. Prognosis
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3
cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar
mortalitas berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung
(bukan diameter hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume
darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk
prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat
menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan
letaknya dalam, pada fossa posterior atau yang meluas masuk ke dalam
ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien meninggal bila disertai
perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk memperkirakan
mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3 variabel pada
saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran perdarahan
dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus,
sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS
lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien
koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif
jarang terjadi perdarahan ulang.
J.
17
A. DIAGNOSIS
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke
non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.7
Pemeriksaan Penunjang
Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Arteriografi
Pemeriksaan koagulasiharus dikerjakan pada pasien.
B. KOMPLIKASI
o Stroke hemoragik
pengobatan untuk :
8. Pencegahan kejang.
18
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.9
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera dari
hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah
sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan
dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit
neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.
19
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan darah
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya, gangguan elektrolit
umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari
perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat
diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan
mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik,
mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid
( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya
kurang dari 6.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial
dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan
prognosis, juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis
serial harus dilakukan.
20
hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan yang
sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah hipertensif.
Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan
lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan
tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada
pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-masing
pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah
210 mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan
awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang,
diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif,
atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi
dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi
atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan
mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal
umum serta pencegahan komplikasi.9
21
Pencegahan atas Perdarahan Ulang
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
22
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.
Perawatan Umum
23
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial disukai
fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV,
mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1
g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus
dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat
penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena
fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval PR dan gelombang
Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan
hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20 g/ml) dan pasien bebas
kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari,
kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari,
kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK
dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial
untuk menambah cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial.
Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu masalah
yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan atau pedoman :
1. Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus dioperasi.
2. Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan norma-norma
kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus terfokus terhadap quality
of survival yang dapat diterima oleh pasien, keluarganya dan masyarakat.
24
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus
mempertimbangkan status neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan intrakranial
3. IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS
8 atau kurang.
4. Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Tindakannya :
Penggunaan manitol
25
masih merupakan obat magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika
hanya digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan
toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus dicegah dan dimonitor.
Obat Neuroprotektor :
26
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan penuaan, awal 6
kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi untuk 6 minggu. Pemeliharaan :
1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal 2 kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai
mencapai efek yang diinginkan, lalu 1 kapsul atau kaplet/hari. Inj IM atau IV 1
g 3x/hari.
Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar, agitasi,
lelah, gangguan GI, mengantuk.
Rencana edukasi :
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.
2. Injeksi Citicoline
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg
1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral
1000 mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara
oral atau injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
27
Mekanisme kerja :
D. PROGNOSIS
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan
pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar
dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter
hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20
mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
28
Monografi Bahan Captropil
Captopril (Gambar 1) mengandung tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari 102,0%
C9H15NO3S. Captopril berupa serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti
sulfida. Captopril mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform
(Anonim, 1995).
Farmakologi
Captopril menghambat enzim pengkonversi angiotensin (ACE), dengan demikian menyekat
konversi angiotensin I menjadi II. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang poten dan
bertindak untuk melepaskan aldosteron. Dengan demikian, captopril menurunkkan tahanan
vascular perifer dan tekanan darah dan menghambat retensi air dan garam yang normalnya
ditimbulkan oleh aldosteron. Captopril jugan menurunkan prabeban dan pascabeban. ACE
juga bertanggung jawab bagi metabolisme bradikinin dalam jaringan meningkat setelah
pemberian captopril. Aliran darah otak dan tekanan intracranial meningkat
Farmakokinetik
a. Absorpsi : Diabsorpsi dgn cepat sekitar 65% dr saluran GI. Makanan menurunkan
absorpsi. Sebaiknya obat ini digunakan pada saat perut kosong. Sekitar 30% terikat
dengan protein plasma
b. Distribusi : Didistribusi secara luas, tetapi tidak menembus barier darah otak.
Menembus plasenta, memasuki ASI dalam jumlah kecil
29
c. Metabolisme dan Ekskresi: 50% dimetabolisme oleh hati. 50% diekskresi dalam
bentuk yang tidak diubah oleh ginjal
Nama Dagang:
Acepress tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Caporetic tablet : Captopril 50 mg dan hidroklorotiazida 25 mg/tablet
Capoten tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Capozide tablet : Captopril 50 mg dan hidroklorotiazida 25 mg/tablet
Captensin tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Casipril tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Dexacap tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Farmoten tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Otoryl tablet : Captopril 25 mg; 50 mg/tablet
30
Praten tablet : Captopril 25 mg/tablet
Scantensin tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg; 50 mg/tablet
Tensicap tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Tensobon tablet : Captopril 25 mg/tablet
Vapril tablet : Captopril 12,5 mg; 25 mg/tablet
Indikasi
1. Hipertensi
2. Gagal jantung
3. Setelah Infark miokardium (serangan jantung)
4. Diabetic nephropathy
1. Neutropenia/agranulositosis:
Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang
mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit (obat-obat
sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus dilakukan hitung
leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan
periodik setelah itu.
Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya bila
mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena mungkin merupakan
petunjuk adanya neutropenia.
31
2. Proteinuria/sindroma nefrotik:
Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769) penderita
hipertensi yang diobati dengan captopril.
3. Gagal ginjal/akut:
32
pemberian captopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin serum
dan BUN), dan dosis captopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang
progresif, captopril harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari.
Bab III
Pembahasan
33
Captopril merupakan obat yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi
(hipertensi), dapat digunakan sendiri atau bersama dengan
obat-obatan lain. Tekanan darah tinggi menambah beban kerja
jantung dan arteri.
Jika berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan
fungsi jantung dan arteri menurun. Sehingga dapat
menyebabkan rusaknya pembuluh darah otak, jantung,
dan ginjal yang dapat mengakibatkan terjadinya stroke, gagal jantung, atau ginjal. Hipertensi
juga dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Hal-hal tersebut dapat dihindari ketika
hipertensi dapat terkontrol dengan baik.
Captopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada
hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif
untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid
memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan b-blocker memberikan efek yang
kurang aditif.
34
Seseorang dapat dikatakan menderita penyakit tekanan darah tinggi apabila
memiliki iekanan systole mencapai lebih dari 160 mm Hg dan diastole melebihi 95
mm Hg.
b. Serangan jantung
Serangan jantung merupakan suatu keadaan di mana para penderitanya
mendapat serangan nyeri di dada yang berifat seperti diremas, ditusuk, atau hanya
merasa berat saja. Rasa nyeri ini dapat tinggal setempat di dada sebelah tengah atau
menyebar ke arah dagu dan lengan terutama sebelah kiri.
Sindrom ini disertai dengan rasa sesak nafas dan rasa takut yang timbul
apabila penderita mengeluarkan tenaga berlebihan seperti mendaki, mendorong
mobil mogok, mengangkat peti berat atau pada waktu musim dingin. Rasa nyeri ini
berlangsung hanya beberapa menit dan akan hilang apabila penderita beristirahat,
atau hilang emosinya.
c. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh suatu
kelainan jantung dan dapat dikenali dari respons hemodinamik, renal, neutral, dan
hormonal yang karakteristik. Gagal jantung kongestif merupakan gagal jantung
yang disertai retensi cair dan edema.
Ciri-ciri penyakit gagal jantung antara lain: napas pendek saat beraktivitas dan
juga saat istirahat, batuk berdahak, naik berat badan, pembengkakan kaki dan
perut, pusing-pusing, kelelahan dan lesu, denyut jantung yang cepat, mual,
palpitasi, dan sakit dada.
d. Diabetic nephropathy.
Nefropati diabetes (Diabetic nephropathy), juga dikenal sebagai
Kimmelstiel-Wilson syndrome dan glomerulonefritis intercapillary, adalah
penyakit ginjal progresif yang disebabkan oleh angiopati kapiler-kapiler glomeruli
ginjal dalam. Hal ini ditandai dengan sindrom nefrotik dan glomerulosklerosis
menyebar. Hal ini akibat diabetes mellitus berlangsung lama, dan merupakan
penyebab utama dialisis di banyak negara Barat.
Sindrom ini dapat dilihat pada pasien dengan diabetes kronis (15 tahun atau
lebih setelah onset), sehingga pasien biasanya usia lebih tua (antara 50 dan 70
tahun). Penyakit ini bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian dua atau
tiga tahun setelah lesi awal, dan lebih sering pada pria.
35
3.3 Cara kerja obat Captopril
Captopril merupakan obat antihipertensi dan efekif dalam penanganan gagal jantung
dengan cara supresi sistem renin angiotensin aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan
ginjal dan bekerja pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat
inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah angiotensin I menjadi
angiotensin Il yang bersifat aktif dan merupakan vasokonstriktor endogen serta dapat
menstimulasi sintesa dan sekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi
aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta meretensi kalium.
Dalam kerjanya, captopril akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin
ll terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi
natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan
tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga
terjadi peningkatan kerja jantung.
Jadi dapat disimpulkan Captopril bekerja dengan menghambat enzim dalam tubuh yang
menghasilkan zat yang menyebabkan pembuluh darah mengencang, sehingga dapat
menurunkan tekanan darah, meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke jantung, serta
mengurangi preload dan afterload pada pasien gagal jantung kongestif
batuk
37
Pusing dan kelelahan
tukak lambung
ruam
gagal ginjal
angioedema
Captopril menimbulkan proteinuria lebih dari 1 g sehari pada 0,5% penderita dan
pada 1,2% penderita dengan penyakit ginjal. Dapat tejadi sindroma nefrotik serta membran
glomerulopati pada penderita hipertensi. Karena proteinuria umumnya terjadi dalam waktu 8
bulan pengobatan maka penderita sebaiknya melakukan pemeriksaan protein urin sebelum
dan setiap bulan selama 8 bulan pertama pengobatan.
38
Neutropenia/agranulositosis terjadi kira-kira 0,4 % penderita. Efek samping ini
terutama terjadi pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Neutropenia ini muncul
dalam 1 - 3 bulan pengobatan, pengobatan agar dihentikan sebelum penderita terkena
penyakit infeksi. Pada penderita dengan resiko tinggi harus dilakukan hitung leukosit
sebelum pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan secara
periodik.
Pada penderita yang mengalami tanda-tanda infeksi akut (demam, faringitis)
pemberian captopril harus segera dihentikan karena merupakan petunjuk adanya neutropenia.
Hipotensi dapat terjadi 1 - 1,5 jam setelah dosis pertama dan beberapa dosis
berikutnya, tapi biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan rasa pusing
yang ringan. Tetapi bila mengalami kehilangan cairan, misalnya akibat pemberian diuretik,
diet rendah garam, dialisis, muntah, diare, dehidrasi maka hipotensi tersebut menjadi lebih
berat. Maka pengobatan dengan captopril perlu dilakukan pengawasan medik yang ketat,
terutama pada penderita gagal jantung yang umumnya mempunyai tensi yang nomal atau
rendah. Hipotensi berat dapat diatasi dengan infus garam faal atau dengan menurunkan dosis
captopril atau diuretiknya.
Sering terjadi ruam dan pruritus, kadang-kadang terjadi demam dan eosinofilia. Efek
tersebut biasanya ringan dan menghilang beberapa hari setelah dosis diturunkan.
Teriadi perubahan rasa (taste alteration), yang biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama
dan menghilang meskipun obat diteruskan. Retensi kalium ringan sering terjadi, terutama
pada penderita gangguan ginjal, sehingga perlu diuretik yang meretensi kalium seperti
amilorida dan pemberiannya harus dilakukan dengan hati-hati.
BAB III
KESIMPULAN
39
stroke hemoragik menurut Smith dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu
putaminal hemorrhage, thalamic hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar
hemorrhage, lobar hemorrhage.
40
DAFTAR PUSTAKA
4. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
6. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-
41
1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu
Penyakit Saraf. 2000.
7. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victors Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
9. Baehr M, Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005.
42