You are on page 1of 22

MAKALAH KELOMPOK IV

Dosen : Suparno, SE, MM, M.Akt

PERENCANAAN, PENERAPAN EFISIENSI DAN PENGHINDARAN


SANKSI PAJAK PPH PASAL 21

Disusun Oleh :
Ani Suwarni (43214110314)
Devi Aprida (43214110115)
Evi Maya Safitri (43214110072)
Listyowati (43214110310)
Tri Setyo Utami (43214110313)

PROGRAM STUDI AKUNTASI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat menyelesaikan sebuah tugas makalah mata
kuliah Manajemen Perpajakan yang diberikan oleh Bapak Suparno, SE, MM, M.Akt selaku
dosen Pengampu.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas dari dosen yang
bersangkutan agar memenuhi tugas yang telah ditetapkan, dan juga agar setiap mahasiswa
dapat terlatih dalam pembuatan makalah. Makalah ini berjudul Perencanaan, Penerapan
Efisiensi dan Penghindaran dari Sanksi Pajak PPh 21.
Adapun sumber-sumber dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari berbagai
macam buku, modul perkuliahan dan juga melalui media internet. Kami sebagai penyusun
makalah ini, sangat berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak dapat secara
langsung untuk mengucapkannya. Dan tak lupa juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen
mata kuliah Manajemen, Bapak Suparno, SE, MM, M.Akt yang senantiasa dengan sabar
selalu membimbing.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik
dalam segi penulisan maupun penempatan kata-kata, untuk itu kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan pada
makalah berikutnya.
Semoga makalah ini bisa memberikan informasi tambahan bagi masyarakat atau
perusahaan dalam memberikan loyalitas kepada karyawan karena hal itu juga bermanfaat
sebagai pengurang pajak perusahaan dan bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 18 April 2017

Penulis ( Kelompok 4 )

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................ii

Daftar Isi....................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perencanaan Pajak PPh 21.............................................................................3

2.2 Perlakuan Mengefisiensikan Beban Pajak PPh 21...........................................................5

2.3 Penghindaran Sanksi Pajak PPh 21................................................................................14

BAB III PENUTUP..................................................................................................................17

Daftar Pustaka............................................................................................................................iv

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pajak merupakan salah satu alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan Negara
untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari
masyarakat, guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi
masyarakat. Pertimbangan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus memperhatikan
keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan
keabsahan tersebut, perlu diperhatikan asas-asas atau prinsip pemungutan pajak yang baik
dan benar. Meskipun asas atau prinsip menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut
hendaklah memadai untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi hendaknya dalam
implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai
terlalu tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian
diperlukan adanya suatu kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi, disamping itu juga untuk menentukan siapa-siapa yang berhak
dan tidak berhak dikenakan pajak guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan
pembangunan nasional.

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-


langkah manajemen perpajakan yang baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya
sistematis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian
dibidang perpajakan untuk mencapai penemuan kewajiban perpajakan yang minimum. Jadi
manajemen perpajakan merupakan upaya untuk mengimpletasikan fungsi menajemen agar
dapat dicapai efektivitas dan efisiensi melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.

Sedangkan perencanaan perpajakan atau tax planning merupakan tahap awal untuk
melakukan analisis secara sitematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan
untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan minimum. Perencanaan pajak (tax
planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak, salah satunya dengan merekayasa
agar beban pajak (tax burden) serendah mungkin, misalnya dengan memperbesar biaya-biaya
yang boleh dikurangkan dari penghasilan (deduction) sehingga penghasilan kena pajak
menurun atau memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan namun
tidak melanggar peraturan perpajakan yang ada. Tidak ada yang salah dengan melakukan
perencanaan untuk menghindari pajak asalkan menggunakan metode yang legal.

1
Untuk dapat melakukan penghematan terhadap pajak, terutama Pajak Penghasilan
(PPh) perorangan dan badan dapat dilakukan dengan perencanaan pajak pada biaya-biaya
yang berkaitan dengan kesejahteraan bagi karyawan, salah satunya adalah pada pemberian
penghasilan kepada karyawan. Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk melakukan
pemungutan terhadap PPh Pasal 21 yaitu: Metode Net, Metode Gross,dan Metode Gross Up.

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan
wajib pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21,
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri
(SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah
orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha
Tetap (BUT), akan dikenai PPh Pasal 26.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perencanaan Pajak Untuk PPH 21


Pengertian Perencanaan Pajak
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa
usaha dan transaksi wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi
masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat
diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan
tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.
Salah satu fungsi manajemen pajak adalah perencanaan pajak (tax planning).
Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait
dengan konsekuensi potensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut
dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan dibayar. Dalam penyusunan perencanaan
pajak harus sudah memahami secara mendalam tentang peraturan-peraturan perpajakan dan
selalu mengikuti perkembangan dan perubahan agar perencanaan pajak dapat berfungsi
dengan baik dan tidak terjadi suatu kesalahan
Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen
pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar,
tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh
laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban
perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap
perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan.
Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.
Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi
kewajiban pajak.
Perencanaan pajak dilakukan dengan memanfaatkan pengecualian pengecualian dan
celah celah perpajakan ( loopholes ) yang diperbolehkan oleh UU No 17 tahun 2000
tentang pajak sehingga perencanaan pajak tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran yang
akan merugikan wajib pajak dan tidak mengarah pada penggelapan pajak. Bangsa Indonesia
saat ini mengalami berbagai permasalahan diberbagai sektor khususnya sektor ekonomi atau
biasa disebut dengan krisis ekonomi. Didalam kondisi ekonomi saat ini, banyak perusahaan

3
mengalami gulung tikar atau memutuskan untuk menutup usahanya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor. Diantaranya adalah meningkatnya inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing ( dollar ) yang mengalami penurunan. Sebagai akibatnya perusahaan harus
mengeluarkan biaya usaha yang besar untuk membiayai kegiatan usahanya, tetapi dengan
pengeluaran yang besar tersebut, perusahaan tidak mendapatkan penghasilan yang sebanding
dengan biaya yang dikeluarkannya. Hal ini akan lebih terasa pada perusahaan yang
mempunyai pinjaman atau hutang berupa dollar dalam jumlah yang besar, perusahaan yang
tergantung pada barang impor atau perusahaan yang masih tergantung pada pihak asing.
Dalam keadaan seperti ini, maka manajer perusahaan harus dapat menentukan keputusan
serta tujuan dari perusahaan yang dipimpin atau dikendalikannya.
Hampir seluruh kehidupan perseorangan dan perkembangan dunia bisnis dipengaruhi
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaruh tersebut cukup berarti,
sehingga bagi para eksekutif komponen pajak merupakan komponen yang perlu mendapatkan
perhatian khusus.
Walaupun pajak berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan perseorangan dan
keputusan bisnis, tidaklah berarti bahwa pajak tersebut tidak dapat dikendalikan. Memahami
dengan baik ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan serta perkembangan dan
perubahannya, pada hakikatnya pajak tersebut akan dapat dimanajemeni dengan berhasil.

Prinsip-prinsip perencanaan pajak untuk PPh Pasal 21 adalah seperti di bawah ini :

1. Bagi Wajib Pajak yang menderita kerugian, mengganti pemberian kesejahteraan kepada
karyawan dalam bentuk natura menjadi tunjangan berupa uang hanya akan menaikkan
PPh Pasal 21, sementara PPh badan tetap Nihil karena masih merugi;

2. Bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki penghasilan kena pajak dengan jumlah yang
melebihi Rp 100 juta, diusahakan sesedikit mungkin memberikan kesejahteraan
karyawan dalam bentuk natura, agar dapat mengurangi penghasilan bruto perusahaan.
Karena memindahkan pengenaan pajak dari PPh Badan kepada PPh Pasal 21 akan lebih
menguntungkan perusahaan, dimana tarif progresif PPh Orang Pribadi akan
dimanfaatkan oleh semua karyawan;

3. Bagi wajib Pajak Badan yang memiliki penghasilan kena pajak dengan jumlah melebihi
Rp 100 juta, dan memiliki karyawan yang memperoleh penghasilan di atas Rp 200 juta,

4
maka lebih baik setiap tambahan penghasilan kepada karyawannya diberikan dalam
bentuk natura. Hal ini dikarenakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, tarif pajak tertinggi
adalah 35% untuk lapisan penghasilan di atas Rp 200 juta, sedangkan untuk PPh Badan
menggunakan tarif tertinggi 30%;

4. Untuk biaya-biaya berupa natura/kenikmatan/fasilitas yang merupakan keharusan,


sebaiknya diberikan dalam bentuk natura karena dapat dibiayakan secara fiskal, dan
bukan objek Pajak Penghasilan bagi karyawan yang menerimanya, yaitu :

Makanan dan minuman yang dimanfaatkan untuk seluruh maupun hanya oleh sebagian
karyawan;

Diwajibkan oleh Peraturan Keselamatan Kerja, semisal helm proyek;

Di daerah terpencil;

Tuntutan situasi lingkungan pekerjaan, semisal seragam satpam, seragam karyawanm yang
melayani pelanggan, dan sebagainya;

Fasilitas mobil dan ponsel, pengeluarannya dapat dibebankan sebesar setengahnya;

Pendidikan dan pelatihan karyawan.

2.2 Perlakuan Mengefisiensikan Beban Pajak PPh 21


Ada beberapa item yang berkaitan dengan perencanaan pajak PPh pasal 21 yaitu :
1. Klausal Pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Dalam bisnis ada beberapa konflik/kasus yang timbul dalam hal pemotongan PPh
Pasal 21 atau pasal 26 yang dilakukan oleh orang pribadi atas penghasilan yang
diterimanya sewaktu dilaksanakan pemotongan, sehingga terjadi dispute.
Secara normatif undang-undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik
proyek atau pemberi kerja untuk melaksanakan pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak
ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya
dengan alasan pada saat perjanjian atau kontrak kerja disepakati, tidak dibahas masalah
pajak sehingga mereka bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati sudah tidak

5
dipotong pajak lagi (net). Secara hukum, alasan pihak kontraktor memiliki justifikasi
hukum yang kuat, sehingga bila pada akhirnya pemilik proyek atau pemberi kerja yang
harus menanggung pajaknya yang merupakan tambahan beban bagi pemilik proyek atau
pemberi kerja tersebut yang tidak perlu terjadi, tambahan beban tersebut dalam jumlah
yang signifikan yang akan menggerus keuntungan perusahaan.
Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara
lain meliputi :
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, dikenakan tarif 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto. Ini berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas, sehingga PPh pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x
Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a.
- Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang dalam
pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan atau melakukan
penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari
Nilai Proyek.
Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan perjanjian atau kontrak kerja yang
tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum kontrak kerja ditanda
tangani harus dipastikan :
- Pemuatan klausal pajak dan dalam perjanjian atas kontrak kerja, yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak ( diluar harga pokok barang), yang
dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja
wajib memotong dari pembayarannya.
- Klausal pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh Pasal
21/26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya di dasarkan pada klausal
tersebut.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini
ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan akan dikenai kewajiban
membayar PPh Pasal 21 yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2%
dari pokok pajak.
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam
perusahaan pemilik proyek atau pemberi kerja , antara lain divisi pengadaan atau logistik,
divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di
luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang terkait harus mempertimbangkan aspek
6
perpajakan atas klausal perjanjian atau kontrak kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak
yang terutang dan siapa yang akan menanggung pajaknya.
2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara Gross Up
Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausal yang menyatakan bahwa nilai
kontrak sudah net, tidak termasuk pajak, atau pajak ditanggung perusahaan atau pemberi
kerja. Istilah tersebut sebaiknya dipergunakan secara hati-hai, karena akan berdampak
pada pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.
- Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung
oleh perusahaan atau pemberi kerja.Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung
perusahaan atau pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan ( non-deductible
expenses).
- Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiyakan, maka penghitungan PPh
harus menggunakan metode gross-up. PPh hasil penghitungan gross-up tersebut
dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktur pajak) atau menambah
penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan
tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.

Kita lihat ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang berikut ini :
Net (tidak Gross-Up) Gross Up
Nilai Pekerjaan 10.000.000 Nilai pekerjaan 10.000.000
PPh 5% 500.000 PPh 5% 526.316
Nilai kontrak(net) 10.000.000 Nilai kontrak 10.526.316
Catatan :
1. Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah tariff Pasal 17 dari nilai
bruto dan PPh yang ditanggung pemberi keja sebesar Rp 500.000 tanpa gross up dan
tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh tersebut tidak dapat dibiayakan.
2. PPh dihitung dengan metode gross-up akan menambah nilai kontrak sebesar, 5% Rp
10.000.000 X 100/(100-5) = Rp 526.316.

Pph sejumlah itu menjadi unsur biaya yang bersufat deductible expenses, karena bagi
penerima hal ini menjadi unsure penghasilan. Bagi perusahaan mana yang lebih
menguntungkan? Harus dipertimbangkan lebih jauh lagi.
- Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross-up akan menambah beban PPh Pasal
21 tanpa mempengaruhi PPh Badan terutang, pengaruhnya pada kompensasi kerugian.
7
Dari cash-flow timbul pegeluaran yang justru lebih besar, dan jika mempertimbangkan
time value of money, manajemen bisa memilih untuk tidak melakukan gross-up.
- Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah dikenai PPh pada lapisan
tetinggi, metode gross-up akan menghasilkan penghematan dari selisih tariff antara PPh
Badan dengan tariff PPh pasal 21 yang dikenakan.

Kasus ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan, apakah perusahaan akan
menanggung PPh atas penghasilan karyawan, atau akan diberikan tunjangan PPh dengan
metode gross-up.
3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum atau Reimbursement.
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan,
ataupun jenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak
berbeda.
- Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh
nilai yang dibayarkan,meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misalnya
transportasi, dan akomodasi.
Pengertian lump-sum perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu yang
meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya lainnya, tanpa disertai dengan
pertanggung jawaban dan bukti atas penggunaannya.
- Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila
terjadi kelebihan, harus dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat
dimintakan kembali (reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku
atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima atau diperoleh karyawan.
4. Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan Bersama
Sejak belakunya UU PPh Thun 2000, makanan dan minuman bagi kaeyawan sudah
boleh dibiayakan di PPh Badan (deductible expense). Perlu dikaji apakah perusahaan
masih memberikan tunjangan makan atau menyiapkan makan bersama sebagai pengganti
tunjangan makan?
Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak
menimbulkan pengaruh apapun, karena sama-sama bisa dibiayakan ( lihat Pasal 9 ayat (1)
huruf e UU PPh 2008, tetapi pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan
bertambahnya PPh Pasal 21. Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih
menguntungkan jika disiapkan makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila
8
dalam praktiknya harus menggunakan jasa catering, harus diigat timbulnya kewajiban
pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto.
Kajian harus dilakukan terhadap keseluruhan aspek perusahaan. Misalnya dari sudut
pandang psikologi karyawan,apakah akan menimbulkan gejolak atau tidak?
Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dlihat dari keseimbangan seluruh system.
5. Memberikan Tunjangan Kesehatan atau Fasilitas Pengobatan
Untuk biaya kesehatan, perusahaan memiliki pilihan, memberikan tunjangan
kesehatan, menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, atau menggunakan
method reimbursement biaya pengobatan.
Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya
bersifat taxable-deductible.Artinya, tunjangan kesehatan merupakan objek PPh Pasal
21 bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.
Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan pajaknya bersifat
non taxable-non deductable. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi karyawan dan
bukan biaya bagi perusahaan.
Bila menggunakan metode reimbursement maka perlakuan pajaknya;
bersifat non taxable-non deductible, bila persyaratan reimbursement dapat
dipenuhi,yaitu tidak boleh ada mark-up, bukti asli diserahkan ke perusahaan,
bukti dibuat atas nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan
diatur dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan karyawan.
bersifat taxable-deductible, bila persyaratan reimbursement tidak dapat dipenuhi.
Dalam hal ini esensinya adalah karyawan menerima uang dari perusahaan yang
kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan.
6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)
Penerapan Tax Planning Dalam PPh Pasal 21, antara lain dengan cara :
a. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan pajak bersifat final, diupayakan
seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan (benefit in kinds), karena pengeluaran tesebut tidak dapat dibebankan
sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai
diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan (mengurang profit).
b. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, memberikan
tunjangan kepada karyawan dalam bentu natura atua kenikmatan merupakan salah
satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh pasal 21. Pemberian
dalam bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi
PPh Badan karena pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh final. Tetapi untuk

9
tujuan komersial, baik pemberian dalam natura, kenikmatan atau dalam bentuk
tunjangan tetap, bisa menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung
penghasilan netto.
c. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, contohnya
perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan
dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk
natura dan kenikmatan yang bukan merupakan obyek pajak PPh pasal 21, sebagai
salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum umum Pph pasal 21,
selain itu pengeluaran untuk pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak
mempengaruhi besarnya PPh badan. Contoh : pemberian makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai (Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai
(Per-51/PJ/2009), kedua hal tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak menambah beban
beban PPh pasal 21 karena tidak menambah pendapatan dalam perhitungan PPh pasal
21 karyawan.

Alur Perencanaan Pajak PPh Pasal 21


Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan
memaksimalkan nilai perusahaan, memperoleh laba sesuai keinginan. Untuk mengenal laba
maksimal, perusahaan melakukan berbagai upaya .Salah satu upaya adalah menghemat beban
pajak.
Upaya penghematan beban pajak yang dilakukan perusahaan harus tetap
memperhatikan peraturan perpajakan (asas legalitas). Perencanaan pajak dimulai dengan
menganalisis dan memastikan metode penghitungan pajak penghasilan pasal 21 yang lebih
efisien serta memperhatikan mekanisme taxability-deductibility.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa manajemen tidak bertujuan untuk mengurangi
kewajiban pajak yang sebenarnya terutang, tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak
meleibihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar sehingga efisien bagi wajib pajak tanpa
melanggar ketentuan. Adanya manajemen dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan
membantu wajib pajak dalam mengelola kewajibannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi
yang timbul akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternative bagi
perusahaan untuk mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.

Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak

10
Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahan dimulai dengan
strategi mengefisiensikan beban pajak pajak (penghematan pajak) adalah dengan melakukan
pengaturan dan pengawasan dalam bidang perpajakan (organization and controlling) secara
rutin/regular karena berhubungan dengan transaksi yang berulang kali terjadi dengan tujuan
untuk meminimalkan tax exposure/resiko hutang pajak yang mungkin ajak timbul dalam
dalam suatu transaksi yang rutin tersebut.
Tujuan perencanaan pajak adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefisiensikan jumlah pajak yang aka ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut
sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion)
yang merupakan tindakan pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi. ( Mohammad Zain,
2003 :67).
Disamping itu juga agar terhindar dari sanksi dikemudian hari. Agar perencanaan
pajak sesuai dengan yang diharapkan, perusahaan perlu melakukan analisa terhadap metode-
metode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi
beban pajak dapat tercapai.
Misalnya :
- Memberi tunjangan dalam bentuk uang atau natura atau kenikmatan, karena pada
dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sbagai
biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai
penghasilan yang dikenai pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya.
Pemberian tunjangan senacam ini, selain akan memberi kepuasan dan meningkatkan
motivasi kerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka.
- Perusahaan memberi tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilitas
pengobatan. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai diberikan dalam
bentuk uang, maka dari pihak perusahaan tunjangan itu dapat diakui sebagai biaya, dan
sebagai penghasilan bagi pegawai sehingga dikenai PPh pasal 21.
- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara
memahami seluruh peraturan, menghitung pajak dengan tepat dan benar, membayar
pajakserta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.
Dari kebijakan perencanaan pajak perusahaan yang telah diterapkan dan saat
diluncurkannya prigram reformasi perpajakan, sejak itu pula berkembang pemikiran dari
wajib pajak untuk mengefisiensikan pajak yang harus menjadi beban perusahaan.
Dalam perhitungan PPh Pasal 21 terdapat 3 (tiga) metode yang bisa diaplikasikan , yakni
metode net, metode Gross, dan metode Gross up.
11
a. Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak di mana perusahaan menanggung Pph pasal 21
karyawan.
b. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak di mana karyawan menaggung sendiri jumlah
pajak penghasilannya, yang biasanya dipotong langsung dari gaji karyawan yang
bersangkutan.
c. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotogan pajak, di mana perusahaan memberikan tunjangan pajak.
PPh Pasal 21 yang diformulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak PPh pasal
21 yang akan dipotong dari karyawan.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan atau pemberi kerja didasarkan atas Pasal 4 huruf d Peraturan Pemerintah
Nomor 138 Tahun 2000.
Penggunaan metode gross up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi
karyawan. Dengan menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh Pasal
21 ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa lebih
diperhatikan. Meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan akan meningkatkan
produktivitas mereka. Semua metode ini diperbolehkan undang-undang dan peraturan
perpajakan. Jadi tinggal memilih menggunakan metode yang mana, yang paling efisien bagi
perusahaan dan menguntungkan karyawan.
Perbedaan prinsipil antara Net Method dengan Grosss-Up Method adalah sebagai berikut :
a. Bahwa pada metode net besarnya Pph pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan tersebut
tidak dimasukkan sebagai tunjangan pajak di SPT PPh pasal 21 , sedangkan pada metode
gross up , besarnya tunjangan pajak PPh Pasal 21 tersebut dimasukkan sebagai elemen
penghasilan dari tunjangan pajak yang dicantumkan di SPT PPh Pasal 21.
b. Bahwa pada metode net, besarnya PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan tidak
bisa dibiayakan (non deductible) sedangkan pada metode gross up seluruh tunjangan
pajaknya bisa dibiayakan (deductible).
Pemberian tunjangan kepada karyawan bisa sebagai fringe beneit/natura, bisa berupa
pajak yang ditanggung perusahaan atau berupa tunjangan pajak.Hal ini merupaan kebijakan
internal internal perusahaan ataupun kesepakatan antara pihak perusahaan dengan pihak
karyawan.

12
Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up yang sesuai dengan UU PPh No. 36 tahun
2008
1. PKP Rp 0 s/d 50.000.000
Pajak = 1/0,95 (PKP X 5% )

2. PKP di atas 50.000.000 s/d 250.000.000


Pajak = 1/0,85 { ( PKP X 15% ) 5 juta } .

3. PKP di atas Rp 250.000.000 s/d 500.000.000


Pajak = 1/0,75 { (PKP X 25%) 30 juta }

4. PKP di atas Rp. 500.000.000


Pajak = 1/0,70 {(PKP X 35%)- 55 juta ].

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode Gross Up yang sesuai UU PPh NO.36 tahun 2008,
harus dilakukan 2 tahap.

Tahap 1.
Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa tunjangan
pajak dengan menggunakan rumus gross up di atas.
Contoh ;
Tuan Amir, pegawai tetap DEX sejak tahun 2005, status K/1, tahun 2010 menerima
penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut :
Gaji/ tahun 120.000.000
Tunjangan makan siang 3.600.000
JKK= 1,27% X 120 juta 1.542.000
JKM=0,30% X 120 juta 3.600.000
128.742.000
Bonus 5.000.000
133.742.000
Pengurangan
Biaya Jabatan 5% max 6.000.000
Iuran Pensiun (dibayar Sendiri) 2.400.000
JHT = 2% X 120 jt 2.400.000
13
( 10.800.000 )
122.942.000
PTKP K/1 ( 18.480.000)
104.462.000
Karena PKP ada di lapisan tarif ke 2, maka rumus gross up yang dipakai adalah lapisan ke 2.
Lapisan ke 2 = 1/0,85 {(PKP X 15% ) 5.000.000}
Tunjangan Pajak = 1/0,85 X (104.462.000 X 15% ) - 5.000.000
Tunjangan Pajak = 12.552.118
Tahap 2
Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus gross up, baru dimasukkan unsur
tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan ini memperihatkan
bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama, maka PPh tersebut dapat
dibiayakan (deductible.

Gaji /tahun 120.000.000


Tunjangan makan siang 3.600.000
Tunjangan Pajak (gross up) 12.552.118
JKK = 1,27 % X 120 jt = 1.542.000
JKM= 0,30% X 120 jt = 3.600.000
141.294.118
Bonus 5.000.000
146.294.118
Dikurangi
Biaya Jabatan 6.000.000
Iuran Pensiun 2.400.000
JHT =2% X 120 jt = 2.400.000
(10.800.000)
135.494.118
PTKP (18.480.000)
PKP 117.014.118
PPh Terutang :
PPh Pasal 21 : 5% X Rp 50.000.000 = 2.500.000
15% X Rp 67.014.118 = 10.052.118
Total PPh Pasal 21 = 12.552.118
14
2.3 Penghindaran Sanksi Pajak PPh 21

Pembayaran sanksi perpajakan yang tidak seharusnya terjadi merupakan pemborosan


sumber daya perusahaan. Penghindaran terhadap pemborosan tersebut merupakan
optimalisasi alokasi sumber daya perusahaan kea rah yang lebih produktif dan efisien
sehingga meminimalisasi pemborosan tersebut dan dapat memkasimalkan kinerja dengan
benar, selain harus kerja dnegan keras dan cermat.

Sanksi administrasi tersebut dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan. Sedangkan
sanksi pidana dapat berupa pidana penjara maupun denda financial.

Walaupun perusahaan telah memenuhi kewajiban perpajakan secara formal, tetapi kalau
ternyata motivasi rekayasa tidak sesuai dengan jiwa dari ketentuan perpajakan, administrasi
perpajakan (fieus) dapat menganggap bahwa WP kurang patuh dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya.

Setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak
(tax planning):

a. Tidak melanggar kewajiban dan ketentuan perpajakan. Bila suatu perencanaan pajak
ingin dipaksakan dengan melanggar ketentuan perpajakan buat WP merupakan resiko
yang sangat berbahaya dan mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut.

b. Secara bisnis perencanaan pajak masuk akal, karena perencanaan pajak merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan menyeluruh perusahaan, baik jangka
panjang maupun jangka pendek. Maka perencanaan pajak yang tidak masuk akan akan
memperlemah perencanaan itu sendiri.

c. Bukti-bukti pendukungnya yang memadai.

Pelaksanaan kewajiban perpajakan

15
Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan
dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah
mengimplementasikannya baik secara formal maupun materiel. Harus dipastikan bahwa
pelaksanaan kewajiban perpajakannya telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan. Dan jika dalam
pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku maka praktek tersebut telah
menyimpang dari tujuan manajemen pajak.

Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan
dilaksanakan yaitu :

a. Memahamiketentuan dan peraturan perpajakan. Dengan mempelajari peraturan perpajakan


seperti UU, PP, Keppres, KMK, SK, dan SE DitJen Pajak, kita dapat mengetahui
peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak.

b. Menyelenggarakanpembukuan yang memenuhi syarat. Pembukuan merupakan sarana yang


sangat penting dalam menyajikan informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam
bentuk LK dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak (UU KUP pasal
28).

Pengendalian pajak (tax control)

Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah


dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal
maupun materil. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran
pajak. Oleh sebab itu pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi
penghematan pajak, misalnya pembayaran pajak dilakukan saat akhir tentu lebih
menguntungkan dibandingkan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk
pemeriksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang.

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Salah satu fungsi manajemen pajak adalah perencanaan pajak (tax planning).
Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait
dengan konsekuensi potensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut
dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan dibayar.
Perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi strategi (program), taktik
taktik (tata cara pelaksanaan program), dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh.
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan dalam meminimalkan jumlah pajak yang
harus dibayar yaitu penggeseran (shifting), kapitalisasi, transformasi, penghindaran
(avoidance) dan penyelundupan (evasion). Semua strategi di atas merupakan bagian dari tax

17
planning. Tax planning memberikan suatu formula umum yang bisa digunakan untuk
mengatur secara sistematis jumlah pajak yang harus dibayar. Di dalam formula umum ini, ada
item-item yeng nantinya harus menjadi pusat perhatian dari wajib pajak atau apabila
menggunakan konsultan adalah tax planner.
Intinya Tax Planning (perencanaan pajak) adalah proses mengorganisasi usaha wajib
pajak sekelompok wajib pajak sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun
pajak lainnya. Dan pada umumnya, perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa
usaha transaksi wajib pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih
dalam bingkai peraturan perpajakan. Jika perencanaan tepat maka akan menghasilkan beban
pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan / penghindaran pajak
bukan karena penyelundupan pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang
undangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

http://ilmupengertian.blogspot.com/2013/06/perencanaan-pajak-tax-planning.html

http://konsultanpajak-aaa.com/pajak-%20perencanaan.html

http://indriramadhaniekonomi.blogspot.com/2013/05/strategi-perencanaan-dan
manajemen_15.html

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/11/27/pengertian-dan-manfaat-perencanaan-
pajak-512217.html

http://riskymahira.blogspot.com/2012/11/perencanaan-pajak-tax-planning.html

Erly Suandi, 2011, Perencanaan Pajak, Penerbit Salemba Empat (ES)

Drs.Chairil Anwar Pohan,MSi,MBA, 2013, Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan


Pajak dan Bisnis, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Primandita F, dkk, 2009, Kompilasi UU pajak, Penerbit Salemba Empat (PF)

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Kep. Ditjen Pajak dan peraturan
perpajakan lainnya.

You might also like