You are on page 1of 38

Makalah Farmasi

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh:
Widati Hikmatul Fitri
G99162117

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal (Sularsito et al, 2009). Dermatitis kontak
adalah reaksi fisiologik yang terjadi pada kulit karena kontak dengan substansi
tertentu, dimana sebagian besar reaksi ini disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya
disebabkan oleh alergen yang merangsang reaksi alergi (Lehrer, 2006). Dermatitis
kontak merupakan suatu respon inflamasi dari kulit terhadap antigen atau iritan
yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa malu dan merupakan kelainan
kulit yang paling sering pada para pekerja (Michael, 2005; Schalock, 2006).
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang
bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan
respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan
mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis
(Schalock, 2006). DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak
terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun
dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui (Sularsito et al, 2005; Marks et al,
2007).
DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit), biasanya
sebagai respon terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang berbeda-beda bisa
terjadi. Tiga perubahan patofosiologi utama adalah disrupsi sawar kulit,
perubahan seluler epidermis dan pelepasan sitokin.6 Iritan pada DKI meliputi
yang ditemui sehari-hari seperti air, deterjen, berbagai pelarut, asam, bassa, bahan
adhesi, cairan bercampur logam dan friksi. Sering bahan-bahan ini bekerja
bersama untuk merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara memindahkan

2
minyak dan pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan masuk lebih dalam
dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan memicu inlamasi (Kezic, 2009)..
DKI masih belum banyak diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis
kontak alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang dermatitis kontak konsern pada
DKA. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis adalah berdasarkan ekslusi
penyakit kutan lainnya (khususnya DKA) dan pada penampakan klinis dermatitis
pada tempat yang terpapar dengan cukup terhadap iritan yang diketahui (Hogan,
2006). Terkadang penampakan klinis DKI kronik mirip dengan DKA. Beberapa
sumber menyatakan DKI kronik pada telapak tangan dan telapak kaki sulit
dibedakan dengan DKA (Jovanovi, 2003). Dalam penatalaksanaan DKI, penting
bagi penderita dan dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan
penyakitnya tersebut sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif
(Kezic,2009). Makalah ini membahas kasus DKI yang mengenai seorang
penderita pada daerah telapak tangan dan telapak kakinya setelah terpapar
substansi deterjen

II. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya
dermatitis kontak sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta mendapat
penanganan yang adekuat dan tepat agar dapat mengontrol gejala dengan baik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) merupakan penyakit
dermatitis kontak yang didapatkan dari pekerjaan akibat interaksi yang
terjadi antara kulit dengan substansi yang digunakan di lingkungan kerja.
Substansi tersebut mengiritasi kulit, menjadikannya tidak intak lagi (rusak)
dan merangsang reaksi peradangan. Jadi iritasi kulit merupakan penyebab
tersering dermatitis kontak (Sularsito & Djuanda, 2009). Bentuk respon dari
dermatitis kontak dihasilkan melalui satu atau dua jalur utama, iritan atau
alergi, dimana 80% didominasi oleh dermatitis kontak iritan dan sisanya
20% adalah dermatitis kontak alergi. Keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis.DKI adalah inflamasi kutaneus yang disebabkan oleh efek sitotoksik
langsung dari bahankimia atau fisik tanpa menghasilkan antibodi spesifik.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi radang imunologi kulit akibat
kontak dengan alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi
radang terjadi melalui proses imunologi. Saat pajanan pertama kali,
seseorang tidak mengalami reaksi apapun terhadap alergen. Seseorang
menjadi peka terhadap alergen setelah berulang kali kontak dengan alergen
(Koh&Goh, 2009).

B. Epidemiologi
Efek samping bahan deterjen dari bahan kimia terhadap kulit telah
banyak dilaporkan dan umumnya melibatkan dermatitis kontak yang dapat
terjadi akibat reaksi alergi maupun bahan iritan dan bagian tubuh yang
terlibat biasanya adalah tangan dan kaki. DKI dapat diderita oleh semua
orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita
DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan
pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit
diketahui (Sularsito et al, 2009). Hal ini disebabkan antara lain oleh

4
banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau
bahkan tidak mengeluh adanya keluhan yang mengganggu pasien.
Di Amerika, DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan
mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan
atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih,
pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis
tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-
bersih, penata rambut dan tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan
karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja
yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali
setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x
tiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena
pekerjaan (OR=4,13) (Jovanovi, 2005; Kezic, 2009).
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada
perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada
wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan
usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia. Banyak kasus karena dermatitis
diaper (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada urine dan feses.
Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak
toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang
terpapar iritan dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan
riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang (Kezic, 2009).

C. Etiologi
Etiologi Dermatitis Kontak Iritan
Pada DKI, kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berulang), adanya oklusi menyebabkan kulit
lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis, serta faktor suhu
dan kelembaban lingkungan. Faktor individu juga ikut berpengaruh pada

5
DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lebih lanjut
lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitamlebih tahan dari kulit putih); jenis
kelamin (insiden DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang
pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan
menurun), misalnya dermatitis atopik Penggunaan deterjen dapat
menghilangkan lipid dan kelembapan alami tangan. (Sularsito & Djuanda,
2009).

Etiologi Dermatitis Kontak Alergi


Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (< 1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai
faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi
alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,
terpajan sinar matahari)(Sularsito&Djuanda, 2009).

D. Patogenesis
Patogenesis Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Pada DKI, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimia atau fisis. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan
tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan merusak
membran lemak keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel
dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan
membran mengaktifkan fosfolipase dan melepas asam arakidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3).

6
AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular
sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta
mengaktivasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF,
sehingga memperkuat perubahan vaskular. DAG dan second messengers
lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1
(IL-1) dan granulocyte macrophage colony stimulation factor (GMCSF). IL-
1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel
tersebut.Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga
melepaskan TNF, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifkan sel
T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin. Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala
peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit. Bahan iritan lemah
akan menimbulkan kelainan kulit setelah 6 bulan berulang kali kontak,
dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang
menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga
mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (DKA)


Dermatitis kontak alergi dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (IV) yang terbatas pada sejumlah orang tertentu setelah terpapar satu
atau beberapa substansi antigenik. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami
sensitisasi dapat menderita DKA.
1. Fase Sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol. Di dalam

7
kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan kompleks HLA-
DR-antigen kepada sel-T penolong spesifik, yaitu yang
mengekspresikan CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans, dan
kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Sel langerhans mensekresi IL-1 yang kemudian
menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi
reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel T
spesifik sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T
memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening
dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
2. Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten). Seperti
pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan
diproses secara kimia menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR
kemudian diekspresikan di permukaan sel.Selanjutnya kompleks
HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada selT yang telah
tersensitisasi baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi
aktivasi. Keratinosit menghasilkan sejumlah sitokin dan eikosanoid
yang akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang
berada dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan histamin,
berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4). Eikosanoid, baik yang berasal dari sel mast
(prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan
dilatasi 7 vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga
molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke
dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan
eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari
pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut
akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi umumnya
berlangsung 24-48 jam. (Sularsito&Djuanda, 2009).

8
E. ManifestasiKlinis
Dermatitis adalah peradangan kulit dengan morfologi khas namun
penyebabnya bervariasi. Manifestasi klinis dari DKI bermacam-macam
tergantung faktor eksternal seperti lingkungan (tekanan mekanik, suhu, dan
kelembaban) dan faktor predisposisi individu (umur, jenis kelamin, penyakit
kulit sebelumnya, keadaan atopik, dan lokasi anatomis). Orang yang berusia
lanjut tidak hanya lebih rentan terhadap DKI melainkan gejala dan klinisnya
lebih berat, hal ini disebabkan karena telah menurunnya barrier pertahanan
kulit. Faktor lingkungan seperti suhu dingin dan kelembaban udara yang
menurun dapat menurunkan kadar air dalam stratum korneum. Suhu yang
dingin sendiri dapat menurunkan kekompakan lapisan korneosit sehingga
menyebabkan terpecahnya stratum korneum (Wahyudi & Hutomo, 2005).
Pada pasien dengan DKI, ketika kulit terkena paparan iritan maka kulit akan
menjadi radang, bengkak, kemerahan, dan dapat berkembang menjadi
vesikel kecil atau papul (tonjolan) yang pada tahap akut mengeluarkan
cairan. Pada tahap kronis, kulit menjadi bersisik, mengalami likenifikasi,
menebal, retak, dan dapat berubah warna.(Koh & Goh, 2009).Gatal, perih,
dan rasa terbakar terjadi pada bintik-bintik merah tersebut. Reaksi inflamasi
dapat bermacam-macam, mulai dari gejala awal seperti yang telah
disebutkan tadi sampai pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Pada
pasien yang terpapar iritan kronis, area kulit tersebut dapat mengalami
radang, dan mulai mengkerut, membesar, bahkan terjadi
hiper/hipopigmentasi dan penebalan (likenifikasi). Berdasarkan penyebab
dan pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi DKI diklasifikasikan
menjadi dua kategori yaitu kategori mayor terdiri atas DKI akut termasuk
luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri atas DKI
lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa, dan DKI
subyektif (Sularsito & Djuanda, 2009). Tanda dan gejala DKA sangat
tergantung pada alergen, tempat, dan durasi pemaparan serta faktor individu.
Pada umumnya kulit tampak kemerahan dan bulla. Blister juga mungkin
terjadi dan dapat membentuk crust dan scales ketika pecah. Gatal, rasa

9
terbakar, dan sakit merupakan gejala dari DKA.Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel,vesikelataubula.Vesikelataubula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.DKA dapat meluas ketempat lain dengan cara autosensitasi (Sularsito
& Djuanda, 2009).

F. Diagnosis
Diagnosis penyakit kulit akibat kerja tidak hanya membutuhkan
pengetahuan yang baik mengenai dermatologi, tapi juga pengetahuan praktis
tentang proses pekerjaan pasien, bahan yang digunakan, praktik, dan
kebiasaan pasien. Tampilan klinis penyakit kulit akibat kerja sama dengan
penyakit kulit yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Terdapat bahaya
saat kita mengabaikan penyakit kulit akibat kerja yaitu bahwa penyakit
pasien akan kambuh lagi bila pasien kembali bekerja (Koh&Goh, 2009).
Anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti sangat diperlukan
untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak. Pemeriksaan tambahan
yang relevan termasuk uji tempel dan tes laboratorium yang dilakukan
bersamaan dengan kunjungan ke tempat kerja, sering memungkinkan dokter
untuk menegakkan diagnosis yang tepat (Koh&Goh, 2009). Perbedaan
antara DKI dan DKA dapat dilihat pada Tabel 1.

10
Anamnesis
Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk
mencari kausanya karena hal tersebut penting dalam menentukkan terapi
dan tindak lanjutnya supaya tidak terjadi kekambuhan (Koh & Goh, 2009).
Pada anamnesis yang penting untuk ditanyakan antara lain:
1. Riwayat pekerjaan sekarang: tempat bekerja, jenis pekerjaan,
kegiatan yang lazim dilakukan pada hari kerja, pakaian pelindung
dan peralatan, dan fasilitas kebersihan dan prakteknya
2. Faktor pekerjaan sehubungan dengan gangguan kulit seperti material
yang dipakai dan proses yang dilakukan, informasi mengenai
kesehatan dan keselamatan tentang material yang ditangani, apakah
ada perbaikan pada akhir pekan atau pada hari libur, riwayat kerja
yang lalu sebelum bekerja di tempat tersebut, riwayat tentang
penyakit kulit akibat kerja yang pernah diderita, apakah ada
pekerjaan rangkap di samping pekerjaan yang sekarang
3. Riwayat lainnya secara umum: latar belakang atopi (perorangan atau
keluarga), alergi kulit, penyakit kulit lain, pengobatan yang telah
diberikan, kemungkinan pajanan di rumah, dan hobi pasien.

Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai; yang tersering adalah daerah yang terpajan,
misalnya tangan, lengan, muka, atau anggota gerak. Kemudian tentukan
ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa eritem,
vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan yang kulit yang kronis berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, kering, dan skuamasi. Bila ada infeksi terlihat
pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak tumor, eksudasi, lesi verukosa atau
ulkus (Taylor & Sood, 2003).

11
Pemeriksaan Penunjang
Uji tempel adalah tes definitif untuk menentukan dermatitis kontak
alergi. Prosedur tes ini digunakan untuk mengidentifikasi alergen yang
menyebabkan dermatitis. Prosedur tes ini berupa penempelan satu set
alergen yang dicurigai yang ditutup rapat di atas kulit punggung bagian atas
selama 48 jam (Koh&Goh, 2009). Setelah dibiarkan menempel selama 48
jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah
dilepas agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Pembacaan kedua dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya
72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respon alergik dan iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam setelah aplikasi (Sularsito&Djuanda, 2009).

G. Penatalaksanaan
Pencegahan
Berdasarkan hasil penelitian, gejala DKAK dapat berkurang ketika
penderita beristirahat dari pekerjaannya dan kekambuhan saat bekerja
bervariasi, yaitu 35-80%. Pasien dengan DKAK yang memiliki prognosis
yang buruk, pencegahan lini pertama sangatlah penting untuk dilakukan
(Taylor & Sood, 2003). Prevalensi dermatosis akibat kerja dapat diturunkan
melalui pencegahan yang sempurna, antara lain:
1. Pendidikan pengetahuan tentang kerja dan bahan yang mungkin
dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dan cara mempergunakan
alat serta akibat buruk alat tersebut.
2. Para karyawan dilengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung
yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya
merangsang atau karsinogen seperti baju pelindung dan sarung
tangan.
3. Melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima di suatu
perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini, karyawan baru dapat

12
ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan
terhadap dirinya.
4. Pemeriksaan kesehatan berkala yang bertujuan untuk mengetahui
dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit
kulit akibat kerja.
5. Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara
sukarela untuk mengetahui apakah ada menderita suatu dermatosis
akibat kerja
6. Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia, dan ahli dalam
bidang tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja, atau
memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan
pekerjaan untuk mencegah kontaminasi kulit (Taylor & Sood, 2003).

Pengobatan
Dermatitis Kontak Iritan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan
dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup
dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila
diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat
diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis yang ditangani ataupun tidak ditangani secara alami
membutuhkan waktu sekitar 10-21 hari untuk mereda akibat sistem imun
pasien sendiri.Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek
untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan
eritema, edema, vesikel, atau bula, serta eksudatif, misalnya prednison
30 mg/hari. Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan

13
larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000. Untuk DKA ringan atau
DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kostikosteroid atau
makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus (Sularsito & Djuanda,
2009).

14
BAB III
STATUS PASIEN

A. Anamnesis

1. Identitas Penderita
Nama : Ny. W
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin :P
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Laundry
Alamat : Surakarta
No. RM : 01350XXX
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 15 November 2016
Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2016

2. Keluhan Utama
Gatal dan perih pada kedua jari tangan.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSDM dengan keluhan
kulit mengelupas di ujung jari-jari kedua tangan dan telapak kaki. Keluhan
ini sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya pasien merasakan
sedikit gatal pada ujung-ujung jari kedua tangan diikuti munculnya
perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kemudian sering digaruk, lalu
kulit pasien seperti bersisik dan mengelupas. Keluhan ini dikatakan
muncul setelah pasien mencuci dengan detergen attack. Menurut pasien
keluhan sempat berkurang setelah pasien berhenti mencuci dengan tangan,
namun kemudian muncul kembali beberapa minggu setelah pasien
kembali mencuci menggunakan detergen dengan tangannya. Dikatakan
kaki pasien juga terkena air cucian yang mengandung air detergen.

15
Pasien juga mengeluh perih pada ujung jari-jari kedua tangannya. Keluhan
ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu bersamaan dengan munculnya
kemerahan dan pengelupasan kulit. Keluhan kulit terasa lebih tebal ada,
gatal tidak ada. Keluhan timbulnya lesi yang sama pada lipatan siku dan
lutut tidak ada. Karena kesibukan pasien maka pasien baru dapat berobat
sebulan setelah keluhan awal muncul. Saat ini pasien mengatakan gatal
muncul hampir setiap saat, baik pagi maupun malam hari dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Dua hari sejak rasa gatal tersebut muncul gelembung-
gelembung air dan menjadi luka akibat digaruk.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat sakit ginjal (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat mondok (-)
Riwayat sakit serupa (-)
Riwayat alergi (-)

5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum jamu (-)
Riwayat minum obat bebas (-)
Riwayat minum alkohol (-)
Riwayat merokok (-)

6. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat alergi (-)
7. Anamnesis Sistemik

a. Keluhan Utama : gataldanperihpadakeduajaritangan


b. Kulit : kuning (-), kering (-), pucat (-), menebal(-),
gatal (+)di jari tangan, kemerahan (+)
di tangan, bercak-bercak kuning (-),
luka (-)

16
c. Kepala : pusing (-), nyeri kepala (-), nggliyer
(-),kepala
terasa berat (-), perasaan berputar-putar (-),
rambut mudah rontok (-)
d. Mata : konjungtiva pucat (-/-), mata berkunang
kunang(-),
pandangan kabur (-), gatal (-), mata merah (-/-)
e. Hidung : tersumbat (-), keluar darah (-),
keluar lendir atau
air berlebihan (-), gatal (-).
f. Telinga : pendengaran berkurang (-), keluar
cairan atau darah
(-), telinga berdenging (-).
g. Mulut : bibir kering (-), gusi mudah
berdarah (-), sariawan
(-), gigi mudah goyah (-), sulit berbicara (-)
h. Tenggorokan : rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk
menelan (-),
sakit tenggorokan (-), suara serak (-).
i. Sistem respirasi : sesak nafas (-),batuk (-),dahak (-), darah
(-), nyeri
dada (-), mengi (-).
j. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), terasa ada yang menekan
(-),
sering pingsan (-), berdebar-debar(-), keringat
dingin (-), ulu hati terasa panas (-), denyut
jantung meningkat (-), bangun malam karena
sesak nafas (-).
k. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), rasa penuh di perut
(-),
cepat kenyang (-), nafsu makan berkurang (-),
nyeri ulu hati (-), BAB cair (-), sulit BAB (-),
BAB berdarah (-),perut nyeri setelah makan
(-), BAB warna seperti dempul (-), BAB
warna hitam (-).
l. Sistem muskuloskeletal : lemas (-), seluruh badan terasa keju
kemeng (-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-),
bengkak sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot
(-), kejang (-), leher cengeng (-)
m. Sistem genitouterina : nyeri saat BAK (-), panas saat BAK (-),
sering buang air kecil (-), air kencing
warna seperti teh (-), BAK darah (-),

17
nanah (-), anyang-anyangan (-),
sering menahan kencing (-), rasa pegal di
pinggang, rasa gatal pada saluran kencing
(-), rasa gatal pada alat kelamin
n. Ekstremitas :
Atas : luka (+/+), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin
(-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit (-/-)
Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa
dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-), nyeri (-/-), lebam-lebam kulit
(-/-)

18
B. PemeriksaanFisik

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 15 November 2016


1. Keadaan Umum : CM, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
Tensi : 120 / 80 mmHg
Nadi : 80 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frek nafas : 18 x/menit, abdominothorakal
Suhu : 36,30C
3. Status gizi :
BB : 50 kg
TB : 160 cm

BMI : 19,53kg/m2
Kesan : Status gizi cukup
4. Kulit : warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna putih,
mudah rontok (-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-).
6. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-),
skleraikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)
7. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeritekan mastoid (-),
nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung :nafas cuping hidung (-), sekret (-),
epistaksis (-)
9. Mulut :sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-),
gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
10. Leher : JVP R + 2 cm (tidak meningkat), trakea
ditengah,simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-), distensi
vena-vena leher (-)
11. Axilla : rambut axilla rontok (-)
12. Thorax : bentuk normochest, simetris,
pengembangan dadakanan = kiri, venektasi (-), retraksi
intercostal (-),spidernevi (-), pernafasan torakoabdominal,

19
sela iga melebar(-), pembesaran KGB axilla (-/-), atrofi m.
Pectoralis (-).
a. Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : ictus kordis tidak kuat angka, teraba di 1 cm
sebelah medial SIC V linea medioclavicularis sinistra
Perkusi:
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis
dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
- Pinggang jantung : SIC III lateral parasternalis sinistra
konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
b. Pulmo
i. Depan
Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
- Dinamis: pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar,
retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis: pergerakan kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri

Perkusi
- Kanan : sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI linea
medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru hepar
- Kiri : sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC VI
lineamedioclavicularis sinistra
Auskultasi
- Kanan :suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
ii. Belakang

20
Inspeksi
- Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
- Dinamis: pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)
Palpasi
- Statis : simetris
- Dinamis: pergerakan kanan=kiri, fremitus raba kanan =kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor.
- Kiri : Sonor.
- Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi : timpani, Pekak alih (-), Pekak sisi (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-);hepar dan
lien tidak teraba
14. Ekstremitas
Akral dingin Oedem

15. Status Lokalis


Regio :manusdextra et sinistra
Effloresensi: Makula eritema, bentuk bulat, diameter 1 cm, jumlah
multipel, batas tegas, distribusi terbatas pada jari-jari tangan. Di atas
efloresensi primer terdapat efloresensi sekunder berupa erosi eritema
akibat garukan pasien.

21
C. Diagnosis Banding
1. Dermatitis KontakIritan
2. Dermatitis KontakAlergi
3. Dermatitis Atopi

D. Diagnosis
Dermatitis Kontak Iritan tipe kumulatif et causa bahan-bahan kimia
pembersih

E. Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
1. Avoidance atau menghindari pajanan bahan iritan, serta
menyingkirkan faktor memperberat
2. Tidak menggaruk luka dan memakai alat pelindung diri yang
adekuat ( sarung tangan) agar tetap dapat bekerja
3. Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit,
kondisi pasien dan penatalaksanaan
B. Medikamentosa
1. Hydrocortisone cream 2,5%
2. Loratadine tablet 10 mg 1 x 1

22
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

R/ Hydrocortisone cream 2,5% tube fl. No. I


ue
R/ Loratadine tab mg 10 No. V
1 dd tab I
Pro : Ny. S (30tahun)

I. KortikosteroidTopikal
Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting
pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi.Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat
yang dioleskan di kulit pada tempat tertentu.Kortikosteroid topikal telah
digunakan untuk mengobati penyakit kulit sejak diperkenalkan
hidrokortison sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid
pada tahun 1952

A. Klasifikasi Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal diklasifikasikan dalam 7 golongan
berdasarkan potensi klinisnya, yaitu:
1. Golongan I : Super Potent
Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5%
Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05%
Diflorasone diacetate ointment 0,5%
Halobetasol proprionate ointment 0,05%

2. Golongan II : Potent
Amcinonide ointment 0,1%

23
Betamethasone diproprionate AF cream 0,05%
Mometasone fuorate ointment 0,1%
Diflorasone diacetate ointment 0,05%
Halcinonide cream 0,1%
Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%

3. Golongan III : Potent, upper mid-strength


Triamcinolone acetonide ointment 0,1%
Fluticasone proprionate ointment 0,05%
Amcinonide cream 0,1%
Betamethasone diproprionate cream 0,05%
Betamethasone valerate ointment 0,1%
Diflorasone diacetate cream 0,05%
Triamcinolone acetonide cream 0,5%

4. Golongan IV : Mid-strength
Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
Flurandrenolide ointment 0,05%
Fluticasone proprionate cream 0,05%
Hydrocortisone valerate cream 0,2%
Mometasone fuorate cream 0,1%
Triamcinolone acetonide cream 0,1%

5. Golongan V : Lower mid-strength


Alclometasone diproprionate ointment 0,05%
Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
Betamethasone valerate cream 0,1%
Fluocinolone acetonide cream 0,025%
Flurandrenolide cream 0,05%
Hydrocortisone butyrate cream 0,1%
Hydrocortisone valerate cream 0,2%

24
Triamcinolone acetonide lotion 0,1%

6. Golongan VI : Mild strength


Alclometasone diproprionate cream 0,05%
Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
Desonide cream 0,05%
Fluocinolone acetonide cream 0,01%
Fluocinolone acetonide solution 0,05%
Triamcinolone acetonide cream 0,1%

7. Golongan VII : Least potent


Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan
prednisole.

Dalam penggolongan ini, obat yang sama dapat ditemukan


dalam klasifikasi potensi obat yang berbeda tergantung dari
vehikulum yang digunakan.

B.
MekanismeKerjaKortikosteroidTopikal
Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum
dan melalui membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit
dan sel-sel lain yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu
memasuki jaringan, kortikosteroid berdifusi menembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid.

Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang


berhubungan dengan mekanisme kerja yang berbeda, antara lain
adalah efek anti-inflamsi, imunosupresif, antiproliferasi, dan

25
vasokonstriksi. Efek kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi
oleh ikatan kortikosteroid pada reseptor di sitosol, diikuti dengan
translokasi kompleks obat-reseptor ke daerah nukleus DNA yang
dikenal dengan corticosteroid responsive element, dimana lalu bisa
menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang
berdampingan, dengan demikian meregulasi proses inflamasi.

Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat
kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa
kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan
menghibisi pelepasan phospholipase A2, suatu enzim yang
bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin,
leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain.
Kortikosteroid juga menginhibisi faktor-faktor transkripsi
yang terlibat dalam aktivasi gen pro-inflamasi. Gen-gen ini
diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran dalam
resolusi inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan
interleukin 1 (IL-1), sitokin proinflamasi penting, dari
keratinosit. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-
inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis
dan menstabilisasi membran lisosom dalam memfagositosis
sel.
Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat
immunosupresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan
efek faktor-faktor humoral yang terlibat dalam proses
inflamasi, menginhibisi migrasi leukosit ke tempat inflamasi,
dan mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast dan
fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid
bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.

26
Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi
oleh inhibisi sintesis dan mitosis DNA, yang sebagian
menjelaskan terapi obat-obat ini pada dermatosis dengan
scale. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga
diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.
Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan
vasokonstriksi masih belum jelas, namun dianggap
berhubungan dengan inhibisi vasodilator alami seperti
histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Steroid topikal
menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis
berkonstraksi, sehingga mengurangi edema.

Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis


kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan
berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit
hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan
struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara
topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi
menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses
itu. Hidrokortison efektif semcara topikal mulai konsentrasi 1%.
Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami
perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi
perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang
bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem,
gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya).

C. Indikasi
Kortikosteroid topical dengan potensi kuat belum tentu
merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu

27
diingat bahwa kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Kortikosteroid topical direkomendasikan untuk aktivitas
anti-inflamasinya pada penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga
digunakan untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk
mengurangi sistesis molekul-molekul connective tissue. Variebel
tertentu harus dipertimbangkan saat mengobati kelainan kulit
dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon penyakit terhadap
kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bias
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif
sedang, dan kurang responsif sesuai tabel 2.

Highly Moderately Least Responsive


Responsive Responsive
Psoriasis Psoriasis Palmo-plantar psoriasis
(intertrigi Atopic Psoriasis of nails
nous) dermatitis
Atopic (adult) Dyshidrotic eczema
dermatitis Nummular Lupus erythematous
(children) eczema
Seborrhei Pemphigus
Primary
c irritant Lichen planus
dermatitis dermatitis
Granuloma annulare
Intertrigo Popular
urticaria Necrobiosislipoidicadiabeticu
Parapsoriasi m
s
Sarcoidosis
Lichen
simplex Allergic contact dermatitis,
chronicus acute phase
Insect bites

D.
Dosis
Largo dan Maibach mengobservasi dalam beberapa literature
terkini bahwa untuk kortikosteroid super poten, pemberian satu
kali per hari sama manfaatnya dengan pemberian dua kali per hari.

28
Sama halnya, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit perbedaan
dengan pemberian sekali atau dua kali per hari untuk kortikosteroid
poten atau poten sedang. Karena itu, pemberian kortikosteroid
topical satu kali per hari lebih dipilih, dapat mengurangi risiko efek
samping, mengurangi biaya pengobatan, dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
Sebagai aturan pakai, pemberian kortikosteroid topical
sebaiknya tidak lebih dari 45 g/minggu untuk kortikosteroid topical
poten atau 100 g/minggu untuk potensi sedang dan lemah jika
absorpsi sistemik dihindari.
Penyakit-penyakit yang sangat responsive biasanya akan
memberikan respon pada preparat steroid lemah, sedangkan
penyakit yang kurang responsive memerlukan steroid topical
potensi menengah atau tinggi. Kortikosteroid topical potensi lemah
digunakan pada daerah wajah dan intertriginosa. Kortikosteroid
sangat poten seringkali diperlukan pada hyperkeratosis atau
dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak tangan dan
kaki. Kortikosteroid topical harus dihindari pada kulit dengan
ulserasi atau atrofi.
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2
atau 3 minggu) atau secara intermiten. Saat kontrol terhadap
penyakit sudah dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi
lemah harus dimulai. Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya
pemakaian hanya pada pagi hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan)
dilakukan ketika kontrol terhadap penyakit sudah tercapai
sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba harus dihindari
setelah penggunaan jangka panjang untuk mencegah rebound
phenomena.

E. EfekSamping
Efek samping dapat terjadi apabila:

29
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.

2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau


sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal
termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis
akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis
peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid
menjadi beberapa tigkat, yaitu:

Efek Epidermal
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan
aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata
lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-
epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan
tretinoin topikal secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah
ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan.

Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada
substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan
keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan
mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk
menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap
dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia
kulit prematur.
Efek Vaskular
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya
menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil
di superfisial.

30
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan
menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi
berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi (Valencia &Kerdel, 2008).

II. Anti Histamin


Histamin adalah suatu alkoloid yang disimpan di dalam mast sel.
dan menimbulkan berbagai proses faal dan patologik. Pelepasan histamin
terjadi akibat reaksi antitigen-antibodi atau kontak antara lain dengan obat,
makanan, kemikal dan venom. Histamin ini kemudian mengadakan reaksi
dengan reseptornya (H1 dan H2) yang tersebar di berbagai jaringan tubuh.
Perangsangan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler dan reaksi mukus. Perangsangan reseptor H2
terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Antihistamin meghambat
reaksi alergi yang menghasilkan histamine, serotonin, bradikinin, asam
arakidonat yang akan diubah menjadi prostaglandin.Penderita yang
mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping, mengantuk,
kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan
koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan
menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka
panjang. Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam
kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan
harapan cerah. Termasuk dalam AH1 non sedatif ini adalah; terfenidin,
astemizol, loratadin, mequitazin.

31
A. Farmakologi
AH1 non sedatif berbeda dengan AH1 klasik oleh sifat
farmakokinetiknya. Secara in-vitro diketahui bahwa terfenidin,
astemisol terikat lebih lambat kepada reseptor H1 daripada AH1
klasik dan jika telah terikat akan dilepaskan secara lambat dari
ikatan reseptor.
1. Terfenidin
Merupakan suatu derivat piperidin. Terfenidin diabsorbsi
sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam
pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama
kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan
didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin
diekskresi melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu
paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat sekitar 3-4
jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60
mg diberikan 2 X sehari.
2. Astemizol
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan
cincin benzimidazol. Astemizol pada pemberian oral kadar
puncak dalam darah akan dicapai setelah 1 jam pemberian.
Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20
hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif
dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan
tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat
dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal
bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan
sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan protein
plasma sekitar 96%.
3. Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin. Absorbsinya cepat
pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai
setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of

32
action cepat, duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari
atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
4. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin. Penambahan atom C1
meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin.
Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam
pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat
dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh
descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40
mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan
kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak
berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai
jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-
loratadin (DCL) bersifat aktif secara farmakologi clan juga
tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan
cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan
40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi
hati waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah
10 mg 1 X sehari.

B. Penggunaan Anti Histamin 1 (AH1) Non Sedatif


AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja
histamin terutama diperifer, sedangkan di sentral tidak terjadi
karena tidak dapat melalui sawar darah otak. Antihistanin bekerja
dengan cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor histamin
pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target organ. AH1
non sedatif umumnya mempunyai efek antialergi yang tidak
berbeda dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
untuk penderita seasonal rhinitis alergika, terfenidin bekerja lebih
cepat (1-3 jam) dari astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit
ini astemizol dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik. Loratadin
dan Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama

33
dengan terfenidin. Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang
paling tidak spesifik, karena masih mempunyai efek antikolinergik.
Efek terhadap "psychomotor performance" dari terfenidin,
asetemizol, loratadin dari berbagai penelitian menyatakan tidak
dijumpai kelainan. Pada reaksi wheal dan flare, pemberian per oral
terfenidin 60 mg menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah
pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12 jam
sesudah pemberian (2). Pada loratadin respon wheal akan ditekan
pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian
jangka panjang dan untuk penderita yang pekerjannya memerlukan
kewaspadaan misalnya pengemudi mobil lebih sesuai diberi AH1
non sedatif, karena efek sedasi dan atltikolinergik dari AH1 klasik
akan mengganggu penderita. Krause dan Shuter 1985 mendapat
hasil astemizol lebih baik pada penggunaan jangka panjang
terhadap urtikaria kronik dibandingkan dengan chlorfeniramin.
Ferguson et al mendapatkan hasil yang bermakna dari
perbandingan terfenidin dengan plasebo dalam menurunkan skor
itch dan wheal. Loratadin mengurangi sistem chronic idiopathic
urticaria dari pada plasebo. Untuk pengobatan seasonal allergic
rhinitis (SAR) telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain
Katelaris membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34
penderita dan mendapatkan efek kedua obat sama baiknya, tetapi
loratadin kurang efek sampingnya.

C. Toksisitas dan Efek Samping


Penyelidikan pada binatang percobaan memperlihatkan
dijumpainya toksisitas yang rendah, sedang aktivitas mutagenik
dan karsinogenik tidak dijumpai pada AH1 non sedatif. Pemberian
dosis terapi AH1 non sedatif meskipun jarang sekali, dapat juga
timbul sedasi dan efek samping lain. Pemberian astemizol lebih
dari 2 minggu dapat meningkatkan nafsu makan dan menambah
berat badan. Pada beberapa AH1 sedatif ada yang daPat melalui

34
ASI tepai konsentrasinya cukup kecil. Efek antikolinergik jarang
sekali terjadi pada penggunaan AH1 non sedatif, kecuali
mequitazin (Gapar, 2003).

35
BAB V

PENUTUP

Pekerja di bidang kebersihan terutama laundry adalah salah satu profesi


yang rentan mengalami dermatitis kontak terutama karena sering terpapar
langsung dengan bahan kimia yang terkadung dalam produk-produk pembersih
yang digunakan saat bekerja. Manifestasi klinis yang muncul berupa radang,
bengkak, kemerahan, dan dapat berkembang menjadi vesikel kecil atau papul
(tonjolan) yang pada tahap akut mengeluarkan cairan. Pada kasus diatas diberikan
terapi non medikamentosa dan medikamentosa yang meliputi:
Non Medikamentosa :
1. Avoidance, atau mengurangi kontak dengan menggunakan sarung
tangan
2. Tidak menggaruk luka

3. Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, kondisi


pasien dan penatalaksanaan
Medikamentosa :
1. Hydrocortisone cream 2,5%
2. Loratadine tablet 10 mg 1 x 1

36
DAFTAR PUSTAKA

Gapar RS. Farmakologi obat-obat anti histamin non sedative pada penyakit
alergi.USU library. 2003. p. 1-4.

Hogan, D. Contact Dermatitis, Irritant. Emedicine; 2006. Diunduh pada 14


November 2016 dari : http://www.emedicine.com/specialties.htm

Jovanovi, D. L. et al. Chronic Contact Allergic And Irritant Dermatitis Of Palms


And Soles: Routine Histopathology Not Suitable For Differentiation. Acta
Dermatoven APA Vol 12, No 4; 2003.p:127

Kezic S, Visser MJ, Verberk MM. Individual Susceptibility to Occupational


Contact Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47. P. 469-78.

Koh D, Goh CL. Gangguan Kulit. Dalam: Jeyaratnam J, Koh D. Buku Ajar
Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC; 2009. p. 96-125.

Lehrer, M. S. Contact dermatitis. Medline Plus Medical Encyclopedia; 2006.


Diunduh pada 14 November 2016 dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html

Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. Third
Edition. USA: Mosby inc; 2002. p. 3-15.

Michael, J. A. Dermatitis, Contact. Emedicine; 2005. Diunduh pada 14 November


2016 dari: http://www.emedicine.com/specialties.htm

Schalock, P. C. Dermatitis. Merck Manual Home Edition; 2006. Available at:


http://www.merck.com

Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2009. p. 129- 153.

37
Taylor JS, Sood A. Occupational Skin Disease. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 6th ed. USA: McGraw Hill; 2003. p. 1309-30.

Valencia I.C, Kerdel F.A. Topical Corticosteroids.In: Wolff K, Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. 7th ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 2102-6.

Wahyudi N, Hutomo M. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Berkala Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 2005; Vol. 18, No. 3, p. 232-38.

38

You might also like