Professional Documents
Culture Documents
Penguji :
Pembimbing :
Disusun oleh :
Abstrak
LATAR BELAKANG: Cedera bekas terbakar merupakan masalah kesehatan penting yang banyak
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Mortalitas pada pasien yang terbakar dihubungkan dengan
usia, penyebaran area permukaan yang terbakar, dan penyakit kronis yang diderita pasien saat itu.
Penelitian telah menunjukkan adanya perbedaan antara diagnosis klinis antara antemortem dan
postmortem pada mayat yang terbakar.
METODE: Dalam penelitian ini, laporan pemeriksaan postmortem dan laporan autopsy dari
Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy antara 1 Januari 2994
sampai 30 Mei 2013 dikaji secara retrospektif bersamaan dengan data pasien untuk membandingkan
hasil pemeriksaan postmortem dan hasil penemuan klinis antemortem pada mayat yang terbakar.
HASIL: Dalam periode 20 tahun, tiga puluh satu (6,9%) kematian di antara 450 kasus berhubungan
dengan terbakar. Dari keseluruhan jenis cedera, 90,3% disebabkan api. Rata-rata persentase terbakar
adalah 70,52% dan angka keselamatan dari kasus ini ditemukan telah menurun secara signifikan
dengan semakin meningkatnya persentase terbakar (r=-0,491; p=0,005). Berdasarkan hasil autopsy,
pneumonia merupakan diagnosis klinis antermortem yang paling banyak terlewatkan, dan mortalitas
biasanya terjadi akibat gagal organ sistemik.
KESIMPULAN: Kematian akibat terbakar merupakan penyebab mortalitas penting di antara para
tentara. Kami percaya bahwa penemuan postmortem melalui autopsy bisa secara signifikan
berkontribusi pada terapi kasus terbakar, dan bahwa pembagian data interdisipliner merupakan hal
penting dalam masalah ini.
KATA PENGANTAR
Cedera terbakar merupakan masalah kesehatan public yang banyak menyebabkan
morbiditas dan mortalitas.1-4 Dalam penelitian mendalam di Eropa, kejadian terbakar yang
berat dilaporkan terjadi pada 0,2-2,9 per 100.000 individu, disertai luka bakar, melepuh,
kontak luka bakar merupakan jenis luka bakar yang paling umum terjadi, dan tingkat
mortalitas sangat berhubungan dengan usia tua, penyebaran luka, dan adanya penyakit
kronik.5
Meskipun angka mortalitas yang disebabkan oleh kejadian terbakar telah menurun
beberapa tahun terakhir ini karena semakin majunya terapi di bangsal luka bakar, namun
penyebab mortalitas akibat terbakar masih belum banyak diketahui. 6 Perbandingan hasil
pemeriksaan antemortem dan postmortem menunjukkan perbedaan antara diagnosis klinis
antemortem dan hasil autopsy.6-8
Autopsy bisa jadi menunjukkan penemuan klinis yang tidak terduga dan tidak
diketahui, dan data dari autopsy bisa digunakan untuk mengetahui masalah pasien di masa
yang akan datang.
Dalam penelitian ini, laporan pemeriksaan post-mortem dan laporan hasil autopsy
yang dibuat oleh Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy
antara 1 Januari 1994 sampai 30 Mei 2013 secara retrospektif dikaji secara bersamaan dengan
data pasien dalam bentuk grafik untuk membandingkan hasil diagnosa klinis pemeriksaan
postmortem dan antemortem pada mayat yang terbakar.
HASIL
Di antara empat ratus dan lima puluh kasus yang dilakukan pemeriksaan postmortem
dan autopsy di Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy
antara 1 Januari 1994 sampai 30 Mei 2013, tiga puluh satu (6,9%) kematian ditemukan
meninggal akibat terbakar. Dari kasus ini sembilan belas (61,3%) angkatan darat, sembilan
(29%) polisi militer, dua (6,5%) angkatan laut, dan satu (3,2%) angkatan udara.
Semua mayat merupakan mayat tentara pria, dan rata-rata usia adalah 22,95,9 (min:
20, max: 45) tahun. Trauma, setelah kecelakaan, merupakan penemuan kasus paling banyak
87,1%, dan dua belas kasus (38,7%) yang mendapatkan autopsy. Dari cedera, 90,3%
disebabkan luka bakar.
Cedera inhalasi banyak diteliti pada tiga belas kasus (41,9%) dan rata-rata lama rawat
inap adalah 1314,4 (min: 0, max: 70) hari. Karakteristik demografi pasien ditunjukkan
dalam Tabel 1.
Cedera luka paling banyak terjadi di musim gugur, namun tidak ada perbedaan
signifikan antar musim (p=0,079). Karakteristik cedera dan kemunculan fasciotomy dan
tracheostomy ditunjukkan dalam Tabel 2.
Rata-rata persentase luka adalah 70,52%, dan rasio keselamatan dalam kasus menurun
secara signifikan seiring dengan persentase luka bakar (r=-0,491, p=0,005). Rasio
keselamatan menurun seiring dengan meningkatnya usia; meskipun demikian, hubungan ini
tidak ditemukan signifikan secara signifikan (r=-0,015, p>0,935) (Gambar 1).
DISKUSI
Dalam negara berkembang, kematian yang disebabkan luka bakar biasanya muncul
dalam kelompok usia lebih muda.1,3,9,10 Dalam negara berkembang, di sisi lain, kematian lebih
banyak terjadi pada anak-anak dan lansia. 7,11 Perbedaan usia ini bisa dijelaskan sebagai
implementasi pengukuran preventif yang lebih efektif dan pilihan terapi yang lebih baik di
negara maju.
Rata-rata usia dilaporkan 36,6[2] dan 40,1[12] tahun dalam penelitian cedera disebabkan
terbakar dan kematian di Turki. Dalam penelitian sekarang, rata-rata usia pasien adalah 22,9
tahun; dengan demikian, cedera disebabkan terbakar dan kematian lebih banyak ditemukan
pada kelompok usia yang lebih muda. Sebagaimana yang sudah diketahui, pusat penelitian ini
adalah di rumah sakit militer, dan hampir semua pasien adalah anggota militer. Frekuensi
cedera akibat terbakar dan kematian yang lebih tinggi di antara populasi lebih muda terjadi
akibat populasi individu muda yang lebih banyak di Turki, dan fakta bahwa pelayanan militer
wajib dilakukan oleh semua pria yang sudah mencapai usia tertentu.
Cedera akibat terbakar biasanya muncul akibat kecelakaan. 1,2,7,10,13 Di antara kematian
akibat terbakar yang ditemukan dalam penelitian sekarang, 87,1% disebabkan kecelakaan
sedangkan 12,9% disebabkan bunuh diri. Dilaporkan bahwa 14-15% kematian pada wanita di
India terjadi karena terbakar,3 dan bunuh diri dengan cara membakar diri berada di peringkat
ke-tiga dengan frekuensi sebesar 11,4%.10 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Buyuk et
al., 6,3% bunuh diri yang dilakukan adalah dengan cara membakar diri.2
Dalam periode 20 tahun, 6,9% kematian yang dievaluasi dalam penelitian ini terjadi
akibat terbakar. Penelitian serupa juga melaporkan rasio mortalitas akibat terbakar sebesar
2,0-19,4%.1,2,9,14 Penelitian ini telah melaporkan tidak ada perbedaan antara angka mortalitas
militer dan penduduk biasa, dan telah dilaporkan bervariasi mulai dari 5% dan 10%. 14,15 Fakta
bahwa kematian akibat terbakar dilaporkan sebagai masalah kesehatan publik yang penting di
India.1,3,9
Luka bakar merupakan penyebab terbakar paling sering terjadi,1,6,7 dan dilaporkan
banyak disebabkan akibat menghirup asap bakaran. 11,14 Dalam literature paralel, luka bakar
akibat api merupakan jenis luka paling banyak dalam penelitian ini, dengan frekuensi sebesar
90,3%, sedangkan inhalasi asap bakaran hanya ditemukan dalam tiga belas kasus (41,9%).
Mayoritas faktor risiko untuk mortalitas dalam cedera akibat terbakar termasuk usia
lebih tua, besarnya luas permukaan yang terbakar, dan adanya penyakit lain yang diderita. 5
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al., persentase luka ditemukan lebih besar
40% dalam 92,52% dari semua kasus1 sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Krishnan et al.,11 rata-rata persentase terbakar ditemukan sebesar 43,7%. Dalam literature,
berbagai penelitian telah melaporkan panjang rata-rata lama rawat inap sebesar 10,7 hari, 6
26,4 hari,11 13,5 hari,14 dan 16,9 hari.7 Rata-rata lama rawat inap adalah tiga belas hari dalam
penelitian ini. Kasus dimana pasien muda tidak memiliki kondisi kronis lainlah yang bisa
mempengaruhi mortalitas akibat terbakar. Dengan demikian, kegagalan organ sistemik yang
terjadi akibat terbakar merupakan penyebab utama mortalitas dalam kasus yang sering terjadi.
Rata-rata rasio daerah yang terbakar adalah 70,52% dalam penelitian sekarang. Rasio
keselamatan menurun seiring dengan meningkatnya persentase daerah yang terbakar (r=-
0,491, p=0,005) (Gambar 1). Selain itu, rasio keselamatan menurun seiring dengan
bertambahnya usia; meskipun demikian, perbedaannya tidak ditemukan secara signifikan
dalam analisa statistik (r=-0,015, p>0,935).
Dalam penelitian oleh Kallinen et al., telah diketahui bahwa ekstrimitas dan tubuh
bagian atas merupakan bagian tubuh yang paling banyak terpengaruh, bahwa 38,5% pasien
yang melalui tracheostomy, dan bahwa pasien yang melalui rata-rata 2-3 operasi. 6 Semua
pasien yang dievaluasi dalam penelitian sekarang mengalami luka bakar di ekstremitas
bagian bawah dan atas (Tabel 2).
Rata-rata periode keselamatan adalah 14,45 hari di antara pasien yang mendapatkan
tracheostomy, dan 12,20 hari di antara pasien yang tidak membutuhkannya. Menggunakan tes
Mann-Whitney U, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik di antara tracheostomy
dan periode keselamatan (p=0,493). Pasien yang melalui fasciotomy selamat selama rata-rata
8,42 hari, sedangkan pasien yang tidak selamat bila rata-rata 15,89 hari. Tes Mann-Whitney
U menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara fasciotomy dan periode
keselamatan (p=0,759).
Mortalitas pada pasien terbakar banyak berhubungan dengan kegagalan beberapa
organ, sepsis, perpanjangan lamanya berada di unit perawatan intensif, dan perpanjangan
penggunaan ventilasi mekanik.6 Disfungsi multi-organ dan sepsis banyak berhubungan
dengan persentase luka bakar, usia dan jenis kelamin. 1,6,9 Menurut penemuan autopsy, cedera
pulmoner dan sepsis yang ditemukan merupakan alasan paling banyak dari penyebab
kematian dalam semua kelompok usia. Edema dan kongesti banyak dilaporkan memburuk
seiring dengan bertambahnya usia.16
Kegagalan multi-organ yang berhubungan dengan sepsis merupakan penyebab utama
kematian yang tersering, dan Pseudomonas merupakan mikroorganisme yang paling banyak
dilaporkan pada pasien sepsis. Berkat banyaknya kemajuan di unit bangsal perawatan luka
bakar, terutama kemajuan dalam pertolongan pertama luka bakar, dan terapi awal pasien
terbakar, mortalitas di antara pasien terbakar perlahan-lahan semakin menurun.11
Sebelumnya telah dilaporkan bahwa penemuan yang tidak disadari secara klinis
melalui autopsy bisa secara signifikan berkontribusi untuk terapi kasus luka bakar oleh
dokter.6,8,16 Penelitian telah menemukan perbedaan antara diagnosis klinis antemortem dan
penemuan postmortem dalam kematian yang berhubungan luka bakar.6 Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Kallinen et al., autopsy telah menemukan 14,1% penemuan yang tidak
ditemukan dalam pemeriksaan antemortem, dan pneumonia merupakan diagnosis yang paling
banyak dibuat saat autopsy.6 Hasil penemuan autopsy dalam penelitian sekarang
menunjukkan bahwa pneumonia merupakan diagnosis yang paling banyak ditemukan pada
postmortem dan masih tidak diketahui secara klinis. Perbandingan diagnosis antemortem dan
penemuan postmortem pada dua belas kasus yang dilakukan autopsy, telah menemukan
diagnosis adanya pneumonia dalam enam kasus (50%) (Tabel 3).
Kesimpulannya, cedera luka bakar merupakan penyebab penting dari mortalitas pada
populasi militer, begitu juga dengan populasi umum. Kami mempertimbangkan bahwa
penemuan yang ditemukan melalui autopsy bisa sangat berkontribusi untuk terapi kasus luka
bakar dan pembagian data interdisipliner bisa jadi penting untuk hal ini.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Kumar V, Mohanty MK, Kanth S. Fatal burns in Manipal area: a 10 year study. J Forensic
Leg Med 2007;14:36.
3. Sanghavi P, Bhalla K, Das V. Fire-related deaths in India in 2001: a retro- spective analysis
of data. Lancet 2009;373:12828.
4. Roberts G, Lloyd M, Parker M, Martin R, Philp B, Shelley O, et al. e Baux score is dead.
Long live the Baux score: a 27-year retrospective co- hort study of mortality at a
regional burns service. J Trauma Acute Care Surg 2012;72:2516.
8. Fish J, Hartshorne N, Reay D, Heimbach D. e role of autopsy on pa- tients with burns. J
Burn Care Rehabil 2000;21:33944.
9. Sharma BR, Harish D, Singh VP, Bangar S. Septicemia as a cause of death in burns: an
autopsy study. Burns 2006;32:5459.
10. Padubidri JR, Menezes RG, Pant S, Shetty SB. Deaths among wom- en of reproductive
age: a forensic autopsy study. J Forensic Leg Med 2013;20:6514.
11. Krishnan P, Frew Q, Green A, Martin R, Dziewulski P. Cause of death and correlation
with autopsy ndings in burns patients. Burns 2013;39:5838.
12. Cmert SS, Acar H, Dogan C, Caglayan B, Fidan A. Clinical, radio- logical and
bronchoscopic evaluation of inhalation injury cases treated at a burn center. [Article in
Turkish] Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 2012;18:1117.
14. Gomez R, Murray CK, Hospenthal DR, Cancio LC, Renz EM, Hol- comb JB, et al.
Causes of mortality by autopsy ndings of combat ca- sualties and civilian patients admitted to
a burn unit. J Am Coll Surg 2009;208:34854.
15. Wolf SE, Kauvar DS, Wade CE, Cancio LC, Renz EP, Horvath EE, et al. Comparison
between civilian burns and combat burns from Op- eration Iraqi Freedom and Operation
Enduring Freedom. Ann Surg 2006;243:78695.
16. Pereira CT, Barrow RE, Sterns AM, Hawkins HK, Kimbrough CW, Je- schke MG, et al.
Age-dependent di erences in survival after severe burns: a unicentric review of 1,674 patients
and 179 autopsies over 15 years. J Am Coll Surg 2006;202:53648.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Luka bakar adalah luka karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi.
Luka yang disebabkan oleh panas api atau cairan yang dapat membakar merupakan jenis
yang lazim kita jumpai dari luka bakar yang parah. Luka bakar merupakan jenis trauma
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan suatu penatalaksanaan
sebaik-baiknya sejak fase awal hingga fase lanjut. . Luka bakar dapat terjadi pada setiap
orang muda maupun orang tua dan baik laki-laki maupun perempuan. Luka bakar dapat
bervariasi dari cedera ringan yang dapat dengan mudah dikelola di klinik rawat jalan, untuk
luka yang luas dapat mengakibatkan kegagalan sistem organ dan perawatan yang
berkepanjangan di rumah sakit.1,2
Luka bakar, yang telah mencapai proporsi epidemi dalam beberapa tahun terakhir,
dianggap sebagai masalah kesehatan yang lebih serius daripada epidemi polio.Dalam
beberapa tahun terakhir profesi medis telah mulai mengenal dan memahami masalah yang
terkait dengan luka bakar.Pada 1950-an terdapat kurang dari 10 rumah sakit di Amerika
Serikat yang khusus luka bakar. Sejak saat itu, telah ada kemajuan yang signifikan dalam
memahami masalah luka bakar dan kini ada sekitar 200 pusat perawatan khusus luka bakar di
Amerika Serikat.3
Faktor resiko luka bakar adalah tingginya pajanan terhadap api, wilayah padat penduduk,
merokok, pemakaian cairan kimia, pemakaian kompor gas dan alat alat listrik yang tidak
benar.Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan serta penanganan yang benar terhadap luka
bakar untuk mencegah komplikasinya. Penanganan pada luka bakar tergantung pada usia,
keadaan, letak dan luasnya luka bakar. Diperlukan penanganan intensif yang mengacu pada
fisiologi cairan dan elektrolit, pencegahan infeksi, pemeliharaan nutrisi, perawatan terhadap
luka bakar.3
Epidermis, bagian terluar dibagi menjadi 2 lapisan utama yaitu lapisan sel sel berinti
yang bertanduk (stratum korneum) dan lapisan dalam yaitu sel bertanduk yang telah
mengalami proses diferensiasi ( stratum malphigi). Stratum malphigi dibagi menjadi 2,
yaitu lapisan basal (stratum germinatifum, stratum spinosum) dan stratum granulosum. 4
Keratinosit merupakam sel epidermis utama yang berdiferensiasi, membentuk keratin,
suatu protein fibrosa.Keratinosit meninggalkan lapisan malphigi dan bergerak ke atas,
mengalami perubahan bentuk, struktur, sitoplasmik dan komposisi. Proses ini
mengakibatkan transformasi dari sel hidup, aktif mensintesis menjadi sel mati dan
bertanduk. Proses ini dinamakan keratinisasi. Unsur sel sisanya membentuk suatu
komplek amorf fibrosa yang dikelilingi membrane yaitu tanduk..4
Melanosit merupakan sel epidermis utama juga, yang berfungsi mensintetis melanin
dari granula granula melanosom yang berhubungan dengan keratinosit. Jumlah melanin
dalam keratinosit menentukan warna kulit.Melanin melindungi kulit dari pengaruh sinar
matahari yang merugikan.Sinar matahari meningkatkan pembentukan melanosom dari
melanin.
Dermis terletak tepat dibawah epidermis yang terdiri dari serabut kolagen, elastin dan
retikulin.Mengandung pembuluh darah dan saraf yang menyokong dan memberi nutrisi
pada lapisan epidermis.3,4
LUKA BAKAR
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka
bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.Luka bakar
dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung, misal akibat
tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan
suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar.
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:2,5
1. Luka bakar karena suhu, seperti api, radiasi matahari, atau panas dari api itu sendiri,
uap panas, cairan panas, dan benda-benda panas, serta terpapar oleh suhu rendah yang
sangat ekstrim. Kedalaman luka bakar karena suhu berkaitan dengan temperatur
cairan, lamanya paparan dengan cairan, dan viskositas cairan (biasanya ada kontak
lama dengan cairan lebih kental).
2. Luka bakar karena bahan kimia, seperti berbagai macam zat asam, basa, dan bahan
tajam lainnya. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang
terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan
untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang
industri, pertanian dan militer.
3. Luka bakar karena listrik, baik Alternatif Current (AC) maupun Direct Current (DC).
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang
dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak,
tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka bakar inhalasi, seperti keracunan karbon monoksida, panas atau smoke
inhalation injuries.
5. Luka bakar akibar radiasi, yang bersumber dari bahan-bahan nuklir, termasuk sinar
ultraviolet. Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri
atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar
oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe
luka bakar radiasi.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000
orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar
karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 9 tahun. Anak anak
beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per
100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup. Di Amerika
Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari
50.000 pasien di rawat inap. Di Indonesia, prevalensi luka bakar sebesar 0,7%. 7 Secara
global, 96.000 anakanak yang berusia di bawah usia 20 tahun mengalami kematian akibat
luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih tinggi sebelas kali di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi
sebesar 4,3 per 100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada
daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi
kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan tinggi, seperti Eropa dan Pasifik
Barat.6
Penelitian yang dilakukan pada Unit Luka Bakar RSCM dari Januari 2011
Desember 2012 didapatkan hasil bahwa dari 275 pasien yang mengalami luka bakar, 203
pasien adalah orang dewasa. Jumlah pasien dewasa yang meninggal dunia sebanyak 76
orang. 78% diantaranya disebabkan oleh luka api, luka bakar listrik 14%, air panas 4%, kimia
3%, dan metal 1%. Penyebab kematian terbanyak adalah akibat septikemia (42,1%),
kegagalan organ multiple (31,6%), SIRS (17,6%), dan ARDS (87,6%).6
Menurut The National Institutes of General Medical Sciences, sekitar 1,1 juta luka-luka
bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di Amerika Serikat. Di antara
mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap
tahun dari luka bakar.Ketahanan hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat
selama abad kedua puluh.Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan,
yang lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap hasil yang
lebih baik. Namun, cedera tetap mengancam jiwa.2
Di Amerika Serikat, sekitar 2,4 juta luka bakar dilaporkan per tahun. Sekitar 650.000
dari cedera ditangani oleh pusat-pusat perawatan luka bakar, 75.000 dirawat di rumah sakit.
Dari mereka yang dirawat di rumah sakit, 20.000 yang mengalami luka bakar besar telah
melibatkan paling sedikit 25% dari total permukaan tubuh mereka. Antara 8.000 dan 12.000
pasien dengan luka bakar meninggal, dan sekitar satu juta akan mempertahankan cacat
substansial atau permanen yang dihasilkan dari luka bakar mereka. 5Insiden puncak luka bakar
pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29 tahun. Diikuti oleh anak umur 9 tahun
atau lebih mudah, luka bakar jarang terjadi pada umur 80 tahun ke atas. 6Sekitar 80% luka
bakar dapat terjadi di rumah. Pada anak umur 3-14 tahun, penyebab luka bakar paling sering
karena nyala api yang membakar baju. Pada orang dewasa, luka bakar paling sering
disebabkan oleh kecelakaan industri ataupun kebakaran yang terjadi di rumah akibat rokok.5
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh,
baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah
yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah
terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat
kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan menurut Wilson dalam derajat luka bakar, yaitu
luka bakar derajat I, II, dan III :7
1. Luka bakar derajat satu.
Kerusakan hanya terjadi pada epidermis. Terjadi eritema dan blister tanpa kehilangan
dermis. Disini kapiler mengalami dilatasi dan terjadi transudasi cairan kedalam jaringan
ikat, yang menyebabkan edema. Secara umum blister diliputi oleh kulit yang berwarna
keputihan diatasnya, epidermis yang avaskuler dan dibatasi oleh zona yang berwarna
hiperemi. Bila besar blister kurang dari 1 cm maka blister ini akan diresorpsi, sebaliknya
bila blister ini pecah maka akan meninggalkan daerah dengan dasar yang berwarna
kemerahan. Luka bakar derajat satu ini akan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.
Walaupun luka bakar yang terjadi adalah derajat satu akan tetapi bila meliputi lebih dari
sepertiga permukaan tubuh terutama yang terletak pada daerah kepala, leher, badan, atau
dinding depan dari abdomen maka akan menyebabkan kefatalan.
Karakteristik dari luka bakar ini adalah destruksi yang luas tidak hanya pada kulit dan
subkutis tetapi juga pada otot dan tulang.Ddestruksi pada ujung-ujung syaraf juga dapat
terjadi yang mengakibatkan kehilangan rasa nyeri yang relatif. Devitalisasi jaringan pada
area luka bakar menyebabkan mudah terkenanya infeksi dan penyembuhan yang berjalan
lambat. Bila eksposurenya berkepanjangan, maka kulit dan jaringan ikat dibawah kulit
akan terbakar dan menjadi arang. Sedangkan ekposure yang luas dari tubuh setelah
kematian oleh karena panas dan asap menyebabkan seluruh tubuhh menjadi arang dengan
otot-otot dan organ- organ dalam yang terpanggang, dan akhirnya menghanguskan
bagian-bagian tubuh terutama ekstremitas, genetalia dan telinga.
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan
pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan
dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan
peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus.
Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan
yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju
metabolik dan energi metabolisme. 8,9
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan
dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan
luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung
pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha
kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya
1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh
yang terbakar pada orang dewasa.8
Kepala dan leher ... 9%
Lengan (masing-masing 9%)... 18%
Badan Depan ...18%
Badan Belakang 18% ..... 36%
Tungkai (Masing-masing 18%) .. 36%
Genitalia/perineum ... 1%
Total100%
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian
tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan
rumus 10-15-20 untuk anak.
Pada suhu 44 C, ketika kulit terpapar sebanyak 5 6 jam atau pada suhu 65 C ketika terpapar
selama 2 detik, maka luka bakar dapat terbentuk. 10 Dalam perjalanan penyakit dibedakan tiga
fase pada luka bakar: 6
1. Fase Awal, fase akut, fase shock.
Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit, akibat
cedera teknis yang bersifat sistemik.
2. Fase setelah shock berakhir/diatasi atau fase sub akut.
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir/dapat diatasi. Luka terbuka akibat kerusakan
jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) menimbulkan masalah antara lain:
a. Proses inflamasi. Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan luka
sayat elektif, proses inflamasi disini terjadi lebih hebat disertai eksudasi dan
kebocoran protein. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian
berkembang menjadi reaksi sistemik dengan dilepasnya zat-zat yang berhubungan
dengan proses imunologik, yaitu kompleks lipoprotein (lipid protein complex, burn-
toxin) yang menginduksi respon inflamasi sistemik (sistemik inflamation response
syndrome, SIRS)
b. Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
c. Proses penguapan cairan tubuh disertai panas/energi (evaporative heat loss) yang
menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme.
3. Fase Lanjut.
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadinya maturasi. Masalah
pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan organ-organ
strukturil.
Cedera panas menyebabkan kerusakan pada jaringan dapat dibedakan atas 3 zona,
masing-masing yaitu
1. Zona koagulasi, daerah yang berlangsung mengalami kontak dengan sumber panas.
2. Zona statis, daerah dimana terjadi no flow phenomena oleh karena adanya kerusakan
pada endotel, trombosit dan leukosit di pembuluh kapiler, yang menyebabkan gangguan
sirkulasi mikro dan perfusi ke jaringan.
3. Zona hiperemi,daerah yang mengalami vasodilatasi, gangguan permeabilitas
kapiler, edema dan distribusi sel radang akut.
Gangguan sirkulasi yang terjadi disebabkan perubahan permeabilitas kapiler, perubahan
tekanan onkotik dan hidrostatik yang kemudian diikuti ekstravasasi cairan dengan manifestasi
hipovolemi dan penimbunan cairan di jaringan intersisiel (edema).Di tingkat seluler,
gangguan perfusi menyebabkan perubahan metabolisme. Pada tahap awal terjadi proses
metabolisme anaerob yang menyebabkan peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat
yang menimbulkan asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi, sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemik jaringan berakhir dengan nekrosis.
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan hambatan perfusi ke jaringan organ-organ
penting terutama otak, hepar, paru, jantung dan ginjal; yang selanjutnya mengalami
kegagalan menjalankan fungsinya.Dalam mekanisme pertahanan tubuh, bila terjadi gangguan
pada sistem keseimbangan tubuh (homeostasis), maka organ-organ perifer yang pertama
dikorbankan oleh tubuh (vasokonstriksi perifer), organ dimaksud dalam hal ini ginjal.Dengan
adanya penurunan dan disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
Resusitasi cairan yang inadekuat menyebabkan berjalannya proses sebagaimana
diuraikan diatas. Sebaliknya, bila terjadi kelebihan pemberian cairan (overload), sementara
sirkulasi dan perfusi tidak/belum berjalan normal, atau pada kondisi syok, cairan akan
ditahan dalam jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak sebagai edema paru. Edema
paru menyebabkan kegagalan fungsinya sebagai alat pernafasan, khususnya pertukaran
oksigen dengan karbon-dioksida, kadar oksigen dalam darah sangat rendah dan jaringan
hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat irreversibel. Sel-sel otak adalah organ yang
paling sensitif, bila dalam waktu lebih dari 4 menit terjadi kondisi hipoksia, maka sel-sel otak
mengalami kerusakan dan kematian yang menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di
tingkat sentral. Sementara edema paru juga merupakan beban bagi jantung sebagai suatu
pompa.Pada mulanya jantung mampu menjalankan mekanisme kompensasi namun akhirnya
terjadi dekompensasi.
Kegagalan fungsi organ-organ (multi system organ failure/mof) yang diuraikan diatas
tidak terjadi begitu saja dan tidak terlepas dari peran mediator-mediator inflamasi seperti
sitokin, ekosanoids (prostaglandin, tromboksan dan radikal bebas,dsb) yang dilepas ke dalam
sirkulasi menyusul suatu cedera jaringan.
Reaksi dari mediator-mediator inflamasi ini dikenal dengan sebutan systemic
inflammation response syndrome/sirs yang merupakan fenomena yang rumit terjadi dalam
beberapa fase. Kondisi klinis yang terlihat adalah suatu keadaan yang disebut multisystem
organ dysfunction/mod akan berakhir dengan multisystem organ failure, mof ( yang
sebelumnya diduga / dikenal sebagai kondisi sepsis). Dengan kegagalan fungsi organ-organ
penting, proses berakhir dengan kematian.2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan. Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang
timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.2,3
KOMPLIKASI
Pada luka bakar <20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih dapat
mengatasinya. Luka bakar >20% dapat menimbulkan syok hipovolemik dengan gejala yang
khas. Luka bakar termal pada ruang tertutup dapat menyebabkan trauma inhalasi dengan
penemuan berupa sputum berwana gelap akibat jelaga, luka bakar pada wajah, alis dan bulu
hidung yang terbakar, edema orofaring, perubahan suara seperti serak, perubahan kesadaran,
dan stridor. Pada luka bakar terjadi peningkatan katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil dan berat
badan menurun. Terjadi hiperpireksia persisten, takikardi, hiperventilasi, dan hiperglikemi. 13
Pada luka bakar yang berat, respons imun mengalami penurunan sehingga dapat terjadi
bakterimia, syok septik serta kematian. Pada luka bakar dapat pula ditemukan ileus paralitik.
Stres atau beban faal dapat mengakibatkan tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan
gejala sama seperti tukak peptik yang disebut dengan tukak Curling dan dapat menyebabkan
hematemesis atau melena.9
Luka bakar pada awalnya steril, namun kemudian dapat terjadi kolonisasi bakteri yang
berasal dari bakteri komensal kulit. Bila pencucian luka atau debridemen tidak dilakukan
dengan adekuat, maka kolonisasi bakteri dapat bersifat invasif berupa penetrasi lebih dalam
ke jaringan dan masuk ke dalam sistemik sehingga menyebabkan bakterimia. Timbul infeksi
luka pada penderita luka bakar merupakan salah satu penyebab utama terjadinya SIRS
(Systemic Inflamatory Response Syndrome), sepsis, syok septik, MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome), dan MOF (Multiple Organ Failure).11
Gagal ginjal dapat terjadi karena hipoperfusi ginjal, hemoglobinuria, myoglobinuria atau
sepsi. Penurunan volume urin mengakibatkan pertanda awal gagal ginjal akut yang diikuti
dengan peningkatan serum kreatinin dan urea.12
Kematian karena luka bakar dapat terbagi menjadi kematian cepat dan kematian lambat,
sehingga penyebab kematian baik tipe cepat maupun tipe lambat berbeda.
Kematian cepat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah terjadinya luka
bakar. Kematian cepat pada luka bakar dapat terjadi akibat syok neurogenik (nyeri yang
sangat berat), luka akibat panas yang menyebabkan kehilangan cairan, dan luka pada saluran
nafas.1
Kematian lambat terjadi sebagai hasil beberapa kemungkinan komplikasi, seperti kehilangan
cairan yang dapat menyebabkan syok hipovolemik atau gagal ginjal, kegagalan cairan akibat
luka atau kerusakan pada epitel saluran pernafasan dan acute respiratory distress syndrome,
serta sepsis akibat pneumonia.1
PEMERIKSAAN JENAZAH
Artefak artefak yang ditemukan pada mayat oleh karena luka bakar:
1. Skin Split.
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari
epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka sayat
dan sering disalah-artikan sebagai kekerasan tajam.Artefak postmortem ini dapat
mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak adanya
perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat.Kadang-kadang dapat
terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.
3. Skull Fractures.
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan uap
didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan tekanan
intra cranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak.
Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar
dapat terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear.Disini tidak
penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.
6. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi pugilistic.
Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut otot
otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi
seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi
sebagian atau seluruhnya. Posisi pugilistic ini tidak berhubungan apakah individu
itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. pugilistic attitude atau heat
rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan. 1,13
Pada korban yang masih hidup saat terbakar akan ditemukan adanya hal-hal antara
lain tanda intravital pada luka bakar dan gelembung yang terbentuk, adanya jelaga pada
saluran pernapasan serta saturasi karbonmonoksida diatas sepuluh persen dalam darah
korban. Pada korban yang keracunan karbonmonoksida jika tubuh korban tidak terbakar
seluruhnya akan terbentuk lebam mayat berwarna cherry red.Pada tubuh manusia yang
sudah mati terbakar tidak akan berwarna kemerahan oleh reaksi intravital.Tubuh mayat akan
tampak keras dan kekuningan.Gelembung yang terdapat akan mengandung sangat sedikit
albumin yang akan memberikan kekeruhan bila dipanaskan serta sangat sedikit atau tidak
ditemukan sel PMN. Jadi perbedaan luka antara antemortem dan post mortem adalah pada
luka antemortem terdapat tanda-tanda intravital berupa vesikel dan bula, sedangkan pada
mayat postmortem tidak ditemukan tanda-tanda tersebut.Perbedaan lainnyaakan tampak
adanya jelaga pada saluran napas pada luka antemortem dan saturasi diatas sepuluh persen di
dalam darah sedangkan pada postmortem tidak.Ada tiga point utama untuk membedakan luka
bakar antemortem atau postmortem, yaitu batas kemerahan,vesikasi, dan proses perbaikan.
13,14
Pada kasus luka bakar intravital , ada eritema yang disebabkan oleh distensi kapiler yang
bersifat sementara,menghilang karena tekanan selama hidup dan memudar setelah
mati.Namun, garis merah ini bisa saja tidak ada pada orang yang sangat lemah kondisi
badannya, yang meninggal segera setelah luka bakar tersebut. 1
Vesikasi yang timbul akibat luka bakar saat hidup mengandung cairan serosa yang
berisis albumin,klorida,dan sering juga sedikit sel PMN, sel darah putih, dan memiliki daerah
yang memerah, dasar inflamasi dengan papila yang meninggi.Kulit yang mengelilingi
vesikasi tersebut berwarna merah cerah atau tembaga.Hal ini merupakan ciri khas yang
membedakan vesikasi sejati atau palsu yang diproduksi setelah mati. Vesikasi palsu
mengandung udara saja, dan biasanya juga mengandung serum dalam jumlah yang sangat
sedikit yang berisi albumin, tapi tidak ada klorida seperti pada orang yang menderita general
anasarka, dasarnya keras, kering, bertangkai, kekuningan selain menjadi merah dan
inflamasi.1
Proses perbaikan seperti tanda-tanda inflamasi, formasi jaringan granulasi , pus dan
pengelupasan yang mengindikasikan bahwa luka bakar tersebut terjadi saat hidup.Luka bakar
yang disebabkan stelah mati menunjukan tidak ada reaksi vital dan memiliki tampakan dull
white dengan membukanya kelenjar pada kulit yang berwarna abu-abu.Orga internal
terpanggang dan menimbulkan bau yang khas.Perbedaan luka bakar antemortem dan
postmortem adalah sebagai berikut :
Identifikasi merupakan proses untuk mencari tahu, meneliti sesuatu hal yang kabur, tidak
jelas, atau tidak diketahui agar menjadi jelas identitas atau asal-usulnya. Identifikasi forensik
merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang. Identitas tersebut dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya
mempelajari, mengamati, dan meneliti profil wajah seseorang, pas foto, bentuk kepala,
bentuk badan, gigi, atau sidik jari. Identifikasi melingkupi beberapa hal, antara lain
pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan DNA.1,14
Metode ini dilakukan dengan membandingkan sidik jari jenazah dengan data dari
sidik jari antemortem. Hingga saat ini, pemeriksaan ini diakui sebagai pemeriksaan
yang paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas dari seseorang.1
2. Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan gigi (odontogram) dan rahang yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X, dan pencetalam gigi
rahang. Odontogram memuat data mengenai jumlah, bentuk, susunan, tambalan,
protesa gigi, dan lain sebagainya. Seperti sidik jari, tiap individu mempunyai susunan
gigi yang khas sehingga dapat diidentigikasikan dengan membandingkan data temuan
dengan data antemortem.1
3. Pemeriksaan DNA
KESIMPULAN
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi.
Luka bakar dibagi 4 derajat. Cara menentukan derajat luka bakar yaitu, Wallace rule of
nine dan Lund and Bowder chart.
Tingginya angka kejadian luka bakar didaerah Asia Tenggara disebabkan juga karena
factor resiko lainnya.Untuk itu perlu pencegahan dan penanganan luka bakar untuk
menghindari terjadinya komplikasi.
Penanganan luka bakar perlu diketahui luas luka bakar, derajat luka bakar, fase luka
bakar.Penanganan luka bakar mencakup, pertolongan pertama, resusitasi cairan, pencegahan
infeksi, perawatan luka bakar dan pencegahan terhadap komplikasi.
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan.
Di Indonesia mengenal delik penganiyaan dan kejahatan terhadap nyawa apa bila
seseorang dengan sengaja melukai atau membunuh akan terkena sanksi pidana sesuai kitab
undang-undang hokum pidana yang berlaku di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Rutty GN. Essentials of Autopsy Practice. United Kingdom : Springer; 2006. p. 215-
26.
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB Pollock
10th
RE. Schwartzs principles of surgery. Edition. New York : McGraw Hill; 2015.
227-39.
3. Djuanda, A. DR. Prof, Hamzah, M. Dr., Aisah, S. DR., Anatomi Kulit, Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh, FKUI, Jakarta, 2016. 3-6.
4. Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Physiology,
12th Edition. Canada: John Wiley & Sons.
5. Yefta Moenadjat, R., Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis, Farmedia, 2000.1-25
6. Martina NR, Wardhana A. Mortality Analyris of Adult Burn Patients. Jurnal Plastik
Rekonstruksi ; 2013 : 2(2) : 96-100.
7. Saukko P, Knight B. Knights Forensic Pathology. 4 th edition. CRC Press; 2016. p.
312.
8. Djohansjah Marzoeki. Dr. Dr., Pengelolaan Luka Bakar, Fakultas Ilmu Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 1-15
9. Sjamsuhidajat, R. de Jong, Wim, 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. h. 73-4.
10. Karmakar RN. Forensic medicine and toxicology theory, oral & practical. 5th Edition.
Bimal Kumar Dhur of Academic Publishers : 2015. P 214-7.
11. Damayanti T, Saputro ID. Nilai uji diagnostik prokalsitonin sebagai deteksi dini sepsis
pada luka bakar berat. Journal of Emergency; 2011 : 1 (1) : 13-18.
12. Saraf S, Parihar S. Burns management : a compendium. Journal of Clinical and
Diagnostic Research; 2007; 5 : 426-36.
13. Dahlan, Sofwan. Traumatologi. 2004 Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik.. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang.2004. Hal 67-91.
14. Syukriani Y. DNA Forensik. Bandung : Sagung Seto; 2012. h. 10.
BAB III
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
I. Kelebihan Jurnal :
Menunjukkan penyebab tersering kematian akibat luka bakar yang tidak
terdeteksi pada saat diagnosis antemortem