You are on page 1of 49

JOURNAL READING

COMPARISON OF ANTEMORTEM CLINICAL DIAGNOSIS AND


POSTMORTEM FINDINGS IN BURN-RELATED DEATHS

Penguji :

dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF

Pembimbing :

dr. Marlis Tarmizi

Disusun oleh :

1. Viqtor Try Junianto 112015413

2. Karinda Lado 112015421

3. Claudia Jessica 112015358

4. Christin Natalia 112015361

5. Cecillia Yuniati 112015315


6. Bernadina Novindra S.L. 112015068

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.KARIADI/ FK UNDIP
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 06 MARET 2017 01 APRIL 2017
BAB I
TERJEMAHAN JURNAL
Perbandingan diagnosis klinis antemortem dan hasil penemuan post-
mortem pada mayat yang terbakar

Abstrak
LATAR BELAKANG: Cedera bekas terbakar merupakan masalah kesehatan penting yang banyak
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Mortalitas pada pasien yang terbakar dihubungkan dengan
usia, penyebaran area permukaan yang terbakar, dan penyakit kronis yang diderita pasien saat itu.
Penelitian telah menunjukkan adanya perbedaan antara diagnosis klinis antara antemortem dan
postmortem pada mayat yang terbakar.
METODE: Dalam penelitian ini, laporan pemeriksaan postmortem dan laporan autopsy dari
Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy antara 1 Januari 2994
sampai 30 Mei 2013 dikaji secara retrospektif bersamaan dengan data pasien untuk membandingkan
hasil pemeriksaan postmortem dan hasil penemuan klinis antemortem pada mayat yang terbakar.
HASIL: Dalam periode 20 tahun, tiga puluh satu (6,9%) kematian di antara 450 kasus berhubungan
dengan terbakar. Dari keseluruhan jenis cedera, 90,3% disebabkan api. Rata-rata persentase terbakar
adalah 70,52% dan angka keselamatan dari kasus ini ditemukan telah menurun secara signifikan
dengan semakin meningkatnya persentase terbakar (r=-0,491; p=0,005). Berdasarkan hasil autopsy,
pneumonia merupakan diagnosis klinis antermortem yang paling banyak terlewatkan, dan mortalitas
biasanya terjadi akibat gagal organ sistemik.
KESIMPULAN: Kematian akibat terbakar merupakan penyebab mortalitas penting di antara para
tentara. Kami percaya bahwa penemuan postmortem melalui autopsy bisa secara signifikan
berkontribusi pada terapi kasus terbakar, dan bahwa pembagian data interdisipliner merupakan hal
penting dalam masalah ini.

KATA PENGANTAR
Cedera terbakar merupakan masalah kesehatan public yang banyak menyebabkan
morbiditas dan mortalitas.1-4 Dalam penelitian mendalam di Eropa, kejadian terbakar yang
berat dilaporkan terjadi pada 0,2-2,9 per 100.000 individu, disertai luka bakar, melepuh,
kontak luka bakar merupakan jenis luka bakar yang paling umum terjadi, dan tingkat
mortalitas sangat berhubungan dengan usia tua, penyebaran luka, dan adanya penyakit
kronik.5
Meskipun angka mortalitas yang disebabkan oleh kejadian terbakar telah menurun
beberapa tahun terakhir ini karena semakin majunya terapi di bangsal luka bakar, namun
penyebab mortalitas akibat terbakar masih belum banyak diketahui. 6 Perbandingan hasil
pemeriksaan antemortem dan postmortem menunjukkan perbedaan antara diagnosis klinis
antemortem dan hasil autopsy.6-8
Autopsy bisa jadi menunjukkan penemuan klinis yang tidak terduga dan tidak
diketahui, dan data dari autopsy bisa digunakan untuk mengetahui masalah pasien di masa
yang akan datang.
Dalam penelitian ini, laporan pemeriksaan post-mortem dan laporan hasil autopsy
yang dibuat oleh Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy
antara 1 Januari 1994 sampai 30 Mei 2013 secara retrospektif dikaji secara bersamaan dengan
data pasien dalam bentuk grafik untuk membandingkan hasil diagnosa klinis pemeriksaan
postmortem dan antemortem pada mayat yang terbakar.

BAHAN DAN METODE


Turkish Armed Forces merupakan pasukan militer terbesar dan terkuat yang
dihormati. Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy
merupakan satu-satunya unit dalam Turkish Armed Forces yang secara rutin melakukan
autopsy untuk keperluan forensik dari tentara yang sudah meninggal.
Dalam penelitian ini, laporan pemeriksaan port-mortem dan laporan autopsy yang
dibuat oleh Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy antara 1
Januari 1994 sampai 30 Mei 2013 pada pasien, yang penyebab kematiannya berhubungan
dengan terbakar, secara retrospektif dikaji bersamaan dengan data pasien. Penelitian ini
disetujui oleh Komisi Etik Gulhane Military Medical Academy.
Dari data demografi kasus, jenis terbakar, persentase terbakar, dan penemuan klinis
akan dibandingkan dan akan dilakukan analisis statistik.
Statistik deskriptif termasuk angka (%) dan rata-rata standar deviasi untuk variabel
kontinyu. Koefisien korelasi Spearman dihitung untuk mengindikasikan korelasi dan nilai
p<0,05 dianggap signifikan secara statistik. SPSS 15.0 untuk Windows Evaluation Version
digunakan untuk analisis statistik.

HASIL
Di antara empat ratus dan lima puluh kasus yang dilakukan pemeriksaan postmortem
dan autopsy di Department of Forensic Medicine di Gulhane Military Medical Academy
antara 1 Januari 1994 sampai 30 Mei 2013, tiga puluh satu (6,9%) kematian ditemukan
meninggal akibat terbakar. Dari kasus ini sembilan belas (61,3%) angkatan darat, sembilan
(29%) polisi militer, dua (6,5%) angkatan laut, dan satu (3,2%) angkatan udara.
Semua mayat merupakan mayat tentara pria, dan rata-rata usia adalah 22,95,9 (min:
20, max: 45) tahun. Trauma, setelah kecelakaan, merupakan penemuan kasus paling banyak
87,1%, dan dua belas kasus (38,7%) yang mendapatkan autopsy. Dari cedera, 90,3%
disebabkan luka bakar.
Cedera inhalasi banyak diteliti pada tiga belas kasus (41,9%) dan rata-rata lama rawat
inap adalah 1314,4 (min: 0, max: 70) hari. Karakteristik demografi pasien ditunjukkan
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik dan pembagian demografi kasus


Karakteristik pasien Data
Jumlah kasus 31
Rata-rata usia 22,9 5,9 (min: 20, max: 45)
Autopsy 12 (38,7%)
Rata-rata persentase luka di permukaan kulit 70,52%
Luka terbakar 90,3%
Inhalasi asap bakaran 13 (41,9%)
Waktu keselamatan setelah cedera terbakar 1314,4 (min: 0, max: 70)
(hari)

Cedera luka paling banyak terjadi di musim gugur, namun tidak ada perbedaan
signifikan antar musim (p=0,079). Karakteristik cedera dan kemunculan fasciotomy dan
tracheostomy ditunjukkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kasus cedera


Data demografi pasien dan karakteristik cedera
n %
Distribusi permukaan tubuh yang terbakar
Kepala dan leher 29 93,5
Badan 23 74,1
Punggung 26 83,8
Ekstremitas atas 31 100
Ekstremitas bawah 31 100
Penyebab kematian
Bunuh diri 4 12,9
Kecelakaan 27 87,1
Jenis luka bakar
Luka terbakar 27 87,1
Luka terbakar + melepuh 1 3,2
Terbakar akibat tersengat listrik 3 9,7
Tracheostomy 11 35,5
Fasciotomy 12 38,7

Rata-rata persentase luka adalah 70,52%, dan rasio keselamatan dalam kasus menurun
secara signifikan seiring dengan persentase luka bakar (r=-0,491, p=0,005). Rasio
keselamatan menurun seiring dengan meningkatnya usia; meskipun demikian, hubungan ini
tidak ditemukan signifikan secara signifikan (r=-0,015, p>0,935) (Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara persentase tubuh yang terbakar dan keselamatan


Periode keberhasilan adalah 14,45 hari di antara pasien yang membutuhkan
tracheostomy, dan 12,20 hari di antara pasien yang tidak membutuhkannya. Tes Mann-
Whitney U tidak mengindikasikan perbedaan signifikan secara statistik antara dua kelompok
ini (p=0,493).
Pasien yang menderita fasciotomy selamat pada rata-rata 8,42 hari, sedangkan pasien
yang tidak melalui fasciotomy rata-rata selamat pada 15,89 hari. Tes Mann-Whitney U tidak
mengindikasikan perbedaan signifikan secara statistik antara dua kelompok ini (p=0,759).
Perbedaan diagnosis antemortem dan postmortem pada dua belas kasus yang
diautopsy yaitu ditemukannya diagnosis pneumonia dalam enam kasus (50%) (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan gejala klinis yang ditemui dan penemuan postmortem pada pasien
yang menderita cedera terbakar
No Usia Jenis luka bakar (%)* Hari** Gejala klinis Diagnosis dan Penemuan
terapi klinis postmortem
1 21 Luka bakar akibat api 61 9 Fasciotomy dan Inhalasi asap Pneumonia
escharotomy, terbakar, gagal
ventilasi ginjal
mekanik
2 23 Luka bakar akibat api 33 7 Escharotomy, Infeksi luka Sepsis (Citrobacter
demam tinggi (pseudomonas), Freundii)
antibioterapi
3 21 Luka bakar akibat api 42 33 Escharotomy Antibioterapi Pneumonia
dan pemindahan
kulit (grafting),
demam tinggi,
pertumbuhan
kultur
(pseudomonas)
4 21 Luka bakar akibat api 84 4 Fasciotomy - Edema pulmoner
5 21 Luka bakar akibat api 80 4 Fasciotomy, Inhalasi asap Pneumonia, nekrosis
+ melepuh ventilasi terbakar, gagal tubular
mekanik ginjal
6 21 Luka bakar akibat api 82 12 Fasciotomy, Inhalasi asap Pneumonia
homografting, terbakar, gagal
demam tinggi, ginjal
ventilasi
mekanik
7 21 Luka bakar akibat api 92 4 Fasciotomy, Inhalasi asap Edema pulmoner
ventilasi terbakar
mekanik
8 21 Luka bakar akibat api 80 5 Fasciotomy, Inhalasi asap Penemuan cedera
ventilasi terbakar, gagal akibat tersengat
mekanik ginjal listrik dalam sampel
kulit
9 27 Luka akibat tersetrum 75 6 Fasciotomy, - Pneumonia, edema
tegangan tinggi ventilasi pulmoner
mekanik
10 21 Luka akibat tersengat 48 9 Ventilasi Fraktur Edema pulmoner
listrik tegangan tinggi mekanik maxillofacial,
pneumocephalia
11 21 Luka bakar akibat api 70 8 Fasciotomy, Antibioterapi Pneumonia
grafting
12 22 Luka bakar akibat api 42 70 Ventilasi ARDS,
mekanik antibioterapi
*: Total luas permukaan tubuh yang terbakar; **: Lama rawat inap

DISKUSI
Dalam negara berkembang, kematian yang disebabkan luka bakar biasanya muncul
dalam kelompok usia lebih muda.1,3,9,10 Dalam negara berkembang, di sisi lain, kematian lebih
banyak terjadi pada anak-anak dan lansia. 7,11 Perbedaan usia ini bisa dijelaskan sebagai
implementasi pengukuran preventif yang lebih efektif dan pilihan terapi yang lebih baik di
negara maju.
Rata-rata usia dilaporkan 36,6[2] dan 40,1[12] tahun dalam penelitian cedera disebabkan
terbakar dan kematian di Turki. Dalam penelitian sekarang, rata-rata usia pasien adalah 22,9
tahun; dengan demikian, cedera disebabkan terbakar dan kematian lebih banyak ditemukan
pada kelompok usia yang lebih muda. Sebagaimana yang sudah diketahui, pusat penelitian ini
adalah di rumah sakit militer, dan hampir semua pasien adalah anggota militer. Frekuensi
cedera akibat terbakar dan kematian yang lebih tinggi di antara populasi lebih muda terjadi
akibat populasi individu muda yang lebih banyak di Turki, dan fakta bahwa pelayanan militer
wajib dilakukan oleh semua pria yang sudah mencapai usia tertentu.
Cedera akibat terbakar biasanya muncul akibat kecelakaan. 1,2,7,10,13 Di antara kematian
akibat terbakar yang ditemukan dalam penelitian sekarang, 87,1% disebabkan kecelakaan
sedangkan 12,9% disebabkan bunuh diri. Dilaporkan bahwa 14-15% kematian pada wanita di
India terjadi karena terbakar,3 dan bunuh diri dengan cara membakar diri berada di peringkat
ke-tiga dengan frekuensi sebesar 11,4%.10 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Buyuk et
al., 6,3% bunuh diri yang dilakukan adalah dengan cara membakar diri.2
Dalam periode 20 tahun, 6,9% kematian yang dievaluasi dalam penelitian ini terjadi
akibat terbakar. Penelitian serupa juga melaporkan rasio mortalitas akibat terbakar sebesar
2,0-19,4%.1,2,9,14 Penelitian ini telah melaporkan tidak ada perbedaan antara angka mortalitas
militer dan penduduk biasa, dan telah dilaporkan bervariasi mulai dari 5% dan 10%. 14,15 Fakta
bahwa kematian akibat terbakar dilaporkan sebagai masalah kesehatan publik yang penting di
India.1,3,9
Luka bakar merupakan penyebab terbakar paling sering terjadi,1,6,7 dan dilaporkan
banyak disebabkan akibat menghirup asap bakaran. 11,14 Dalam literature paralel, luka bakar
akibat api merupakan jenis luka paling banyak dalam penelitian ini, dengan frekuensi sebesar
90,3%, sedangkan inhalasi asap bakaran hanya ditemukan dalam tiga belas kasus (41,9%).
Mayoritas faktor risiko untuk mortalitas dalam cedera akibat terbakar termasuk usia
lebih tua, besarnya luas permukaan yang terbakar, dan adanya penyakit lain yang diderita. 5
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al., persentase luka ditemukan lebih besar
40% dalam 92,52% dari semua kasus1 sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Krishnan et al.,11 rata-rata persentase terbakar ditemukan sebesar 43,7%. Dalam literature,
berbagai penelitian telah melaporkan panjang rata-rata lama rawat inap sebesar 10,7 hari, 6
26,4 hari,11 13,5 hari,14 dan 16,9 hari.7 Rata-rata lama rawat inap adalah tiga belas hari dalam
penelitian ini. Kasus dimana pasien muda tidak memiliki kondisi kronis lainlah yang bisa
mempengaruhi mortalitas akibat terbakar. Dengan demikian, kegagalan organ sistemik yang
terjadi akibat terbakar merupakan penyebab utama mortalitas dalam kasus yang sering terjadi.
Rata-rata rasio daerah yang terbakar adalah 70,52% dalam penelitian sekarang. Rasio
keselamatan menurun seiring dengan meningkatnya persentase daerah yang terbakar (r=-
0,491, p=0,005) (Gambar 1). Selain itu, rasio keselamatan menurun seiring dengan
bertambahnya usia; meskipun demikian, perbedaannya tidak ditemukan secara signifikan
dalam analisa statistik (r=-0,015, p>0,935).
Dalam penelitian oleh Kallinen et al., telah diketahui bahwa ekstrimitas dan tubuh
bagian atas merupakan bagian tubuh yang paling banyak terpengaruh, bahwa 38,5% pasien
yang melalui tracheostomy, dan bahwa pasien yang melalui rata-rata 2-3 operasi. 6 Semua
pasien yang dievaluasi dalam penelitian sekarang mengalami luka bakar di ekstremitas
bagian bawah dan atas (Tabel 2).
Rata-rata periode keselamatan adalah 14,45 hari di antara pasien yang mendapatkan
tracheostomy, dan 12,20 hari di antara pasien yang tidak membutuhkannya. Menggunakan tes
Mann-Whitney U, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik di antara tracheostomy
dan periode keselamatan (p=0,493). Pasien yang melalui fasciotomy selamat selama rata-rata
8,42 hari, sedangkan pasien yang tidak selamat bila rata-rata 15,89 hari. Tes Mann-Whitney
U menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara fasciotomy dan periode
keselamatan (p=0,759).
Mortalitas pada pasien terbakar banyak berhubungan dengan kegagalan beberapa
organ, sepsis, perpanjangan lamanya berada di unit perawatan intensif, dan perpanjangan
penggunaan ventilasi mekanik.6 Disfungsi multi-organ dan sepsis banyak berhubungan
dengan persentase luka bakar, usia dan jenis kelamin. 1,6,9 Menurut penemuan autopsy, cedera
pulmoner dan sepsis yang ditemukan merupakan alasan paling banyak dari penyebab
kematian dalam semua kelompok usia. Edema dan kongesti banyak dilaporkan memburuk
seiring dengan bertambahnya usia.16
Kegagalan multi-organ yang berhubungan dengan sepsis merupakan penyebab utama
kematian yang tersering, dan Pseudomonas merupakan mikroorganisme yang paling banyak
dilaporkan pada pasien sepsis. Berkat banyaknya kemajuan di unit bangsal perawatan luka
bakar, terutama kemajuan dalam pertolongan pertama luka bakar, dan terapi awal pasien
terbakar, mortalitas di antara pasien terbakar perlahan-lahan semakin menurun.11
Sebelumnya telah dilaporkan bahwa penemuan yang tidak disadari secara klinis
melalui autopsy bisa secara signifikan berkontribusi untuk terapi kasus luka bakar oleh
dokter.6,8,16 Penelitian telah menemukan perbedaan antara diagnosis klinis antemortem dan
penemuan postmortem dalam kematian yang berhubungan luka bakar.6 Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Kallinen et al., autopsy telah menemukan 14,1% penemuan yang tidak
ditemukan dalam pemeriksaan antemortem, dan pneumonia merupakan diagnosis yang paling
banyak dibuat saat autopsy.6 Hasil penemuan autopsy dalam penelitian sekarang
menunjukkan bahwa pneumonia merupakan diagnosis yang paling banyak ditemukan pada
postmortem dan masih tidak diketahui secara klinis. Perbandingan diagnosis antemortem dan
penemuan postmortem pada dua belas kasus yang dilakukan autopsy, telah menemukan
diagnosis adanya pneumonia dalam enam kasus (50%) (Tabel 3).
Kesimpulannya, cedera luka bakar merupakan penyebab penting dari mortalitas pada
populasi militer, begitu juga dengan populasi umum. Kami mempertimbangkan bahwa
penemuan yang ditemukan melalui autopsy bisa sangat berkontribusi untuk terapi kasus luka
bakar dan pembagian data interdisipliner bisa jadi penting untuk hal ini.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Kumar V, Mohanty MK, Kanth S. Fatal burns in Manipal area: a 10 year study. J Forensic
Leg Med 2007;14:36.

2. Byk Y, Koak U. Fire-related fatalities in Istanbul, Turkey: analysis of 320 forensic


autopsy cases. J Forensic Leg Med 2009;16:44954.

3. Sanghavi P, Bhalla K, Das V. Fire-related deaths in India in 2001: a retro- spective analysis
of data. Lancet 2009;373:12828.

4. Roberts G, Lloyd M, Parker M, Martin R, Philp B, Shelley O, et al. e Baux score is dead.
Long live the Baux score: a 27-year retrospective co- hort study of mortality at a
regional burns service. J Trauma Acute Care Surg 2012;72:2516.

5. Brusselaers N, Monstrey S, Vogelaers D, Hoste E, Blot S. Severe burn injury in Europe: a


systematic review of the incidence, etiology, morbidity, and mortality. Crit Care
2010;14:R188.

6. Kallinen O, Partanen TA, Maisniemi K, Bhling T, Tukiainen E, Kol- jonen V. Comparison


of premortem clinical diagnosis and autopsy nd- ings in patients with burns. Burns
2008;34:595602.

7. Kallinen O, Maisniemi K, Bhling T, Tukiainen E, Koljonen V. Multiple organ failure as a


cause of death in patients with severe burns. J Burn Care Res 2012;33:20611.

8. Fish J, Hartshorne N, Reay D, Heimbach D. e role of autopsy on pa- tients with burns. J
Burn Care Rehabil 2000;21:33944.

9. Sharma BR, Harish D, Singh VP, Bangar S. Septicemia as a cause of death in burns: an
autopsy study. Burns 2006;32:5459.

10. Padubidri JR, Menezes RG, Pant S, Shetty SB. Deaths among wom- en of reproductive
age: a forensic autopsy study. J Forensic Leg Med 2013;20:6514.

11. Krishnan P, Frew Q, Green A, Martin R, Dziewulski P. Cause of death and correlation
with autopsy ndings in burns patients. Burns 2013;39:5838.
12. Cmert SS, Acar H, Dogan C, Caglayan B, Fidan A. Clinical, radio- logical and
bronchoscopic evaluation of inhalation injury cases treated at a burn center. [Article in
Turkish] Ulus Travma Acil Cerrahi Derg 2012;18:1117.

13. Tmer AR, Akan R, Karacaoglu E, Balseven-Odabas A, Keten A, Kanburoglu C, et al.


Postmortem burning of the corpses following homi- cide. J Forensic Leg Med 2012;19:223
8.

14. Gomez R, Murray CK, Hospenthal DR, Cancio LC, Renz EM, Hol- comb JB, et al.
Causes of mortality by autopsy ndings of combat ca- sualties and civilian patients admitted to
a burn unit. J Am Coll Surg 2009;208:34854.

15. Wolf SE, Kauvar DS, Wade CE, Cancio LC, Renz EP, Horvath EE, et al. Comparison
between civilian burns and combat burns from Op- eration Iraqi Freedom and Operation
Enduring Freedom. Ann Surg 2006;243:78695.

16. Pereira CT, Barrow RE, Sterns AM, Hawkins HK, Kimbrough CW, Je- schke MG, et al.
Age-dependent di erences in survival after severe burns: a unicentric review of 1,674 patients
and 179 autopsies over 15 years. J Am Coll Surg 2006;202:53648.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Luka bakar adalah luka karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi.
Luka yang disebabkan oleh panas api atau cairan yang dapat membakar merupakan jenis
yang lazim kita jumpai dari luka bakar yang parah. Luka bakar merupakan jenis trauma
dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan suatu penatalaksanaan
sebaik-baiknya sejak fase awal hingga fase lanjut. . Luka bakar dapat terjadi pada setiap
orang muda maupun orang tua dan baik laki-laki maupun perempuan. Luka bakar dapat
bervariasi dari cedera ringan yang dapat dengan mudah dikelola di klinik rawat jalan, untuk
luka yang luas dapat mengakibatkan kegagalan sistem organ dan perawatan yang
berkepanjangan di rumah sakit.1,2
Luka bakar, yang telah mencapai proporsi epidemi dalam beberapa tahun terakhir,
dianggap sebagai masalah kesehatan yang lebih serius daripada epidemi polio.Dalam
beberapa tahun terakhir profesi medis telah mulai mengenal dan memahami masalah yang
terkait dengan luka bakar.Pada 1950-an terdapat kurang dari 10 rumah sakit di Amerika
Serikat yang khusus luka bakar. Sejak saat itu, telah ada kemajuan yang signifikan dalam
memahami masalah luka bakar dan kini ada sekitar 200 pusat perawatan khusus luka bakar di
Amerika Serikat.3
Faktor resiko luka bakar adalah tingginya pajanan terhadap api, wilayah padat penduduk,
merokok, pemakaian cairan kimia, pemakaian kompor gas dan alat alat listrik yang tidak
benar.Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan serta penanganan yang benar terhadap luka
bakar untuk mencegah komplikasinya. Penanganan pada luka bakar tergantung pada usia,
keadaan, letak dan luasnya luka bakar. Diperlukan penanganan intensif yang mengacu pada
fisiologi cairan dan elektrolit, pencegahan infeksi, pemeliharaan nutrisi, perawatan terhadap
luka bakar.3

ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Epidermis, bagian terluar dibagi menjadi 2 lapisan utama yaitu lapisan sel sel berinti
yang bertanduk (stratum korneum) dan lapisan dalam yaitu sel bertanduk yang telah
mengalami proses diferensiasi ( stratum malphigi). Stratum malphigi dibagi menjadi 2,
yaitu lapisan basal (stratum germinatifum, stratum spinosum) dan stratum granulosum. 4
Keratinosit merupakam sel epidermis utama yang berdiferensiasi, membentuk keratin,
suatu protein fibrosa.Keratinosit meninggalkan lapisan malphigi dan bergerak ke atas,
mengalami perubahan bentuk, struktur, sitoplasmik dan komposisi. Proses ini
mengakibatkan transformasi dari sel hidup, aktif mensintesis menjadi sel mati dan
bertanduk. Proses ini dinamakan keratinisasi. Unsur sel sisanya membentuk suatu
komplek amorf fibrosa yang dikelilingi membrane yaitu tanduk..4
Melanosit merupakan sel epidermis utama juga, yang berfungsi mensintetis melanin
dari granula granula melanosom yang berhubungan dengan keratinosit. Jumlah melanin
dalam keratinosit menentukan warna kulit.Melanin melindungi kulit dari pengaruh sinar
matahari yang merugikan.Sinar matahari meningkatkan pembentukan melanosom dari
melanin.
Dermis terletak tepat dibawah epidermis yang terdiri dari serabut kolagen, elastin dan
retikulin.Mengandung pembuluh darah dan saraf yang menyokong dan memberi nutrisi
pada lapisan epidermis.3,4
LUKA BAKAR

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka
bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.Luka bakar
dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung, misal akibat
tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan
suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar.
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:2,5

1. Luka bakar karena suhu, seperti api, radiasi matahari, atau panas dari api itu sendiri,
uap panas, cairan panas, dan benda-benda panas, serta terpapar oleh suhu rendah yang
sangat ekstrim. Kedalaman luka bakar karena suhu berkaitan dengan temperatur
cairan, lamanya paparan dengan cairan, dan viskositas cairan (biasanya ada kontak
lama dengan cairan lebih kental).
2. Luka bakar karena bahan kimia, seperti berbagai macam zat asam, basa, dan bahan
tajam lainnya. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang
terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan
untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang
industri, pertanian dan militer.
3. Luka bakar karena listrik, baik Alternatif Current (AC) maupun Direct Current (DC).
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang
dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak,
tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka bakar inhalasi, seperti keracunan karbon monoksida, panas atau smoke
inhalation injuries.
5. Luka bakar akibar radiasi, yang bersumber dari bahan-bahan nuklir, termasuk sinar
ultraviolet. Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri
atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar
oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe
luka bakar radiasi.
EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000
orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar
karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 9 tahun. Anak anak
beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per
100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup. Di Amerika
Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari
50.000 pasien di rawat inap. Di Indonesia, prevalensi luka bakar sebesar 0,7%. 7 Secara
global, 96.000 anakanak yang berusia di bawah usia 20 tahun mengalami kematian akibat
luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih tinggi sebelas kali di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi
sebesar 4,3 per 100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang. Kebanyakan kematian terjadi pada
daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi
kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan tinggi, seperti Eropa dan Pasifik
Barat.6

Penelitian yang dilakukan pada Unit Luka Bakar RSCM dari Januari 2011
Desember 2012 didapatkan hasil bahwa dari 275 pasien yang mengalami luka bakar, 203
pasien adalah orang dewasa. Jumlah pasien dewasa yang meninggal dunia sebanyak 76
orang. 78% diantaranya disebabkan oleh luka api, luka bakar listrik 14%, air panas 4%, kimia
3%, dan metal 1%. Penyebab kematian terbanyak adalah akibat septikemia (42,1%),
kegagalan organ multiple (31,6%), SIRS (17,6%), dan ARDS (87,6%).6

Menurut The National Institutes of General Medical Sciences, sekitar 1,1 juta luka-luka
bakar yang membutuhkan perawatan medis setiap tahun di Amerika Serikat. Di antara
mereka terluka, sekitar 50.000 memerlukan rawat inap dan sekitar 4.500 meninggal setiap
tahun dari luka bakar.Ketahanan hidup setelah cedera luka bakar telah meningkat pesat
selama abad kedua puluh.Perbaikan resusitasi, pengenalan agen antimikroba topikal dan,
yang lebih penting, praktek eksisi dini luka bakar memberikan kontribusi terhadap hasil yang
lebih baik. Namun, cedera tetap mengancam jiwa.2
Di Amerika Serikat, sekitar 2,4 juta luka bakar dilaporkan per tahun. Sekitar 650.000
dari cedera ditangani oleh pusat-pusat perawatan luka bakar, 75.000 dirawat di rumah sakit.
Dari mereka yang dirawat di rumah sakit, 20.000 yang mengalami luka bakar besar telah
melibatkan paling sedikit 25% dari total permukaan tubuh mereka. Antara 8.000 dan 12.000
pasien dengan luka bakar meninggal, dan sekitar satu juta akan mempertahankan cacat
substansial atau permanen yang dihasilkan dari luka bakar mereka. 5Insiden puncak luka bakar
pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29 tahun. Diikuti oleh anak umur 9 tahun
atau lebih mudah, luka bakar jarang terjadi pada umur 80 tahun ke atas. 6Sekitar 80% luka
bakar dapat terjadi di rumah. Pada anak umur 3-14 tahun, penyebab luka bakar paling sering
karena nyala api yang membakar baju. Pada orang dewasa, luka bakar paling sering
disebabkan oleh kecelakaan industri ataupun kebakaran yang terjadi di rumah akibat rokok.5

KLASIFIKASI LUKA BAKAR

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh,
baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah
yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah
terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat
kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan menurut Wilson dalam derajat luka bakar, yaitu
luka bakar derajat I, II, dan III :7
1. Luka bakar derajat satu.

Kerusakan hanya terjadi pada epidermis. Terjadi eritema dan blister tanpa kehilangan
dermis. Disini kapiler mengalami dilatasi dan terjadi transudasi cairan kedalam jaringan
ikat, yang menyebabkan edema. Secara umum blister diliputi oleh kulit yang berwarna
keputihan diatasnya, epidermis yang avaskuler dan dibatasi oleh zona yang berwarna
hiperemi. Bila besar blister kurang dari 1 cm maka blister ini akan diresorpsi, sebaliknya
bila blister ini pecah maka akan meninggalkan daerah dengan dasar yang berwarna
kemerahan. Luka bakar derajat satu ini akan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.
Walaupun luka bakar yang terjadi adalah derajat satu akan tetapi bila meliputi lebih dari
sepertiga permukaan tubuh terutama yang terletak pada daerah kepala, leher, badan, atau
dinding depan dari abdomen maka akan menyebabkan kefatalan.

2. Luka bakar derajat dua


Terjadi destruksi dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis dapat mengalami koagulasi,
pengerutan, berupa daerah yang dibatasi oleh zona yang berwarna kemerahan, dan blister
kulit. Dalam beberapa hari, biasanya dalam beberapa minggu jaringan yang nekrosis akan
mengelupas dan meninggalkan ulkus yang lambat sembuh. Luka bakar derajat dua sering
memerlukan koreksi bedah plastik untuk mengatasi jaringan parut yang terbetuk selama
penyembuhan.

3. Luka bakar derajat tiga

Karakteristik dari luka bakar ini adalah destruksi yang luas tidak hanya pada kulit dan
subkutis tetapi juga pada otot dan tulang.Ddestruksi pada ujung-ujung syaraf juga dapat
terjadi yang mengakibatkan kehilangan rasa nyeri yang relatif. Devitalisasi jaringan pada
area luka bakar menyebabkan mudah terkenanya infeksi dan penyembuhan yang berjalan
lambat. Bila eksposurenya berkepanjangan, maka kulit dan jaringan ikat dibawah kulit
akan terbakar dan menjadi arang. Sedangkan ekposure yang luas dari tubuh setelah
kematian oleh karena panas dan asap menyebabkan seluruh tubuhh menjadi arang dengan
otot-otot dan organ- organ dalam yang terpanggang, dan akhirnya menghanguskan
bagian-bagian tubuh terutama ekstremitas, genetalia dan telinga.

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan
pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan
dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan
peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus.
Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan
yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju
metabolik dan energi metabolisme. 8,9
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan
dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan
luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung
pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha
kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya
1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh
yang terbakar pada orang dewasa.8
Kepala dan leher ... 9%
Lengan (masing-masing 9%)... 18%
Badan Depan ...18%
Badan Belakang 18% ..... 36%
Tungkai (Masing-masing 18%) .. 36%
Genitalia/perineum ... 1%
Total100%

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian
tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan
rumus 10-15-20 untuk anak.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR

1. Luka bakar berat (major burn)6


a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)


a. Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,
dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki,
dan perineum

PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Pada suhu 44 C, ketika kulit terpapar sebanyak 5 6 jam atau pada suhu 65 C ketika terpapar
selama 2 detik, maka luka bakar dapat terbentuk. 10 Dalam perjalanan penyakit dibedakan tiga
fase pada luka bakar: 6
1. Fase Awal, fase akut, fase shock.
Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit, akibat
cedera teknis yang bersifat sistemik.
2. Fase setelah shock berakhir/diatasi atau fase sub akut.
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir/dapat diatasi. Luka terbuka akibat kerusakan
jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) menimbulkan masalah antara lain:
a. Proses inflamasi. Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan luka
sayat elektif, proses inflamasi disini terjadi lebih hebat disertai eksudasi dan
kebocoran protein. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian
berkembang menjadi reaksi sistemik dengan dilepasnya zat-zat yang berhubungan
dengan proses imunologik, yaitu kompleks lipoprotein (lipid protein complex, burn-
toxin) yang menginduksi respon inflamasi sistemik (sistemik inflamation response
syndrome, SIRS)
b. Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
c. Proses penguapan cairan tubuh disertai panas/energi (evaporative heat loss) yang
menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme.
3. Fase Lanjut.
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadinya maturasi. Masalah
pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan organ-organ
strukturil.

Cedera panas menyebabkan kerusakan pada jaringan dapat dibedakan atas 3 zona,
masing-masing yaitu
1. Zona koagulasi, daerah yang berlangsung mengalami kontak dengan sumber panas.
2. Zona statis, daerah dimana terjadi no flow phenomena oleh karena adanya kerusakan
pada endotel, trombosit dan leukosit di pembuluh kapiler, yang menyebabkan gangguan
sirkulasi mikro dan perfusi ke jaringan.
3. Zona hiperemi,daerah yang mengalami vasodilatasi, gangguan permeabilitas
kapiler, edema dan distribusi sel radang akut.
Gangguan sirkulasi yang terjadi disebabkan perubahan permeabilitas kapiler, perubahan
tekanan onkotik dan hidrostatik yang kemudian diikuti ekstravasasi cairan dengan manifestasi
hipovolemi dan penimbunan cairan di jaringan intersisiel (edema).Di tingkat seluler,
gangguan perfusi menyebabkan perubahan metabolisme. Pada tahap awal terjadi proses
metabolisme anaerob yang menyebabkan peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat
yang menimbulkan asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi, sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemik jaringan berakhir dengan nekrosis.
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan hambatan perfusi ke jaringan organ-organ
penting terutama otak, hepar, paru, jantung dan ginjal; yang selanjutnya mengalami
kegagalan menjalankan fungsinya.Dalam mekanisme pertahanan tubuh, bila terjadi gangguan
pada sistem keseimbangan tubuh (homeostasis), maka organ-organ perifer yang pertama
dikorbankan oleh tubuh (vasokonstriksi perifer), organ dimaksud dalam hal ini ginjal.Dengan
adanya penurunan dan disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
Resusitasi cairan yang inadekuat menyebabkan berjalannya proses sebagaimana
diuraikan diatas. Sebaliknya, bila terjadi kelebihan pemberian cairan (overload), sementara
sirkulasi dan perfusi tidak/belum berjalan normal, atau pada kondisi syok, cairan akan
ditahan dalam jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak sebagai edema paru. Edema
paru menyebabkan kegagalan fungsinya sebagai alat pernafasan, khususnya pertukaran
oksigen dengan karbon-dioksida, kadar oksigen dalam darah sangat rendah dan jaringan
hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat irreversibel. Sel-sel otak adalah organ yang
paling sensitif, bila dalam waktu lebih dari 4 menit terjadi kondisi hipoksia, maka sel-sel otak
mengalami kerusakan dan kematian yang menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di
tingkat sentral. Sementara edema paru juga merupakan beban bagi jantung sebagai suatu
pompa.Pada mulanya jantung mampu menjalankan mekanisme kompensasi namun akhirnya
terjadi dekompensasi.
Kegagalan fungsi organ-organ (multi system organ failure/mof) yang diuraikan diatas
tidak terjadi begitu saja dan tidak terlepas dari peran mediator-mediator inflamasi seperti
sitokin, ekosanoids (prostaglandin, tromboksan dan radikal bebas,dsb) yang dilepas ke dalam
sirkulasi menyusul suatu cedera jaringan.
Reaksi dari mediator-mediator inflamasi ini dikenal dengan sebutan systemic
inflammation response syndrome/sirs yang merupakan fenomena yang rumit terjadi dalam
beberapa fase. Kondisi klinis yang terlihat adalah suatu keadaan yang disebut multisystem
organ dysfunction/mod akan berakhir dengan multisystem organ failure, mof ( yang
sebelumnya diduga / dikenal sebagai kondisi sepsis). Dengan kegagalan fungsi organ-organ
penting, proses berakhir dengan kematian.2

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:


1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi
sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak
dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau
banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada
trakeostomi. Diberikan juga antinyeri, terapi nutrisi, dan dilakukan perawatan luka. Dapat
dilakukan eksisi maupun skin grafting apabila diperlukan.8,9
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak
dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar
menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas
lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat
untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat
penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan
radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi
adanya kemungkinan trauma tumpul.Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka
bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum
dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan,
melepas dari eskar yang mengkonstriksi.9,10

PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan. Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang
timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.2,3

KOMPLIKASI

Pada luka bakar <20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih dapat
mengatasinya. Luka bakar >20% dapat menimbulkan syok hipovolemik dengan gejala yang
khas. Luka bakar termal pada ruang tertutup dapat menyebabkan trauma inhalasi dengan
penemuan berupa sputum berwana gelap akibat jelaga, luka bakar pada wajah, alis dan bulu
hidung yang terbakar, edema orofaring, perubahan suara seperti serak, perubahan kesadaran,
dan stridor. Pada luka bakar terjadi peningkatan katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil dan berat
badan menurun. Terjadi hiperpireksia persisten, takikardi, hiperventilasi, dan hiperglikemi. 13
Pada luka bakar yang berat, respons imun mengalami penurunan sehingga dapat terjadi
bakterimia, syok septik serta kematian. Pada luka bakar dapat pula ditemukan ileus paralitik.
Stres atau beban faal dapat mengakibatkan tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan
gejala sama seperti tukak peptik yang disebut dengan tukak Curling dan dapat menyebabkan
hematemesis atau melena.9

Luka bakar pada awalnya steril, namun kemudian dapat terjadi kolonisasi bakteri yang
berasal dari bakteri komensal kulit. Bila pencucian luka atau debridemen tidak dilakukan
dengan adekuat, maka kolonisasi bakteri dapat bersifat invasif berupa penetrasi lebih dalam
ke jaringan dan masuk ke dalam sistemik sehingga menyebabkan bakterimia. Timbul infeksi
luka pada penderita luka bakar merupakan salah satu penyebab utama terjadinya SIRS
(Systemic Inflamatory Response Syndrome), sepsis, syok septik, MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome), dan MOF (Multiple Organ Failure).11

Gagal ginjal dapat terjadi karena hipoperfusi ginjal, hemoglobinuria, myoglobinuria atau
sepsi. Penurunan volume urin mengakibatkan pertanda awal gagal ginjal akut yang diikuti
dengan peningkatan serum kreatinin dan urea.12

MORTALITAS PADA LUKA BAKAR


Ada beberapa faktor yang meyebabkan kematian pada kejadian luka bakar, yaitu:

1. CO Poisoning dan smoke inhalation.


Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang hebat
yang terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan dengan kebakaran
yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada kasus-kasus kebakaran
yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke inhalation lebih sering
bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban dibanding dengan luka bakar itu
sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang penting dari penyebab kematian pada luka
bakar, biasanya korban menjadi tidak sadar dan meninggal sebelum api membakarnya, ini
dapat menjawab pertanyaan mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi
kebakaran. Sehingga dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat
luka bakar serta saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hati hati.1
Gas CO ini dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna, misalnya kayu yang
terbakar, kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO. CO
dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa
korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran.Oleh karena gas ini hanya dapat masuk
melalui absorbsi pada paru-paru.1,4
Bila CO merupakan penyebab mati yang utama, maka saturasi dalam darah paling
sedikitnya dibutuhkan 40% COHb, kecuali pada orang tua, anak-anak dan debilitas
dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25%. Sebenarnya kadar COHb pada korban
yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kematian.
Banyak kasus-kasus fatal menunjukan 50 60% saturasi, walaupun kadarnya secara
umum kurang dari kadar yang terdapat dalam darah pada keracunan CO murni, seperti
pembunuhan dengan gas mobil atau industrial exposure, dimana konsentrasinya dapat
mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam
atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah. 1
Beberapa faktor lainnya selain CO yang dapat dipercaya sebagai penyebab
kematian adalah kasus-kasus kematian oleh karena smoke inhalation. Pada banyak kasus
kematian, dimana thermal injuries pada badan tidak sesuai dengan penyebab kematian
maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation. Asap yang berasal dari
kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti furnitur, cat, kayu, pernis, karpet, dan
komponen-komponen yang secara struktural terdiri polystyrene, polyurethane, polyvinyl
dan material-material plastik lainnya dikatakan merupakan gas yang sangat toksik bila
dihisap dan potensial dalam menyebabkan kematian. 1,4
Sianida adalah salah satu gas yang dihasilkan dalam kebakaran, akan tetapi pada
kenyataannya, jumlah sianida yang diproduksi dalam kebakaran adalah relatif kecil
dengan konsentrasi yang sebenarnya tidak membahayakan dalam kehidupan. Bahkan
dalam ruangan yang tertutup yang diberikan gas sianida murni dengan konsentrasi tinggi,
seperti yang terjadi pada kamp-kamp kematian NAZI ternyata tidak dapat menyebabkan
kematian dalam waktu yang cepat dan kematian tidak terjadi dalam beberapa
menit.Deteksi sianida dalam darah sulit dilakukan apalagi gas ini juga diproduksi
postmortem pada waktu pembusukan.
2. Trauma mekanik.
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya
bangunan disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk
melarikan diri seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan.Luka-luka ini harus dicari
pada waktu melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan apakah luka-luka
tersebut signifikan dalam menyebabkan kematian.Trauma tumpul yang mematikan tanpa
keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai sebagai suatu pembunuhan.13
3. Anoxia dan Hypoxia.
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai
penyebab kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih cukup
untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang diletakkan dalam
tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin padam lebih dahulu tikus
masih aktif berlari disekitarnya. Radikal bebas dapat diajukan sebagai salah satu
kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena radikal bebas ini dapat menyebabkan
surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam
darah. 1,13

4. Luka bakar itu sendiri.


Secara general dapat dikatakan bahwa luka bakar seluas 30 50 % dapat
menyebabkan kematian.Pada orang tua dapat meninggal dengan presentasi yang jauh
lebih rendah dari ini, sedangkan pada anak-anak biasanya lebih resisten.Selain oleh
derajat dan luas luka bakar prognosis juga dipengaruhi oleh lokasi daerah yang terbakar,
keadaan kesehatan korban pada waktu terbakar.Luka bakar pada daerah perineum, ketiak,
leher, dan tangan dikatakan sulit dalam perawatannya, oleh karena mudah mengalami
kontraktur. 1,4
5. Excessive Heat.
Environmental hypertermia dapat menjadi fatal.Bila tubuh terekspos pada gas panas,
air panas atau ledakan panas dapat menyebabkan shock yang disertai kolaps kardiovaskuler
yang mematikan. 13

Kematian karena luka bakar dapat terbagi menjadi kematian cepat dan kematian lambat,
sehingga penyebab kematian baik tipe cepat maupun tipe lambat berbeda.

Kematian cepat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah terjadinya luka
bakar. Kematian cepat pada luka bakar dapat terjadi akibat syok neurogenik (nyeri yang
sangat berat), luka akibat panas yang menyebabkan kehilangan cairan, dan luka pada saluran
nafas.1
Kematian lambat terjadi sebagai hasil beberapa kemungkinan komplikasi, seperti kehilangan
cairan yang dapat menyebabkan syok hipovolemik atau gagal ginjal, kegagalan cairan akibat
luka atau kerusakan pada epitel saluran pernafasan dan acute respiratory distress syndrome,
serta sepsis akibat pneumonia.1

PEMERIKSAAN JENAZAH

I. Pemeriksaan Luar Korban


Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada
kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang terbakar
sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya.

Artefak artefak yang ditemukan pada mayat oleh karena luka bakar:

1. Skin Split.
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari
epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka sayat
dan sering disalah-artikan sebagai kekerasan tajam.Artefak postmortem ini dapat
mudah dibedakan dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak adanya
perdarahan dan lokasinya yang bervariasi disembarang tempat.Kadang-kadang dapat
terlihat pembuluh darah yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.

2. Abdominal Wall Destruction.


Kebakaran parsial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan keluarnya
sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini terjadi tanpa
perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam rongga abdomen.

3. Skull Fractures.
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan uap
didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan tekanan
intra cranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak.
Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar
dapat terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear.Disini tidak
penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.

4. Pseudo Epidural Hemorrhage.


Artefak umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan kepala
yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau epidural hematom
postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom antemortem tidak sulit
oleh karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna coklat, mempunyai
bentukan seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan secara tipikal terletak pada
daerah frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus dapat meluas sampai ke
oksipital.
5. Non-Cranial Fractures.
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan pada
korban yang mengalami karbonisasi oleh karena terekspos terlalu lama dengan api
dan asap. Tulang tulang yang terbakar mempunyai warna abu-abu keputihan dan
sering menunjukkan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini biasanya hancur
bila dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada waktu transportasi ke
kamar mayatatau selama usaha memadamkan api. Mayat sering dibawa tanpa tangan
dan kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena sudah mengalami
fragmentasi.1,3

6. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi pugilistic.
Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut otot
otot fleksor dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi
seorang boxer dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi
sebagian atau seluruhnya. Posisi pugilistic ini tidak berhubungan apakah individu
itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian. pugilistic attitude atau heat
rigor ini akan hilang bersama dengan timbulnya pembusukan. 1,13

II. Pemeriksaan Dalam korban.


Beberapa temuan intravitalitas pada korban luka bakar:

1. Jelaga dalam saluran nafas.


Pada kebakaran rumah atau gedung dimana rumah atau gedung beserta isi
perabotannya juga terbakar seperti bahan-bahan yang terbuat dari kayu, plastik akan
menghasilkan asap yang berwarna hitam dalam jumlah yang banyak. Akibat dari
inhalasi ini korban akan menghirup partikel karbon dalam asap yang berwarna
hitam. Sebagai tanda dari inhalasi aktif antemortem, maka partikel-partikel jelaga
ini dapat masuk kedalam saluran nafas melalui mulut yang terbuka, mewarnai lidah,
dan pharynx, glottis , vocal cord , trachea bahkan bronchiolus terminalis. Sehingga
bila secara histology ditemukan jelaga yang terletak pada bronchiolus terminalis
merupakan bukti yang absolut dari fungsi respirasi.3,13
Sering pula dijumpai adanya jelaga dalam mukosa lambung, ini juga
merupakan bukti bahwa korban masih hidup pada wakrtu terdapat asap pada
peristiwa kebakaran. Karbon ini biasanya bercampur dengan mucus yang melekat
pada trachea dan dinding bronchus oleh karena iritasi panas pada
mukosa.Ditekankan sekali lagi bahwa ini lebih nyata bila kebakaran terjadi didalam
gedung dari pada di dalam rumah. 13

2. Saturasi COHb dalam darah.


CO dalam darah merupakan indikator yang paling berharga yang dapat
menunjukkan bahwa korban masih hidup pada waktu terjadi kebakaran.Oleh karena
gas ini hanya dapat masuk melalui absorbsi dari paru-paru.Akan tetapi bila pada
darah korban tidak ditemukan adanya saturasi COHb maka korban mati sebelum
terjadi kebakaran. Bahwa kadar saturasi CO dalam darah tergantung beberapa faktor
termasuk konsentrasi CO yang terinhalasi dari udara, lamanya eksposure, rata-rata
dan kedalaman respiration rate dan kandungan Hb dalam darah. Kondisi-kondisi ini
akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan rata-rata absorbsi CO.1,3,13
Pada otopsi biasanya relatif mudah untuk menentukan korban yang meninggal
pada keracuan CO dengan melihat warna lebam mayat yang berupa cherry red pada
kulit, otot, darah dan organ-organ interna, akan tetapi pada orang yang anemik atau
mempunyai kelainan darah sehingga warna cherry red ini menjadi sulit
untukdikenali.
3. Reaksi jaringan.
Sebenarnya tidak mungkin untuk membedakan luka bakar yang akut yang
terjadi antemortem dan postmortem.Pemeriksaan mikroskopik luka bakar tidak
banyak menolong kecuali bila korban dapat bertahan hidup cukup lama sampai
terjadi respon respon radang.Kurangnya respon tidak merupakan indikasi bahwa
luka bakar terjadi postmortem.
Pemeriksaan slide secara mikroskopis dari korban luka bakar derajad tiga yang
meninggal tiga hari kemudian tidak ditemukan reaksi radang, ini diperkirakan oleh
karena panas menyebabkan trombosis dari pembuluh darah pada lapisan dermis
sehinggga sel-sel radang tidak dapat mencapai area luka bakar dan tidak
menyebabkan reaksi radang. Blister juga bukan merupakan indikasi bahwa korban
masih hidup pada waktu terjadi kebakaran, oleh karena blister ini dapat terjadi
secara postmortem.Blister yang terjadi postmortem berwarna kuning pucat, kecuali
pada kulit yang hangus terbakar.Agak jarang dengan dasar merah atau areola yang
erythematous, walaupun ini bukan merupakan tanda pasti. 1,13
Secara tradisionil banyak penulis mengatakan bahwa untuk dapat
membedakan blister yang terjadi antemortem dengan blister yangterjadi postmortem
adalah dengan menganalisa protein dan chlorida dari cairan itu. Blister yang
dibentuk pada ante mortem dikatakan mengandung lebih banyak protein dan
chloride, tetapi inipun tidak merupakan angka yang absolute

4. Subendocardial left ventricular hemorrhages.


Perdarahan subendokardial pada ventrikel kiri dapat terjadi oleh karena efek
panas.Akan tetapi perdarahan ini bukan sesuatu yang spesifik karena dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme kematian.Pada korban kebakaran perdarahan
ini merupakan indikasi bahwa sirkulasi aktif sedang berjalan ketika tereksposure
oleh panas tinggi yang tidak dapat ditolerasi oleh tubuh dan ini merupakan bukti
bahwa korban masih hidup saat terjadi kebakaran.3
III. BERDASARKAN WAKTU TERJADI LUKA BAKAR
Berdasarkan waktu terjadinya luka bakar, maka penemuan postmortem baik secara
eksternal dan internal dapat dibedakan dengan cara sebagai berikut :10

I. Kematian yang timbul segera atau dalam waktu singkat :


a. Tampilan eksternal
i. Potongan pakaian terbakar bila pakaian yang digunakan korban
ketat/menempel pada badan
ii. Tercium bau seperti bau minyak kerosen atau minyak lain yang dapat
menyebabkan kebakaran. Bau dapat tercium pada tubuh, terutama
bagian tubuh yang berambut atau sisa pakaian.
iii. Rambut di kepala atau bagian badan lainnya ditemukan hangus atau
terbakar seluruhnya
iv. Adanya vesikasi pada tubuh korban yang kaya akan protein dan
klorida.
v. Tubuh dapat mengalami karbonisasi (berwarna hitam), atau pada area
yang terbakar dikelilingi kemerahan.
vi. Pugilistic attitude
vii. Wajah membengkak dan berubah bentuknya
viii. Lidah terlihat menjulur dan terbakar
ix. Lebam mayat berwarna merah
x. Ruptur akibat panas dapat terjadi di mana saja dan akan sulit
dibedakan dengan laserasi antemortem
xi. Dapat ditemukan cairan yang keluar dari hidung dan mulut akibat
udem pulmonar yang disebabkan oleh asap.
xii. Dapat terjadi fraktur akibat panas.
b. Tampilan Internal
i. Partikel jelaga hitam dapat ditemukan bercampur dengan mukus pada
faring, laring, trakea, dan cabang bronkus yang rendah.
ii. Paru terjadi kongesti, udem, dan bila di iris akan mengeluarkan busa
iii. DItemukan perdarahan berupa ptekie pada pleura viseral dan
pericardium.
iv. Jantung berisi darah berwarna merah cherry akibat pembentukan dari
carboxyhaemoglobin.
v. Membran mukosa lambung dan usus mengalami kongesti dan
inflamasi.
vi. Liver biasanya membesar, mengalami kongesti, dan menunjukkan
tanda-tanda perubahan lemaknya.
vii. Ginjal membesar, kongesti, dan membengkak
viii. Kelenjar adrenal membesar, kongesti, dan terdapat ptekie hemoragik
pada permukaannya
ix. Lien membesar dan lunak
x. Otak dan selaputnya mengalami kongesti dan terdapat bintik
perdarahan berupa ptekie.
xi. Didapatkan fraktur pada tulang tengkorak akibat panas, dan hematome
akibat panas pada ruang ekstradural.
xii. Fraktur akibat panas atau melengkungnya tulang panjang.
1. Kematian yang Timbul Terlambat atau Beberapa Hari Setelah Mengalami Luka Bakar
a. Temuan Eksternal
i. Dasar area yang terbakar mengeluarkan sekret serosangius atau
ulserasi yang ditutup dengan pus dan jaringan nekrotik berwarna
kuning (sloughs) dan adanya tanda-tanda penyembuhan pada bagian
tepi luka dengan bukti sudah dilakukan tindakan medik.
b. Temuan Internal
i. Bila korban bertahan lebih dari seminggu, dapat ditemukan Ulserasi
Curling di duodenum.
ii. Paru mengalami kongesti dan udem serta menunjukan tanda
pneumonitis atau perubahan bronkopneumonik.
iii. Ginjal menunjukkan infektif nefritis atau tanda-tanda gagal ginjal
iv. Hati menunjukkan pembengkakan (cloudy swelling) dan nekrosis
sentrilobular
v. Otak dan selaput otak mengalami pembengkakan dan inflamasi

PERBANDINGAN TANDA LUKA BAKAR ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM

Pada korban yang masih hidup saat terbakar akan ditemukan adanya hal-hal antara
lain tanda intravital pada luka bakar dan gelembung yang terbentuk, adanya jelaga pada
saluran pernapasan serta saturasi karbonmonoksida diatas sepuluh persen dalam darah
korban. Pada korban yang keracunan karbonmonoksida jika tubuh korban tidak terbakar
seluruhnya akan terbentuk lebam mayat berwarna cherry red.Pada tubuh manusia yang
sudah mati terbakar tidak akan berwarna kemerahan oleh reaksi intravital.Tubuh mayat akan
tampak keras dan kekuningan.Gelembung yang terdapat akan mengandung sangat sedikit
albumin yang akan memberikan kekeruhan bila dipanaskan serta sangat sedikit atau tidak
ditemukan sel PMN. Jadi perbedaan luka antara antemortem dan post mortem adalah pada
luka antemortem terdapat tanda-tanda intravital berupa vesikel dan bula, sedangkan pada
mayat postmortem tidak ditemukan tanda-tanda tersebut.Perbedaan lainnyaakan tampak
adanya jelaga pada saluran napas pada luka antemortem dan saturasi diatas sepuluh persen di
dalam darah sedangkan pada postmortem tidak.Ada tiga point utama untuk membedakan luka
bakar antemortem atau postmortem, yaitu batas kemerahan,vesikasi, dan proses perbaikan.
13,14
Pada kasus luka bakar intravital , ada eritema yang disebabkan oleh distensi kapiler yang
bersifat sementara,menghilang karena tekanan selama hidup dan memudar setelah
mati.Namun, garis merah ini bisa saja tidak ada pada orang yang sangat lemah kondisi
badannya, yang meninggal segera setelah luka bakar tersebut. 1
Vesikasi yang timbul akibat luka bakar saat hidup mengandung cairan serosa yang
berisis albumin,klorida,dan sering juga sedikit sel PMN, sel darah putih, dan memiliki daerah
yang memerah, dasar inflamasi dengan papila yang meninggi.Kulit yang mengelilingi
vesikasi tersebut berwarna merah cerah atau tembaga.Hal ini merupakan ciri khas yang
membedakan vesikasi sejati atau palsu yang diproduksi setelah mati. Vesikasi palsu
mengandung udara saja, dan biasanya juga mengandung serum dalam jumlah yang sangat
sedikit yang berisi albumin, tapi tidak ada klorida seperti pada orang yang menderita general
anasarka, dasarnya keras, kering, bertangkai, kekuningan selain menjadi merah dan
inflamasi.1
Proses perbaikan seperti tanda-tanda inflamasi, formasi jaringan granulasi , pus dan
pengelupasan yang mengindikasikan bahwa luka bakar tersebut terjadi saat hidup.Luka bakar
yang disebabkan stelah mati menunjukan tidak ada reaksi vital dan memiliki tampakan dull
white dengan membukanya kelenjar pada kulit yang berwarna abu-abu.Orga internal
terpanggang dan menimbulkan bau yang khas.Perbedaan luka bakar antemortem dan
postmortem adalah sebagai berikut :

Tabel.1. Perbedaan luka bakar antemortem dan postmortem1


Beda Luka bakar antemortem Luka bakar postmortem

Vesikel, Bula Warna sekitarnya Tidak hiperemis


Tidak mengandung
hiperemis
Cairan banyak albumin
mengandung albumin Dasar vesikel kering
Dasar vesikel mengalami dan keras
Terdapat udara dalam
inflamasi
Tidak ada udara pada dasar bula
bula
Paru Terdapat jelaga Tidak ada jelaga
Reaksi radang pada epitel Tidak ada reaksi radang
sal.napas pada epitel sa.napas
Gambaran Terdapat serbukan sel Terdapat sedikit atau
mikroskopis PMN tidak terdapat serbukan
sel PMN

IDENTIFIKASI KORBAN LUKA BAKAR

Identifikasi merupakan proses untuk mencari tahu, meneliti sesuatu hal yang kabur, tidak
jelas, atau tidak diketahui agar menjadi jelas identitas atau asal-usulnya. Identifikasi forensik
merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang. Identitas tersebut dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya
mempelajari, mengamati, dan meneliti profil wajah seseorang, pas foto, bentuk kepala,
bentuk badan, gigi, atau sidik jari. Identifikasi melingkupi beberapa hal, antara lain
pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan DNA.1,14

1. Pemeriksaan Sidik Jari

Metode ini dilakukan dengan membandingkan sidik jari jenazah dengan data dari
sidik jari antemortem. Hingga saat ini, pemeriksaan ini diakui sebagai pemeriksaan
yang paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas dari seseorang.1

2. Pemeriksaan Gigi
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan gigi (odontogram) dan rahang yang dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X, dan pencetalam gigi
rahang. Odontogram memuat data mengenai jumlah, bentuk, susunan, tambalan,
protesa gigi, dan lain sebagainya. Seperti sidik jari, tiap individu mempunyai susunan
gigi yang khas sehingga dapat diidentigikasikan dengan membandingkan data temuan
dengan data antemortem.1

3. Pemeriksaan DNA

Identifikasi jenazah dengan pemeriksaan DNA merupakan upaya membandingkan


profil DNA korban dengan DNA pembanding sehingga diperoleh hasil DNA yang
cocok atau tidak.14

KESIMPULAN

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi.
Luka bakar dibagi 4 derajat. Cara menentukan derajat luka bakar yaitu, Wallace rule of
nine dan Lund and Bowder chart.
Tingginya angka kejadian luka bakar didaerah Asia Tenggara disebabkan juga karena
factor resiko lainnya.Untuk itu perlu pencegahan dan penanganan luka bakar untuk
menghindari terjadinya komplikasi.
Penanganan luka bakar perlu diketahui luas luka bakar, derajat luka bakar, fase luka
bakar.Penanganan luka bakar mencakup, pertolongan pertama, resusitasi cairan, pencegahan
infeksi, perawatan luka bakar dan pencegahan terhadap komplikasi.
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan.
Di Indonesia mengenal delik penganiyaan dan kejahatan terhadap nyawa apa bila
seseorang dengan sengaja melukai atau membunuh akan terkena sanksi pidana sesuai kitab
undang-undang hokum pidana yang berlaku di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

1. Rutty GN. Essentials of Autopsy Practice. United Kingdom : Springer; 2006. p. 215-
26.
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB Pollock
10th
RE. Schwartzs principles of surgery. Edition. New York : McGraw Hill; 2015.
227-39.
3. Djuanda, A. DR. Prof, Hamzah, M. Dr., Aisah, S. DR., Anatomi Kulit, Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh, FKUI, Jakarta, 2016. 3-6.
4. Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and Physiology,
12th Edition. Canada: John Wiley & Sons.
5. Yefta Moenadjat, R., Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis, Farmedia, 2000.1-25
6. Martina NR, Wardhana A. Mortality Analyris of Adult Burn Patients. Jurnal Plastik
Rekonstruksi ; 2013 : 2(2) : 96-100.
7. Saukko P, Knight B. Knights Forensic Pathology. 4 th edition. CRC Press; 2016. p.
312.
8. Djohansjah Marzoeki. Dr. Dr., Pengelolaan Luka Bakar, Fakultas Ilmu Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 1-15
9. Sjamsuhidajat, R. de Jong, Wim, 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. h. 73-4.
10. Karmakar RN. Forensic medicine and toxicology theory, oral & practical. 5th Edition.
Bimal Kumar Dhur of Academic Publishers : 2015. P 214-7.
11. Damayanti T, Saputro ID. Nilai uji diagnostik prokalsitonin sebagai deteksi dini sepsis
pada luka bakar berat. Journal of Emergency; 2011 : 1 (1) : 13-18.
12. Saraf S, Parihar S. Burns management : a compendium. Journal of Clinical and
Diagnostic Research; 2007; 5 : 426-36.
13. Dahlan, Sofwan. Traumatologi. 2004 Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik.. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.Semarang.2004. Hal 67-91.
14. Syukriani Y. DNA Forensik. Bandung : Sagung Seto; 2012. h. 10.
BAB III
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
I. Kelebihan Jurnal :
Menunjukkan penyebab tersering kematian akibat luka bakar yang tidak
terdeteksi pada saat diagnosis antemortem

II. Kekurangan Jurnal :


Sampel yang digunakan tidak mencakup semua usia
Klasifikasi karakteristik sampel yang digunakan tidak diteliti secara rinci
Waktu penelitian lama, tetapi kasus yang diteliti sangat sedikit
Tidak dijelaskan hasil autopsy pada semua organ
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
Jurnal Pembanding 1 :
Jurnal Pembanding 2:

You might also like