You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Filsafat dalam bahasa arab berarti falsafah, dan dalam bahasa yunani philosopia yang
mempunyai arti philos adalah cinta dan sopia adalah pengetahuan atau dalam artian
philosopia adalah cinta kepada kebijaksanaan / kebenaran.

Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang
mempelajari tentang Aksiologi yang sangat berguna untuk berfilsafat. Keingintahuan adalah
salah satu pemicu kita untuk berfilsafat, dan begitu juga dengan keragu-raguan, filsafat
merupakan pemikiran secara rasional.

Jika mempelajari Aksiologi maka kita telah mempelajari sebagian cara berfilsafat,
dimana berfilsafat itu sangat penting dan jika kita tidak berfilsafat kita tidak akan maju, itu
dalam artian berfilsafat adalah berfikir secara abstrak.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah :

1. Apakah Aksiologi Itu ?

2. Bagaimana Aksiologi Sain?

3. Bagaimana Aksiologi Filsafat?

4. Bagaimana Aksiologi Mistik?

5. Sejauh Mana Objek Kajian Filsafat Aksiologi?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Agar kita mengetahui apa itu Aksiologi.

2. Agar kita menegetahui bagaimana aksiologi sain.

3. Agar kita mengetahui bagaimana aksiologi filsafat.

4. Agar kita mengetahui bagaimana aksiologi mistik.

5. Agar kita dapat memahami apa saja yang di bahas dalam Aksiologi serta Mengetahui
objek kajian filsafat Aksiologi.

BAB II
|1
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AKSIOLOGI

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia


menggunakan ilmunya.[1]

Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and


valuation[2]:

Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.

Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai.
Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.

Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian[3] :

Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.

Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan

Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.

Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[4]

http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and
and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.[5]

1 http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html

2 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

3 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

4 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

5 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
|2
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[6]

Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu[7]:

Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut


pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung dari pengalaman.

Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan
dapat diketahui melalui akal.

Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu
subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi
nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.[8]

Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,kriteria dan status metafisik dari nilai.[9]

Problem utama aksiologi ujar runes berkaitan empat factor[10]:

Kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasl dari keinginan,
kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni.

Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan antara nilai intrinsik, ukuran untuk


kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental (baik barang-barang ekonomi atau
peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.

Kriteria nilai (ukuran nilai yang di butuhkan).

6 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

7 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

8 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

9 Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001 Hal
26

10 Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001 Hal
27

|3
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum, sebagai
landasan ilmu, aksiologi membicarakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan?.[11]

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat Nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.[12]

Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas


pengirisan didalam dirinya, sedangkan Nilai Instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah
pisau yang dapat digunakan untuk mengiris,[13] jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai
Instrinsik ialah Nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri,
sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai
guna.

Situasi Nilai maliputi [14]:

Suatu subyek yang memberi Nilai yang sebaiknya kita namakan segi pragmatis.

Suatu obyek yang diberi Nilai-yang kita sebut segi semantis.

Suatu perbuatan peNilaian.

Suatu Nilaiditambah perbuatan peniaian.

Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi dapat dijawab dengan tiga macam cara15:

Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif.

Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu.

Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

11 Surajiyo. Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia. Bumi Aksasara. Jakarta :


2007

12 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 327

13 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 328

14 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 329

15Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 331

|4
Makna Nilai[16]:

a. Mengandung Nilai

b. Merupakan Nilai

c. Mempunyai Nilai

d. Memberi Nilai

Unsur objektif suatu nilai:

a. Nilai Merupakan Kualitas Empiris Yang Tidak Dapat Didefinisikan

Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya.[17]Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.[18]

Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi
dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu
melukiskannya.[19]Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau
dapat diketahui melalui pengalaman.[20]

Jika Nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan
perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas Nilai-Nilai, tetapi tidak mungkin
sebaliknya. Contoh pisang itu kuning tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa kuning itu
pisang, karna kuning bermacam-macam.[21]

16 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 332

17 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333

18 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333

19 [24]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

20 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

21 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 334
|5
Kenyataan bahwa Nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti Nilai tidak dapat
dipahami. Nilai bersifat subyektif, contoh si A mengatakan bahwa si gadis itu cantik, tapi si
B mengatakan bahwa si gadis itu jelek[22]

b. Nilai Sebagai Obyek Suatu Kepentingan

Ada yang mengatakan bahwa masalah Nilai sesungguhnya merupakan masalah


pengutamaan. Contoh ungkapan perang merupakan suatu keburukan kiranya diiringi oleh
tanggapan saya menentang perang.

Pandangan orang Amerika dalam bukunya bahwa jika saya mengatakan x berNilai
maka dalam arti yang sama saya dapat mengatakan saya mempunyaikepentingan pada x.
Sikap setuju atau menentang tersebut oleh Perry ditunjuk dengan istilah kepentingan.[23]

Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai
berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan
bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga
menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.[24]

Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai,[25] jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.

c. Teori Pragmatis Mengenai Nilai

Sejumlah hal yang telah saya perbincangkan yang bersifat penolakan terhadap teori
Nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya teori lain, yaitu
Teori Pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya
dengan teori pragmatisme mengenai Nilai.[26]Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori
Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap bernilai.

22 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 335

23 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 337

24 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

25Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 338

26 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 339
|6
d. Nilai Sebagai Esensi

Sesungguhnya Nilai-Nilai merupakan hasil ciptaan yang-tahu (subyek yang


mengetahui).[27] Jika Nilai merupakan Nilai karena kita yang menciptakannya, maka tentu kita
akan dapat membuat baik menjadi buruk dan sebaliknya.[28]

Esensi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok utama, hakikat.[29] Contoh Perdamaian
merupakan sesuatu yang bernilai, maka ia memahami bahwa di dalam hakekat perdamaian
itu sendiri terdapat Nilai yang mendasarinya.[30] Jadi penulis menyimpulkan Nilai sebagi
esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu tersebut.

Esensi tidak dapat di tangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa nilai tidak dapat di
lakukan sebagaimana kita memahami warna.

B. AKSIOLOGI SAIN

1) Kegunaan pengetahuan sain

Apa guna atau nilai dari Sain ? secara umum teori berarti pendapat yang beralasan,
sekurang-kurangnya kegunaan teori Sain ada tiga yakni[31]:

a. Sebagai alat membuat eksplanasi

Menurut teori Sain anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan
berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat
pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.

b. Teori sebagai alat peramal

Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab
terjadinya gejala itu, dengan mengutak-atik faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat
ramalan. Dalam bahasa ilmuwan ramalan itu di sebut prediksi.

c. Teori sebagai alat pengontrol

27 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 344

28 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345

29 Sulchan Yasyin. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Amanah. Surabaya.Hal 150

30 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345

31Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 37


|7
Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi anak-anak mereka akan nakal. Adakah upaya agar
anak-anak nakal ? Ada, upaya itulah yang di sebut kontrol.

2) cara sain menyelesaikan masalah

Adapun caranya adalah[32] :

a. Mengidentifikasi masalah

b. Mencari penyebab terjadiny masalah tersebut

c. Mencari cara untuk memperbaiki masalah

3) Netralitas Sain

Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.[33]

C. AKSIOLOGI FILSAFAT

1) Kegunaan pengetahuan filsafat

Adapun kegunaanya adalah [34]:

a. Fisafat sebagai kumpulan teori filsafat

b. Sebagai metode pemecah masalah

c. Sebagai pandangan hidup

2) Cara filsafat menyelesaikan masalah

Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam


berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti filsafat ingin, masalah
dilihat dalam hubungan seluas-luasnya.[35]

32 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 43-44

33 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 46

34 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 89

35 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 104
|8
D. AKSIOLOGI MISTIK

1) Kegunaan pengetahuan mistik

Di kalangan para sufi biasanya pengetahuan dapat mententramkan hati mereka,


pengetahuan mistik sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak dapat di selesaikan oleh
filsafat dan sain.[36]

2) Cara pengetahuan mistik menyelesaikan masalah

Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.[37]

Mistik magis dibagi menjadi dua yaitu mistik magis putih yaitu mistik magis yang
kebanyakan digunakan untuk mengobati.[38] Pemilik mistik magis putih ini menyadari bahwa
kekuatan tuhan baik yang ada dalam diri-Nya atau yang ada dalam firmanya dapat di gunakan
oleh manusia, dan mistik magis hitam yaitu mistik yang digunakan untuk meningkatkan
harga diri dan dikatakan hitam karena penggunanya untuk kejahatan.[39]

E. OBJEK KAJIAN FILSAFAT AKSIOLOGI

Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan


manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. [40] Aksiologi
pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra.
Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang
mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji .
Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki
atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi

36 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123

37 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 125

38 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123

39 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 124

40 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Jilid II (Jakarta: 1996, Balai Pustaka) h. 159
|9
rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah
dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[41]

Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia.
Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi
manusia? (dalam psikologi, lihat juga The New Science of Axiological Psychology oleh
Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: Sejauh mana
pengetahuan ilmiah dapat digunakan?. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran,
melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan
sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: Apakah yang bisa dilakukan
berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?.
Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri,
melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa
pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran
moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan
permasalahan yang pelik.[42]

Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para
hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan
seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan
sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari
berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga
hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara
pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa
nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau
tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai
adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan
metafisik.[43]

Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan
kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul
berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Atakah
sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?[44]

41 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: 1978, Bulan Bintang ) h. 471-472

42 Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis


(Jakarta: 1995, Gramedia Pustaka Utama) h.49

43 A. Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: 1990, Cipta Adi Pustaka) h. 225

44 Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik :


Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. (Jakarta : 1996, Gramedia
media utama) h. 2
| 10
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada
dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut.
Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut
mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya
dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur.
Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.[45]

Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut
adalah sebagai berikut.[46]

a. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

b. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik
sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan
sejarah kemanusiaan.

c. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya
(objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri
masalah kehidupan.

d. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan
kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan
berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.

e. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.

Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila
hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan
juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu
maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.

45 .Jujun S. Suriasumantri. (2005) op.cit., h. 235.

46 .Jujun S. Suriasumantri. (1996) op.cit., h. 15 16

| 11
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus
(1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian
diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata
surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad
mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses
dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau
menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung
penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. Kohlberg menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap yaitu:

1. Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanakkanak.

a. Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh adalah untuk menghindari
hukuman.

b. Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar karena memperoleh
imbalan atau pujian.

2. Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-


norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut.

a. Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku baik untuk memenuhi


harapan dari kelompoknya yang menjadi loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti
keluarga dan teman.

b. Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas seseorang pada
lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat atau negara.

3. Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan
norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang diyakininya.

a. Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orangorang memiliki


pandangan dan opini pribadi yang sering bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam
mencapai konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.

b. Universal ethical principles orientation. Orang memahami bahwa suatu tindakan


dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif,
universal, dan konsisten.

Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai
etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral
principles or rules of behaviour,[47] atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara
berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular.
Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral

47 ] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learners Dictionary (London:


1995, Oxford University Press), h. 393.
| 12
principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics
dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a persons
behaviour,[48] prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.

Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter,
kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[49]

Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal
mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[50] Arti inilah yang menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas
tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.

48 Ibid.

49 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: 1995, Remaja Rosdakarya), h.


100-101.

50 K. Bertens, Etika (Jakarta: 1999, Gramedia Pustaka Utama), h. 4.


| 13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu

Kata Nilai merupakan kata jenis yang meliputi segenap macam kebaikan dan
sejumlah hal yang lain.

Bahwa Yang-Baik itu merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat unsur yang
bermanfaat bagi seseorang.

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya.Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.

Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai, jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.

Teori Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap
bernilai.

Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu
tersebut.

1) Kegunaan pengetahuan sain


| 14
a. Sebagai alat membuat eksplanasi

b. Teori sebagai alat peramal

c. Teori sebagai alat pengontrol

2) cara sain menyelesaikan masalah

a. Mengidentifikasi masalah

b. Mencari penyebab terjadiny masalah tersebut

c. Mencari cara untuk memperbaiki masalah

Netralitas SainArtinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada
kejahatan.

1) Kegunaan pengetahuan filsafat

a. Fisafat sebagai kumpulan teori filsafat

b. Sebagai metode pemecah masalah

c. Sebagai pandangan hidup

Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam


berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti filsafat ingin, masalah
dilihat dalam hubungan seluas-luasnya.

Di kalangan para sufi biasanya pengetahuan dapat mententramkan hati mereka,


pengetahuan mistik sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak dapat di selesaikan oleh
filsafat dan sain.

Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.

Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh
panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang
mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji .
Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki
atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi
rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah
dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.

B. SARAN

| 15
Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum sempurna, untuk itu
sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam
makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari buku-buku atau sumber-sumber
yang semacamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986.

Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001

Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 37


A. Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: 1990, Cipta Adi Pustaka)

Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog
tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. (Jakarta : 1996, Gramedia media utama) h. 2
[16] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learners Dictionary (London: 1995,
Oxford University Press)

Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: 1995, Remaja Rosdakarya)

K. Bertens, Etika (Jakarta: 1999, Gramedia Pustaka Utama)

http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html

| 16

You might also like