You are on page 1of 7

Amsi Zawjane

Berbicara tentang manusia dan agama dalam hal ini Islam adalah membicarakan sesuatu
yang sangat klasik namun senantiasa aktual. Berbicara tentang kedua hal tersebut sama saja
dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk Tuhan.
Dikatakan klasik, karena kedua tema ini telah begitu tua untuk dibacarakan, dan dikatakan
aktual karena kedua tema tersebut begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Sejumlah
pertanyaan pun muncul ketika kedua tema tersebut diangkat, misalnya saja, apakah hakekat
dari manusia dan agama itu sendiri? Bagaimanakah hubungan antara manusia dan agama?
Seberapa besar pengaruh agama terhadap kehidupan manusia? Bagaimanakah manusia harus
beragama? Apa fungsi manusia di muka bumi ini? Dan serangkaian pertanyaan lainnya yang
akan muncul ketika kita berbicara seputar kedua tema tersebut. Terlebih dahulu, tentunya kita
harus mengetahui dulu apa itu manusia dan apa itu agama?

Pengertian Manusia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang (1989:558). Menurut pengertian ini
manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk
dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa
Arab, kata manusia ini bersepadan dengan kata-kata ns, basyar, insn, maru, ins dan lain-
lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna
spesifiknya. Kata ns misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial.
Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis.
Begitu juga dengan kata-kata lainnya.

Manusia diciptakan oleh Allah swt dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tn[95]:4).
Manusia memiliki dua unsur yaitu jasad dan roh, jasmani dan rohani. Kedua unsur inilah
yang mempengaruhi kehidupan manusia selanjutnya. Masing-masing unsur memiliki
kebutuhan tersendiri. Dalam prosesnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan kedua unsur
tersebut agar ia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera. Kebutuhan fisik/jasmani
diantaranya meliputi sandang(QS. Al-Araf:31), pangan (QS. dan papan (QS). Sedangkan
kebutuhan spiritual/rohani diantaranya kebutuhan akan kebahagiaan, kebutuhan untuk
memiliki sistem keyakinan, kebutuhan akan keadilan dan kebutuhan lainnya.

Agama dalam berbagai pandangan

Secara leksikal, agama diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dsb) dengan
ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (KBBI,
1989:9). Dalam bahasa Arab, padanan kata agama adalah kata dn dan dalam Al-Qurn
disebutkan sebanyak 92 kali.. Menurut Ashfahani dalam kitab al-Mufradt, kata dn
mengandung dua dimensi yaitu ketaatan dan balasan. Sedangkan menurut Abul A l al-
Mawddi, Alquran menggunakan kata dn dalam arti: (1) keperkasaan dan kekuasaan
tertinggi (40:64), (2) ketaatan dan ketundukan pada kekuasaan tertinggi, (3) aturan pemikiran
dan perbuatan dari penguasa tertinggi, dan (4) balasan yang setimpal dari ketaatan dan
pelanggaran pada aturan penguasa tertinggi. Sementara itu, Abdullah ad-Darrz
mengemukakan bahwa agama adalah undang-undang Tuhan yang mendorong orang-orang
yang berakal sehat dengan ikhtiar mereka pada kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.
(1969:29).
Bagi kaum sekuler, agama tak lain hanyalah bentuk keterpaksaan individu atau masyarakat
dan kebutuhan yang bersifat sementara. Agama tumbuh sebagai akibat dari keadaan tertentu
yang menimpa individu atau masyarakat. Berbeda dengan pandangan kaum sekuler, kaum
Marxis berpandangan bahwa agama diwujudkan agar kelas penindas tetap dapat
mempertahankan kedudukan dan kekuasaanya di kalangan bangsa-bangsa. Para ahli psikologi
memandang agama sebagai dorongan-dorongan antara apa yang ada yang ada di dalam diri
individu dan interaksi dengan lingkungan di luar dirinya. Freud misalnya, memandang agama
sebagai sesuatu yang berasal dari ketidakmampuan manusia menghadapi kekuatan alam di
luar diri dan juga kekuatan insting dari dalam diri. Sedangkan Jung berpendapat bahwa
hakekat dari pengalaman keagamaan adalah ketundukan pada kekuatan yang lebih tinggi
daripada kekuatan kita sendiri. Masih menurut Jung, agama merupakan fenomena yang lahir
dari ketidaksadaran.

Dalam pandangan para sosiolog, agama dianggap sebagai suatu fenomena sosial dengan
melihat kelembagaan suatu agama dan perilaku para pemeluk agama. Salah seorang sosiolog
Barat, Durkheim, menyatakan bahwa agama adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan
pengalaman terhadap sesuatu yang sakral, yang lain dari yang lain; kepercayaan dan
pengalaman yang menyatu dalam suatu komunitas moral yaitu gereja.

Terlepas dari berbagai pandangan-pandangan di atas, terdapat ciri-ciri umum yang biasanya
terdapat dalam sistem-sistem kepercayaan dan aktivitas keagamaan, yaitu: (1) adanya unsur
kebaktian, (2) pemisahan antar sakral dan profan, (3) kepercayaan terhadap dewa-dewa atau
Tuhan, (4) penerimaan atas wahyu yang supranatural, dan (5) pencarian keselamatan.

Mengapa Manusia Harus Beragama?

Kelebihan manusia dibanding makhluk Allah lainnya terletak pada unsur ruhani (mencakup
hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik
dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allh
menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (QS. Luqmn [31] ayat
20). Dalam salah satu ayat Al-Quran ditegaskan, Sungguh telah kami muliakan anak-anak
Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi
mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami
lainnya. (QS. Al-Isra [17]:70).

Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu
difaktualkan (bil-fili) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama
dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia
berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha
memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk
memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina
dari binatang (QS. Al-Arf [7]: 170 dan Al-Furqn [25]: 42).[2] Termasuk ke dalam unsur
ruhani adalah fitrah. Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti
belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain penciptaan atau kejadian.
Konon sahabat Nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat yang
berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentang
kepemilikan satu sumur. Salah seorang berkata. Ana fathartuhu. Ibnu Abbas memahami
kalimat ini dalam arti, Saya yang membuatnya pertama kali. Dan dari situ Ibnu Abbas
memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Fithrah
manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Dalam Al-Quran kata
ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali. empat belas di
antaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks
penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah. maupun dari
segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Al-
Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama. (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia
sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para
ulama sebagai tauhid. Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dari khalq
(penciptaan) Allah. Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti tidak, maka
ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia
berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya,
walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.[3] Manusia memiliki fitrah yang
merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Dn adalah bagian dari fitrah
manusia. Muthahhari, seorang pemikir Iran, menyebutkan adanya lima macam fitrah
(kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada
kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau menyembah
(beragama). Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk
menentukan siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari
fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan
mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allh
swt berfirman, Maka hadapkanlah wajahmu kepada dn dengan lurus, sebagai fitrah Allh
yang atasnya manusia diciptakan. (QS. Ar-Rm [30]: 30). Mengenai beragama sebagai
fitrah manusia, Nurcholish Madjid menyatakan,

Dari sudut pandangan Islam, kebutuhan manusia kepada sistem kepercayaan itu merupakan
salah satu naluri kemanusiaan yang paling mendasar, sudah tentu lebih mendasar daripada
naluri manusia untuk makan dan minum. Berkenaan dengan ini, al-Qurn menyebutkan
adanya perjanjian primordial (primordial covenant, perjanjian sebelum lahir) antara
manusia dan Tuhan, yaitu bahwa manusia mengakui Tuhan itu dan akan hidup berbakti
kepada-Nya. Perjanjian atau covenant itu terjadi dalam alam ruhani, sehingga tidak
menjadi bagian dari kesadaran psikologis kita. Karena adanya perjanjian itu, setiap orang
lahir dengan kemanusiaan primordial (fithrah) yang suci dan cenderung kepada kebaikan
(hanf). Bersamaan dengan itu ialah adanya naluri untuk kembali ke asal, dan perasaan
bahagia dan tenteram karena kembali ke asal itu. Dalam berbagai manifestasinya, dorongan
untuk kembali ke asal merupakan sumber energi yang kuat sekali pada manusia (seperti
drama tahuan mudik saat Lebaran). Salah satu wujud dorongan kembali ke asal itu ialah
naluri untuk berbakti kepada Tuhan Demikian kuatnya dorongan untuk berbakti kepada
Tuhan dan kembali kepada-Nya itu sehingga harus selalu ada jalan penyalurannya. Jika usaha
pencarian saluran itu terjadi tanpa bimbingan, maka manusia akan berbakti kepada apapun
yang dikiranya memiliki kualitas sebagai suatu Tuhan yang menjadi tujuan pembaktian
diri). Karena itu, problema manusia bukanlah tidak percaya kepada adanya suatu jenis
Tuhan; justru semua manusia, sepanjang sejarahnya, pasti mempercayai suatu jenis
Tuhan. Maka timbullah politheisme, atau pantheisme, berupa pemujaan kepada obyek-
obyek yang dipandang memiliki unsur mysterium, tremendum et fascinans (istilah sosiolog
Rudolph Otto). Mitologi dan legenda pun muncul. Tetapi, sebagaimana disebutkan di atas,
suatu kepercayaan yang terbukti palsu akan berakibat amat merugikan. Kerugian itu (yang
dalam bahasa al-Qurn sering disebut al-khusrn), akan menjilma menjadi kesengsaraan.
Karena kesengsaraan itu terjadi pada peringkat keruhanian yang lebih mendalam dan hakiki
daripada peringkat kejiwaan atau nafsani (psikologis), apalagi jasmani (fisiologis), maka
dimensinya pun lebih mendalam dan lebih hakiki.

Esensi Islam dan Tauhid


Secara etimologis, Islam merupakan mashdar (gerund) dari kata aslama-yuslimu-islman
yang berarti ketundukan, kepasrahan, kepatuhan(Ali, A & Muhdlor, A.Z, 1996:124). Dalam
definisi lain Islam diartikan sebagai agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah
swt(KBBI, 1989:340). Sedangkan secara terminologis, ad-Darrz mengemukakan bahwa
lafal Islam dalam Alquran dan Hadits mencakup dua pengertian, umum dan khusus; (1)
Islam dalam pengertian umum berarti penyerahan diri seseorang kepada Allh swt. dengan
perasaan tunduk sebagai hamba-Nya dengan akidah tauhid tanpa mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun, serta mengerjakan segala perintah dan meninggalkan larangannya.
Dengan kata lain, pengertian ini merupakan hakekat dan inti dari agama samawi yang
diajarkan oleh para nabi dan rasul (QS. 3:19&64, 42:13 dan 22:78), dan (2) Islam dalam
pengertian khusus berarti nama agama yang disiarkan oleh Muhammad saw (QS. 3:19&85
dan 5:3)( Ad-Darrz, 1969:183-184). Muthahhari mengemukakan pengertian lain,

Islam adalah nama agama Allah yang unik, semua nabi diangkat untuk agama ini, dan
mereka, pada gilirannya, menyeru manusia untuk memasukinya. Agama ini disampaikan
kepada manusia dalam bentuk yang paling menyeluruh dan lengkap oleh Muhammad bin
Abdullah, nabi terakhir. Kenabian berakhir dengan beliau dan sekarang ini agama tersebut
dikenal di seluruh dunia(1991:87)

Karakteristik Islam yang sangat mencolok dibanding agama lain adalah tidak dinisbatkannya
ajaran Islam dengan nama pembawanya yaitu Nabi Muhammad saw. Islam bukanlah
Mohemmedanism seperti yang dituduhkan sementara kalangan orientalis Barat. Ajaran Islam
bersifat universal dan abadi sepanjang zaman. Universalitas Islam pada hakekatnya
bersumber pada pokok dari seluruh konsep Islam yaitu tauhid. Konsep tauhid adalah konsep
khas Islam sekaligus fundamen yang paling esensial yang dapat melahirkan jiwa kaum
Muslimin yang merdeka dan bebas dari intervensi, penekanan dan intimidasi dari manusia
lainnya. Di sisi lain, konsep tauhid ini melahirkan pula ketundukan, kepasrahan dan ketaatan
terhadap undang-undang dan peraturan Allah swt.

Manusia dalam Perspektif Islam


Berbicara mengenai manusia dalam perpektif Islam tentunya tidak akan terlepas dari
bagaimana Alquran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam membicarakan manusia itu
sendiri. Dalam konteks Alquran konsep manusia diwakili oleh kata-kata nafs, basyar, ins,
insn, uns, mar dan ns. Kata-kata yang paling sering digunakan Alquran ketika
membicarakan manusia adalah kata basyar, insn dan ns. Kata basyar lebih dikaitkan
dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk biologis. Semua kata basyar dalam
Alquran menunjukkan gejala umum yang nampak pada fisik manusia. Dengan demikian,
pengertian basyar lebih menunjuk pada aktivitas lahir manusia yang dipengaruhi oleh
dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, kawin dan akhirnya mati sebagai akhir
kegiatannya di dunia. Sedangkan kata insn sebagai kata yang paling banyak digunakan
Alquran tentang manusia- menerangkan manusia dalam berbagai konteks, antara lain: (1)
manusia sebagai makhluk yang dianugerahi pengetahuan (ilmu) (96:1-4), (2) manusia
memiliki musuh yang nyata yaitu syetan (12: , (3) manusia sebagai pemikul amanat (33:72),
(4) manusia dituntut mengoptimalkan waktu sebaik-baiknya agar tidak tergolong orang yang
merugi (103:1-3), (5) manusia dituntut pertanggungjawabannya atas peran dan usahanya di
dunia (53:34. konsep basyar dan insan ini merupakan konsep Islam tentang manusia sebagai
individu.

Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, Alquran menamai manusia dengan sebutan
ns. Manifestasi dari kualitas manusia tidak terlepas dari konteks sosial dan tidak hanya
bersifat individual semata. Dalam Alquran surat Ali Imran ayat 112, dinayatakan bahwa
kualitas kemanusiaan sangat tergantung dari kualitas berkomunikasi dengan Allah melalui
ibadah dan kualitas berinteraksi sosial melalui muamalah.

Dalam kaitannya dengan tugas dan peran hidupnya di dunia, Alquran menyebut manusia
dengan istilah khalifah. Khalifah berarti pengganti atau wakil, dalam hal ini, manusia menajdi
khalifah Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan
kepada manusia sebagai mandataris Tuhan bersifat kreatif namun dibatasi oleh aturan-atuaran
yang telah digariskan Tuhan sebagai yang diwakilinya, baik yang tersurat maupun tersirat.
Penggunaan wewenang ini sepenuhnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
(39:35). Selain sebagai khalifah, manusia juga berperan sebagai hamba Allah. Esensi dari abd
adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Dalam kapasitas sebagai ciptaan Tuhan, manusia
memiliki keharusan untuk taat dan payuh kepada Penciptanya. Keengganan manusia
mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta akan menggiringnya pada penghambban
terhadap diri sendirei, pada hawa nafsunya.

Kapasitas manusia sebagai khalifah dan hamba Allah sekaligus, bukanlah dua hal yang
kontradiktif, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak bisa dipisahkan. Kekhalifahan
merupakan manifestasi pengabdian manusia kepada Allah, Tuhan Sang Pencipta. Wallhu
alam bish-shawb.

Referensi

Al-Quran Al-Karm
Ali, A & Muhdlor, A.Z. (1996). Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Bann, Hasan. (1951). Al-Aqid.
Al-Hsym, A. (t.t.). Mukhtr Ahdts an-Nabawiyyah wa-al-Hikam al-Muhammadiyyah.
Semarang: Toha Putra

Al-Jw, Naww (t.t.). Marrh Labd: Tafsr an-Naww. Syirkah Nur Asia
Alkaff, H. (2001 ). Risalatuna. Bandung: YPI Aljawad

Anshari, E.S. (1976). Pokok-pokok Pikiran tentang Islam. Jakarta: Usaha Enterprises

Asy-Sythib, J. (1997). Hasan al-Bann: Aqdatul Mumin. Bandung: Mahad Miftahul


Khoir

Audah, A. (1997). Konkordansi Quran. Jakarta: Litera Antarnusa

Dradjat, Z. et. al. (1984). Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Hasan, A & Nata, A. (1995). Agama Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam

Imarah, M. (1998). Perang Terminologi: Islam vs Barat. Jakarta: Robbani Press

Madjid, N. (1992). Islam, Iman dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi. Makalah pada situs
www.paramadina.com

________. (1992). Agama dan Masalah Makna Hidup. Makalah pada situs
www.paramadina.com

________. (2002). Idul Fitri: Hari Raya Kesucian Manusia, Cinta Kasih dan Persaudaraan
Sesama. Khutbah Idul Fitri 1423 H di Institut Teknologi Bandung

Muthahhari, M. (2001). Manusia Sempurna. Jakarta: Lentera

____________. (2001). Manusia dan Takdirnya. Bandung: Muthahhari Paperbacks

____________. (1991). Falsafah Kenabian. Bandung: Pustaka Hidayah

Nurdin, M, et. al.(1995). Moral dan Kognisi Islam. Bandung: Alfabeta

Othman, A.I. (1981). Manusia Menurut al-Ghazali. Bandung:Pustaka

Rahman, F. (1983). Tema-tema Pokok Al-Quran. Bandung: Pustaka

Rakhmat, J. (1993). Islam Aktual. Bandung: Mizan

________ . (1994). Tafsr bil-Matsr 1. Bandung: Rosda

________ . (1999). Reformasi Sufistik. Bandung: Pustaka Hidayah

________ . (2000). Meraih Cinta Ilahi. Bandung: Pustaka Hidayah

Sutedjo, M, Fuaduddin & Bafadal, F. (1996). Kapsel Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Ditjen Binbaga Islam

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
http://aljawad.tripod.con

http://media.isnet.org

http://www.eramuslim.com

http://www..islamlib.com

http://www.muthahhari.or.id

http://www.paramadina.com

http://www.pesantren.net

http://www.ukhuwwah.or.id

You might also like