You are on page 1of 102

9+STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH

MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI


KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN TULUNGAGUNG

SKRIPSI

Oleh

SULHAN WAHIB
NIM. 3221103023

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2014

1
2
STUDI KOMPARASI ANTARA HIBAH DAN RISYWAH
MENURUT PANDANGAN PEMUKA AGAMA ISLAM DI
KECAMATAN REJOTANGAN KABUPATEN TULUNGAGUNG

SKRIPSI
Diajukan Kepada
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam
Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Hukum Ekonomi Syariah

Oleh :
SULHAN WAHIB
NIM. 3221103023
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2014

3
4
5
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan

karunia dan nikmatnya, sehingga laporan penelitian ini dapat dapat terselesaikan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada junjungan Nabi

Akhir Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari masa kegelapan

menuju masa yang terang dengan cahaya keislaman.

Sehubungan dengan selesainya penulisan laporan skripsi ini , penulis tidak

lupa juga menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung.

2. Bapak. Dr. H. Asmawi, M,Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu

Hukum serta sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini,

karena motivasi dan dukungan penuhnya penulis dapat menyelesaikan

laporan ini.

3. Bapak. Kutbuddin Aibak, S.Ag, M.H.I, selaku Ketua Jurusan Hukum

Ekonomi Syariah (HES).

4. Segenap Bapak/Ibu Dosen IAIN Tulungagung yang telah membimbing dan

memberikan wawasannya sehingga studi ini dapat diselesaikan.

5. Bapak camat kecamatan Rejotangan yang telah memberikan izin untuk

melaksanakan penelitian diwilayah pemerintahannya.

6. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian penulisan laporan ini.

6
Semoga Laporan Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,

laporan ini tentunya masih terdapat kekurangan dan kelemahan didalamnya, maka

dari itu saya mohon kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan

laporan ini. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridlo dari Allah SWT.

Tulungagung, 5 Maret 2014

Sulhan Wahib
NIM: 3221103023

7
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGAJUAN iii

HALAMAN PERSETUJUAN iv

HALAMAN PENGESAHAN v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

HALAMAN MOTTO vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI x

DAFTAR LAMPIRAN xiv

ABSTRAK xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Fokus Penelitian 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 8

E. Penegasan Istilah 8

F. Sistematika Pembahasan 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Akad 11

a. Pengertian Akad 11

8
b. Syarat-Syarat dan Rukun Akad 12

c. Macam-Macam Akad 15

d. Azas-Azas Akad 18

e. Hak dan Kewajiban Subyek Akad 22

f. Berakhirnya Akad 23

B. Hibah 25

a. Pengertian Hibah 25

b. Dasar Hukum Hibah 26

c. Syarat dan Rukun Hibah 27

d. Macam-Macam Hibah 28

e. Etika Menolak atau Menerima Pemberian 29

f. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan 34

C. Risywah 35

a. Pengertian 38

b. Unsur-Unsur Risywah 36

c. Hukum Risywah 38

d. Macam-Macam Risywah 40

e. Hal-Hal Yang Identik dengan Risywah 41

D. Penelitian Terdahulu 43

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 46

B. Lokasi Penelitian 48

C. Kehadiran Peneliti 48

9
D. Sumber Data 48

E. Teknik Pengumpulan Data 49

F. Teknik Analisis Data 55

G. Pengecekan Keabsahan Temuan 51

H. Tahap-Tahap Penelitian 51

BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN

A. Paparan Data 53

B. Temuan Penelitian 53

C. Pembahasan 65

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN 73

B. SARAN 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN LAMPIRAN

10
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran I : Pedoman Interview


2. Lampiran II : Surat Permohonan Izin Penelitian
3. Lampiran III : Surat Keterangan Penelitian
4. Lampiran IV : KHES Buku III BAB IV Tentang Hibah Pasal 692-732
5. Lampiran V : Bukti Bimbingan Skripsi
6. Lampiran VI : Pernyataan Keaslian Tulisan
7. Lampiran VII : Biodata Penulis

11
ABSTRAK

Sulhan Wahib, NIM 3221103023, Tahun 2014, Studi Komparasi Antara Hibah
dan Risywah (Menurut Pemuka Agama di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung. Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah
dan Ilmu Hukum, Pembimbing: Bpk. H. Dr. Asmawi, M.Ag.
Kata kunci: Akad, Hibah, Risywah.

Penelitian dalam skripsi ini dilatar belakangi atas banyaknya pemberian-


pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk
memudahkan urusan atau apapun yang secara hukum melanggar aturan, akan
tetapi diberikan dengan alasan sebagai hibah.
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Apa perbedaan
antara hibah dan risywah? (2) Bagaimana hukum meminta kembali harta yang
telah dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (3)
Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika tidak mendapatkan apa yang
diinginkan) menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan? (4) Bagaimana
hukum memberi harta risywah jika tujuannya adalah untuk kebaikan/dalam
keadaan terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan?, dan adapun
yang menjadi tujuan penulis adalah (1) Untuk mengetahui perbedaan antara hibah
dan risywah, (2) Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah
dihibahkan menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan (3) Untuk
mengetahui bagaimana hukum dari mengkonsumsi harta risywah yang dibatalkan
niatnya menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan dan (4) Untuk
mengetahui hukum dari memberi harta risywah jika diniatkan untuk
kebaikan/karena terpaksa menurut pemuka agama di kecamatan Rejotangan.
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis
penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif komparatif. Yang bertujuan
untuk dapat memahami hibah dan risywah serta hukum hukum pelaksanaannya.
Karena dalam kehidupan bermasyarakat yang semuanya serba canggih sangat
memungkinkan terjadinya praktik akad yang sebenarnya dilarang akan tetapi
dengan menggunakan nama akad lain yang memiliki hukum halal.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertama hibah dan risywah
adalah dua akad yang berbeda secara hukum, hibah halal dan risywah haram.
Kedua hukum meminta kembali harta hibaha adalah mubah dan tidak ada unsur
paksaan. Ketiga hukum mengkonsumsi harta risywah (jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan) adalah mubah dengan syarat harus ada
pembaruan akad dan keempat hukum melakukan suap jika diniatkan untuk
kebaikan atau dalam keadaan memaksa, maka hukum melakukan risywah berlaku
hukum dhoruri (darurat), dan hukumnya adalah mubah (diperbolehkan).

12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan dengan mahluk

lainnya, maka sudah sewajarnya jika manusia selalu memiliki hasrat untuk

memiliki harta berlimpah dan ingin hidup mewah. Dengan didukung

modernisasi yang ditandai dengan semakin canggih dan tingginya

pengetahuan, maka seharusnya hal ini menjadikan manusia untuk tumbuh

semakin cerdas, jujur dan mengikuti peraturan yang ada dengan tanpa

merugikan orang lain.

Karena secara umum yang dipandang atau dijadikan tolok ukur dalam

status sosial adalah tingkat perekonomian, maka ini melahirkan sebuah kasta-

kasta tertentu yang melekat di anggota masyarakat, meskipun disisi lain

seharusnya hal tersebut menjadi motivasi dan semangat baru agar setiap

anggota masyarakat mampu merubah keadaannya menjadi lebih baik lagi.

Harta sebagai salah satu kebutuhan primer dalam kehidupan manusia,

menjadikan menusia berlomba- lomba untuk mendapatkan dan memilikinya,

bahkan dalam sebuah hadits masyhur, Nabi SAW bersabda:

:

( )

13
Dari Ibnu Qutaibah R.A, rasulullah SAW bersabda: bekerjalah kamu
seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan
kamu akan mati esok pagi.(HR. Baihaqi).1

Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan harta,

yaitu dengan bekerja. Dari pekerjaan ini akan muncul berbagai jenis kegiatan

untuk mendapatkan harta, seperti berdagang dan berkerja di perusahaan

swasta atau di lembaga Negara.

Meskipun manusia sebagai pemilik harta secara penuh, tidak berarti

bahwa manusia tersebut akan tercukupi semua kebutuhannya jika tidak

dibelanjakan atau memutar harta tersebut. seorang yang memiliki emas 30 Kg

misalnya, maka emas tersebut tidak akan pernah bermanfaat jika orang

tersebut tinggal di dalam hutan yang jauh dari manusia dan tidak dapat

melakukan interaksi dengan manusia lainnya.

Harta yang dimiliki seharusnya ditransfer atau diputar untuk memenuhi

kebutuhannya. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memutar harta,

bisa dengan jual beli, shodaqoh, wakaf, hibah dan lain-lain.

Akan tetapi tidak berarti bahwa pemanfaatan harta yang dilakukan,

semua hukumnya halal, melainkan ada juga yang hukum awalnya wajib

berubah menjadi haram. Seperti zakat fitrah yang hukum awalnya adalah

wajib, maka dapat berubah menjadi tidak wajib jika yang bersangkutan tidak

mampu untuk membayarnya. Seperti shodaqoh yang hukum awalnya adalah

sunnah, maka dapat berubah menjadi haram jika dilakukan dengan dasar tidak

1 Muhammad Nasshiruddin Al-Albani, Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah Wal-


Maudhuah, terj. A.M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 40

14
ikhlas atau didasarkan dengan tujuan untuk mendapatkan hal- hal tertentu

yang melanggar hukum.

Atau bisa melakukan transaksi antar dua orang atau lebih untuk

mendapatkan harta, cara ini dipandang sangat tepat dengan kebutuhan

manusia sebagai mahluk sosial. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia harus saling tolong-

menolong atas dasar perbuatan yang baik dan tidak melanggar hukum serta

bermanfaat.

Bahkan jika dikaji lebih mendalam, betapa panjang perjalanan sebutir

beras untuk dapat sampai ke konsumen, mulai dari petani yang menanam padi

di sawah, petani harus menungu selama 3 bulan hingga padi menguning,

memanen padi, memisahkan padi dengan jerami, menjemur gabah hingga

benar-benar kering, kemudian digiling hingga menjadi beras, setelah itu oleh

petani dijual hingga pada akhirnya sampai pada konsumen.

Selain hubungan yang bersifat transaksional, manusia juga

membutuhkan sikap saling tolong menolong antar manusia lainnya. Ini tidak

bertujuan untuk mencari keuntungan. Ini lebih ditujukan atas dasar

keikhlasan. Karena jika manusia hanya melakukan kegiatan yang bersifat

transaksional, maka ia akan menjadi sosok yang seakan serakah, yang hanya

mementingkan kepentingan diri sendiri, padahal manusia seharusnya menjadi

sosok yang mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia

lainnya.

15
Hibah sebagai salah satu contoh dari hubungan dua manusia yang tidak

bersifat transaksional dan lebih bersifat tolong-menolong. Dengan demikian,

seharusnya hibah ini menjadi salah satu dasar sebagai tindakan manusia untuk

memberikan hartanya dengan penuh keikhlasan dan tanpa mengharapkan

imbalan apapun.

Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang

ditempuh oleh manusia saat ini, sebagai bukti dari bertambahnya kesadaran

masyarakat akan pentingnya dunia pendidikan. Seharusnya mampu

memberikan pemahaman dan kesadaran dalam melakukan kesepakatan-

kesepakatan dengan manusia lainnya.

Akan tetapi, harapan yang seharusnya dapat terwujud, seakan menjadi

kenangan yang tidak dapat terwujud sepenuhnya. Hal ini terbukti dengan

banyaknya kasus-kasus korupsi, penyelewengan dana dan lain-lain, yang

tentunya memberikan kerugian manusia secara umum.

Di sisi lain, karakter manusia sebagai mahluk yang memiliki keinginan,

menjadikan manusia berani melakukan tindakan yang samar-samar di depan

hukum. Memberikan sejumlah harta dengan alasan sebagai hibah akan tetapi

dia memiliki keinginan yang ada kaitannya dengan orang tersebut.

Dengan menjadi samar-samar di depan hukum, maka akan menjebak

manusia itu sendiri kedalam jurang kesesatan. Sehingga akan menimbulkan

masalah baru yang akan diterima oleh pemberi atau penerima harta tersebut.

Hibah dan risywah adalah dua akad yang berbeda dimata hukum.

Hibah memiliki hukum halal (mubah) dan risywah para Ulama secara umum

16
telah meyepakati keharamannya. Maka sudah tentu hal ini tidak perlu

diragukan lagi, harta yang diberikanpun menjadi haram, karena syarat harta

halal adalah halal dari cara memperoleh dan halal dari dzat benda tersebut.

sehingga meskipun harta yang dijadikan sebagai obyek risywah adalah harta

yang halal secara dzatnya, akan tetapi akan menjadi haram karena diberikan

tidak atas dasar keikhlasan melainkan untuk mendapatkan sesuatu yang lain.

Hal ini tidak hanya terjadi kepada para pejabat tinggi saja, melainkan

juga terjadi di kawasan pinggiran Tulungagung sebalah timur, Kecamatan

Rejotangan yang juga tidak luput dari hal- hal tersebut diatas.

Kecamatan Rejotangan sebagai kecamatan di ujung timur dari

Kabupaten Tulungagung dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar,

maka sudah menjadi hal yang wajar jika mendapatkan perhatian khusus

dibanding dengan Kecamatan-kecamatan lain yang tidak berada dipinggiran

Kabupaten Tulungagung. Perhatian tersebut berupa kekhawatiran terhadap

adanya praktik suap yang sering menjamur ketika musim pemilu tiba.

Serangan fajar sebelum pencoblosan berlangsung dengan

memanfaatkan kelengahan dari petugas atau bahkan hingga memanfaatkan

masyarakat setempat sebagai pelakunya. Meskipun sudah dianggap sebagai

hal yang wajar di masyarakat, akan tetapi di kalangan para pemuka agama

Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan menyatakan hal yang

berbeda-beda terhadap hal tersebut.

Dengan banyaknya pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan

yang menyatakan perbedaan pendapat mengenai kehalalan dari harta yang

17
diperoleh dari pemberian para kandidat dalam pemilu, maka di kecamatan

Rejotangan menjadi wilayah yang sangat menarik untuk diteliti. Karena

dalam setiap pemuka agama Islam pasti memiliki konsep pemikiran yang

berbeda, meskipun dasar rujukannya sama dan bahkan tidak menutup

kemungkinan juga dengan bahasa yang berbeda pula.

Selain itu, juga pernah terjadi kasus yang sempat menjadi berita hangat,

yang mana para Penghulu di seluruh wilayah Jawa Timur ramai-ramai

menolak menikahkan diluar jam dan hari kerja. 2 Sehingga mereka hanya akan

menikahkan di hari dan jam kerja saja serta biaya pernikahan yang tidak

boleh lebih dari Rp. 30.000,- Seharusnya ini dipatuhi oleh semua penghulu

yang ada diwilayah Jawa Timur termasuk didalamnya adalah penghulu yang

berada di Kecamatan Rejotangan.

Akan tetapi tidak demikian yang terjadi, di salah satu desa di Kec.

Rejotangan, yang mana salah satu keluarga pernah menikahkan salah satu

putranya di luar jam kerja dan dengan tarif hingga Rp. 150.000,- 3 hal tersebut

secara aturan memang melanggar hukum, akan tetapi dengan alasan yang

berbeda mungkin akan menjadi tidak melanggar hukum. Atas dasar inilah

penulis ingin mengadakan penelitian yang bersifat kualitatif di Kec.

Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dengan mengangkat judul Studi

Komparasi Antara Hibah Dan Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di

Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung

2 http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolak-menikahkan-di-hari-libur,
diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB

3 Hasil wawancara dengan Mbk Alfiah pada hari ahad, 23 April 2014

18
B. Fokus Penelitian

Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan dan agar penelitian ini

memiliki tujuan yang jelas, maka penulis mencoba merumuskan masalah

dengan memfokuskan pada:

1. Apa perbedaan antara hibah dan risywah?

2. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan menurut

pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung?

3. Bagaimana hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa

yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan,

Kabupaten Tulungagung?

4. Bagaimana hukum risywah jika dilakukan untuk mempertahankan

kebenaran atau mencegah kezaliman?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan target yang hendak dicapai dalam melakukan suatu

kegiatan. Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulis

membahas tentang hibah dan risywah, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perbedaan antara hibah dan risywah.

2. Untuk mengetahui hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan

menurut pemuka agama Islam di kecamatan Rejotangan, Kabupaten

Tulungagung.

3. Untuk mengetahui hukum dari mengkonsumsi harta risywah jika tidak

mendapatkan apa yang diinginkan menurut pemuka agama Islam di

kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.

19
4. Untuk mengetahui bagaimana hukum risywah, jika risywah tersebut

dilakukan untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari tulisan ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara

teoritis ataupun praktis kepada pihak-pihak terkait, diharapkan manfaat dari

penulisan ini adalah untuk:

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil dari penulisan ini dapat menambah pengetahuan

kepada peneliti sendiri dan kepada IAIN Tulungagung serta karena

penelitian ini bersifat lapangan, maka diharapkan juga mampu

memberikan manfaat kepada masyarakat di wilayah Kecamatan

Rejotangan, Kabupaten Tulungagung dalam kaitannya dalam pembahasan

masalah hibah dan risywah.

2. Manfaat praktis.

Secara praktis, tulisan ini diharapkan memberikan manfaat kepada penulis

sendiri dan semua pihak terkait mengenai perbedaan hibah dan risywah.

E. Penegasan Istilah

1. konseptual

a. Pemuka Agama Islam adalah seseorang yang memiliki kontribusi dalam

agama Islam, sehingga banyak dijadikan panutan dan teladan bagi

masyarakat ataupun pemeluk agama Islam.4

4 https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt, diakses 20 maret


2014, pkl. 21.30 WIB

20
b. Akad adalah pertemuan ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak

dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada

obyeknya.5

c. Hibah adalah adalah akad perjanjian yang menyertakan pemindahan

hak milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa

mengharapkan penggantian sedikitpun.6

d. Risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan

sesuatu yang bukan haknya.7

2. Operasional.

Adapun maksud dari judul Studi Komparasi Antara Hibah dan

Risywah Menurut Pemuka Agama Islam di Kecamatan Rejotangan,

Kabupaten Tulungagung adalah untuk mendapatkan pemahaman terhadap

hibah dan risywah menurut para pemuka agama Islam yang berada di

wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk mencapai tujuan penulisan skripsi ini, sebagai karya ilmiah harus

memenuhi syarat logis dan sistematis. Dalam pembahasannya, penulis

menyusun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu:

5 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2007), hal. 68

6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 208-
209

7 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan. ( Jakarta: Jajawali Pers, 2009), hal. 45

21
BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini membahas mengenai : latar

belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan

istilah dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Kajian Pustaka, dalam kajian pustaka ini akan dibahas

mengenai: kajian mengenai Akad, Kajian mengenai Hibah, kajian mengenai

Risywah dan penelitian terdahulu.

BAB III: Metode penelitian, dalam bab ini membahas mengenai : jenis

penelitian, lokasi penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, prosedur

pengumpulan data, teknik analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan

tahapan penelitian.

BAB IV : Paparan data tentang hasil penelitian, dalam bab ini

membahas mengenai: a) lokasi penelitian, b) paparan data, c) pembahasan.

BAB V : Penutup, dalam bab yang terakhir ini, akan memuat : a)

kesimpulan, b) saran dari peneliti yang diajukan kepada beberapa pihak

terkait.

22
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Akad

1. Pengertian Akad.

Akad merupakan bagian dari macam-macam tasharruf, yang

dimaksud dengan tasharruf adalah :



"segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan
syara menetapkan hukum haknya."8

Tasharruf terbagi menjadi dua macam, yaitu tasharruf yang

dilakukan dengan usaha atau dengan anggota badannya yang lain dengan

tanpa mengucapkan (secara isyarat) dan tasharruf yang dilakukan dengan

lisan.

Istilah akad memiliki kesamaan maksud dengan perjanjian ((,

persetujuan dua buah perjanjian atau lebih dan perikatan 9


(),

8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 43

9 Ibid., hal. 45

23
sedangkan menurut bahasa, istilah al-aqad, memiliki arti sebagai ikatan

dan tali pengikat.10

Sedangkan menurut istilah akad diartikan dengan pertemuan ijab dan

qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan

suatu akibat hukum pada obyeknya.11

2. Syarat dan rukun akad

Syarat merupakan bagian yang penting keberadaanya dalam sebuah

kegiatan. Meskipun syarat bukan bukan bagian dari dalam sebuah kegiatan

dalam, akan tetapi jika syarat ini tidak terpenuhi salah satu saja, maka

kegiatan yang dilakukan akan menjadi tidak sah atau batal demi hukum.

Atas alasan inilah mengapa syarat menjadi suatu yang harus dilaksanakan

ketika akan memulai atau setelah selesai melakukan sebuah pekerjaan.

Rukun adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan atau menjadi

unsur dalam sebuah kegiatan. Sehingga rukun menempatkan dirinya

sebagai suatu bagian yang harus ada dalam sebuah kegiatan ketika

kegiatan tersebut dilaksanakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, ketika

rukun ini tidak dilaksanakan maka secara otomatis tindakan yang

dilakukan tersebut akan tidak sah atau batal demi hukum.

Begitu juga dengan akad, meskipun secara kasat mata pelaksanaan

akad dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi juga terdapat syarat-

syarat yang melekat dan harus dilaksanakan sebelum atau sesudah akad

10 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 15

11 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2007), hal. 68

24
tersebut selesai dilaksanakan dan rukun yang harus dilaksanakan ketika

perbutan tersebut dilaksanakan. Adapun yang menjadi rukun dari akad

adalah sebagai berikut:

a. Al-Aqidain atau para pihak yang melakukan akad

b. Nahallul aqad atau obyek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan

c. Sighat akad atau pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan

melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul12

d. Maudhu Al Aqad atau tujuan akad13

Dari keempat rukun akad tersebut, maka masing-masing rukun

diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Al-Aqidain atau para pihak yang melaksanakan akad. Pihak-pihak yang

melakukan akad, disyaratkan sebagai berikut:

1. Mukallaf Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak14

2. Aqil (berakal)

3. Tamyis atau dapat membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk

4. Mukhtar atau masing-masing pihak harus lepas dari paksaan atau

tekanan15

12 Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Konstektual. (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2002), hal. 78

13 Ibid., hal. 86

14 Ibid., hal. 81

15 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di


Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 16-17

25
b. Nahallul aqad atau obyek akad dapat menerima hukumnya. Adapun

syarat dari obyek akad adalah sebagai berikut:

1. Halal menurut syara, halal secara syara adalah bahwa harta

tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal,16 artinya

harta yang dijadikan sebagai obyek akad adalah harta yang halal,

baik dari cara mendapatkannya ataupun juga dari dzat benda itu

sendiri.

2. Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak)

c. Sighat akad (ijab qobul). Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar

dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam

mengadakan akad, sedangkan qobul adalah perkataan yang keluar dari

pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Adapun

yang disyaratkan dalam ijab qobul adalah :

1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya

2. Bersesuaian antara ijab dan qobul

3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan17

d. Maudhu Al-Aqad atau tujuan akad. Tujuan akad disyaratkan harus jelas

dan diakui oleh syara18. Sehingga meskipun akadnya itu diperuntukkan

sesuatu yang jelas, akan tetapi melanggar syara maka bisa dipastikan

16 Didin Hafidudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
hal 20

17 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 47 - 48

18 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 108

26
akad tersebut tidak sah, seperti menjual anggur kepada pabrik minuman

keras, menjual ayam untuk aduan dan lain-lain.

Selain syarat-syarat dari setiap rukun akad tersebut diatas, syarat

akad secara umum adalah sebagai berikut:

1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya

2. Harus sama ridlo dan ada pilihan (khiyar)

3. Harus jelas dan gamblang19

4. Adanya causa yang halal20

3. Macam-Macam Akad

Pada dasarnya akad terbagi menjadi tiga macam, yaitu akad munjis,

akad muallaq dan akad nudhaf.21 Dalam perkembangannya akad masih

dapat dibagi menjadi beberapa macam menurut klasifikasi tertentu, berikut

penjelasan terhadap macam-macam akad tersebut:

a. Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat

selesainya akad.

b. Akad Muallaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-

syarat yang telah ditentukan dalam akad.

c. Akad Nudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-

syarat mengenai penangguhan pelaksanaannya.

19 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3

20 Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal.165

21 Qomarul Huda,Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 33

27
Selain tiga jenis akad tersebut, akad masih diklasifikasikan menjadi

beberapa jenis, yaitu:

a. Menurut disyariatkan atau tidak

1. Akad musaraah atau akad yang dibenarkan oleh syara (seperti

gadai dan jual beli).

2. Akad mamnuah atau akad yang dilarang oleh syara (seperti menjual

ikan dalam kolam).22

b. Menurut keabsahannya

1. Akad ghoiru shohih adalah akad yang mana kedua belah pihak

memiliki hak untuk membatalkan dengan cara fasakh tanpa harus

menunggu kerelaan pihak lain.23 Dengan demikian bahwa akad

ghoiru shohih adalah akad yang sebagian unsurnya atau sebagian

rukunnya tidak terpenuhi.24 Sehingga akad ini adalah akad yang

rusak dan karena rukunnya tidak terpenuhi maka akad ini adalah

akad yang tidak sah atau batal demi hukum.

2. Akad shohih adalah akad yang memenuhi seluruh persyaratan yang

berlaku pada setiap unsur akad.25

c. Menurut sifat bendanya

22 Ibid., hal. 36

23 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalah..., hal. 22

24 Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah, hal. 104

25 Ibid., hal. 103

28
1. Akad ainiyah atau akad yang harus disempurnakan dengan

penyerahan harta benda obyek akad (seperti rahn, hibah, ariyah,

wadhiah).

2. Akad ghoiri ainiyah adalah akad yang kesempurnaannya hanya

didasarkan pada kesempurnaan bentuk akadnya saja dan tidak

mengharuskan adanya penyerahan.26

d. Menurut cara melakukan

1. Akad yang harus dilakukan dengan upacara-upacara tertentu (seperti

pernikahan).

2. Akad ridhoiyah atau akad yang dilakukan tanpa upacara-upacara

tertentu.27

e. Menurut berlaku tidaknya akad

1. Akad nafidz adalah akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-

penghalang akad.28 Sehingga akad nafidz ini adalah akad yang

memiliki peluang sangat besar untuk dapat dilaksanakan pada waktu

itu juga atau pada waktu-waktu lain yang telah disepakati.

2. Akad mauquf adalah akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-

persetujuan.29 Atau akad yang dilakukan oleh seseorang yang mampu

26 Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah, hal. 108

27 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, hal. 36

28 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 53

29 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, hal. 37

29
bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan

untuk melangsungkan dan melaksanakan.30

f. Menurut lazim dan dapat dibatalkan31

1. Akad lazim atau akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu

pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya (seperti perceraian).

2. Akad ghoiru lazim atau akad yang dapat dibatalkan oleh salah satu

pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya.

g. Menurut tukar menukar hakin32

1. Akad muawadhah atau akad yang berlaku atas dasar timbal balik.

2. Akad tabarruat atau akad yang berlaku atas dasar pemberian dan

pertolongan.

h. Menurut tujuannya.

1. Akad yang bertujuan untuk memilki (tamlik), akad yang bertujuan

untuk mengadakan usaha.

2. Akad yang bertujuan untuk menyerahkan kekuasaan (wakalah).

i. Menurut masa pelaksanaan akad33

1. Akad fauriyah atau akad yang dalam pelaksanaannya tidak

memerlukan waktu yang lama.

30 M. Ali Hasan, Berbagai Macam, hal. 110

31 Veitzal Rivai, Islamic Transaction Law In Business dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hal. 10-11

32 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, hal. 38

33 Ibid., hal. 39

30
2. Akad istimrar atau akad yang dalam pelaksanannya membutuhkan

waktu yang lama.

j. Menurut ashliyah dan thabiiyahnya34

1. Akad ashliyah atau akad yang berrdiri sendiri tanpa memerlukan

adanya sesuatu dari yang lain (seperti jual beli).

2. Akad thabiyah adalah akad yang memerlukan adanya akad yang lain

(seperti rahn, tidak akan dilakukan rahn jika tidak ada hutang).

4. Azas-Azas Akad

Azas atau dasar yang menjadi sumber rujukan dalam sebuah

kegiatan, yang mana azas ini menjadi sebuah dasar kebenaran yang

menjadi pokok utama dalam berfikir. Seperti azas yang dikenal dalam

Islam, maka semua tindakan akan didasarkan pada Al-Quran dan Al-

Hadits. Sehingga jika dalam tindakan sehari hari terdapat perbuatan yang

tidak sesuai dengan keduanya, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan

yang melanggar hukum. Begitu pula dalam akad, azas yang dijadikan

sebagai patokan adalah hukum yang berlaku pada saat ini, baik itu hukum

positif ataupun hukum agama.

Sedangkan yang menjadi sumber dari azas akad menurut Islam

adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi tidak semua ayat dan hadits

dapat dijadikan sebuah dasar dalam penetapan dasar-dasar akad. Berikut

azas-azas akad dalam Islam:

a. Azas Ilahiah, hal ini dirujuk pada QS Al-Hadid ayat 4, sebagai berikut:

34 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal. 55

31


dandia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan35

b. Azas kebebasan berkontrak

Azas kebebasan berkontrak adalah azas yang memberikan kebebasan

para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan

persyaratan umum serta menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau

tidak tertulis).36 Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan

oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka

perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus

dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.37 Tentunya azas kebebasan

berkontrak ini tidak memberikan pembenaran kepada siapapun untuk

melakukan akad yang secara syara dilarang, seperti melakukan akad

dengan tujuan untuk mencuri, membunuh dan lain-lain.

c. Azas persamaan dan kesetaraan (Al Musawah)

Azas persamaan dan kesetaraan atau azas keseimbangan adalah suatu

azas yang menghendaki kedua belah pihak untuk melakukan

perjanjian.38 Hal ini disebabkan karena setiap manusia tercipta berbeda-


35 Departemen Agama RI, Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, (Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 2000), hal. 805

36 Salim, PengantarHukum..., 158

37 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum, hal 31

38 Salim, Pengantar Hukum, hal. 159

32
beda dan memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing. Manusia

tercipta untuk saling melengkapi. Dalam akad, pasti memuat hak dan

kewajiban dari para pihak yang melakukan akad, namun hak dan

kewajiban yang dibebankan tidak boleh melebihi kemampuan dari

pelaku akad, hal ini tercantum dalam QS. An-Nahl ayat 71 sebagai

berikut:



dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari
sebagian yang lain dalam hal rezki39

d. Azas keadilan

Keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi

individu, baik moral ataupun materiil, antara individu

dengan masyarakat dan antara masyarakat yang satu

dengan lainnya yang lainnya berlandaskan pada syariah

Islam.40

e. Azas kerelaan

Setiap akad yang dilakukan, maka harus terdapat kerelaan antar pihak

yang melakukan akad. Karena jika sebuah akad dilakukan atas dasar

kerelaan, maka selain akad menjadi sah, juga untuk menunjukkan

39 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 219

40 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum, hal 34

33
iktikad baik bagi kedua belah pihak, sehingga hak dan kewajiban dari

masing-masing pelaku akad dapat terlaksana dengan baik.

f. Azas kejujuran

Sifat jujur dalam kehidupan memang menjadi salah satu hal pokok.

Karena dengan kejujuran ini akan memberikan sebuah kepercayaan dan

legalitas sebuah akad akan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik.

Bahkan dalam QS Al-Ahzab ayat 70, disebutkan bahwa:



Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang
benar41

g. Azas tertulis

Azas tertulis adalah sebuah azas yang menanjurkan

kepada siapa saja yang melakukan akad untuk mencatat

semua isi dari akad-akad yang dan disepakati oleh para

pihak yang melakukan akad. Hal ini dilaksanakan agar

jika pada suatu saat terjadi wanprestasi atau ingkar janji,

maka akan dapat dibuktikan dan diketahui kebenaran

yang sesungguhnya.

5. Hak dan Kewajiban Subyek Akad

41 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 626

34
Subyek hukum adalah mereka yang memiliki kecakapan untuk

menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.42

Sehingga pihak-pihak yang melakukan akad harus saling memenuhi

prestasinya. Jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka akan

berakibat timbulnya ketidakseimbangan hak dan kewajiban dan akan

merugikan pihak lain.

Seperti seorang pembeli yang hendak membeli air mineral pada

sebuah toko, maka kewajibannya adalah memberikan sejumlah uang yang

seharga dengan air mineral tersebut dan selain itu ia juga berhak untuk

mendapatkan air mineral yang ia inginkan, sedangkan yang menjadi

kewajiban dari penjual adalah menyerahkan air mineral yang dibeli oleh

pembeli dan hak dari penjual adalah menerima sejumlah uang seharga air

mineral tersebut.

Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad adalah sebuah

keharusan yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berakad.

Sehingga masing-masing pihak akan sama-sama diuntungkan dan tidak

ada satupun yang dirugikan atau merasa ditipu. Hal ini sangat penting

adanya karena manusia yang hidup secara sosial dan harus saling

melenggkapi kebutuhan satu sama lainnya.

6. Berakhirnya Akad

42 Salim, Pengantar Hukum, hal. 24

35
Akad yang dilaksanakan setelah terjadi kesepakatan oleh para pihak

yang melakukan akad. Akan tetapi dalam masalah pengakhiran suatu akad,

tidak selamanya dilaksanakan setelah akad tersebut selesai dilaksanakan,

dengan kata lain jika sebuah akad telah selesai dilaksanakan maka akad

tersebut akas berakhir dengan sendirinya. Dengan demikian maka

sebenarnya, berakhirnya suatu akad dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu ketika sebelum akad tersebut selesai dilaksanakan dan ketika akad

tersebut telah selesai dilaksanakan. Berakhirnya akad ketika sebelum akad

tersebut selesai disebabkan karena adanya kesepakatan yang disebabkan

oleh adanya urbun, karena tidak dilaksanakan dan karena mustahil untuk

dilaksanakan.

1. Karena adanya kesepakatan (Al-iqolah)

Apabila suatu akad telah memenuhi rukun dan syaratnya sesuai dengan

ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat. 43 Sehingga

akad tersebut tidak dapat dibatalkan oleh para pihak yang melakukan

kesepakatan secara sepihak. Dengan demikian, maka jika ada keinginan

untuk membatalkan, maka harus didasari dengan kesepakatan para

pihak yang telah melakukan akad. Jika kedua pihak sepakat untuk

membatalkan, maka akad tersebut akan batal dan jika tidak, maka akad

tersebut harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan.

2. Karena urbun (uang muka)

43 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2007), hal. 341-342

36
Urbun terjadi karena adanya tindakan hukum para pihak yang

memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutuskan

akad yang bersangkutan secara sepihak dengan memikul suatu kerugian

tertentu.44 Urbun sendiri merupakan suatu bentuk kompensasi dalam

pembatalan akad dari pembayar urbun kepada pihak kedua (penerima

urbun) dan jika pihak kedua (penerima urbun) yang membatalkan akad,

maka dia berkewajiban untuk mengembalikan urbun tersebut.

3. Karena tidak dilaksanakan

Secara umum, para pihak yang melakukan akad akan mandapatkan hak

dan kewajiban yang mengikat pada masing-masing pihak. Akan tetapi

jika kenyataanyan tidak demikian (tidak dilaksanakan) maka akad

tersebut akan batal atau akan berakhir dengan sendirinya.

4. karena mustahil untuk dilaksanakan

Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh satu pihak disebabkan

oleh alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa perlu

putusan hakim karena akad mustahil untuk dilaksanakan.45 Sebagai

contoh dalam akad kerjasama bagi hasil, pihak shohibul mal

memberikan dana untuk beternak sapi sejumlah Rp. 10.000.000,-

kepada pengusaha, bagi hasil yang diinginkan oleh pemberi modal

adalah sebesar Rp. 15.000.000,- per bulan. Pengusaha tidak akan dapat

melaksanakannya karena beternak sapi akan dapat dipanen +dua tahun

44 Ibid., hal. 347

45 Ibid., hal. 359

37
sekali, sehingga menjadi mustahil jika setiap bulan harus membayar

bagi hasil sebesar Rp. 15.000.000,-.

B. Hibah

1. Pengertian Hibah

Dalam bahasa Arab, hibah disebut dengan al-hibah, secara bahasa

dari hubbub al-rib, yaitu: perlewatan untuk melewatkan dari tangan

kepada orang lain.46 Selain itu, hibah juga diartikan sebagai pemberian,

hal ini karena didalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 38 telah

menceritakan tentang permohonan dari Nabi Zakaria kepada Allah,

sebagai berikut:














di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata:
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".47

Hibah adalah memberikan suatu barang yang pada ghalibnya sah

dijual atau piutang oleh orang ahli tabarru dengan tanpa ada pertukaran.48

Menurut KUHPer, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah

diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali

menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah yang

46 Hendi Suhendi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Fiqh Muamalah, 2002), Hal. 209

47 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 42

48 Syeh Zainuddin bin Muhammad al Ghozaly al Malibary, Fathul Muin jilid 2, terj.
Aliy Asad, Fathul Muin, (Yogyakarta: Menara Kudus, Tanpa Tahun), hal. 324

38
menerima penyerahan itu.49 Hibah yang berarti pemberian, maka pemberi

harus benar-benar rela melepas harta yang telah dia berikan kepada orang

lain dengan tanpa meminta atau sekedar mengharap imbalan dari orang

lain dan tanpa sebab apapun. Jika seseorang memberikan sejumlah harta

kepada orang lain dengan tujuan untuk memuliakannya maka hal itu

disebut dengan hadiah.50 Akan tetapi jika seseorang memberi dengan tanpa

mengharap imbalan apapun selain ridlo dari Allah SWT maka itu disebut

dengan sedekah atau shodaqoh.51

2. Dasar Hukum Hibah

a. Al-Quran

dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya 52

49 Kitab undang-undang perdata = burgerlijk wetboek : dengan tambahan undang-


undang pokok agrarian dan undang-undang perkawinan, terj. R. Subekti dan R.
tjitrosudibio, (Jakarta: pradnya paramita, 2006), hal. 436

50 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1994), hal. 326

51 Ibid., hal. 326

39






















memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,


anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya53

b. Al-Hadits



:

( )
diriwayatkan dari Abu Hurarirah r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, pasti
saya kabulkan undangan tersebut; begitu juga kalau sepotong kaki
binatang dihadiahkan kepada saya, tentu akan saya terima (HR.
Bukhori)54

3. Syarat Dan Rukun Hibah

Para imam madzhab sepakat, hibah menjadi sah hukumnya jika

dilakukan dengan tiga perkara55:

52 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 85

53 Ibid., hal. 21

54 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-
Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 432

55 Syaikh al Alamah Muhammad, Rahmah Al-Ummah fi Ikhtilafi Al-Aimmah, terj.


Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi Press, 2004), hal. 309

40
a. Shighat (ijab Qobul)

b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan)

c. Ada yang memberi dan diberi56

Dari ketiga rukun hibah tersebut, masing-masing rukun memiliki

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Shighat (Ijab Qobul), disyaratkan bahwa:

1. Kata-kata dalam ijab qobul harus jelas pengertiannya

2. Harus bersesuaian antara ijab dan qobul

3. Harus menggambarkan kesungguhan kemauan57

b. Qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan), disyaratkan bahwa:

1. Benda tersebut benar-benar ada

2. Benda tersebut mempunyai nilai

3. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya

4. Benda tersebut dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima

hibah

c. Ada yang memberi dan diberi, untuk pemberi hibah maka disyaratkan

bahwa58:

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si pemberi hibah

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan

c. Dewasa dan tidak kurang akal

56 Sulaiman Rasyid, Fiqh Isla, hal. 327

57 Hendi Suhendi, Fiqih..., hal. 47-48

58 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,


(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 115-116

41
d. Tidak ada unsur paksaan

e. Ada ketika hibah dilakukan

4. Macam Macam Hibah

a. Hibah Umra

Hibah Umra merupakan salah satu warisan budaya orang-orang Arab

Jahiliyah. Disebut demikian karena orang Jahiliyah jika memberikan

sesuatu kepada orang lain, maka akan berkata kepadanya saya berikan

;umra ini kepadamu, artinya saya mubahkan untukmu selama umurmu

dan hidupmu.59 Hal ini disamakan dengan ariyah (pinjam meminjam).60

Sehingga Qabdhu (obyek hibah) hanya berlaklu jika si penerima hibah

masih hidup dan harus dikembalikan oleh ahli waris jika si penerima

telah meninggal.

b. Hibah Ruqba

Hibah ruqba adalah hibah yang akan memiliki kejelasan hukum jika

pemberi atau penerima hibah telah meninggal salah satunya. Misalnya

seorang yang memberikan hibah berkata, jika engkau mati sebelumku,

pemberian itu tetap kembalikan kepadaku.61

5. Etika Menolak atau Menerima Pemberian

Kebaikan maksud orang untuk memberikan sejumlah harta kepada

orang lain harus diapresiaisi positif, karena sudah berniat baik kepada

59 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih..., hal. 459

60 Miftah Noor Rosyid, Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan Hibah
Umra, (Semarang, Skripsi Tidak Diterbitkan, 2010), Hal. 20

61 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal.
215

42
orang lain dan juga menjaga keharmonisan hidup sesama manusia. Selain

itu, dia juga telah melaksanakan transfer harta kepada mereka yang

membutuhkan, dan juga telah melakukan syiar Islam secara tidak

langsung, dalam sebuah Haditsnya Rasulullah SAW bersabda:


:

( )

Dari Aisyah radliallahu anha berkata: "Adalah Rasulullah


shallallahu alaihi wasallam menerima pemberiah hadiah dan
membalasnya (HR Bukhari)".62

Umat Islam dilarang menyakiti baik secara fisik ataupun psikis

orang lain baik kepada sesama Islam ataupun dengan non Muslim. Hal ini

dikarenakan umat manusia tercipta untuk Saling tolong menolong dan

bukan untuk salaing menyakiti. Firman Allah:










dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan

62 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih, hal. 536

43
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya63

Meskipun pemberian orang lain tidak disukai oleh penerima, akan

tetapi didasari dengan rasa ikhlas dari pemberi, secara umum penerima

diharuskan untuk menerimanya. Karena dengan menerima harta

pemberian dari orang lain, maka itu sudah membuat bahagia orang lain

selaku pemberi dan praktis itu juga sudah memberikan sebuah rasa saling

menghormati antar sesama manusia.

Dengan niat baik dan keikhlasan yang tinggi dari pemberi hibah dan

dengan harapan akan diterima, akan tetapi kenyataan dan keinginan

tidaklah selamanya memiliki kesamaan. Meski demikian, hal itu adalah

sebuah kewajaran dalam hidup bermasyarakat. Pemberi hibah hendaknya

tidak merasa kecewa atau merasa direndahkan, karena setiap manusia

memiliki keinginan yang berbeda-beda dan karakter yang berbeda-beda

pula.

Selain itu, penerima yang menolak hibah, maka sebaiknya juga

melakukan penolakan dengan cara yang halus dan sopan, karena

dikhawatirkan jika ditolak dengan cara yang kasar akan menyinggung

perasaan dari pemberi hibah. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan

kepada umat manusia mengenai tata cara untuk menolak pemberian dari

orang lain dengan cara yang halus dan sopan, adapun cara-cara menolak

pemberian dari orang lain menurut Rasulullah SAW adalah sebagai

berikut:

63 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 85

44
a. Hindari menolak pemberian atau permintaan dari orang lain

Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang artinya:

:


( )
Diriwayatkan dari Annas r.a, dia berkata Nabi SAW bersabda: tidak
pernah menolak hadiah berupa wewangian. (H.R. Al-Bukhori)64

b. Niat baik dalam menolak

Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan

dengan niat dan cara yang baik. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi

berikut:



:
:
( )
Dari Amirul Muminin yakni Abu Hafsh Umar bin Al Khotob RA.
Dia berkata: aku telah mendengar Rosulullah SAW bersabda:
sesungguhnya sahnya amalan-amalan itu hanya dengan niat dan
sesungguhnya bagi setiap seorang apa yang menjadi niatnya . )
H.R. Bukhori)65

c. Menolak dengan sikap dan perkataan yang lembut

Seorang Muslim tidak boleh berlaku dan bersikap kasar terhadap

saudaranya, tetapi harus bersikap lemah lembut, penuh cinta dan kasih

yang tulus.66

64 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih, hal.
536

65 Imam Nawawi, Hadits Arbain Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin Asad, (Surabaya: Ar-
Rohmah, TT), Hal. 13-14

66 Herryanto Al-Fandi, Etika..., Hal. 163

45
d. Niat baik dalam menolak

Jika memang terpaksa menolak orang lain, maka haruslah dilakukan

dengan niat dan cara yang baik.

e. Menyampaikan alasan dalam menolak

Jika memang harus menolak pemberian dari orang lain, maka harus

disertai dengan alasan yang baik dan masuk akal. Karena yang sering

menimbulkan perpecahan dalam umat Islam karena ditolak pemberian

adalah jika penolakan dilakukan dengan cara yang kasar, bernada

melecehkan dan tanpa alasan yang masuk akal.67

f. Penolakan tidaklah bertentangan dengan syariat

Ketika ada permintaan atau pemberian yang mana itu melanggar

syariat Islam maka harus ditolak, hal ini didasarkan pada firman Allah

QS. Al-Ashar ayat 2-3, sebagai berikut:










(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (3)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.68

67 Ibid, hal. 164

68 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 482

46
g. Memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara

Dengan memperhatikan lawan bicara, maka penolakan akan dapat

dilaksanakan dengan mudah, akan tetapi jika tidak diperhatikan maka

dikhawatirkan akan menimbulkan kesalah-pahaman terhadap pemberi

tersebut. Selain itu, dengan tidak memperhatikan lawan bicara juga

akan berakibat pada pemberi hibah akan memberi label buruk terhadap

pihak yang menolaknya.

h. Menghindari perdebatan

Islam telah melarang umatnya untuk berdebat, terlebih jika dilakukan

untuk mempertahankan pendapat yang tidak benar. Hal ini bukan tanpa

alasan, karena Allah telah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 107):









dan janganlah kamu berdebat (untuk membela)
orang-orang yang mengkhianati dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,69

Akan tetapi jika perdebatan untuk membela yang benar

tidak dapat terelakkan, maka harus dilakukan dengan

cara yang halus, baik dan santun, hal ini didasarkan

69 Ibid, hal. 76

47
pada firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125)

sebagai berikut:














"serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk".70

6. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Dihibahkan

secara umum, harta yang telah diberikan masih tetap milik pemberi,

jika calon penerima hibah belum menerima harta tersebut meskipun calon

penerima telah meninggal sebelum menerima harta tersebut. Jika calon

penerima meninggal sebelum menerima, maka pemberi berhak untuk

menarik kembali harta yang telah dihibahkan, meskipun disisi lain ahli

waris dari calon penerima tersebut juga boleh menerimanya.

70 Ibid, hal. 224

48
Sehingga jika calon penerima sudah menerima harta hibah, maka

hukum meminta kembali harta tersebut adalah haram. Dalam sabdanya

Rasulullah SAW menyatakan bahwa:



,
):
(

dari Ibnu Abbas R.A, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:


tak ada perumpamaan yang palin jelek menurut kami kecuali
perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikannya seperti anjing yang muntah kemudian memakan
kembali muntahannya itu. (HR. Muslim)71

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum menarik kembali harta

yang telah dihibahkan adalah haram, selain itu juga memberikan efek

negatif kepada penerima hibah, karena dia akan merasa dipermainkan akan

menimbulkan permusuhan didalam anggota mesyarakat.

C. RISYWAH

1. Pengertian Risywah

Istilah suap dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti uang

sogok72, sedang dalam bahasa Arab disebut dengan rasywah atau

rasya, secara bahasa bermakna memasang tali, ngemong, mengambil

hati.73 Sedangkan dalam istilah, risywah diartikan dengan memberi sesuatu

71 Imam Al-Mundziri, Mukhtshar Shahih Muslim, terj.Achmad Zaidun, (Jakarta:


Pustaka Amani, 1994), hal. 542

72 http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-Hukum-Islam-dan-
Hukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB

49
kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. 74

Sedangkan uang suap adalah uang yang diberikan kepada pengusaha atau

pegawai supaya pengusaha atau pegawai tersebut menjatuhkan hukum

yang menguntungkan penyuap atau supaya didahulukan urusannya atau

ditunda karena ada suatu kepentingan dan seterusnya.75

Dalam kitab Al-Mausah Al-Fiqhiyyah yang dimaksud risywah

(suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu

yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. Dalam kitab Al-

Misbah Al-Munir karya Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa

risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang

diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan

perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. Sedangkan dalam kitab An-

Nihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan

bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan

seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak

semestinya).76 Dan Menurut Kitab Lisanul Arab dan Mujamul Washith

risywah adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang agar

mendapatkan kepentingan tertentu.77


73 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati Fisy-Syariiatil Islamiyyati, terj.
Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 9

74 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Keuangan, (Jakarta: Jajawali Pers, 2009), Hal. 45

75 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya,
2003), hal. 462

76 http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-haram-
dalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB

77 Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012

50
2. Unsur-Unsur Risywah

Unsur atau dalam istilah yang lain disebut dengan rukun, adalah

bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah tindakan. Dikarenakan unsur

merupakan suatu tindakan yang tidak bisa lepas dan memberikan suatu

kepastian hukum tertentu. Secara garis besar, unsur dalam suap memiliki

kesamaan dengan akad hibah, karena suap adalah hibah yang didasarkan

atas tujuan untuk suatu tindakkan yang dilarang oleh syari, seperti

membatalkan yang hak atau untuk membenarkan suatu yang batil. Selain

itu, memakan harta risywah diidentikkan dengan memakan harta yang

diharamkan Allah.78 Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam risywah

adalah:

a. Penerima suap (Al-murtasyi) yaitu orang yang menerima sesuatu dari

orang lain berupa harta atau uang maupun jasa supaya mereka

melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak dibenarkan oleh

syara, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat apa-apa.79 Pada

umumnya orang yang menerima suap adalah para pejabat yang

memiliki keterkaitan terhadap masalah yang dihadapi oleh pemberi

suap. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan penerima suap

adalah bukan para pejabat, seperti teman atau mungkin kepada orang

yang berstatus dibawahnya. Seperti si A menyuap temannya sendiri

yang bernama si B untuk tidak memberitahukan kepada orang tuanya si

78 http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:suap-dalam -
perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48, diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00
WIB

79 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11

51
A kalau si A telah bolos sekolah, atau bisa juga seorang yang memiliki

keinginan tertentu dengan memberikan sejumlah uang kepada

masyarakat biasa agar masyarakat tersebut bersedia untuk memilihnya

dalam pemilu yang akan datang.

b. Pemberi suap (Al-rasyi) yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang

atau jasa untuk mencapai tujuannya.80 Pemberi suap ini pada umumnya

adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap penerima suap.

Kepentingan-kepentingan tersebut bisa karena masalah hukum, untuk

pemenangan pemilu dan lain-lain. Pemberi suap ini melakukan suap

dikarenakan dia ingin menjadi pihak yang menang, sehingga cenderung

melakukan segala cara untuk dapat menang.

c. Suapan atau harta yang diberikan.81 Harta yang dijadikan sebagai obyek

suap beraneka ragam, mulai dari uang, mobil, rumah, motor dan lain-

lain.

3. Hukum Risywah

Dalam hukum positif ataupun hukum Islam, secara umum risywah

adalah suatu yang dilarang (haram). Dalam hukum positif, risywah

dilarang karena akan merugikan orang lain, misalnya dalam perkara di

pengadilan, salah satu pihak menyuap hakim dengan sejumlah uang yang

cukup besar untuk dimenangkan kasusnya, maka ini menjadi haram karena

hakim akan memberikan putusan yang tidak berdasar pada berita acara

persidangan (BAP) yang ada dan akan menguntungkan pihak yang

80 Ibid., hal 11

81 Ibid

52
melakukan suap. Selain itu, tindakan risywah juga merupakan dari tindak

pidana korupsi, meskipun secara umum korupsi tidak hanya sebatas pada

masalah risywah saja, melainkan juga berkenaan dengan penyalahgunaan

wewenang (pengkhianatan) secara umum, termasuk di dalamnya

penyalahgunaan wewenang yang ada unsur suapnya atau tidak ada unsur

suapnya.82

Dalam Islam, tentunya hukum risywah tidak lepas dari dasar

hukumnya, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Akan tetapi secara umum,

hukum risywah menurut Islam adalah haram, bahkan tidak hanya hartanya

saja, akan tetapi juga perantara, pemberi risywah, penerima risywah juga

akan dilaknat oleh Rasulullah SAW, berikut dalil-dalil yang menyatakan

bahwa risywah adalah haram:

a. Al-quran










dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan

82 Masdar F. Masudi, et. all., Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan, (Mataram:


Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB, 2003), hal. 277

53
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui (Al-
baqoroh, 188)83







mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti
uang sogokan dan sebagainya) (Al-maidah, 42)84





Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir (Al-maidah, 44)85

b. Al-hadits


:
( )
Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang
menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang
memberikan jalan atas keduanya, (HR. Ahmad) 86

4. Macam- Macam Risywah

83 Departemen Agama RI, Tafsir Quran, hal. 23

84 Ibid., hal. 91

85 Ibid.

86 Yusuf Qardhawi, Halal dan, hal. 463

54
Secara umum, jenis risywah dapat diklasifikasikan menurut niat

pemberi riywah. Menurut niatnya, risywah terbagi tiga, yaitu:

a. Risywah untuk membatilkan yang haq atau membenarkan yang batil

Risywah (suap) yang digunakan untuk membatilkan yang haq atau

membenarkan yang batil adalah suatu tindakan yang sangat merugikan

orang lain dan dosa. Karena haq itu kekal dan batil itu sirna. 87

Maksutnya adalah bahwa sesuatu yang haq (benar) adalah suatu

kebenaran yang hakiki, sedangkan sesuatu yang batil adalah suatu yang

dosa. Praktik suap ini haram hukumnya, karena mengalahkan pihak

yang mestinya menang dan memenangkan pihak yang mestinya kalah.88

b. Risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kezaliman

Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan risywah, salah

satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah

kebatilan serta kezaliman. Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap

untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap. 89 Para

Ulama telah bersepakat mengenai hukum risywah yang sedemikian ini,

karena dilakukan untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang

mestinya diterima oleh pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah

Ibnu Masud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh

87 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 11

88 Muhammad Nurul Arifin, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif


Fiqih Jinayah, (TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hal. 119

89 Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syariah Kaya di Dunia Terhormat di Akhirat,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 230

55
orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang

kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.90

c. Risywah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan

Jabatan atau pekerjaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan atas

keahlian diri, akan tetapi dalam praktiknya masih terdapat beberapa

orang yang mendapatkannya dengan cara-cara yang salah. Salah

satunya dengan memberi suap kepada pihak terkait atau kepada pejabat

tertentu dengan tujuan untuk dinaikkan jabatannya atau untuk

mendapatkan pekerjaan. Misalnya si A ingin menjadi guru di sekolah

XXX dengan cara memberi uang kepada kepala sekolah sejumlah Rp.

10.000.000,-.

5. Hal-Hal yang Identik dengan Risywah

Meskipun risywah adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, akan

tetapi ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang guna menyamarkan

risywah tersebut. Berikut perbuatan-perbuatan yang identik dengan

risywah:

a. Hadiah

Hadiah adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

tanpa mengharapkan suatu bantuan dari orang yang diberi. 91 Dari

pengertian tersebut jelas bahwa hadiah adalah perbuatan yang terbebas

dari unsur-unsur risywah, akan tetapi pada saat-saat tertentu hadiah

dapat dikategorikan sebagai risywah jika yang menerima adalah pejabat

90 Abdullah Bin Abdul Muhsin, Jariimatur-Rasyati..., hal. 18

91 Ibid., hal. 25

56
atau orang yang memiliki kekuasaan. Karena dikhawatirkan digunakan

untuk memanfaatkan jabatannya atau kekuasaannya, karena hadiah

yang diberikan kepada pejabat atau penguasa lebih sering diberikan

oleh mereka yang memiliki kepentingan dengan penerima hadiah

dikarenakan kedudukannya. Lebih lanjut, Ibnu Masud berkata:

termasuk harta haram jika kamu mengusahakan suatu kebutuhan


untuk orang lain dan kamu berhasil memenuhinya lalu memberimu
hadiah dan kamu menerimanya.92

Lebih lanjut, Ali RA berkata:

akan datang suatu masa yang menghalalkan yang haram dengan


jalan hadiah93

Dalam penyelenggaraan Negara, banyak praktik-praktik yang

berhubungan dengan hadiah namun sebenarnya adalah risywah,

misalnya: Memberikan uang tambahan diluar biaya resmi untuk

mendapatkan kelancaran pelayanan, Memberikan sesuatu agar

dimenangkan tendernya, Memberikan sesuatu agar diringankan

kewajibannya,94 dan lain-lain.

D. Penelitian Terdahulu.

Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan judul skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Miftah Noor Rosyid NIM. 062111051, Mahasiswa dari Fakultas

Syariah IAIN Walisongo Semarang, pada tahun 2010, dengan judul

92 Ibid., hal. 36

93 Ibid., hal. 35

94 Masdar F. Masudi, et. all., Fiqh Korupsi, hal 281

57
skripsi Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang Kebolehan

Hibah Umra, jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode

library research.95

Dalam skripsi ini, Miftah Noor Rosyid menjelaskan mengenai hasil

penelitiannya adalah sebagai berikut:

a. Diperbolehkannya melakukan hibah Umra dikarenakan kebutuhan

yang mendesak.

b. Harus ada seorang saksi ketika hibah tersebut dtunaikan.

c. Dan peruntukan harta hibah tersebut ketika akad harus jelas.

Persamaan penelitian dalam skripsi ini dengan yang dilakukan

oleh saudara Miftah Noor Rosyid adalah sama-sama meneliti mengenai

hibah, sedang perbedaannya adalah jika saudara Rosyid hanya meneliti

pada hibah umra menurut Imam Malik saja, maka saya meneliti

mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut pemuka agama

Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung

2. Prastowo Hendarso, NIM. B4B 004 161, Mahasiswa Pasca Sarjana

Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, pada tahun

2006, dengan judul Studi Perbandingan Tentang Hibah Dengan Waris

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, jenis penelitian kepustakaan.96


95 http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret
2014, pkl 10.30WIB

96http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F
%2Feprints.undip.ac.id
%2F17645%2F1%2FPRASTOWO_HENDARSANTO.pdf&ei=0uQ4U7HkKISFrAeXsIGg

58
Dalam skripsi ini, Prastowo Hendarso menjelaskan mengenai hasil

penelitiannya adalah sebagai berikut:

a. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan.

b. Dan sebagian besar prinsip-prinsip kewarisan dapat diambil dari

sumber hukum Islam.

Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara

Prastowo Hendarso adalah sama-sama meneliti mengenai hibah, sedang

perbedaannya adalah jika saudara Prastowo Hendarso meneliti

hubungan antara hibah dan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam

dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dalam penelitian ini,

saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah menurut

pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten

Tulungagung.

3. Pamudji Adnan Fuadi, NIM 07220612, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas

Muhammadiyah Ponoroga, Pada Tahun 2007. Dengan judul skripsi:

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Politik uang Pada Pelaksanaan

Pemilihan Kepala Desa di Desa Serangan Kecamatan Sukorejo

Kabupaten Ponorogo. Dengan metode penelitian deskriptif kualitatif.97

Dalam skripsi ini, Pamudji Adnan Fuadi menjelaskan mengenai

hasil penelitiannya adalah bentuk politik uang yang dilakukan adalah

AQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmstA&bvm=bv.63808443,d.bmk,
diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB

97 http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstrak-i.pdf ,
diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB

59
dengan sikap baik calon kepala desa kepada masyarakat seperti

membelikan pakaian seragam, ditraktir dan dibagikannya uang transport

kepada yang b ersedia datang ke TPS.

Persamaan penelitian saya dengan yang dilakukan oleh saudara

Adnan Fuadi adalah sama-sama meneliti mengenai money politik atau

suap (risywah) yang dilakukan para calon kepala desa, sedang

perbedaannya adalah jika saudara Adnan Fuadi hanya meneliti

mengenai suap dalam kaitannya dengan politik, sedangkan dalam

penelitian ini, saya meneliti mengenai perbandingan hibah dan risywah

menurut pemuka agama Islam yang ada di kec. Rejotangan, Kabupaten

Tulungagung.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

60
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.

Metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau

perilaku yang dapat diamati.98 Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk

menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya

tentang suatu variable, gejala atau keadaan.99 Dengan demikian bahwa

penelitian kualitatif adalah penelitian yang didasarkan pada keadaan yang

nyata dilapangan mengenai suatu obyek tertentu. Sehingga penelitian

deskriptif secara garis besar merupakan kegiatan penelitian yang hendak

membuat gambaran atau mencoba melihat suatu peristiwa atau gejala secara

sistematis, factual dengan penyusunan yang akurat.100 Selain itu, penelitian

deskriptif juga memiliki kelebihan yaitu: penelitian deskriptif ini sangat logis

dalam kaitanya dengan penyebaran sebuah informasi baru.

Terkait dengan metode penelitian tersebut, maka penulis menggunakan

metode pendekatan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian deskriptif

komparatif adalah penelitian yang dilakukan dengan membandingkan dua

variabel setelah kedua variabel itu memperoleh perlakuan. Perlakuan yang

diberikan disini tidak pada saat penelitian berlangsung. 101 Sehingga tugas dari

98 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakaerya.


2006) hal. 4

99 Suharsismi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 234

100 Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. (Yogyakarta: UII Press, 2005)
hal. 28

101 Subana, Dasar- Dasar Penelitian Ilmiah. (Bandung: Pustaka Setia, 2005) hal. 93

61
peneliti disini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan

variable akibat setelah dipengaruhi variable sebab.

Variable sebab dalam judul penelitian ini adalah dari banyaknya

informasi dari berbagai media mengenai banyaknya para pejabat yang

melakukan dan atau menerima sejumlah harta risywah (suap). Risywah yang

diberikan dengan mengatasnamakan sebagai hibah, menjadikan sebuah

dilema, yang mana seakan menjadikan penutup mata bagi penerimanya.

Risywah yang haram hukumnya dan hibah yang halal, membuat para

penerima tidak menyadari kalau sebenarnya dia telah menerima suap. Selain

itu, harta yang telah dijadikan untuk menyuap dan penyuap membatalkan

keinginannya, maka apakah harta suap tersebut tetap menjadi haram ataukah

berubah menjadi halal?.

Penelitian kualitatif, lebih menekankan pada obserevasi, dokumentasi,

atau melakukan partisipasi (meneliti obyek menyeluruh dan terus menerus). 102

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrument utama dalam

mengumpulkan data yang dapat berhubungan langsung dengan instrument

atau obyek penelitian.103 Sehingga peneliti harus langsung terjun kelapangan

dan bergabung dengan masyarakat tertentu sebagai obyek penelitian.

B. Lokasi Penelitian.

102 Ibid, hal. 25

103 Sugiyono, Memahami Penelitian. IBandung: CV Alfabeta, 2005) hal. 2

62
Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti akan memfokuskan

daerah obyek dari penelitian yang akan dilaksanakan. Lokasi dari penelitian

ini adalah di desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Rejotangan,

Kabupaten Tulungagung, adapun desa-desa tersebut adalah Desa Buntaran,

Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa Tanen, Desa

Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa Tugu, Desa

Panjer rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo, Desa Blimbing

dan Desa Jatidowo.

C. Kehadiran Peneliti

Sesuai dengan jenis penelitian yang peneliti lakukan, untuk

memperoleh data sebanyak dan sevalid mungkin serta mendalam, penelitian

kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan dan peran serta masyarakat,

namun peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.104

Sehingga dalam penelitian kualitatif, kehadiran seorang peneliti mutlak

keberadaannya.

D. Sumber Data

Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh. 105 Sumber data

meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diambil dari

sumber pertama yang ada dilapangan.106 Pada sumber data primer ini, peneliti

dapat dengan melakukan pengamatan, wawancara, folklore (budaya turun

104 Lexy J. Moeloeng, MetodologiPenelitian Kulitatif. hal. 163

105 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta:


Rineka Cipta, 2006) hal. 129

106 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif. (Surabaya:


Airlangga University Press, 2005) hal. 128

63
tremurun) dan lain-lain, yang diperoleh dari para pemuka agama Islam di

wilayah Kec. Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Sumber data yang kedua

adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-

buku dan situs- situs internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau

perilaku obyek sasaran.107

2. Wawancara, yaitu proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi

mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi dan sebagainya

yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dengan orang yang diwawancarai.108 Dengan metode

wawancara ini diharapkan penulis akan menemukan apa yang terdapat di

dalam pikiran orang lain. Kita melakukannya untuk menemukan sesuatu

yang tidak mungkin kita peroleh dari pengamatan secara langsung.109

Dalam metode ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara, sehingga

ketika informan belum memberikan jawaban yang sesuai dengan

kebutuhan dari peneliti, maka peneliti akan mengajukan pertanyaan

107 Abdurrahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi.


(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006) hal. 104-105

108 Burhan Mungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2008) hal. 155

109 Ahmad Tanzeh dan Suyetno, Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: eLKAF, 2006)
hal. 143

64
tambahan sehingga data yang diperlukan peneliti akan dapat seluruhnya

terpenuhi. Wawancara sendiri merupakan metode aktif yang digunakan

oleh peneliti untuk mendapatkan data yang dibutuhkan secara langsung

dari nara sumber.

3. Dokumentasi, yaitu mencari mengenai hal-hal atau variable yang berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.110

Dalam hal ini, peneliti mengumpulkan data dari narasumber yang terdiri

dari para pemuka agama Islam yang berada di Kecamatan Rejotangan

Kabupaten Tulungagung.

F. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan menggunakan teknik analisa kualitatif. Analisis kualitatif adalah

upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari pola

dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari

dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.111 Adapun

teknik analisis data yang digunakan adalah:

5. Membaca atau mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan

yang ada dalam kata.

6. Mempelajari kata-kata kunci, berupaya menemukan tema-tema yang

berasal dari kata.

110 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:


Rineka Cipta, 1998) hal. 231

111 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, hal. 248

65
7. Menuliskan model yang ditentukan.

8. Koding yang telah dilakukan.112

G. Pengecekan Keabsahan Temuan

Untuk memperoleh data yang nilai keabsahannya mempunyai validitas,

maka peneliti melakukan usaha-usaha sebagai berikut:

Perpanjangan kehadiran: Peneliti memperpanjang masa observasi dan

wawancara untuk memperoleh data yang valid dari lokasi penelitian.

Disini peneliti tidak hanya sekali atau dua kali, akan tetapi peneliti

sesering mungkin datang untuk mendapatkan informasi dari para informan

sampai jawaban yang keluar seperti jawaban yang pertama kali.

Triangulasi: adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar itu untuk keperluan pengecekan

atau suatu pembanding terhadap data itu.113 Peneliti berusaha mengkaji

data dengan mengkaji beberapa sumber dan metode serta peneliti

mengadakan pengecekan dengan teori yang ditemukan para ahli.

Maksudnya adalah peneliti mengadakan pengecekan hasil penelitian

dengan para ahli melalui buku-buku.

Pembahasan teman sejawat : peneliti berusaha mengkaji keabsahan data

dengan mengadakan diskusi dengan beberapa teman terutama dengan

teman peneliti yang membantu pengumpulan data di lapangan.

H. Tahap-tahap Penelitian

112 Ibid, hal. 248

113 Lexy J. Moeleong. Metode Penelitan , hal 330

66
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) tahap

penelitian, yaitu:

1. Tahap Perencanaan

Dalam tahap ini, ditandai dengan adanya proposal penelitian dan

instrument penelitian.114

2. Pelaksanaan

Peneliti akan meneliti langsung di lokasi penelitian, dengan menghadapi

subyek dan obyek yang akan diteliti. Dalam tahap ini, terdiri dari

observasi, wawancara dan analisis data.

3. Penulisan Laporan

Tahap ini merupakan tahapan yang terakhir dari penelitian. Tahap ini

dilakukan dalam bentuk laporan penulisan skripsi.

BAB IV

114 M. Subana, Dasar-Dasar, hal. 47

67
PAPARAN HASIL PENELITIAN

A. Paparan Data

Kecamatan Rejotangan merupakan salah satu kecamatan yang berada

diwilayah pemerintahan Kabupaten Tulungagung. Terletak di ujung timur

Tulungagung yang berbatasan langsung dengan kabupaten Blitar di sebelah

timur, berbatasan dengan sungai Brantas di sebelah utara, berbatasan dengan

kecamatan Ngunut di sebelah barat dan berbatasan dengan kecamatan

Pucanglaban dan Kabupaten Blitar di sebelah selatan.

Wilayah Kecamatan Rejotangan terdiri dai enam belas desa, yaitu Desa

Buntaran, Desa Aryojeding, Desa Rejotangan, Desa Sumberagung, Desa

Tanen, Desa Banjarejo, Desa Tegalrejo, Desa Tenggur, Desa Tenggong, Desa

Tugu, Desa Panjer Rejo, Desa, Karangsari, Desa Sukorejo, Desa Pakisrejo,

Desa Blimbing dan Desa Jatidowo. Akan tetapi tidak semua desa tersebut

memiliki seorang pemuka agama Islam, sehingga pelaksanaan wawancara

tidak sepenuhnya dapat dilakukan di semua desa. Sehingga wawancara dapat

dilaksanakan di Desa Sukorejo, Desa Rejotangan, Desa Panjer Rejo, dan di

Desa Karangsari.

B. Temuan Penelitian
1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama
Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung

Hibah dan risywah merupakan dua akad yang memiliki kesamaan

dan sekaligus juga memiliki perbedaan. Persamaan diantara keduanya

68
terletak pada praktiknya, yaitu sama-sama melakukan penyaluran harta

benda kepada orang lain. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada

niat untuk melakukan, hibah dilakukan dengan niat tulus memberi dengan

tanpa mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun, sedangkan jika

risywah dilakukan dengan niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi,

meskipun itu harus membenarkan yang salah dan menyalahkan yang

benar.

Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,

maka informan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah semua pemuka

agama Islam yang berada diwilayah Kecamatan Rejotangan, yaitu:

a. Bapak Mawahhibus Shomad dari Pondok Pesantren Al-Falah, Dusun

Padangan, Desa Karangsari.

b. Bapak Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo.

c. Bapak Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo.

d. Bapak KH. Amin dari Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa


Rejotangan.

Sebelum melakukan wawancara pada tanggal 21-27 Mei 2014,

peneliti menunjukkan data-data yang dibutuhkan kepada informan untuk

dipelajari terlebih dahulu. Pada kesempatan tersebut, para informan

bersedia memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh penulis

berkaitan dengan hibah dan risywah menurut pandangan pemuka agama

Islam di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.

Hibah merupakan salah satu dari kegiatan yang hukumnya mubah,

dikarenakan kegiatan tersebut adalah dilakukan dengan memberikan

69
sesuatu kepada orang lain yang didasarkan atas kerelaan dengan tanpa

mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun. Hal ini merupakan salah

satu bentuk dari penyaluran harta yang diperbolehkan dalam Islam. Selain

bentuk penyaluran harta, hibah juga dapat difungsikan sebagai wujud

tolong-menolong sesama manusia. Hibah akan mempererat persaudaraan

antar sesama manusia, karena akan mengurangi adanya ketimpangan sosial

antar anggota masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari pemuka

agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan Rejotangan, sebagai

berikut:

Hibah dilakukan atas dasar kerelaan, tanpa mengharapkan imbalan


apapun dan hukumnya adalah mubah/halal.115

Sehingga hibah selain sebagi suatu bentuk kegiatan yang dilakukan

umat Islam dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia, juga

merupakan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia kepada

tuhannya.

Risywah merupakan pemberian yang dilakukan oleh seseorang

kepada orang lain dengan tujuan-tujuan tertentu yang mana tujuan tersebut

adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sehingga risywah

merupakan bagian dari penyaluran harta, akan tetapi dalam praktiknya

adalah ditujukan untuk kepentingan pribadi dan merugikan orang lain. Hal

ini sesuai pernyataan bahwa:


115 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014

70
Risywah adalah pemberian yang disertai dengan harapan-harapan
tertentu dan harapan tersebut cenderung bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi.116

Dalam Islam sendiri telah dijelaskan bahwa sesuatu dapat

dikategorikan sebagai sesuatu yang haram ataupun halal adalah ketika

memiliki kebaikan yang lebih besar dari pada keburukannya dan sesuatu

dikategorikan sebagai sesuatu yang haram jika memiliki keburukan yang

lebih besar dari pada kebaikannya. Pada intinya para pemuka agama Islam

di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung bersepakat

bahwa hukum dari risywah adalah haram. Akan tetapi tidak semua

memberikan pernyataan secara langsung mengenai keharamannya, berikut

pernyataan mengenai risywah sebagai berikut:

Risywah adalah pemberian yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan


tertentu dan akan menimbulkan madharat.117

Selain hanya menguntungkan diri sendiri, risywah merupakan akad

yang ditujukan untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang

benar. Jika demikian adanya, tentu saja hal ini telah melanggar hukum,

baik itu hukum agama ataupun hukum Negara. Lebih lanjut, para pemuka

agama Islam di Kecamatan Rejotangan bahwa:

Risywah dilakukan dengan niat untuk mencari keuntungan.118

116 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad, Dari Pondok Pesantren Al-
Falah, Desa Tenggur, Pada Hari Kamis 22 Mei 2014

117 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014

71
Jika demikian adanya, maka keharaman dari risywah tidak diragukan

lagi. Ketika sebuah kegiatan tersebut adalah haram, dalam kaitannya

dengan muamalah, maka apapun yang dihasilkan dari kegiatan tersebut

adalah haram pula.

2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut


pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung

Harta ketika telah disalurkan kepada orang lain, maka praktis harta

tersebut telah berpindah milik kepada orang yang menerima harta tersebut.

Sehingga ketika telah menjadi milik penerima harta tersebut, maka orang

yang dulu memberikan harta tersebut maka dilarang untuk meminta

kembali. Akan tetapi kenyataan tidak selamanya berkata demikian,

keadaan manusia yang selalu berubah-ubah, terkadang berada pada masa-

masa yang mampu untuk menolong orang lain dan terkadang berada pada

keadaan yang membutuhkan bantuan orang lain. hal inilah yang mendasari

terjadinya perubahan status hukum dengan tanpa menghapus hukum asal

yang telah ada. Seperti Hadits Nabi berikut:

( )
Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian
memakan kembali muntahannya itu (HR. Muslim.).119

118 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014

119 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih Al-Bukhari Al-
Musamma, terj. Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 543

72
Mengenai hal tersebut, beberapa informan memiliki pemahaman hal

yang sama, yaitu sama-sama melarang meminta kembali harta yang pernah

diberikan kepada orang lain, berikut pernyataannya:

Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak


boleh atau haram, karena itu merupakan perbuatan yang hina, begitu
juga dengan hibah umra. Sedangkan hukum meminta kembali harta
yang telah dihibahkan jika yang menghibahkan adalah bapak kepada
anaknya, maka hukumnya adalah mubah.120
Akan tetapi jika harta tersebut diberikan dari bapak kepada anaknya
maka hukum meminta kembali harta hibah adalah mubah dan itu
berarti hukum selain hal tersebut adalah haram.121

Informan yang lain menyatakan bahwa hukum meminta kembali

harta yang telah diberikan kepada orang lain adalah mubah, hal ini

didasarkan bahwa harta yang telah diberikan kepada orang lain, maka

harta tersebut telah sah menjadi hak milik dari penerima hibah tersebut.

Akan tetapi hal ini juga diikuti dengan syarat-syarat tertentu untuk dapat

menjadikan pemberi hibah dapat meminta kembali harta tersebut. Syarat-

syarat tersebut adalah bahwa penerima hibah bersedia memberikan harta

tersebut kepada pemberi hibah dengan tanpa adanya paksaan. Pernyataan

dari pemuka agama Islam yang menyatakan bahwa hukum meminta

kembali harta hibah adalah mubah adalah:

Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah


mubah (tidak apa-apa), karena harta yang sudah diberikan adalah

120 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Khoir, Dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa
Panjerrejo Pada Hari Rabu 21 Mei 2014

121 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014

73
sudah sah menjadi hak milik dari penerima hibah dan jika diminta
kembali maka tidak apa-apa, akan tetapi tidak boleh memaksa.122
Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah tidak
apa-apa, karena harta tersebut adalah sudah sah menjadi milik
penerima hibah dan jika ia memberikannya maka hal tersebut
diperbolehkan.123

3. Hukum Memakan Harta Risywah Jika Tidak Mendapatkan Apa yang


Diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung

Risywah merupakan salah satu perbuatan yang diharamkan dalam

Islam, oleh karena itu bagi siapapun yang melakukannya maka baginya

adalah sebuah dosa. Keharaman dari risywah ini tidak hanya mengikat

pada pelakuknya saja, melainkan juga kepada pihak-pihak yang menerima

harta risywah dan juga kepada pihak-pihak yang menjadi perantara atas

tersalurnya harta risywah tersebut dari Al-Rasyi dan Murtasyi. Dalam

sebuah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda:


:
( )
Dari tsauban berkata : Rasulullah saw melaknat orang yang
menyuap, yang disuap, dan perantara suapan, yakni orang yang
memberikan jalan atas keduanya, (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)124

Keharaman risywah sendiri selain menyangkut pada tiga pihak yang

tersangkut hal tersebut, juga pada hartan yang menjadi obyek risywah

122 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren Al-
Falah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014

123 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah
Abdurrohim, Desa Rejotangan, Pada Hari Jumat 23 Mei 2014

124 Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin, (Jakarta:
Gema Insani, 2005), Hal. 786

74
tersebut. Dalam Islam sendiri telah di atur mengenai syarat-syarat dari

harta halal adalah halal dari cara mendapatkannya dan halal dari dzat

benda itu sendiri dan harta haram adalah harta yang didapat dengan cara

haram meskipun harta tersebut halal dzatnya atau harta yang didapat

dengan cara halal akan tetapi harta tersebut adalah harta haram dari sisi

dzatnya.

Ketika sebuah harta yang diperoleh oleh seseorang dengan cara yang

halal maka belum tentu harta tersebut halal untuk dikonsumsi. Boleh jadi

harta tersebut terbuat dari khamr (minuman keras) yang mengandung

alkohol. Ataupun sebaliknya, misalnya sebuah benda yang halal dzatnya

didapatkan dengan cara mencuri, maka benda tersebut juga haram untuk

dikonsumsi.

Berkaitan dengan rumusan masalah yang ke tiga ini,

menggabungkan kedua hal yang pada awalnya adalah sebuah perbuatan

yang haram akan tetapi keinginannya tersebut gagal karena suatu hal yang

tidak direncanakan. Hal ini menjadi sangat menarik karena terjadi

kegagalan dalam sebuah niat yang sudah terlanjur dimulai dan akad

tersebut adalah akad yang diharamkan.

Pada dasarnya hukum haruslah didasarkan pada hukum awal yang

mengikatnya. Risywah hukum awalnya adalah haram, sehingga meskipun

terjadi kegagalan niat dalam akad risywah maka hukum mengkonsumsi

harta tersebut juga tetap haram. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa:

75
Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak
mendapatkan apa yang diinginkan adalah maka haruslah dilihat
hukum dasar dari perbuatan tersebut.125

Meskipun haram, harta risywah yang sudah terlanjur diterima, tidak

semua pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan

menyatakan hal yang serupa, seperti pernyataan yang dikemukakan

sebagai berikut:

Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak


mendapatkan apa yang diinginkan adalah makruh, karena hukum
awal dari risywah adalah haram, sehingga jika dibatalkan niatnya
maka hukum memakan harta tersebut adalah makruh.126

Hal ini dikarenakan adanya sebuah alasan yaitu bahwa harta risywah

yang gagal dalam mendapatkan niatnya, maka pemberi risywah harus

membatalkan niatnya. Akan tetapi dalam pembatalan niat tersebut tidaklah

semua orang dapat melaksanaknnya dengan ikhlas, tidak menutup

kemungkinan sebagian besar orang yang melakukan hal tersebut di dalam

hatinya tidak sepenuhnya ikhlas. Sehingga terdapat unsur keterpaksaan

dalam pembatalan niat dari harta tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah

fiqh sebagai berikut:


Apa yang ketentuan hukumnya sudah berat maka tidak boleh
diperberat lagi. 127

125 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren Al-
Falah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014

126 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Amin Dari Pondok Pesantren Al-Falah
Abdurrohim, Desa Rejotangan, Pada Hari Jumat 23 Mei 2014

127 Moh. Kurdi, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), hal 138

76
Sehingga ketika sebuah ketentuan hukum menyatakan hal tersebut

sebagai suatu yang haram, ketika telah terjadi pembatalan niat risywah

maka hukumnya tidak boleh diperberat lagi dan harus diringankan.

Dengan menjadikan makruh, maka hukum risywah yang awalnya haram

telah diringankan hukumnya.

Dari empat pemuka agama Islam yang berada di wilayah Kecamatan

Rejotangan Kabupaten Tulungagung, selain memberikan hukum haram

dan makruh terhadap hukum mengkonsumsi harta risywah ketika niatnya

batal, terdapat pendapat ketiga yang menyatakan bahwa:

Hukum memakan harta risywah jika pemberi Risywah tidak


mendapatkan apa yang diinginkan adalah sesuai dengan dasar
hukum awal yaitu hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta
risywah adalah haram. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku lagi,
jika terjadi pembatalan niat dan dilaksanakan pembaruan akad, maka
hukumnya adalah mubah, seperti niatnya diperbarui dengan sedekah,
maka harta tersebut menjadi harta sedekah (shodaaqoh).128

Pernyataan diatas mensyaratkan bahwa ketika risywah tersebut batal,

maka harus ada pembaruan akad. Akad yang baru harus akad yang

diperbolehkan dalam Islam, bukan akad yang dilarang oleh Islam. Karena

pembaruan akad yang dilakukan jika melanggar hukum Islam maka akad

tersebut adalah termasuk akad yang haram dan didalam akad yang haram

tersebut maka harta yang menjadi obyek, maka hukumnya adalah tetap

haram.

4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah


Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung
128 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Asmungi, Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa
Sukorejo Pada Hari Sabtu 24 Mei 2014

77
Dalam perkembangannya, risywah tidaklah selalu bertujuan untuk

membatalkan yang haq dan membenarkan yang bathil, hal ini dikarenakan

faktor seperti keadaan sosial budaya manusia yang cenderung ingin

banyak mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat dan mudah

dengan tanpa menghiraukan ketentuan hukum yang ada. Misalnya

seseorang yang berperkara di pengadilan dengan tuduhan mencuri, antara

pihak penggugat dan tergugat. Penggugat adalah orang yang menjadi

korban pencurian yang mana yang seharusnya di hukum adalah pihak

tergugat yaitu pihak yang melakukan pencurian. Akan tetapi, pihak

tergugat telah melakukan suap kepada majlis hakim dan diketahui oleh

pihak penggugat jika yang akan memenangkan perkara tersebut adalah

pihak tergugat. Maka dengan demikian pihak penggugat diperbolehkan

melakukan risywah kepada pihak terkait agar dalam perkara tersebut yang

menang adalah dari pihak penggugat. Dalam pernyataannya pemuka

agama Islam di wilayah Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung

menyatakan bahwa:

Hukum memberi harta risywah jika tujuannya untuk kebaikan


adalah mubah, karena kebaikannya akan lebih besar dari pada
keburukannya jika tidak melakukan risywah.

Tindakan tersebut diperbolehkan karena dikhawatirakan jika tidak

dilaksanakan maka akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari

pada kabaikannya. Akan tetapi, meskipun hal tersebut diperbolehkan,

dengan harta risywah dan orang yang menerimanya terdapat perbedaan

78
pendapat diantara para informan. Pendapat yang pertama menyatakan

sebagai berikut:

.akan tetapi bagi penerima harta risywah tersebut hukumnya tetap


haram.129

Penerima risywah hukumnya adalah dosa, karena sebagai pihak

penengah yang mengatasi perkara diatas, yang seharusnya tidak memihak

apapun, akan tetapi dalam kenyataannya memihak salah satu pihak yang

bersalah dan melakukan suap. Sehingga dalam masalah risywah ini yang

bersalah bukanlah pihak yang penggugat yang melakukan suap akan tetapi

adalah pihak yang menjadi penengah dari perkara tersebut. Rasulallah

SAW bersabda:


:
:
: :

) (
Dari Ibnu Umar R.A, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya ada salah seorang diantara kamu keluar dari
rumahku dengan membawa sedekah yang disembunyikan
diketiaknya, padahal sedekah itu hanya umpan neraka. Kemudian
Umar bertanya: Ya Rasulallah! Mengapa engkau beri padahal
engkau tau, bahwa sedekah itu merupakan bara api untuknya?
Maka, jawab Nabi, apa yang harus saya perbuat baginya?
Sedangkan mereka terus menerus minta kepadaku dan saya sendiri
dilarang Allah berlaku bakhil. (H.R. Abu yala dan Ahmad)

129 Hasil Wawancara Dengan Bapak. Mawahhibus Shomad Dari Pondok Pesantren Al-
Falah, Dusun Padangan, Desa Karangsari Pada Hari Kamis 22 Mei 2014

79
Risywah yang demikian tidaklah mudah untuk dilaksanakan, karena

mengingat hukum asal dari risywah adalah haram. Maka manusia sebagai

pelaku dalam kehidupan sosial, harus berikhtiyar dengan sungguh-

sungguh. Risywah yang demikian adalah alternatif penyelesaian masalah

yang terakhir, ketika masih ada jalan yang lain, maka jalan tersebutlah

yang harus ditempuh. Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa:

Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat, maka mafsadat


yang paling besar harus dilindungi dengan melakukan mafsadat
yang lebih kecil.130
C. Pembahasan

Secara keseluruhan terdapat empat pemuka agama Islam, yang tersebar

di wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Adapun para

pemuka agama Islam tersebut adalah:

1. Bpk K.H. Mawahhibus Shomad dan Bpk Ustadz Kozin, dari Pondok

Pesantren Al-Falah dari, Dusun Padangan, Desa Karangsari, Kec.

Rejotangan.

2. Bpk K.H. Amin, Pondok Pesantren Al-Falah Abdurrohim, Desa

Rejotangan.

3. Bpk. K.H. Asmungi, dari Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Desa Sukorejo.

4. Bpk. K. Khoir, dari Pondok Pesantren Sirojuddin, Desa Panjerrejo.

Meskipun secara umum beraliran NU, akan tetapi dari para Pemuka

Agama Islam tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal ini bukan

130Moh. Kurdi, Kaidah, hal. 56

80
tanpa alasan, dilatar belakangi oleh pendidikan yang berbeda, kitab yang

dipelajari dan atau bahkan hingga sampai pada perbedaan pemahaman

terhadap suatu teks yang sama. Hal ini menjadikan perbedaan yang

sebenarnya jika ditelaah lebih mendalam maka akan memberikan

keanekaragaman pemikiran dan kerelaan untuk mengikuti yang sesuai dengan

hati nurani masyarakat.

1. Perbedaan Hibah dan Risywah menurut pandangan pemuka agama


Islam di Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung

Secara umum, hibah dan risywah adalah sama-sama memberikan

sejumlah harta kepada orang lain, sehingga keduanya memiliki kesamaan

dalam masalah penyaluran harta. Dengan demikian memberikan gambaran

bahwasannya pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

secara lahiriyah adalah sama, akan tetapi tidak demikian jika ditelisik

secara lebih mendalam.

Pada dasarnya hibah dan risywah memiliki perbedaan yang

mendasar, yaitu dari sisi hukum ataupun niatnya. Akan tetapi karena

memiliki kesamaan dalam praktiknya maka cenderung banyak orang

kesulitan membedakan mana yang termasuk kedalam hibah dan mana

yang termasuk kedalam risywah.

Hibah yang dilakukan atas dasar kerelaan, dan tanpa mengharapkan

imbalan apapun, merupakan salah satu metode penyaluran harta yang

diperbolehkan oleh Islam, sehingga melaksanakan hibah adalah murni

karena ingin membantu sesama.

81
Risywah dilakukakn atas tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya

dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Risywah secara

umum dilakukan untuk mengalahkan yang benar dan membenarkan yang

salah, meskipun itu hnya bersifat pribadi, akan tetapi hal tersebut akan

memberikan dampak keburukan yang lebih besar dari pada kebaikannya.

Dengan demikian maka hukum risywah adalah haram. Risywah yang

diharamkan, tidak hanya haram dari pihak yang melakukan suap (Al-rasyi)

saja, melainkan juga penerima suap (Al-murtasyi), perantaranya dan

bahkan hingga obyek yang digunakan sebagai alat untuk menyuap tersebut

juga menjadi haram meskipun pada awalnya harta tersebut adalah harta

yang halal baik dari dzat ataupun cara mendapatkannya.

2. Hukum Meminta Kembali Harta Yang Telah Dihibahkan menurut


pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan Rejotangan
Kabupaten Tulungagung

Harta yang sudah diberikan dan sudah diterima oleh penerimanya,

maka kepemilikan harta tersebut telah berpindah ke penerima harta

tersebut. Dengan demikian, jika pemberi harta meminta kembali harta

yang sebelumnya telah ia berikan maka hukumnya mubah. Akan tetapi

sesuai dengan hadits Rasulallah SAW yang berbunyi:

( )
Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian
memakan kembali muntahannya itu (HR. Muslim.).131

131 Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtshar Shahih,hal. 543

82
Sesuai dengan hadits tersebut, menggambarkan betapa hinanya

orang yang meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada orang

lain, yang diibaratkan dengan anjing yang memakan kembali

muntahannya, menggambarkan perbuatan yang sangat hina. Sehingga

meskipun hukumnya adalah mubah, akan tetapi hal tersebut merupakan

perbuatan yang seharusnya dihindari.

Perbuatan hina yang dilakukan oleh pemberi dengan meminta

kembali harta yang telah dberikan, tidak berlaku bagi seorang bapak yang

meminta kembali harta yang telah diberikannya kepada anaknya. Hal ini

didasarkan atas sabda Nabi yaitu:

: ,

(
)
Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: haram
bagi seseorang Muslim memberi sesuatu kepada orang lain
kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada
anaknya.(H.R. Ibnu Abbas).132

Dengan demikian maka, hukum meminta kembali harta yang

diberikan bapak kepada anaknya adalah merupakan pengecualian dan

bukan merupakan perbuatan yang hina.

Secara umum menurut para pemuka agama diwilayah Kecamatan

Rejotangan, Kabupaten Tulungagung menyatakan bahwa meminta kembali

harta yang telah diberikan hukumnya adalah mubah, dan harus dilakukan

132 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hal. 329

83
atas dasar kerelaan tidak dengan memaksa. Karena jika dilakukan disertai

dengan pemaksaan maka hal ini berubah menjadi tindak pidana.

3. hukum memakan harta risywah jika tidak mendapatkan apa yang


diinginkan menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung

Hukum memanfaatkan atau mengkonsumui harta risywah jika tidak

mendapatkan apa yang diinginkan adalah sebagian pemuka agama Islam

menyatakan hukumnya adalah makruh, karena harta tersebut pada awalnya

diniatkan sebagai risywah dan praktis harta tersebut hukumnya adalah

haram, akan tetapi dengan adanya pembatalan niat risywah yang semula

maka harta tersebut berubah menjadi makruh. Hal ini tetap dihukumi

makruh karena pembatalan niat yang dilakukan tidak sepenuhnya

didasarkan atas keikhlasan yang tulus, sehingga keikhlasan yang diberikan

adalah keikhlasan yang didasarkan atas keterpaksaan.

Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya

adalah dapat beralih status hukum yaitu menjadi shodaqah. Hal ini

didasarkan bahwasannya harta yang diniatkan pertama hukumnya haram,

yang kemudian dibatalkan niatnya maka harta tersebut tidak dapat beralih

status sebagai harta hibah, melainkan menjadi shodaqah, karena diberikan

atas dasar kerelaan dan hanya mengharap ridlo dari Allah SWT.

Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa harta tersebut hukumnya

adalah tetap haram, didasarkan pada niat pertama sebagai harta risywah,

maka meskipun dilakukan pembatalan niat karena niat risywah tersebut

dibatalkan. Akan tetapi perbaruan akad tersebut tidak dilaksanakan atas

84
dasar keikhlasan yang tulus sejak awal, sehingga harta tersebut hukumnya

adalah tetap haram meskipun ada perubahan niat.

4. Risywah Untuk Mempertahankan Kebenaran atau Mencegah


Kezaliman menurut pandangan pemuka agama Islam di Kecamatan
Rejotangan Kabupaten Tulungagung

Menyuap (risywah) jika tujuannya untuk kebaikan maka hukumnya

adalah mubah, karena dilakukan bukan untuk keuntungan pribadi,

melainkan untuk keselamatan ataupun untuk kemaslahatan umat. Hal ini

terdapat dua pendapat yang dikemukakan oleh pemuka agama Islam di

wilayah Kecamatan Rejotangan. Pendapat pertama menyatakan bahwa

hukum risywah jika dilakukan untuk kebaikan adalah halal dan haram.

Halal dilakukan oleh pemberi risywah, karena dia melakukan bukan atas

dasar keuntungan dan baginya tidak mendapat dosa, akan tetapi haram

bagi penerima risywah, karena dia menerima harta suap tersebut yang

mana seharusnya dia memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada

pihak yang memberikan risywah dengan tanpa harus melakukan risywah.

Pendapat yang kedua adalah halal bagi pemberi riyswah, harta

risywah, perantara risywah dan penerima risywah. Hal ini dikarenakan

risywah yang dilakukan atas dasar keterpaksaan yang mana hukumnya

adalah halal. Dengan demikian maka semua pihak dan obyek risywah

hukumnya adalah mubah.

85
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
a. Perbedaan hibah dan risywah adalah terletak pada sisi hukum dan pada

niatnya. Hibah memiliki hukum halal karena dilakukan dengan niat yang

baik, yaitu dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun (ikhlas),

sedangkan risywah hukumnya haram karena dilakukan atas dasar untuk

mencari keuntungan pribadi dan cenderung merugikan orang lain.

86
b. Hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan adalah mubah, akan

tetapi harus atas dasar kerelaan (tidak ada unsur paksaan). Pendapat yang

lain menyatakan hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan

adalah haram, kecuali jika hibah yang dilakukan oleh bapak kepada

anaknya.

c. Hukum memanfaatkan atau mengkonsumsi harta risywah jika dibatalkan

niatnya adalah kembali ke hukum awal dari risywah tersebut, yaitu haram.

Akan tetapi harta tersebut dapat berubah menjadi halal (mubah) jika ada

pembaruan akad, misalnya dengan disedekahkan, dihibahkan, diwakafkan

dan lain-lain.

d. Hukum memberi harta risywah jika bertujuan untuk mempertahankan

kebenaran atau mencegah kezaliman adalah mubah dan bahkan dapat

menjadi wajib, hal ini dikarenakan tidak ditujukan untuk keuntungan

pribadi, melainkan untuk kemaslahatan dan jika tidak melakukannya maka

akan menimbulkan keburukan yang lebih besar dari pada jika tidak

melakukannya.

B. SARAN
1. Skripsi ini hanya membahas hibah dan risywah dari sisi budaya yang

didasarkan atas pendapat pemuka agama Islam di wilayah Kecamatan

Rejotangan, Kabupaten Tulungagung sehingga penelitian berikutnya

diharapkan:

a. Dapat meneliti hibah dan risywah dari sisi hukuman (sanksi) yang

ditetapkan baik itu yang terdapat dalam hukum positif ataupun hukum

Islam.

87
b. Dapat meneliti hibah dan risywah dengan membandingkan antar

keyakinan beragama.

2. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

kualitatif, sehingga penelitian berikutnya dapat menggunakan metode

kuantitatif atau kepustakaan.

3. Seharusnya para Pemuka Agama tidak hanya menyampaikan masalah

hibah dan risywah kepada para santri-santrinya saja, melainkan juga

kepada masyarakat secara umum, seperti khutbah, ceramah dan lain-lain.

4. Dalam ceramah yang mendatangkan Mubaligh atau metode dakwah yang

lain dan bahkan dalam majlis talim sekalipun, seharusnya tidak hanya

menyinggung dan membahas mengenai fiqh ibadah saja, sehingga

menjadikan sebuah persepsi bahwa Fiqh Muamalah adalah didasarkan

pada budaya. Dengan demikian, maka masyarakat akan mengetahui

bahwasannya fiqh tidak hanya membahas masalah ibadah saja.

5. Seharusnya para calon pejabat (calon legislatif, calon kades dan lain-lain)

selalu diberi pengawasan oleh masyarakat untuk tidak melakukan praktik

suap menyuap, sehingga budaya suap menyuap yang ada dapat ditekan dan

sedikit demi sedikit akan hilang.

88
DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nasshiruddin. 1995. Silsilatul-Ahaadiits Adh-Dhaifah


Wal-Maudhuah. terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani.
Al-Malibary, Syeh Zainuddin bin Muhammad Al Ghozaly, Fathul Muin jilid 2,
terj. Aliy Asad. TT. Yogyakarta: Menara Kudus.
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Anwar,Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Arifin,Muhammad Nurul. 2009. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam
Perspektif Fiqih Jinayah. TK: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI.
Arikunto, Suharsismi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.Az-
Zabidi, Al-Imam Zainudun Ahmad bin Abd Al-Lathif. Mukhtshar Shahih
Al-Bukhari Al-Musamma, terj. Achmad Zaidun. 2002. Jakarta: Pustaka
Amani.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalah Sistem Transaksi Islam.
Jakarta: Amzah.

89
Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Sosial: Format 2 Kualitatif.
Surabaya: Airlangga University Press.
Buletin Jurdil edisi Larangan Politik UangMoney Politik FA, 02 Februari 2012
Dewi, Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian
Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fatoni, Abdurrahman. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hafidudin, Didin. 2004. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani.
Hasan, M. Ali. 2003Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hasan, Ali. 2009. Manajemen Bisnis Syariah Kaya di Dunia Terhormat di
Akhirat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://abufawaz.wordpress.com/2012/10/05/suap-menyuap-yang-halal-dan-yang-
haram-dalam-agama-islam/, diakses pada 20 Maret 2014, pkl. 21.30 WIB
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080908073850AAeu2zt,
diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB
http://jabal-uhud.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:
suap-dalam-perspektif-islam&catid=28:khutbah-jumat&Itemid=48,
diakses pada 20 Maret 2014, pkl 21.00 WIB
http://lib.umpo.ac.id/gdl/files/disk1/4/jkptumpo-gdl-pamujiadna-167-1-abstrak-
i.pdf , diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=21064 , diakses 31 maret
2014, pkl 10.30WIB
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/10/makalah-hadis-suap-
menyuap.html, diakse pada 21 Maret 2014, pkl 20.00 WIB
http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQFjAA&url
=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id
%2F17645%2F1%2FPRASTOWO_HENDARSANTO.pdf&ei=0uQ4U7H

90
kKISFrAeXsIGgAQ&usg=AFQjCNFWosMbOOyMrs2tWTyVfXuQGtmst
A&bvm=bv.63808443,d.bmk, diakses 31 maret 2014/ pkl 10.30 WIB
http://www.antaranews.com/berita/408845/ketika-penghulu-menolak-
menikahkan-di-hari-libur, diakses pada 6 Mei 2014, Pkl. 12.00 WIB
http://www.referensimakalah.com/2013/06/Suap-Risywah-menurut-Hukum-
Islam-dan-Hukum-Positif.html, diakses 20 maret 2014, pkl. 21.30 WIB
Huda,Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras.
Karim, Adiwarman. 2009. Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali Pers.
Karim, Adiwarman. 2009. Bank Islam: Analisis Keuangan. Jakarta: Jajawali Pers.
Kurdi, Moh. 2008. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta Barat: CV Artha Rivera.
Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. 2004. Hukum Perjanjian dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Masadi,Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Konstektual. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Masudi, Masdar F. et. all. 2003. Fiqh Korupsi Amaman VS Kekuasaan. Mataram:
Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB.
Muhammad, Syaikh Al Alamah. Rahmah al Ummah fi Ikhtilafi al Aimmah,
terj. Abdullah Zaki Alkaf. 2004. Bandung: Hasyimi Press.
Muhsin,Abdullah Bin Abdul. 2001. Jariimatur-Rasyati Fisy-Syariiatil
Islamiyyati, terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi. Jakarta: Gema
Insani.
Moeloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakaerya.
Nawawi, Imam. TT. Hadits Arbain Nawawi, Terj. Abdul Murhaimin Asad.
Surabaya: Ar-Rohmah.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu
Surabaya.
Qardhawi, Yusuf. 2005. Hadyul Islam Fatawi Muashirah, Terj. Asad Yasin.
Jakarta: Gema Insani.

91
Qardhawi, Yusuf. 1977. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
diterjemahkan oleh Didin Hafidudin, Setiawan
Budiutomo dan Aumur Rofiq Saleh Tamhid. Jakarta: Robbani Pers.
Rivai,Veitzal. 2011. Islamic Transaction Law In Business Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta: Sinar Grafika.
Rasyid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Rosyid,Miftah Noor. 2010. Analisis Terhadap Pendapat Imam Malik Tentang
Kebolehan Hibah Umra. Semarang: Skripsi Tidak Diterbitkan.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Salim. 2005. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
Subana. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
________. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supardi. 2005. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII
Press.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Tafsir Quran Karim, terj. Mahmud Yunus, PT Hidakarya Agung: Jakarta.
Tanzeh, Ahmad dan Suyetno. 2006. Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: eLKAF.
___________. 2006. Kitab undang-undang perdata=burgerlijk wetboek : dengan
tambahan undang-undang pokok agrarian dan undang-undang
perkawinan, terj. R. Subekti dan R. tjitrosudibio. Jakarta: pradnya
paramita.

92
BIODATA PENULIS

Nama : Sulhan Wahib

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat/Tanggal Lahir : Tulungagung, 16 Januari 1990

Alamat : RT/RW: 03/01, Desa Buntaran, Kec. Rejotangan,


Kab. Tulungagung

Fakultas/Jurusan : Syariah dan Ilmu Hukum/ Hukum Ekonomi


Syariah

NIM : 3221103023

Riwayat Pendidikan :

- RA Halimah Assadiyah : 1995-1996


- MI MMU Buntaran : 1996-2002
- MTsN Aryojeding : 2002-2005
- MAN 3 Tulungagung : 2005-2008
- IAIN Tulungagung : 2010- sekarang

93
94
95
PEDOMAN INTERVIEW

9. Apa perbedaan antara hibah dan risywah?

10. Bagaimana hukum meminta kembali harta yang telah dihibahkan?

11. Bagaimana hukum memakan harta risywah (jika pemberi risywah tidak

mendapatkan apa yang diinginkan)?

12. Bagaimana hukum risywah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah

kezaliman?

96
BAB IV
HIBAH
Bagian Pertama
Rukun Hibah dan Penerimaannya
Pasal 692
(1) Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul.
(2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima
hibah..
Pasal 693
Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang
mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma.
Pasal 694
Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang
penghibah memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah.
Pasal 695
Pengiriman dan penerimaan barang hibah dan shadaqah adalah sama dengan
pernyataan lisan dalam ijab dan kabul.
Pasal 696 Penerimaan barang dalam transaksi hibah seperti penerimaan dalam
transaksi jual beli.
Pasal 697
Diharuskan ada izin dari penghibah baik secara tegas atau samar dalam
penerimaan barang hibah.
Pasal 698
Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah member izin kepada
penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah.
Pasal 699
Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang
hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai hibah,
baik ditempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka berpisah. Jika
izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya berlaku sepanjang
mereka belum berpisah di tempat itu.

97
Pasal 700
Seorang pembeli boleh secara sah memberikan suatu hibah kepada pihak ketiga,
meskipun ia belum menerima penyerahan barang itu dari penjual, dan ia meminta
penerima hibah untuk mengambilnya.
Pasal 701
Barangsiapa yang menghibahkan barang kepada seseorang yang barang tersebut
telah ada di tangan sipenerima hibah, maka penyerahan itu sudah lengkap, tidak
diperlukan penerimaan dan penyerahan kedua kalinya.
Pasal 702
Hibah dapat terjadi dengan cara pembebasan utang dari orang yang memiliki
piutang terhadap orang yang berutang dengan syarat orang yang berutang tidak
menolak pembebasan utang tersebut.
Pasal 703
Hibah dapat terjadi dengan cara seseorang memberikan harta kepada orang lain
padahal harta tersebut merupakan hibah yang belum diterimanya dengan syarat
penerima hibah yang terakhir telah menerima hibah tersebut.
Pasal 704
Transaksi hibah dinyatakan batal jika salah seorang dari penghibah atau penerima
hibah meninggal dunia sebelum penyerahan hibah dilaksanakan.
Pasal 705
Dalam hal hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sudah
dewasa, harta yang diberikan sebagai hibah itu harus diserahkan dan harus
diterima oleh anak tersebut.
Pasal 706
Hibah terjadi bila seorang anak menerima hibah dari walinya meskipun harta yang
dihibahkan itu belum diterima atau dititipkan pada pihak ketiga.
Pasal 707
Suatu hibah yang diberikan kepada seorang anak bisa dinyatakan transaksi hibah
telah terjadi dengan sempurna, bila walinya atau orang yang dikuasakan untuk
memelihara dan mendidik anak itu mengambil hibah tersebut.

98
Pasal 708
Jika si penerima hibah adalah seorang anak yang sudah cakap bertindak
(mumayiz), maka transaksi hibah itu dianggap telah sempurna bila anak itu sendiri
yang mengambil langsung hibah itu, meskipun ia mempunyai seorang wali.
Pasal 709
Suatu hibah yang baru akan berlaku pada waktu yang akan datang, maka transaksi
hibah itu tidak sah.
Pasal 710
Transaksi hibah adalah sah dengan syarat dan syarat tersebut mengikat penerima
hibah.
Bagian Kedua
Persyaratan Akad Hibah
Pasal 711
Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus sudah ada pada saat akad
hibah.
Pasal 712
(1) Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta
penghibah.
(2) Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila
pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan setelah
harta tersebut diserahkan.
Pasal 713
Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.
Pasal 714
Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa.
Pasal 715
Hibah menjadi batal bila hibah tersebut terjadi karena ada paksaan

99
Bagian Ketiga
Menarik Kembali Hibah
Pasal 716
Penerima hibah menjadi pemilik harta yang dihibahkan kepadanya setelah
terjadinya penerimaan harta hibah.
Pasal 717
Penghibah dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum
harta hibah itu diserahkan.
Pasal 718
Jika penghibah melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya setelah
transaksi hibah, berarti ia menarik kembali hibahnya itu.
Pasal 719
Penghibah dapat menarik kembali harta hibahnya setelah penyerahan
dilaksanakan, dengan syarat si penerima menyetujuinya.
Pasal 720
Jika seorang penghibah menarik kembali barang hibahnya yang telah diserahkan
tanpa ada persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa keputusan Pengadilan,
maka penghibah adalah orang yang merampas barang orang lain; dan apabila
barang itu rusak atau hilang ketika berada ditangannya, maka ia harus mengganti
kerugian itu.
Pasal 721
Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anak-anaknya,
atau kepada saudara laki-laki atau perempuannya, atau kepada anak-anak
saudaranya, atau kepada paman-bibinya,
maka ia tidak berhak menarik kembali hibah itu setelah transaksi hibah.
Pasal 722
Jika suami atau isteri, tatkala masih dalam ikatan pernikahannya, saling memberi
hibah pada yang lain, mereka tidak berhak menarik kembali hibahnya masing-
masing setelah adanya penyerahan harta.

100
Pasal 723
Jika sesuatu diberikan sebagai pengganti harta hibah dan diterima oleh penghibah,
maka penghibah itu tidak berhak menarik kembali hibahnya.
Pasal 724
Jika sesuatu ditambahkan dan menjadi bagian yang melekat pada harta hibah,
maka hibah itu tidak boleh ditarik kembali. Tetapi suatu penambahan yang tidak
menjadi bagian dari suatu barang hibah, tidak menghalangi dari kemungkinan
penarikan kembali.
Pasal 725
Jika orang yang menerima hibah memanfaatkan kepemilikannya dengan cara
menjual hibah itu atau membuat hibah lain dari hibah itu dan memberikannya
kepada orang lain, maka penghibah tidak mempunyai hak untuk menarik kembali
hibahnya.
Pasal 726
Jika barang hibah itu rusak ketika sudah berada di tangan orang yang menerima
hibah, barang hibah seperti itu tidak boleh ditarik kembali.
Pasal 727
Dalam hal penghibah atau penerima hibah meninggal dunia, maka hibah itu tak
dapat ditarik kembali.
Pasal 728
Suatu shadaqah tidak dapat ditarik kembali jika sudah diserahkan dengan alasan
apa pun.
Pasal 729
Jika seseorang mengizinkan orang lain untuk memakan suatu makanan, maka
orang yang diberi izin setelah mendapatkannya tidak boleh bertindak seolah-olah
barang itu miliknya; misalnya dengan cara menjualnya, atau menghibahkan
barang itu untuk diberikan kepada orang ketiga Tetapi ia boleh memakan makanan
itu dan pemiliknya tidak dapat menuntut harga barang yang telah dimakannya.

Pasal 730

101
Hadiah yang diberikan pada saat selamatan khitanan atau pesta pernikahan adalah
milik orang-orang yang diniatkan untuk diberi oleh si pemilik itu. Jika mereka
tidak mampu mengetahui untuk siapa dan masalah itu tidak dapat diselesaikan
oleh mereka, maka masalah itu harus diselesaikan dengan berpegang kepada adat
kebiasaan setempat.

Bagian Keempat
Hibah Orang yang Sedang Sakit Keras
Pasal 731
Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh kekayaannya
pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu menyerahkan hibah itu,
maka hibah tersebut adalah sah, dan
bait al-mal (balai harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan
dengan barang peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.
Pasal 732
Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan, atau seorang isteri yang tidak
mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh kekayaannya kepada
isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka sedang menderita sakit keras
dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu adalah sah, dan bait almal tidak
mempunyai hak untuk campur tangan pada harta peninggalan dari salah seorang
dari mereka yang meninggal.

102

You might also like