You are on page 1of 31

TUGAS HUKUM INVESTASI DAN PASAR MODAL

INVESTASI

Tinjauan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kewajiban
Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) Dalam Melakukan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral Logam Hasil Kegiatan Usaha Pertambangan
Dalam Negeri

Disusun Oleh:
1. Anastasia Alfani (1506806455)
2. Ani Laraswati (1506806461)
3. Anjar Koholifano Mukti (1506806474)
4. Armansyah L. G. (1506806493)

Hukum Ekonomi
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2016
ABSTRACT

Indonesia is blessed with abundant natural resources including minerals (minerals)


derived from mining activities. Mines and Minerals is a natural resource that is not renewable
(non-renewable) that is controlled by the state and its utilization is used for the greatest
prosperity of the people. Therefore, the management of mining and minerals should provide
added value to the national economy. To achieve this question, the management of mineral must
berazazkan to benefit, justice and balance as well as siding with the interests of the nation. Law
No. 4 of 2009 on Mineral and Coal marks a new era in mining where there are new provisions
that indicate a paradigm shift in the management of mineral resources and coal. One such shift is
related to the obligation of value added metal mineral resources conducted by management and
purification in the country. This change resulted in lawsuits related to the management
arrangements and refining the metal mineral resources.
From the above background, issues arise regarding regulatory policy processing and
refining of metallic minerals in the country along with the sanctions by statutory laws and
regulations of Indonesia, the legal consequences arising for IUP and Production Operation IUPK
holders after setting about managing and refining of metallic minerals in the country related with
the making of investments in Indonesia, and an analysis of the verdict of the lawsuit related to
the management arrangements and the purification of metal mineral resources on the
Constitutional Court decision No. 10 / PUU-XII / 2014.
From the results of this study, it can be concluded that many perpetrators of mining
activities less heed to Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal. This happens because of weak
supervision and guidance of the Central Government Local Government maupaun. Some
substances in Act No. 4 of 2009 on Mineral and Coal in particular regarding the obligations of
the increase in value added, which is the licensing activities of processing and refining or
construction of the smelter need was reaffirmed in order not to impede the increase of value
added in the processing and refining, if need be given tougher sanctions. This is done to provide
value-added sector of mineral and coal, so that the arrangements regarding the obligations of
processing and refining that is the spirit downstream should be further strengthened in the change
of Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal, that will not happen anymore judicial review of
regulations law-related liabilities in the mining business activities in general and purification
processing activities in order to increase the added value in particular.

Keywords: Increasing Values Added, Processing and Refining, Smelter, IUP and IUPK Holders.

1
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia dianugrahi Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah termasuk bahan galian
(barang tambang) yang diperoleh dari kegiatan pertambangan, yang meliputi minyak bumi,
batubara, gas bumi, emas, perak, tembaga, dan berbagai macam bahan galian lainnya. 1
Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non
renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatannya digunakan untuk sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat.Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus memberi nilai
tambah bagi perekonomian nasional.Untuk mencapai hal dimaksud, pengelolaan pertambangan
mineral harus berazazkan kepada manfaat, keadilan dan keseimbangan serta keberpihakan
kepada kepentingan bangsa dan negara.
Ketergantungan Negara akan bahan galian sebagai modal untuk pembangunan Negara
yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sangat tinggi sebagaimana tercantum dalam
Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (3), yaitu:
"Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "
Rumusan konstitusi tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki kedaulatan atas
sumber daya alamnya, termasuk kekayaan mineral dan batubara, oleh karena itu investasi asing
yang memiliki maksud untuk mengelola kekayaan alam tersebut harus sejalan dengan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh regulator.
Salah satu sumber daya alam yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
adalah pertambangan. Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam hasil tambang berupa minyak
bumi, batu bara, tembaga, timah, granit, dan beberapa hasil tambang lainnya. Pulau Kalimantan
menyimpan kekayaan tambang berupa batu bara dan minyak bumi. Pulau Jawa yang memiliki
hasil tambang berupa minyak bumi, bijih besi, granit, dan hasil tambang lainnya. Di Pulau
Sulawesi tersebar hasil tambang mangaan, fosfat, tembaga, nikel, dan beberapa hasil tambang
lainnya, dan di pulau paling timur di Indonesia yaitu Jayapura menyimpan kekayaan tambang
minyak bumi, emas, perak, dan beberapa hasil tambang lainnya.
Dalam rangka mengatur sektor pertambangan tersebut, pada tahun 1967 pemerintah
Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967). Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan setelah diawali
dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967). Seiring dengan dinamika pemikiran pasca reformasi,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi
yang ingin dijalankan oleh pemerintah, khususnya di bidang pertambangan. Oleh karena itu
ditetapkanlah Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967,
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia penguasaan terhadap
bahan galian dimiliki oleh Negara, yang diwakili oleh Pemerintah sebagai penyelenggara
mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian. 2 Dalam
pengusahaan bahan galian, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk
kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjan-pekerjaan yang tidak atau belum
1
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 2-3.
2
Salim H.S., Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 1.

2
dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.3 Pada prinsipnya kegiatan pertambangan
membutuhkan modal yang besar, peralatan yang berat dan keahlian. Oleh karena itu, pemberian
Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diberikan kepada
perusahaan yang memenuhi kriteria diatas.4 Namun pada pelaksanaanya kegiatan penambangan
pemegang IUP atau IUPK lebih memilih menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pekerjaan
diluar pekerjaan utama pemegang IUP atau IUPK. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
jasa kontraktor memiliki akses ke peralatan berat dan lebih berpengalaman dalam mengoprasikan
alat berat dalam skala besar.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menandai era baru di bidang pertambangan
dimana terdapat ketentuan-ketentuan baru yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma
dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batubara. Salah satu pergeseran tersebut ialah
terkait dengan kewajiban peningkatan nilai tambah sumberdaya mineral logam yang dilakukan
dengan pengelolaan dan pemurnian dalam negeri. Atas perubahan ini mengakibatkan adanya
permohonan uji materiil terkait dengan pengaturan pengelolaan dan pemurnian sumberdaya
mineral logam tersebut.
Tulisan ini akan mengkaji mengenai Tinjauan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kewajiban Pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam Melakukan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral Logam Hasil Kegiatan Usaha Pertambangan Dalam Negeri,
dengan permasalahan, yakni:
1.1.1 Bagaimana pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam dalam negeri menurut
peraturan perundang-undanganIndonesia dan sanksi bagi Perusahaan Pertambangan
Pemegang Izin Usaha Produksi (IUP) dan Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK) yang
melanggar ketentuan Undang-Undang?
1.1.2. Bagaimana akibat hukum yang timbul bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi akibat adanya
ketentuan mengenai pengelolaan dan pemurnian mineral logam dalam negeri terkait
dengan penanaman modal atau investasi di Indonesia?
1.1.3. Bagaimana analisis penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terkait kewajiban
perusahaan pertambangan pemegang IUP dan IUPK dalam melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri (studi Putusan MK No. 10/PUU-
XII/2014)

2. Pengaturan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri


menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Sanksi bagi
Perusahaan Pertambangan Pemegang Izin Usaha Produksi (IUP) dan Izin
Usaha Produksi Khusus (IUPK) yang Melanggar Ketentuan Undang-
Undang
Pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam menurut peraturan Perundang-
undangan Indonesia diatur melalui Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Setiap peraturan tersebut sangat berkaitan
erat antara sama dan lain, terutama Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM sebagai
3
Loc. Cit.
4
Egenius Soda, Prospek Batubara Terbaik, Majalah Tambang, Desember 2008, hal. 54.

3
peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut. Pada bagian ini akan membahas mengenai
aturan-aturan apa sajakah terkait dengan pengolahan dan pemurnian mineral logam tersebut
beserta dengan sanksinya apabila tidak dijalankan.
2.1. Pengaturan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Logam Menurut Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia bagi Perusahaan Pertambangan
2.1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Pengertian pengolahan dan pemurnian menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) adalah
kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk
memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.5 Pengertian pengolahan ini adalah upaya untuk
meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia
yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat Mineral Logam
atau batuan yang dipoles.6Sedangkan pengertian pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan
mutu Mineral Logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut
untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara
lain berupa logam dan logam paduan.7 Dalam artikel Definisi Pengolahan dan Pemurnian
Belum Jelas sebagaimana dilansir dalam website Asosiasi Pertambangan Indonesia dijelaskan
bahwa menurut ahli pertambangan Kurtubi, pemurnian adalah pekerjaan pengolahan atau
pengilangan untuk memurnikan atau meninggikan kadar bahan galian dengan memisahkan
mineral berharga yang tidak berharga. Selanjutnya membuang mineral yang tidak berharga
tersebut, yang dapat dilakukan dengan cara kimia. Sedangkan pengolahan (Treatment) adalah
proses untuk menyiapkan bahan mentah mineral untuk diolah lebih lanjut sekaligus diolah untuk
menjadi produk akhir.8 Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa
kegiatan pengolahan dan pemurnian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas mineral hasil
pertambangan yang dilakukan dengan cara melalui serangkaian kegiatan proses teknik tertentu
dalam bidang pertambangan.
Kewajiban hukum menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bagi pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian mineral terdapat dalam Pasal 102 dari Undang-Undang
tersebut yang menyebutkan bahwa:
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan pertambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.
Lalu kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral ini wajib dilakukan dalam negeri
wilayah Republik Indonesia. Dasar hukum yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian terdapat

5
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun 2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor
4959, Pasal 1 Angka 20.
6
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan
Penjual Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, BN Nomor 185 Tahun 2016, Pasal 1
Angka 11.
7
Ibid., Pasal 1 Angka 12.
8
Rangga Prakoso dan Wahyu Sudoyo, Definisi Pengolahan dan Pemurnian Perlu Diperjelas, Beritasatu.com, 7 Januari 2014, http://www.ima-
api.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1456:definisi-pengolahan-dan-pemurnian-perlu-diperjelas&catid=47:media-
news&Itemid=98&lang=id (Diunduh 29 Februari 2016)

4
dalam Pasal 103 Ayat (1) dari Undang-Undang tersebut. Adapun Pasal 103 Ayat (1) ini
menerangkan:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan dalam negeri.
Dalam hal melakukan pengolahan dan pemurnian mineral ini, pemerintah memberikan
pilihan bagi para pihak pemegang IUP dan/atau IUPK untuk saling bekerjasama dalam hal
melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut. Adapun dasar hukum yang
memperkenankan atas perbuatan kerjasama ini terdapat dalam Pasal 103 Ayat (2) dari Undang-
Undang tersebut, yang berbunyi:
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengolah dan
memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa pemegang IUP dan IUPK memiliki kewajiban untuk
melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian atas mineral hasil pertambangannya dan
kegiatan ini harus dilakukan dalam wilayah negeri Indonesia.
Bahwa telah diketahui dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 hanya mengatur
kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri hanya bagi pemegang IUP dan IUPK, akan
tetapi dalam Undang-Undang ini pun mengatur pihak lain terkait dengan kewajiban tersebut.
Pihak yang turut diatur tersebut ialah pemegang Kontrak Karya. Definisi dari Kontrak Karya
adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum
Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha penambangan bahan
galian mineral, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batubara. 9
Sedangkan definisi Kontrak Karya menurut H. Salim HS., S.H., M.S. adalah suatu perjanjian
yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau
merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan
kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan
jangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak.10 Pemegang Kontrak Karya yang telah
menandatangani perjanjian Kontrak Karya sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tetap memberlakukan perjanjian tersebut.11 Akan tetapi pemegang Kontrak Karya tersebut
haruslah menyesuaikan klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian tersebut dengan Undang-
Undang ini kecuali mengenai hal pendapatan negara tentang upaya pendapatan negara.12
Kewajiban mengenai pengolahan dan pemurnian bagi pemegang Kontrak Karya sama
dengan pemegang IUP dan IUPK. Akan tetapi kewajiban bagi pelaksana Kontrak Karya ini
hanyalah sebatas melakukan pemurnian. Hal ini didasari atas Pasal 170 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi
wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-
lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.13
Pasal 170 ini dengan jelas diketahui bahwa kewajiban pemegang Kontrak Karya
hanyalah untuk melakukan pemurnian atas hasil mineral yang diproduksinya dan kewajiban
9
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri, Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, BN Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 1 angka 11.
10
Salim H.S., Op. Cit., hal. 130.
11
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Op. Cit., Pasal 169 huruf A.
12
Ibid., Pasal 169 huruf B.
13
Ibid., Pasal 170.

5
ini berbeda bila dibandingkan dengan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK yang harus
melakukan pengolahan dan pemurnian atas mineralnya. Selain itu dalam Undang-Undang ini
tidak menyebutkan secara spesifik mengenai lokasi untuk melakukan kegiatan pemurnian bagi
pemegang Kontrak Karya tersebut apakah dalam negeri ataupun luar negeri sehingga hal ini
dapat menimbulkan multi tafsir bagi pihak yang membacanya. Salah satu dari multi tafsir yang
dihasilkan atas pasal tersebut ialah para pihak dapat melakukan pemurnian diluar negeri
Indonesia karena bagaimana jika pemegang Kontrak Karya tersebut memiliki fasilitas untuk
melakukan pemurnian yang berada diluar negeri? Lebih lanjut lagi bagaimana jika proses
pemurnian mineral yang dilakukan diluar negeri tersebut dapat dibuktikan secara otentik
berdasarkan berbagai bukti yang relevan dan valid seperti contohnya rekaman video pelaksanaan
pemurnian secara langsung (live) yang disiarkan melalui jaringan internet? Maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa Pasal 170 ini masih memberikan celah hukum bagi pemegang Kontrak
Karya untuk masih dapat melaksanakan pemurnian mineral diluar negeri dengan alasan bahwa
tidak adanya pengaturan spesifik mengenai lokasi tempat dilaksanakan kegiatan pemurnian
mineral tersebut.
2.1.2. Menurut Peraturan Pemerintah
Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral diatur dalam tiga Peraturan Pemerintah.
Ketiga Peraturan Pemerintah tersebut adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara; dan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Dasar hukum terkait yang mewajibkan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk
melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam terdapat dalam Pasal 93 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Bunyi pasal tersebut adalah:
(1). Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi baik
secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK
lainnya.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat dua pilihan cara untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian mineral tersebut, yaitu dilakukan dengan secara langsung dan/atau
melalui kerja sama dengan pihak lain. Lalu dalam hal melakukan kerjasama, subjek lain yang
diperkenankan untuk melakukan kerja sama tersebut berdasarkan Pasal 93 Ayat (1) ini ialah
perusahaan, pemegang IUP dan IUPK. Akan tetapi terdapat klausul tertentu bagi salah satu
subjek terkait hal sebagai pihak dalam kerja sama tersebut dan subjek tersebut adalah
perusahaan. Klausul khusus bagi perusahaan tersebut terdapat pada Pasal 93 Ayat (2) dan (3)
yang memperkenankan hanya perusahaan berlisensi IUP Operasi Produksi secara khusus untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian mineral yang diberikan oleh Menteri, Gubernur,

6
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.14
Sedangkan dalam hal Kontrak Karya, dasar hukum tersebut yang mewajibkan untuk
melakukan kegiatan pemurnian mineral tersebut terdapat dalam Pasal 112 Huruf C Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Adapun
bunyi pasal tersebut:
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan pemurnian hasil
pertambangan dalam negeri.
Dari Pasal ini dapat diketahui bahwa pemegang Kontrak Karya selain diharuskan untuk
melakukan pemurnian mineral atas pertambangan, juga wajib melakukannya dalam negeri.
Dengan adanya pasal 112 Huruf C ini maka telah mengisi celah hukum mengenai lokasi tempat
yang spesifik untuk pelaksanaan kegiatan pemurnian bagi pemegang Kontrak Karya
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2.1.3. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Untuk menunjang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya untuk pelaksanaan
pasal 112 Huruf C dari Peraturan Pemerintah tersebut, maka kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Dalam Negeri. Pasal-pasal dari Peraturan Menteri ini yang terkait dengan kewajiban pengolahan
dan pemurnian atas hasil pertambangan mineral logam terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) Huruf a
dan Pasal 3 Ayat (1) Huruf a. Dari ketiga pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan
nilai tambah komoditas tambang mineral (salah satu komoditasnya) dilaksanakan melalui proses
pengolahan dan pemurnian untuk mineral logam.15 Selanjutnya, pengolahan dan pemurnian atas
logam tersebut sudah termasuk juga untuk mineral bawaan dari komoditas tersebut. Lalu,
pengolahan dan pemurnian tersebut juga dilakukan berdasarkan pertimbangan:
1. memiliki sumber daya dan cadangan bijih dalam jumlah besar;
2. untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi logam di dalam negeri;
3. teknologi pengolahan dan/atau pemurnian sudah pada tahap teruji;
4. produk akhir pengolahan dan/atau pemurnian sebagai bahan baku industri kimia dan pupuk
dalam negeri;
5. produk akhir sampingan hasil pengolahan dan/atau pemurnian untuk bahan baku industri
kimia dan pupuk dalam negeri;
6. sebagai bahan baku industri strategis dalam negeri yang berbasis mineral;
7. memberikan efek ganda baik secara ekonomi dan negara; dan/atau
8. untuk meningkatkan penerimaan negara.
Terakhir, terdapat batas-batas kadar tertentu yang hasil dari pengolahan dan pemurnian
atas mineral tersebut berdasarkan lampiran dari Peraturan Menteri tersebut. 16 Dalam Peraturan

14
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 23 Tahun 2010, LN
Nomor 29, Tahun 2010, TLN Nomor 5111, Pasal 93 ayat (2) dan (3).
15
Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri, Op. Cit., Pasal 2 Ayat (2) Huruf a.
16
Ibid., Pasal 3.

7
Menteri ini diatur juga mengenai kewajiban untuk memurnikan hasil produk sampingan dari
mineral-mineral seperti logam tembaga, zircon, ilmenit, rutil, monasit, senotim, perak, timbal,
seng,dan emas.17 Kemudian pada Pasal 5 dari Peraturan Menteri ini menerangkan bahwa
kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut harus dilakukan dalam negeri.18

2.2. Sanksi bagi perusahaan perusahaan pertambangan pemegang Ijin Usaha Produksi dan
Ijin Usaha Produksi Khusus yang tidak melanggar Undang Undang Nomor. 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Penjatuhan sanksi administratif dan pidana diberikan bagi pemegang Ijin Usaha
Pertambangan dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009).

2.2.1. Sanksi administratif

Ada dua kategori sanksi yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yakni
sanksi administatif dan sanksi pidana. Ketentuan sanksi adminstratif terdapat dalam pasal 151
sampai pasal 157 mengenai sanksi adminstratif.
Sanksi administratif bisa dikenai kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) apabila melanggar
sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Saksi tersebut berupa peringatan
tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi,
dan/atau pencabutan IUP, IPR, atau IPK.19
Apabila pemerintah daerah tidak mengenakan sanksi bagi pemegang izin, padahal ada
pelanggaran terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat menghentikan sementara dan/atau
mencabut IUP atau IPR, sebagaiman dinyatakan dalam pasal pasal 152 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau
mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.20 Jika
pemerintah daerah keberatan, maka pemda dapat mengajukan keberatan.21
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 juga diatur jika terjadi sengketa yang
muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK akan diselesaikan melalui pengadilan dan
arbitrase dalam negeri.22 Yang menarik dari ketentuan sanksi ini adalah pemerintah daerah bisa
dikenai sanksi administratif jika tidak mengabaikan kepentingan nasional. 23 Sanksi tersebut
17
Ibid., Pasal 4.
18
Ibid., Pasal 5.
19
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Op. Cit., Pasal 151 ayat (2).
20
Ibid., Pasal 152.
21
Ibid., Pasal 153.
22
Ibid., Pasal 154.
23
Ibid., Pasal 5 ayat (4).

8
berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan
batubara. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan
usaha pertambangan mineral dan batubara.24

2.2.2. Sanksi Pidana

Subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu manusia dan
badan hukum. Di dalam Undang-Undang tersebut selalu menyebut setiap orang sebagai subjek
hukumnya yakni di Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, dan Pasal 165. Sedangkan pada
Pasal 163 ayat (1) bisa ditelaah atau dapat dikatakan badan hukum merupakan subjek hukum
dalam Uundang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain sanksi adminitratif yang dijatuhkan pada perusahaan pertambangan pemegang
IUP, IPR, atau IUPK, terdapat pula sanksi pidana, diantaranya:
1. Pidana penjara
2. Pidana kurungan
3. Pidana denda
4. Pidana denda dengan pemberatan
5. Pidana tambahan, dapat berupa;
a. Pencabutan izin usaha; dan/atau
b. Pencabutan status badan hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pasal yang memuat sanksi pidana diatur
dalam Bab XXIII tentang Ketentuan Pidana, yang didalamnya terdapat 8 (delapan) pasal mulai
dari Pasal 158 s/d Pasal 165.
Aturan Pidana yang dimuat dalam Bab XXIII mengenai ketentuan pidana,
mengisyaratkan bahwa terdapat masalah pokok hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang
pertambangan mineral dan batubara. Perbuatan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara yakni :
1. Melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5).
2. Dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1),
Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1)
dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu.
3. Melakukan eksplorasi tanpa memiiki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
atau Pasal 74 ayat (1).
4. Mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukn kegiatan operasi produksi.
5. Menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan,dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 40 ayat

24
Ibid., Pasal 157.

9
(3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal
103 ayat (2), Pasal 105 ayat (1).
6. Merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK
yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)
7. Mengeluarkan IUP, IPR, IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini dan
menyalahgunakan kewenangannya

Berikut dibawah ini uraiannya;


1. Pasal 37, IUP diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a. Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00
(sepuluh miliar rupiah)
b. Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
c. Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
2. Pasal 40 ayat (3), Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Yang dimaksud pada ayat (2) adalah pemegang IUP yang menemukan satu (1) jenis mineral
atau batubara di WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a. Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00
(sepuluh miliar rupiah).
b. Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
3. Pasal 43 ayat (1), Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang
IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib
melaporkan kepada pemberi IUP.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :

10
Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau
menyampaikan keterangan palsu kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)
4. Pasal 43 ayat (2), Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
5. Pasal 48, IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah
mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; dan
c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta
pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a. Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00
(sepuluh miliar rupiah)
b. Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
6. Pasal 67 ayat (1)
a. Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik
perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
b. Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
c. Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib
menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a. Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IPR dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00
(sepuluh miliar rupiah)
b. Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara
11
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
7. Pasal 70 huruf e, Pemegang IPR wajib: menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IPR dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau
menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
8. Pasal 74 ayat (1), IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan
daerah.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
a. Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUPK dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00
(sepuluh miliar rupiah)
b. Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUPK dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
c. Pasal 161, Pemegang IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
9. Pasal 74 ayat (5),Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.
Yang dimaksud pada pasal 2 yaitu IUPK diberikan oleh Menteri untuk 1 (satu) jenis mineral
logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUPK dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar
rupiah)
10. Pasal 81 ayat (1), Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan,
pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali
wajib melaporkan kepada Menteri.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau
menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
11. Pasal 81 ayat (2), Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau
batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk
melakukan pengangkutan dan penjualan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

12
12. Pasal 103 ayat (2), Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
Yang dimaksud pada ayat (1) adalah pemegang IUP dan IUPK produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUP Operasi Produksi yang menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral
dan batubara yang bukan dari pemegang IUP atau IUPK dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)
13. Pasal 104 ayat (3), Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak
memiliki IUP, IPR, atau IUPK.
Yang dimaksud pada ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan kerja sama dengan
badan usaham koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral
dan batubara yang bukan dari pemegang IUP atau IUPK dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)
14. Pasal 105 ayat (1), Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang
bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki
IUP Operasi Produksi untuk penjualan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
15. Pasal 105 ayat (4), Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Badan usaha yang tidak bergerak pada
usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib
terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan dimana IUP hanya dapat
diberikan 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau
menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
16. Pasal 110, Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari
hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

13
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP atau IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak
benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
17. Pasal 111 ayat (1), Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara
berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 159, Pemegang IUP dan IUPK dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak
benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
18. Pasal 136 ayat (2), Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP
atau IUPK.
Yang dimaksud pada ayat (1) adalah Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan
operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana yang dapat dijatuhkan :
Pasal 162, Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan
dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat- syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berdasarkan dari pengertian mengenai sanksi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat sanksi administratif dan/atau sanksi pidana bagi para pemegang IUP dan/atau IUPK
yang telah melakukan pelanggaran atas hal terkait dengan pengolahan dan pemurnian. Sehingga
dengan demikian maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah memberikan pengaturan
sanksi yang jelas atas pelanggaran tersebut.

3. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL BAGI PEMEGANG IZIN USAHA


PERTAMBANGAN (IUP) DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN
KHUSUS (IUPK) OPERASI PRODUKSI AKIBAT ADANYA
KETENTUAN MENGENAI PENGELOLAAN DAN PEMURNIAN
MINERAL LOGAM DALAM NEGERI TERKAIT DENGAN
PENANAMAN MODAL ATAU INVESTASI DI INDONESIA
Pada bagian ini akan dikaji mengenai konsekuensi atau akibat hukum yang timbul bagi
para pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk Operasi
Produksi terkait dengan adanya ketentuan kewajiban meningkatkan nilai tambah dengan kegiatan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

14
3.1. Akibat Hukum Berlakunya Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengenai Kewajiban Melakukan
Pengolahan dan Pemurnian bagi Perusahaan Pertambangan Mineral Logam

Adanya Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 membuat para pelaku
usaha pertambangan memiliki kewajiban meningkatkan nilai tambah dengan cara pengolahan
dan pemurnian mineral logam di dalam negeri. Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral
Nomor 1 Tahun 2014 tentang menyatakan mineral hasil pengolahan diekspor dalam jumlah
tertentu maksimal 3 tahun setelah peraturan tersebut diundangkan. Maka mulai 12 Januari 2017,
hanya mineral hasil pengolahan dan pemurnian yang dapat dijual ke luar negeri.
Hakikat dari peningkatan nilai tambah mineral pada dasarnya mengharuskan setiap
pelaku usaha (perusahaan pertambangan mineral) untuk membangun pabrik pengolahan dan/atau
pemurnian, tergantung kepada jenis mineral yang diusahakan; pengusaha mineral bukan logam
dan batuan hanya membangun pabrik pengolahan, sedangkan pengusaha mineral logam harus
membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Oleh karena itu Kementerian ESDM cq
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara telah melakukan upaya yang mengarah kepada
penyeleksian pelaku usaha, sekaligus sebagai langkah untuk melihat kesiapan dan kemampuan
mereka dalam membangun pabrik pengolahan dan/atau pemurnian.25
Seperti yang disampaikan Baird and Wihardja (2010) mengenai kebijakan peningkatan
nilai tambah dan Eva Warburton (2004), Baird and Wihardja describe the export ban as
introducing 'long discredited policies intended to 'increase value added' by requiring the
domestic processing of minerals' (Baird and Wihardja, 2010). The ban mainly affects 'copper
ore, nickel ore (of which Indonesia is responsible for half of global production), and bauxite'
(Howes and Davies, 2014). Export of the latter two is banned altogether (Howes and Davies,
2014). Copper concentrate can be exported until 2017, but the exporters have to pay an export
tax of 20 percent, a tax that will increase over time (Howes and Davies, 2014). In the past these
three minerals have not been processed in Indonesia (Howes and Davies, 2014). As a
consequence exports of all three have stopped (Howes and Davies, 2014). Eva Warburton (2014)
puts it this way in describing the proffered reasons for the Mining Law Reforms: The government
argues that if Indonesians are to prosper, the country should no longer export raw commodities
to richer countries via multinational companies. Officials have stated that if Indonesia is to
move beyond the middle-income bracket it must begin adding value domestically and building its
domestic mining industry. State officials also defend nationalist policies as a necessary step
towards more just systems of rent distribution. Former Director General for Coal and Mineral
Resources Thamrin Sihite, for example, said the government wants 'the benefits of our country's
resources to reach more Indonesians.' President Yudhoyono himself claimed that, 'many
multinational corporations take too much and do not leave behind enough for the people of
those countries.26
Namun pembangunan smelter ini mungkin tidak sepenuhnya dapat terealisasi pada 2017.
25
Darsa Permana, Siti Rochani, Nuryadi Saleh, dkk. Kajian Dampak Pasca Penerapan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Mineral, Laporan
Database Hasil Litbang Puslitbang tekMIRA, Kementerian ESDM, 2015, http://intranet.tekmira.esdm.go.id/litbang/filesmenteri/DAMPAK
%20PERMEN%20FINAL.pdf (Diunduh 29 Februari 2016).

15
Menurut Menteri ESDM Sudirman Said, melambatnya pembangunan smelter bukan dikarenakan
pembangkangan atau niat untuk melanggar peraturan oleh perusahaan. Kondisi di lapangan,
khususnya harga mineral yang ambruk sejak 2014, membuat perusahaan kesulitan mengejar
target tersebut. Dengan begitu, pemerintah bisa saja melonggarkan regulasi tersebut dengan
memperbolehkan ekspor mineral hasil pengolahan setelah 11 Januari 2017. Hal tersebut
diharapkan mampu membantu perusahaan yang kesulitan dalam membangun smelter. Namun,
dari sekian banyak perusahaan yang tengah membangun smelter, sebenarnya hanya ada delapan
perusahaan yang masih bisa melakukan ekspor setelah pemerintah memberlakukan larangan
ekspor mineral mentah pada Januari 2014. Delapan perusahaan itu adalah PT Sebuku Iron
Lateritic Ores, PT Lumbung Mineral Sentosa, PT Sumber Baja Prima, PT Smelting.PT Kapuas
Prima Coal, PT Megatop Inti Selaras, PT Newmont Nusa Tenggara, dan PT Freeport Indonesia.27
Terdapat beberapa izin terkait usaha pertambangan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 khususnya dalam meningkatkan nilai tambah untuk pengolahan dan pemurnian,
yakni izin untuk melaksanakan usaha pertambangan atau IUP (Izin Usaha Pertambangan), yaitu
IUP Operasi Produksi (IUP OP) dan IUP Operasi Produksi Khusus (IUP OPK). Operasi Produksi
merupakan tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan,
pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian
dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. IUP OP adalah izin usaha yang
diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi
produksi. Sedangkan, IUP OPK merupakan izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan
IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.28
Perusahaan yang belum memiliki IUP OP, tetapi ingin membuat smelter dapat mengurus
perizinan IUP OPK ke Kementerian ESDM agar memperoleh izin untuk melakukan pengolahan
dan pemurnian dalam pembangunan smelter. Bagi perusahaan yang sudah memiliki IUP OP tidak
perlu mengurus IUP OPK, karena dalam IUP OP sudah diperoleh izin untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian.29 Namun, perusahaan tetap harus mengurus perizinan berdirinya
pabrik di Kementerian Perindustrian dan pemerintah daerah setempat. 30 Perusahaan dapat
mengajukan permohonan IUP OPK dengan cara:
a. Melampirkan surat permohonan pengajuan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian;
b. Melampirkan format lampiran permohonan baru IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian; dan
c. Melampirkan cek list evaluasi permohonan IUP OPK Pengolahan dan Pemurnian.

26
R. Bassett, Mining Law & Policy: International perspectives. Journal of Energy & Natural Resources Law, 31(2) (2013): hal. 219-221,
http://search.proquest.com/docview/1437359823?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari 2016).
27
Lucky L. Leatemia dan Lukas Hendra, Ekspor berpeluang dibuka Kembali, Bisnis Indonesia, 17 Februari 2016, http://www.ima-
api.com/index.php?view=article&catid=47%3Amedia-news&id=3118%3Aekspor-berpeluang-dibuka-
kembali&format=pdf&option=com_content&Itemid=98&lang=id (Diunduh 29 Februari 2016)
28
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Op. Cit., Pasal 1 angka 7, 9, 13 dan 17.
29
Ibid., Pasal 1 angka 9 dan 17.
30
David Dwiarto. Freeport Mulai Lakukan Hilirisasi, Asosiasi Pertambangan Indonesia, 16 Agustus 2013, http://www.ima-
api.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1109:freeport-mulai-lakukan-hilirisasi&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=en
(Diunduh 29 Februari 2016).

16
d. Melampirkan surat pernyataan permohonan pengajuan IUP OPK Pengolahan dan
Pemurnian;31
Sedangkan, dokumen persyaratan yang harus dilampirkan Permohonan IUP OPK
Pengolahan dan Pemurnian Mineral adalah:32
a. Profil Perusahaan dengan mencantumkan :
1) Akta Pendirian dan Perubahan Perusahaan
a)Pertambangan dan Perdagangan (pengolahan komoditas mineral yang dituju)
b)Susunan Direksi Perusahaan
c)Pemegang Saham
2) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
3) SIUP
4) Surat Keterangan Domisili
5) Tanda Daftar Perusahaan
6) Pengesahan Akta Pendirian Perusahaan dari yang Berwenang
b. Memorandum of understanding (MoU)/Perjanjian Jual Beli Antara Pemohon IUP Operasi
Produksi Khusus dengan Pemegang IUP Operasi Produksi yang masih berlaku, dengan data:
1) Spesifikasi Bahan Galian
2) Volume (Tonase)
3) Jangka Waktu MOU/Perjanjian
4) Bermaterai Cukup
c. MoU/Perjanjian Jual Beli/Purchase Order Antara Pemohon IUP Operasi Produksi Khusus
dengan Pembeli (End User) yang masih berlaku, dengan data:
1) Spesifikasi Bahan Galian
2) Volume (Tonase)
3) Tujuan Penjualan
4) Jangka Waktu MoU/Perjanjian
d. Legalitas IUP Produksi SK IUP Operasi Produksi yang telah teregistrasi di Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara/Clean and Clear (CNC) Dilampirkan.
e. Data Teknis Pemilik Tambang/IUP Operasi Produksi (Cadangan/Sumber Daya Kapasitas
Produksi) Surat Persetujuan Amdal atau FS/Studi Kelayakan
f. Laporan Finansial Perusahaan Pemegang IUP Operasi Produksi
1) Bukti Pembayaran Iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir
2) Bukti Pembayaran royalti 3 (tiga) tahun terakhir
g. Perizinan Industri/Perizinan berdirinya pabrik
h. Laporan Keuangan Perusahaan 3 Tahun Terakhir
i. Laporan RKAB tahun terakhir (dilegalisir dari Dinas Pertambangan setempat)
j. Persetujuan AMDAL atau UKL dan UPL
k. Persetujuan FS/Studi Kelayakan Pabrik yang dikeluarkan oleh Pejabat setempat
l. Daftar Tenaga Ahli
Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia Nomor: 11.E/30/DJB/2011 tentang Klasifikasi Badan Usaha di Bidang Pertambangan
dalam Akta Pendirian Badan Usaha, bahwa Badan Usaha yang akan mendapatkan IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian dalam akta pendiriannya harus
31
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. IUP OP Khusus Pengolahan dan Pemurnian,
http://www.minerba.esdm.go.id/library/rpiit/IUP%20OP%20Khusus%20Pengolahan%20Dan%20Pemurnian%20Mineral.pdf (Diunduh 29
Februari 2016).
32
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. http://minerba.esdm.go.id/library/rpiit/?data=79 (Diunduh 29 Februari 2016).

17
mencantumkan bergerak di bidang usaha pertambangan khususnya di bidang pengolahan dan
pemurnian mineral dan/atau batubara serta dapat digabung dengan sektor perindustrian,
perdagangan, perhubungan, energi, dan penanaman modal.33
Meskipun pemerintah membuat kelonggaran waktu pembangunan smelter hingga 2017,
masih terdapat dualisme izin pembangunan smelter, yaitu Izin Usaha Industri (IUI) yang
dikeluarkan Kementerian Perindustrian dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Pengolahan dan
Pemurnian dari Kementerian ESDM.34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sudah membuat
kriteria mengenai pengolahan mineral dan industri. Namun, muncul peraturan pemerintah dan
keputusan menterinya yang mengatur soal perizinan pembangunan smelter.35 Pengusaha
pemurnian atau smelter merasa diberatkan dengan perizinan Izin Usaha Pertambangan Khusus
dari Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, padahal telah ada rekomendasi dari
Kementerian Perindustrian.Selama ini, industri smelter sudah merasa aman mengantongi Izin
Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui
rekomendasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Namun, ketika pengusaha smelter
memohon pasokan bahan baku tambang, mereka diminta untuk membuat Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) oleh Kementerian Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM).
Mengurus perizinan di Kementerian ESDM merepotkan salah satunya karena harus membuat
laporan selama tiga bulan sekali, sedangkan BKPM hanya setahun sekali. IUPK, Analisis
Dampak Lingkungan (Amdal), dan dokumen lainnya dibuat kembali. Industri tambang ada yang
sudah memiliki IUI. Padahal, industri smelter yang berasal dari penanaman modal asing bahkan
mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk memasukkan mesin dan peralatannya dari
BKPM.36 Selain itu, pengusaha mengeluhkan pengajukan permohonan ke Kementerian
Perindustrian dan Kementerian ESDM melalui prosedur yang berbelit dan lamanya proses
perizinan. Pemerintah dalam hal ini harus melakukan upaya agar palaksanaan permohonan izin
pengolahan dan pemurnian lebih efektif, sehingga menguntungkan bagi pengusaha tambang
untuk meningkatkan nilai tambah tambang mineral dan negara demi meningkatkan nilai tambah
pada pendapatan negara.
Regulasi yang ditetapkan pemerintah terkait pengajuan izin pengolahan dan pemurnian
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau pun Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri sebenarnya tidak ada tarik ulur mengenai perizinan antara Kementerian Perindustrian
dan Kementerian ESDM. Kementerian Perindustrian berwenang mengeluarkan izin
pembangunan atau pendirian smelter pada pemegang IUP OP, sedangkan Kementerian ESDM
menerbitkan Izin IUP-OPK agar dapat melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri.

3.2. Upaya yang dilakukan Pemerintah dan Pelaku Usaha Tambang dalam Kewajiban
Meningkatkan Nilai Tambah dengan Pemurnian dan Pengolahan Mineral Logam
terkait Penanaman Modal atau Investasi

Proses pembangunan smelter sangatlah tidak mudah terutama dari sisi hukum dan hukum
33
Indonesia. Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Klasifikasi Badan Usaha di Bidang Pertambangan dalam
Akta Pendirian Badan Usaha, SE Kementerian ESDM Nomor: 11.E/30/DJB/2011, huruf D
34
Ags. Perizinan Smelter Bakal Diperjelas. Maritim News, 1 September 2015, http://maritimenews.id/perizinan-smelter-bakal-diperjelas/
(Diunduh 29 Februari 2016).
35
Kementerian Perindustrian. Mau Bangun Smelter, Pengusaha Ngeluh Proses Izin yang Panjang, http://kemenperin.go.id/artikel/4291/Mau-
Bangun-Smelter,-Pengusaha-Ngeluh-Proses-Izin-Yang-Panjang (Diunduh 29 Februari 2016).
36
Nindya Aldila, Pengusaha Smelter Merasa Diberatkan Perizinan, Bisnis Indonesia, 28 Februari 2016,
industri.bisnis.ccom/read/20160228/257/523427/pengusaha-smelter-merasa-diberatkan-perizinan (Diunduh 29 Februari 2016).

18
ekonomi secara khusus. Di satu sisi, perusahaan membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian. Untuk itu, perusahaan tambang memerlukan investor
untuk dapat memberikan dukungan finansial dalam proyek pembangunan smelter untuk
meningkatkan nilai tmbah dalam pengolahan dan pemurnian mineral.
Badan usaha milik negara (BUMN) dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan
tambang swasta untuk mengembangkan pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) mineral bila
swasta tidak mampu mendirikan smelter baik sendiri maupun konsorsium. Kerjasama
pemerintah dan swasta dimungkinkan karena pemerintah mempunyai perwakilan, yakni
perusahaan BUMN selaku pelaksana. Pemerintah dalam hal ini adalah pemberi penyertaan
modal.
Kementerian Perindustrian secara prinsip mendukung skema keria sama BUMN dan
swasta karena dari segi aturan memungkinkan. Jika ada BUMN nanti juga ada penyertaan modal
pemerintah yang bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Tinggal persoalannya mengenai
ada tidak kekuatan modal dari pemerintah, alokasi penyertaan modal pemerintah antara lain bisa
didapat dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Pusat Investasi Pemerintah,
bergantung pada kebijakan pemerintah mana yang akan dipilih. Pemerintah akan menjembatani
perusahaan yang kesulitan pembangunan smelter. Kementerian ESDM akan memfasilitasi
perusahaan yang akan membangun smleter dan yang tidak. Apalagi ada perusahaan tambang
yang memiliki produk mineral mentah tapi tak punya pasar, sedangkan ekspor sudah tidak boleh.
Jika tidak ada yang sanggup, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang harus maju. Skema kerja
sama pembangunan smelter antara BUMN dan perusahaan swasta dilakukan PT Aneka Tambang
Tbk (ANTM) dan PT Freeport Indonesia. Pada 10 Februari 2014, Aneka Tambang dan Freeport
menjalin kesepakatan untuk melakukan studi kelayakan pembangunan smelter tembaga selama
tiga bulan. Nilai investasi pabrik smelter tembaga tersebut diperkirakan mencapai US$ 2,2 miliar
dengan kapasitas produksi 300 ribu ton per tahun. Nilai investasi tersebut diharapkan turun
seiring dengan berjalannya studi kelayakan. Tato Miraza, Direktur Utama Aneka Tambang,
mengatakan dalam studi kelayakan tersebut, Aneka Tambang dan Freeport perusahaan akan
mengevaluasi kelayakan teknis, ekonomi, dan komersial dari pabrik peleburan tembaga
tersebut.37
Selain investor dalam negeri, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak menutup
adanya investor asing dalam usaha pertambangan dalam negeri sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Besarnya kebutuhan dalam melakukan
pengolahan dan pemurnian, tidak dapat dipungkiri juga adanya suntikan tambahan dari investor
asing yang akan menanamkan modal untuk membantu suatu perusahaan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan agar investor asing tertarik untuk berinvestasi,
setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat:
1. Adanya economic opportunity (investasi mampu memberi keuntungan secara ekonomis bagi
investor). Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya kesempatan ekonomi bagi investor,
seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersediaan lokasi untuk
mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah, dan tersedianya pasar
yang prospektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki
keunggulan alamiah dan komparatif, seperti negeri yang sangat luas dengan diberkahi
kelimpahan kekayaan alam (sumber daya alam Indonesia masih cukup banyak) dan jumlah
penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah.38
37
Kementerian Perindustrian. BUMN dan Swasta bisa Bermitra untuk Bangun Smelter, http://www.kemenperin.go.id/artikel/8777/BUMN-
dan-Swasta-Bisa-Bermitra-untuk-Bangun-Smelter IFT (Diunduh 29 Februari 2016).
38
Erman Rajaguguk, Hukum Investasi di Indonesia (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 40-41.

19
2. Adanya political stability (investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik). Untuk
menjamin keberlangsungan investasi asing diperlukan adanya stabilitas politik. Terjadinya
konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh pada iklim investasi. Penanam
modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan
terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional. 39 Seperti dikutip
dari Mustafa Erkan (International Energy Investment Law) mengenai risiko kestabilan politik,
In the energy industry, political risks arises mainly in reference to relationships between the
investor and the host state, but relationships with other palyer in the industry may also create
political risk. Host state have a wide variety of mechanisms available to interfere with rights
in privete property.40 Two types of political risks based on Wagner, government risks and
instability risks. Government risksare those that arise from the actions of a governmental
authority, whether the authority is used legally or not, such as discriminatory regulations
and creeping expropriations. However, political power struggles may also cause political
risks, called instability risks, such as mass labour strikes, civil war or urban rioting.41
3. Adanya legal certainty (kepastian hukum). Para investor akan datang ke suatu negara, bila
negara tersebut dalam situasi yang kondusif. Untuk mewujudkan sistem yang mampu
mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin usaha sampai dengan
biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk
mencapai kondisi ini adalah dengan penegakkan supremasi hukum (rule of law). Perlu adanya
kepastian hukum yang mencerminkan nilai kebenaran dan keadilan serta tidak diskriminatif.
Kepastian hukum ini harus meliputi aspek substansi hukum, mulai dari undang-undang
sampai dengan peraturan-peraturan daerah dan putusan-putusan pengadilan. Untuk menjamin
adanya konsistensi dalam pelaksanaan peraturan diperlukan adanya dukungan aparatur hukum
yang profesional dan bermoral serta didukung dengan adanya budaya hukum masyarakat.42
Investasi asing dalam dunia pertambangan dapat berbeda secara substansif dengan
investasi asing lainnya, dikutip dari Marc Frillet (2011): Real world of foreign investments in
mining and public infrastructure projects. It is important to note at the outset that this world is
substantially different from the world of traditional international investments. This is mainly
because of two factors:43
1. The risk profile of the investment. In most cases, the investment is based on an economic
analysis, which includes a robust economic scenario an internal rate of return depending
itself on various factors, in particular those associated with the country itself. Some of these
risks can be reasonably appraised with ad hoc sensitivity ratios if the project is to last for a
few years only. It is much more difficult, indeed virtually impossible, to assess risks with, for
instance, a 20-year horizon necessary to recover the investment.
2. The nature of the investments, which always end up with a main contractual agreement being
entered into with a state or with the licence subject to many conditions and having in fact a
contractual nature.
Contoh investor asing yang tertarik menanamkan modalnya adalah investor dari
Tiongkok. Para investor dari Tiongkok makin gencar membangun pabrik pemurnian mineral atau

39
Ibid., hal. 46.
40
R. Hay, Protecting Assets from Political Risks dalam Mustafa Erkan, International Energy Investment Law, Stability through Contractual
Clauses (New York: Wolters Kluwer Legal, 2011), hal. 24.
41
D. Wagner, Defining Political Risks dalam Ibid ., hal. 25.
42
Erman Rajaguguk, Op. Cit., hal. 50-51.
43
M. Frilet, Foreign investments in public infrastructure and mining: Facing the challenge in civil law africa. Business Law International,
12(2), (2011): hal. 185-196, http://search.proquest.com/docview/879063851?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari 2016).

20
smelter di Indonesia dalam waktu dekat. Sebab, pengoperasian smelter di Tiongkok sudah tidak
cukup ekonomis, apalagi kondisi ekonomi global yang buruk mengharuskan adanya efisiensi.
Dalam kondisi ekonomi global saat ini, banyak smelter di Tiongkok berhenti produksi, bahkan
tutup.Kalau harus investasi smelter, sangat kompetitif. Permintaan alumina di Tiongkok sudah
melebihi kemampuan pasokan (under supply) dan membutuhkan investasi besar, untuk
membangun fasilitas pemurnian baru setelah 2021. Indonesia akan menjadi salah satu tujuan
investasi pembangunan industri aluminium, karena Indonesia memiliki cadangan biji bauksit
dalam jumlah melimpah, dan meningkatnya permintaan aluminium di dalam negeri. Prospek
pembangunan pabrik pemurnian alumina di Indonesia dalam jangka panjang, akan menjanjikan
karena Indonesia memiliki cadangan bauksit berlimpah dan meningkatnya permintaan dalam
negeri. Selain itu, kompetisi di pasar global yang makin ketat mengharuskan efisiensi, karena itu
industri aluminium akan berkembang di Indonesia. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009, mineral yang diekspor wajib diolah atau dimurnikan di pabrik smelter.44
Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini, yaitu kerjasama
BUMN dalam menigkatkan nilai tambah dalam pengolahan dan pemurnian mineral logam
sekaligus mendatangkan investor asing adalah kerjasama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan
PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) berencana membentuk perusahaan patungan (joint
venture/JV) untuk menggarap proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah,
Kalimantan Barat. Dua perusahaan itu akan segera membuat skema kerja sama yang akan
dituangkan dalam suatu perjanjian antara pemegang saham (shareholder agreement) sebelum
mendirikan perusahaan patungan tersebut. Kedua belah pihak juga mengundang investor asing
dari Rusia, Tiongkok atau Uni Emirat Arab untuk bekerja sama dalam proyek ini. Investor
tersebut telah memiliki pengalaman di industri aluminium dan pengolahan bijih bauksit menjadi
alumina. Pembangunan SGAR Mempawah akan meningkatkan nilai cadangan bauksit Aneka
Tambang yang besar melalui kegiatan hilirisasi. Proyek SGAR itu rencananya memiliki kapasitas
sebesar 2 juta ton SGA per tahun yang akan dibangun secara bertahap. Pada tahap pertama,
kapasitas diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun dengan kebutuhan bijih baukit sebesar 6
juta wet metric ton (wmt). Dengan proyek tersebut, emiten berkode saham ANTM dan Inalum
dapat mengolah cadangan bauksit yang tersedia. Inalum dapat memperoleh pasokan bahan baku
alumunium dari dalam negeri ehingga mengurangi ketergantungan impor alumina. Berdasarkan
suatu dokumen perjanjian antara Kementerian BUMN dan China Development Bank (CDB),
nilai investasi proyek SGAR itu diperkirakan mencapai US$1,7 miliar-US$1,8 miliar atau lebih
dari Rp20 triliun. CDB diperkirakan bakal mengucurkan pinjaman senilai US$1 miliar-US$1,5
miliar kepada Aneka Tambang untuk menggarap proyek tersebut. Pada saat ini, Inalum memliki
kapasitas pelebuhan alumunium sebesar 250.000 ton alumunium per tahun yang membutuhkan
minimal 500.000 ton alumina per tahun. Pada 2020, perusahaan ingin meningkatkan kapasitas
peleburan menjadi 500.000 ton yang membutuhkan 1 juta ton alumina sebagai bahan baku.45
Dengan adanya, kerjasama antara BUMN dan swasta maupun investor khususnya
investor asing dalam kegiatan pemurnian dan pengolahan diharapkan agar para pelaku usaha
tidak merasa diberatkan lagi dan mampu aktif dalam meningkatkan nilai tambah serta kualitas
dari hasil tambang yang diperoleh.

44
Dtf. Investor Tiongkok Bakal Gencar Bangun Smelter di RI. Jurnal Asia, 17 Desember 2015,
http://www.jurnalasia.com/2015/12/17/investor-tiongkok-bakal-gencar-bangun-smelter-di-ri/#sthash.EfhXNCyQ.dpuf (Diunduh 29 Februari
2016).
45
Yodie Hardiyan, Aneka Tambang (ANTM) Gandeng Inalum Garap Smelter, Bisnis Indonesia, 15 Oktober 2015,
http://finansial.bisnis.com/read/20151015/309/482609/aneka-tambang-antm-gandeng-inalum-garap-smelter (Diunduh 29 Februari 2016).

21
4. ANALISIS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009
TERKAIT KEWAJIBAN PERUSAHAAN PERTAMBANGAN
PEMEGANG IUP DAN IUPK DALAM MELAKUKAN PENGOLAHAN
DAN PEMURNIAN HASIL PERTAMBANGAN DI DALAM NEGERI
(STUDI PUTUSAN MK No. 10/PUU-XII/2014)

Bahwa dalam Bagian ini kami akan mengkaji dan menganalisis mengenai penerapan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009) khususnya dalam hal pengelolaan dan pemurnian hasil
pertambangan, dimana sebelumnya telah diajukan permohonan uji materiil terhadap undang-
undang tersebut khususnya Pasal 102 dan Pasal 103 terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3).
Permohonan ini bermula ketika sejumlah perusahaan memohon uji materi atas pasal 102
dan pasal 103 dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan alasan bahwa pasal-pasal
tersebut merugikan hak konstitusional dari para mereka. Kerugian konstitusional tersebut
berkaitan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kerugian konstitusional tersebut didasarkan
pada atas terhentinya kegiatan usaha para pemohon yaitu melakukan pengiriman eksport mineral
mentah hasil pertambangan. Berhentinya usaha tersebut disebabkan karena atas adanya
kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian atas mineral hasil pertambangan
sebagaimana dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dengan
adanya hal tersebut maka para pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusional untuk melakukan pembatalan atas Pasal 102 dan Pasal 103 tersebut.
Bahwa dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat regulasi pemerintah dalam
hal ini Menteri ESDM yang melarang ekspor biji mineral mentah berdasarkan nalar hukum dapat
dibenarkan dengan pertimbangan, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara konstitusional
merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan
negara, yang dalam urusan tertentu dibantu oleh Menterinya. Bahwa subtansi ketentuan dalam
pasal tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang
dihasilkan dari pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Bahwa dengan adanya larangan
tersebut merupakan salah satu bentuk regulasi yang menjadi kewenangan pemerintah. Bahwa
peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan harus dilakukan dengan
melakukan pegolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri.46
Kebijakan dalam regulasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan peraturan turunannya
dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM mengenai adanya kewajiban meningkatkan
nilai tambah dengan pengolahan dan pemurnian yang secara otomatis melarang ekspor bijih (ore)
adalah sesuatu hal yang konstitusional. Pengaturan tersebut adalah bentuk kewenangan dari
pemerintah sendiri. Indonesia merupakan negara hukum dan menganut prinsip negara hukum sesuai
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsep negara hukum Rule of Law menurut A.V. Dicey memiliki tiga
unsur utama,47 yaitu supremacy of law, equality before the law, and the constitution based on the
individual rights. Pemerintah mewajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
46
Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 10/PUU-XII/2014, Tanggal 3 Desember 2014.
47
A.V. Dicey, An Introduction to the study of The law of The Constitution, (London: English Language Book Society and Mac Millan, 1971),
hal. 202-203.

22
sebelum di ekspor. Hal ini tidak menyulitkan para pelaku usaha pertambangan. Adanya pelarangan
ekspor ini dilakukan karena pemerintah menetapkan kebijakan hasil pertambangan harus melalui
pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri sebelum di ekspor. Implementasi dari
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mewajibkan para
pemegang IUP dan/atau IUPK melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri melalui
pembangunan smelter atau bergabung dengan perusahaan lain di dalam negeri yang memiliki
smelter. Tidak secara mutlak adanya peraturan tersebut berarti ada larangan ekspor. Hal ini yang
harus dicermati oleh para pemohon sebagai pelaku usaha.
Ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
memberikan peluang besar bagi para perusahaan jasa pertambangan nasional untuk berinvestasi
dalam kegiatan usaha pertambangan, pengutamaan ini juga merupakan bagian dari program
pemerintah dalam mengembangkan dan pemberdayaan masyarakat dan ketentuan tersebut
diharapkan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional dapat menjadi tuan di negeri
sendiri.48 Bahwa dalam Pasal tersebut juga merupakan salah satu cara untuk menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan
menjaga kelestarian sumber daya alam, juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber
daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan mineral dan batubara.
Namun terdapat implikasi dari minimnya smelter untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, pada akhirnya
membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya. Hal
ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, berkurangnya penerimaan negara. Kedua,
pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan ketiga,semakin tergerusnya neraca
perdagangan.
Bahwa terkait Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi
(MK), pada sidang pengucapan putusan Perkara 10/PUU-XII/2014 yang dipimpin oleh Ketua
MK, Hamdan Zoelva, berpendapat berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.49 Berdasarkan pasal tersebut sumber daya mineral dan
batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak
melakukan pengaturan terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara atas sumber daya mineral dan
batubara berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur dan membuat
kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara dengan batasan ukuran
konstitusional, yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di samping hal itu pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk meningkatkan nilai
tambah sumber daya mineral dan batubara, sebagaimana terdapat dalam pasal 102 dan 103
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Hal tersebut sebagai salah satu cara untuk menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan
menjaga kelestarian sumber daya alam. Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam
industri pertambangan.
Terkait dalil para pemohon yang mempersoalkan regulasi Pemerintah yang melarang
ekspor bijih mineral mentah (raw material atau core). Hal tersebut dapat dibenarkan dengan
pertimbangan, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara konstitusional merupakan
kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang
48
http://www.majalahtambang.com/detail.berita.php?category=36&newssm=2395. (Diunduh tanggal 03 Maret 2016).
49

23
dalam bidang urusan tertentu dibantu oleh menteri negara.
Majelis MK berpendapat bahwa kerugian yang dialami para Pemohon adalah akibat dari
kesalahan mereka sendiri yang mengabaikan terhadap perintah Pasal 102 serta Pasal 103
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Oleh karena itu, norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut adalah dalam rangka melindungi sumber daya mineral
dan batu bara guna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan larangan ekspor akan menyebabkan
ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu karyawan perusahaan tambang akan kehilangan
pekerjaan dan secara potensial bertentangan dengan konstitusi, menurut kami, pemutusan
hubungan kerja itu tidak akan terjadi apabila perusahaan tambang sejak awal melaksanakan
ketentuan yang termuat dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sendiri ataupun melalui
cara melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri. Namun kenyataanya, hal itu tidak dilakukan dengan dalih biaya yang
terlalu mahal untuk membangun smelter. Padahal ketika akan mengajukan izin mereka sudah
mengetahui adanya ketentuan untuk melakukan pemurnian di dalam negeri sehingga mereka siap
menanggung segala akibat hukum sebagaimana ditentukan pada Pasal 102 dan Pasal 103.
Berdasarkan pada hal-hal sebagaimana diatas, dapat diketahui bahwa keputusan MK
untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui Kementerian ESDM terkait dengan pelaksanaan
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dinilai tepat. Penilaian ini
didasarkan pada sejumlah pertimbangan-pertimbangan MK yang menyetujui kebijakan
pemerintah untuk melindungi kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut terkait
dengan pemanfaaatan sumber daya alam dengan seefektif dan seefisien mungkin, mengingat
bahwa sumber daya tersebut tidak dapat diperbaharui. Selain itu, dengan adanya kewajiban untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut maka berdampak positif pada
peningkatan nilai ekonomi dari sumber daya tersebut, kelestarian lingkungan, serta penyerapan
sumber daya manusia. Peningkatan nilai ekonomi tersebut ialah bertambahnya nilai harga
ekonomis dari sumber daya alam mineral yang telah diolah dan dimurnikan tersebut. Sedangkan
kelestarian lingkungan tersebut terkait dengan terjaganya cadangan sumber daya alam mineral.
Lalu terkait dengan penyerapan sumber daya manusia tersebut ialah mengenai perluasan
lapangan pekerjaan yang tentunya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada permasalahan konstitusional
dengan norma tersebut. Sehingga kelompok kami setuju dengan penolakan MK terkait dengan
permohonan yang diajukan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 merupakan ketentuan
yang bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945. Alasan persetujuan kami ialah sangat terkait dengan kepentingan nasional untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian sumber daya alam mineral tersebut dengan maksud untuk
meningkatkan ekonomi, kelestarian alam dan sumber daya manusia.

5. PENUTUP

24
5.1. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral logam diatur dalam Undang-undang Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009. Pengertian pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan
dan memperoleh mineral ikutan. Pengolahan ini adalah upaya untuk meningkatkan mutu
mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak
berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat Mineral Logam atau
batuan yang dipoles, sedangkan pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan mutu Mineral
Logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk
menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain
berupa logam dan logam paduan. Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
mewajibkan pada pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkan nilai tambah dengan
melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Undang-Undang memberikan jangka
waktu lima tahun untuk melakukan pemurnian sampai tahun 2014 sesuai dengan Pasal 170
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pengolahan dan pemurnian diatur dalam PP Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kemudian dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral dalam Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di
Dalam Negeri, jangka waktu tiga tahun untuk melakukan pengolahan dan pemurnian pada
pasal 12 angka 15 sehingga menjadi tahun 2017. Bagi pemegang IUP dan IUPK yang
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 akan
dijatuhi sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan IUP, IPR, atau IUPK yang
diatur pada Pasal 151-157 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara dan sanksi pidana berupa pidana penjara, kurungan, denda, denda
dengan pemberatan dan pidana tambahan (pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status
badan hukum) yang diatur dalam Pasal 158-165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2. Adanya ketentuan dalam pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai
kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri. Peningkatan nilai tambah mineral pada dasarnya mengharuskan setiap pelaku
usaha (perusahaan pertambangan mineral) untuk membangun pabrik pengolahan dan/atau
pemurnian, tergantung kepada jenis mineral yang diusahakan; pengusaha mineral bukan logam
dan batuan hanya membangun pabrik pengolahan, sedangkan pengusaha mineral logam harus
membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Dalam hal melakukan pengolahan dan
pemurnian, perusahaan yang belum memiliki IUP OP, tetapi ingin membuat smelter dapat
mengurus perizinan IUP OPK agar memperoleh izin untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian dalam pembangunan smelter. Bagi perusahaan yang sudah memiliki IUP OP tidak
perlu mengurus IUP OPK, karena dalam IUP OP sudah diperoleh izin untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian. Namun, perusahaan tetap harus mengurus perizinan berdirinya
pabrik di Kementerian Perindustrian dan pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, para
pelaku usaha masih merasa diberatkan dengan adanya perizinan ke Kementerian ESDM dan
juga ke Kementerian Perindustrian. Proses pembangunan smelter sangatlah tidak mudah,
perusahaan membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk melakukan pengolahan dan

25
pemurnian. Untuk itu, perusahaan tambang memerlukan investor untuk dapat memberikan
dukungan finansial dalam proyek pembangunan smelter untuk meningkatkan nilai tambah
dalam pengolahan dan pemurnian mineral. Badan usaha milik negara (BUMN) dapat menjalin
kerjasama dengan perusahaan tambang swasta untuk mengembangkan pabrik pemurnian dan
pengolahan (smelter) mineral bila swasta tidak mampu mendirikan smelter baik sendiri
maupun konsorsium. Kerjasama pemerintah dan swasta dimungkinkan karena pemerintah
mempunyai perwakilan, yakni perusahaan BUMN selaku pelaksana. Pemerintah dalam hal ini
adalah pemberi penyertaan modal. Selain investor dalam negeri, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tidak menutup adanya investor asing dalam usaha pertambangan dalam negeri
sesuai dengan uu penanaman modal asing. Besarnya kebutuhan dalam melakukan pengolahan
dan pemurnian, tidak dapat dipungkiri juga adanya suntikan tambahan dari investor asing yang
akan menanamkan modal untuk membantu suatu perusahaan. Bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini, yaitu kerjasama BUMN dalam menigkatkan
nilai tambah dalam pengolahan dan pemurnian mineral logam sekaligus mendatangkan
investor asing adalah kerjasama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan PT Indonesia Asahan
Alumunium (Persero) berencana membentuk perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk
menggarap proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan
Barat, dan investor asing yang berasal dari Cina, yakni China Development Bank.
3. Permohonan uji materiil atas pasal 102 dan pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
dengan alasan merugikan hak konstitusional Pemohon yang berkaitan dengan Pasal 22A, 27
Ayat (2), 28D Ayat (1), dan 33 Ayat (3) dari Undang-Undang Dasar 1945 dengan adanya
kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian mineral hasil pertambangan sebagaimana
dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Regulasi pemerintah
(Menteri ESDM) yang melarang ekspor biji mineral mentah secara konstitusional merupakan
kewenangan Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang
dalam urusan tertentu dibantu oleh Menterinya. Bahwa subtansi ketentuan dalam pasal
tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari
pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk
sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan pengaturan
terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Di samping hal itu pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk meningkatkan nilai
tambah sumber daya mineral dan batubara, sebagai salah satu cara untuk menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan
menjaga kelestarian sumber daya alam. Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam
industri pertambangan. Keputusan MK untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui
Kementerian ESDM terkait dengan pelaksanaan Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 dinilai tepat. Adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian
mineral tersebut maka berdampak positif pada peningkatan nilai ekonomi dari sumber daya
tersebut, yakni bertambahnya nilai harga ekonomis dari sumber daya alam mineral yang telah
diolah dan dimurnikan tersebut; kelestarian lingkungan tersebut terkait dengan terjaganya
cadangan sumber daya alam mineral; dan penyerapan sumber daya manusia mengenai
perluasan lapangan pekerjaan yang tentunya membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Dengan

26
demikian tidak ada permasalahan konstitusional dengan norma tersebut. Kami setuju dengan
penolakan MK terkait dengan permohonan yang diajukan bahwa kewajiban pengolahan dan
pemurnian mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 merupakan ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (2),
Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, hal ini terkait dengan kepentingan
nasional untuk melakukan pengolahan dan pemurnian sumber daya alam mineral tersebut
dengan maksud untuk meningkatkan ekonomi, kelestarian alam dan sumber daya manusia.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan antara lain:


1. Untuk mewujudkan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian maka Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian ESDM harus bekerjasama
secara maksimal untuk mengupayakan agar kebijakan nasional ini dapat terlaksana dengan
baik. Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kepala Pemerintah di daerah harus
mengoptimalkan koordinasi terkait perizinan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
dalam pengurusan IUP OP, IUP OPK, dan IUI pembangunan smelter, sehingga para pelaku
usaha tidak merasa diberatkan. Pemerintah juga sedapat mungkin mengawasi pemegang
Kontrak Karya sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, seperti PT Freeport
Indonesia agar dalam perubahan Kontrak Karya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak
dan dapat berjalan dengan baik sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
2. Terkait adanya kewajiban Pemegang IUP dan IUP meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dengan pengolahan dan pemurnian, di atur dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009. Pemerintah wajib memberikan kepastian hukum dengan memperbaiki
atau melakukan amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 karena Pasal 170 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan jangka waktu lima tahun hingga 2014 sudah
tidak relevan lagi dengan adanya peraturan turunan atau peraturan pelaksana melalui Peraturan
Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang memeberikan jangka waktu tiga tahun hingga
tahun 2017 melalui Pasal 12 angka 15. Hal ini untuk memberikan payung hukum berupa
Undang-Undang terkait Pertambangan Mineral dan Batubara yang dapat digunakan dalam
waktu mendatang yang relevan sesuai perkembangan kondisi pertmabangan yang selalu
berubah dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam meningkatkan nilai
tambah dengan pelaksanaan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri sesuai Pasal 102 dan
103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan terkait kerjasama antara Pemerintah selaku
pemberi penyertaan modal bagi perusahaan yang tidak mampu mendirikan smelter sendiri atau
konsorsium melalui BUMN selaku pelaksana, seperti PT Aneka Tambang Tbk.
3. Para pelaku usaha sebaiknya mampu meningkatkan kinerja dalam kegiatan pengolahan dan
pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri sesuai Pasal 102 dan 103
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Para perusahaan wajib menjalankan regulasi yang
telah dibuat oleh Pemerintah. Dengan adanya peluang yang diberikan pemerintah untuk
melakukan kerjasama dengan BUMN, swasta, dan investor asing dalam pengolahan dan
pemurnian atau pendirian smelter harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan
kualitas dan kemampuan perusahaan baik finansial maupun Sumber Daya manusia agar
mampu bersaing sehat dalam industri pertambangan mineral.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. BUKU

Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, 2004.


A.V. Dicey. An Introduction to the study of The law of The Constitution. London: English
Language Book Society and Mac Millan, 1971.
Erman Rajaguguk. Hukum Investasi di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2006.
Mustafa Erkan. International Energy Investment Law, Stability through Contractual Clauses.
New York: Wolters Kluwer Legal, 2011.
Salim H.S. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

2. MAJALAH

Egenius Soda, Prospek Batubara Terbaik, Majalah Tambang, Desember 2008.

3. ARTIKEL (ONLINE)

Ags. Perizinan Smelter Bakal Diperjelas. Maritim News, 1 September 2015,


http://maritimenews.id/perizinan-smelter-bakal-diperjelas/ (Diunduh 29 Februari 2016).
Dtf. Investor Tiongkok Bakal Gencar Bangun Smelter di RI. Jurnal Asia, 17 Desember 2015,
http://www.jurnalasia.com/2015/12/17/investor-tiongkok-bakal-gencar-bangun-smelter-di-
ri/#sthash.EfhXNCyQ.dpuf (Diunduh 29 Februari 2016).
Lucky L. Leatemia dan Lukas Hendra, Ekspor berpeluang dibuka Kembali, Bisnis Indonesia,
17 Februari 2016, http://www.ima-api.com/index.php?view=article&catid=47%3Amedia-
news&id=3118%3Aekspor-berpeluang-dibuka-
kembali&format=pdf&option=com_content&Itemid=98&lang=id (diunduh 29 Februari
2016)
Nindya Aldila, Pengusaha Smelter Merasa Diberatkan Perizinan, Bisnis Indonesia, 28 Februari
2016, industri.bisnis.ccom/read/20160228/257/523427/pengusaha-smelter-merasa-
diberatkan-perizinan (Diunduh 29 Februari 2016).
Rangga Prakoso dan Wahyu Sudoyo, Definisi Pengolahan dan Pemurnian Perlu Diperjelas,
Beritasatu.com, 7 Januari 2014, http://www.ima-api.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=1456:definisi-pengolahan-dan-pemurnian-perlu-
diperjelas&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id (diunduh 29 Februari 2016).
Yodie Hardiyan, Aneka Tambang (ANTM) Gandeng Inalum Garap Smelter, Bisnis Indonesia,
15 Oktober 2015, http://finansial.bisnis.com/read/20151015/309/482609/aneka-tambang-
antm-gandeng-inalum-garap-smelter (Diunduh 29 Februari 2016).

4. JURNAL INTERNASIONAL

28
M. Frilet, Foreign investments in public infrastructure and mining: Facing the challenge in civil
law africa. Business Law International, 12(2), (2011): hal. 185-196,
http://search.proquest.com/docview/879063851?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari
2016).
R. Bassett, Mining Law & Policy: International perspectives. Journal of Energy & Natural
Resources Law, 31(2), (2013): hal. 219-221,
http://search.proquest.com/docview/1437359823?accountid=17242 (Diunduh 29 Februari
2016).

5. DATA/SUMBER YANG TIDAK DITERBITKAN

Darsa Permana, Siti Rochani, Nuryadi Saleh, dkk. Kajian Dampak Pasca Penerapan Kebijakan
Peningkatan Nilai Tambah Mineral, Laporan Database Hasil Litbang Puslitbang tekMIRA,
Kementerian ESDM, 2015,
http://intranet.tekmira.esdm.go.id/litbang/filesmenteri/DAMPAK%20PERMEN
%20FINAL.pdf (Diunduh 29 Februari 2016).

6. WEBSITE

David Dwiarto. Freeport mulai lakukan hilirisasi, Asosiasi Pertambangan Indonesia, 16


Agustus 2013, http://www.ima-api.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=1109:freeport-mulai-lakukan-
hilirisasi&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=en (Diunduh 29 Februari 2016).
http://www.majalahtambang.com/detail.berita.php?category=36&newssm=2395. (Diunduh
tanggal 03 Maret 2016).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. IUP OP Khusus Pengolahan dan Pemurnian
Mineral, http://www.minerba.esdm.go.id/library/rpiit/IUP%20OP%20Khusus
%20Pengolahan%20Dan%20Pemurnian%20Mineral.pdf (Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. http://minerba.esdm.go.id/library/rpiit/?data=79
(Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Perindustrian. Mau Bangun Smelter, Pengusaha Ngeluh Proses Izin yang
Panjang, http://kemenperin.go.id/artikel/4291/Mau-Bangun-Smelter,-Pengusaha-Ngeluh-
Proses-Izin-Yang-Panjang (Diunduh 29 Februari 2016).
Kementerian Perindustrian. BUMN dan Swasta bisa Bermitra untuk Bangun Smelter,
http://www.kemenperin.go.id/artikel/8777/BUMN-dan-Swasta-Bisa-Bermitra-untuk-
Bangun-Smelter IFT (Diunduh 29 Februari 2016).

7. PUTUSAN PENGADILAN

Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 10/PUU-XII/2014, Tanggal 3 Desember


2014.

8. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

29
Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri,
Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, BN Nomor 35 Tahun 2014.
________. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tata Cara dan
Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjual Mineral Ke Luar Negeri Hasil
Pengolahan dan Pemurnian, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, BN Nomor 185 Tahun
2016.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara, PP Nomor 23 Tahun 2010, LN Nomor 29, Tahun 2010, TLN Nomor 5111.
________. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
PP Nomor 24 Tahun 2012, LN Nomor 45 Tahun 2012, TLN Nomor 5282.
________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara, PP Nomor 1 Tahun 2014, LN Nomor 1 Tahun 2014, TLN Nomor
5489.
________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
________. Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 4 Tahun
2009, LN Nomor 4 Tahun 2009, TLN Nomor 4959.
________. Undang-Undang tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun 2007, LN Nomor
67 Tahun 2007, TLN Noomor 4724.
________. Surat Edaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Klasifikasi
Badan Usaha di Bidang Pertambangan dalam Akta Pendirian Badan Usaha, SE
Kementerian ESDM Nomor: 11.E/30/DJB/2011.

30

You might also like