You are on page 1of 8

TERBARU HEADLINE Masuk

LABEL POPULER Sastra RUBRIK INSPIRAKSI


Pilkadadki2017 EVENT Telkomsel Tanyadokter

TOPIK PILIHAN PRO KONTRA


Dokter Gigi Keluarga - Menuju Optimalisasi Pelayanan
Kesehatan Gigi di Indonesia
10 Agustus 2011 07:33:06 | Diperbarui: 26 Juni 2015 02:55:55 | Dibaca : 1,703 | Komentar : 0 | Nilai : 0 | Durasi Baca : 12 menit

Pendahuluan

Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah
penduduk Indonesia adalah 237.556.363 jiwa (BPS, 2010). Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumah penduduk
terbesar ke-4 di dunia. Permasalahan kesehatan pada negara dengan jumlah penduduk yang begitu besar, tentunya memerlukan
perhatian dan manajemen pelayanan kesehatan yang baik.

Pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan gigi untuk seluruh penduduk Indonesia secara langsung dan tidak langsung berhubungan
dengan ketersediaan tenaga kesehatan gigi. Berdasarkan data registrasi dokter gigi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), diketahui bahwa
jumlah dokter gigi yang terdaftar pada tahun 2010 adalah sebanyak 22.237 orang yang terdiri dari 20.665 orang dokter gigi umum dan
1.582 orang dokter gigi spesialis. Dengan demikian secara kasar perbandingan antara jumlah dokter gigi umum dengan jumlah
penduduk adalah sebesar 1:11.496 sedangkan untuk dokter gigi spesialis sebesar 1:150.162. Berdasarkan indikator Indonesia Sehat
2010, rasio ideal untuk jumlah dokter gigi dengan jumlah penduduk adalah 11 dokter gigi untuk 100.000 penduduk atau 1:9090.

Akan tetapi perbandingan secara kasar tersebut tidaklah tepat untuk menilai ketersediaan tenaga kesehatan gigi di Indonesia, hal ini
dikarenakan tidak semua dokter gigi yang terdaftar di KKI (dokter gigi yang memiliki STR) berpraktek, disamping itu, persebaran jumlah
penduduk dan dokter gigi di Indonesia tidaklah merata, seperti diketahui, dokter gigi dan penduduk di Indonesia sebagian besar
terkonsentrasi di pulau Jawa dan pulau Sumatera. Apabila kita mencoba mempersempit analisa dengan rasio di pulau Jawa, maka
berdasarakan data BPS, diketahui bahwa jumlah penduduk di pulau Jawa pada tahun 2010 adalah sebanyak 136.563.142 jiwa (57,5%
total jumlah penduduk Indonesia), sedangkan jumlah dokter gigi umum di pulau Jawa berdasarkan data KKI adalah sebesar 63% dari
total jumlah dokter gigi di Indonesia (13.019 orang), dengan demikian rasio dokter gigi dengan jumlah penduduk di pulau Jawa adalah
sebesar 1:10.489 (87% dari rasio ideal). Sehingga khusus untuk pulau Jawa, rasio ketersediaan tenaga dokter gigi sudah mendekati angka
ideal.

Di lain pihak, apabila kita mencermati berbagai indikator capaian kesehatan gigi berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementrian
Kesehatan tahun 2007, dapat kita ketahui bahwa 23,43% penduduk pulau Jawa mengalami permasalahan gigi dan mulut, dan dari
penduduk yang mengalami permasalahan gigi dan mulut tersebut, hanya sejumlah 32,73% yang menerima perawatan atau pengobatan
dari tenaga kesehatan gigi. Selain itu, indeks karies (DMF-T)/angka pengalaman karies gigi pada penduduk pulau Jawa adalah sebesar
4,83% yang mengindikasikan bahwa setiap penduduk pulau Jawa, rata-rata memiliki 5 gigi yang berlubang dimana hal ini termasuk
dalam kategori tinggi berdasarkan kriteria WHO (1980). Nilai rujukan persentase penduduk 10 tahun ke atas di pulau Jawa yang
berperilaku benar menggosok gigi (dikategorikan berperilaku benar dalam menggosok gigi bila seseorang mempunyai kebiasaan
menggosok gigi setiap hari dengan cara yang benar, yaitu dilakukan pada saat sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam) adalah
hanya sebesar 6,73%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk pulau Jawa belum memiliki pengetahuan dan kesadaran
tentang kesehatan gigi dan mulut yang baik dan benar.

converted by Web2PDFConvert.com
Berdasarkan analisa sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa bahkan untuk pulau Jawa dengan jumlah dokter gigi terbesar (baca:
rasio ketersediaan tenaga kesehatan gigi mendekati ideal) di Indonesia pun capaian indikator kesehatan gigi dan mulut yang dilaporkan
kurang begitu menggembirakan. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi dunia kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.

Oleh karenanya, tulisan ini akan mencoba untuk mengupas aspek tata kelola sistem pelayanan kesehatan gigi dan mulut untuk
memberikan peningkatan akses pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang lebih baik kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat dengan mewacanakan implementasi sistem kedokteran gigi keluarga yang
sedikit banyak mengamati sistem yang digunakan oleh negara lain dalam memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Sistem Kesehatan Nasional

Apabila kita mencoba untuk menilik tata kelola pelayanan kesehatan di Indonesia, tentunya kita dapat merujuk pada Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) 2009. SKN adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa
Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945. Di dalam SKN ditetapkan bahwa pelayanan kesehatan
di Indonesia diejawantahkan dalam Subsistem Upaya Kesehatan, dimana pada penyelenggaraan Subsistem Upaya Kesehatan tersebut
dilaksanakan melalui Upaya Kesehatan Primer, Sekunder dan Tersier. Upaya Kesehatan baik Primer, Sekunder maupun Tersier
terdikotomi menjadi Pelayanan Kesehatan Perorangan (Primer, Sekunder maupun Tersier) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Primer,
Sekunder maupun Tersier), dimana pada tiap unit Pelayanan Kesehatan tersebut terdapat institusi maupun personal yang
bertanggungjawab dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing.

Satu hal yang cukup istimewa dalam sistem tersebut adalah bahwa pada tataran Pelayanan Kesehatan Perorangan Primer dan Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Primer sebagai kepanjangan tangan pemerintah, terdapat satu institusi yang bertanggungjawab pada keduanya,
yaitu Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Pelayanan Kesehatan Primer berperan sebagai kontak pertama masyarakat pada
kesehatan. Dalam kapasitasnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan primer baik perorangan maupun masyarakat, Puskesmas
bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan klinis terhadap masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan (termasuk
didalamnya kesehatan gigi dan mulut yang dilayani oleh unit BPG/Balai Perawatan Gigi), dan sekaligus memberikan pelayanan
kesehatan masyarakat dalam rangka menjamin derajat kesehatan masyarakat melalui peran promosi kesehatan, pencegahan penyakit
menular, sanitasi kesehatan dan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat lainnya. Sehingga di bawah satu atap institusi Puskesmas,
dibebankan dua tanggungjawab besar yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesehatan seluruh masyarakat di wilayah kerjanya.

Apabila kita memfokuskan perhatian pada pelayanan kesehatan gigi yang dilakukan oleh Puskesmas, maka dapat kita simpulkan bahwa
dalam satu atap BP Gigi dibebankan tanggung jawab untuk menjamin derajat kesehatan gigi dan mulut dari masyarakat dalam wilayah
kerjanya (1 kecamatan ataupun dapat pula beberapa kelurahan dalam 1 kecamatan). SDM (Sumber Daya Manusia) BP Gigi dituntut
untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan gigi kepada masyarakat dalam keseluruhan kontinum mulai aspek promotif hingga kuratif.
Tentunya tanggungjawab ini menjadi cukup berat, dikarenakan BP Gigi harus dapat membagi kegiatan dalam dan luar gedung-nya
dengan keterbatasan SDM yang ada. Akibatnya personel BP Gigi (jamak pada Puskesmas dengan populasi penduduk padat seperti di
pulau Jawa) pada umumnya akan lebih terkonsentrasi pada aspek kuratif (pelayanan perawatan/pengobatan klinis) dalam menunaikan

converted by Web2PDFConvert.com
tanggungjawab pelayanan kepada masyarakat yang datang mengunjungi Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi,
sementara aspek promotif dan preventif menjadi prioritas berikutnya apabila kegiatan dalam gedung tersebut telah terselesaikan. Hal ini
tentunya sedikit banyak turut berimbas pada rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan perilaku sehat gigi dan mulut yang berujung
pada rendahnya derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat.

Selain Puskesmas, sebagai pemberi Pelayanan Kesehatan Primer, dalam SKN juga disebutkan adanya peranan masyarakat dan swasta.
Peranan masyarakat dan swasta khususnya dalam pemberi pelayanan kesehatan gigi perorangan primer diwujudkan antara lain dengan
adanya berbagai praktik professional dokter gigi swasta perorangan, maupun berkelompok dimana sistem pembiayaan yang digunakan
adalah fee for service-out of pocket. Seperti diketahui, biaya perawatan kesehatan gigi dengan sistem tersebut sangatlah tinggi, sehingga
umumnya pengguna pelayanan kesehatan gigi tersebut adalah masyarakat golongan menengah-atas yang mempunyai daya beli yang
cukup tinggi, sementara masyarakat kebanyakan yang mempunyai keterbatasan finansial, tentunya sangat sulit untuk mengakses
pelayanan kesehatan gigi tersebut. Keterbatasan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan gigi perorangan primer swasta ini
tentunya juga berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat.

Oleh karena itu, selanjutnya tulisan ini akan mencoba untuk mencermati tentang sistem kesehatan (sistem pelayanan kesehatan) di
beberapa negara sebagai perbandingan dengan sistem yang telah berjalan di Indonesia, dalam rangka meningkatkan mutu dan akses
pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat.

Sistem Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut Primer di beberapa Negara

Pelayanan kesehatan di berbagai negara di belahan dunia mempunyai berbagai ciri khas yang mencerminkan karakteristik dan
kebutuhan akan kesehatan yang dimiliki masing-masing negara. Akan tetapi, pada dasarnya hampir semua negara di dunia
menggunakan sistem pelayanan kesehatan berjenjang seperti halnya Sistem Kesehatan Nasional yang telah kita miliki. Perbedaan yang
dapat diamati adalah implementasi dari sistem tersebut, dimana pada negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Selandia
Baru, Jepang, dll sistem rujukan berjalan dengan sangat baik, yang tentunya telah didukung oleh sistem jaminan kesehatan/sistem
asuransi yang memadai sehingga implementasi penjenjangan pelayanan kesehatan dapat berjalan dan terorganisasi dengan sangat baik.

Inggris

Pelayanan kesehatan di Inggris dilaksanakan melalui sebuah sistem yang dikenal dengan nama National Health Service (NHS) yang
merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka memberikan jaminan kesehatan masyarakat. Dasar dari penyelenggaraan
sistem ini lebih menitikberatkan pada kebutuhan masyarakat akan kesehatan, bukan pada kemampuan masyarakat untuk membayar
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan melalui pembiayaan yang bersumber dari pajak negara. Dalam memberikan pelayanan
kesehatan primer gigi dan mulut, NHS mengimplementasikan beberapa skema yaitu GDS (General Dental Service) dan PDS (Personal
Dental Service). Di samping kedua skema tersebut, terdapat pula dokter gigi yang berpraktek swasta diluar sistem NHS. Terhitung sejak
tahun 1998, pengelolaan NHS dalam implementasi skema GDS dan PDS di tingkat lokal dilakukan oleh Primary Care Trusts (PCT) (Harris,
et. al., 2008).

converted by Web2PDFConvert.com
Kedua skema tersebut merupakan skema pemberian pelayanan kesehatan gigi dan mulut primer, dimana masyarakat yang telah
mengikuti sistem NHS diharuskan menjumpai dokter gigi umum dalam sistem tersebut pada kunjungan pertamanya untuk
mendapatkan perawatan kesehatan gigi. Sementara dokter gigi umum yang memberikan pelayanan pada skema tersebut haruslah ter-
registrasi dan terikat kontrak dengan NHS. GDS merupakan skema tertua kontrak kerja antara dokter gigi dengan NHS untuk
memberikan pelayanan primer kepada pasien berdasarkan sistem pembiayaan fee-per-item dimana dokter gigi mendapatkan
pembayaran dari NHS untuk tiap perawatan yang mereka lakukan berdasarkan kesepakatan dalam kontrak.Sistem ini telah berjalan
sejak tahun 1948 (Harris, et. al., 2009). Sistem ini kemudian diperbaiki dengan adanya sistem PDS yang diperkenalkan pada tahun 1998
(Milsom, et. al., 2008), dikarenakan dengan sistem GDS, dokter gigi cenderung menghabiskan waktu mereka untuk melakukan
perawatan kuratif (terutama restoratif) dan meninggalkan aspek promotif dan preventif. Skema PDS memberlakukan sistem prospective-
payment, dimana dokter gigi mendapatkan besaran blok dana (umumnya berdasarkan kapitasi) tertentu berdasarkan kebijakan PCT pada
awal berjalannya kontrak. Sistem ini dianggap menguntungkan bagi masyarakat maupun dokter gigi. Pada kurun Mei 2005, tercatat 25%
dokter gigi beralih dari skema GDS ke PDS (Harris, et. al., 2009), dan dokter gigi pun dapat lebih meluangkan waktu dan memaksimalkan
aspek promotif dan preventif pada pasien dalam wilayah kerjanya.Pada tahun 2006, muncul skema baru dengan nama Units of Dental
Activity (UDA), dimana dokter gigi yang tergabung dalam skema tersebut dikontrak dengan sistem pembayaran berdasarkan target
tertentu yang ditentukan oleh PCT berdasarkan pada kebutuhan masyarakat dan aktifitas dokter gigi yang bersangkutan dalam skema
sebelumnya, dikurangkan 5% (dimaksudkan untuk memberikan ruang pada dokter gigi untuk melakukan tindakan preventif dan
promotif) (Milsom., et. al., 2008).

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita amati bahwa peranan pihak ketiga, dalam hal ini PCT sebagai kepanjangan tangan NHS (pihak
pemerintah) dalam mengelola sistem pelayanan kesehatan gigi adalah sangat dominan dan penting. Pemerintah menerapkan sistem
managed care untuk memberikan hasil yang optimal dan berkeadilan bagi masyarakat dan di lain pihak juga memperhatikan
kesejahteraan provider (dalam hal ini dokter gigi). Berdasarkan data WHO dalam Bulletin of World Health Organization, untuk populasi
penduduk usia < 12 tahun, Inggris termasuk dalam kategori sangat rendah (DMFT<1,2) dalam angka indeks karies (Petersen, et. al.,
2005). Hal ini mengindikasikan kesadaran akan kesehatan gigi yang cukup tinggi pada penduduk usia muda yang tentunya secara
langsung maupun tidak langsung merupakan hasil dari pengelolaan sistem pelayanan kesehatan gigi yang baik.

Amerika Serikat

Seperti halnya di Inggris, sistem pelayanan kesehatan gigi di Amerika Serikat diimplementasikan dalam beberapa skema. Salah satunya
adalah jaminan kesehatan gigi untuk masyarakat miskin yang diwujudkan dengan program Medicaid, dimana masyarakat miskin dijamin
perawatan kesehatan maupun kesehatan gigi primernya melalui sistem asuransi publik (Kalsen, 2007) yang dilayani melalui Community
Health Centers (CHC). Akan tetapi pada perkembangannya, akses terhadap pelayanan ini oleh masyarakat sasaran juga dinilai kurang
efektif dikarenakan berbagai sebab, diantaranya terdapat inkonsistensi penggolongan masyarakat miskin berdasarkan berbagai macam
parameter dan sulitnya perekrutan dokter gigi untuk memberikan pelayanan profesional di CHC (Rosenblatt, et. al., 2006).

Berdasarkan kenyataan tersebut, untuk lebih meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gigi, diterapkanlah
pendekatan managed care. Sebagian besar masyarakat Amerika Serikat mendapatkan jaminan kesehatan berupa asuransi dari tempat
mereka bekerja. Pada awal tahun 1990an diperkenalkanlah skema Dental Health Maintenance Organizations (DHMO), dimana dalam
skema ini, pihak penjamin melakukan kontrak terhadap dokter gigi untuk memberikan pelayanan perawatan gigi terhadap pegawai
dengan sistem kapitasi untuk pelayanan diagnostik dasar, preventif dan restoratif (Bailit, 1999). Pada akhir tahun 1990an, diperkenalkan
pula skema lainnya, yaitu Preferred Provider Organization (PPO), dimana pihak penjamin mengontrak dokter gigi untuk memberikan
pelayanan pada pegawai dengan sistem pembiayaan cost-sharing, sehingga pegawai masih diwajibkan untuk membayar sebagian biaya

converted by Web2PDFConvert.com
jasa pelayanan kesehatan yang didapatkan, tentunya dengan besaran yang terjangkau.

Layaknya skema yang diterapkan di Inggris, Amerika Serikat pun menggunakan sistem managed care dalam rangka meningkatkan
aksesibilitas dan optimalisasi pelayanan kesehatan gigi kepada masyarakatnya. Berdasarkan data WHO dalam Bulletin of World Health
Organization, untuk populasi penduduk usia < 12 tahun, Amerika Serikat termasuk dalam kategori rendah (DMFT=1,2 2,6) dalam angka
indeks karies (Petersen, et. al., 2005) dan untuk populasi penduduk usia 35-44 tahun dengan angka indeks karies (DMFT) moderat
dengan nilai 9 13,9.Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran akan kesehatan gigi yang cukup tinggi pada penduduk usia muda dan
dewasa yang tentunya secara langsung maupun tidak langsung merupakan hasil dari pengelolaan sistem pelayanan kesehatan gigi yang
baik.

Selandia Baru

Pelayanan kesehatan primer di Selandia Baru dijamin oleh pemerintah melalui sistem Primary Health Organizations (PHOs). Pelayanan
kesehatan gigi primer di Selandia Baru yang dijamin oleh pemerintah difokuskan pada penduduk usia anak dan remaja. Pada anak-anak
hingga usia 12 tahun, pelayanan kesehatan gigi dilaksanakan melalui sekolah (school-based dental therapist system), sedangkan bagi
remaja yang menghendaki perawatan gigi dengan jaminan pemerintah, mereka harus terdaftar pada dokter gigi yang telah dikontrak
oleh pemerintah dengan sistem pembayaran kapitasi. Bagi penduduk berusia dewasa, pelayanan jaminan kesehatan gigi oleh
pemerintah sangat terbatas pada pelayanan klinik gigi di rumah sakit untuk kelompok masyarakat tertentu (Thompson, 2001).

Pada beberapa negara yang lain seperti Belanda, Jepang, dll, terdapat pula skema pelayanan kesehatan gigi yang menjadi ciri khas
masing-masing negara, akan tetapi pada dasarnnya semua negara tersebut menerapkan pola managed care dalam mengelola pelayanan
kesehatan dan kesehatan gigi pada masyarakatnya.
Analisa Situasi

Mencermati berbagai sistem yang dijalankan berbagai negara dalam memberikan pelayanan kesehatan primer (khususnya kesehatan
gigi primer) di atas, tentunya membangkitkan semangat kita untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan gigi
kepada masyarakat. Kebutuhan untuk menerapkan pola managed care pada sistem kesehatan nasional Indonesia mendesak untuk dapat
dipenuhi dalam rangka mencapai niatan tersebut. Oleh sebab itu, dibentuknya suatu instrumen baru untuk mendukung proses tersebut
sangatlah dimungkinkan dan dibutuhkan. Salah satunya adalah dengan diimplementasikannya skema dokter gigi keluarga dalam sistem
kesehatan nasional yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan pengelolaan pelayanan kesehatan gigi primer di
masyarakat.

Skema dokter gigi keluarga dirancang untuk menjadi elemen utama dalam sebuah sistem pelayanan kesehatan gigi perorangan primer.
Dokter gigi keluarga diharapkan dapat menjadi gate-keeper dalam Sistem Kesehatan Nasional sebagai pemberi pelayanan kesehatan gigi
tingkat pertama. Skema dokter gigi keluarga haruslah dilaksanakan dengan dukungan sistem managed-care, dimana dalam sistem
tersebut diseyogyakan minimal terdapat 3 pihak yang masing-masing melakukan peran sebagai pemberi pelayanan kesehatan (dokter
gigi keluarga), penjamin (pemerintah maupun lembaga asuransi) dan penerima jasa pelayanan kesehatan (masyarakat).

converted by Web2PDFConvert.com
Dokter gigi keluarga nantinya haruslah terikat dalam hubungan kontraktual dengan pihak penjamin untuk menjamin kesehatan gigi pada
masyarakat di wilayah tertentu yang menjadi tanggungjawabnya selama periode waktu tertentu. Sistem pembiayaan yang diterapkan
pada dokter gigi keluarga oleh pihak penjamin dapat dilakukan dengan prospective payment, dengan harapan bahwa dokter gigi keluarga
akan berusaha semaksimal mungkin untuk menekan penggunaan biaya untuk melakukan prosedur kuratif (dikarenakan prosedur kuratif
merupakan aspek yang membutuhkan sumber daya terbesar), sehingga dokter gigi keluarga diharapkan dapat lebih menyentuh dan
mengutamakan aspek promotif dan preventif agar sumber daya dana dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara pihak penjamin
dapat mengontrol kualitas pekerjaan dokter gigi keluarga berdasarkan mekanisme penjaminan mutu yang dapat dilakukan melalui
kontrol keluhan masyarakat akan mutu pelayanan dokter gigi keluarga yang bertanggungjawab pada wilayah mereka.

Di lain pihak, masyarakat dapat meningkatkan aksesnya terhadap pelayanan primer kedokteran gigi dan diharapkan kesadaran dan
derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat lebih meningkat dengan peran aktif dokter gigi keluarga dalam aspek promotif dan
preventif, juga efektifnya peran Puskesmas dalam bidang kesehatan masyarakat.

Peran dokter gigi keluarga sebagai gate-keeper pada pemberi pelayanan kesehatan gigi perorangan primer diharapkan dapat lebih
mentertibkan sistem rujukan dalam sistem kesehatan nasional. Selain itu, dokter gigi keluarga juga diharapkan dapat mengefektifkan
penggunaan sumber daya masyarakat yang diperlukan untuk kesehatan gigi, dimana dokter gigi keluarga sebagai g ate-keeper
diharapkan dapat menyelesaikan seluruh keluhan masyarakat akan kesehatan gigi yang termasuk dalam batas kompetensi dan
kewenangannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan perorangan primer, sehingga masyarakat tidak perlu mengorbankan sumber
daya yang lebih besar untuk mendapatkan perawatan tingkat spesialis yang sesungguhnya tidak mereka perlukan.

Penutup

Berbagai pengalaman dari negara lain dan probabilitas dicapainya beberapa efek positif dari implementasi skema dokter gigi keluarga
diatas tentunya dapat menjadi pemicu semangat para pengambil kebijakan untuk melakukan perbaikan dalam sistem kesehatan
nasional di Indonesia. Implementasi skema dokter gigi keluarga di atas kertas menjanjikan berbagai efek positif yang mungkin dapat
dicapai, di lain pihak, berbagai kesulitan dan tantangan yang mungkin timbul dari wilayah negara dan jumlah penduduk Indonesia yang
begitu besar tentunya tidaklah mungkin dapat dihindari. Akan tetapi tantangan tersebut tidaklah tepat untuk dijadikan alasan untuk tidak
berbuat apa-apa, dikarenakan bangsa Indonesia memang sudah terlahir dengan berbagai tantangan tersebut. Bangsa lain yang telah
menemukan sistem yang mapan pun telah melewati proses panjang yang tidak lepas dari kegagalan, karena justru dengan kegagalan
itulah dapat diambil pelajaran untuk tidak mengulanginya di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

converted by Web2PDFConvert.com
BPS, 2010, Sensus Penduduk 2010, http://www.bps.go.id

Depatemen Kesehatan RI, 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010, Pusat Data dan Informasi Depkes RI, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Depkes RI, Jakarta

Konsil Kedokteran Indonesia, 2010, Konsil Kedokteran Indonesia, http://inamc.or.id

Departemen Kesehatan RI, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI, Jakarta

Henry J. Kalsen, 2007, Kaiser Family Foundation, Issue Brief. Medicaids Role for Women, http://www.kff.org

Howard Bailit, D.M.D., PhD., 1999, Dental Insurance, Managed Care and Traditional Practice, Journal of American Dental Association, vol:
130, December 1999

K. M. Milsom, A. Threlfall, K. Pine, M. Tickle, A.S. Blinkhorn, P. Kearney-Mitchell, 2008, The Introduction of the New Dental Contract in
England a Baseline Qualitative Assessment, British Dental Journal 2008; 204:59-62

Poul Erik Petersen, Denis Bourgeois, Hiroshi Ogawa, Saskia Estupinan-Day, Charlotte Ndiaye, 2005, The Global Burden of Oral Disease and
Risks to Oral Health, Bulletin of World Health Organization, September 2005; 83(9)

converted by Web2PDFConvert.com
R. Harris, A. Ashcroft, G. Burnside, J.M. Dancer, D. Smith, B, Grieveson, 2008, Facets of Job Satisfaction of Dental Practitioners Working in
Different Organisational Settings in England, British Dental Journal 2008; 204:E1

R. Harris, G. Burnside, A. Ashcroft, B. Grieveson, 2009, Job Satisfaction of Dental Practitioners Before and After a Change in Incentives and
Governance: a Longitudinal Study, British Dental Journal 2009; 207:E4

Rosenblatt, R. A., Androlla, C.H.A., Curtin, T., Hart, L.G., 2006, Shortages of Medical Personnel at Community Health Centers. Implications for
planned expansion, J. Am. Med. Assoc. 2006;295:1042-9

Thompson, W.M., 2001, Use of Dental Services by 26-year-old New Zealanders, New Zealand Dental Journal 2001; 97:44-8

Lisdrianto Hanindriyo
/drian_sulistiyo
status: menikah
Selengkapnya...

IKUTI

Share Share

0 0

JADIKAN FAVORIT

KOMPASIANA ADALAH PLATFORM BLOG, SETIAP ARTIKEL MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS.

LABEL medis kesehatan

converted by Web2PDFConvert.com

You might also like