Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini
akan berdampak pada tumbuh kembang anak. Anak yang kurang gizi akan tumbuh
kecil, kurus, dan pendek. Gizi kurang pada anak usia dini juga berdampak pada
kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu
gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga, yaitu
status gizi di masyarakat. Pada tahun 2013, 17% atau 98 juta anak di bawah lima
tahun di negara berkembang mengalami kurang gizi (berat badan rendah menurut
umur berdasarkan standar WHO). Prevalensi tertinggi berada di wilayah Asia Selatan
Tenggara dan Afrika Tengah 16%, dan Afrika Selatan 12% (WHO, 2014).
daripada yang tinggal di daerah perkotaan. Kurang gizi pada anak-anak, termasuk
diantaranya gangguan pertumbuhan sejak janin, asupan ASI (Air Susu Ibu) yang
kurang optimal atau tidak cukup, pendek, kurus dan kekurangan vitamin A dan Seng.
Merupakan penyebab utama kematian, diperkirakan 45% dari seluruh kematian pada
Data dari seluruh dunia menurut WHO (2014), terdapat proporsi anak
dibawah lima tahun dengan keadaan kurang gizi mengalami penurunan angka
persentase 10% yang terjadi antara tahun 1990 sampai 2013, yaitu dari 25% menjadi
15%. Di Afrika, terdapat penurunan yang relatif kecil, yaitu dari 23% pada tahun
1990 menjadi 17% pada tahun 2013. Pada periode yang sama, di Asia terjadi
penurunan dari 32% menjadi 18%, dan di Amerika Latin dan Caribbean turun dari
8% menjadi 3%. Ini berarti angka proporsi di Asia dan Amerika Latin juga Caribbean
sudah hampir mendekati angka yang ditargetkan oleh Millenium Development Goals
angka target MDGs, namun rata-rata kejadian kurang gizi berlanjut dan menjadi
sangat tinggi di Asia Selatan sebesar 30%. Hal ini berhubungan dengan populasi yang
besar, yang artinya kurang gizi terbanyak ada pada balita yang tinggal di Asia Selatan
dari trend yang terjadi di beberapa populasi, namun ini terlalu dini untuk
disimpulkan.
Menurut data WHO (2014), negara di regioanal Asia Selatan yang memiliki
angka tertingi kejadian kurang gizi yaitu India 43,5% (2006), disusul negara-negara
seperti Bangladesh 36,8% (2011), Afghanistan 32,9% (2011), Pakistan 31,6% (2013).
37,9% (2012), Nigeria 31% (2013), Chad 30,3% (2010). Sejalan dengan kejadian
kurang gizi, berdasarkan data WHO (2014) untuk kejadian stunting, masih terdapat
kesamaan wilayah dimana prevalensi tinggi pada tahun 2013, berada pada regional
Afrika dan Asia dengan jumlah tertinggi di Afrika Timur sebesar 42,3%, di Asia
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi
kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh
kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
(Almatsier, 2004).
didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi,
Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Pada Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, telah terungkap bahwa Indonesia
mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum
dapat diatasi secara menyeluruh, sudah muncul masalah baru yaitu berupa gizi
Penyebab langsung kurang gizi yaitu asupan makanan tidak seimbang dan
penyakit infeksi. Sedangkan untuk penyebab tidak langsung diantaranya tidak cukup
persediaan pangan, pola asuh anak tidak memadai, sanitasi/pelayanan kesehatan dasar
pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan akar masalah penyebab kurang gizi adalah
krisis ekonomi, politik dan sosial (UNICEF, 1998 dalam Baliwati 2010).
bayi lahir sampai dewasa. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), diperoleh prevalensi
gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD), memberikan gambaran yang fluktuatif dari
18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian meningkat lagi menjadi
19,6% (tahun 2013) terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Dari data di
atas prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9% dari 2007 sampai 2013. Prevalensi gizi
buruk juga mengalami perubahan yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010,
dan 5,7% pada tahun 2013. Bappenas dalam laporan hasil Riskesdas (2013),
menyatakan bahwa untuk mencapai sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5% maka
kurang antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30%.
Pada tahun 2013, prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita secara nasional
sebesar 19,6%, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan
nasional yaitu berkisar antara 21,2% sampai dengan 33,1%. Provinsi yang
prevalensinya sangat tinggi adalah NTT 33,1% diikuti Papua Barat 32%. Sedangkan
Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan urutan ke tujuh untuk prevalensi gizi
Indonesia termasuk dalam lima besar negara di dunia untuk jumlah stunting
pada anak-anak. Kurang lebih satu dari tiga orang anak atau 37,2% anak di Indonesia
menderita stunting. Hal itu berarti 9,5 juta anak-anak di bawah umur lima tahun
prevalensi stunting sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi stunting 40%.
Prevalensi stunting secara nasional pada tahun 2013 adalah 37,2%, jumlah ini
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 35,6% dan tahun 2007
sebesar 36,8% dan termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat yang dianggap
berat. Prevalensi ini terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada tahun
menjadi 18,5% tahun 2010. Sedangkan prevalensi pendek meningkat dari 18,0%
tahun 2007 menjadi 19,2% tahun 2013. Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori
berat, salah satunya yaitu Provinsi Aceh yang berada pada urutan ke sembilan,
Gizi seimbang bagi anak usia 0-2 tahun dimulai sejak konsepsi sampai dua
tahun pertama lahir, masa ini adalah masa kritis, periode ini sel-sel otaknya sudah
mencapai lebih dari 80%. Kekurangan gizi pada masa kehidupan ini perlu perhatian
serius. Pola makan dengan gizi seimbang, bayi akan tumbuh dan berkembang secara
optimal, termasuk kecerdasannya. Kurang perhatian orang tua khususnya ibu pada
periode kritis ini, kegagalan tumbuh kembang optimal akan terbawa terus sampai
dewasa secara permanen. Bila pola pemberian ASI tidak benar atau Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) tidak mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan
Seiring dengan bertambahnya umur, asupan zat gizi yang lebih rendah
kehidupan, maka sebagian besar bayi di Indonesia terus mengalami penurunan status
gizi dengan puncak penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok
umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai
titik tertinggi. Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
internal yaitu faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang
meliputi asupan zat gizi dan penyakit infeksi (Almatsier, 2004). Faktor eksternal yang
mempengaruhi status gizi yaitu pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu
atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan,
bahwa anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah
terkena penyakit infeksi. Hasil penelitian Kusriadi (2010), diperoleh hasil anak balita
yang terinfeksi suatu penyakit tertentu mempunyai peluang risiko kejadian stunting
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer seperti
makanan maupun yang sekunder. Tingkat penghasilan juga ikut menentukan jenis
pangan yang akan dibeli dengan adanya tambahan penghasilan. Orang miskin
sebagian besar untuk hasil olah susu (Andriani & Wirjatmadi, 2012).
stunting yang merupakan keadaan kurang gizi yang sudah berlangsung lama (kronis).
Kemiskinan adalah keadaan sebuah keluarga yang tidak sanggup memelihara dirinya
dan keluarganya dengan taraf kehidupan, dan juga tidak mampu memanfaatkan
berhubungan dengan status gizi kronis pada anak balita di perkotaan, setelah
dikontrol variabel pendidikan dan tinggi badan orang tua. Sedangkan faktor paling
berhubungan dengan status gizi kronis pada anak di pedesaan adalah tingkat ekonomi
kesehatan, tinggi badan orang tua dan kecukupan energi protein. Hal menarik yang
perlu kajian mendalam adalah faktor ekonomi yang paling berpengaruh, bukan
tingkat kecukupan energi. Perlu diketahui, status gizi kronis merupakan status gizi
berdasarkan indikator TB/U yang menggambarkan status gizi masa lalu, oleh
kemiskinan di Kabupaten Pidie pada tahun 2013 sebesar 21,12%, angka ini
melampaui angka kemiskinan Indonesia pada tahun yang sama sebesar 11,7%.
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Pidie pada tahun 2013 sebesar 85 ribu jiwa,
merupakan jumlah terbesar kedua setelah Kabupaten Aceh Utara. Jenis pekerjaan
sebagian besar penduduk adalah nelayan, petani, dan berkebun (BPS Kabupaten
Pidie, 2013).
Kegiatan Penilaian Status Gizi (PSG) dilakukan untuk menilai status gizi
balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB. Data yang diperoleh melalui kegiatan
PSG untuk prevalensi stunting (TB/U) pada balita di Kabupaten Pidie tahun 2013
sebesar 18,8%, terdiri dari prevalensi pendek 13,6% dan sangat pendek 5,2%. Pada
tahun 2014 prevalensi stunting pada balita sebesar 15,6% terdiri dari prevalensi
tertinggi terdapat di wilayah Puskesmas Muara Tiga pada tahun 2013 yang terdiri dari
prevalensi pendek sebesar 28,1% dan sangat pendek 4,1%. Sedangkan pada tahun
2014, prevalensi stunting yang terdiri dari prevalensi pendek sebesar 30,85% dan
sangat pendek 8,35%. Dari uraian data diatas menunjukkan bahwa di wilayah
Puskesmas Muara Tiga terdapat peningkatan prevalensi stunting pada balita yang
Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahui faktor apa saja
yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
1. Untuk mengetahui pengaruh riwayat berat badan lahir terhadap kejadian stunting
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Tiga Kabupaten Pidie.
stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Tiga Kabupaten
Pidie.
3. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh anak balita terhadap kejadian stunting
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Tiga Kabupaten Pidie.
pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Muara Tiga Kabupaten Pidie.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh riwayat berat badan lahir, riwayat pemberian ASI Eksklusif,
pola asuh anak balita (pola asuh makan, pola asuh perawatan kesehatan, pola asuh
10
keluarga terhadap kejadian stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
1. Hasil penelitian dapat dijadikan tambahan informasi dan ilmu yang diperoleh
melalui pengamatan langsung dan nyata di lapangan tentang faktor risiko kejadian
Kabupaten Pidie.
masalah gizi terutama stunting pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
3. Hasil penelitian dapat digunakan oleh pemegang program gizi atau pengambil
menyusun prioritas kebijakan baru yang terkait dengan upaya mengatasi masalah
kesehatan dan gizi serta menurunkan angka prevalensi kejadian kurang gizi
11