Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan merupakan salah satu hal yang sangat
penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang
dilakukan sehari-hari.
Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUH Perdata) yang secara garis
besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan pada umumnya, baik yang lahir dari
perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir
dari perjanjian-perjanjian tertentu.
Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir
dari perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain. Akan
tetapi dalam pembahasan mengenai tentang perikatan, disini dijelaskan tidak hanya berdasarkan
KUH Perdata saja, tapi dibahas juga mengenai perikatan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
syariah. Jadi nanti bisa mengetahui perbandingan-perbandingan yang terdapat didalam kedua
sumber hukum tersebut tentang perikatan.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang perikatan baik menurut KUH Perdata dan
KHES;
2. Agar dapat mengetahui perbandingan-perbandingan apa saja yang terdapat didalam KUH
Perdata dan KHES;
3. Bisa memahami dan menerapkan di dalam ranah hukum sesuai berdasarkan ketentuan
yang berlaku.
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perikatan dan bagian-bagian yang terdapat di dalamnya
menurut KUH Perdata dan KHES ?
2. Bagaimana penjelasan mengenai perikatan baik menurut KUH Perdata dan KHES ?
3. Adakah letak Perbandingan yang spesifik tentang perikatan yang terdapat didalam KUH
Perdata dan KHES ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)
Secara etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada
perikatan. Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang
merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa disebut dengan
istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat,
dari arti kata overeenkomen.
Yang dimaksud dengan Perikatan secara terminologi ialah hubungan hukum yang terletak
dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak
berhak atas prestasi dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi.
Pihak yang berhak atas prestasi disebut sebagai kreditur, sedangkan pihak yang
berkewajiban menyerahkan prestasi disebut debitur. Dengan demikian yang menjadi obyek dari
perikatan ialah prestasi dan yang menjadi subyek ialah kreditur dan debitur.1
B. Syarat Perikatan/Perjanjian
Menurut BW dalam Pasal 1320 sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok personalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
1 Rusdiana kama dan Aripin Zainal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN JKT
Press, 2007) hlm.99
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para
pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan
berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian ini menerangkan tentang
harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek
tertentu.
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi
perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram
dalam hukum islam, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.3
3 Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
hlm.67
C. Macam-macam Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)
Bentuk perikatan paling sederhana ialah suatu perikatan yang terdiri hanya dua pihak saja
dan hanya mengenai satu prestasi yang seketika itu juga dapat ditagih pembayarannya. Macam-
macam perikatan pada umumnya ialah sebagai berikut:
Dalam KUH Perdata pasal 1253 Perikatan bersyarat yaitu suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan tertentu yang belum pasti terjadi. Bentuk-
bentuknya:
4 Rusdiana Kama dan Aripin Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIn
Jakarta Press, 2007) hlm. 101
5 Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 130
7 H.S Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 9
PERIKATAN
UNDANG- PERJANJIAN
9 Rusdiana Kama dan Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007) hlm. 104
Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang
melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan
yang melanggar hukum (onrech tmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu,
jika karean kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
G. Hapusnya Perikatan-perikatan
Di dalam undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan :
1. Karena pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan pembayaran ialah pelaksanaan
atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau
eksekusi, jadi perkataan pembayaran itu ileh undang-undang tidak melulu ditujukan pada
penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan
pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan
itu di suatu tempat,
Maksudnya ialah seseorang berhutang (debitur) telah melakukan pembayaran namun si
berpiutamg (kreditur) menolak menerima pembayaran tersebut, maka menitipkan uang
atau barangnya ke Pengadilan.
3. Pembaharuan hutang (Novasi)
Novasi ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan lama, sambil
meletakkan suatu perikatan baru.
4. Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara mereka suatu konpensasi dengan
mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Percampuran hutang
Yaitu dalam hal menyangkut kedudukan para pihak. Percampuran hutang terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Misalnya
si A sebagai ahli waris memiliki hutang kepada si B sebagai pewaris. Apabila si B
meninggal maka ahli waris A menerima warisan termasuk pula utang atas dirinya sendiri.
6. Pembebasan hutang
7. Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
8. Pembatalan perjanjian.10
10 Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 132
Dan di dalam pasal 34 KHES dijelaskan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu
akad.
Dalam tukar menukar, jika ada suatu peristiwa yang menimpa benda yang akan ditukar,
maka benda yang sempat diterima suatu pihak harus dikembalikan. Jadi, resiko ada dipihak yang
ditimpa kejadian.
Didalam KUH Perdata Pasal 1365 menjelaskan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugia itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Seseorang dikatakan wanprestasi apabila dia tidak memenuhi prestasi sesuai waktu yang
ditentukan.maksudnya ialah, apabila terhadap dirinya sudah diberikan peringatan, baik secara
resmi maupun tidak resmi, oleh pihak lainnya dengan tempo yang telah ditentukan, dia tetap
tidak atau lalai memenuhi prestasi yang dituntut. Peringatan secara resmi.11
Apabila debitur melakukan kelalaian, maka kreditur dapat menuntut hal-hal sebagai
berikut:
Bentuk-bentuk ganti kerugian yang dapat dituntut ialah (Pasal 1243 dst):
1. Kosten, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kreditur.
2. Schade, yaitu kerugian karena kerusakan yang menimpa harta benda kreditur atas kelalaian
debitur.
3. Interessen, yaitu kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang dapat pula berupa bunga atau
moratoir.
11 Rusdiana Kama dan Aripin Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007) hlm. 113
Menurut KHES dalam Pasal 40 Keadaan memaksa atau darurat adalah keadaan dimana
salah satu pihak yang mengadakan akad terhalang untuk melaksanakan prestasinya.
Dalam Pasal 41 KHES disebutkan syarat keadaan mekasa atau darurat, yaitu:
a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya darurat tersebut tidak terduga oleh para pihak.
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus
melaksanakan prestasi.
c. Peristiwa yang menyebabkan darurat tersebut di luar kesalahan pihak yang harus melakukan
prestasi.
12 Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 36
Dari penguraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Kata-katanya jelas;
2. Kata-katanya tidak jelas, sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran.
Didalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya jelas, tidak
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini berari bahwa para
pihak haruslah melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan iktikat baik. Apabila kata-katannya
tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap isi perjanjian yang dibuat para pihak.
13 H.S Salim, Hukum Kontrak:Teori dan Teknik (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. Ke-
6, hal. 44
BAB III
Perbandingan Hukum Perdata 15
PENUTUP
Setelah kita membahas tentang mengenai perikatan atau perjanjian
yang terdapat didalam pembahasan Perbandingan Hukum Perdata, banyak
yang kita ketahui tentang pembahasan perikatan baik itu pengertian, syarat
sah, macam-macam perikatan, asas-asas perikatan, lahirnya perikatan,
hapusnya perikatan, wanprestasi dan penafsirannya menurut hukum perdata
(KUH Perdata) dan Hukum Islam (KHES). Mengenai tentang perikatan disini
tidak dijelaskan pengertiannya menurut KUH Perdata, akan tapi perikatan
disini cakupannya luas, sedangkan di dalam KHES akad (perikatan) adalah
perjanjian, kesepakatan dan persetujuan.
Jakarta, 29 Oktober
2013
Penyusun