You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan merupakan salah satu hal yang sangat
penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang
dilakukan sehari-hari.

Hukum Perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUH Perdata) yang secara garis
besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan pada umumnya, baik yang lahir dari
perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir
dari perjanjian-perjanjian tertentu.

Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap perikatan yang lahir
dari perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain. Akan
tetapi dalam pembahasan mengenai tentang perikatan, disini dijelaskan tidak hanya berdasarkan
KUH Perdata saja, tapi dibahas juga mengenai perikatan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
syariah. Jadi nanti bisa mengetahui perbandingan-perbandingan yang terdapat didalam kedua
sumber hukum tersebut tentang perikatan.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang perikatan baik menurut KUH Perdata dan
KHES;
2. Agar dapat mengetahui perbandingan-perbandingan apa saja yang terdapat didalam KUH
Perdata dan KHES;
3. Bisa memahami dan menerapkan di dalam ranah hukum sesuai berdasarkan ketentuan
yang berlaku.
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perikatan dan bagian-bagian yang terdapat di dalamnya
menurut KUH Perdata dan KHES ?
2. Bagaimana penjelasan mengenai perikatan baik menurut KUH Perdata dan KHES ?
3. Adakah letak Perbandingan yang spesifik tentang perikatan yang terdapat didalam KUH
Perdata dan KHES ?

BAB II

PEMBAHASAN

Perbandingan Hukum Perdata 1


PERIKATAN ATAU PERJANJIAN

A. Pengertian Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)
Secara etimologi Undang-Undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud daripada
perikatan. Begitu pula Code Civil Perancis maupun Borgelijk Wetboek (BW) Belanda yang
merupakan concodantie BW kita. Secara etimologi perikatan (Verbintenis) berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat (ikatan atau hubungan). Verbintenis bisa disebut dengan
istilah perikatan, perutangan, atau perjanjian. Perikatan bisa diartikan juga setuju atau sepakat,
dari arti kata overeenkomen.
Yang dimaksud dengan Perikatan secara terminologi ialah hubungan hukum yang terletak
dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak
berhak atas prestasi dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi.

Pihak yang berhak atas prestasi disebut sebagai kreditur, sedangkan pihak yang
berkewajiban menyerahkan prestasi disebut debitur. Dengan demikian yang menjadi obyek dari
perikatan ialah prestasi dan yang menjadi subyek ialah kreditur dan debitur.1

Menurut Hukum Islam (KHES)


Menurut KHES dalam pasal 20 ayat 1 yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan
dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu. Menurut hukum Islam perikatan adalah segala aturan hukum Islam
yang terkait dengan hubungan antar manusia (hablum minannas) yang membahas persoalan
dengan harta benda (maal) dan hal-hal yang terkait dengannnya.2

B. Syarat Perikatan/Perjanjian
Menurut BW dalam Pasal 1320 sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok personalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

1 Rusdiana kama dan Aripin Zainal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN JKT
Press, 2007) hlm.99

2 Perma No.2 Tahun 2008, Tentang KHES

Perbandingan Hukum Perdata 2


Pasal 1320 ini merupakan pasal yang sangat popular karena menerangkan tentang syarat
yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang
membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu
sendri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.

Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para
pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan
berbagai cara, baik dengan tertulis maupun secara tidak tertulis.

Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan


perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau
telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Walaupun ukuran kecakapan
didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai usia 21
tahun dan telah menikah secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena ada
kemungkinan orang yang telah mencapai 21 tahun atau sudah menikah tetapi tetap dianggap tidak
cakap karena berada dibawah pengampuan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros.

Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian ini menerangkan tentang
harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek
tertentu.

Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi
perjanjian. Kata halal disini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram
dalam hukum islam, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.3

Menurut KHES dalam pasal 22 sebagai berikut :


Rukun akad terdiri atas :
a. Pihak-pihak yang berakad;
b. Obyek akad;
c. Tujuan pokok akad; dan
d. Kesepakatan.

3 Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
hlm.67

Perbandingan Hukum Perdata 3


Didalam pasal 23 KHES pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan
usaha yang memilki kecakapan dalam melakuakan perbuatan hukum. Di dalam pasal 24 KHES
yang dimaksud dengan obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing-masing pihak. Dan didalam pasal 25 KHES akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

C. Macam-macam Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)

Bentuk perikatan paling sederhana ialah suatu perikatan yang terdiri hanya dua pihak saja
dan hanya mengenai satu prestasi yang seketika itu juga dapat ditagih pembayarannya. Macam-
macam perikatan pada umumnya ialah sebagai berikut:

a. Perikatan Bersyarat (Voorwaardeijk)

Dalam KUH Perdata pasal 1253 Perikatan bersyarat yaitu suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan tertentu yang belum pasti terjadi. Bentuk-
bentuknya:

1. Menangguhkan (opschortende voorwaarde), maksudnya ialah perikatan yang


menggantungkan pada suatu syarat menangguhkan, dimana perikatan itu barulah
dilahirkan apabila kejadian atau keadaan yang belum pasti itu timbul atau terjadi.
2. Membatalkan (ontbindende voorwaarde), maksudnya ialah perikatan yang
menggantungkan pada suatu syarat yang membatalkan, di mana suatu perikatan yang
sudah seketika akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum pasti itu terjadi
atau timbul.4
b. Perikatan ketetapan waktu (tidjbepaling)
Yaitu suatu perikatan yang pelaksanaannya didasarkan atas ketetapan waktu yang
diperjanjikan oleh kedua belah pihak.
c. Perikatan yang membolehkan memilih (alternative)
Perikatan ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh
memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
d. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair )

4 Rusdiana Kama dan Aripin Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIn
Jakarta Press, 2007) hlm. 101

Perbandingan Hukum Perdata 4


Perikatan ini adalah dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-
sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan seperti ini sedikit sekali
di dalam praktek.
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan atau tidaknya
membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah
pihak yang membuat perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu
perikatan, barulah tampil kemuka jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh
beberapa orang lain. Yang mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang
menyebabkan ia digntikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.5
f. Perikatan dengan ancaman hukuman
Perikatan semacam ini, adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si berutang, untuk
jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak
terpenuhi. Penetapan hukum ini dimaksudkan sebagai gantinya penggantian kerugian yang
diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia
mempunyai dua maksud:
1. Untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia memenuhi
kewajibannya.
2. Untuk membebaskan si berpiutang dari pembuktian tentang jumlah atau besarnya
kerugian yang dideritanya. Sebab, berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si
berpiutang.6

Menurut Hukum Islam (KHES)


Di dalam pasal 27 KHES akad terbagi dalam tiga kategori:
a. Akad yang sah (shahih) adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad
itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad.
b. Akad yang fasad / dapat dibatalkan (tidak shahih), adalah akad yang terpenuhi rukun dan
syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan
maslahat.

5 Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 130

6 Prof. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa 2001) hlm. 11

Perbandingan Hukum Perdata 5


c. Akad yang batal atau batal demi hukum, adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-
syaratnya.
D. Asas-Asas Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dalam KUH
Perdata, yang berbunyi: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis maupun lisan.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam
pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
diantara kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diaadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanijian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap subtansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam
pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.
4. Asas Iktikad Baik ( Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi:
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad merupakan asas bahwa
para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan subtansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Iktikad baik nisbi, pada iktikad baik ini orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek.
2. Iktikad baik mutlak, pada iktikad baik mutlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.

Perbandingan Hukum Perdata 6


5. Asas Kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 berbunyi: perjanjian hanya berlaku antara pihak
yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya.7

Menurut Hukum Islam (KHES)


Dalam pasal 21 KHES disebutkan ada beberapa asas-asas akad, yaitu:
a. Ikhtiyari atau sukarela: setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari
keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah atau menepati janji: setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari
cidera-janji.
c. Ikhtiyati atau kehati-hatian: setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan
dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d. Luzum atau tidak berobah: setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan
yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
e. Saling menguntungkan: setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak
sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
f. Taswiyah atau kesetaraan: para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara,
dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. Transparansi: setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
h. Kemampuan: setiap akad dilakukan sesuai dengankemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. Taisir atau kemudahan: setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan
kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
j. Iktikad baik: akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung
unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal: tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.8

7 H.S Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 9

8 Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Perbandingan Hukum Perdata 7


E. Sumber-sumber Hukum Perikatan
Menurut Hukum Perdata (BW)

PERIKATAN

UNDANG- PERJANJIAN

(Pasal 1352 BW) (Pasal 1313 BW)

Dari UU Saja Dari UU Karena Perbuatan


(Pasal 1353 BW)9 Manusia

F. Perikatan-perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang


Sebagaimana yang diterangkan suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari
persetujuan. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi atas:
1. Yang lahir dari undang-undang saja, maksudnya adalah perikatan-perikatan yang lahir
oleh hubungan kekeluargaan. Jadi yang terdapat dalanm buku I B.W., misalnya kewajiban
seorang anak yang mampu untuk memberikan nafkah pada orang tuanya yang berada
dalam keadaan kemiskinan.
2. Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang, sedangkan perbuatan orang
ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan, atau yang melanggar hukum (onrech
tmatig). Maksud dari perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan
yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seorang melakukan suatu pembayaran
yang tidak diwajibkan. (pasal 1359). Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu
perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut
kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk
mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.

9 Rusdiana Kama dan Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007) hlm. 104

Perbandingan Hukum Perdata 8


Suatu perikatan lagi yang lahir dari undang-undang karena perbuatan yang di perbolehkan
ialah yang dinamakan Zaak waar naming (Pasal 1354). Ini terjadi jika seseorang dengan
sukarela dan dengan tidak diminta, mengurus kepentingan orang lain.

Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang
melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan
yang melanggar hukum (onrech tmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu,
jika karean kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.

G. Hapusnya Perikatan-perikatan
Di dalam undang-undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan :
1. Karena pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan pembayaran ialah pelaksanaan
atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau
eksekusi, jadi perkataan pembayaran itu ileh undang-undang tidak melulu ditujukan pada
penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan
pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan
itu di suatu tempat,
Maksudnya ialah seseorang berhutang (debitur) telah melakukan pembayaran namun si
berpiutamg (kreditur) menolak menerima pembayaran tersebut, maka menitipkan uang
atau barangnya ke Pengadilan.
3. Pembaharuan hutang (Novasi)
Novasi ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan lama, sambil
meletakkan suatu perikatan baru.
4. Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara mereka suatu konpensasi dengan
mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Percampuran hutang
Yaitu dalam hal menyangkut kedudukan para pihak. Percampuran hutang terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Misalnya
si A sebagai ahli waris memiliki hutang kepada si B sebagai pewaris. Apabila si B
meninggal maka ahli waris A menerima warisan termasuk pula utang atas dirinya sendiri.
6. Pembebasan hutang
7. Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
8. Pembatalan perjanjian.10

10 Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm. 132

Perbandingan Hukum Perdata 9


Menurut Hukum Islam (KHES)
Di dalam pasal 32 menjelaskan bahwasanya yang menyebabkan batalnya suatu akad adalah :
a. Pemaksa mampu untuk melaksanakannya
b. Pihak yang dipaksa memiliki persangkaat kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan
apa yang akan diancamkannya apabila tidak mematuhi perintah pemaksa tersebut
c. Yang diancamkan menekan berat jiwa orang yang diancam. Hal ini tergantung kepada orang
perorang
d. Ancaman akan dilaksanakan secara serta merta
e. Paksaan bersifat melawan hukum

Dan di dalam pasal 34 KHES dijelaskan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu
akad.

H. Resiko,Wanprestasi, dan Overmacht


Resiko
Resiko ialah kewajiban untuk menanggung kerugian jikalau terjadi suatu kejadian yang
menimpa benda yang diperjanjikan diluar kehendak para pihak. Siapa yang berkewajiban
menanggung resiko tergantung pada bentuk perjanjiannya:
1. Perjanjian sepihak, misalnya penyerahan suatu benda pada saat perjanjian ditutup maka
resiko berpindah kepada yang menerimanya. Resiko bisa juga ditangan yang
menyerahkan suatu benda apabila terjadi keterlambatan penyerahan, kecuali dia bisa
memberikan alasan yang tepat untuk keterlambatan itu
2. Perjanjian timbal balik, misalnya jual beli, tukar menukar dalam BW, resiko dari jual beli
diatur dalam pasal 1460 (dalam praktek tidak digunakan. Untuk benda tertentu resiko itu
sudah berpindah kepada pembeli meskipun belum ada penyerahan. Dalam hukum perdata,
resiko baru berpindah setelah adanya penyerahan.

Dalam tukar menukar, jika ada suatu peristiwa yang menimpa benda yang akan ditukar,
maka benda yang sempat diterima suatu pihak harus dikembalikan. Jadi, resiko ada dipihak yang
ditimpa kejadian.

Didalam KUH Perdata Pasal 1365 menjelaskan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugia itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

KHES dalam Pasal 42 memberikan pengertian resiko adalah: Kewajiban memikul


kerugian yang tidak disebabkan kesalahan salah satu pihak.

Perbandingan Hukum Perdata 10


Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Terdapat macam-
macam wanprestasi sebagai berikut:
1. Tidak melakukan prestasi sepenuhnya
2. Melakukan prestasi tetapi hanya sebahagian
3. Melakukan prestasi tapi terlambat
4. Melakukan suatu yang dilarang untuk dilakukan

Konsekuensi dari perbuatan melakukan wanprestasi adalah:

1. Membayar kerugian yang diderita


2. Pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara, dalam hal diajukan gugatan wanprestasi dan dikalahkan.

Seseorang dikatakan wanprestasi apabila dia tidak memenuhi prestasi sesuai waktu yang
ditentukan.maksudnya ialah, apabila terhadap dirinya sudah diberikan peringatan, baik secara
resmi maupun tidak resmi, oleh pihak lainnya dengan tempo yang telah ditentukan, dia tetap
tidak atau lalai memenuhi prestasi yang dituntut. Peringatan secara resmi.11

Apabila debitur melakukan kelalaian, maka kreditur dapat menuntut hal-hal sebagai
berikut:

1. Ia dapat meminta pelaksaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.


2. Ia dapat menerima penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang diderita olehnya karena
perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana
mestinya.
3. Ia dapat menuntut pelaksaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita
olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

Bentuk-bentuk ganti kerugian yang dapat dituntut ialah (Pasal 1243 dst):
1. Kosten, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kreditur.
2. Schade, yaitu kerugian karena kerusakan yang menimpa harta benda kreditur atas kelalaian
debitur.
3. Interessen, yaitu kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang dapat pula berupa bunga atau
moratoir.

11 Rusdiana Kama dan Aripin Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007) hlm. 113

Perbandingan Hukum Perdata 11


4. Biaya perkara, yaitu dalam hal diajukan gugatan wanprestasi di pengadilan.
Menurut KHES pasal 36 tentang ingkar janji yaitu :
1. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat atau
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Menurut KHES pasal 38 sanksi bagi yang melakukan ingkar janji:
1. Membayar ganti rugi
2. Pembatalan akad
3. Peralihan resiko
4. Denda dan atau
5. Membayar biaya perkara12
Overmatch/ Force Majeur/ Keadan Memaksa

Seseorang dapat menolak dikatakan wanprestasi apabila mampu memberikan alasan


bahwa prestasinya tidak bisa dilaksanakan karena adanya keadaan memaksa.

Keadaan memaksa ini terbagi 2, yaitu:


1. Teori Obyektif (Keadaan Memaksa Mutlak)
Yaitu dalam hal sama sekali tidak bisa melaksanakan prestasi, misalnya karena barang yang
menjadi obyek perjanjian musnah.

2. Teori Subyektif (Keadaan Memaksa Relatif)


Yaitu, dalam hal prestasi bisa dilakukan tetapi dengan pengorbanan yang besar. Misalnya
rute pengiriman yang biasa dilalui mengalami kerusakan berat atau termasuk dalam wilayah
bencana alam, pengiriman tetap bisa dilakukan namun menimbulkan ongkos yang jauh lebih
besar.

Menurut KHES dalam Pasal 40 Keadaan memaksa atau darurat adalah keadaan dimana
salah satu pihak yang mengadakan akad terhalang untuk melaksanakan prestasinya.
Dalam Pasal 41 KHES disebutkan syarat keadaan mekasa atau darurat, yaitu:
a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya darurat tersebut tidak terduga oleh para pihak.
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus
melaksanakan prestasi.
c. Peristiwa yang menyebabkan darurat tersebut di luar kesalahan pihak yang harus melakukan
prestasi.

12 Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 36

Perbandingan Hukum Perdata 12


d. Pihak yang harus melakukan prestasi tidak dalam keadaan beriktikad buruk.

I. Penafsiran dalam Perjanjian


Penafsiran tentang perjanjian diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUH
Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah dapat dimengerti dan
dipahami isinya. Namun, dalam kenyataannya banyak perjanjian yang isinya tidak dimengerti
oleh para pihak.

Dari penguraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:

1. Kata-katanya jelas;
2. Kata-katanya tidak jelas, sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran.

Didalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila kata-katanya jelas, tidak
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini berari bahwa para
pihak haruslah melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan iktikat baik. Apabila kata-katannya
tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap isi perjanjian yang dibuat para pihak.

Untuk melaksanakan penafsiran haruslah melihat pada beberapa aspek, yaitu:


1. Jika kata-katanya dalam perjanjian memberikan berbagai penafsiran makna harus diselidiki
maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUH Perdata);
2. Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki pengertian yang
memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata);
3. Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345). Apabila terjadi keragu-
raguan, maka harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya
perjanjian (Pasal 1346 KUH Perdata);
4. Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta
diperjanjikan sesuatu hal. Dan untuk keuntungan orang yang mengikatkan dirinya untuk itu
(Pasal 1349 KUH Perdata).13

13 H.S Salim, Hukum Kontrak:Teori dan Teknik (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. Ke-
6, hal. 44

Perbandingan Hukum Perdata 13


Penafsiran akad menurut KHES
Dalam Pasal 48 KHES dikatakan bahwa Pelaksanaan akad atau hasil akhir akad harus
sesuai dengan maksud dan tujuan akad, bukan hanya pada kata dan kalimat.
Dalam pasal 49 dikatakan bahwa:
1. Pada prinsipnya akad harus diartikan dengan pengertian aslinya bukan dengan pengertian
kiasannya.
2. Apabila teks suatu akad sudah jelas, maka tidak perlu ada penafsiran.
Berikut ini adalah pasal-pasal yang membicarakan mengenai penafsiran akad menurut
KHES:
1. Melaksanakan suatu kalimat dalam akad lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan
kalimat tersebut (pasal 50)
2. Apabila arti tersurat tidak dapat diterapkan, maka dapat digunakan makna yang tersirat
(pasal 51).
3. Jika suatu kata tidak dapat dipahami baik secara tersurat maupun tersirat, maka kata
tersebut diabaikan (Pasal 52).
4. Menyebutkan bagian dari benda yang tidak dapat dibagi-bagi, berarti menyebutkan
keseluruhannya (Pasal 53).
5. Kata yang pengertiannya tidak dibatasi, diterapkan apa adanya, sepanjang tidak terbukti
ketentuan syariah atau hasil pemahaman yang mendalam, membatasinya (Pasal 54).
6. Jika suatu akad dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian
yang sedemikian yang memungkinkan akad itu dilaksanakan daripada memberikan
pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan (Pasal 55).14

14 Perma No 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pasal 48

Perbandingan Hukum Perdata 14


KESIMPULAN
Setelah dari pembahasan dan pemaparan dalam makalah ini mengenai perbandingan
perikatan atau perjanjian menurut KUH Perdata dan KHES, adapun kesimpulannya yaitu :

1. Di dalam pembahasan tersebut bahwasanya untuk mengenai pengertian perikatan di dalam


KUH Perdata tidak ada dijelaskan tetapi yang dijelaskan di dalam KUH Perdata dalam pasal
1313 yaitu mengenai perjanjian, bahwasanya suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sedangkan di dalam KHES untuk mengenai pengertian perikatan dalam pasal 20 ayat 1 yang
dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
2. Untuk dalam pembahasan mengenai perikatan atau perjanjian menurut KUH Perdata dan
KHES didalamnya hanya ada sedikit perbedaan, dan tidak perbedaan itu tidak terlalu jauh,
karena kalau dilihat dari segi maknanya agak sedikit berbeda, tapi kalau dibandingkan dengan
menggunakan akal pikiran dan diteliti, mengenai KUH Perdata dan KHES saling berkaitan
dan ada korelasinya.
3. Untuk perbandingan-perbandingan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan KHES
mengenai perikatan atau perjanjian, ada sebagian yang berbeda dalam hal hapusnya perikatan,
kalau di dalam KUH Perdata bagian hapusnya perikatan ada dijelaskan sampai beberapa
bagian, sedangkan di dalam KHES mengenai hapusnya perikatan tidak ada dijelaskan dalam
KHES, akan tetapi hanya ada menjelaskan tentang batalnya suatu akad (perikatan).
4. Mengenai sumber hukum tentang perikatan atau perjanjian KUH Perdata masih
menggunakan hukum yang ada sebelumnya, atau mengikuti hukum yang berasal dari
Romawi, sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang telah ditetapkan oleh
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 mengenai perikatan, mengambil sumber
hukum yang berasal dari Al-Quran dan Al-Hadist.

BAB III
Perbandingan Hukum Perdata 15
PENUTUP
Setelah kita membahas tentang mengenai perikatan atau perjanjian
yang terdapat didalam pembahasan Perbandingan Hukum Perdata, banyak
yang kita ketahui tentang pembahasan perikatan baik itu pengertian, syarat
sah, macam-macam perikatan, asas-asas perikatan, lahirnya perikatan,
hapusnya perikatan, wanprestasi dan penafsirannya menurut hukum perdata
(KUH Perdata) dan Hukum Islam (KHES). Mengenai tentang perikatan disini
tidak dijelaskan pengertiannya menurut KUH Perdata, akan tapi perikatan
disini cakupannya luas, sedangkan di dalam KHES akad (perikatan) adalah
perjanjian, kesepakatan dan persetujuan.

Demikianlah makalah ini kami buat dengan sungguh-sungguh dan bersumber


dari referensi yang jelas, jika dari pemakalah baik penyajiannya,
penulisannya, pemaparannya kurang sempurna mohonlah kiranya
dimaafkan, karena tak ada manusia yang mempunyai kesalahan dan
kekhilafan. Semoga apa yang ada didalam pembahasan makalah ini menjadi
pelajaran dan pengetahuan yang baik.

Jakarta, 29 Oktober
2013

Penyusun

Perbandingan Hukum Perdata 16


DAFTAR PUSTAKA
Rusdiana Kama dan Aripin Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), Cet.1
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003)
Cet.1
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan,(Jakarta: Rajawali Pers, 2011) Cet.3
Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), Cet.29
Prof. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), Cet.18
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang KHES
Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Perbandingan Hukum Perdata 17

You might also like