Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006
mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5
6,7%, seperti di Cina dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang
sebanyak 5,014 juta jiwa, dan Vietnam sebesar 2,068 juta jiwa. Di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens 5,6%. Angka ini bisa
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK
adalah perokok atau mantan perokok.
Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalens PPOK. Pada
survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1986 asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak
dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
1. Anatomi Paru
Pulmo terdiri dari pulmo dexter dan sinister. Pulmo dexter sedikit lebih
besar dari pulmo sinister dan di bagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontal.
Pulmonis dexter terbagi menjadi tiga lobus yaitu lobus superior, lobus mediaus
dan lobus inferior. Pulmo sinister dibagi oleh fissura obliqua dengan cara yang
sama menjadi dua lobus, lobus superior dan lobus inferior. Pada pulmo sinister
tidak terdapat fissura horizontalis.
4
2. Defenisi
a. Bronkitis Kronik
Adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, dan tidak
disebabka oleh penyakit lainnya.
b. Emfisema
Adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli.
3. Epidemiologi
5
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
6
Gambaran Radiologi
Penyakit bronchitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran yang
khas pada foto horaks. Pada foto rontgen hanya tampak corakan yang ramai di
bagian basal paru. Gambaran radiogram bronchitis kronik hanya memperlihatkan
perubahan yang minimal dan biasanya tidak spesifik. Kadang-kadang tampak
corakan peribronkial yang bertambah di basis paru oleh penebalan dinding
bronkus dan peribronkus. Corakan yang ramai di basal paru ini dapat merupakan
variasi normal pada foto thoraks.
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI). Suatu
keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah,
baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertical kearah diafragma.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenisemfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura. 7
Gambaran Radiologi
Akibat penambahan ukuran paru anterior-posterior akan menyebabkan
bentuk toraks kifosis, sedang penambahan ukuran paru vertical
menyebabkan diafragma letak rendah dengan diafragma yang datar dan
peranjakan diafragma berkurang pada pengamatan fluoroskopi.
Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru atau lobaris ataupun
submental, akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan
jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnya dan vascular
paru yang relative jarang. 3
8
5. Derajat PPOK
9
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit
mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan
nilai VEP1 50 %
c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak
napas atau harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau
jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit
berjalan nilai 3 skala berat.
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau
sesak napas saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala
sangat berat. 2
6. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko antara lain
1. Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di Negara
berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan
obstruksi jalan napas kronik.Perokok pasif juga menyumbang terhadap
symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru
akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.
a. Riwayat merokok
1. Perokok aktif
2. Perokok pasif
3. Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
1. Ringan : 0-200
2. Sedang : 200-600
3. Berat : > 600
11
b. Polusi indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek
misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak
diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Polutan indoor yang penting
antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan
pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan
mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta
perokok pasip. WHO melaporkan bahwa polusi indoor bertanggung jawab
terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap tahunnya.
c. Polusi outdoor
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang
paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan
asap pem-bakaran/pabrik/tambang.
d. Polusi di tempat kerja
Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran dan
bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan
lingkungan industry.
2. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran
pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Penyakit saluran pernafasan pada
bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacat-an sampai pada masa dewasa,
dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
3. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
4. Hipereaktiviti bronkus
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia.
7. Diagnosis
12
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru.
Hyperinflation
8. Penatalaksanaan
8.1.Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Gejala eksaserbasi :
Sesak bertambah
Penatalaksanaan:
1 Edukasi
d. Menghindari pencetus. 7
2 Berhenti merokok
20
3 Obat obatan
- Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dan disesuaikan dengan klasifikasi
derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi. Pada derajat
berat diutamakan pemberian long acting.
- Golongan antikolinergik
Diberikan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.
- Golongan agonis beta 2
Bentuk inheler digunakan untuk mengatasi sesak, bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan pada pemakaian
jangka panjang, bentuk injeksi untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Bentuk tablet atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk
suntikan lobus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan aminofilin darah.
- Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena. Berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednisolon.
- Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang diberikan lini I
(amoksisilin dan makrolid) dan lini II(amoksisilin, asam klavulanat, sefalosforin
dan makrolid baru)
- Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi danmemperbaiki kualitas hidup. Tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
- Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepatperbaikan eksaserbasi. Terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
- Antitusif
Harus diberikan dengan hati-hati. 1
21
4 Rehabilitasi PPOK
5. Terapi oksigen
b. Indikasi :
1. Pa02< 60 mmHg atau Sat O2< 90 %
2. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2> 89% disertai korpulmonale,
perubahan P pumonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, dan penyakit paru.
22
6. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik.
Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa
intubasi. 7
7. Nutrisi
3. Antropometri
23
8. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
9. Komplikasi
1. Gagal napas
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
1. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
2. Bronkodilator adekuat
3. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
4. Antioksidan
5. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
4. Kesadaran menurun 2
2. Infeksi berulang
10. Pencegahan:
11. Prognosis
13. Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit kronik yang di
tandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversible. Akhir akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk
dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat.
Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan diagnosa PPOK, yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta didukung pemeriksaan
penunjang yang tepat.
Penatalaksanaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu
evaluasi dan monitoring penyakit, mengurangi faktor resiko, tatalksana PPOK
yang stabil, dan tatalaksana PPOK dengan eksaserbasi. Manajemen utama untuk
PPOK derajat I dan II antara lain dengan menghindari faktor resiko, mencegah
progsevitas PPOK dan penggunaan obat-obatan untuk mengontrok gejala dari
26
PPOK, sedangkan untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manejemen yang
lebih terpadu dengan berbagai pendekatan. 7
Penggunaan brokodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi gejala
yang timbul pada PPOK. Dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk meredakan
gejala dan dapat pula untuk mencegah eksaserbasi. Beberapa bronkodilator yang
dapat digunakan antara lain golongan beta 2 agonis, antikolinergik, dan xantin
yang dapat digunakan tunggal atau kombinasi. Selain itu dapat juga digunakan
kortikosteroid inhalasi atau sistemik, mukolitik, anti oksidan dan terapi oksigen
tergantung pada derajat penyakitnya. 7
Selain pendekatan farmakologis diperlukan juga konseling untuk
penghentian rokok, olahraga kebutughan nutrisi, dan perawatan untuk pasien.
Manajemen yang tepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas ppada pasien
PPOK, serta sangat brperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. 7
DAFTAR PUSTAKA
3. Sheewood, Luaralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
4. Jurnal EPIDEMIOLOGIC STUDY OF CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DISEASE (COPD Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni
2013: 82-88
5. Sudoyo. Aru W, Setiyohadi Bambang,dkk . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
III, ed V -Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
6. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedikteran. Edisi 6.
Jakarta: EG
7. Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56