Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Organ urinaria terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli, dan urethra;
sedangkan organ reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula
seminalis, prostate, dan penis. Kecuali testis, epididimis, vas deferens, penis, dan urethra,
system urogenitalia terletak di rongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang
mengelilinginya. (3)
GINJAL
Ginjal berada di tempatnya, yang difixir oleh pembungkus ginjal, terluar yaitu fascia
renalis, yang merupakan kantung dengan 2 dinding :
- depan : fascia prerenalis, sifat lemah
- belakang : fascia retrorenalis, sifat kuat
Pembungkus ke 2 : Capsula fibrosa. Ginjal dibagi atas bagian cortex dan medulla.
Cortex :
Tebal kurang lebih 1,2 1,5 cm, warna coklat kemerah- merahan, batas jelas. Dalam
cortex terdapat unit-unit pembentuk urin yang disebut nefron. (3)
Nefron terdiri dari :
- Capsula bowman, yang berisi kapiler-kapiler glomerulus
- Tubulus contortus proksimal
- Ansa Henle
- Tubulus contortus distal
- Tubulus rektus
Medulla :
Pada medulla tampak bangunan-bangunan berwarna pucat kelabu, menyerupai
piramid yang disebut pyramis renalis. Puncaknya disebul papilla renalis, menonjol ke
dalam cliz minor yang berbentuk corong. Pada ujung papilla tampak 10 -25 lubang,
yaitu Muara ductus papillaris ( Bellini ). (1)
Pyramid dibatasi oleh substansia cortex yaitu columna Bertin. Makroskopis pyramid
renalis tampak bergaris-garis. Dari dasar cortex tampak garis-garis menuju ke dalam
cortex, yaitu processus lobuli corticalis renis ( Ferrein) (1)
B. VASKULARISASI GINJAL
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis
yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries
yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang- cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia / nekrosis pada daerah yang dilayaninya. (3)
C. FUNGSI GINJAL
Fungsi ginjal terdiri atas :
- Filtrasi : Oleh glomerulus
- Sekresi : Oleh tubulus proksimal & distal
- Absorpsi : Oleh tubulus proksimal & distal
Glomerulus :
Glomerulus berfungsi sebagai filter. Untuk melaksanakan fungsi sebagai filter, kapiler
glomerulus mempunyai tekanan hidrostatik kurang lebih 65 mmHg
Terdapat tekanan yang melewati tekanan filtrasi :
1. tekanan osmotik koloidal proein plasma ( 25 mmHg )
2. Tekanan interstitial ginjal ( 10 mmHg)
3. Tekanan yang diperlukan untuk mendorong cairan melalui epitel
tubulus contortus 10 mmHg, sehingga tekanan filtrasi efektif 20
mmHg
Aliran plasma ke ginjal normal 650 ml semenit dan filtrat yang dibuat semenit 120
ml. Volume air kemih normal berkisar 800 1600 ml / hari. (2)
Tubulus contortus proksimal
Dilapisi oleh selapis sel-sel kuboid yang mempunyai brush border.
Brush border terdiri dari mikrovillus-mikrovillus yang sangat menambah luas
permukaan absorpsi. (1)
Seluruh tubulus contortus proksimal terletak dalam cortex. Pada bagian ini terjadi
reabsorpsi isoosmotik 80 % air filtrat, seluruh glucosa dan bagian terbesar Natrium
(87%), Chlorida dan vit C, epitel tubulus memindahkan bahan yang direabsorpsi
melalui cairan interstitial. Sekresi creatinin dan penicillin ke dalam air kemih terjadi
pula pada bagian ini. (1)
Ansa Henle
Terdiri dari :
- cabang ascendens ansa henle yang tebal, berlapiskan sel epitel kuboid.
- cabang descendens, epitelnya selapis gepeng yang hanya mereabsorpsi air.
Pada cabang ascendens cairan filtrat mempunyai reaksi netral dengan BJ 1,010. Pada
cabang descendens, filtrat mempunyai kadar larutan yang rendah. (1)
Ureter berbentuk tabung yang ramping dengan diameter 4-7 mm, panjang
bervariasi, sekitar 30 cm pada laki-laki dan 1 cm lebih pendek pada wanita,
Kedua ureter menembus dinding vesica urinaria pada bagian fundus/basis, secara oblik
dari belakang atas menuju bagian medial ke ostium ureter. (1)
Histologi
Terdiri dari 3 lapisan, berturut-turut dari luar ke dalam :
1. Jaringan ikat
2. Lapisan otot
3. Lapisan mukosa, terdiri dari epitel transisional.
B. FUNGSI URETER
Meneruskan urin dari pelvis renalis ke vesica urinaria. Bila terjadi obstruksi oleh batu,
akan meningkatkan peristaltik. Bila terjadi gangguan aliran urin, maka otot ureter
mengalami hipertrofi di bagian atas hambatan. (2)
VESICA URINARIA
Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh
berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-buli yang terisis
penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat miksi
di medula spinalis segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot
detrusor, terbukanya leher vesica urinaria, dan relaksasi sfingter urethra sehingga
terjadilah proses miksi. (3)
URETHRA
A. DEFINISI
Trauma ginjal adalah trauma yang paling sering terjadi pada system urinarius.
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1) langsung, akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau (2) tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan
ginjal secara tiba tiba di dalam rongga retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai
ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Kebanyakan cedera
terjadi karena kecelakaan kendaraan, olahraga, dan industri. Cedera ginjal dapat
dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis,
kista ginjal, atau tumor ginjal. (3)
B. ETIOLOGI
Trauma tumpul langsung ke abdomen, panggul, punggung adalah mekanisme paling
sering yang mengakibatkan trauma ginjal. Trauma bisa karena kecelakaan kendaraan
bermotor, perkelahian, jatuh, olahraga. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi dapat
mengakibatkan trauma ginjal mayor akibat proses deselerasi cepat dan dapat
mengakibatkan cedera vascular mayor. Tembakan senapan dan tusukan pisau adalah
penyebab tersering trauma penetrasi pada ginjal. (1)
C. EPIDEMIOLOGI
Trauma ginjal terjadi sekitar 10% dari seluruh trauma abdomen. Dari seluruh trauma
sistem genitourinaria, trauma ginjal menduduki angka tertinggi sekitar 50% tidak
membedakan ginjal kiri atau kanan. Trauma biasanya disebabkan oleh karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas, pukulan, olah raga, tusukan atau senjata api.terjadi sekitar 3% dari
seluruh trauma yamg ada, bahkan mencapai 5% pada daerah urban. (5)
Gambar di atas menunjukkan mekanisme trauma ginjal. Kiri: Hantaman langsung
pada abdomen. Gambar kecil menunjukkan gaya yang berjalan dari hilus renalis.
Kanan: Jatuh terduduk dari ketinggian (contrecoup of kidney). Gambar kecil
memperlihatkan gaya dari arah cranial merobek pedikel ginjal. (5)
B. Late Pathology
1. Urinoma
Laserasi dalam yang tidak diperbaiki dapat mengakibatkan ekstravasasi persisten dari
urine dan komplikasi massa perinephric ginjal yang besar, yng akhirnya dapat
mengakibatkan hidronefrosis dan abses. (2)
2. Hidronefrosis
Hematom luas pada retroperitoneum dan berhubungan pada ekstravasasi urin dapat
menghasilkan fibrosis perinephric yang meliputi ureteropelvic junction, menghasilkan
hidronefrosis. (1)
3. Atriovenous fistula
Atriovenous fistula dapat terjadi karena trauma penetrasi tapi ini jarang terjadi.
4. Renal vascular hypertension
F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Mikroskopik atau gross hematuria biasanya muncul. Hematokrit bisa normal, tapi
bisa juga turun. Penurunan hematokrit ini menunjukan kalau terjadi perdarahan menetap.
(2)
G. PEMERIKSAAN X-RAY
Pencitraan dimulai dengan excretory urography segera estela iv lines terpasang
(4)
dan resusitasi telah dilakukan. Prosedur ini menghindari kelambatan dalam permintaan
untuk foto polos abdomen tapi tetap tidak menghilangkan informasi untuk pemeriksa,
apakah didapatkan fraktur, udara bebas, atau ditemukan isi perut yang berpindah. Dengan
urogram, dapat ditentukan batas-batas ginjal, batas dari collecting system dan ureter.
Nephrotomography diindikasikan bila urogram tidak menegaskan secara keseluruhan
perluasan dari trauma. Arteriography menegaskan trauma parenkim dan arteri mayor bila
pemeriksaan sebelumnya tidak menberikan data yang lengkap. Trombosis arteri dan
avulsi dari pedicle ginjal paling baik didiagnosa dengan arteriography. (2)
Penyebab utama dari non-visualisasi pada excretory urogram adalah karena avulsi
total pedicle, trombosis arteri, kontusio parah yang mengakibatkan spasme vascular, dan
absennya ginjal. (2)
CT telah terbukti sebagai alat pencitraan yang baik untuk trauma ginjal. Teknik non-
invasive ini memberikan gambaran yang baik dari laserasi parenkim, ekstravasasi,
hematom perirenal, dan batas dari pncreas, liver, dan pembuluh darah utama. (2)
H. DIAGNOSIS BANDING
Fraktur tulang atau kontusio dari jaringan lunak pada regio dimana terdapat ginjal
bisa mengakibatkan kebingungan. Tidak adanya massa perirenal dan urogram normal,CT
scans normal akan menyingkirkan diagnosa dari trauma ginjal. (1)
I. KOMPLIKASI
A. Komplikasi awal
Komplikasi yang paling penting diperhatikan adalah perdarahan yang terus
menerus. Pasien harus terus diobservasi ketat tekanan darah dan
hematokritnya. Massa di daerah panggul dapat menunjukan adanya
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, perdarahan berhenti secara spontan, ini
dimungkinkan karena efek tampon dari fascia perirenal. (1)
B. Komplikasi akhir
Excretory urogram sebaiknya dilakukan 3-6 bulan setelah operasi untuk
observasi adanya kemungkinan hidronefrosis. Diperhatikan pula tekanan
darahnya dalam beberapa bulan untuk monitor adanya kemungkinan hipertensi
atau tidak. Kita juga harus memperhatikan adanya kemungkinan
pyelonephritis, arterivenous fistula. (1)
J. PENGELOLAAN
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk
melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak
memerlukan operasi. Terapi pada trauma ginjal adalah:
1. Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pasien dianjurkan total
bedrest. Dilakukan observasi tanda-tanda vital, kemungkinan adanya
penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut,
penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine.
Perkembangan hemodinamik dimonitor. Dilakukan pemberian analgetik untuk
rasa nyerinya dan antibiotik untuk mencegah infeksi. (5)
Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda perdarahan atau
kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan
operasi. (5)
2. Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor seperti laserasi mayor parenkim
ginjal dan yang mengenai pembuluh darah dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal, yaitu syok yang tidak
teratasi dan syok berulang, juga serta bila terdapat ekstravasasi urin.
Selanjutnya perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang
harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan
ginjal yang sangat berat. (5)
Seperti disebutkan di atas, ada dua macam pengelolaan trauma ginjal. Tindakan
konservatif umumnya dilakukan pada trauma ginjal dengan kalsifikasi grade 1 dan 2 yang
belum luas mengenai parenkim ginjal dan menimbulkan gangguan vaskularisasi ataupun
ekstravasasi urin. Tindakan operatif dilakukan pada trauma ginjal dengan kalsifikasi
grade 3-5 yang umumnya sudah laserasi sampai ke parenkim ginjal dan menimbulkan
gangguan vaskularisasi. Dalam menghadapi kasus trauma ginjal, perlu diawasi keadaan
umum pasien dan beratnya cedera ginjal pada pasien. Berikut adalah beberapa tahapan
pengelolaan pasien trauma ginjal. (5)
Pengelolaan Emergency
Atasi shock dan perdarahan dengan transfusi darah. Bed rest sebaiknya dilakukan
hingga hematuria berhenti. (1)
Operasi
Kebanyakan trauma ginjal yang mengalami perdarahan akan berhenti tanpa perlu
intervensi operasi. Perdarahan berhenti dengan bed rest dan hidrasi. Kasus dimana
perlu operasi diindikasikan pada perdarahan retroperitoneal yang menetap, urinary
extravasasi, trauma pedicle ginjal. (2)
Pada trauma ginjal akibat penetrasi sebaiknya operasi eksplorasi. (2)
Pengelolaan pada komplikasi
Infeksi perirenal atau retroperitoneal urinoma perlu drainase. Hipertensi maligna perlu
perbaikan vaskular / nephrectomy. Hidronefrosis perlu perbaikan secara operasi atau
nephrectomy. (1)
K. PROGNOSIS
Kebanyakan trauma ginjal sembuh secara spontan, meskipun pasien harus
diperiksa secara jangka waktu tertentu untuk melihat adanya kemungkinan hipertensi,
hidronefrosis, dll. (1)
TRAUMA URETER
A. ETIOLOGI
Cedera ureter sangat jarang dijumpai. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari
luar yaitu trauma tumpul maupun trauma tajam, trauma iatrogenik. Operasi endourologi
transureter ( ureteroskopi / ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan Dormia, atau litotripsi
batu ureter ) dan operasi di daerah pelvis ( diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah
digestif, bedah vaskuler ) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenik. (3)
Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan operasi terbuka dapat berupa : ureter
terikat, crushing karena terjepit oleh klem, putus(robek). Atau devaskularisasi karena
banyak jaringan vaskuler yang dibersihkan. (3)
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Mikroskopik hematuria biasanya ditemukan Tes fungsi ginjal biasanya normal kecuali
pada obstruksi ureter bilateral. (1)
E. PEMERIKSAAN X-RAY
Diagnosa dengan excretory urography. Foto polos abdomen menunjukan area luas
dengan densitas yang meningkat pada daerah dimana trauma terjadi. (1)
F. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI
Ini dapat menunjukan hidroureter dan hidronefrosis atau massa yang menggambarkan
adanya ekstravasasi urin. (1)
G. RADIONUCLIDE SCANNING
Teknik ini akan menunjukan adanya ekskresi yang terlambat, dengan adanya
akumulasi urin pada pelvis renalis. (1)
H. DIAGNOSIS BANDING
Tanda peritonitis dapat muncul jika urine bocor ke ruangan peritoneum. Ekscretory
urography akan menunjukan apakah ada keterlibatan dari ureter. Demam, akut
abdomen, mual,muntah setelah operasi pelvis yang sulit merupakan indikasi
ekscretory urography untuk mengetahui apakah ada cedera ureter atau tidak.
Infeksi luka dalam juga harus dipikirkan apabila setelah post-operasi pasien
mengalami demam dan ileus. Ekstravasasi urin dan urinoma menunjukan gejala yang
sama. (1)
I. KOMPLIKASI
Bisa terjadi urinary fistula, stenosis ureter dengan hidronefrosis, infeksi ginjal,
peritonitis, dan uremia ( dengan cedra bilateral ) (1)
J. PENGELOLAAN
Jika trauma diketahui ketika sedang operasi
1. Ureteral division
Perbaikan dari ureter yang terpotong ketika sedng operasi dilakukan dengan
anastomosis menggunakan T tube atau 2 kateter. Mengimplantasi ureter ke
kandung kemih jika traumanya juxtavesical, atau implantasi dari ujung akhir
ureter yang trauma ke sisi yang berlawanan dari ureter. Drainase area itu. (2)
2. Ureteral ligation
Pindahkan jahitan. Untuk mencegah nekrosis, hilangkan segmen yang trauma
dan sambungkan ke ujung ureter. (2)
A. ETIOLOGI
Angka kejadian trauma buli-buli hanya 2 % dari keseluruhan trauma traktus
urinarius. Kurang lebih 90% trauma tumpul kandung kemih adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi kandung kemih pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis
sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan, dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula
terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. (3)
Dalam keadaan penuh terisis urine, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan
tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada
daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum. (3)
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain
pada reseksi buli-buli transuretral ( TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula
pada tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-
buli. (3)
Ruptura buli-buli dapat pula terjadi spontan; hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya
terdapat kelainan pada dinnding buli-buli. Tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi
infravesikal kronis menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang menyebabkan
kelemahan dinding buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptur buli-buli spontan. (3)
Ketika kandung kemih terisi, pukulan langsung pada abdomen bawah akan
menimbulkan gangguan kandung kemih. Tipe gangguan ini biasanya intraperitoneal. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan segera dan jika urine sterile, maka tidak akan ada
keluhan untuk beberapa hari. Tapi jika urine terinfeksi, peritonitis dan akut abdomen akan
terjadi. (2)
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kateterisasi biasanya diperlukan pada pasien dengan trauma pelvis tapi bila tidak ada
pengeluaran darah lewat urethra. Pengeluaran darah lewat urethra indikasi adanya trauma
urethra, dan urethrogram diperlukan sebelum kateterisasi. Ketika kateterisasi selesai
dilakukan, gross/mikroskopi hematuria biasanya muncul. Urine yang diambil dari
kandung kemih pada saat kateterisasi harus dikultur untuk mengetahui apakah terdapat
ada infeksi atau tidak. (3)
E. PEMERIKSAAN X-RAY
Foto polos abdomen biasanya dilakukan pada fraktur pelvis. Bisa didapatkan
kekaburan pada abdomen bawah akibat ekstravasasi urine atau darah. Intravenous
urogram sebaiknya dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat trauma ginjal dan ureter.
Gangguan kandung kemih bisa terlihat pada cystography. (1)
F. DIAGNOSIS BANDING
Trauma abdomen dengan hematuria dapat disebabkan trauma ginjal, ureter,
begitu juga pada kandung kemih. Urogram diindikasikan pada semua pasien dengan
trauma yang ada hubungannya dengan hematuria. (1)
G. KOMPLIKASI
Abses pelvis bisa terbentuk dari ruptur kandung kemih extraperitoneal; jika urine
terinfeksi, hematom pada pelvis juga ikut terinfeksi. (1)
Ruptur kandung kemih intraperitoneal dengan ekstravasasi urine ke cavum abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis. (1)
H. PENGELOLAAN
A. Emergency
Shock dan perdarahan harus segera diatasi. (1)
B. Operasi
1. Ekstraperitoneal ruptur
Sebaiknya diperbaiki secara intravesical. Ketika kandung kemih telah terbuka
pada garis tengah, harus diperhatikan secara seksama dan laserasi ditutup
sampai dalam dengan menggunakan benang yang bisa diserap. (1)
2. Intraperitoneal ruptur
Diperbaiki lewat pendekatan transperitoneal. Setelah semua perforasi ditutup.
Semua ekstravasasi cairan di dalam cavum peritoneum harus dikeluarkan
semua sebelum penutupan. (1)
3. Fraktur pelvis
Pada fraktur pelvis yang stabil, pasien dapat berjalan dalam waktu 4-5 hari
tanpa kesulitan. Fraktur pelvis yang tidak stabil perlu fikasi eksternal. (2)
I. PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat, prognosis-nya adalah baik. (1)
TRAUMA URETHRA
Secara klinis trauma urethra dibedakan menadi trauma urethra anterior dan
posterior, hal ini karena keduanya menunjukan perbedaan dalam hal etiologi trauma,
tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya. (3)
A. ETIOLOGI
Trauma urethra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal ) dan cedera
iatrogenik akibat instrumensasi pada urethra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur
tulang pelvis menyebabkan ruptura urethra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul
pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptura urethra pars bulbosa.
Pemasangan kateter atau businasi pada urethra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan
robekan urethra karena false route atatu salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans-
urethra dapat menimbulkan cedera urethra iatrogenik. (3)
B. GAMBARAN KLINIS
Kecurigaan adanya trauma urethra adalah jika didapatkan perdarahan per-urethra,
yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus urethra eksternum setelah mengalami
trauma. Perdarahan per-urethra ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urin
bercampur darah. Pada trauma urethra yang hebat, seringkali pasien mengalami retensi
urine. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena
tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan kerusakan urethra yang lebih parah. (3)
Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalu
urethra, guna mengetahui adanya ruptur urethra. (3)
A. ETIOLOGI
Ruptura urethra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur
yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,
menyebabkan robekan urethra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan
pembuluh darah yang berada dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli akan
terangkat ke kranial. (3)
Trauma pada urethra posterior biasanya karena trauma tumpul dan fraktur pelvis. Terjadi
robekan ligamen pubo-prostatikum. Klasifikasi Collapinto & Mc Collum :
3. Uretra posterior, diafragma uretra, dan uretra pars bulbosa proksimal rusak,
ekstravasasi sampai perineum.
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Anemia karena perdarahan dapat ditemukan. Urine tidak bisa didapat karena
pasien tidak bisa berkemih dan kateterisasi tidak boleh dilakukan. (4)
E. PEMERIKSAAN X-RAY
Fraktur tulang pelvis biasanya didapat. Uretrogram menunjukan lokasi ekstravasasi
pada prostatomembranous junction. (1)
F. PEMERIKSAAN INSTRUMENTAL
Pemeriksaan instrumental yang boleh dilakukan hanya urethrografi. Kateterisasi
dan urethroscopy tidak boleh dilakukan, karena prosedur tersebut akan meningkatkan
resiko hematom, infeksi, gangguan lebih lanjut pada urethra. (1)
G. DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kandung kemih bisa terjadi bersamaan dengan trauma urethra posterior.
Intravenous urogram perlu dipikirkan sebagai pemeriksaan penunjang. (1)
H. KOMPLIKASI
Striktur, impotensi, dan inkontinensia dapat menjadi komplikasi dari ruptur urethra
posterior. (3)
I. PENGELOLAAN
A. Emergency
Shock dan perdarahan harus segera ditangani
B. Operasi
1. Penanganan Awal
Suprapubic cystotomy harus dilakukan untuk drainase urine. Insisi pada garis
tengah abdomen bawah dilakukan untuk menghindari hematom pelvis. Jika
ada laserasi pada kandung kemih, dijahit dengan benang yang dapat diserap. (1)
2. Rekonstruksi urethra
Bila tidak ada infeksi, rekonstruksi dapat dilakukan pada bulan ke 3.
Sebelum rekonstruksi, dilakukan dahulu gabungan cystogram dan urethrogram
untuk mengetahui pastinya berapa panjang striktur urethra. (1)
J. PROGNOSIS
Jika komplikasi dapat dihindari, maka prognosisnya adalah baik. Infeksi urinarius
dapat ditangani dengan tindakan yang tepat. (1)
A. ETIOLOGI
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan urethra anterior adalah
straddle injury ( cedera selangkangan ) yaitu urethra terjepit diantara tulang pelvis dan
benda tumpul. Jenis kerusakan urethra yang terjadi berupa : kontusio dinding urethra,
ruptur parsial, atau ruptur total dinding urethra. (3)
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Sel darah putih bisa meningkat jika terjadi infeksi (4)
E. PEMERIKSAAN X RAY
Urethrogram bisa menunjukan ekstravasasi dan lokasi dari trauma. (4)
F. DIAGNOSIS BANDING
Gangguan partial atau komplit prostatomembranous urethra dapat terjadi jika ada
fraktur pelvis. (1)
G. KOMPLIKASI
Perdarahan hebat dari truma corpus spongiosum dapat terjadi pada perineum,
begitu juga melalui meatus urethra. Tekanan pada perineum di daerah yang
mengalami trauma biasanya bisa mengendalikan perdarahan.. Jika perdarahan tidak
bisa dihentikan, maka operasi segera diperlukan. (1)
Komplikasi daari ekstravasasi adalah sepsis dan infeksi. Debridement dan drainase
dibutuhkan jika ada infeksi. (1)
Striktur pada area yang mengalami trauma adalah komplikasi yang biasa
terjadi, tapi rekonstruksi operasi tidak diperlukan kecuali striktur itu mengurangi
jumlah aliran urine secara signifikan. (1)
H. PENGELOLAAN
Kontusio urethra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyulit striktura urethra di kemudian hari, maka setelah 4-6
bulan perlu dilakukan pemeriksaan urethrografi ulangan. (3)
Pada ruptur urethra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan cystostomi
untuk mengalihkan aliran urine. Kateter Cystostomi dipertahankan sampai 2 minggu.
Dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak
ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktur uretra. Namun jika timbul striktur
urethra, dilakukan reparasi urethra atau sachse. (3)
Tidak jarang ruptur urethra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematom untuk
mencegah infeksi. Reparasi urethra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik. (3)
I. PROGNOSIS
Striktur urethra adalah komplikasi utama tapi pada kebanyakan kasus tidak
memerlukan operasi rekonstruksi. Jika pada striktur, jumlah aliran urin sangat rendah
dan terdapat infeksi serta fistula, maka rekonstruksi diperlukan. (1)
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA