You are on page 1of 41

Enfy Diana Dewi, dkk

Pemetaan Sosial, Ekonomi dan


Lingkungan Bencana Longsor di
Kecamatan Karangkobar Kabupaten
Banjarnegara
(Ringkasan Eksekutif)

2014

Gedung Hearitage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan


12110
1
ADVIS SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN

" Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan


Bencana Longsor di Kecamatan Karangkobar
Kabupaten Banjarnegara"
Desember 2014

Pengarah :
Ir. Lolly Martina Martief, MT
Penanggung Jawab :
Ir. Riana Suwardi, M.Si
Penulis :
Enfy Diana Dewi, ST, MUP
Dr. Andi Suriadi
Irwan Kusdaryanto, ST
Dwi Rini Hartati, ST
Nino Heri Setyoadi, S.Sos, M.Sc
Masmian Mahida, S.Kom
Ahmad Yusuf Aljunaid, SH, CES
Suryawan Setianto, S.Sos
Halleyana Tunjung Wratsari, SE
Noordama, Amd
Reinita Afif Aulia, ST

2014. Dipublikasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi dan
Lingkungan (PUSLITBANG SOSEKLING) Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum

Untuk informasi lebih lanjut hubungi :

PUSLITBANG SOSEKLING
Gedung Heritage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110
Phone +62 21 72784644, 72786483, Fax +62 21 72784644, 72786483
Website : http://sosekling.pu.go.id
Email : sosekling@pu.go.id

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
1. LATAR BELAKANG ............................................................................................................................ 3
2. TUJUAN DAN SASARAN PEMETAAN................................................................................................ 5
3. WAKTU PELAKSANAAN PEMETAAN ................................................................................................ 5
4. METODOLOGI .................................................................................................................................. 5
a. Lingkup Wilayah ......................................................................................................................... 5
b. Metode Pengumpulan Data ....................................................................................................... 6
5. GAMBARAN UMUM ........................................................................................................................ 8
a. Profil Kabupaten Banjarnegara .................................................................................................. 8
b. Profil Kecamatan Karangkobar................................................................................................. 11
c. Profil Desa-Desa Lokasi Pemetaan ........................................................................................... 12
d. Gambaran Kejadian Longsor Dan Dampaknya Terhadap Infrastruktur Di Lokasi Pemetaan .. 15
f. Gambaran Sosial Ekonomi Responden .................................................................................... 21
6. ANALISIS POLA PERMUKIMAN ...................................................................................................... 22
7. ANALISIS POLA PENGUNGSIAN ..................................................................................................... 24
8. ANALISIS POLA MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP BENCANA LONGSOR ......... 25
a. Analisis Mitologi ....................................................................................................................... 25
b. Analisis Ekoliterasi: Pola Tanam Vs. Kerawanan ...................................................................... 26
c. Analisis Persepsi Terhadap Relokasi ........................................................................................ 27
d. Analisis Kapasitas Adaptasi ...................................................................................................... 28
e. Bentuk Mitigasi Dan Adaptasi Masyarakat .............................................................................. 29
9. ALTERNATIF TEKNOLOGI LITBANG UNTUK DAERAH RAWAN LONGSOR ...................................... 32
10. ANALISIS PARTISIPASI PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR ............................................................. 34
11. LESSON LEARNT PENANGANAN PENGUNGSI ................................................................................ 35
12. KESIMPULAN ................................................................................................................................. 37
13. REKOMENDASI .............................................................................................................................. 37

1
KATA PENGANTAR

Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu Kabupaten yang rawan lonsor di Jawa
Tengah. Pada tanggal 12 Desember 2014 terjadi longsor besar yang menelan puluhan
korban. Peristiwa ini dipicu oleh derasnya curah hujan yang terjadi pada bulan Desember
2014. Selain menewaskan korban, bencana ini juga merusak rumah penduduk serta
melumpuhkan akses di wilayah setempat. Bantuan yang dibutuhkan lokasi bencana sangat
banyak, mulai dari emergency response, relokasi penduduk, permukiman kembali, serta
pendidikan kepada masyarakat mengenai mitigasi dan adaptasi terhadap rawan longsor.

Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan dalam rangka respon cepat terhadap bencana
tanah longsor ini melaksanakan penelitian berupa pemetaan sosial, ekonomi dan lingkungan
secara cepat untuk mengambil beberapa informasi yang diperlukan untuk persiapan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Data yang diperoleh dalam pemetaan dianalisis dari berbagai
sudut pandang yaitu : analisis mitologi sosial, budaya masyarakat sekitar, analisis pola
ekoliterasi berupa pola tanam dibandingkan dengan pemahaman masyarakat terhadap
tingkat kerawanan terhadap longsor, analisis persepsi terhadap relokasi, analisis kapasitas
adaptasi terhadap bencana longsor serta bentuk mitigasi dan adaptasi masyarakat di daerah
bencana dan sekitarnya.

Hasil dari pemetaan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan untuk
relokasi penduduk, serta penanganan jangka panjang terhadap wilayah rawan longsor ini.
Dokumen ringkasan eksekutif ini merupakan salah satu bentuk laporan hasil pemetaan yang
dipublikasikan. Diharapkan dokumen ini dapat memberikan masukan terhadap pihak yang
terkait.

Jakarta, Desember 2014


Tim Advis Puslitbang Sosekling

2
RINGKASAN EKSEKUTIF

Laporan Survei Kegiatan Advis Pemetaan Sosial Ekonomi dan


Lingkungan Penanganan Bencana Longsor di Kecamatan
Karangkobar, Banjarnegara

1. LATAR BELAKANG

Bencana longsor Banjarnegara terjadi


Jumat, 12 Desember 2014 pukul 18.00 WIB.
Puncak bukit Telaga Lele luruh dalam waktu
lima menitmenimpa Dusun Jemblung, Desa
Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten
Banjarnegara,yang berada tepat di lereng
bukit. Bencana longsor terjadi pada saat cuaca
cerah, dan gerimis ringan hanya terjadi
sebentar pada pagi hari kejadian. Namun
sehari sebelum bencana terjadi, Dusun Gambar 1.Longsor di Dusun Jemblung
Jemblung diguyur hujan deras pada tanggal 10 Sumber:http://www.antaranews.com/berita/469035/warg
a-kejadian-longsor-berlangsung-sangat-cepat
dan 11 Desember 2014 sehingga tanah jenuh
dengan air dan akhirnya memicu longsor1.

Peristiwa itu juga merusak sawah seluas 8


hektar dan 5 hektar kebun palawija2. Material
longsoran bukit menutup jalan raya
penghubung Pekalongan-Banjarnegara. Puncak
bukit longsor menerjang perkampungan,
menutup saluran sungai sepanjang 1 kilometer,
lalu melompat ke badan jalan dengan
ketinggian sekitar 50 meter dari sungai.
Bencana ini menimbun 35 rumah dan 1 masjid
yang berada di dalam area dusun seluas 25
hektar3. Gambar 2. Material longsor di sungai Desa Ambal
Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014

1
Halimatus Sa'diyah, Ini Analisis Penyebab Longsor
Banjarnegara,http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/15/ngmai6-ini-analisis-penyebab-
longsor-banjarnegara, diakses Kamis,18 Desember 2014 pukul 15.44 WIB
2
Riky Ferdianto,Korban Longsor Banjarnegara Tambah Jadi 58 Tewas,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/15/173628731/Korban-Longsor-Banjarnegara-Tambah-Jadi-58-
Tewas, diakses Rabu,17 Desember 2014 pukul18.05 WIB
3
Sohirin, Longsor Banjarnegara, 5 Menit yang Menenggelamkan,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/14/173628413/Longsor-Banjarnegara-5-Menit-yang-
Menenggelamkan, diakses Rabu,17 Desember 2014 pukul 17.26 WIB.

3
Selain bencana longsor yang terjadi di
Dusun Jemblung, terdapat beberapa kejadian
longsor lain di Kabupaten Banjarnegara yang
menyebabkan terputusnya akses beberapa
ruas infrastruktur jalan. Namun sebagian dapat
segera ditangani,diantaranya adalah di
Tunggoro dan jalur Banjarnegara-Karangkobar.
Sementara itu hingga hari Kamis, 18 Desember
2014, jalur Karangkobar Wanayasa belum
dapat dilewati karena kondisi longsor yang kian
parah. Jalur kendaraan umum atau organda
jurusan Wanayasa dan Kalibening atau Gambar 3. Longsor di jalan Banjarnegara-Karangkobar
Pekalongan terpaksa berputar melalui jalan Sumber: Survey lapangan Sosekling, 2014
alternatif Desa Gripit Banjarmangu. Sedangkan
jurusan Dieng bisa ditempuh lewat Kab. Wonosobo4.

Terkait penanganan pasca bencana longsor tersebut, Pemkab Banjarnegara telah menyiapkan
tiga opsi hunian sementara (huntara) bagi para korban yang saat ini masih tinggal di pengungsian,
yakni menyewa rumah warga di wilayah terdekat, membuat bedeng-bedeng hunian dan mendirikan
tenda besar seperti halnya para korban tanah longsor di Sijeruk. Namun opsi yang lebih manusiawi
adalah menyewa rumah warga karena mempertimbangkan alasan keamanan dan privasi, serta
kondisi huntara juga tidak akan kumuh5.

Sebagai alternatif penanganan jangka panjang, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
berencana melakukan transmigrasi lokal untuk warga yang bertempat tinggal di puluhan kecamatan
yang rawan tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Warga akan dipindahkan ke lokasi yang lebih
aman atau jauh dari daerah bahaya bencana, namun masih dalam satu kabupaten. Dari 43 KK
penduduk Dusun Jemblung, 22 KK perlu direlokasi sedangkan 21 KK seluruhnya meninggal. Pemkab
Banjarnegara telah mempersiapkan lahan seluas 5.200 m2 di Desa Karanggondang berdasarkan hasil
survei tim dari Kodim 9704 Banjarnegara. Beberapa warga menolak relokasi tersebut mengingat
lokasinya yang cukup jauh dari tempat tinggal awal6.Alasan yang diungkapkan masyarakat adalah
karena sudah merasa tinggal lama dan memiliki mata pencaharian di sana7.

Berbagai kondisi dan upaya yang telah direncanakan oleh pemerintah perlu dicermati mengingat
apapun upaya penanganan yang dilakukan akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan dampak tersebut, diperlukan langkah awal berupa
pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemetaan tersebut yang menjadi lingkup advis yang
dilaksanakan oleh Puslitbang Sosekling Balitbang Kementerian PU, sebagai bagian dari tugas dan
fungsinya.

4
Daerah Rawan Longsor Dipasangi Rambu [Berita], Radar Banyumas, 18 Desember 2014, h. 19
5
S. Bowo Pribadi,Relokasi Korban Tunggu Rekomendasi PVMBG,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/17/ngq9h9-relokasi-korban-tunggu-
rekomendasi-pvmbg, diakses Kamis, 18 Desember 2014 pukul 16.58 WIB
6
1 KK Dapat 100 Meter Persegi, Radar Banyumas, 21 Desember 2014, p.1
7
Esthi Maharani, Gubernur Jateng akan Pindahkan Warga Banjarnegara ke Lokasi Aman,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/15/ngmbw4-gubernur-jateng-akan-pindahkan-
warga-banjarnegara-ke-lokasi-aman, diakses Kamis, 18 Desember 2014 pukul 16.35 WIB

4
2. TUJUAN DAN SASARAN PEMETAAN

Tujuan advis pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan penanganan bencana longsor Banjarnegara
adalah:

Memetakan kondisi sosial ekonomi lingkungan dan infrastruktur di lokasi rawan bencana
Memetakan sikap masyarakat terhadap permukiman dan lingkungan di lokasi
lokasi rawan bencana

Sasaran advis pemetaan ini adalah untuk memberikan rekomendasi tentang kebutuhan teknologi
dan upaya-upaya
upaya yang harus dilakukan dalam penanganan dampak bencana longsor.

3. WAKTU PELAKSANAAN PEMETAAN

Waktu pelaksanaan pemetaan selama 5 hari tanggal


t 17 s/d 21 Desember 2014.. Pemetaan dilakukan
pada masa tanggap darurat, sehingga terdapat beberapa keterbatasan survei lapangan,
lapangan yaitu:

Terbatasnya waktu di lapangan, karena


lokasi
okasi survei dan jalan ke lokasi rawan
longsor saat hujan, sementara di
Banjarnegara hujan turun setiap hari.

Terbatasnya akses karena jalan-jalan


j
disekitar lokasi difokuskan untuk
evakuasi dengan sistem buka tutup.
tutup

Gambar 4.. Sistem buka tutup lalu lintas di sekitar lokasi


Sumber: Survey lapanganSosekling,, 2014

4. METODOLOGI
a. LINGKUP WILAYAH

Gambar 5. Peta wilayah studi

5
Wilayah pemetaan meliputi Kecamatan Karangkobar dengan fokus pada 6 desa yang
berbatasan langsung dengan lokasi longsor di Desa Sampang (gambar 5), yaitu:
Desa Karangkobar
Desa Ambal
Desa Slatri
Desa Paweden
Desa Gumelar
Desa Puwodadi

Wilayah tersebut dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut:

o Desa Sampang titik lokasi longsor yang relatif masih sibuk dengan kegiatan
pencarian dan evakuasi korban
o Suasana psikologis yang masih tahap berduka, kurang mendukung jika dilakukan
riset di lokasi setempat
o Untuk itu, dicari lokasi desa sekitar yang diasumsikan memiliki karakteristik sosial
dan lingkungan relatif tidak jauh berbeda

b. METODE PENGUMPULAN DATA


Secara umum metode pemetaan yang
digunakan mengacu pada Pedoman
Pemetaan Sosial Ekonomi dan
Lingkungan Bidang Pekerjaan Umum
(Permen PU No.05/PRT/M/2013).
Pengumpulan data dikelompok dalam
2 teknik yaitu pengumpulan data
sekunder dan primer. Pengumpulan
data sekunder dilakukan dengan cara
studi literatur dengan mengumpulkan
referensi seperti peta dan Gambar 6.Koordinasi instansional dengan Bappeda
dokumendari berbagai sumber, Kab. Banjarnegara dan tim Wilayah I Ditjen Tata
Ruang
termasuk instansi pemerintah (BNPB, Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014
BPBD, Bappeda, Dinas PU dan Cipta
Karya, BPS, serta DinasSDA dan
ESDM), surat kabar, dan media
elektronik.Pengumpulan data primer
dilakukan dengan metode perluasan
jaringan aktor (actor network),
sebagai berikut:
Wawancara mendalam dengan
aktor-aktor kunci (key informant),
diantaranya: Kepala Bappeda
Kabupaten Banjarnegara, Kabid
Fisik Prasarana Bappeda, Kepala
Gambar 7. Wawancara dengan masyarakat Desa
Dinas SDA ESDM, Kepala Seksi di Karangkobar
Sumber: Survey lapanganSosekling, 2014

6
BPBD, Kepala Seksi di Dinas PU Cipta Karya, Camatt Karangkobar, para Kepala Desa,
para Sekretaris
retaris Desa, dan para Kepala Dusun masing-masingmasing lokasi pemetaan
(gambar 8)
Penyebaran kuesioner pada sejumlah responden yang dianggap mewakili populasi
masyarakat wilayah pemetaan
Observasi lapangan dengan pengamatan langsung di lokasi

Gambar 8. Jaringan informan

Pemilihan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling,


sampling dengan cara
menghitung jumlah KK dari keenam desa tersebut, yakni 3.892.. Dengan jumlah tersebut,
tersebut
dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan Rumus Slovin, dengan tingkat
kepercayaan 95% sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 103responden,
3responden, yang dibagi
secara proporsional pada masing-masing
masing desa. Responden terdiri dari masyarakat yang
berada di sekitar wilayah desa terkena bencana
bencana longsor, masyarakat pengungsi dan
masyarakat yang tinggal di area rawan longsor. Berikut ini adalah jumlah KK setiap desa,
jumlah sampel rencana, dan sampel realisasi setiap desa sebagai berikut:

Tabel 1.. Sebaran jumlah sampel masing-masing desa lokasi pemetaan

Sampel Sampel Keterangan


No. Nama Desa Jumlah KK
Minimal KK Realisasi
1 Desa Karangkobar 1.270 33 41
2 Desa Purwodadi 629 17 21
3 Desa Gumelar 302 8 2 Tidak Terpenuhi *)
4 Desa Slatri 670 18 15 Tidak Terpenuhi *)
5 Desa Ambal 628 17 19
6 Desa Paweden 393 10 2 Tidak Terpenuhi *)
TOTAL 3.892 103 100
Sumber: Diolah dari hasil survey
urvey lapangan Sosekling, 2014

Dalam
alam pelaksanaannya,
pelaksanaannya terdapat kendala terutama curah hujan yang tinggi dan sulitnya
akses ke lokasi yang mengakibatkan jumlah sampel yang ditargetkan tidak tercapai.
Target 103 jumlah sampel hanya dapat dipenuhi 100 responden. Khususnya di Desa

7
Slatri, Gumelar dan Paweden, tim tidak berhasil mendapatkan jumlah sampel yang
memadai.

Dengan pertimbangan efektivitas dan efisiensi pengumpulan data, tim dibagi menjadi 2
kelompok dengan pola penyebaran seperti dijabarkan pada gambar 9.

Gambar 9. Proses pengumpulan data primer


Sumber: Diolah dari peta dasar BPS, 2011

5. GAMBARAN UMUM
a. PROFIL KABUPATEN BANJARNEGARA

Kabupaten Banjarnegara secara astronomi terletak di 712-731 LS dan 10920-


10945 BT. Dilihat dari ketinggiannya, Banjarnegara sebagian besar berada pada
ketinggian 100-500 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Banjarnegara meliputi
luas 106.970,997 Ha dan terdiri dari 20 kecamatan.

Berdasarkan bentuk tata alam dan sebarannya dapat digolongkan sebagai berikut:

Bagian Utara terdiri dari daerah pegunungan relief bergelombang dan curam
Bagian tengah terdiri dari wilayah datar
Bagian Selatan terdiri dari wilayah dengan relief curam

8
Dilihat dari kemiringan lahan, wilayah Banjarnegara dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

Antara 0-15% : Susukan, Porworejo Klampok, Mandiraja, Purwanegara,


Pagedongan, Bawang, Rakit.
Antara 15-40% : Madukara, Banjarmangu, Wanadadi, adadi, Punggelan, Karangkobar,
Pagentan, Wanayasa, Kalibening.
Lebih dari 40% : Susukan, Banjarnegara, Sigaluh, Banjarmangu, Pejawaran, Batur.

Menurut peta rawan longsor dinas PU Banjarnegara, di seluruh wilayah kabupaten


hanya 8% yang merupakan wilayah yang
yang tidak rawan. Sebagian besar wilayah yang tidak
termasuk rawan bencana longsor berada di kecamatan Punggelan dan kecamatan Rakit.
Sedangkan 30% wilayahnya dinyatakan berada pada zona rawan longsor dan 2% sangat
rawan longsor (gambar 10 dan 11).

Gambar 10.. Peta tingkat kerawanan longsor Kabupaten Banjarnegara


Sumber: diolah dari peta Dinas PU Kabupaten Banjarnegara,
Banjarnegara 2014

Gambar 11.. Prosentase zona rawan longsor Kabupaten Banjarnegara


Sumber: diolah dari peta rawan longsor Dinas PU Banjarnegara

9
Kondisi rawan tersebut terbukti dengan banyaknya kejadian-kejadian tanah longsor di kabupetan ini
sepanjang sejarah. Pada tahun 2014 saja, telah terjadi 5 kejadian tanah longsor selama musim
penghujan (gambar 12).

Gambar 12. Peta kejadian longsor di Kabupaten Banjarnegara


Sumber: diolah dari data BPBD Kabupaten Banjarnegara 2011-2014 dengan peta dasar BPS, 2011

10
b. PROFIL KECAMATAN KARANGKOBAR

Kecamatan Karangkobar meliputi luas wilayah 39.07 km2 dan terdiri dari 13 desa, di
mana seluruh desa di Kecamatan Karangkobar memiliki daerah rawan longsor karena
terdapat zona yang bergerak akibat adanya patahan atau pergeseran batuan induk
pembentuk tanah8.Wilayah kecamatan inisecara umum merupakan wilayah yang berada
pada zona oranye, atau zona rawan longsor. 73% dari seluruh wilayah Kecamatan
Karangkobar merupakan area rawan longsor, dan hanya 7% saja yang tergolong kurang
rawan longsor, sisanya atau 20% merupakan area agak rawan. Menurut data dinas PU,
Kecamatan Karangkobar tidak memiliki wilayah yang tidak rawan longsor (gambar 13).

Gambar 13. Peta daerah rawan bencana dan sebaran permukiman Kecamatan Karangkobar
Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014

Jenis Tanah Karangkobar terdiri dari adalah 58% Latosol dan 42% Grumusol yang
bertekstur lempung. Tanah latosol merupakan jenis tanah yang rentan longsor karena
sifatnya yang kurang padat dan mudah mengalami pelapukan. Namun, tanah ini sangat
cocok untuk pertanian dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Sedangkan tanah
grumusol merupakan jenis tanah dengan permeabilitas tanah ini lambat9.

Pola permukiman di Kecamatan Karangkobar merupakan pola permukiman menyebar.


Pola permukiman semacam ini memang umum terbentuk di dataran tinggi seperti di

8
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Permukiman Daerah (RP4D) Kabupaten Banjarnegara
tahun 2014
9
Peta tanah, Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014

11
Kecamatan Karangkobar yang memiliki ketinggian sekitar 800 sampai dengan 900 m
diatas muka air laut, serta wilayah yang memiliki relief yang terjal serta terisolir.
Penduduk di Kecamatan Karangkobar cenderung mencari daerah yang dianggap oleh
mereka layak menjadi permukiman dan mereka bermukim secara terpusat di titik-titik
tersebut (gambar 13).

Jika dilihat dari data yang ada, ada kemungkinan ketidakpahaman masyarakat di wilayah
ini akan bahaya wilayah rawan bencana karena titik-titik permukiman berada pada zona
yang dinyatakan rawan bencana longsor. Sedangkan zona yang agak dan kurang rawan
cenderung menjadi area pertanian (gambar 14). Permukiman di Karangkobar yang
terbesar berada di Desa Leksana dan Desa Karangkobar.Hal tersebut sejalan dengan
data yang menyatakan bahwa Desa Karangkobar merupakan desa dengan kepadatan
penduduk yang paling tinggi dari desa wilayah studi yang lain, sedangkan Desa Leksana
tidak termasuk salah satu wilayah studi dalam pemetaan ini.

Gambar 14. Peta tata guna lahan Kecamatan Karangkobar


Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara, 2014

c. PROFIL DESA-DESA LOKASI PEMETAAN

Masing-masing desa dalamwilayah studi meliputi luas wilayah yang relatif samayaitu
sekitar 200 Ha, kecuali desa Slatri (468 ha) dan Desa Paweden (383 Ha). Namun luas
wilayah tersebut tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduknya. Di Desa
Karangkobar yang luasnya hanya 260 ha, ditinggali lebih dari dua kali lipat rata-rata
jumlah penduduk di desa lainnya, yaitu 4.910 jiwa (gambar 15). Hal ini dikarenakan desa
Karangkobar cenderung lebih dekat dengan pusat kecamatan dan memiliki daerah datar
yang lebih luas, sehingga dianggap lebih aman dari longsor. Hal ini perlu mendapat

12
perhatian karena jika dilihat dari peta rawan longsor Kabupaten Banjarnegara (Dinas
(
PU),
), dua desa di wilayah studi yang memiliki kepadatan tertinggi
tertinggi yaitu Karangkobar dan
Purwodadi berada di zona oranye (sesuai legenda peta) atau berada dalam zona rawan
(gambar 16).

Gambar 15.. Perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk di lokasi pemetaan
Sumber: Analisis Puslitbang Sosekling, 2014

Gambar 16. Peta Tingkat Rawan Longsor Wilayah Studi


Sumber: diolah dari data Dinas PU Kabupaten Banjarnegara,
Banjarnegara 2014

Tingkat pendidikan di wilayah studi masih relatif rendah, yaitu mayoritas lulus SD dan
tidak sekolah (gambar 17).
1 . Hanya sebagian kecil saja yang mengenyam pendidikan SMP
dan SMA.Dari seluruh wilayah studi, hanya desa Karangkobar saja yang memiliki cukup
banyak sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan tinggi (182 orang).
orang) Rendahnya
tingkat pendidikan
idikan ini sangat mungkinmempengaruhipemahaman masyarakat terkait
upaya mitigasi dan adaptasi yang sesuai terhadap tingkat kerawanan longsor tempat
tinggalnya.

13
Gambar 17. Peta Sebaran jumlah penduduk dan tingkat pendidikan
Sumber: diolah dari Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2014

Penduduk di wilayah studi rata-rata bermata pencaharian sebagai petani baik petani
palawija maupun holtikultura. Sebagian besar penduduk yang bertani tersebut juga
memiliki hewan ternak. Pertanian palawija menjadi sumber mata pencaharian dominan
di Desa Purwodadi dan Ambal. Sementara pertanian holtikutura menjadi mata
pencaharian mayoritas penduduk Gumelar. Di Desa Slatri, petani holtikultura dan petani
palawija berimbang jumlahnya.

Gambar 18. Peta Kepadatan Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk Wilayah Studi
Sumber: diolah dari Kecamatan Karangkobar dalam Angka, 2014

14
Secara umum, komoditas unggulan di lokasi pemetaan adalah salak, jagung, dan padi
(gambar 19). Tanaman salak merupakan tanaman holtikultura dengan produksi dominan
di empat desa yaitu Gumelar, Ambal dan Paweden. Tanaman jagung merupakan
komoditas dominan di desa Karangkobar, sedangkan
sedangkan padi dominan di desa Purwodadi.

Gambar 19. Produksi holtikultura di lokasi pemetaan


Sumber: Analisis Puslitbang Sosekling, 2014

d. GAMBARAN KEJADIAN LONGSOR DAN DAMPAKNYA TERHADAP INFRASTRUKTUR DI


LOKASI PEMETAAN

Dilihat dari dampaknya terhadap infrastruktur, kejadian longsor di lokasi pemetaan


terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

 Tebing Longsor menutup badan jalan


Longsoran tipe ini terjadi di beberapa lokasi, diantaranya jalan Desa Karangkobar
dan jalan propinsi di Desa Slatri.

Gambar 20.. Tebing longsor di jalan Dusun Diwek Desa Karangkobar


Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

15
Seperti tampak pada gambar 20,, longsoran tebing menutup sebagian badan jalan
yang menghubungkan Karangkobar dengan Dusun Diwek. Sebagai dampaknya,
mobilitas warga cukup terganggu
terganggu karena jalan tersebut merupakan satu-satunya
satu
akses menuju pusat-pusat
pusat pusat layanan (kesehatan, pasar, dan sekolah menengah) di
Kecamatan Karangkobar. Menurut Kades Karangkobar longsoran semacam ini cukup
sering terjadi pada musim hujan dan biasanya segera dibersihkan dengan bekerja
bakti membersihkan material longsoran dari badan jalan.

 Tebing longsor memutus jaringan air bersih

Gambar 21.. Tebing longsor di Dusun Diwek, Desa Karangkobar


Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

Longsoran tebing yang memutuskan saluran pipa air bersih terjadi di banyak lokasi di
Kecamatan Karangkobar. Mayoritas warga memperoleh air bersih dari sumber air
yang dialirkan dengan pipa (diantaranya melalui program PAMSIMAS).
PAMSIMAS) Kejadian
longsor mengakibatkan suplai air bersih terganggu. Di beberapa lokasi, seperti Desa
Ambal, pipa dapat segera diperbaiki secara swadaya oleh masyarakat, sehingga
warga hanya mengalami krisis air beberapa hari. Namun ada pula lokasi lain, seperti
Dusun Tanggapan
apan Desa Slatri, yang terpaksa membuat jaringan perpipaan baru dari
sumber mata air lain yang diperkirakan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan warga seperti biasanya.

16
 Tebing longsor menimpa rumah

Gambar 22. Rumah tertimpa longsor di Dusun Diwek


Sumber : Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

Tebing longsor menimpa rumah terjadi di Dusun Diwek menghancurkan dua rumah
warga di dua lokasi yang berjarak sekitar 50 meter. Dalam wawancara dengan Bapak
Juned, salah satu pemilik rumah yang terkena longsoran, longsor terjadi sehari
sebelum kejadian Dusun Jemblung. Untuk sementara Pak Juned dan keluarganya
mengungsi di rumah saudaranya yang juga terletak di Dusun Diwek.

 Tebing longsor di daerah pertanian dekat permukiman

Gambar 23. Tebing longsor di Dusun Diwek atas, Desa Karangkobar


Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

17
Tebing yang longsor di daerah pertanian/ladang warga terjadi di beberapa lokasi di
Desa Karangkobar. Salah satunya di dusun Diwek atas. Tebing yang kini gundul
(gambar 23), tadinya ditanami berbagai tanaman termasuk pohon albasia.Namun
ketika terjadi hujan deras sehari semalam, pepohonan tersebut tidak kuat untuk
menahan tanah dan ikut longsor ke bawah. Di dekat lokasi longsornya tebing, tanah
turun kurang lebih 20 cm dan hanya berjarak 2 meter dari dinding rumah. Rumah
tersebut memang tidak jauh dari pinggir tebing hanya berjarak sekitar 5 meter.
Pemilik rumah di sekitar tebing khawatirakan terjadi longsor susulan dan
mengosongkan rumahnya untuk mengungsi ke rumah saudaranya yang sebetulnya
juga rawan karena hanya berjarak beberapa rumah dari lokasi.

 Badan jalan ambles

Jalan ambles terjadi di beberapa lokasi di desa Karangkobar, yaitu di jalan desa
menuju Dusun Diwek dan jalan yang baru dibangun dengan program PPIP (Program
Pembangunan Infrastruktur Perdesaan) tahun 2012 di Dusun Gayam.

Gambar 24. Amblesan di jalan menuju Dusun Diwek


Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

18
Amblesan di jalan Desa Karangkobar ada yang memanjang dan melintang badan
jalan. Penurunan terjadi sekitar 10 cm dan panjang sekitar 10 m. Jalan ini merupakan
jalan akses dari Dusun Diwek ke pusat Desa Karangkobar dan pusat kecamatan. Jalan
ini terletak di daerah pertanian di mana pada satu sisi terdapat tebing dan di sisi lain
terdapat jurang, dan tanpa penerangan jalan, sehingga amblesan mungkin
menyebabkan rawan kecelakaan.

Gambar 25. Jalan lingkungan ambles di Dusun Gayam Gambar 26. Jalan ambles di lereng Dusun Gayam
Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014 Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

Jalan PPIP di Dusun Gayam longsor di 2 titik. Satu titik di dekat kolam ikan milik
warga (gambar 25) dan satu lagi di lereng (gambar 26). Di titik pertama, separo
badan jalan longsor dan pohon di sekitarnya ikut tumbang. Menurut informasi
warga sekitar, kemungkinan air kolam merembes dan melunakkan tanah di bawah
badan jalan, dan akar pohon yang tumbang semakin memperparah kerusakan jalan.
Longsor di titik kedua disebabkan longsornya lereng yang menyangga badan jalan.
Tutupan lereng penyangga jalan hanya pohon kecil dan semak belukar, sama sekali
tidak diberi struktur penguat tebing. Di bawah lereng tersebut terdapat sungai kecil
dengan arus cukup deras. Menurut keterangan warga setempat, bila hujan sangat
deras, air sungai naik membanjiri sekitarnya. Kemungkinan hal ini yang
menyebabkan lereng lebih mudah longsor. Jalan ini sama sekali tidak dapat dilalui
sehingga warga sekitar harus mengambil jalan berputar melewati dusun lain.

 Retak pada bangunan rumah


Pergeseran tanah yang menyebabkan keretakan pada bangunan rumah terjadi di
beberapa lokasi, diantaranya di 2 rumah yang berjarak 100 m di Dusun Klesem, Desa
Ambal (gambar 27), dan 2 rumah yang bersebelahan di Dusun Gayam, Desa
Karangkobar (gambar 28).

19
Gambar 27. Rumah-rumah retak di Dusun Klesem, Desa Ambal
Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

Kedua rumah yang berada di lereng di Dusun Klesem masih ditinggali sementara
retakannya ditutup dengan tambalan sederhana. Rumah pertama mengalami retak
di dinding belakang dan patah pada kolom penyangga atap yangditutup dengan
karung goni. Pemilik rumah masih tinggal di rumah tersebut meskipun khawatir
kondisi rumah akan semakin parah bila hujan deras karena tidak tahu harus pindah
kemana. Bagian belakang rumah berbatasan dengan tepi tebing.
Rumah kedua retak sepanjang lantai rumah. Retakan selebar 10 cm telah ditutup
plesteran. Pemilik rumah tetap tinggal di rumah tersebut dengan kedua orang
tuanya, karena suaminya sedang bekerja di luar kota. Rumah tersebut berada di
depan tebing dengan saluran drainase yang baru sebagian diperkeras dengan
program PNPM. Pemilik rumah bersedia pindah bila tidak jauh dari kampung
asalnya.

Gambar 28. Rumah retak yang sudah dibongkar di Dusun Gayam, Desa Karangkobar
Sumber: Survey lapangan Puslitbang Sosekling, 2014

Kedua rumah yang retak di Dusun Gayam langsung dibongkar secara gotong royong
oleh warga. Kedua rumah yang bersebelahan berada pada ketinggian yang berbeda
1 meter. Para pemilik rumah telah mengungsi ke rumah keluarganya tidak jauh dari
lokasi.

20
e. GAMBARAN SOSIAL EKONOMI RESPONDEN

Responden dari 6 desa di Kecamatan Karangkobar berjumlah 100 orang, 66 laki-laki dan
34 perempuan.Umur rata-rata responden adalah 41 tahun. Responden terbanyak
berada pada rentang umur 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 31 orang (gambar 29).
Responden termuda berumur 18 tahun dan responden tertua berumur 90 tahun.

Tingkat pendidikan responden cukup beragam, namun mayoritas responden yang


merupakan penduduk asli Kecamatan Karangkobar adalah lulusan SD dengan jumlah 54
orang (gambar 30). Lulusan perguruan tinggi berjumlah 4 orang dan mayoritas dari
lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai guru SD di Kecamatan Karangkobar.

Gambar 29. Rentang umur responden Gambar 30. Tingkat pendidikan responden
Sumber : analisis Puslitbang Sosekling, 2014 Sumber : analisis Puslitbang Sosekling, 2014

Mayoritas responden adalah penduduk asli (85 orang) dan jumlah pendatang 15 orang.
Yang disebut pendatang sebagian besar merupakan pindahan dari desa tetangga dalam
satu Kecamatan Karangkobar atau berasal dari kecamatan tetangga.

Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam 1
rumah yang bervariasi dengan mayoritas 3-5 orang (gambar 31). Jumlah anggota
keluarga tersebut secara rata-rata menempati rumah seluas 95 m2(gambar 32). Luas
rumah minimum 20 m2 dan luas rumah terbesar 350 m2.

Gambar 31 Jumlah anggota keluarga responden Gambar 32 Luas rumah responden

21
Sesuai dengan profil keenam desa wilayah studi secara umum, mata pencaharian
responden pun mayoritas adalah petani, baik petani ladang maupun petani sawah, baik
sebagai pemilik lahan maupun buruh tani (gambar 33). Sebagai petani, komoditas utama
yang ditanam oleh responden adalah jagung dan salak.

Gambar 33 Mata pencaharian responden Gambar 34 Komoditas utama

6. ANALISIS POLA PERMUKIMAN

Bentuk fisik permukiman di wilayah pemetaan didominasi konstruksi permanen kecuali di Desa
Gumelar (gambar 35) dengan dinding batadan atap gentengserta desain vernakular (gambar 36).
Khusus di Dusun Diwek, Desa Karangkobar, sebagian rumah dibangun dengan desain modern
minimalis. Hal ini disebabkan mayoritas pemuda Dusun Diwek merantau ke kota besar sebagai
tukang bangunan sehingga membawa bentuk arsitektural baru ketika membangun rumah di
kampung halaman (gambar 37).

Gambar 35. Peta jenis bangunan rumah dan jumlah penduduk miskin

22
Gambar 36. Bentuk mayoritas rumah di lokasi pemetaan Gambar 37. Rumah berasitektur modern minimalis di
Dusun Diwek, Desa Karangkobar

Rumah yang terletak di lereng sebagian besar diperkuat dengan susunan batu kosong (gambar 38),
meskipun di banyak lokasi masih ada lereng yang tidak diperkuat secara struktural (gambar 39).
Karena sebagian besar lokasi permukiman terletak di daerah lereng, banyak permukiman yang
berada lebih rendah dari jalan.

Gambar 38. Perkuatan bata kosong pada rumah di lereng Gambar 39. Rumah di atas tebing tanpa perkuatan dinding
tebing

Dilihat dari sebarannya, permukiman di lokasi pemetaan lebih padat di daerah yang cenderung lebih
datar atau lereng yang lebih landai. Di lokasi yang lebih padat, jarak antar rumah hanya berkisar 1
2,5 meter. Hal ini disebabkan karena anak yang sudah bekeluarga biasanya membangun rumah
sangat dekat dengan rumah orang tua.

23
Gambar 40. Kepadatan permukiman di Dusun Klesem, Desa Ambal dan Dusun Diwek Desa Karangkobar

Sebagian besar permukiman terpisah dari lahan pertanian/ladang. Ladang biasanya terletak di lereng
yang lebih curam atau justru di lembah landai di bawah permukiman. Jarak antara lahan pertanian
dan permukiman bervariasi sampai sekitar 1 km.

Gambar 41. Lahan pertanian Desa Gumelar Gambar 42. Persawahan di Desa Ambal

Pola permukiman ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu: pola mata pencaharian dan kekerabatan.
Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani ladang dan mereka bermukim secara
mengumpul di suatu lokasi sementara ladang yang dimiliki berada di lokasi lain. Secara kekerabatan,
masyarakat lokasi pemetaan cenderung untuk membangun rumah di sekitar rumah orang tua atau
saudara dekatnya.

7. ANALISIS POLA PENGUNGSIAN

Analisis Pola Pengungsian

Jumlah pengungsi di Kabupaten Banjarnegara sebanyak 2.038 jiwa, yang tersebar di empat
kecamatan. Masing-masing di Kecamatan Karangkobar 1.255 jiwa, Kecamatan Punggelan 613 jiwa,
Kecamatan Banjarmangu 50 jiwa, dan Kecamatan Wanayasa 120 jiwa10. Terdapat beberapa pola
hunian sementara pengungsi longsor Banjarnegara, yaitu:

10
Joko Sadewo, Uang Sewa dan Jaminan Hidup Setahun untuk Korban Longsor
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/21/ngxkot-uang-sewa-dan-jaminan-hidup-setahun-
untuk-korban-longsor Sabtu, 3 Januari 2015 pukul 13.45 WIB

24
1. Fasilitas Publik
Penduduk di sekitar desa Sampang yang wilayahnya memiliki potensi longsor tinggi
mengungsi ke berbagai fasilitas publik seperti Kantor Kecamatan dan sekolah di Desa
Karangkobar. Makanan dan logistik untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi disediakan
oleh pemerintah.
2. Rumah saudara
Pengungsi dari daerah rawan longsor banyak yang memilih untuk tinggal sementara di
rumah saudaranya. Ketika pagi atau siang hari mereka kembali ke rumah dan pekerjaaan
masing-masing, namun ketika malam hari atau cuaca hujan deras mereka tinggal di rumah
saudara mereka. Lamanya mereka tinggal di rumah saudara antara - 3 hari.
3. Rumah Sewa
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara telah menyewakan hunian sementara (huntara) bagi
korban longsor di Dusun Jemblung. Rumah sewa tersebut merupakan rumah penduduk di
sekitar lokasi Desa Sampang yang dianggap lebih aman, yaitu di Desa Ambal dan Desa
Karanggondang. Umumnya, rumah yang disewa tersebut adalah rumah yang ditinggal
merantau oleh pemiliknya.

8. ANALISIS POLA MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP BENCANA LONGSOR


a. ANALISIS MITOLOGI

Setiap kelompok masyarakat yang berdiam di satu kawasan memiliki sistem sosial
budaya dan sistem kepercayaan masing-masing. Seperti pendapat yang disampaikan
sebagian responden di desa-desa sekitar kejadian bencana, bahwa bencana longsor yang
terjadi tidak terlepas dari perilaku masyarakat korban itu sendiri. Menurut mereka,
Tuhan tidak akan menurunkan azabnya jika masyarakat masih dekat kepada-Nya. Hal ini
yang mendasari sebagian besar warga tetap bertahan tinggal di lokasi yang sebetulnya
sangat rawan longsor.

Terkait dengan kejadian di Dusun Jemblung, sebagian responden juga menyampaikan


bahwa secara logika awam permukiman Dusun Jemblung seharusnya tidak terkena
longsoran bukit Telaga Lele karena jaraknya yang cukup jauh sekitar 800 meter. Namun
pada kenyataannya, longsoran tersebut seakan-akan terbang hingga menimpa Dusun
Jemblung. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa sebuah rumah milik guru ngaji yang
berada di tengah permukiman itu masih utuh, meskipun sekitarnya seluruhnya
tertimbun. Pendapat serupa disampaikan oleh salah seorang responden dari Dusun
Tanggapan Desa Slatri yang saudaranya ikut menjadi korban longsor saat bertamu ke
Dusun Jemblung. Responden tersebut bercerita bahwa terdapat perbedaan mencolok
antara mayat korban yang merupakan penduduk asli Dusun Jemblung dengan mayat
korban yang bertamu atau pelintas. Mayat korban yang bukan penduduk asli ditemukan
dalam keadaan utuh berpakaian, sedangkan mayat korban khususnya wanita di Dusun
Jemblung ditemukan dalam keadaan tanpa busana. Menurut beberapa informan
terjadinya longsor di Dusun Jemblung tidak terlepas dari mulai munculnya perilaku
masyarakat yang mengarah pada hal-hal yang dilarang oleh Tuhan, seperti judi sabung
ayam, minum-minuman keras, dan hiburan malam/karaoke. Meskipun pada umumnya
warga Dusun Jemblung adalah Islam, perilakunya sudah mulai dianggap melenceng dari

25
ajaran agama yang sebenarnya. Oleh karena itu, kejadian longsor tersebut dianggap
sebagai peringatan, supaya mereka kembali jalan yang benar.

Selain itu, menurut beberapa informan, dalam peristiwa tanah longsor di Dusun
Jemblung, Desa Sampang, sebenarnya ada tanda yang berbeda dari biasanya.
Beberapa hari sebelum bencana, banyak muncul ikan lele di sungai yang tidak seperti
biasanya. Hal ini kemudian dikait-kaitkan oleh sebagian warga yang masih mempercayai
mitos adanya kerangka ikan lele yang hidup di Telaga Lele di puncak bukit.

b. ANALISIS EKOLITERASI: POLA TANAM VS. KERAWANAN

Sebagai masyarakat agraris, masyarakat di lokasi pemetaan tidak bisa melepaskan


ketergantungan pada sektor pertanian dan perkebunan. Namun mengingat
keterbatasan lahan pertanian sawah, menyebabkan orientasi pertanian mayoritas
masyarakat mengarah pada pemanfaatan lereng-lereng pegunungan dengan tanaman
pola semusim. Untuk tanaman semusim, yang dominan ditanam adalah jagung, salak,
cabe, padi,dan kubis. Hal tersebut terkait dengan tingkat penghasilan yang diperoleh
seperti yang disampaikan oleh sebagian besar responden sebagai berikut:

o Jagung
Tanaman jagung selain untuk dijual, juga menjadi makanan pokok bagi sebagian
masyarakat, yang dikenal dengan istilah sega jagung. Sebagai contoh analisis usaha
jagung salah seorang petani dengan luas lahan 0,3 ha dengan tenaga sendiri dapat
dilihat pada bagan berikut ini.

No. Uraian Vol Unit Harga Total


I. Pengeluaran
1. Bibit 15 kg 1 kg = Rp 5.000 75.000
2. Pupuk Telek (Ayam) 10 ktg 1 ktg = Rp 25.000 250.000
3. Pupuk Kandang (Sapi) 20 ktg 1 ktg = Rp 15.000 300.000
4. Pupuk TS 3 ktg 1 ktg = Rp 130.000 390.000
5. Urea 2 ktg 1 ktg = Rp 120.000 240.000
II. Penghasilan Kotor
6. Panen 7.000 kg 1 kg = Rp 4.000 28.000.000
III. Penghasilan Bersih per panen
7. II I 28.000.000 1.255.000 26.745.000

o Cabe
Untuk tanaman cabe, salah seorang informan dengan menjelaskan hasil usaha tani
mereka dengan luas 0,3 ha dan dikerjakan sendiri.

No. Uraian Vol Unit Harga Total


I. Pengeluaran
1. Bibit 7.000 btg 1 btg = Rp 250 1.750.000
2. Pupuk Telek (Ayam) 60 ktg 1 ktg = Rp 25.000 1.500.000
3. Pupuk Kandang (Sapi) 40 ktg 1 ktg = Rp 15.000 600.000

26
4. Pupuk TS 4 ktg 1 ktg = Rp 130.000 520.000
5. Urea 4 ktg 1 ktg = Rp 120.000 480.000
II. Penghasilan Kotor
6. Panen 250 kg 7 kali panen (max)
1 kg = Rp 50.000 87.500.000
III. Penghasilan Bersih per panen
7. II I 87.500.000 - 4.850.000 82.650.000
o Kubis
Untuk tanaman kubis, salah seorang informan menyatakan bahwa untuk luas 0,3 ha
yang dikerjakan dengan tenaga sendiri memperoleh keutungan sebagai berikut:

No. Uraian Vol Unit Harga Total


I. Pengeluaran
1. Bibit 5 pak 1 pak = Rp 60.000 300.000
2. Pupuk Telek (Ayam) 30 ktg 1 ktg = Rp 25.000 750.000
3. Pupuk Kandang (Sapi) 75 ktg 1 ktg = Rp 15.000 1.125.000
4. Pupuk TS 5 ktg 1 ktg = Rp 130.000 650.000
5. Urea 5 ktg 1 ktg = Rp 120.000 600.000
6. Obat
- Hanora 1 btl 1 btl = Rp 200.000 200.000
- Saromil 15 btr 1 btr = Rp 30.000 450.000
- Dakunil 3 btl 1 btl = Rp 80.000 240.000
II. Penghasilan Kotor
6. Panen 15.000 kg 1 kg = Rp 4.000 60.000.000
III. Penghasilan Bersih per panen
7. II I 60.000.000 4.315.000 55.685.000

Besarnya keuntungan yang diperoleh petani menyebabkan sebagian dari mereka


melupakan bahwa pola tanam semusim di lereng pegunungan dengan kemiringan
tertentu justru sangat berbahaya dan tidak ramah lingkungan. Bahkan muncul anggapan
bahwa tanaman produktif merupakan tanaman pelindung dan kuat menahan tanah.
Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa sebagian masyarakat sudah melakukan
upaya untuk melindungi permukiman mereka dari ancaman bencana longsor antara lain
dengan menanam tanaman keras seperti albasia.

c. ANALISIS PERSEPSI TERHADAP RELOKASI

Interaksi di antara masyarakat serta hubungan dengan lingkungan sekitarnya


menyebabkan terciptanya ikatan yang khas. Selain itu, durasi terbentuknya pola
permukiman tersebut pada umumnya sudah lama turut membentuk sikap masyarakat
terhadap permukimannya. Meskipun sebagian mereka bermukim di daerah yang rawan
longsor, ternyata sikap mereka masih dominan enggan untuk pindah atau relokasi. Hal
ini terlihat pada jawaban responden sebanyak 52 % tidak mau pindah dan kalaupun
harus pindah harus dengan memenuhi berbagai syarat sebesar 44 %. Untuk melihat
perbedaan sikap masyarakat terhadap relokasi, dapat dilihat pada Gambar 43.

27
Gambar 43. Sikap responden terhadap relokasi
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014

Sebagian responden yang menyatakan akan pindah dengan syarat dapat dikelompokkan
dalam dua kategori. Pertama, syarat yang diajukan adalah mereka dipindahkan tidak
jauh dari lokasi semula, yaitu tidak lebih dari 2 km dengan akses yang mudah dijangkau.
Kedua, jika pun n lokasinya jauh maka syarat yang harus dipenuhi adalah mereka
dipindahkan bersama dengan lahan pertaniannya.

Sebagian responden yang menyatakan tidak mau pindah, menyampaikan keengganan


untuk pindah juga tidak terlepas dari adanya hubungan atau ikatan dengan para
tetangga. Sebagai masyarakat perdesaan yang membentuk permukiman mereka
berdasarkan ikatan hubungan keluarga ternyata hingga saat ini tidak banyak berubah.
Berdasarkan jawaban responden, dominan menyatakan bahwa hubungan dengan
tetangga masih memiliki
memiliki ikatan kekeluargaan sebesar 88 % dan hanya 8 % yang
menjawab karena kesamaan pekerjaan. Secara lengkap proporsi jawaban responden
terhadap hubungannya dengan tetangga dapat dilihat pada gambar
ambar 44.

Gambar 44. Hubungan kekerabatan dengan tetangga


Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014

d. ANALISIS KAPASITAS ADAPTASI

Meskipun masyarakat dominan tidak mau pindah, bukan berarti mereka tidak memiliki
kekhawatiran terhadap bencana tanah longsor. Setiap musim penghujan tiba, tingkat

28
ekhawatiran masyarakat juga semakin tinggi. Beberapa kejadian di masa lalu dan
kekhawatiran
peristiwa yang terjadi di akhir tahun 2014 menyebabkan masyarakat senantiasa
khawatir terutama jika hujan turun dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan
jawaban responden, ternyata
ternyata tingkat kehawatiran terhadap bencana tanah longsor
masih tinggi. Responden yang menjawab sangat khawatir sebesar 59 %, sedangkan yang
menjawab agak khawatir sebesar 26 %. Meskipun demikian, yang unik adalah adanya
responden yang menjawab tidak khawatir
khawa sebesar 14 %. Ketidakkhawatiran ini
dimungkinkan karena posisi hunian yang dianggap jauh dari titik-titik
titik longsoran,
kepasrahan kepada Tuhan atas kondisi lingkungan permukiman yang dikelilingi oleh
perbukitan dan kepercayaan bahwa bencana longsor tidak akan menimpa pada orang-
orang
orang yang taat dan patuh pada Tuhan. Untuk melihat proporsi jawaban responden
terhadap tingkat kekhawatiran terhadap bencana tanah longsor, dapat dilihat pada
gambar 45.

Gambar 45. Tingkat kekhawatiran terhadap bencana


Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014

e. BENTUK MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT

Kondisi alam yang rawan bencana di Kec. Karangkobar menyebabkan warga berusaha
mengembangkan pola mitigasi dan adaptasi sesuai dengan kemampuannya yang
diselarasakan
asakan dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil observasi lapangan ada
beberapa bentuk upaya mitigasi yang dikembangkan oleh warga.

Pertama,, membuat tanggul/bronjong. Pola ini dilakukan karena kawasan permukiman


mereka sebagian besar berada pada lereng pegunungan. Pembuatan tanggul/bronjong
ini memiliki dua tipe, yakni yang bersifat komunal dan individual. Turap/tanggul yang
bersifat komunal dibuat untuk melindungi sebagian besar atau beberapa rumah yang
ada di bawah lereng. Tipe yang bersifat komunal ini ada beberapa yang sudah
menggunakan perekat semen dan sebagian masih merupakan susunan batu gunung
atau batu kali. Sedangkan yang bersifat individual dominan masih menggunakan
susunan batu gunung atau batu kali.

29
Gambar 46. Tanggul/bronjong buatan warga

Kedua,, pembuatan drainase. Pola mitigasi ini dilakukan untuk mengalihkan derasnya air
yang mengalir dari pengunungan. Saluran drainase tersebut umumnya dibuat dengan
perekat semen (plasteran) agar air tidak sampai mengikis tanah dinding drainase.
Meskipun demikian, akibat keterbatasan anggaran untuk membeli material, tidak semua
drainase di permukiman warga menggunakan perekat semen. Untuk hal tersebut, warga
biasanya menyiasatinya dengan cara menyusun batu gunung atauat u batu kali.

Gambar 47. Saluran drainase di tebing

Ketiga,, penanaman pohon keras/pelindung. Masyarakat menyadari bahwa bahw peristiwa


tanah longsor selain disebabkan jenis tanah lempung di Kec. Karangkobar juga karena
perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Namun kadang-kadang
kadang tuntutan
kebutuhan hidup yang semain mendesak membuat sebagian warga mengabaikan
pemanfaatan lahan
ahan yang ramah lingkungan. Di Dusun Diwek, Desa Karangkobar, warga
berusaha menghindari pemanfaatan lahan yang menimbulkan kerentanan longsor yang
tinggi, namun perilaku warga dari kecamatan tetangga, yakni Kec. Wanayasa justru
melakukan penanaman holtikultura
holtikultura di puncak gunung di atas Dusun Diwek. Hal ini agak
berbeda dengan yang terjadi di Dusun Curug, Desa Purwodadi yang masyarakatnya
ma
relatif patuh dengan aturan-aturan
aturan aturan yang diamanahkan leluhur mereka secara turun
temurun.

30
Gambar 48.. Bibit Albasia untuk ditanam warga di Desa Purwodadi

an responden, besaran pola mitigasi bebeda-beda


Berdasarkan jawaban beda pada setiap lokasi.
Secara lengkap proporsi jawaban responden terhadap upaya melindungi tanah dan
permukiman mereka dapat dilihat
diliha pada Gambar 49.

Gambar 49.Upaya Melindungi Tanah dan Permukiman


(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014)

Data di atas menunjukkan bahwa pola mitigasi warga masih lebih dominan bersifat non
struktral, terlihat bahwa dari keseluruhan
keseluruhan responden, terdapat 51 % yang menyatakan
berusaha menanam tanaman pelindung tanah. Hal ini tidak terlepas dari adanya
beberapa program pemerintah yang sering membagikan tanaman keras kepada warga
agar wilayah permukiman mereka terlindungi dari ancaman bencana tanah longsor.
Selain itu, adanya kearifan lokal warga dalam mencermati dinamika hubungannya
hubun
dengan alam sekitar membuat muncul upaya inisiatif secara kolektif di kalangan warga
seperti di Desa Purwodadi.
Purwodadi Selain upaya non struktural (vegetatif), juga terdapat upaya-
upaya
upaya yang bersifat struktural yang bersifat sipil-teknis
teknis seperti membuat drainase
dr dan
bronjong/tanggul. Namun demikian, di antara dua upaya sipil-teknis sipil tersebut,
pembuatan drainase tampaknya masih lebih dominan (25 %) dibanding dengan
pembuatan bronjong (3 %) atau upaya lainnya (20 %). Hal ini sangat terkait dengan
besarnya risiko
ko luncuran air dari pegunungan yang menghempas permukiman warga.

Dalam kaitan dengan pola adaptasi, masyarakat di lokasi pemetaan berusaha


b
menghadapi ancaman tanah longsor dengan beberapa cara. Kondisi lingkungan
permukiman yang berada di lereng pegunungan
pegunungan membuat warga mengembangkan
sistem pengetahuan dari berbagai peristiwa yang terjadi selama ini.
ini Pengetahuan

31
masyarakat yang terkait dengan tanah longsor dapat dilihat dari pengetahuan tentang
adanya tanda-tanda
tanda longsor yang muncul di sekitar permukiman. Berdasarkan jawaban
responden, bahwa untuk saat ini (bencana di akhir tahun 2014) sebagian warga
mengatakan melihat adanya tanda-tanda
tanda tanda longsoran (53 %). Sebaliknya, yang
mengatakan tidak melihat adanya tanda-tanda
tanda tanda terjadinya longsoran sebesar 46 %. Yang
dimaksud oleh responden
esponden yang menjawab tidak melihat tanda-tandatanda longsor adalah
bahwa tanda-tanda
tanda tersebut tidak berada di sekitar rumahnya. Untuk mengetahui
pengetahuan masyarakat terhadap tanda-tanda
tanda tanda indikasi terjadinya bencana longsor
dapat dilihat pada Gambar 50.

Gambar 50. Pengetahuan Warga terhadap Tanda-tanda


Tanda Tanah Longsor

Namun demikian, ketika warga melihat adanya indikasi potensi awal terjadinya tanah
longsor seperti hujan turun terus-menerus,
terus menerus, maka warga melakukan upaya adaptasi
dengan cara menghindari terjadinya risiko yang lebih besar. Berdasarkan data, warga
yang berusaha
aha mencari lokasi yang aman sebesar 45 %, yang pasrah sebesar 29 % dan
siaga 24 %. Secara proporsional, besaran upaya warga untuk menghindari bencana
longsor dapat dilihat pada Gambar 51.

Gambar 51. Upaya Mengindari Bencana Longsor

9. ALTERNATIF TEKNOLOGI LITBANG UNTUK DAERAH RAWAN LONGSOR

32
Dalam diskusi dengan tim,Kepala Bappeda Kabupaten Banjarnegara menyampaikan usulan agar
Balitbang PU mengadakan riset terpadu dengan berbagai sektor termasuk Badan Geologi untuk
menangani permukiman yang rawan longsor di daerah Banjarnegara. Dengan pertimbangan bahwa
akan sangat sulit mencari lokasi yang betul-betul aman dari longsor untuk merelokasi seluruh
masyarakat yang saat ini tinggal di daerah rawan, maka yang dapat dilakukan adalah mitigasi
bencana longsor dan adaptasi terhadap kondisi tanah yang ada. Diharapkan dari riset tersebut d

Dari produk litbang PU, terdapat beberapa alternatif teknologi yang dapat direkomendasikan untuk
diterapkan di lokasi pemetaan, diantaranya:

Teknologi perkuatan tebing

Salah satu teknologi perkuatan tebing yang paling sederhana adalah bronjong dengan penguat
kawat. Teknologi perkuatan tebing yang dikembangkan oleh Puslitbang SDA terdiri dari berbagai
variasi tergantung bahan dan penerapannya. Beberapa contoh teknologi yang mungkin dapat
diterapkan di beberapa lokasi tebing di Banjarnegara, khususnya tepi sungai dan tepi jalan,
adalah teknologi geocell dan geosintetik11.

Gambar 52. Teknologi Geocell pelindung tebing Gambar 53. Teknologi Geosintetik pelindung tebing

Rumput vetiver

Teknologi penguat tebing lain yang mungkin cocok diterapkan di banyak lokasi di Banjarnegara
adalah rumput vetiver. Rumput vetiver merupakan salah satu teknologi penguat lereng yang
dikembangkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan
yang tumbuh tegak dengan tinggi 1.5 2.5 m. Sistem perakarannya dalam dan masif, mampu
masuk sangat jauh kedalam tanah. Bahkan ada yang mampu menembus hingga kedalaman 5.2
meter.Bila ditanam di lereng-lereng keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk
menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang
masuk ke dalam menembus lapisan tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel
tanah dengan akar serabutnya. Kondisi seperti ini dapat mencegah erosi yang disebabkan oleh
angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai kolom hidup12.

11
Katalog produk litbang SDA, 2013
12
http://litbang.pu.go.id/vetiver-rumput-perkasa-penahan-erosi.balitbang.pu.go.id

33
Gambar 54. Teknologi rumput vetiver

Teknologi ini secara khusus menarik perhatian Kepala Bappeda Banjarnegara untuk dapat
dikembangkan di Banjarnegara. Meskipun rumput ini kurang bernilai ekonomis dibandingkan
tanaman pertanian yang saat ini dibudidayakan warga (seperti salak), rumput ini bisa
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal ini sesuai dengan kondisi mata pencaharian sebagian
warga yang juga peternak.

RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat)

Risha sangat cocok untuk bangunan hunian sementara atau rumah tumbuh pada hunian tetap.
Risha dibangun dengan konsep bongkar-pasang/knock down system, sehingga dapat dibangun
secara bertahap berdasarkan modul. Waktu yang diperlukan dalam proses pembangunan setiap
modul hanya 24 jam dengan tiga pekerja13.

Gambar 55. Teknologi RISHA

10. ANALISIS PARTISIPASI PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR

Pada lokasi pemetaan terdapat beberapa infrastruktur yang dibangun oleh berbagai pihak seperti
dari BBWS Serayu Opak, program PNPM Mandiri, PPIP, dan Pamsimas. Infrstruktur yang dibangun

13
http://puskim.pu.go.id/2014/12/28/risha-rumah-instan-sederhana-sehat/

34
antara lain turap penahan tebing perumahan, jalan lingkungan, saluran drainase,
drainase, bronjong penahan
tebing sungai, dan jaringan air bersih. Penerapan teknologi atau infrastruktur apapun di masyarakat
menuntut adanya kesiapan untuk operasi dan pemeliharaan secara mandiri oleh masyarakat. Salah
satu indikatornya adalah partisipasi warga ga yang ditunjukkan selama ini dalam OP infrastruktur
bantuan pemerintah. Di lokasi pemetaan, sebagian besar masyarakat mendapatkan air bersih dari
sumber mata air yang dialirkan ke rumah
r mah mereka melalui jaringan perpipaan PAMSIMAS. Selain itu,
terdapat beberapa
erapa infrastruktur lain yang juga memerlukan partisipasi masyarakat dalam OP, seperti
jalan lingkungan, turap, dan saluran drainase.

Pada umumnya warga mewujudkan partisipasi mereka bentuk tenaga. Hanya sebagian warga yang
mewujudkan partisipasinya dalam bentuk uang serta material. Untuk melihat proporsi bentuk
partisipasi warga dalam memelihara infrastruktur, dapat dilihat pada Gambar 56.
56

Gambar 56.
56 Bentuk Partisipasi dalam Memelihara Infrastruktur
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2014

11. LESSON LEARNT PENANGANAN PENGUNGSI

Penanganan longsor dan relokasi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten


Banjarnegara pada bencana tanah longsor di bukit Pawinihan, Dusun Gunung Raja, desa
Sijeruk kecamatan Banjarmangu.Bencana
Banjarmangu tersebut terjadi pada hari Rabu pagi, 04 Januari
2006, menelan korban jiwa yang ditemukan sebanyak 90 orang dan puluhan sisanya hingga
kini tidak ditemukan.

Semua warga Dusun Gunung Raja yang selamat sudah direlokasi di lokasi yang lebih aman
olehh pemerintah tidak jauh dari lokasi kejadian14 . Pada tahun 2014,, tanah longsor terjadi
kembali di lokasi relokasi desa Sijeruk. Berdasarkan informasi dari Bappeda dan Dinas PU
Kabupaten Banjarnegara, paling tidak 3 rumah di kompleks relokasi Galurrata sudah
rusak. Selain merusak rumah, tanah longsor di permukiman relokasi Sijeruk juga merusak
kebun salak. Warga menderita kerugian hingga ratusan juta rupiah. Sedangkan kerugian
infrastruktur meliputi rumah, talud, jalan, ditaksir mencapai
mencap Rp 665 juta serta kerugian

14
http://regional.kompasiana.com/2014/12/14/kenapa
http://regional.kompasiana.com/2014/12/14/kenapa-terjadi-lagi-bencana
bencana banjarnegara-696904.html
banjarnegara

35
pertanian diperkirakan mencapai Rp 430 juta. Kepala desa Sijeruk mengatakan rumah yang
dirobohkan karena berada di atas rekahan sekaligus untuk menyelamatkan bagian rumah
seperti batu bata, genteng dan kusen15.

Masyarakat di lokasi-lokasi rawan tanah longsor di kabupaten Banjarnegara cenderung


memilih tinggal di lokasi yang masih berdekatan dengan tempat asal mereka. Selain itu
mereka memanfaatkan kembali tanah bekas lokasi longsor dengan menanam tanaman
pertanian seperti salak, tanaman kayu dan sebagainya. Pemilihan lokasi yang cenderung
berdekatan, sangat terkait dengan kemampuan mereka dalam pertanian dan perkebunan,
khususnya pertanian cabai, jagung, dan perkebunan seperti salak dan kopi yang akan sulit
diadaptasikan di lokasi yang tidak cocok dengan tanaman-tanaman tersebut. Mereka
khawatir apabila lokasi relokasi yang ditawarkan tidak cocok dengan kemampuan mereka,
maka penghidupan ekonomi menjadi sulit. Namun untuk mendapatkan lokasi yang benar-
benar aman dan sesuai dengan kemampuan penduduk tidak mudah. Penelitian geologi yang
teliti dan mendalam sangat dibutuhkan guna memetakan lokasi-lokasi yang benar-benar
aman.

Selain itu pola pemanfaatan lahan kembali dengan cara-cara yang lama menandakan belum
ada perubahan perilaku penduduk dalam tata guna lahan di lokasi rawan bencana. Tidak
mengherankan jika pada tahun 2014 ini kejadian longsor di tanah pertanian di desa Sijeruk
terulang kembali. Untuk merubah pola pertanian, perkebunan dan kehutanan pada
masyarakat Sijeruk, Sampang, Slimpet dan sebagainya membutuhkan proses yang memakan
waktu dan teknologi yang benar-benar sesuai.

Pelajaran lain yang dapat diambil dari pengalaman relokasi tersebut adalah bahwa untuk
merelokasi penduduk ke wilayah yang dinilai aman, pemerintah harus menyiapkan
penduduk asli diwilayah relokasi. Pengalaman relokasi tahun yang lalu menunjukkan adanya
kecemburuan sosial antara penduduk asli wilayah relokasi dengan penduduk yang
direlokasi. Hampir sebagian besar bantuan termasuk rumah, sarana dan prasarana
permukiman, bantuan ekonomi dan pendidikan hanya diberikan kepada korban longsor. Hal
ini menimbulkan kecemburuan yang ditunjukkan dengan adanya protes warga asli kepada
Pemda Banjarnegara dan tindakan pemutusan saluran air bersih menuju lokasi permukiman
relokasi.16

Penyiapan penduduk asli menjadi penting agar benih kecemburuan sosial dan konflik
horizontal tidak berkembang di lokasi relokasi. Pemerintah bisa belajar dari implementasi
sister village yang dipraktekkan di masyarakat lereng Merapi. Dalam konsep sister village
satu desa di wilayah KRB 3 menjalin kerja sama dengan desa penyangga yang relatif aman
dari ancaman awan panas Gunung Merapi. Jika sewaktu-waktu erupsi Merapi, warga desa di

15
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/seratusan-rumah-akan-direlokasi/
16
Hasil wawancara dengan Bapak Husnul (staf bidang Cipta Karya Dinas PU Kab. Banjarnegara) tanggal 17
Desember 2014

36
KRB 3 langsung mengungsi ke desa tersebut. Warga KRB 3 dibekali materi kebijakan
penanggulangan bencana, analisa resiko, kajian ancaman, analisa kebutuhan, membuat
rencana informasi, gladi berbasis sister village, dan simulasi ruang. Adapun warga desa
penyangga diberi materi manajemen barak dan simulasi bencana. Setidaknya dengan upaya
ini benih awal persaudaraan antar desa dapat dikembangkan dalam kasus-kasus bencana
seperti di Banjarnegara.

12. KESIMPULAN

Hasil Pemetaan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan di lokasi bencana longsor Banjarnegara
dapat dirumuskan dalam beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

Sulit menemukan lokasi di zona yang benar-benar aman dari longsor di Kecamatan
Karangkobar, karena 73% wilayahnya termasuk dalam zona rawan, hanya 7% saja yang
termasuk kurang rawan. Berdasarkan peta rawan longsor, kepadatan permukiman justru
berada di daerah yang rawan longsor.
Keengganan warga di Kecamatan Karangkobar untuk direlokasi dilatarbelakangi alasan
antara lain :
 Ikatan kekerabatan yang kuat yang menjadi modal sosial untuk saling membantu
bila terjadi bencana
 Kedekatan dengan lahan pencaharian
 Ikatan emosional dengan tanah
 Rendahnya tingkat pendidikan warga menyebabkan kurangnya pemahaman
mengenai ancaman bahaya longsor
 Kepercayaan (religius magis) yang kuat bahwa bencana tidak akan menimpa
masyarakat yang menjalankan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya.
Terdapat 2 tipe mitigasi yang berkembang di masyarakat Karangkobar yaitu
 Tipe mitigasi struktural (sipil teknis), yaitu masyarakat membuat bronjong dan
drainase secara swadaya.
 Tipe mitigasi non struktural (vegetasi) , yaitu penanaman tanaman albasia dan salak
Terdapat 2 tipe adaptasi, diantaranya
 Masyarakat bersiaga pada saat hujan lebat.
 Mengungsi sementara ke rumah saudara.

13. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dirumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

Puslitbang Sumber Daya Air, Jalan Jembatan, dan Permukiman  melakukan pengujian hasil-
hasil riset litbang skala penuh di daerah rawan longsor di Kecamatan Karangkobar, diantaranya:
 Puslitbang Sumber Daya Air
 Early warning system di hampir semua lokasi di Kec. Karangkobar

37
 Pengamanan tebing, terutama di tepi sungai yang rawan longsor seperti Kali Urang
di Ds. Ambal
 Puslitbang Jalan dan Jembatan
 rumput vetiver di hampir semua tebing tepi jalan, antara lain tepi jalan Ds.
Karangkobar dan tepi jalan propinsi di Ds. Paweden
 Jalan lingkungan tahan retakan di Ds. Karangkobar
 Puslitbang Permukiman
 Drainase antara lain di Ds. Karangkobar dan Ds. Ambal
 Pengamanan perpipaan air bersih di hampir semua lokasi
 Huntara (permukiman sementara) dengan teknologi RISHA di dekat Kec.
Karangkobar dan Ds. Ambal
 Bangunan tahan retakan
 Pola Permukiman rawan bencana longsor dengan temporary shelter
Direktorat Jenderal terkait:
 Melakukan tahap rekonstruksi dan rehabilitasi wilayah bencana berdasarkan hasil
pemetaan dan bersinergi dengan Balitbang
 Melakukan evaluasi pembangunan infrastruktur pada lokasi yang rawan longsor
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara:
 Sosialisasi mengenai zona rawan longsor, bahaya dan resikonya, serta cara adaptasi
dan mitigasi bencana
 Melengkapi kebutuhan data dan rencana diantaranya,
BPBD : membuat peta rawan bencana Karangkobar
Bappeda : tata ruang wilayah rawan bencana

38
PUSAT LITBANG SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN - KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

Gedung Hearitage Lantai 3, Jalan Pattimura No 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110
Phone +62 21 72784644, 72786483, Fax +62 21 72784644, 72786483
Website : http://sosekling.pu.go.id

ISBN 978-602
602-71672-7-8

39

You might also like