You are on page 1of 3

Teori konflik memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, yaitu konflik

antara dua dorongan yang saling bertentangan. Greig (dalam Wilson 1979:11)

mengatakan bahwa humor sebagai pertentangan antara keramahan dan kebengisan.

Selain itu, Knox (dalam Wilson 1979) menyatakan bahwa petentangan itu terwujud

antara main-main dan keseriusan. Selain itu, Witterstein (dalam Wilson 1979)

menyatakan bahwa humor sebagai benturan antara mania (antusiame yang berlebihan)

dan depresi (kemurungan, kesedihan). Humor dianggap sebagai penjajaran dua atau

lebih situasi yang bertentangan ke dalam satu konteks. Wilson (dalam Sakti 2008: 16)

membagi teori humor menjadi tiga bagian, yaitu (1) teori pembebasan, (2) teori konflik,

dan (3) teori ketidakselarasan. Teori pembebasan merupakan penjelasan dari sudut

dampak emosional. Humor tidak lain merupakan tipu daya emosional yang seolah

mengancam, tetapi akhirny


Wilson ada tiga teori humor, yaitu teori pembebasan, teori kanflik, dan teori

kagnitif. Wilson merangkumkan ketiganya dan mengatakan bahwa humor menjadi lucu

apabila pertentangan makna tersebut (a) menyimpang dari pemikiran normal, dan (b)

disajikan secara ekonomis.


Raskin suatu tindakan lucu (humor act) ditunjang oleh enam faktor. Pertama,

dalam suatu tindakan lucu harus ada partisipan (peserta). Dalam tindakan lucu yang

verbal harus ada penutur (speaker) dan satu atau 1ebih dari satu pendengar (hearer).

Penutur dalam tindakan lucu verbal ini dapat juga digantikan oleh penulis, penyiar radio

penyiar televisi, atau sesuatu yang dapat menggantikan penutur. Pendengar juga dapat

digantikan oleh pembaca, pendengar radio, atau pemirsa televisi, dan lain-lainnya. Dalam

hal ini yang disebut sebagai partisipan adalah manususia yang ter1ibat dalam suatu

tindakan lucu. Mungkin saja partisipan menemukan sesuatu atau mendapat rangsangan
lucu dari keadaan sekelilingnya yang bukan manusia (non-human), meskipun ada

beberapa penulis humor yang menganggap itu tidak mungkin, karena hanya manusia saja

yang dapat melucu. Kedua, sesuatu harus terjadi dalam tindakan lucu, dan sesuatu ini

dapat berupa ungkapan yang dibuat, situasi yang terjadi, atau situasi yang dirasakan.

Dengan kata lain, rangsangan itu akan ditimbulkan dan ditanggapi sebagai sesuatu yang

menggelikan. 1stilah untuk faktor ini adalah stimulus (rangsangan). Stimulus ini

merupakan syarat yang penting untuk tindakan lucu.


Faktor yang ketiga adalah pengalaman individu yang tumbuh dan berkembang

dalam lingkungan yang aturan-aturan hidupnya keras dan ketat tidak mudah merasakan

sesuatu itu menggelikan atau lucu. Hal ini berbeda dari individu yang akrab dengan

humor dalam hidupnya. Dengan kata lain, faktor yang penting dalam pengalaman hidup

dari penutur dan pendengar adalah keakraban dengan humor sebagai model komunikasi.
Faktor keempat dalam tindakan lucu adalah segi psikologis dari individu sebagai

partisipan. Faktor psikologis dan pengalaman hidup individu menentukan sikapnya

terhadap tindakan 1ucu. Sementara itu, Freud(1938) menyatakan bahwa humor

merupakan katup penyelamat kejenuhan jiwa. Humor sangat penting artinya bagi

keseimbangan jiwa manusia. Melalui humor seseorang dapat melampiaskan segala

persoalan yang mungkin menekan jiwanya.


Faktor kelima adalah situasi atau keadaan. Freud (1938) menyatakan bahwa yang

menjadikan lucu itu adalah situasi. Situasi sangat erat hubungannya dengan stimulus.

Suatu tindakan menjadi lucu atau tidak lucu sangat bergantung pada keadaan

sekelilingnya, karena stimulus dirasakan sekelilingnya sebagai sesuatu yang lucu..


Faktor yang keenam adalan sosial budaya. Setiap tindakan lucu terkait oleh

budaya masyarakat tertentu. Suatu tindakan lucu dapat berhasil dengan baik apabila

masyarakat tersebut mempunyai nilai sosial, norma-norma dan aturan-aturan yang sarna.
Faktor masyarakat penting dalam tindakan lucu. Demikian pula latar belakang sosial dari

partisipan merupakan faktor yang penting pula. Hanya orang-orang dengan latar belakang

sosial budaya yang sarna akan tertawa dengan lelucon yang terdapat dalam masyarakat

tersebut.
Keenam faktor dari tindakan lucu ini penting, karena faktor-faktor ini dapat

memberikan alasan mengapa suatu tindakan atau aktivitas itu lucu. Tingkah laku dari

penutur, baik verbal maupun non-verbal, dirasakan sebagai suatu rangsangan yang

menimbulkan rasa geli atau lucu pada pendengar. Hal ini dapat terjadi pada suatu

keadaan atau situasi di mana faktor psikologis, pengalaman hidup, dan latar belakang

sosial budaya dari penutur dan pendengar ikut menentukannya.

teori yang semula berasal dari teori psikologi itu adalah teori pembebasan, teori

konflik, dan teori ketidakselarasan (Wilson 1979:10, Sudjatmiko 1992:70, Wijana

1996:6).
Raskin (1985) menyebut tiga teori penciptaan humor itu dengan istilah-

istilah yang bebeda, Ia menyebut teori persepsi-kognitif untuk teori ketidakselarasan,

teori perilaku sosial untuk teori konflik, dan teori psikoanalitis untuk. teori pembebasan,

You might also like