You are on page 1of 18

ANTIDIABETIK

Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-

sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang

disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,

CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang

dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic

Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD

(glutamic acid decarboxylase).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1.

Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh

non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA

merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk

sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang

terdapat di pulau Langerhans.

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa

tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel

memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin.

Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-

sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam

tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel

yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-
sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA

makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)

ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA

juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2

ditemukan positif ICSA.

Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir

80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana

halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun

sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan

prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi

lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA

ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan

sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.

Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung

mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan

gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi

sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada

penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau

Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun

pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun

dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu

manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami


ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi

somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap

kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada

penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon

sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang

mendapat terapi insulin.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,

namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan

kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada

beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya

adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam

darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam

lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan

perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan

menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan

menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk

merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4

(protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan

tubuh) di jaringan adiposa.

B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya

dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari

keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi


akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya

meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan

jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan

terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta

kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian

terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang

bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor

pradisposisi untuk DM Tipe 2. Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe

2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin

yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.

Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Resistensi insulin banyak

terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari

obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan

sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak

terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi

pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe

2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya

tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan

meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20

menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan

gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan

sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan

defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4

kelompok:

a. Kelompokyanghasilujitoleransiglukosanyanormal

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia

(Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma

puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma

puasa > 140 mg/dl).

Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh

sel beta pankreas.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat

ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD)

1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin merupakan

pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.

2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator

Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel otot,

lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di

perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC

III- IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal

hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk

dalam golongan ini adalah Pioglitazone.


3. Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat

glukosidase alfa tidakgunakan bila GFR 30ml/min/1,73 mgangguan faal hati yang

berat, irritable bowel syndrome.

4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-

1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk

aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi

glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).

5.Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang

menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:

Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Golongan Efek Samping Penuruna


Cara Kerja Utama
Obat Utama n HbA1c

BB naik
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin 1,0-2,0%
hipoglikemia

BB naik
Glinid Meningkatkan sekresi insulin 0,5-1,5%
hipoglikemia

Metformin Menekan produksi glukosa hati & Dispepsia, diare, 1,0-2,0%


menambah sensitifitas terhadap
asidosis laktat
insulin

Penghambat Alfa- Flatulen, tinja


Menghambat absorpsi glukosa 0,5-0,8%
Glukosidase lembek

Menambah sensitifitas terhadap


Tiazolidindion Edema 0,5-1,4%
insulin

Penghambat DPP- Meningkatkan sekresi insulin,


Sebah, muntah 0,5-0,8%
IV menghambat sekresi glukagon

Penghambat Nenghambat reabsorpsi glukosa


ISK 0,5-0,9%
SGLT-2 di tubuli distal ginjal

Obat Antihiperglikemia) Insulin Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu


Kerja

Awitan Puncak Lama


Jenis Insulin Kemasan
(onset) Efek Kerja

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Lispro (Humalog) Insulin Pen/cartridge


5-15
Aspart (Novorapid) Insulin Glulisin
menit
1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
(Apidra) Pen

Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )

30-60 Vial,
Humulin R Actrapid Sansulin 2-4 jam 6-8 jam
menit pen/cartridge
Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)

Humulin N Insulatard Insuman Vial,


1,54 jam 4-10 jam 8-12 jam
Basal pen/cartridge

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)

Hampir
Insulin Glargine (Lantus) Insulin 12-24
13 jam tanpa Pen
Detemir (Levemir) jam
puncak

Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)

Hampir
30-60 Sampai
Degludec (Tresiba)* tanpa
menit 48 jam
puncak

Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)

70/30 Humulin (70% NPH, 30%


30-60
reguler) 70/30 Mixtard (70% NPH, 312 jam
menit
30% reguler)

Campuran (Premixed, Insulin Analog)

75/25 Humalogmix (75% protamin


lispro, 25% lispro)
70/30 Novomix (70% protamine 12-30
1-4 jam
aspart, 30% aspart) menit

Sumber : NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat


disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari Mooradian et al.
Ann Intern Med. 2006;145:125-34].
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk

pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pengelepasan

insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang

biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan

mungkin menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat

ini antara lain rasa sebah dan muntah.

c. Terapi Kombinasi

Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun

fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam

obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi

sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi

tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat

antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis

dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat

antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah

kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau

insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan

terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik

dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-

10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut

dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana

kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat
insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta

pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.

Mekanisme kerja

Sering disebut insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari

granul-granul sel beta langerhans pancreas. Rangsangannya melalui interaksinya

dengan ATP-sensitive K Channel pada membrane sel-sel yang menimbulkan

depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya

kanal Ca maka ion Ca akan masuk ke sel , merangsang granula yang berisi insulin

dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide-C.

Selain itu, sulfonylurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. 1

Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan

hipoglikemia.

Farmakokinetik

Absorbsi ke saluran cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat

mengurangi absorbs, karena itu akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum

makan. Dalam plasma 90% terikat protein plasma terutama albumin. Ikatan ini paling

kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid. 1

Masa paruh asetoheksamid pendek tetapi metabolit aktifnya, 1-hidroksiheksamid

masa paruhnya lebih panjang, sekitar 4-5 jam, sama dengan tolbutamid dan tolazamid.

Sebaiknya sediaan ini diberikan dalam dosis terbagi. Sekitar 10 % metabolitnya

dieksresi melalui empedu dan keluar bersama tinja. 1

Klorpropamid dalam darah terikat albumin, masa paruhnya panjang, 24-48 jam.

Efeknya masih terlihat beberapa hari setelah obat dihentikan. Metabolismenya di

hepar tidak lengkap, 20 % diekskresi utuh di urin.


Mula kerja tolbutamid cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam. Dalam darah 96 %

tolbutamid terikat protein plasma dan di hepar diubah menjadi karboksitolbutamid.

Ekskresinya melalui ginjal.

Tolazamid absorbsinya lebih lambat dari yang lain. Efeknya dalam glukosa darah

belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh sekitar 7 jam. 1

Sulfonilurea generasi II umumnya potensi hipoglikemiknya 100x lebih besar dari

generasi I. Meski masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam, efek hipoglikemiknya

berlangsung 12-24 jam. Cukup diberikan 1x sehari.

Glipizid, absorbsinya lengkap, masa paruh 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat protein

plasma, potensinya 100x lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik

maksimalnya mirip dengan sulfonylurea lain. Metabolismenya di hepar menjadi

metabolit tidak aktif, 10 % diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. 1

Gliburid (glibenklamid), potensi 200x lebih besar dari tolbutamid, masa paruhnya

sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar. Pada pemberian dosis tunggal hanya 25 %

metabolitnya diekskresi melalui urin, sisanya melalui empedu. PAda penggunaan

dapat terjadi kegagalan primer dan sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-kira 21%

selama 1 tahun.

Karena semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal,

sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang

berat.

Efek samping

Insidens efek samping generasi I adalah 4 % dan lebih rendah lagi untuk genarasi II.

Dapat timbul hipoglikemia hingga koma. Reaksi ini lebih sering terjadi pada pasien

usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, terutama yang menggunakan
sediaan dengan masa kerja panjang.

Efek samping lain yaitu mual, muntah, diare, gejala hematologic, ssp, mata, dsb.

Gangguan saluran cerna tersebut dapat berkurang dengan mengurangi dosis, menelan

obat bersama dengan makanan atau membagi obat dalam beberapa dosis. Gejala ssp

berupa vertigo, bingung, ataksia, dsb. Gejala hematologic seperti leucopenia,

agranulositosis. Efek samping lain yaitu hipotiroidisme, ikterus obstruktif, yang

bersifat sementara dan lebih sering timbul akibat klorpropamid. 1

Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh mekanisme kompensasi

berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang. Selain itu hipoglikemia tidak

mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda akut dan dapat

menimbulkan disfungsi otak sampai koma. Penurunan kecepatan ekskresi

klorpropamid dapat m eningkatkan hipoglikemia.

Indikasi

Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien yang diabetesnya mulai timbul

pada usia diatas 40 tahun. Kegagalan terapi dengan salah satu derivate sulfonylurea

mungkin disebabkan oleh perubahan farmakokinetik obat, misalnya penghancuran

obat yang terlalu besar.

Selama terapi pemeriksaan fisik dan laboratorium harus dilakukan secara teratur.

Interaksi

Obat yang dapat meningkatkan ririko hipoglikemia saat penggunaan sulfonylurea

adalah insulin, alcohol, fenformin, kloramfenikol, anabolic steroid, fenfluramin dan

klofibrat. 1
Propanolol dan bloker lainnya menghambat reaksi takikardi, berkeringat dan tremor

pada hipoglikemia oleh berbagai sebab sehingga keadaan hipoglikemia menjadi lebih

hebat tanpa diketahui. Sulfonilurea terutama klorpropamid dapat menurunkan

toleransi terhadap alcohol.

Sumber : BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA


Volume XI, No.5 SEPTEMBER - OKTOBER 2010 .
(http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0510.pdf)
Antihipertensi

Antihipertensi adalah obat obatan yang digunakan untuk mengobati

hipertensi. Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko tinggi

untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dan mereka yang beresiko terkena stroke

maupun miokard infark. Pemberian obat bukan berarti menjauhkan individu dari

modifikasi gaya hidup yang sehat seperti mengurangi berat badan, mengurangi

konsumsi garam dan alkohol, berhenti merokok, mengurangi stress dan berolah- raga.

Pemberian obat perlu dilakukan segera pada pasien dengan tekanan darah
sistolik 140/90 mmHg . Pasien dengan kondisi stroke atau miokard infark ataupun
ditemukan bukti adanya kerusakan organ tubuh yang parah (seperti mikroalbuminuria,
hipertrofi ventrikel kiri) juga membutuhkan penanganan segera dengan antihipertensi.

Tujuan

Pada dasarnya pengobatan dengan antihipertensi itu penting agar pasien dapat
mencapai tekanan darah yang dianjurkan. Level tekanan darah yang diharapkan pada
pasien hipertensi yang tidak disertai komplikasi adalah 140/90 mmHg atau lebih
rendah bila memungkinkan, sedangkan pada pasien mengalami insiden kerusakan
organ akhir atau kondisi seperti diabetes, level tekanan darah yang diharapkan adalah
130/90 mmHg, dan pada pasien proteinuria (>1 g / hari) diharapkan tekanan darah di
bawah 150/75 mmHg.

Adapun tujuan pemberian antihipertensi yakni :

1. Mengurangi insiden gagal jantung dan mencegah manifestasi yang muncul akibat
gagal jantung.

2. Mencegah hipertensi yang akan tumbuh menjadi komplikasi yang lebih parah dan
mencegah komplikasi yang lebih parah lagi bila sudah ada.

3. Mengurangi insiden serangan serebrovaskular dan akutnya pada pasien yang sudah
terkena serangan serebrovaskular.

4. Mengurangi mortalitas fetal dan perinatal yang diasosiasikan dengan hipertensi


maternal.

Klasifikasi

Dikenal lima kelompok obat lini pertama (first line drug) yang digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (-
blocker), penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor),
penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis
kalsium.

1 Diuretik

Mekanisme kerja : Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menghancurkan


garam yang tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya ada dua tahap yaitu : (1)
Pengurangan dari volume darah total dan curah jantung; yang menyebabkan
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer; (2) Ketika curah jantung kembali ke
ambang normal, resistensi pembuluh darah perifer juga berkurang. Contoh
antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide, Furosemide,
Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide, Chlorthaldion.

2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (-Blocker)

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian -blocker dapat


dikaitkan dengan hambatan reseptor 1, antara lain : (1) penurunan frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan
sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan Angiotensin II;
(3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroresptor, perubahan neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Propanolol,
Metoprolol, Atenolol, Betaxolol, Bisoprolol, Pindo lol, Acebut olol, Penbutolol,
Labetalol.

3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-


Inhibitor)

Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk


pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Mekanisme kerja : secara langsung
menghambat pembentukan Angiotensin II dan pada saat yang bersamaan
meningkatkan jumlah bradikinin. Hasilnya berupa vasokonstriksi yang berkurang,
berkurangnya natrium dan retensi air, dan meningkatkan vasodilatasi (melalui
bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Kaptopril, Enalapril,
Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril, Lisinopril.

4 Penghambat Reseptor Angiotensin

Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1).


Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama sekali
tidak ada produksi ataupun metabolisme bradikinin. Contoh antihipertensi dari
golongan ini adalah Losartan, Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan,
Eprosartan, Zolosartan.

5 Antagonis Kalsium

Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila
menggunakan golongan obat dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan
Veparamil tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung
pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem,
Verapamil, Nifedipine.

Efek Samping

Antihipertensi dari golongan diuretik, ACE-inhibitor dan beberapa -Blocker dapat


menyebabkan reaksi likenoid. ACE-inhibitor juga diasosiasikan dengan kehilangan
sensasi pada lidah dan rasa terbakar pada mulut. ACEinhibitor dan penghambat
reseptor angiotensin II pernah diimpliksikan bahwa keduanya menyebabkan
angioedema pada rongga mulut pada sekelompok 1% dari pasien yang
mengonsumsinya. Meskipun oedema pada lidah, uvula, dan palatum lunak yang
paling sering terjadi, tetapi oedema larynx adalah yang paling serius karena berpotensi
menghambat jalan nafas.

Efek samping

obat obatan antihipertensi pada rongga mulut adalah xerostomia, reaksi likenoid,
pertumbuhan gingiva yang berlebih, pendarahan yang parah, penyembuhan luka yang
tertunda. Sedangkan efek samping yang sistemik yang paling sering dilaporkan adalah
konstipasi, batuk, pusing, mengantuk, letih, frekuensi berkemih yang meningkat,
berkuranya konsentrasi, disfungsi seksual dan rasa tidak enak pada perut.

Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22597/4/Chapter%20II.pdf

You might also like