Professional Documents
Culture Documents
0
ekspor bersih yang cukup besar serta menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih tetap memberikan angin segar
bagi petani. Untuk itu diperlukan perubahan pola pikir yang berorientasi pasar.
Peternakan merupakan bagian dari pertanian dalam arti luas, memiliki
peluang besar dikembangkan menjadi agribisnis peternakan. Sedangkan sapi
adalah salah satu jenis ternak sumber utama daging dan merupakan komoditas
unggulan di Provinsi Bali. Dilihat dari keragaan sapi potong, sapi bali memiliki
potensi ekonomi tinggi dengan berbagai keunggulan dibandingkan sapi potong
daerah lain, yaitu tingkat fertilitas tinggi 80-80,2%, persentase karkas mencapai
56-60% dan kenaikan bobot harian tertinggi (0,35 kg/hari) (Tabel 13.1).
1
terus meningkat karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pertambahan
jumlah penduduk, kebutuhan bahan baku industri pengalengan, peningkatan
pendapatan masyarakat, dan bangkitnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan
gizi untuk menjaga kesehatan tubuh. Sementara itu produksi daging nasional
pertumbuhannya sangat lambat yang disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan
populasi. Di Bali, populasi sapi bali selama 2004-2009 cenderung meningkat,
berturut-turut 576.586 ekor, 590.949 ekor, 613.241 ekor, 633.789 ekor, 668.065
ekor, dan 675.419 ekor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya 3.2%
(Bappeda, 2010).
2
sewa lahan, dan penyusutan). Kenyataan ini disebabkan oleh sistem pemasaran
sapi di bali yang belum efisien, sehingga belum mampu memberikan keuntungan
yang layak bagi peternak (Sukanata dkk., 2010),
Pemasaran yang lebih efisien akan dapat memberikan harga yang lebih
tinggi bagi peternak. Dengan demikian sistem pemasaran yang lebih efisien
mutlak diperlukan, sehingga peternakan sapi mampu memberikan tambahan
pendapatan yang lebih tinggi bagi para peternak. Peningkatan pendapatan
tersebut akan mendorong mereka untuk memelihara sapi dalam jumlah yang lebih
banyak. Di samping itu, juga akan mendorong peternak untuk melakukan
pemeliharaan dengan cara yang lebih baik (misalnya pakan yang lebih
berkualitas, serta sistem kawin yang lebih baik seperti cara IB), sehingga dapat
meningkatkan kualitas sapi yang dihasilkan. Hal ini secara tidak langsung akan
meningkatkan populasi sapi di Bali, seperti yang diinginkan oleh pemerintah.
Dalam pemeliharaan sapi bali, kemampuan petani untuk mengalokasikan
faktor-faktor produksi dengan efisien sangatlah penting untuk memperoleh
keuntungan yang maksimum. Sukanata dkk. (2009) melakukan penelitian
pengalokasian faktor-faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi
usahatani penggemukan sapi potong di Desa Lebih Kabupaten Gianyar, Bali.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bibit, pakan hijauan, dan pakan
konsentrat memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik (=0.01)
terhadap produksi, dengan nilai elastisitas produksi masing-masing 0.666; 0.161
dan 0.116. Penggunaan faktor produksi bibit, dan pakan hijauan mendekati efisien
secara ekonomis yang ditunjukkan oleh Indeks Efisiensinya, yaitu masing-masing
0.97 dan 0.93. Sedangkan penggunaan pakan konsentrat tidak efisien, dengan
nilai Indeks Efisiensinya 0.57.
Pendapatan yang diperoleh peternak dengan hanya memperhitungkan
biaya tunai (tanpa memperhitungkan biaya pakan hijauan yang terdiri dari rumput,
daun-daunan, dan jerami, tenaga kerja, dan biaya lahan) menunjukkan bahwa
usahatani penggemukan sapi potong memberikan keuntungan yang cukup besar
yaitu Rp. 3,792,447, dengan R/C rasio 1.19. Namun dengan memperhitungkan
semua biaya, usahatani ini menyebabkan kerugian Rp. 2,180,288 dengan R/C
rasio 0.91 (Tabel 13.2).
3
Tabel 13.2. Rerata Pendapatan Peternak dari Penggemukan Sapi Potong di
Desa Lebih per Satu Masa Penggemukan, Tahun 2009
Jumlah Harga/
No Uraian Satuan Nilai (Rp) %1 %2
fisik Satuan
I Penerimaan
Sapi (3 ekor) Kg 1044 22000 22,975,863
Pupuk Kandang truk 3.50 80000 280,000
Jumlah Penerimaan 23,255,863
II Biaya Tunai
Sapi Bakalan (3 ekor) Kg 685 23000 15,755,000 61.94 80.95
Pakan Konsentrat Kg 1604.54 1800 2,888,172 11.35 14.84
Obat Cacing Ml 60 2000 120,000 0.47 0.62
Obat kutu Ml 9 15000 135,000 0.53 0.69
Obat Mencret Ml 30 2500 75,000 0.29 0.39
Obat Lalat Ml 3 1000 3,000 0.01 0.02
Vaksin Ml 30 2000 60,000 0.24 0.31
Vitamin B Komplek Ml 45 1000 45,000 0.18 0.23
Mineral Kg 12.6 5000 63,000 0.25 0.32
Penyusutan kandang m2 7.50 20084 150,633 0.59 0.77
Penyusutan Peralatan Rp 168,611 0.66 0.87
Jumlah Biaya Tunai 19,463,416 76.52
II Biaya yang Diperhitungkan
Pakan Hijauan Kg 19694 200 3,938,760 15.48
Tenaga Kerja HKSP 79 25000 1,983,975 7.80
Sewa Lahan Are 0.5 100000 50,000 0.20
Jumlah Biaya yang
Diperhitungkan 5,972,735 23.48
III Biaya Total 25,436,151 100.00
IV Pendapatan atas Biaya Tunai 3,792,447
V Pendapatan atas Biaya Total -2,180,288
VI R/C rasio atas Biaya Tunai 1.19
VII R/C rasio atas Biaya Total 0.91
Sumber: Sukanata dkk.( 2009)
NB: Satu masa penggemukan = 7 bulan
1 dari biaya total, 2 dari biaya tunai
4
Berbagai permasalahan yang dihadapi di dalam pemasaran sapi di Bali
antara lain, kebijakan pemasaran yang kurang tepat, struktur pasar yang
cenderung mengarah ke pasar monopsoni, rantai pasar yang panjang, permainan
timbangan, penyelundupan, jual-beli kuota pengeluaran sapi, pengawasan yang
kurang, di samping juga rendahnya jiwa kewirausahaan para peternak. Dari
diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan oleh
Pusat Kajian Sapi Bali dengan para pemangku kepentingan peternakan tanggal 5
Januari 2011 terungkap adanya indikasi masalah-masalah pemasaran sapi di Bali
antara lain, adanya upaya pemberian pakan dan atau air berlebih secara paksa
(disombor) oleh peternak dan atau belantik (pembeli langsung ke peternak)
sebelum tiba di pasar hewan, di pasar hewan pembeli antar pulau bermain-main
dengan tukang timbang atau pedagang antar pulau memotong berat sapi belantik
20% dari berat hidup karena jika tidak bersedia dipotong 20% pedagang antar
pulau tidak bersedia membeli, kuota antar pulau oleh Dinas Perijinan masih
rendah (cenderung underestimate), sistem penjualan dan penimbangan di pasar
hewan Beringkit, sistem pemasaran sapi yang tidak fair antara belantik dan
pedagang antar pulau, dan penimbangan yang tidak fair di pasar hewan Beringkit.
Oleh karena itu maka kondisi ini harus diperbaiki, sehingga mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan peternak.
Karakteristik Pemasaran
Secara umum kegiatan pemasaran sapi di Bali dapat dipilah menjadi dua,
yaitu pemasaran lokal dan perdagangan antar pulau. Pemasaran lokal meliputi
kegiatan-kegiatan pemasaran sapi untuk memenuhi permintaan pemotongan lokal
dan pemotongan industri. Pemotongan lokal merupakan pemotongan sapi untuk
memenuhi konsumsi masyarakat secara langsung, sedangkan pemotongan
industri merupakan pemotongan sapi untuk memenuhi kebutuhan industri, seperti
industri pengalengan daging, sosis, dendeng, bakso, daging beku, restoran/hotel,
swalayan, dan lain sebagainya. Hasil olahan industri tersebut tidak hanya untuk
memenuhi permintaan lokal, namun juga untuk memenuhi permintaan pasar di
luar Bali.
Perdagangan antar pulau merupakan kegiatan pemasaran sapi potong
5
yang masih dalam keadaan hidup untuk memenuhi permintaan dari luar Bali.
Daging sapi bali sangat digemari oleh konsumen di luar, sehingga permintaannya
terus meningkat. Data Dinas Peternakan selama kurun waktu 2001-2008 (Tabel
13.3) menunjukkan bahwa sebagian besar (rata-rata 65.03% dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 9.55% per tahun) sapi yang dihasilkan di Bali dipasarkan
ke luar Bali, khususya ke DKI Jakarta dan beberapa daerah di sekitarnya Jawa
Barat, seperti Bekasi, Bogor dan Tanggerang. Akhir-akhir ini pemasaran ke
beberapa daerah lainnya mulai dilakukan, seperti ke Kalimantan dan Bangka
Belitung. Menurut Sukanata dkk. (2010), hasil survei di RPH Cakung menunjukkan
bahwa harga karkas sapi Bali yang berasal dari Bali adalah yang termahal kedua
setelah sapi dengan merek TUM yang berasal dari luar negeri. Hal ini terjadi
karena karkas sapi Bali tersebut sangat digemari oleh konsumen di daerah
tersebut.
Pemasaran sapi potong dari Bali ke luar bali dilakukan oleh beberapa
perusahaan (pedagang antar pulau) yang mendapat kuota dari pemerintah.
Dengan demikian tidak semua orang bisa memperdagangkan sapi ke luar Bali
secara langsung, melainkan harus melalui pedagang antar pulau yang telah
mengantongi ijin. Pedagang antar pulau umumnya telah memiliki langganan di
luar Bali. Dalam memperoleh sapi untuk diperdagangkan ke luar, pedagang antar
pulau mengandalkan pasokan utama dari belantik yang sudah menjadi
6
langganannya. Pembelian sapi dari belantik, tersebut dapat dilakukan melalui
pasar hewan ataupun belantik yang langsung mendatangi lokasi pedagang
tersebut.
Hanya sebagian kecil dari peternak yang menjual sapinya secara
langsung kepada pedagang antar pulau (22.58%) seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 13.4. Peternak yang menjual langsung kepada pedagang antar pulau
tersebut sebagian besar merupakan peternak yang berada di desa-desa sekitar
tempat tinggal pedagang antar pulau tanpa melalui pasar hewan. Sebagian besar
peternak (74,19%) memilih menjual sapinya secara langsung kepada belantik. Hal
ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Suparta (wawancara pribadi,
2007) yang menyatakan bahwa peternak umumnya lebih senang konsentrasi di
proses produksi yang senantiasa dekat dengan ternaknya, sehingga mereka lebih
senang menyerahkan pemasaran hasilnya kepada orang atau lembaga lain.
7
peternak dalam melakukan negosiasi harga dan perkiraan kualitas sapi yang
diperjualbelikan. Kualitas tersebut menyangkut: tingkat lemak, ketebalan kulit,
perkiraan daging yang akan diperoleh (karkas), tulang, kekompakan badan, serta
warna bulu. Faktor-faktor tersebut juga akan mempengaruhi tingkat harga yang
akan diterima belantik dari pedagang antar pulau.
Dalam menjual sapi, peternak menghadapi struktur pasar yang mengarah
ke pasar monopsoni, di mana hanya ada satu atau dua orang belantik (pembeli) di
desa-desa sekitar lokasi peternak, yang berhadapan dengan banyak peternak
(penjual). Di antara para belantik dari masing-masing desa seolah-olah sudah
mempunyai kesepakatan bahwa masing-masing belantik hanya menguasai
daerah pembelian tertentu, sehingga belantik lainnya tidak mau mengganggu.
Mereka umumnya bekerjasama dalam menentukan harga kepada peternak.
Struktur pasar seperti itu menyebabkan posis tawar (bargain position) peternak
lebih lemah dibandingkan belantik, sehingga peternak lebih bersifat sebagai price
taker dan belantik lebih mempunyai peranan dalam menentukan harga (price
maker). Dalam memasarkan sapinya, belantik menghadapi struktur pasar yang
mengarah ke pasar oligopsoni, di mana hanya ada beberapa pedagang antar
pulau yang mempunyai ijin untuk memasarkan sapi ke luar (pembeli), yang
berhadapan dengan banyak belantik (penjual). Struktur pasar tersebut juga
menyebabkan posisi tawar (bargaining position) belantik lebih lemah dibandingkan
dengan pedagang antar pulau, sehingga pedagang antar pulau lebih dominan
dalam menentukan harga. Pedagang antar pulau umumnya telah memiliki
langganan tetap di luar Bali. Setiap pedagang antar pulau memiliki 1 sampai 4
langganan di luar bali. Struktur pasar yang dihadapi pedagang antar pulau adalah
mengarah ke pasar oligopsoni. Struktur pasar ini juga menyebabkan pembeli luar
bali lebih dominan dalam menentukan harga dan keputusan lainnya terkait
pemasaran. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pembeli di luar
Bali umumnya adalah secara bon. Hal ini digunakan sebagai senjata pengikat oleh
pembeli di luar Bali, sehingga pedagang antar pulau tetap berlangganan. Hal ini
menyebabkan pedagang antar pulau sulit untuk berpindah ke pedagang lain.
Pasar hewan merupakan salah satu sarana pendukung untuk membantu
kelancaran dalam pemasaran. Saat ini di Bali ada 8 pasar sapi yang tersebar di
8
beberapa kabupaten di Bali. Pasar Beringkit merupakan pasar terbesar dan
teramai dikunjungi oleh para pelaku pasar. Pada umumnya kegiatan pasar sapi
biasanya dibuka dua kali seminggu. Para peternak diharapkan menjual sapinya
secara langsung ke pasar hewan, sehingga rantai pemasaran menjadi lebih
pendek, dan peternak akan mendapat harga lebih baik. Namun demikian, hanya
sebagian kecil dari peternak melakukan penjualan dengan membawa sapinya
langsung ke pasar hewan. Hasil penelitian Sukanata, dkk. (2010) menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil (6,45%) dari peternak responden yang memasarkan
sapinya langsung ke pasar hewan (Tabel 13.5). Sebagian besar dari mereka lebih
memilih menjual sapinya di lokasi peternak/kandang kepada belantik.
10
fasilitas. Aktivitas masing-masing lembaga pemasaran sapi dan saluran
pemasaran disajikan pada Tabel 13.6.
Tabel 13.6. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang dilakukan oleh setiap Lembaga Pemasaran
Sapi Potong dari Bali ke Luar, Tahun 2010
Rantai Pemasaran
Pola pemasaran sapi bali umumnya masih bersifat tradisional, karena
peternak tidak menjual langsung sapinya ke pedagang besar, melainkan ke
tengkulak (belantik). Akibatnya peternak memperoleh harga relatif rendah.
Peluang pasar daging lokal khususnya daging sapi bali terbuka lebar, terutama
untuk memenuhi permintaan pasar pada hari-hari besar agama Islam, seperti Idul
11
Adha atau Idul Fitri. Pada hari besar tersebut, biasanya harga jual daging sapi di
Bali dapat mencapai Rp 35.000 hingga Rp 50.000 per kg.
Secara umum pola tataniaga sapi potong di Propinsi Bali (Anonim, 2001)
dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Rantai sapi potong untuk kebutuhan antar pulau
a. Peternak Pasar Belantik, Pedagang,
pedagang pengirim (eksportir)
perantara
(misal, KUD Penebel)
12
13. PETERNAK PH PAP RPH PB KONS
14. PETERNAK PH PAP RPH PB PENGECER KONS
15. PETERNAK PH PAP RPH PB PM KONS
16. PETERNAK PH PAP RPH PB PM PENGECER KONS
17. PETERNAK PH PENGANYAR PAP RPH PB KONSUMEN
18. PETERNAK PH PENGANYAR PAP RPH PB PENGECER KONS
19. PETERNAK PH PENGANYAR PAP RPH PB PM KONSUMEN
20. PETERNAK PH PENGANYAR PAP RPH PB PM PENGECER KONS
21. PETERNAK PAP PB RPH KONS
22. PETERNAK PAP PB RPH PENGECER KONS
23. PETERNAK PAP PB PM RPH KONS
24. PETERNAK PAP PB PM RPH PENGECER KONS
25. PETERNAK BLT PAP PB RPH KONS
26. PETERNAK BLT PAP PB RPH PENGECER KONS
27. PETERNAK BLT PAP PB PM RPH KONS
28. PETERNAK BLT PAP PB PM RPH PENGECER KONS
29. PETERNAK BLT PH PAP PB RPH KONS
30. PETERNAK BLT PH PAP PB RPH PENGECER KONS
31. PETERNAK BLT PH PAP PB PM RPH KONS
32. PETERNAK BLT PH PAP PB PM RPH PENGECER KONS
33. PETERNAK PH PAP PB RPH KONS
34. PETERNAK PH PAP PB RPH PENGECER KONS
35. PETERNAK PH PAP PB PM RPH KONS
36. PETERNAK PH PAP PB PM RPH PENGECER KONS
37. PETERNAK PH PENGANYAR PAP PB RPH KONS
38. PETERNAK PH PENGANYAR PAP PB RPH PENGECER KONS
39. PETERNAK PH PENGANYAR PAP PB PM RPH KONS
40. PETERNAK PH PENGANYAR PAP PB PM RPH PENGECER KONS
Keterangan :
PAP : Pedagang Antar Pulau PB : Pedagang Besar
BLT : Belantik PM : Pedagang Menengah
PH : Pasar Hewan KONS : Konsumen
RPH : Rumah Potong Hewan
13
Pola 2: Peternak Belantik Pasar hewan pedagang antar pulau
(sebanyak 52 %), dan
Pola 3: Peternak Pasar hewan Pedagang antar pulau (sebanyak 14%)
Margin pemasaran tertinggi terdapat pada pola 1 yaitu Rp. 2,950,000/ekor diikuti
pola 2 sebesar Rp.2.250.000/ekor dan pola 3 yaitu Rp. 1.608.000/ekor.
Sedangkan share yang diterima petani tertinggi pada pola pemasaran 3 yaitu
78.12%, pola 2 sebesar 67.86% dan pola 1 sebesar 61.69%.
Hasil penelitian Iriani (2007) tentang pemasaran sapi bali di Manokwari
Papua Barat menunjukkan bahwa terdapat empat saluran utama pemasaran
ternak sapi bali di Kabupaten Manokwari dengan distrisbusi margin yang tidak
merata. Bagian harga yang diterima peternak pada saluran I sebesar 78,81%,
saluran II sebesar 80,05%, saluran III sebesar 81,84% dan saluran IV sebesar
adalah 84,06%. Margin pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat peternak,
volume pemasaran, jumlah pedagang perantara, dan harga di tingkat konsumen.
Putra (1993) menyatakan bahwa variabel terpenting yang berpengaruh
dalam pemasaran sapi bali dari segi harga pada tingkat petani adalah bentuk
pasar, informasi pasar, pengaruh musim dan hari raya, umur dan kelamin sapi,
jalur pemasaran, trend permintaan dan kebutuhan petani yang sangat mendesak.
Rendahnya harga sapi bali pada tingkat petani sesungguhnya adalah isu
dari segi biaya produksi yang jauh lebih tinggi bila semua masukan dinilai dengan
uang, termasuk tenagakerja keluarga. Sebaliknya dalam proporsinya terhadap
harga konsumen mencapai 71,08%, sehingga termasuk tinggi, bahkan lebih tinggi
dari harga sapi pada petani Amerika yang hanya mencapai 52%. Mungkin lebih
tepat untuk dinyatakan harga sapi bali pada tingkat petani tidak beranjak secara
berarti. Hal ini akibat tertutupnya sistem tataniaga dan ketergantungan
sepenuhnya petani pada jasa lembaga-lembaga pemasaran yang praktis
menguasai segala informasi pasar yang diperlukan. Dengan demikian, mereka
memiliki kekuatan pasar oligopoli dan dominansi kekuatan tawar-menawar atas
beban ketidak berdayaan petani.
Akses petani terhadap informasi pasar dalam sistem tataniaga yang
berlangsung praktis sangat terbatas. Artinya tidak sampai menembus sebagian
besar mata rantai pemasaran sebagai sumber informasi yang terdekat adalah
14
belantik, dan yang terjauh dan sulit ditembus adalah pedagang di pasar.
Sebanyak 82% informasi diperoleh melalui belantik yang mempunyai frekuensi
interaksi relatif tinggi, bahkan akrab sekali. Sebanyak 13% informasi diperoleh dari
teman petani yang relatif mempunyai kesempatan komunikasi lebih luas di luar
lingkungannya. Sebanyak 5% informasi atau paling sedikit diperoleh dari aparat
pemerintah (Sukanata dkk, 2010).
Efisiensi Pemasaran
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukanata, dkk. (2010) menunjukkan
bahwa pemasaran sapi potong di Bali khususnya pemasaran sapi potong antar
pulau belum efisien. Hal ini diindikasikan oleh farmers share yang rendah yaitu
berkisar antara 63,48%-69,03% dari harga beli konsumen akhir dan total margin
pemasaran yang tinggi sebesar 40,93% dari harga beli konsumen akhir. Sebagian
besar dari margin tersebut merupakan total keuntungan yaitu sebesar 78,09%-
83,35%, yang dinikmati oleh para pedagang. Sedangkan total biaya
pemasarannya berkisar antara 16,65%-21,91%. Rasio keuntungan terhadap biaya
yang diperoleh peternak berkisar antara 0,075-0,154 jauh lebih rendah
dibandingkan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran lainnya yang berkisar
antara 1,05-21,84 pada setiap saluran pemasaran. Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa pemasaran sapi potong antar pulau lebih menguntungkan
pedagang dibandingkan peternak. Pedagang mempunyai peranan yang dominan
dibandingkan peternak. Pedagang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari
untuk mengirim sapi ke Jakarta dan sekitarnya, sedangkan peternak harus
memelihara selama 3-4 tahun sebelum mencapai berat potong.
Dengan demikian jika ingin meningkatkan populasi sapi di Bali, maka
kesejahteraan peternak harus diperhatikan yaitu bagaimana memberikan kondisi
yang memberikan harga yang layak, sehingga peternak bergairah beternak sapi
bali. Pedagang harus memiliki pola pikir sismbiosis mutualistis dengan peternak.
Jika peternak mati, maka pedagangpun tidak akan bisa melanjutkan usahanya,
sebaliknya jika tidak ada pedagang, maka tidak akan ada yang memasarkan sapi
peternak. Oleh karena itu berikanlah keuntungan yang lebih besar kepada
peternak. Di sini dituntut peran pemerintah yang lebih besar melalui kebijakan
15
tepat yang mampu menciptakan pasar yang lebih adil, yang tidak hanya mampu
mensejahterakan pedagang, tetapi juga mampu mensejahterakan peternak.
Iriani (2007) dari hasil penelitiannya tentang pemasaran sapi bali di
Kabupaten Manokwari menyimpulkan bahwa pemasaran ternak sapi bali di
kabupaten Manokwari belum efisien. Indikasinya adalah sebaran margin tidak
merata pada tiap saluran dan elastisitas harga kurang dari satu. Sruktur, perilaku
dan penampilan pasar mengarah ke pasar oligopsoni. Hal ini berarti pemasaran
ternak sapi bali di Kabupaten Manokwari berada pada pasar persaingan tidak
sempurna yang berarti pemasaran berjalan tidak efisien.
Kebijakan Pemasaran
Selisih harga yang menarik antara di bali dengan di daerah sentra
konsumsi seperti Jakarta dan tingginya permintaan pasar di luar bali terhadap sapi
potong yang dihasilkan di bali menyebabkan perdagangan sapi potong dari Bali ke
daerah tersebut tumbuh pesat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah cq
Dinas Peternakan Provinsi Bali, jika populasi sapi di Bali akan menurun. Untuk
mengantisipasi terjadinya hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi Bali
menetapkan dua kebijakan yang terkait dengan pemasaran sapi dari Bali ke luar,
yaitu Kebijakan Kuota Perdagangan dan Perda No 2 th 2003, yang masing-
masing dapat dijelaskan seperti berikut.
16
perhitungan tersebut juga salah. Kesalahan dalam penentuan kuota dapat
menimbulkan permasalahan baru yang justru dapat merugikan peternak,
pedagang, dan pemerintah, antara lain penurunan harga sapi, penurunan populasi
sapi, penurunan kesejahteraan peternak, pendorong penyelundupan sapi, praktek
jual beli kuota, peluang masuknya daging sapi impor, dan mengurangi PAD.
17
(underestimate) justru akan berdampak negatif terhadap populasi sapi, yang
sangat bertolak belakang dengan tujuan meningkatkan populasi.
18
karena harus menjaga langganan, asal masih ada keuntungan dan stok sapi
masih ada, penyelundupan tersebut terpaksa harus dijalani. Menurut Suparta
(2009: wawancara pribadi), konsumen mementingkan kepastian pasokan,
pelayanan yang lebih baik dan cepat, di samping kepastian harga. Dengan
demikian pedagang antar pulau akan berusaha menjaga langganannya walaupun
dengan terpaksa harus menyelundupkan. Peningkatan biaya yang diakibatkan
oleh cara penyelundupan (dampak kebijakan yang tidak tepat) tersebut pada
akhirnya akan dibebankan kepada peternak, dengan jalan menekan harga di
tingkat peternak. Akibat dari kebijakan yang tidak tepat tersebut, maka peternak
yang sebagian besar merupakan peternak rakyat akan semakin menderita secara
ekonomi.
19
Ijin pengeluaran ternak yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah
berdasarkan kuota yang telah ditetapkan. Jika kuota telah terpenuhi pada suatu
tahun tertentu, maka ijin tidak bisa dikeluarkan lagi, sehingga otomatis tidak ada
pemasukan cukai dari pengeluaran sapi, sementara disisi lain penyelundupan
marak terjadi. Jadi bagi pemerintah, kuota yang underestimate tersebut akan
mengurangi pemasukan pemerintah (PAD).
Sistem kuota tidak tepat yang diterapkan oleh pemerintah, di samping
menurunkan kesejahteraan peternak yang notabene merupakan peternak rakyat
yang hidupnya sudah pas-pasan, mengindikasikan kegagalan pemerintah
mensejahterakan rakyatnya. Di satu sisi peternak dipacu untuk meningkatkan
produksi, namun disisi lain pemerintah justru membuat kebijakan yang merugikan
peternak. Berdasarkan uraian di atas, maka kebijakan kuota agar ditinjau kembali
untuk dihapus, karena: pertama, secara teknis sulit ditentukan berapa jumlah
populasi yang tepat. Kesalahan dalam penentuan jumlah kuota justru akan sangat
merugikan terutama bagi peternak dan berdampak negatif pada populasi. Oleh
karena itu sepanjang pedagang itu dapat memperoleh sapi yang memenuhi
ketentuan, maka ijin pengeluaran sapi antar pulau harus diberikan, sehingga
pemasaran akan menjadi lancar. Kedua, peran kebijakan kuota dalam mencegah
pengurasan populasi sebenarnya telah dapat digantikan oleh Perda No. 2 Th
2003.
Perda No 2 Tahun 2003 dan Implikasinya
Di samping menetapkan kebijakan kuota, Pemerintah Daerah Bali juga
mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 2003 untuk mengatur pemasaran sapi dari bali
ke luar bali. Berdasarkan perda tersebut, sapi yang boleh diperdagangkan ke luar
dari Bali adalah sapi jantan dengan berat minimal 375 kg/ekor. Perda ini
mempunyai tujuan yang sama dengan kuota, yaitu untuk mencegah adanya
pengurasan populasi di Bali. Melalui perda ini pemerintah membatasi jenis
kelamin dan berat minimal sapi yang boleh diperdagangkan ke luar. Pelarangan
pengeluaran sapi betina dari Bali dapat diterima, tapi pembatasan berat pada sapi
jantan dianggap berlebihan. Kebijakan ini telah menutup peluang pasar bibit atau
sapi jantan yang beratnya di bawah angka tersebut. Kebijakan ini juga dapat
memicu terjadinya penyelundupan sapi betina maupun bibit jantan.
20
Walau ada regulasi agar peternak menjual sapinya yang beratnya minimal
375 kg, tetapi karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, peternak sering
menjual sapinya yang beratnya di bawah 375 kg (misal, 250 kg). Dengan
demikian, pedagang belantik dan pedagang antar pulau (PAP) tidak dalam posisi
mengontrol penjualan sapi peternak di atas 375 kg.
Jika sapi betina dibebaskan ke luar dari Bali, bukan tidak mungkin pada
suatu saat populasi sapi di Bali akan habis dan kita malah mengimpor sapi bali
dari daerah/negara lain. Jika hal ini sampai terjadi tentu akan menjadi bahan
tertawaan dunia. Oleh karena itu pelarangan pengeluaran sapi betina dari Bali
dalam keadaan hidup sangat penting dilakukan, mengingat pentingnya peran sapi
betina tersebut sebagai mesin biologis pencetak anak-anak sapi. Namun demikian
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyelundupan sapi betina dari bali
ke luar sangat tinggi. Kejadian ini sudah berlangsung sejak lama, sehingga
menimbulkan kesan adanya keterlibatan oknum-oknum aparat pemegang
kekuasaan yang seharusnya mempunyai kewenangan untuk mencegah terjadinya
hal tersebut. Hal ini tentu harus diberantas dan diambil tindakan tegas oleh pihak-
pihak yang berwenang.
Terbatasnya daerah pemasaran sapi betina (hanya di Bali) tentu juga akan
berpengaruh pada harga sapi betina tersebut, sehingga perlu dipikirkan
bagaimana meningkatkan harga sapi betina di Bali. Dengan harga yang lebih
tinggi diharapkan akan memberi keuntungan yang lebih besar bagi peternak,
sehingga mereka akan lebih bergairah untuk memelihara induk. Dengan demikian
populasinyapun akan meningkat, sehingga produksi akan lebih banyak.
Peningkatan populasi sapi betina tentu sangat penting dilakukan karena ia
merupakan mesin biologis yang mampu menghasilkan anak-anak sapi.
Keberadaan sapi betina induk di Bali juga semakin penting dengan ditetapkannya
daerah bali sebagai daerah pemurnian sapi bali. Kebutuhan akan bibit sapi hanya
dapat dipenuhi dari produksi sendiri, tanpa dapat mendatangkan bibit dari luar
Bali. Oleh karena itu keberadaan sapi betina induk di bali sangat penting untuk
diperhatikan dan jumlahnya harus terus ditingkatkan jika ingin meningkatkan
produksi sapi di masa yang akan datang. Di samping itu, perlu juga dipikirkan
pemberian insentif kepada peternak atau swasta yang mau bergerak dibidang
21
pengembangan sapi pembibitan (pemeliharaan induk), sehingga dapat
meningkatkan gairah peternak untuk memelihara sapi betina induk.
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa harga sapi betina jauh lebih rendah
dibandingkan dengan harga sapi jantan, sementara harga dagingnya relatif sama
di pasar. Hal ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diperoleh dari memotong
sapi betina jauh lebih tinggi dari memotong sapi jantan, sehingga jagal lokal lebih
tertarik untuk memotong sapi betina daripada sapi jantan. Faktor ini menyebabkan
permintaan untuk pemotongan lokal hampir seratus persen dipenuhi dari sapi
betina. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif sangat penting
dilaksanakan dengan melakukan pengawasan yang lebih ketat di rumah potong
hewan (RPH), serta pemberian sanksi yang lebih tegas, baik kepada
jagal/pemotong maupun petugas yang melanggar. Penjaringan sapi betina induk
produktif yang ada di rumah potong hewan (RPH) perlu ditingkatkan dengan jalan
membelinya dan kemudian disebar kembali kepada peternak yang
membutuhkannya. Hal ini tentu harus didukung oleh anggaran yang cukup. Dalam
acara FGD tanggal 6 Januari 2011 tercetus pemikiran bahwa ada peluang untuk
memperoleh dana dari perusahaan-perusahaan yang terkait dengan peternakan
sapi, yaitu melalui program corporate social responsibility (CSR).
Konsekuensi lain dari adanya perda ini adalah tertutupnya peluang
pemasaran sapi jantan bibit secara legal ke luar akibat adanya pembatasan berat.
Kebijakan ini tentu akan berseberangan dengan kebijakan pengembangan daerah
Bali sebagai sentra pembibitan sapi bali secara nasional. Peluang pemasaran bibit
sapi jantan harus dibuka sehingga akan meningkatkan harga bibit jantan.
Peningkatan harga bibit tersebut akan merangsang peternak untuk memelihara
sapi khususnya induk betina penghasil bibit, artinya penjualan bibit tersebut tidak
akan menguras populasi sapi di Bali tapi malah akan berpengaruh positif. Oleh
karena itu perlu dipikirkan penghapusan pembatasan berat sapi jantan yang
dikeluarkan dari Bali. Alternatif lain yang berkembang dalam acara FGD tanggal 6
Januari 2011 adalah pengeluaran bibit jantan tapi yang grade 2 atau 3, atau bibit
jantan yang sudah di kastrasi. Kenyataan dilapangan yang terjadi adalah banyak
bibit sapi jantan yang telah diselundupkan ke luar bali seperti halnya sapi betina,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dan bahkan sejak akhir tahun 2011,
22
melalui Peraturan Gubernur Bali No. 46 tahun 2011, Pemerintah Bali melegalkan
perdagangan bibit sapi bali (termasuk jantan dan betina yang grade 1) dari Bali ke
luar. Dalam jangka pendek hal ini mungkin saja meningkatkan harga sapi betina,
namun dalam jangka panjang hal ini justru dapat mematikan peternak sapi di Bali.
Keragaman fenotifik sapi bali masih sangat tinggi. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masih banyak terdapat sapi bali jantan yang badannya
sudah penuh walaupun belum mencapai berat 375 kg. Jika dipelihara terus
sampai mendekati berat tersebut, tentu dibutuhkan waktu yang lama karena
pertumbuhannya sudah melambat sehingga secara ekonomi merugikan peternak.
Berdasarkan perda ini maka sapi tersebut sulit untuk dipasarkan karena pasarnya
terbatas untuk konsumsi lokal, sementara jagal lokal lebih menyenangi memotong
sapi betina. Jika dipasarkan untuk pasar lokal harga sapi tersebut akan anjlok
mendekati harga sapi betina sehingga sangat merugikan bagi peternak. Di
samping itu, pada saat hari raya Idul Adha, permintaan terhadap sapi dengan
berat di bawah 375 sangat tinggi untuk acara qurban. Dengan mengikuti aturan ini
maka peluang pasar tersebut akan hilang begitu saja. Kenyataan yang terjadi
selama ini adalah sapi potong dengan berat di bawah 375 kg sudah biasa
diperdagangkan ke luar, dengan jalan diselundupkan.
Berdasarkan uraian di atas, penghapusan poin pembatasan berat pada
perda ini perlu dipertimbangkan. Penghapusan poin ini tidak akan menguras
populasi, namun justru dapat memberi peluang pemasaran bibit jantan yang lebih
luas. Yang justru dapat mengancam populasi sapi di Bali pada masa mendatang
adalah pengeluaran bibit sapi betina dari Bali ke luar. Peluang pemasaran bibit
jantan yang lebih luas akan dapat meningkatkan gairah peternak untuk
memelihara induk penghasil bibit, sehingga justru akan berpengaruh positif bagi
pengembangan populasi. IB sexing dapat dikembangkan untuk mengatasi
kesenjangan harga jantan dan betina.
23
PENUTUP
1. Sapi bali harus tetap dilestarikan. karena sapi bali merupakan plasma nutfah
asli sapi Indonesia yang hingga kini masih lestari di Bali.
2. Pemeliharaan sapi bali dengan memperhitungkan semua biaya riil, apalagi
dalam pembudidayaannya menggunakan teknologi modern secara ekonomi
adalah tidak layak. Namun jika diternakkan secara terintegrasi dengan
pertanian dan perkebunan, tenaga kerja dan pakan harian tidak diperhitungkan
sebagai biaya riil, usaha peternakan rakyat masih layak dilakukan karena
memberikan tambahan pendapatan kepada peternak.
3. Kebijakan kuota pengiriman sapi ke luar Bali yang diberlakukan oleh Pemprov
Bali menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif (menurut
anggapan pemerintah) dapat mempertahankan populasi sapi di Bali. Dampak
negatif adalah menekan harga sapi di tingkat peternak, karena permintaan sapi
di luar Bali yang meningkat dibatasi oleh jumlah pembelian oleh pedagang
antar pulau, sehingga sapi peternak tidak terbeli dan akhirnya harga sapi di
peternak rendah. Dampak akhirnya akan menurunkan kesejahteraan peternak
dan peternak kurang bergairah beternak sapi.
4. Sistem kuota berbanding terbalik dengan keinginan pemerintah. Pemerintah
beranggapan sistem kuota atau pengiriman sapi ke luar Bali secara terbatas
akan mempertahankan bahkan meningkatkan populasi sapi di Bali. Namun
realitanya, sistem kuota menimbulkan masalah antara lain, penurunan harga
sapi, penurunan populasi sapi, penurunan kesejahteraan peternak, mendorong
penyelundupan sapi, praktek jual beli kuota, peluang masuknya daging sapi
impor, dan mengurangi PAD daeran bali.
5. Berbagai permasalahan yang dihadapi di dalam pemasaran sapi di Bali yaitu,
kebijakan pemasaran yang kurang tepat, struktur pasar cenderung mengarah
ke pasar monopsoni, rantai pasar yang panjang, kuota antar pulau yang
cenderung underestimate, penyelundupan sapi ke luar bali, jual-beli kuota
pengeluaran sapi, sistem pemasaran sapi yang tidak fair, permainan
timbangan di pasar hewan, dan rendahnya jiwa enterpreneurship para
peternak,
6. Pusat Kajian Sapi Bali (PKSB) Universitas Udayana memiliki kewajiban untuk
24
ikut peduli memikirkan bagaimana menciptakan pemasaran sapi di Bali secara
lebih baik. Harapan ke depan adalah akan terwujud sistem pemasaran sapi
yang lebih efisien, sehingga lebih menguntungkan bagi peternak. Sebagai
wujud kepedulian tersebut, PKSB telah melakukan FGD pada tanggal 29
Oktober 2010 dan 5 Januari 2011 yang mendiskusikan masalah pemasaran
sapi di Bali. Kegiatan tersebut melibatkan berbagai stakeholder terkait yang
terdiri dari peternak, pedagang, Dinas Peternakan, dan Dinas Perijinan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Potensi Ternak Potong dan Kebijakan Pemda Propinsi Bali
Tentang Tataniaga Ternak Potong dan Daging Antar Daerah di Tingkat
Propinsi Bali. Dinas Peternakan Propinsi Bali.
Antara, Made. 2009. Pertanian Bangkit atau Bangkrut. Penerbit Arti Foncation,
Denpasar, Bali.
Bappeda. 2010. Data Bali Membangun 2010. Badan Perencanaan Pembangunan
Pemerintah Provinsi Bali..
Iriani, Sumpe. 2007. Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Bali di Kabupaten
Manokwari, Papua Barat. Electronics Theses and Dissertations (EDT)
Gadjah Mada University. Dalam Website Google: Sapi Bali.
Mahaputra, I Ketut. 2010. PoLa Pemasaran Ternak Sapi Bali di Kawasan
Primatani LKDRIK Kabupaten Beleleng. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bali. Dalam web Balai Pengkajian Teknologi Jawa Timur,
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Putra, I.B. 1993. Pemasaran Sapi Bali, terutama dari Segi Harga pada Tingkat
petani di Bali. Universitas Padjadjaran Bandung.
Saragih, Bungaran. 1998. Kumpulan Pemikiran Agribisnis Paradigma Baru
Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Persada Mulia
Indonesia.
Sukanata, W., IGN. Kayana, B. Rahayu TP., dan K.W. Parimartha. 2009. Analisis
Efisiensi Ekonomis Usahatani Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus di
Desa Lebih, Kabupaten Gianyar). Laporan Penelitian Dosen Muda. Pusat
Penelitian Universitas Udayana.
Sukanata, I W. Suciani, I G.N. Kayana, I W. Budiartha. 2010. Kajian Kritis
terhadap Penerapan Kebijakan Kuota Perdagangan dan Efisiensi
Pemasaran Sapi Potong Antar Pulau. Laporan Penelitian Hibah Unggulan
Udayana. Pusat Penelitian Universitas Udayana.
25
GLOSARIUM
Indeks Efisiensi
Rasio nilai produk marginal dengan biaya korbanan marginal.
Farmers Share
Bagian yang diterima peternak dari harga yang dibayar oleh konsumen akhir.
Elastisitas Produksi
Rasio persentase perubahan output dengan persentase perubahan suatu faktor
produksi, atau persentase perubahan output akibat adanya perubahan suatu
faktor produksi sebesar 1 persen.
R/C Rasio
Rasio antara penerimaan (revenue) dengan biaya (cost) yang dikeluarkan.
Pasar Monopsoni
Struktur pasar di mana di dalamnya hanya terdapat satu pembeli yang dapat
mempengaruhi pasar.
Pasar Oligopsoni
Struktur pasar dimana didalamnya hanya terdapat beberapa (sedikit) pembeli
yang dapat mempengaruhi pasar.
Surplus Peternak
Ukuran keuntungan yg diperoleh oleh peternak karena adanya perbedaan antara
harga yg diterima secara aktual oleh peternak dengan harga dimana ia bersedia
menjual ternaknya pada tingkat penjualan tertentu.
26
Belantik
Pedagang pengumpul yang berkeliling ke peternak-peternak di desa untuk
membeli sapi dari mereka.
Pedagang Besar
Lembaga pemasaran yang membeli sapi potong baik dalam keadaan hidup
maupun dalam bentuk karkas dari pedagang antar pulau dengan jumlah yang
cukup besar (minimal 1 truk yaitu 14 ekor) dalam sekali transaksi.
Pedagang Menengah
Lembaga pemasaran yang membeli sapi potong baik dalam keadaan hidup
maupun dalam bentuk karkas dari pedagang besar dengan jumlah beberapa ekor
dalam sekali transaksi (minimal 1 ekor).
Pengecer
Lembaga pemasaran yang membeli karkas dari pedagang besar atau dari
pedagang menengah dalam jumlah sedikit (kurang dari satu ekor).
Penganyar
Maklar sapi yang beroperasi di pasar yang membantu penjual menjualkan sapinya
dan atau membantu pembeli memperoleh sapi dengan imbalan berupa komisi dan
atau dari selisih harga yang disepakati dengan penjual/pembeli.
Price Taker
Pihak yang posisinya lebih lemah dalam negosiasi harga saat transaksi jual beli
dan cenderung menerima harga yang ditentukan oleh pihak yang lebih dominan.
Price Maker
Pihak yang posisinya lebih kuat dalam negosiasi harga saat transaksi jual beli dan
dapat menentukan harga.
Jiwa Enterpreneurship
Jiwa kewirausahaan atau jiwa berani berusaha sendiri.
Margin Pemasaran
Selisih harga jual dengan harga beli, atau merupakan jumlah keuntungan dan
biaya pemasaran.
Biaya Pemasaran
Biaya yang timbul akibat adanya kegiatan pemasaran.
27
IB Sexing
Inseminasi buatan yang dilakukan dengan hanya memilih benih sperma tertentu
saja (jantan atau betina) sehingga akan diperoleh anak sapi dengan jenis kelamin
sesuai dengan yang diharapkan.
28
29
30