You are on page 1of 48

Laporan Kasus

CKD Stage V e.c GNC


Anemia Penyakit Kronis
Hipertensi on Therapi

Oleh:
Bayu Ardianto 04084821618178
Sri Wahyuni 04054821618959

Pembimbing:
dr. Suprapti Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
CKD Stage V e.c GNC
Anemia Penyakit Kronis
Hipertensi on Therapi

Oleh :

Bayu Ardianto
Sri Wahyuni

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, 16 Maret 2017

dr.Suprapti Sp.PD

ii
iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul CKD Stage V e.c GNC,
Anemia Penyakit Kronis, Hipertensi on Therapi. Laporan kasus ini merupakan
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Suprapti Sp.PD selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, 16 Maret 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................16
Anatomi dan Fisiologi ..........................................................................16
Gagal Ginjal Akut .................................................................................24
Infeksi Saluran Kemih...........................................................................34
Perdarah Subkonjungtiva 51
Disseminated Intravascular Coagulation......52
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................60
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................63
5

BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh maupun mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%). Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Gagal ginjal kronik dapat memberikan
beberapa gambaran, salah satunya adalah kelainan hemopoeisis. Anemia normokrom
normositer dan normositer sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia
yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg
(Sudoyo, 2009). Hipertensi dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, salah satunya
adalah gangguan ginjal.
Penyakit ginjal kronik, anemia dan hipertensi dapat memiliki hubungan satu
sama lain. Untuk itu, pengetahuan yang baik terhadap penyakit ini sangat diperlukan
agar dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalkasana yang tepat.

5
6

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Dedi Rustandi
Tanggal Lahir : 9 September 1970
U mur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sumber Mulyo Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 24 Februari 2017
No. RM : 994623

II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Sembab di seluruh tubuh sejak 1 minggu SMRS.

2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit:


6 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh. Sembab
dirasakan pertama kali pada perut, kemudian kaki, tangan, wajah dan juga kemaluan.
Badan lemas (+), mual (-) muntah darah (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), nyeri

6
7

dada (-) jantung berdebar-debar (-). Nyeri pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB
seperti biasa, BAK seperti teh (-),. Pasien tidak berobat.

1 minggu SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh semakin


parah. Sembab dirasakan pada perut, kaki, tangan, wajah, dam kelua kemaluan.
Badan lemas (+), mual (-), muntah darah (-), demam (-), batuk (+), batuk berdahak
(+), darah (-), batuk pada malam hari (-), sesak (+), sesak tidak dipengaruhi oleh
aktifitas, posisi dan cuaca, sesak bertambah saat malam hari (-), mengi (-), nyeri dada
(-), jnatung berdebar-debar (-), nyeri pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB seperti
biasa, BAK seperti teh (-). Pasien lalu berobat ke RSMH.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi ada sejak tahun 2014
Riwayat sakit ginjal ada (ginjal bocor), didiagnosis sejak tahun 2014
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit kanker disangkal
Riwayat malaria disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat HIV dan TB disangkal

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

2.5. Riwayat Kebiasaan


Riwayat merokok ada sejak usia 20 tahun, namun sejak 3 tahun terakhir
berhenti merokok.
Riwayat mengonsumsi minuman penambah energi, 2-3 kali per minggu.

2.6. Riwayat Pengobatan


Riwayat penggunaan obat clonidin, candesartan, simvastatin, metilprednisolon
Riwayat mengonsumsi jamu, 2-3 kali per minggu

7
8

III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,8 C
Nadi : 88 x/mnt
Pernapasan : 24 x/mnt
Tekanan Darah : 220/130 mmHg
BB : 60 kg TB : 160 cm

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala
Bentuk : Normochepali Deformitas : (-)
Simetris : simetris Nyeri tekan : (-)
Rambut : normal Bising : (-)

Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra :anemis (+/+), edem (+) gerakan : normal
- bulbi : perdarahan (-) lapangan pandang : normal

Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral

Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat

8
9

Palpasi : Ictus kordis tidak teraba


Perkusi : Batas jantung atas ICS II, batas kanan linea
sternalis dextra ICS V, batas kiri linea mid
clavicularis sinistra ICS V
Auskultasi : HR= 82x/menit, Bunyi jantung I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan & kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi
basah halus (+)
Abdomen :Inspeksi :cembung, venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar
dan lien sulit dinilai, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani, shifting dulness (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+)

LABORATORIUM

9
10

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hemoglobin 7,7 gr/dL 13,48-17,40 gr/dL
Hematokrit 24% 41-51%
Eritrosit 2,71 x 103 /mm3 4,40-6,30x103/mm3
Leukosit 11,1 x 103 /mm3 4,73-10,89 x 103 /mm3
Trombosit 319 x 103/L 170-396 x 103/L
Diff. Count 0/0/85/12/3 0-1/1-6/%/20-40 %
Protein Total 4,6 mg/dl 6,4-8,3 mg/dl
Albumin 1,7 g/dl 35,-5 g/dl
Globulin 2,1 2,6-3,6 g/dl
Kolesterol Total 682 mg/dl
LDL 4,5 mg/dl
Waktu Protombin 14,3 detik 2-18 detik
INR 1,08
APTT 31,0 27-42 detik
Fibrinogen 820 mg/dl 200-400 mg/dl
D-Dimer 10,44 g/dl
Ureum 130 mg/dL 16,6-48,5 mg/dL
Kreatinin 9,51 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL
Kalsium 8,1 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL
Kalium 6,8 mg/dL 3,5-5,5 mg/dL
Waktu protombin 14,7 detik 12-18 detik
INR 27,9 detik 27-42 detik IV. D
Fibrinogen 680 mg/dl 200-400 mg/dl
I
d-dimer 16,05 < 0,5
HbsAg Non Reactive Non Reactive <0,9 A
Anti HCV Non Reactive Non Reactive <0,9 G
Anti HIV Reagen I Non Reactive Non Reactive
TPHA Reaktif N
VDRL Negatif Negatif O
SIS
CKD Stage V e.c GNC
Anemia penyakit kronis
Hipertensi on Therapi

V. DIAGNOSIS BANDING :
- CKD Stage V GNC + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on Therapi
- Gagal Jantung Kongestif + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on
Therapi
- Sirosis Hepatis + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on Therapi
10
11

VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 3L/m
Pasang Kateter Urin
Diet rendah protein
Rencana hemodialisis

B. Farmakologis
Drip furosemid 4 amp dalam Nacl 0,9 % 100 cc gtt xx/m
Drip nicardipin 1 amp dalam Nacl 0,9 % gtt xx/ menit
Observasi vital sign/ jam

VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

VIII. FOLLOW UP

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

14 Maret 2017/ S= sembab di muka, perut dan kaki


06.00 O= sens: CM, TD: 190/120 mmHg, N: 100x/m
RR: 24x/m, T: 36,5C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-, edem
palpebra +/+
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus di kedua basal paru (+),

11
12

wheezing (-)
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan lien sulit dinilai, shifting
dulllness (+)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKS Stage V e.c susp. GNC
Anemia penyakit kronis
Hipertensi on therapi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi
- Diet rendah protein
Farmakologis
- Drip furosemid 8 mg dalam Nacl 0,9 % 100 cc
- Amlodipin 10 mg tiap24 jam
- Clonidin 0,15 mg tiap 8 jam
- Candesartan 16 mg tiap 24 jam
- Simvastatin 10 mg tiap 24 jam
- Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam
- Ambroxol 15 ml tiap 8 jam
- Furosemid 40 mg tiap 24 jam

12
13

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

15 Maret 2017/ S= sembab di muka, perut dan kaki


06.00 O= sens: CM, TD: 190/120 mmHg, N: 104x/m
RR: 24x/m, T: 36,7C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-, edem
palpebra +/+
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus di kedua basal paru (+),
wheezing (-)
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan lien sulit dinilai, shifting
dulllness (+)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKS Stage V e.c susp. GNC
Anemia penyakit kronis
Hipertensi on therapi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi
- Diet rendah protein
Farmakologis
- Drip furosemid 8 mg dalam Nacl 0,9 % 100 cc
- Amlodipin 10 mg tiap24 jam
- Clonidin 0,15 mg tiap 8 jam
- Candesartan 16 mg tiap 24 jam
- Simvastatin 10 mg tiap 24 jam

13
14

- Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam


- Ambroxol 15 ml tiap 8 jam
- Furosemid 40 mg tiap 24 jam

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

16 Maret 2017/ S= sembab di muka, perut dan kaki


06.00 O= sens: CM, TD: 190/110 mmHg, N: 100x/m
RR: 24x/m, T: 36,8C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-, edem
palpebra +/+
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 90x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus di kedua basal paru (+),
wheezing (-)
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan lien sulit dinilai, shifting
dulllness (+)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKS Stage V e.c susp. GNC
Anemia penyakit kronis
Hipertensi on therapi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi
- Diet rendah protein
Farmakologis
- Drip furosemid 8 mg dalam Nacl 0,9 % 100 cc
- Amlodipin 10 mg tiap24 jam

14
15

- Clonidin 0,15 mg tiap 8 jam


- Candesartan 16 mg tiap 24 jam
- Simvastatin 10 mg tiap 24 jam
- Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam
- Ambroxol 15 ml tiap 8 jam
- Furosemid 40 mg tiap 24 jam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
16

3.1. Anatomi dan Fisiologi


I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
I.1 Anatomi

Gambar II-1. Anatomi Ginjal


Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh maupun mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan meninggalkan
ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal merupakan suatu
organ yang terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum) pada dinding abdomen
di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3 (Snell, 2006).
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Masing-masing ginjal memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo lateralis, margo
medialis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior (Moore, 2002). Ginjal
dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis,
jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal.
Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi
ginjal (Tortora, 2011).

16
17

Korteks ginjal merupakan bagian terluar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang membawa
darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara
khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima cabang arteri
segmentalis yang melintas ke segmenta renalis. Beberapa vena menyatukan darah
dari ren dan bersatu membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk vena
renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan vena renalis sinistra
lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-masing vena renalis bermuara
ke vena cava inferior (Moore, 2002). Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari
arteri segmentalis di mana masing-masing arteri lobaris berada pada setiap piramis
renalis. Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang
berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada perbatasan korteks dan
medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata yang kemudian
menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri
interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen (Snell, 2006).

I.2 Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh
dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012).
17
18

Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:

a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.


b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan
mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun
diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah
ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut
merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah
besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan
plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak
difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi (Sherwood, 2011).

18
19

II. Gagal Ginjal Kronis


2.1 Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti
pada tabel berikut:
Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik
a. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
b. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal
kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal
yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal,
stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5
adalah gagal ginjal (Suwitra, 2009). Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan
stadium penyakit ginjal kronik.

19
20

Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)


90 dengan faktor
0 Risiko meningkat risiko
Kerusakan ginjal disertai LFG normal
1 atau 90
Meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60 89
3 Penurunan moderat LFG 30 59
4 Penurunan berat LFG 15 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi
akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

20
21

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan
seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun
berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

2.3 Faktor risiko


21
22

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu
dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (Mansjoer, 2002).

2.4 Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya
mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada
penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan
adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan
pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian
seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal
ginjal terminal (Mansjoer, 2002).

2.5 Gambaran Klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
22
23

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
23
24

beratseperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung (Mansjoer,
2002).

II.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
24
25

b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
2. Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
3. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
4. Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
5. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
6. Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1. Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) (Suwitra, 2009).

II.7 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
25
26

pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (Suwitra, 2006).

3.1.7 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
26
27

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera


diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
1. Hemodialisis
27
28

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala


toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin >
10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
2. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3. Transplantasi ginjal
28
29

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal.

III. Anemia Penyakit Kronik


a. Definisi
Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik, anemia
sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis retikuloendotelial. Pengenalan
akan adanya anemia penyakit kronik dimulai pada awal abad ke 19, dimana pada
waktu itu pada pasienpasien tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu
Cartwright dan Wintrobe pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda benda
kecil di sampel darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi
lainnya seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah
Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi tentang
infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakitpenyakit kronik
bukan infeksi seperti artritis reumatoid, nama anemia penyakit kronik diperkenalkan
(Panjaitan.
Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering dijumpai di
dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai pada pasienpasien
yang sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis
primer tetapi merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di
bagian tubuh manapun. 34
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi
atau inflamasi kronik.35 Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami
penyakit tersebut selama 12 bulan.
Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik,
namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab
anemia penyakit kronik.

29
30

3.2 Patogenesis anemia penyakit kronik


Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai
dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan
banyak penelitian.43 Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokinsitokin proses
inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF ), interleukin 1 dan interferon
gama () yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan
menghambat terjadinya proses eritropoesis.30,44 Pada pasien artritis reumatoid
interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis
melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik
eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih
tinggi dari orang orang bukan penderita anemia. 26 Dari sejumlah penelitian
disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting
terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain :
1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 2030% atau
menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada
percobaan binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit
segera setelah timbul panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal
yang sama.
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit
kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada
penyakit kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang
menderita infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan
dengan merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin.
3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai
deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini
menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial
yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast.
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari
adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang
30
31

berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari
leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum
tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga
menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan
oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.
6. Kegagalan produksi transferin.

3.4 Gambaran klinis anemia penyakit kronik


Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan munculnya
setelah 12 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah progresif
atau stabil,29,32,48,49 dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita
tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. 19,29 Gambaran
klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari
(asimptomatik).29,32,48,49 Tetapi pada pasienpasien dengan gangguan paru yang berat,
demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas
daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan
gejala. Pada pasienpasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif
kemungkinan akan ditemukan gejalagejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten,
muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan angina pektoris
serta dapat terjadi gangguan serebral. Tanda fisik yang mungkin dapat dijumpai
antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi.

3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik


Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan,
antara lain dari: 5,26,29,32,33,39,41,45,52
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka
pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lainlain.
2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:
31
32

a) Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya sekitar


711 gr/dL.
b) Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau
mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada
sepertiga pasien anemia penyakit kronik.
c) Volume korpuskuler ratarata (MCV: Mean Corpuscular Volume):
normal atau menurun sedikit ( 80 fl).
d) Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL).
e) Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (<
250 mug / dL).
f) Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%).
g) Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan
konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin),
namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan
sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur selsel
sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi
protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia
penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya
anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih
sering dilakukan pada pasien pasien anemia defisiensi besi.

3.6 Penatalaksanaan anemia penyakit kronik


Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit kronik,
kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya apabila
penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka
anemianya juga akan membaik. Pemberian obatobat hematinik seperti besi, asam
32
33

folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya. 27
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat
dimulai dari 50100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous
(IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin
meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa
eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka
dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga
tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari
kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada
pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000
20.000 Unit, 3x seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya
telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena
anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan
pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis
temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejalagejala polimialgia akan segera hilang dengan
cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian
kortikosteroid tersebut segera dihentikan.
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit
kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi
oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.

33
34

IV. Hipertensi
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg
dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
7
selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg
(Sudoyo, 2009).
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi
yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor
yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok,
pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh (Brasher, 2004).
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang
dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent
killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit
jantung (cardiovascular) (Soedirjo, 2008).

4.2 Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut
jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin
pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

34
35

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan


diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak-
anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah
yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik
berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara
dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan
risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain-lain (Smeltze, Bare 2002).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII),
klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal,
prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel 2.)

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah

35
36

Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 139 80 89
Hipertensi derajat I 140 159 90 99
Hipertensi derajat II 160 100

30
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Hipertensi berat 180 110
Hipertensi sedang 160 179 100 109
Hipertensi ringan 140 159 90 99
Hipertensi perbatasan 120 149 90 94
Hipertensi sistolik 120 149 < 90
Perbatasan
Hipertensi sistolik > 140 < 90
Terisolasi
Normotensi < 140 < 90
Optimal < 120 < 80

4.3 Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.
Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur

36
37

jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.


1. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk
deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai
substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak.
Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen
pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai
oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer (Anggie, 2010).
2. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
2II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama.
Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
37
38

pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.(Guyton 2007)


3. Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

4.4 Faktor-faktor Risiko Hipertensi


Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1) Usia
2) Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
38
39

meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada
usia lebih dari 55 tahun. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4) Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan
nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan
diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan
darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah
karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan
kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah. Karbon
monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam darah.
Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa
memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan
(
tubuh lainnya. Lam, 2012),

Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen


dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan

39
40

jaringan tubuh lainnya.


b. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang
yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut
jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah,
makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah.
Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang
akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek
antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita
hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada
hipertensi (Aris, 2007).

4.5 Diagnosis Hipertensi


Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran
dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan
dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda,
makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana
penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah
40
41

arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.


2) Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko
tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti
kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang
digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi
(EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).

4.6 Komplikasi Hipertensi


Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai
target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal.
Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi
rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita
akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan
organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada
organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap
reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain
juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan
41
42

besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah
akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-) (Yugiantoro,
2009).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah (Suwitra, 2009):
1. Jantung
0hipertrofi ventrikel kiri
1angina atau infark miokardium
2gagal jantung
2. Otak
0stroke atau transient ishemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati

IV.6.1 Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal


Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus
akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga
nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal.
Pengurangan massa ginjal akan mengakibatkan nefron yang masih hidup akan
melakukan kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung singkat sehingga terjadi
peningkatan LFG mendadak yang akhirnya mengalami penurunan. Hiperfiltrasi
yang terjadi juga akibat peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron
intrarenal. Kerusakan progresif nefron akan terjadi dan berlangsung lama
(kronik). Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar
melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik
42
43

koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi
kronik (Suwitra, 2009).

43
44

44
45

45
46

BAB IV
Analisa Kasus

6 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh. Sembab dirasakan
pertama kali pada perut, kemudian kaki, tangan, wajah dan juga kemaluan. Badan lemas (+),
mual (-) muntah darah (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-) jantung berdebar-
debar (-). Nyeri pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB seperti biasa, BAK seperti teh (-).
Pasien tidak berobat.
1 minggu SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh semakin parah.
Sembab dirasakan pada perut, kaki, tangan, wajah, dam kelua kemaluan. Badan lemas (+),
mual (-), muntah darah (-), demam (-), batuk (+), batuk berdahak (+), darah (-), batuk pada
malam hari (-), sesak (+), sesak tidak dipengaruhi oleh aktifitas, posisi dan cuaca, sesak
bertambah saat malam hari (-), mengi (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (-), nyeri
pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB seperti biasa, BAK seperti teh (-). Pasien lalu
berobat ke RSMH.
Dari anamnesis dan permiksaan fisik didapatkan bahwa keluhan utama pasien adalah
sembab pada seluruh tubuh. Sembab atau yang disebut juga dengan edem dapat disebabkan
oleh beberapa hal. Asal kelainan dapat berasal dari ginjal seperti pada glomerulonefritis,
jantung pada gagal jantung kongestif dan hepar yaitu pada sirosis hepatis. Dari anamnesis
lebih lanjut didapatkan bahwa keluhan utama pasien tidak disertai dengan jantung berdebar-
debar dan nyeri dada, kemudian keluhan sesak yang dikatakan pasien tidak dipengaruhi oleh
aktifitas dan juga tidak bertambah berat saat malam hari serta tidak terdapat batuk di malam
hari sehingga sementara dapat menyingkirkan diagnosis banding adanya penyakit jantung
kongestif. Adanya sirosis hepatis juga dapat sementara disingkirkan karena keluhan muntah
darah, BAK seperti teh dan riwayat sakit kuning disangkal oleh pasien. Sehingga sementara
asal edema yang paling mungkin adalah akibat adanya gangguan pada ginjal.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa terdapat terdapat hipoalbumin
dan adanya peningkatan kreatinin, sehingga dari hasil perhitungan didapatkan laju filtrasi
glomerulus adalah 8, 24 ml/menit/1,73 m2. Dengan laju filtrasi glomerulus yang kurang dari
15 serta keluhan yang sudah berlagsung selama lebih dari 6 bulan, maka dapat disimpulkan
bahwa diagnosis pada pasien ini adalah chronic kidney disease (CKD) karena
glomerulonefritis.

46
47

Kemudian dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan adanya pucat
pada konjungtiva pelpebra dan Hb yang kurang dari normal maka pada pasien ini juga
terdapat anemia akibat penyakit kronis serta adanya tekanan darah yang tinggi dan sedang
dalam terapi pada pasien ini , maka juga terdapat hipertensi on therapi.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

48

You might also like