Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Bayu Ardianto 04084821618178
Sri Wahyuni 04054821618959
Pembimbing:
dr. Suprapti Sp.PD
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
CKD Stage V e.c GNC
Anemia Penyakit Kronis
Hipertensi on Therapi
Oleh :
Bayu Ardianto
Sri Wahyuni
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
dr.Suprapti Sp.PD
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul CKD Stage V e.c GNC,
Anemia Penyakit Kronis, Hipertensi on Therapi. Laporan kasus ini merupakan
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Suprapti Sp.PD selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................16
Anatomi dan Fisiologi ..........................................................................16
Gagal Ginjal Akut .................................................................................24
Infeksi Saluran Kemih...........................................................................34
Perdarah Subkonjungtiva 51
Disseminated Intravascular Coagulation......52
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................60
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................63
5
BAB I
PENDAHULUAN
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh maupun mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%). Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Gagal ginjal kronik dapat memberikan
beberapa gambaran, salah satunya adalah kelainan hemopoeisis. Anemia normokrom
normositer dan normositer sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia
yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran
dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg
(Sudoyo, 2009). Hipertensi dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, salah satunya
adalah gangguan ginjal.
Penyakit ginjal kronik, anemia dan hipertensi dapat memiliki hubungan satu
sama lain. Untuk itu, pengetahuan yang baik terhadap penyakit ini sangat diperlukan
agar dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalkasana yang tepat.
5
6
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Dedi Rustandi
Tanggal Lahir : 9 September 1970
U mur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sumber Mulyo Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 24 Februari 2017
No. RM : 994623
II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Sembab di seluruh tubuh sejak 1 minggu SMRS.
6
7
dada (-) jantung berdebar-debar (-). Nyeri pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB
seperti biasa, BAK seperti teh (-),. Pasien tidak berobat.
7
8
III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,8 C
Nadi : 88 x/mnt
Pernapasan : 24 x/mnt
Tekanan Darah : 220/130 mmHg
BB : 60 kg TB : 160 cm
Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra :anemis (+/+), edem (+) gerakan : normal
- bulbi : perdarahan (-) lapangan pandang : normal
Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral
Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
8
9
LABORATORIUM
9
10
V. DIAGNOSIS BANDING :
- CKD Stage V GNC + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on Therapi
- Gagal Jantung Kongestif + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on
Therapi
- Sirosis Hepatis + Anemia penyakit kronis + Hipertensi on Therapi
10
11
VI. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 3L/m
Pasang Kateter Urin
Diet rendah protein
Rencana hemodialisis
B. Farmakologis
Drip furosemid 4 amp dalam Nacl 0,9 % 100 cc gtt xx/m
Drip nicardipin 1 amp dalam Nacl 0,9 % gtt xx/ menit
Observasi vital sign/ jam
VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
VIII. FOLLOW UP
11
12
wheezing (-)
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan lien sulit dinilai, shifting
dulllness (+)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKS Stage V e.c susp. GNC
Anemia penyakit kronis
Hipertensi on therapi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi
- Diet rendah protein
Farmakologis
- Drip furosemid 8 mg dalam Nacl 0,9 % 100 cc
- Amlodipin 10 mg tiap24 jam
- Clonidin 0,15 mg tiap 8 jam
- Candesartan 16 mg tiap 24 jam
- Simvastatin 10 mg tiap 24 jam
- Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam
- Ambroxol 15 ml tiap 8 jam
- Furosemid 40 mg tiap 24 jam
12
13
13
14
14
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
16
16
17
Korteks ginjal merupakan bagian terluar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang membawa
darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara
khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima cabang arteri
segmentalis yang melintas ke segmenta renalis. Beberapa vena menyatukan darah
dari ren dan bersatu membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk vena
renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan vena renalis sinistra
lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-masing vena renalis bermuara
ke vena cava inferior (Moore, 2002). Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari
arteri segmentalis di mana masing-masing arteri lobaris berada pada setiap piramis
renalis. Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang
berjalan menuju korteks di antara piramis renalis. Pada perbatasan korteks dan
medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata yang kemudian
menyusuri lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri
interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen (Snell, 2006).
I.2 Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh
dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2012).
17
18
18
19
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal
kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal
yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal,
stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5
adalah gagal ginjal (Suwitra, 2009). Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan
stadium penyakit ginjal kronik.
19
20
2.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi
akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
20
21
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan
seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun
berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu
dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga (Mansjoer, 2002).
2.4 Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya
mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada
penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan
adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan
pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian
seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal
ginjal terminal (Mansjoer, 2002).
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
23
24
beratseperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung (Mansjoer,
2002).
II.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
24
25
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
2. Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
3. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
4. Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
5. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
6. Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1. Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) (Suwitra, 2009).
II.7 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
25
26
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (Suwitra, 2006).
3.1.7 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
26
27
29
30
berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari
leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum
tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga
menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan
oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.
6. Kegagalan produksi transferin.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan
konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin),
namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan
sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur selsel
sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi
protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia
penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya
anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih
sering dilakukan pada pasien pasien anemia defisiensi besi.
folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya. 27
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat
dimulai dari 50100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous
(IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin
meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa
eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka
dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga
tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari
kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada
pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000
20.000 Unit, 3x seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya
telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena
anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan
pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis
temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejalagejala polimialgia akan segera hilang dengan
cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian
kortikosteroid tersebut segera dihentikan.
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit
kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi
oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.
33
34
IV. Hipertensi
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg
dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
7
selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg
(Sudoyo, 2009).
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi
yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor
yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok,
pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh (Brasher, 2004).
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang
dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent
killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit
jantung (cardiovascular) (Soedirjo, 2008).
34
35
35
36
30
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH
4.3 Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara
akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.
Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur
36
37
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada
usia lebih dari 55 tahun. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4) Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan
nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan
diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan
darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah
karena dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan
kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah. Karbon
monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam darah.
Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa
memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan
(
tubuh lainnya. Lam, 2012),
39
40
besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah
akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-) (Yugiantoro,
2009).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah (Suwitra, 2009):
1. Jantung
0hipertrofi ventrikel kiri
1angina atau infark miokardium
2gagal jantung
2. Otak
0stroke atau transient ishemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi
kronik (Suwitra, 2009).
43
44
44
45
45
46
BAB IV
Analisa Kasus
6 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh. Sembab dirasakan
pertama kali pada perut, kemudian kaki, tangan, wajah dan juga kemaluan. Badan lemas (+),
mual (-) muntah darah (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-) jantung berdebar-
debar (-). Nyeri pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB seperti biasa, BAK seperti teh (-).
Pasien tidak berobat.
1 minggu SMRS, pasien mengeluh sembab pada seluruh tubuh semakin parah.
Sembab dirasakan pada perut, kaki, tangan, wajah, dam kelua kemaluan. Badan lemas (+),
mual (-), muntah darah (-), demam (-), batuk (+), batuk berdahak (+), darah (-), batuk pada
malam hari (-), sesak (+), sesak tidak dipengaruhi oleh aktifitas, posisi dan cuaca, sesak
bertambah saat malam hari (-), mengi (-), nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (-), nyeri
pada sendi (-), BB bertambah (+), BAB seperti biasa, BAK seperti teh (-). Pasien lalu
berobat ke RSMH.
Dari anamnesis dan permiksaan fisik didapatkan bahwa keluhan utama pasien adalah
sembab pada seluruh tubuh. Sembab atau yang disebut juga dengan edem dapat disebabkan
oleh beberapa hal. Asal kelainan dapat berasal dari ginjal seperti pada glomerulonefritis,
jantung pada gagal jantung kongestif dan hepar yaitu pada sirosis hepatis. Dari anamnesis
lebih lanjut didapatkan bahwa keluhan utama pasien tidak disertai dengan jantung berdebar-
debar dan nyeri dada, kemudian keluhan sesak yang dikatakan pasien tidak dipengaruhi oleh
aktifitas dan juga tidak bertambah berat saat malam hari serta tidak terdapat batuk di malam
hari sehingga sementara dapat menyingkirkan diagnosis banding adanya penyakit jantung
kongestif. Adanya sirosis hepatis juga dapat sementara disingkirkan karena keluhan muntah
darah, BAK seperti teh dan riwayat sakit kuning disangkal oleh pasien. Sehingga sementara
asal edema yang paling mungkin adalah akibat adanya gangguan pada ginjal.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa terdapat terdapat hipoalbumin
dan adanya peningkatan kreatinin, sehingga dari hasil perhitungan didapatkan laju filtrasi
glomerulus adalah 8, 24 ml/menit/1,73 m2. Dengan laju filtrasi glomerulus yang kurang dari
15 serta keluhan yang sudah berlagsung selama lebih dari 6 bulan, maka dapat disimpulkan
bahwa diagnosis pada pasien ini adalah chronic kidney disease (CKD) karena
glomerulonefritis.
46
47
Kemudian dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan adanya pucat
pada konjungtiva pelpebra dan Hb yang kurang dari normal maka pada pasien ini juga
terdapat anemia akibat penyakit kronis serta adanya tekanan darah yang tinggi dan sedang
dalam terapi pada pasien ini , maka juga terdapat hipertensi on therapi.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
48