You are on page 1of 28

Pertanyaan Terselesaikan

Lihat lainnya

Alt kontrasepsi apa sih yg paling aman?


2 tahun lalu

Lapor Penyalahgunaan

by IbuNya^I...

Anggota sejak:
24 Maret 2008
Total poin:
12032 (Tingkat 6)

Tambahkan ke Kontak Saya

Blokir Pengguna

Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak


RAGAM PILIHAN DAN DAMPAK PSIKOLOGISNYA

* IUD

Jenis kontrasepsi ini diklaim paling aman. Meski demikian kondisi ini tidak berlaku umum bagi
tiap ibu. Ada beberapa risiko seperti perdarahan, rasa nyeri di perut dan sebagainya. Namun
selama dokter/bidan memastikan tidak ada yang salah dengan pemasangan alat ini, maka efek
yang muncul bisa jadi adalah efek psikologis.

Masalah psikologis: Biasanya keluhan yang muncul adalah rasa sakit, rasa tidak nyaman, suami
merasa ada yang mngganjal/"menusuk" saat berhubungan intim dan sebagainya. Pada saat
pemasangan pun sebagian wanita merasa "seram" karena adanya benda asing yang dimasukkan
ke tubuhnya.

Cara mengatasi: Ada contoh nyata, seorang wanita merasa selalu sakit perut akibat pemasangan
IUD. Setelah konsultasi dengan dokter, dia ingin alat tersebut dilepas. Oleh dokter alat tersebut
sebenarnya tidak benar-benar dilepas, namun sekadar "dirapikan". Keluhannya langsung hilang,
begitu dia merasa sudah "dilepas". Padahal tentu saja IUD-nya masih berada di tempat semula.
Intinya, keluhan yang muncul adalah masalah psikologis. Sebaiknya pasangan yang memilih
kontrasepsi jenis ini sudah mempersiapkan mental. Rasa sakit dan tidak nyaman selama sudah
dipastikan dokter tidak ada masalah, bisa diabaikan.

* Hormonal

Kontrasepsi jenis hormonal bisa berupa pil atau suntikan.

Masalah psikologis: Efek hormonal yang bisanya muncul adalah kenaikan berat badan, flek
cokelat kehitaman di wajah. Bahkan akibat perubahan hormon ada beberapa wanita yang
mengalami depresi.

Cara mengatasi: Bila secara medis kontrasepsi jenis ini dirasa tidak cocok, maka dokter akan
menyarankan untuk menggantinya dengan kontrasepsi jenis lain. Efek psikologis yang muncul
bisa direduksi dengan banyaknya aktivitas. Sebagai contoh, wanita bekerja yang sibuk tidak akan
terpengaruh dengan perubahan hormonal yang dialaminya.

* Kondom

Bila kedua jenis kontrasepsi di atas menimbulkan masalah secara medis pada wanita, maka
kondom bisa menjadi solusi paling praktis dan masuk akal. Apalagi pemakaian kondom dibatasi
hanya pada saat masa subur saja. Itu berarti frekuensi penggunaannya sekitar seminggu setiap
bulannya.

Masalah psikologis: Rasa tidak nyaman dan mengganggu kenikmatan hubungan seksual.

Cara mengatasi: Berkurangnya kenikmatan seksual akibat pemakain kondom hampir bisa
dipastikan adalah masalah psikologis. Apalagi kondom yang beredar di pasaran saat ini sudah
lebih modern, baik dari bentuk, ketebalan, dan tingkat keamanannya. Bila satu merek dirasa
kurang oke, coba dulu dengan berganti merek lain. Buang jauh-jauh pikiran berkurangnya
kenikmatan dan ganti dengan keinginan untuk memberikan kualitas kehidupan yang terbaik bagi
keluarga.

* Sistem Kalender

Pengaturan jarak kehamilan dengan sistem kalender hanya efektif bagi wanita yang mempunyai
siklus menstruasi teratur. Dengan demikian kapan datang masa suburnya dapat dihitung secara
tepat. Namun, kontrasepsi jenis ini paling rawan "kebobolan". Selain ketidakpatuhan pada
jadwal, hitungannya pun mungkin saja meleset. Ada baiknya kontrasepsi kalender dibarengi
dengan pemakain kondom di hari-hari subur.

Masalah psikologis: Seperti sudah disinggung di atas, kendala utama kontrasepsi alami ini adalah
ketidakpatuhan pada jadwal. Apalagi untuk pasangan yang masih muda, baik dari segi usia
maupun usia pernikahan. Kadangkala menahan hasrat terasa lebih sulit daripada memikirkan
risikonya.

Cara mengatasi: Sekali lagi komunikasi. Jadikan jadwal yang sudah diatur sebagai bentuk
tanggung jawab bersama. Bila salah satu pasangan mengatakan tidak di tanggal yang sudah
disepakati, jangan menjadikannya sebagai alasan untuk marah dan mengungkit hal-hal yang
tidak perlu. Tanpa kesadaran dan kedewasaan kedua belah pihak, pembatasan ini bisa memicu
hal-hal lain yang nantinya malah merusak hubungan pernikahan, seperti adanya affair dan
sebagainya.

* Steril

Pada dasarnya pemilihan kontrasepsi permanen harus didukung dengan alasan medis maupun
kesiapan mental. Tanpa alasan medis yang kuat, biasanya dokter akan menawarkan alternatif
kontrasepsi jenis lain.

Masalah psikologis: Kesiapan mental menjadi faktor penentu. Semisal kemungkinan munculnya
perasaan "terbuang" setelah fungsinya sebagai pria/wanita tidak lagi sempurna. Atau sebaliknya,
pada beberapa pribadi tertentu rasa aman yang permanen ini justru membuatnya merasa bebas
sehingga membuka peluang untuk melakukan kontak seksual dengan siapa pun selain pasangan
tetapnya.

Cara mengatasi: Untuk pria/wanita yang merasa "terbuang" karena fungsi organ reproduksinya
sudah tidak sempurna lagi, komunikasi efektif kedua belah pihak akan menjadi tali penyelamat.
Masalah yang dihadapi adalah masalah bersama. Bantu/dorong pasangan yang sudah steril
dengan pikiran dan aktivitas positif. Kesibukan dan perasaan masih dibutuhkan akan
menjauhkannya dari rasa putus asa.

Untuk mereka yang merasa "aman" dengan keadaan ini pun disarankan makin memperdalam dan
mengintensifkan komunikasi dengan pasangan. Jangan pernah ciptakan peluang dari kondisi ini.
Tanggung jawab sebagai manusia dewasa harusnya bisa menjadi sekat tak kasat mata yang tidak
boleh ditembus. Jangan tergoda untuk berselingkuh dan sejenisnya semata karena menyadari
tidak adanya konsekuensi yang harus dihadapi.

SADARI RISIKONYA

Selain pemilihan jenis kontrasepsi yang bisa menimbulkan efek psikologis, risiko "kebobolan"
pun harusnya sudah diperhitungkan. Seperti sudah diketahui, kecuali kontrasepsi mantap, pilihan
lainnya hanya menjamin di atas 90%. Artinya, masih ada peluang sekitar 1-10% terjadinya
kehamilan.

Beberapa kejadian bisa dijadikan pelajaran. Contohnya ada seorang pria di Amerika yang merasa
heran istrinya bisa hamil lagi padahal selama berhubungan dia menggunakan kondom. Ketika
menuntut produsen kondom merek itu, diketahui bahwa efektivitas kondom tersebut hanya 99%
dan itu sudah tertulis dalam kemasannya. Kebetulan pasangan inilah yang mendapat
"kehormatan" untuk menjadi konsumen yang 1% tadi.

"Kebobolan" saat menggunakan alat kontrasepsi pun bisa berdampak secara psikologis.
Bagaimanapun si anak tidak direncanakan kehadirannya. Langkah pertama yang harus diambil
adalah berlapang dada dengan menerima anugerah tersebut. Jangan saling menyalahkan apalagi
membuang-buang waktu dengan menuntut produsen alat kontrasepsi sebab hanya akan menyeret
rangkaian gerbong masalah yang panjang.

Marfuah Panji Astuti

Konsultan ahli:

Dra. Lidwina Banowati, M. Psi.,

psikolog dari Siloam Graha Medika Hospital, Kebon Jeruk, Jakarta

PLUS-MINUS RAGAM METODE KONTRASEPSI

Cermati plus-minus masing-masing metode kontrasepsi agar pencegahan kehamilan berlangsung


aman dan efektif. Berikut uraian dr. R. Muharam, Sp.OG., dari Klinik Fertilitas dan
Menoandropause SamMarie, Jakarta.

METODE KONTRASEPSI ALAMI

Metode alami hanya bisa diterapkan pada wanita dengan siklus haid teratur. Caranya dengan
menghindari sanggama pada saat subur. Alat bantu metode ini adalah pengukuran suhu basal dan
uji kekentalan lendir leher rahim.

Plus:

* tidak ada efek samping

* ekonomis

Minus:

* Angka kegagalan tinggi. Faktanya, 10 - 30 dari 100 wanita, hamil setiap tahun.

* Tidak memberi perlindungan terhadap penyakit kelamin dan hepatitis B maupun HIV/AIDS.
METODE KONTRASEPSI DENGAN ALAT

Bisa dibagi menjadi:

1. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

Alat kontrasepsi dalam rahim mempunyai beberapa tipe, antara lain Copper T380A, Nova T, dan
beberapa AKDR yang diberi hormon (mirena, Levo Nova).

Plus:

* Angka perlindungannya cukup tinggi, yaitu dengan kegagalan 0,3-1 per 100 wanita tiap tahun.

Minus:

* Mengundang risiko infeksi radang panggul, perdarahan, dan kehamilan di luar kandungan.

* Komplikasi perforasi (lubang) uterus.

* Tidak memberi perlindungan terhadap penyakit kelamin dan hepatitis B maupun HIV/AIDS.

2. Kontrasepsi Dengan Metode Perintang

Yang paling umum digunakan adalah kondom, diafragma, dan spermisida.

Kondom

Kantong kecil yang terbuat dari karet ini bekerja dengan membungkus penis, sehingga sperma
yang keluar tetap berada dalam kantong tersebut.

Plus:

* Aman dipakai

* Mudah didapat

* Cukup efektif bila digunakan dengan benar.

* Dapat mencegah penyebaran penyakit menular seksual dan hepatitis B HIV/AIDS.


Minus:

* Ada risiko robek. Oleh sebab itu, gunakan satu kondom hanya untuk satu kali pakai. Kondom
yang baik terasa licin dan basah. Jangan gunakan kondom yang bagian dalamnya kering, yang
terasa lengket di tangan, atau yang merekat pada bungkus plastiknya.

* Angka kegagalan tinggi, yaitu 3 - 15 per 100 wanita per tahun.

Diafragma

Berbentuk seperti mangkok ceper, terbuat dari karet. Cara penggunaannya dimasukkan ke dalam
vagina. Alat ini berkerja dengan cara menutupi mulut rahim, sehingga sperma, meski masih
masuk ke vagina, tak bisa meneruskan perjalanan ke rahim.

Plus:

* Dapat dipakai berkali-kali.

* Melindungi dari kehamilan dan penyakit menular seksual hepatitis B HIV/AIDS.

Minus:

* Angka kegagalan tinggi, yaitu 5 - 20 per 100 wanita per tahun.

* Sulit dipasang.

Spermisida

Alat KB ini memiliki bentuk beragam. Ada foam aerosol (busa), tablet, supposutoria (???), krim,
jeli, dan spons. Dipakai dengan cara dioleskan ke dalam vagina sebelum berhubungan intim.
Spermisida mematikan sel-sel sperma sebelum sempat memasuki rahim.

Plus:

* Melindungi pemakainya dari penyakit menular seksual gonorrhea, klamida, hepatitis B,


HIV/AIDS

* Tidak didapatkan efek samping sistemik/pada tubuh.

Minus:
* Angka kegagalan 10-25 dari 100 wanita per tahun.

* Tidak memberi perlindungan terhadap hepatitis B, penyakit menular seksual, seperti


HIV/AIDS, klamidia, gonorrhea.

* Bisa menimbulkan gatal-gatal atau lecet pada vagina.

* Tidak terlalu ampuh bila hanya digunakan

2 tahun lalu

100% 1 Suara

Lapor Penyalahgunaan

s umber: http://www.gemapriabkkbn.com
A. Kontrasepsi Hormonal
1. Suntik KB (Injeksi DMPA); Injeksi DMPA adalah metode kontrasepsi paling populer
di Indonesia. Kadar DMPA dalam darah relatif tidak berinteraksi dengan HAART.
Mitchell dan Stephen (2004) menganjurkan agar suntikan KB tiga bulanan (12
minggu) dipersering menjadi setiap 10 minggu.
2. Pil Kombinasi Estrogen dan Progesteron; Perempuan pengidap HIV seringkali
menggunakan pil kombinasi estrogen dan progesteron. Pil ini sangat efektif apabila
digunakan secara tepat dan benar. WHO memasukkannya dalam kategori 1 yaitu
tidak ada batasan apapun untuk menggunakan kontrasepsi pil kombinasi, termasuk
pengidap HIV (tabel). Dianjurkan agar penggunaan pil kombinasi ini dengan dosis
estrogen yang tinggi karena HAART akan menurunkan kadar estrogen.
3. Pil Progesteron; Pil ini menjadi pilihan bagi wanita yang tidak dianjurkan
mengkonsumsi hormon estrogen, termasuk mereka yang masih menyusui. Angka
proteksi kehamilan lebih rendah dibanding pil kombinasi, apalagi bila wanita tidak
patuh dalam minum pil ini. Keterlambatan beberapa jam dari jadwal minum pil
dapat menimbulkan kegagalan. Pil KB berisi progesteron yang terbaru telah beredar
dengan nama Cerazette, yang berisi desogestrel, dan memiliki angka kegagalan
yang lebih rendah. Disamping itu, keterlambatan minum sampai dengan 12 jam
tidak mengakibatkan penurunan kadar darah secara bermakna, sehingga tidak
menimbulkan ovulasi.
4. Kontrasepsi koyok atau patches; Kontrasepsi koyok (nama dagang EVRA)
adalah kontrasepsi yang menggunakan sistem pembawa norelgestromin dan
ethinylestradiol secara transdermal yang dipakai setiap minggu. Apabila di pakai
secara benar, khasiatnya sama dengan pil KB kombinasi.
5. Implant LNG; Perlu penggunaan kontrasepsi tambahan selain implan, khususnya
untuk implan yang menggunakan ethonogestrel.
6. Kontrasepsi Darurat (ECP); Levonelle-2 dan Postinor adalah kontrasepsi
darurat yang telah beredar dibeberapa negara, termasuk di Indonesia. WHO dan
UNFPA merekomendasikan cara minum pil tersebut 2 tablet sekaligus, bukan seperti
petunjuk lama tablet diminum dengan selang waktu 12 jam kemudian. Kontrasepsi
darurat ini belum populer, apalagi dikalangan wanita pengidap HIV sehingga perlu
di sosialisasi kepada mereka. Rekomendasi terkini dari FFPRHC (The Faculty of
Family Planning and Reproductive Health Care) menyebutkan bahwa perempuan
pengidap HIV yang juga menggunakan HAART maka penggunaan 2 tablet secara
langsung tidak cukup, sehingga harus minum tambahan obat 1 tablet lagi pada 12
jam berikutnya.

B. Kontrasepsi Barier
McKay (2007) menekankan bahwa kondom pria dan wanita memiliki khasiat ganda,
yaitu untuk kontrasepsi dan pencegahan IMS.
- Kondom Pria; Dengan kondom pria, terbukti virus HIV dapat dicegah penularannya,
atau lebih rendah risikonya dibanding jika tidak memakai kondom. Penyakit IMS
lainnya juga dapat dikurangi penyebarannya dengan penggunaan kondom yang
benar dan konsisten seperti penularan chlamydia, gonorrhea, herpes simplex,
human papilomavirus dan virus type-2 (HSV-2).
- Kondom Wanita; Kondom wanita terbuat dari bahan polyurethane dan memiliki 2
cincin yang fleksibel, yaitu bagian yang menutup leher rahim dan bagian pintu
masuk vagina. Angka kegagalan kondom wanita ini lebih tinggi dibanding kondom
pria (5 dibanding 3%). Belum banyak bukti seberapa besar kemampuan kondom
wanita ini untuk menurunkan risiko AIDS bagi perempuan.

C. Metode Barier lainnya


Metode kontrasepsi barier lain, seperti diapragma, cincin vagina, dan cervical cap
tidak direkomendasikan untuk melindungi penyebaran HIV dan AIDS. Bahan
pembunuh sperma (Spermicides) yang terbukti dapat digunakan untuk mencegah
kehamilan ternyata tidak dapat mencegah penularan HIV.
1. IUD dan IUS ; Berdasarkan berbagai penelitian dalam 5 tahun terakhir, WHO
merevisi rekomendasi penggunaan IUD pada perempuan pengidap HIV. Untuk
semua jenis kontrasepsi bagi pengidap HIV, kecuali IUD digolongkan pada kategori
1, yaitu kontrasepsi yang dapat digunakan tanpa batasan atau larangan apapun.
Kategori 2 bilamana dengan risiko tinggi terhadap infeksi HIV, wanita sudah
mengidap HIV dan pengguna IUD yang terinfeksi HIV serta sedang berubah
statusnya menjadi penderita AIDS. Demikian juga penderita AIDS yang secara klinis
menunjukkan gejala membaik setelah diobati HAART, maka mereka juga
dimasukkan pada rekomendasi kategori 2. Rekomendasi kategori 2 ialah metode
kontrasepsi yang umumnya dapat dipakai, karena risikonya lebih rendah dibanding
tidak memakai.
Pada kondisi lapangan yang sangat terbatas dalam melakukan keputusan klinis,
maka rekomendasi WHO dapat disederhanakan kedalam dua (2) kategori. Kategori
1 dan 2 pada prinsipnya kontrasepsi dapat dipakai, sedangkan kategori 3 dan 4
prinsipnya alat atau obat kontrasepsi yang tidak dapat dipakai. Rekomendasi untuk
IUD dengan kategori 3 bilamana diberikan kepada wanita dengan HIV positif dan
akan memulai kontrasepsi dengan IUD.
Kesimpulannya adalah IUD dan IUS adalah kontrasepsi efektif, reversible, tidak
terjadi interaksi dengan obat-obat ARV, tidak meningkatkan risiko dan tidak
menyebabkan infeksi HIV. Hampir semua badan International sepakat bahwa IUD
dapat digunakan oleh hampir semua perempuan mengidap HIV. Namun demikian,
pengidap HIV masih tetap dianjurkan metode kedua (dual method) berupa kondom.
Upaya-upaya khusus perlu dilakukan untuk menghilangkan hambatan terhadap
penggunaan IUD bagi perempuan pengidap HIV, termasuk hambatan psikologis,
ketersediaan tempat dan petugas yang mampu melayani IUD.
2. Sterilisasi
Sterilisasi adalah metode yang umumnya dipakai oleh pasangan yang usianya
sudah diatas 40 tahun. Di Indonesia, metode sterilisasi belum populer seperti di
negara maju, sehingga prevalensinya masih dibawah 10%. Meskipun pengembalian
atau penyambungan kembali dimungkinkan, metode ini hendaknya diperlakukan
seperti metode yang permanen. Dalam kaitannya dengan masalah HIV, metode
vasektomi tidak menurunkan risiko trasmisi virus kepada pasangannya. Tingkat
infeksi HIV juga tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah vasektoumi,
tidak seperti halnya sunat (circumcition) yang telah terbukti menurunkan risiko
tertular dan menularkan HIV.

Tabel : Kontrasepsi yang dianjurkan untuk wanita dengan HIV

Metode Kontrasepsi Kriteria WHO untuk wanita penderita HIV dan AIDS Keterangan
Pil Kombinasi Oral 1 Kategori 2 bila diobati ARV karena interaksi dengan obat
kontrasepsi.
Pil Kombinasi Oral (estrogen dan progesterone) 1 Kategori 2 bila diobati ARV karena
interaksi obat
Suntik KB (Depomedroxy progesterone acetate) 1
Kategori 2 bila diobati ARV karena interaksi obat
Kontrasepsi koyok (patch) 1
Tidak ada larangan apapun
Kondom
1
Karena meningkatnya risiko trasmisi dan memperoleh HIV
Spermisida
4
Kategori 2 bilamana diobati ARV karena interaksi obat
Cincin vagina (vaginal ring) 1
Kategori 3 : untuk pasien dengan AIDS yang klinisnya kurang baik.
IUD 2 Kategori 2 : Pada penderita AIDS klinis baik dan diterapi dengan ARV

Kriteria Kategori WHO untuk persyaratan penggunaan metode kontrasepsi (MEC) :


1. Tidak ada pembatasan apapun dalam menggunakan kontrasepsi.
2. Keuntungan memakai kontrasepsi lebih besar dari risiko yang ditimbulkan,
metode boleh digunakan tetapi diperlukan follow-up.
3. Risiko secara teori, atau yang telah terbukti pada pasien lebih besar dari
keuntungan yang diperoleh, maka metode tidak dianjurkan kecuali tidak ada
metode lain yang cocok atau diterima.
4. Pada kondisi ini metode kontrasepsi tidak dapat digunakan.
(Hanny, Sumber : Kontrasepsi dan HIV, Dr. Siswanto A Wilopo, SU, MSc, ScD)

Banyak Perempuan Tertular HIV dari Pasangan Intim?

http://id.news.yahoo.com/antr/20100331/t

Jakarta (ANTARA) - Banyak perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan
jangka panjang memiliki tingkat resiko terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) disebabkan oleh perilaku beresiko pasangan mereka atau tertular dari
pasangan intim.

"Semakin banyak perempuan terinfeksi HIV dan sebagian besar dari mereka tidak
memiliki perilaku beresiko," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar di Jakarta, Rabu pada acara
Peluncuran Laporan Penularan HIV Pada Pasangan Intim di Asia.
Berarti Iklan Kondom memang untuk Pria.

Berdasarkan laporan terbaru mengenai penularan HIV pada hubungan pasangan


intim di Asia menekankan pada peningkatan jumlah perempuan yang terinveksi HIV
melalui suami atau pasangan intim mereka.

Diperkirakan sekitar lebih dari 90 persen dari 1,7 juta perempuan hidup dengan HIV
di Asia terinfeksi dari suami atau pasangan mereka pada hubungan jangka panjang.

Pada tahun 2008, 35 persen dari seluruh orang dewasa terinfeksi HIV di Asia adalah
perempuan, naik 17 persen di tahun 1990.

Bahkan laporan regional mengenai "Penularan HIV pada hubungan pasangan intim
di Asia" mengkaji isu perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan
jangka panjang memiliki tingkat resiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku
Beresiko pasangan mereka.

Bukti dari hampir semua negara di Asia menunjukkan bahwa perempuan yang
tertular HIV bukan dari perilaku mereka sendiri, akan tetapi karena perilaku seksual
tidak aman yang dilakukan pasangan di mana pasangan mereka adalah laki-laki
yang berhubungan dengan laki-laki lain, penggona narkoba suntik atau klien
pekerja seks komersial.

Karenanya, menteri menilai pihaknya perlu memperkuat program-program hak


asasi reproduksi perempuan dan untuk meningkatkan kekuatan menawar wanita
dalam menolak hubungan seksual beresiko tinggi.

Menanggapi hal itu, Perwakilan dari United Nations Population Fund (UNFPA) Zahidul
Huque mengatakan bahwa laporan tersebut ditujukan untuk memperbaiki strategi
advokasi dan pencegahan.

Sementara Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi


mengatakan bahwa epidemi HIV di Indonesia pada saat ini telah mengarah pada
penularan mengenai aktivitas sosial dan semakin banyak perempuan terinfeksi HIV.

"Kita baru saja meluncurkan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS
Indonesia tahun 2010-2014 yang menekankan pada kebutuhan untuk memperkuat
strategi penanggulangan, termasuk penularan melalui aktivitas seksual untuk
menghindari epidemi HIV yang semakin luas di Indonesia," katanya.

5 bulan lalu
HARI KARTINI, DAN PERANG
PEREMPUAN MELAWAN HIV
OLEH: WURYANTI PUSPITASARI

Jakarta,Hari Kartini, yang selalu diperingati oleh segenap bangsa sebagai simbol kebangkitan
perempuan di Tanah Air bisa dijadikan momentum bagi para srikandi Indonesia untuk berperang
melawan HIV.

Pasalnya, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa jumlah ibu rumah tangga
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia terus meningkat secara
signifikan setiap tahunnya.

"Peningkatan infeksi baru HIV yang signifikan ada di kalangan ibu rumah tangga," kata
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi.

Nafsiah menjelaskan, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada tahun
2002-2009, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV terus meningkat.

"Jumlah pekerja seks komersial yang terinfeksi HIV terus menurun grafiknya, namun ibu rumah
tangga malah terus meningkat," katanya.

Hal tersebut disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki
perilaku berisiko.

"Yang mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah kasus penularan dari ibu ke anak," katanya.

Karena itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengharap permasalahan HIV dapat segera
ditangani dengan baik.

"Bila tidak ditangani epidemi HIV akan merambat masuk ke keluarga dan masyarakat umum,"
katanya.

Untuk itu, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional terus melakukan intervensi khusus, program
kondom perempuan untuk melindungi dari kegiatan seks berisiko.

"Pengguna kondom perempuan adalah mereka yang khawatir terkena infeksi menular sosial atau
kegiatan seks berisiko," katanya.

Selain ibu rumah tangga, pada saat ini juga banyak perempuan yang menikah atau berada dalam
hubungan jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku
berisiko pasangan mereka atau tertular dari pasangan intim.

Semakin banyak perempuan terinfeksi HIV dan sebagian besar dari mereka tidak memiliki
perilaku berisiko," kata Nafsiah.

Laporan terbaru mengenai penularan HIV pada hubungan pasangan intim di Asia menekankan
pada peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV melalui suami atau pasangan intim
mereka.

Diperkirakan sekitar lebih dari 90 persen dari 1,7 juta perempuan hidup dengan HIV di Asia
terinfeksi dari suami atau pasangan mereka pada hubungan jangka panjang.

Pada tahun 2008, 35 persen dari seluruh orang dewasa terinfeksi HIV di Asia adalah perempuan,
naik 17 persen dari tahun 1990.

Bahkan laporan regional mengenai "Penularan HIV pada hubungan pasangan intim di Asia"
mengkaji isu perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan jangka panjang memiliki
tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku Berisiko pasangan mereka.

Bukti dari hampir semua negara di Asia menunjukkan bahwa perempuan yang tertular HIV
bukan dari perilaku mereka sendiri, akan tetapi karena perilaku seksual tidak aman yang
dilakukan pasangan karena pasangan mereka adalah laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki
lain, pengguna narkoba suntik atau klien pekerja seks komersial.

Nafsiah mengatakan bahwa epidemi HIV di Indonesia pada saat ini telah mengarah pada
penularan mengenai aktivitas sosial dan semakin banyak perempuan terinfeksi HIV.

"Kita baru saja meluncurkan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia
tahun 2010-2014 yang menekankan pada kebutuhan untuk memperkuat strategi penanggulangan,
termasuk penularan melalui aktivitas seksual untuk menghindari epidemi HIV yang semakin luas
di Indonesia," katanya.

Perkuat program

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda
Amalia Sari Gumelar mengatakan bahwa pihaknya perlu memperkuat program-program hak
azasi reproduksi perempuan dan untuk meningkatkan kekuatan menawar wanita dalam menolak
hubungan seksual berisiko tinggi.

Menurut Menteri, pada beberapa kunjungan kerjanya ke beberapa wilayah ,banyak dijumpai
kasus perempuan yang tidak punya perilaku berisiko, namun terifveksi HIV karena tertular oleh
suaminya.

"Banyak perempuan yang tidak punya perilaku berisiko malah tertular AIDS dan kini mereka
menjadi bingung," katanya.
Hal itu, menurut Menteri ,merupakan sinyalemen bahwa perempuan Indonesia bisa menjadi
korban atas perilaku berisiko suami atau pasangannya.

Untuk itu, pemerintah akan meningkatkan upaya sosialisasi dan pendidikan HIV kepada
perempuan Indonesia khususnya mereka yang berada di wilayah terpencil.

"Kemudian kita juga akan anjurkan pentingnya menggunakan alat kontrasepsi atau kondom,"
katanya.

Selain itu, menurut Menteri, seluruh lapisan masyarakat juga harus berperan aktif dalam
menyebarkan informasi mengenai HIV dan penularannya.

Menteri juga memberikan apresiasi kepada sejumlah LSM dan Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional yang dinilainya telah banyak memberikan kontribusi serta rencana aksi yang jelas
terkait HIV.

Menteri juga mengharapkan bahwa peringatan hari Kartini dapat dijadikan momentum oleh
kaum perempuan di Indonesia untuk berani memposisikan dirinya.

"Perempuan harus berani memposisikan dirinya, khususnya bisa menolak hubungan seks yang
berisiko HIV, salah satunya dengan berkomunikasi dengan baik dengan pasangannya dan
menggunakan alat kontrasepsi " katanya.

Menteri juga menambahkan, banyaknya perempuan yang tertular AIDS bukan dari perilaku
berisiko melainkan dari pasangannya terjadi bukan hanya kurangnya keberanian untuk
menyampaikan pendapat di depan pasangan melainkan akibat ketidakpahaman akan HIV.

"Karena itu pendidikan soal HIV penting diberikan kepada kaum perempuan," katanya. (ant)

Kondom, Antara Sungkup Moral dan Alat Kontrasepsi


Pencegah HIV/AIDS
Oleh : Mansetus Balawala | 12-Aug-2009, 04:35:30 WIB

KabarIndonesia - Meski pemakaian kondom di dunia secara luas baru dikenal pada tahun 1930-
an, dan di Indonesia baru gencar dikampanyekan setelah merebaknya kasus HIV/AIDS, namun
sesungguhnya kondom telah dikenal lama. Sejarah mencatat, sekitar tahun 1000 sebelum Masehi
orang Mesir kuno menggunakan linen sebagai sarung pengaman untuk mencegah penyakit.
Sementara pada tahun 100-200 Masehi bukti awal dari pemakaian kondom di Eropa datang dari
lukisan berupa pemandangan gua di Combrelles, Perancis.

Tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan pencobaan alat pencegah
penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan sarung
terbuat dari bahan linen dan itu diuji coba pada 1.100 lelaki sebagai kondom. Dari percobaan itu
tak satu pun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain linen
itu bermanfaat mencegah infeksi. Tetapi, di kemudian hari kondom dikenal sebagai alat pencegah
kehamilan. Ini diawali dari percobaan terhadap kain linen yang dibasahi dengan cairan kimia tahun
1500-an. Ketika linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan dikenakan pria,
maka kain itu bisa mematikan sperma.

Selanjutnya, pada tahun 1700-an, kondom dibuat dari usus binatang. Perubahan bahan itu
membuat harga kondom menjadi lebih mahal dibanding dengan kondom dari bahan linen. Ketika
itu kondom dikenal sebagai baju baja melawan kesenangan dan jaring laba-laba pencegah infeksi.
Kondom tipe itu dipakai secara berulang.

Tahun 1894, Goodyear dan Hancock mulai memproduksi kondom secara massal terbuat dari karet
yang divulkanisasi untuk membalikkan karet kasar keelasitasannya yang kuat. Tahun 1861 untuk
pertama kali kondom dipublikasikan di Amerika Serikat di surat kabar The New York Times.

Tahun 1880 kondom dibuat dari lateks, tetapi pemakaiannya secara luas baru tahun 1930-an.
Tahun 1935 sebanyak 1.5 juta kondom diproduksi setiap hari di Amerika Serikat.

Kemudian tahun 1980-an dan 1990-an pasaran kondom di Amerika Serikat didominasi pabrik
kondom setempat. Baru tahun 1987 kondom produksi Jepang dengan merek Kimono memasuki
pasar Amerika. Kondom tersebut lembut tipis dan iklannya pun menekankan bahwa kesenangan
sama pentingnya dengan pencegahan. Tahun 1990-an muncul beragam jenis kondom dan juga
untuk pertama kali tersedia kondom polyurethane. Tahun 1993 produksi tahunan kondom lateks
mencapai 8,5 juta miliar (Anonymous, 2005).

Riset Mengenai Kondom

Meski sudah lama kondom dikenal sebagai alat kontrasepsi (Alkon) pencegah HIV/AIDS, namun
beberapa kalangan meragukan efektifitas penggunaannya. Ini terjadi karena minimnya akses
infomasi mengenai penggunaan kondom sebagai Alkon yang dapat mencegah HIV/AIDS. Berikut ini
dikemukakan hasil riset tentang penggunaan kondom untuk menjawab keraguan sebagian orang
yang memandang kondom tidak efektif untuk mencegah penularan HIV/AIDS.

US National Institute of Health dan Consumer Union yang meneliti kondom, menemukan tidak ada
pori yang terlihat setelah kondom diregangkan dan diperiksa dengan pembesaran 30.000 kali
(UNFPA, 2005). Pada tahun 2003, The United States Departement of Health and Human Service
melakukan studi penelitian terhadap keefektifan kondom. Dari hasil studi didapatkan 85%
berkurangnya resiko penularan HIV pada orang-orang yang menggunakan kondom secara
konsisten dibandingkan dengan yang tidak pakai (UNFPA, 2004).

Pada Tahun 1991, Thailand menerapkan 100 percent condom policy, yang mana PSK dan
pelanggannya wajib untuk menggunakan kondom dalam setiap aktivitas seksual. Program ini
berhasil menaikkan persentase penggunaan kondom dari 14% pada tahun 1989 menjadi 94% pada
tahun 1994 dan berdampak pada penurunan lima kali lipat kasus infeksi HIV dan sepuluh kali
lipat penurunan kasus PMS (WHO & UNAIDS, 2004).

Sementara sebuah studi di Itali, yang diikuti 305 wanita negatif HIV yang pasangan tetapnya
seksual aktif laki-laki positif HIV selama 2 tahun. Hasil studi menunjukkan dari 134 pasangan
yang selalu menggunakan kondom secara konsisten, tidak ditemukan kasus HIV satu pun.
Sedangkan yang tidak menggunakan kondom secara konsisten ditemukan 2% dari 171 terinfeksi
HIV. Selanjutnya studi di Haiti didapatkan bahwa infection rate di antara pasangan serodiscordant
yang selalu menggunakan kondom adalah 1 per 100 pasangan (UNFPA, 2004).

Beberapa penelitian lain di AS menunjukkan bahwa 20-30% pria mengaku selalu menggunakan
kondom, tetapi di antara mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara
benar. Pemakaian kondom yang salah dapat mengakibatkan kondom lepas atau robek. Begitu pula
bila tidak dipakai secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak akan efektif. Penggunaan pelicin
berbahan dasar minyak pasti menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemakaian kondom. Tipe
lain yang salah dalam penggunaan kondom adalah metode yang tidak tepat pada pembukaan
kemasan dan pada saat pemasangan kondom pada penis atau untuk menahan cincin kondom pada
saat penarikan kondom dari penis (Hargreaves, 2008)

Dari hasil riset yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondom adalah alat kontrasepsi
yang efektif, baik untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS,
asalkan digunakan secara benar.

Sikap Pro-Kontra

Tidak dapat dipungkiri bahwa promosi penggunaan kondom, baik sebagai alat kontrasepsi
pencegah kehamilan maupun untuk mencegah penularan HIV/AIDS menuai sikap prokontra di
masyarakat. Yang kontra berpendapat bahwa penggunaan kondom bertentangan dengan etik moral
dan tidak lebih dari uapaya melegitimasi seks bebas terutama di kalangan remaja. Mereka juga
melihatnya sebagai pendorong terjadinya keserbabolehan dalam bidang seksual, utamanya
merangsang orang untuk dengan mudah menikmati hubungan seksual meskipun belum terikat
atau pun di luar tali perkawinan. Sementara yang pro melihat sebagai kemudahan bagi orang
untuk menghindari dirinya dari kemungkinan tertularnya HIV/AIDS yang mematikan itu, sekaligus
pemakaian kondom dianggap bisa mengerem jumlah penderita HIV/AIDS dan penyakit-penyakit
seksual lainnya.

Kalangan Gereja Katolik sendiri secara tegas melarang penggunaan kontrasepsi yang sangat
artifisial itu. Gereja menilai penggunaan alat kontrasepsi mengurangi makna luhur hubungan
seksualitas di antara dua orang yang terikat dalam perkawinan sah. Sedangkan terhadap mereka
yang belum menikah, Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksualitas hanya boleh
dilakukan oleh mereka yang telah terikat dalam perkawinan. Sementara bagi pasangan yang positif
terjangkit virus HIV/AIDS, Gereja menganjurkan untuk tidak menyebarkannya dengan tidak
berhubungan seksual dengan siapa pun. Apalagi kondom tidak 100 % mencegah seseorang
terjangkit virus HIV/AIDS. Jalan satu-satunya mencegah penyakit berbahaya itu ialah pantang.
Cara ini tidak memberi resiko apapun dengan kehidupan (Catholic Condom Use, Jessica
Steinmets:2006).

Meski demikian kalangan pemimpin Gereja Katolik sendiri masih memperdebatkan hal ini. Seorang
pakar teologi moral mengatakan larangan Gereja Katolik terhadap penggunaan kondom
bertentangan dengan pandangan sejumlah pakar teologi moral yang mengatakan, penggunaan
kondom dapat diijinkan untuk mencegah penyakit yang mengancam kehidupan. Pastor Piet Go
Twan O.Carm, Kepala Departemen Dokumen dan Penerangan Konferensi Wali Gereja Indonesia
(Dokpen KWI) berpendapat bahwa posisi para pejabat gereja ialah melarang penggunaan semua
alat kontrasepsi termasuk kondom yang bertentangan dengan ajaran moral gereja. Namun para
moral teolog mempunyai cara pemikiran yang lain. Mereka berpendapat penggunaan kondom untuk
mencegah kehamilan berbeda dengan penggunaan kondom sebagai alat untuk melindungi diri dari
ancaman penyakit yang mematikan. Karena itu mereka menyarankan sebuah pendekatan "A-B-C"
untuk menggunakan kondom. Abstinence (pantang), being faithful (setia pada pasangan), dan
condom (kondom), dengan prioritas diberikan pada A dan B. Jika A dan B tidak bisa, maka
penggunaan kondom sebagai alat melindungi diri terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian
tidak dapat disalahkan.

Pendapat pro datang juga dari Pdt. Emmy Sahertian, Ketua Komunitas Rumah Filia untuk HIV dan
AIDS ini menganggap tindakan pelarangan terhadap pemakaian kondom dalam konteks
penangkalan penyebaran HIV/AIDS sebagai sebuah kenaifan. Hal ini karena bukan persoalan
moral saja tapi bagaimana orang menyadari tentang kesehatan reproduksi. Karena itu kondom
sungguh merupakan alat edukasi dalam pendampingan pastoral, terutama dalam menyiapkan
anak-anak yang berperilaku berisiko. Lebih khusus lagi yang adiktif, tapi belum menikah. Ia juga
berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara pemakaian kondom dan sikap
keserbabolehan dalam bidang seksualitas. Dalam risetnya, Pdt. Emmy Sahertian mengatakan yang
paling berkorelasi langsung adalah VCD porno. Setelah itu baru ketidaktahuan mereka tentang
kesehatan reproduksi.

Kasus HIV/AIDS dan Program Pemakian Kondom

Terlepas dari pro-kontra penggunaan kondom, namun satu hal yang pasti bahwa penularan
HIV/AIDS di Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Data Depkes RI per September 2008
menyebutkan jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 21.151 orang. Angka ini adalah fenomena
gunung es karena jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar.
Angka ini bahkan terus mengalami peningkatan setiap jamnya karena menurut data dari Komite
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dalam setiap jam seorang pemuda di Indonesia terjangkit
HIV. Sementara sumber penularan utama HIV/AIDS adalah NARKOBA (49,1 persen) dan hubungan
seksual (46,2 persen). Sedangkan kelompok usia yang paling rentan terkena HIV/AIDS adalah usia
15-49 tahun (82 persen) yang merupakan usia produktif seseorang.

Bentangan fakta inilah yang mendorong semua pihak untuk melakukan pencegahan terhadap laju
penularan HIV/AIDS di Indonesia. Pemerintah Indonesia bahkan secara khusus membentuk
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat hingga tingkat kabupaten. Sementara tidak
sedikit LSM yang juga menaruh perhatian terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tujuanya
satu, yakni mencegah dan menekan laju penularan HIV/AIDS di Indonesia.

Untuk itu, berbagai upaya dilakukan. Satu di antaranya, yakni promosi penggunaan kondom di
kalangan PSK dan berbagai kelompok beresiko lainnya seperti Waria, buruh pelabuhan, sopir dan
kondektur, para pelanggan pekerja seks dan sebagainya.

Terhadap promosi penggunaan kondom, Dirjen PPM dan PLP per 19 Desember 1996 mengeluarkan
surat edaran yang mengharuskan semua pelanggan PSK menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seksual. Kebijakan ini, menganjurkan pemakaian kondom hanya pada perilaku seksual
resiko tinggi dan bukan untuk masyarakat biasa. Tak cuma itu, ada juga daerah yang secara
khsusus membuat PERDA wajib kondom bagi PSK dan pelanggannya.

Kendati demikian, program ini menuai banyak hambatan. Selain dinilai sebagian kalangan
berbenturan dengan etik moral, tapi pada kenyataannya banyak pihak yang enggan
menggunakannya dengan alasan subjektif seperti tidak enak bila bersengama menggunakan
kondom. Tak cuma itu, di lokalisasi misalnya, meski tahu resiko penularan HIV/AIDS, namun para
PSK tetap saja melayani pelanggan yang tidak memakai kondom. Mereka umumnya tidak dapat
menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom agar mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Karena itu, kebijakan pelaksanaan kondom 100% dari pemerintah Indonesia
dalam menyediakan kondom untuk keperluan tersebut tidak berjalan efektif. Yang ada justru
bukan penggunaan kondom 100% tetapi distribusi kondom 100%. Artinya, PSK selalu menerima
jatah kondom dari klinik/berbagai yayasan tetapi tidak digunakan dengan alasan pelanggan tidak
mau menggunakan kondom.

Dalam program kondom ini yang sulit adalah bagaimana atau indikator apa yang digunakan untuk
memantau penggunaan kondom 100%, hal ini tentunya akan dipengaruhi metoda kualitas kondom,
distribusi kondom, cara pemakaian kondom yang benar untuk pencegahan HIV/AIDS dan IMS,
serta monitoring yang baik karena pada akhirnya hanya WPS dan pelangganlah yang
mengetahuinya. (Beni, 2004)

Dari uraian di atas, beberapa hal yang menjadi kesimpulan dan saran penulis adalah sebagai
berikut:

1. Di era epidemi saat ini, kondom masih merupakan media terbaik dalam mencegah penularan
HIV. Kondom yang berkualitas baik dan digunakan secara benar terbukti mencegah masuknya
virus seperti HIV, hepatisis, dan herpes/PMS. Untuk itu, promosi mengubah citra kondom harus
dilakukan lebih gencar, sehingga tingkat penerimaan masyarakat dan jumlah pemakaian menjadi
lebih besar. Semua ini untuk menghilangkan krisis penggunaan kondom, sehingga orang yang
terlindungi menjadi lebih banyak dan gelombang epidemi HIV/AIDS dapat dihindari.

2. Penggunaan kondom hendaknya dijadikan sebagai ekspresi cinta, bertanggung jawab dan juga
sebagai bagian dari kehidupan terpelajar. Dengan pendekatan yang positip seringkali mengubah
kesan menjadi lebih baik daripada melalui pendekatan menakut-nakuti.

3. Harapan ideal untuk mewujudkan masyarakat bebas perselingkuhan dan bebas pelacuran
membutuhkan waktu lama. Sementara, HIV/AIDS menyebar dengan cepat. Untuk itu
menganjurkan dan mewajibkan penggunaan kondom tidak berarti melegitimasi seks bebas. Tanpa
promosi penggunaan kondom, seks bebas tetap ada. Menganjurkan dan mewajibkan penggunaan
kondom merupakan upaya untuk menanggulangi penyebaran IMS dan HIV/AIDS.

4. Pencegahan melalui pemakaian kondom adalah pelengkap. Karena itu upaya pendidikan lewat
jalur sekolah, keluarga, pendidikan agama dan lainnya terus digalakkan meski membutuhkan
waktu lama sebelum terasa khasiatnya.

5. Program promosi pemakaian kondom hendaknya diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan
mempertahankan perilaku sehatnya. Kepada anak-anak muda agar tidak melakukan hubungan
seks lebih awal dari semestinya sampai tiba saatnya. Sementara untuk yang sudah berhubungan
seks sebelum atau di luar pernikahan, agar mengubah perilaku, mengendalikan aktivitas seksual,
mengurangi jumlah partner dan menggunakan kondom secara benar, konsisten dan bertanggung
jawab dalam setiap hubungan seksualnya. (*)

Egois Karena Tak Nikmat


09:38, 25/04/2010

Selama ini, pandangan gender menjadi fokus untuk sasaran penggunaan alat kontrasepsi
(alkon). Seakan-akan memang perempuanlah yang harus menggunakannya, sedangkan pria
tidak.

Pandangan ini harus diubah. Pria, lebih suka menyarankan pasangannya menggunakan alkon
daripada diri mereka sendiri. Ini karena pria terlalu egois. Begitulah kata Isma Rohani, Staf Balai
Pelatihan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) Sumut.

Bukan tanpa alasan Isma berpendapat seperti itu. Wanita yang banyak berkecimpung langsung di
tengah masyarakat dalam menggalakkan program KB ini mengatakan, ada paradigma bahwa
alkon lebih ditekankan bagi perempuan untuk menunda kehamilan. Padahal, seharusnya, pria
juga harus ikut berperan menggunakan kondom atau vasektomi jika tidak menginginkan
kehamilan istrinya.
Padahal, kata dia, kondom merupakan alkon yang efektif dan murah. Efektivitas kondom mampu
mencegah infeksi HIV maupun penyakit menular seksual (PMS).
Kondom juga membantu menurunkan risiko terjadinya kanker leher rahim pada perempuan.
Ada studi yang menemukan virus Human Papillomavirus (HPV) bisa menyebabkan kanker
leher rahim pada pria yang tak menggunakan kondom, tambahnya.

Banyak bukti yang mendukung efektivitas kondom dalam menunda kehamilan dan pencegahan
penularan PMS. Faktanya, sangat jarang pasangan usia subur memakai metode ini secara
berkesinambungan dalam rentang waktu panjang.

Kondom sejauh ini tidak disukai pria berumahtangga lantaran tak praktis dan mengurangi
kenikmatan dalam berhubungan, baik itu dirasakan oleh pria bersangkutan maupun lawan
jenisnya. Pria kan egois, cuma karena rasa jadi enggan memakai kondom, bilangnya.
Secara nasional, kata dia, KB pria memang kurang diminati. Kenapa? Isma bilang, secara
psikologis, mengikuti program KB bagi sebagian besar pria dinilai sebagai tindakan aneh dan
asing, pun pula lucu. Maklum, bukankah pria tidak pernah hamil.

Jadi, pria pun punya alasan untuk tidak ber-KB. Apalagi alat/obat kontrasepsi yang tersedia
kebanyakan untuk perempuan. Si pria menganggap cukuplah perempuan saja yang ber-KB.
Pandangan inilah yang harus diubah, ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, KB pria dengan cara Vasektomi juga minim peminatnya. Dengan
demikian, rendahnya penggunaan kondom dan pilihan Vasektomi memperlihatkan bahwa
memang perempuanlah yang menjadi andalan dalam melakukan KB.

Vasektomi yakni satu tindakan penutupan saluran benih atau air mani. Saluran ini terletak persis
di bawah permukaan kulit, dan tidak terlalu dalam karena dapat diraba dari luar. Jadi bukan
dikebiri seperti anggapan pria berumahtangga. Kalau dikebiri itu adalah tindakan membuang
testis (buah sakar), pabrik pembuat sperma. Ini salah persepsi, kata dia.

Padahal, KB vasektomi mampu menaikkan libido seks. Ini berarti, Vasektomi sama sekali tak
menimbulkan impotensi atau ketidakjantanan. Pria dengan Vasektomi akan merasa lebih aman
dalam berhubungan intim karena tak khawatir bocor, meski dilakukan berulang-ulang.
Metode Vasektomi mudah dilakukan. Operasi penutupan saluran benih cukup dilakukan dalam
kondisi akseptor sadar. Pembiusan secara lokal pada kulit di bawah saluran benih. Setelah kulit
dibuka sedikit, saluran sepanjang 1 cm diikat atau dipotong. Lalu, bekas luka cukup ditutup
plester. Dan selesai. Akseptor bisa langsung pulang. Pelaksanaan operasi kecil itu hanya
memakan waktu kurang dari 15 menit, tuturnya.

Sehabis operasi, lanjutnya, peserta Vasektomi baru boleh melakukan hubungan intim dengan
pasangannya setelah enam hari. Itupun harus wajib menggunakan kondom selama 12 kali
hubungan demi pengamanan.

Tapi sayang, pria ber-KB Vasektomi minim. Anehnya, malah wanitanya (istri, Red) ikut tak
setuju suaminya ber-KB Vasektomi. Alasanya, kalau suami Vasektomi nanti jajan di luar jadi
nggak ketahuan karena tak meninggalkan benih. Jadi serba susah, pungkasnya sambil
tersenyum.(ila)

Perempuan Makin Maju, tapi Belum Setara


Perempuan Indonesia sudah maju, memiliki berbagai akses, termasuk pendidikan. Bahkan
kompetensi perempuan sudah bisa dibuktikan dengan beragam prestasinya di berbagai bidang.
Namun, tidak semua perempuan memiliki kesempatan mengembangkan dirinya, bahkan belum
menikmati haknya untuk menjadi setara.

Hal itu dikatakan ilmuwan dan pekerja hak asasi manusia, Prof Dr Saparinah Sadli saat
meluncurkan buku berjudul Berbeda tetapi Setara, kemarin, untuk memperingati perjuangan
kesetaraan oleh Kartini. Saat ditemui usai peluncuran buku, pendiri Komnas Perempuan ini
menyatakan kesetaraan untuk perempuan belum sepenuhnya tercapai.

Meski banyak prestasi yang sudah ditunjukkan kaum perempuan, masih banyak perempuan yang
terkungkung oleh adat. Bahkan, menurutnya perempuan sebagai ibu justru memperkuat
tradisi. Perempuan dan lelaki mempunyai hak untuk setara, sebagai manusia dan pembangunan
hak asasi manusia. Falsafah negara menempatkan setiap orang untuk setara, kata dia.

Kemudian, sambungnya, memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan, misalnya.


Perspektif kesetaraan merupakan hak asasi manusia yang tertuang dalam UUD45, hanya saja
hal ini tidak dipelajari. Perspektif kesetaraan tidak meniru barat. Perempuan di daerah timur
seperti NTT atau Papua, kata perempuan kelahiran Jawa Tengah, 24 Agustus 1927 yang akrab
disapa Bu Sap ini, memiliki akses yang minim untuk pemenuhan haknya, dalam layanan
kesehatan misalnya.

Wanita satu ini sampai usia 75-an, masih melakukan perjalanan ke Papua, Timor Timur (dulu),
Aceh, dan ke pelosok-pelosok negeri. Ia mendorong para aktivis muda yang bekerja untuk hak-
hak perempuan, khususnya di akar rumput, melalui Saparinah Sadli Award sejak tahun 2006.
Melalui bukunya, Bu Sap menegaskan, perjuangan kesetaraan perempuan, perlu dilihat sebagai
perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya dalam perspektif hak asasi manusia.

Caranya dengan memahami hak atas dirinya, dengan tidak terbatasi stereotip perempuan dan
lelaki yang terinternalisasi kuat melalui budaya dan keluarga, serta memiliki perspektif gender.
Perempuan harus mampu membangun dirinya, dan mendapat akses lebih untuk mendapatkan
haknya sebagai manusia. Pesan ini terangkum dalam bincang-bincang yang ingin memotivasi
perempuan muda menjadi berbeda tetapi setara, terinspirasi dari kumpulan pemikiran Saparinah
Sadli. (net/jpnn)

Hari Kartini Momentum Pencapaian Target MDGs


24 Apr 2010

Kesehatan

Pelita

MENTERI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Hj Linda Amalia Sari
Gumelar. SIP mengharapkan daerah untuk memiliki responsif gender dalam penyusunan
program perencanaan pembangunan maupun penganggaran.

"Selama ini pemerintah daerah belum bersifat responsif gender dalam penyusunan program
maupun penganggaran," katanya di Kawasan Puncak. Bogor, Jawa Barat, kemarin. Menteri
menjelaskan hal itu usai memberikan sambutan pada acara Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan
dan Penganggaran yang Responsif Gender bidang Politik. Sosial dan Hukum. Acara tersebut
dihadiri perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pemberdayaan
Perempuan dari beberapa provinsi di

Indonesia.

Menteri menegaskan, belum adanya daerah yang bersifat responsif gender dalam penyusunan
program dan penganggaran disebabkan belum adanya petunjuk yang jelas dari pemerintah pusat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan terus mendorong upaya
sosialisasi dan koordinasi. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah bisa mulai
menerapkan penyusunan program dan penganggaran yang responsif gender sejak dini.

Menteri mencontohkan, dalamsebuah proyek pembangunan, pemerintah daerah harus bisa


mengakomodir tingkat partisipasi serta kebutuhan mendasar yang responsif gender. Momentum
lawan HIV/AIDS Peringatan Hari Kartinidijadikan momentum bagi wanita di Indonesia untuk
berperang melawan Human Immunodeficiency Virus (HIV). "Jadikan Hari Kartini sebagai
momentum melawan HIV." katanya.

Hari Kartini merupakan simbol kebangkitan perempuan di Indonesia sehingga bisa dijadikan
awal untuk kebangkitan melawan HIV karena jumlah wanita yang terinfeksi HIV terus
meningkat. Berdasarkan laporan dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, jumlah ibu rumah
tangga yang terinfeksi HIV terus meningkat setiap tahunnya terutama sejak tahun 2002 hingga
2009.

Hal tersebut disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki
perilaku berisiko. Selain ibu rumah tangga, pada saat ini juga banyak perempuan yang
menikahatau berada dalam hubungan jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV
disebabkan oleh perilaku berisiko pasangan mereka atau tertular dari pasangan intim.
Laporan terbaru mengenai penularan HIV pada hubungan pasangan intim di Asia menekankan
pada peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV melalui suami atau pasangan intim
mereka. Diperkirakan sekitar lebih dari 90 persen dari 1.7 juta perempuan hidup dengan HIV di
Asia terinfeksi dari suami atau pasangan mereka pada hubungan jangka panjang.

Tahun 2008. 35 persen dari seluruh orang dewasa terinfeksi HIV di Asia adalah perempuan, naik
17 persen dari tahun 1990. Laporan regional mengenai Penularan HIV pada hubungan
pasanganintim di Asia mengkaji isu perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan
jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh perilaku Berisiko
pasangan mereka.

"Untuk itu, pemerintah akan meningkatkan upaya sosialisasi dan pendidikan HIV kepada
perempuan Indonesia khususnya mereka yang berada di wilayah terpencil." katanya. Menteri
berharap bahwa peringatan Hari Kartini dapat dijadikan momentum oleh kaum perempuan di
Indonesia untuk berani memposisikan dirinya. "Perempuan harus berani memposisikan dirinya,
khususnya bisa menolak hubungan seks yang berisiko HIV, salah satunya berkomunikasi dengan
pasangannya dan menggunakan alat kontrasepsi * katanya, (djo)

Entitas terkaitAcara | Asia | Berisiko | Diperkirakan | Gs | HIV | Indonesia |


Jawa | Kawasan | Laporan | Menteri | Momentum | Penganggaran |
Perempuan | PP | SIP | Sosial | Hari Kartini | Penularan HIV | Perlindungan
Anak | Responsif Gender | Badan Pemberdayaan Perempuan | Human
Immunodeficiency Virus | Jadikan Hari Kartini | Kementerian
Pemberdayaan Perempuan | Komisi Penanggulangan AIDS | MENTERI
Pemberdayaan Perempuan | AIDS Peringatan Hari Kartinidijadikan | Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah | Hj Linda Amalia Sari | Rapat
Koordinasi Teknis Perencanaan | Hari Kartini Momentum Pencapaian
Target | Ringkasan Artikel Ini

Hari Kartini merupakan simbol kebangkitan perempuan di Indonesia


sehingga bisa dijadikan awal untuk kebangkitan melawan HIV karena
jumlah wanita yang terinfeksi HIV terus meningkat. Selain ibu rumah
tangga, pada saat ini juga banyak perempuan yang menikahatau berada
dalam hubungan jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV
disebabkan oleh perilaku berisiko pasangan mereka atau tertular dari
pasangan intim. Laporan terbaru mengenai penularan HIV pada hubungan
pasangan intim di Asia menekankan pada peningkatan jumlah perempuan
yang terinfeksi HIV melalui suami atau pasangan intim mereka. Laporan
regional mengenai Penularan HIV pada hubungan pasanganintim di Asia
mengkaji isu perempuan yang menikah atau berada dalam hubungan
jangka panjang memiliki tingkat risiko terinfeksi HIV disebabkan oleh
perilaku Berisiko pasangan mereka.
Kondom, Antara Sungkup Moral dan Alat Kontrasepsi Pencegah HIV/AIDS
Oleh : Mansetus Balawala

12-Aug-2009, 04:35:30 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Meski pemakaian kondom di dunia secara luas baru dikenal pada tahun 1930-
an, dan di Indonesia baru gencar dikampanyekan setelah merebaknya kasus HIV/AIDS, namun
sesungguhnya kondom telah dikenal lama. Sejarah mencatat, sekitar tahun 1000 sebelum Masehi
orang Mesir kuno menggunakan linen sebagai sarung pengaman untuk mencegah penyakit.
Sementara pada tahun 100-200 Masehi bukti awal dari pemakaian kondom di Eropa datang dari
lukisan berupa pemandangan gua di Combrelles, Perancis.

Tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan pencobaan alat pencegah
penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan sarung
terbuat dari bahan linen dan itu diuji coba pada 1.100 lelaki sebagai kondom. Dari percobaan itu
tak satu pun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain
linen itu bermanfaat mencegah infeksi. Tetapi, di kemudian hari kondom dikenal sebagai alat
pencegah kehamilan. Ini diawali dari percobaan terhadap kain linen yang dibasahi dengan cairan
kimia tahun 1500-an. Ketika linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan
dikenakan pria, maka kain itu bisa mematikan sperma.

Selanjutnya, pada tahun 1700-an, kondom dibuat dari usus binatang. Perubahan bahan itu
membuat harga kondom menjadi lebih mahal dibanding dengan kondom dari bahan linen. Ketika
itu kondom dikenal sebagai baju baja melawan kesenangan dan jaring laba-laba pencegah
infeksi. Kondom tipe itu dipakai secara berulang.

Tahun 1894, Goodyear dan Hancock mulai memproduksi kondom secara massal terbuat dari
karet yang divulkanisasi untuk membalikkan karet kasar keelasitasannya yang kuat. Tahun 1861
untuk pertama kali kondom dipublikasikan di Amerika Serikat di surat kabar The New York
Times.

Tahun 1880 kondom dibuat dari lateks, tetapi pemakaiannya secara luas baru tahun 1930-an.
Tahun 1935 sebanyak 1.5 juta kondom diproduksi setiap hari di Amerika Serikat.

Kemudian tahun 1980-an dan 1990-an pasaran kondom di Amerika Serikat didominasi pabrik
kondom setempat. Baru tahun 1987 kondom produksi Jepang dengan merek Kimono memasuki
pasar Amerika. Kondom tersebut lembut tipis dan iklannya pun menekankan bahwa kesenangan
sama pentingnya dengan pencegahan. Tahun 1990-an muncul beragam jenis kondom dan juga
untuk pertama kali tersedia kondom polyurethane. Tahun 1993 produksi tahunan kondom lateks
mencapai 8,5 juta miliar (Anonymous, 2005).

Riset Mengenai Kondom

Meski sudah lama kondom dikenal sebagai alat kontrasepsi (Alkon) pencegah HIV/AIDS,
namun beberapa kalangan meragukan efektifitas penggunaannya. Ini terjadi karena minimnya
akses infomasi mengenai penggunaan kondom sebagai Alkon yang dapat mencegah HIV/AIDS.
Berikut ini dikemukakan hasil riset tentang penggunaan kondom untuk menjawab keraguan
sebagian orang yang memandang kondom tidak efektif untuk mencegah penularan HIV/AIDS.

US National Institute of Health dan Consumer Union yang meneliti kondom, menemukan tidak
ada pori yang terlihat setelah kondom diregangkan dan diperiksa dengan pembesaran 30.000 kali
(UNFPA, 2005). Pada tahun 2003, The United States Departement of Health and Human Service
melakukan studi penelitian terhadap keefektifan kondom. Dari hasil studi didapatkan 85%
berkurangnya resiko penularan HIV pada orang-orang yang menggunakan kondom secara
konsisten dibandingkan dengan yang tidak pakai (UNFPA, 2004).

Pada Tahun 1991, Thailand menerapkan 100 percent condom policy, yang mana PSK dan
pelanggannya wajib untuk menggunakan kondom dalam setiap aktivitas seksual. Program ini
berhasil menaikkan persentase penggunaan kondom dari 14% pada tahun 1989 menjadi 94%
pada tahun 1994 dan berdampak pada penurunan lima kali lipat kasus infeksi HIV dan sepuluh
kali lipat penurunan kasus PMS (WHO & UNAIDS, 2004).

Sementara sebuah studi di Itali, yang diikuti 305 wanita negatif HIV yang pasangan tetapnya
seksual aktif laki-laki positif HIV selama 2 tahun. Hasil studi menunjukkan dari 134 pasangan
yang selalu menggunakan kondom secara konsisten, tidak ditemukan kasus HIV satu pun.
Sedangkan yang tidak menggunakan kondom secara konsisten ditemukan 2% dari 171 terinfeksi
HIV. Selanjutnya studi di Haiti didapatkan bahwa infection rate di antara pasangan
serodiscordant yang selalu menggunakan kondom adalah 1 per 100 pasangan (UNFPA, 2004).

Beberapa penelitian lain di AS menunjukkan bahwa 20-30% pria mengaku selalu menggunakan
kondom, tetapi di antara mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara
benar. Pemakaian kondom yang salah dapat mengakibatkan kondom lepas atau robek. Begitu
pula bila tidak dipakai secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak akan efektif. Penggunaan
pelicin berbahan dasar minyak pasti menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemakaian
kondom. Tipe lain yang salah dalam penggunaan kondom adalah metode yang tidak tepat pada
pembukaan kemasan dan pada saat pemasangan kondom pada penis atau untuk menahan cincin
kondom pada saat penarikan kondom dari penis (Hargreaves, 2008)

Dari hasil riset yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondom adalah alat
kontrasepsi yang efektif, baik untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan IMS dan
HIV/AIDS, asalkan digunakan secara benar.

Sikap Pro-Kontra

Tidak dapat dipungkiri bahwa promosi penggunaan kondom, baik sebagai alat kontrasepsi
pencegah kehamilan maupun untuk mencegah penularan HIV/AIDS menuai sikap prokontra di
masyarakat. Yang kontra berpendapat bahwa penggunaan kondom bertentangan dengan etik
moral dan tidak lebih dari uapaya melegitimasi seks bebas terutama di kalangan remaja. Mereka
juga melihatnya sebagai pendorong terjadinya keserbabolehan dalam bidang seksual, utamanya
merangsang orang untuk dengan mudah menikmati hubungan seksual meskipun belum terikat
atau pun di luar tali perkawinan. Sementara yang pro melihat sebagai kemudahan bagi orang
untuk menghindari dirinya dari kemungkinan tertularnya HIV/AIDS yang mematikan itu,
sekaligus pemakaian kondom dianggap bisa mengerem jumlah penderita HIV/AIDS dan
penyakit-penyakit seksual lainnya.

Kalangan Gereja Katolik sendiri secara tegas melarang penggunaan kontrasepsi yang sangat
artifisial itu. Gereja menilai penggunaan alat kontrasepsi mengurangi makna luhur hubungan
seksualitas di antara dua orang yang terikat dalam perkawinan sah. Sedangkan terhadap mereka
yang belum menikah, Gereja jelas mengajarkan bahwa hubungan seksualitas hanya boleh
dilakukan oleh mereka yang telah terikat dalam perkawinan. Sementara bagi pasangan yang
positif terjangkit virus HIV/AIDS, Gereja menganjurkan untuk tidak menyebarkannya dengan
tidak berhubungan seksual dengan siapa pun. Apalagi kondom tidak 100 % mencegah seseorang
terjangkit virus HIV/AIDS. Jalan satu-satunya mencegah penyakit berbahaya itu ialah pantang.
Cara ini tidak memberi resiko apapun dengan kehidupan (Catholic Condom Use, Jessica
Steinmets:2006).

Meski demikian kalangan pemimpin Gereja Katolik sendiri masih memperdebatkan hal ini.
Seorang pakar teologi moral mengatakan larangan Gereja Katolik terhadap penggunaan kondom
bertentangan dengan pandangan sejumlah pakar teologi moral yang mengatakan, penggunaan
kondom dapat diijinkan untuk mencegah penyakit yang mengancam kehidupan. Pastor Piet Go
Twan O.Carm, Kepala Departemen Dokumen dan Penerangan Konferensi Wali Gereja Indonesia
(Dokpen KWI) berpendapat bahwa posisi para pejabat gereja ialah melarang penggunaan semua
alat kontrasepsi termasuk kondom yang bertentangan dengan ajaran moral gereja. Namun para
moral teolog mempunyai cara pemikiran yang lain. Mereka berpendapat penggunaan kondom
untuk mencegah kehamilan berbeda dengan penggunaan kondom sebagai alat untuk melindungi
diri dari ancaman penyakit yang mematikan. Karena itu mereka menyarankan sebuah pendekatan
"A-B-C" untuk menggunakan kondom. Abstinence (pantang), being faithful (setia pada
pasangan), dan condom (kondom), dengan prioritas diberikan pada A dan B. Jika A dan B tidak
bisa, maka penggunaan kondom sebagai alat melindungi diri terhadap penyakit yang
mengakibatkan kematian tidak dapat disalahkan.

Pendapat pro datang juga dari Pdt. Emmy Sahertian, Ketua Komunitas Rumah Filia untuk HIV
dan AIDS ini menganggap tindakan pelarangan terhadap pemakaian kondom dalam konteks
penangkalan penyebaran HIV/AIDS sebagai sebuah kenaifan. Hal ini karena bukan persoalan
moral saja tapi bagaimana orang menyadari tentang kesehatan reproduksi. Karena itu kondom
sungguh merupakan alat edukasi dalam pendampingan pastoral, terutama dalam menyiapkan
anak-anak yang berperilaku berisiko. Lebih khusus lagi yang adiktif, tapi belum menikah. Ia juga
berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara pemakaian kondom dan sikap
keserbabolehan dalam bidang seksualitas. Dalam risetnya, Pdt. Emmy Sahertian mengatakan
yang paling berkorelasi langsung adalah VCD porno. Setelah itu baru ketidaktahuan mereka
tentang kesehatan reproduksi.

Kasus HIV/AIDS dan Program Pemakian Kondom


Terlepas dari pro-kontra penggunaan kondom, namun satu hal yang pasti bahwa penularan
HIV/AIDS di Indonesia terus bertambah dari waktu ke waktu. Data Depkes RI per September
2008 menyebutkan jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 21.151 orang. Angka ini adalah
fenomena gunung es karena jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan jauh
lebih besar. Angka ini bahkan terus mengalami peningkatan setiap jamnya karena menurut data
dari Komite Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dalam setiap jam seorang pemuda di
Indonesia terjangkit HIV. Sementara sumber penularan utama HIV/AIDS adalah NARKOBA
(49,1 persen) dan hubungan seksual (46,2 persen). Sedangkan kelompok usia yang paling rentan
terkena HIV/AIDS adalah usia 15-49 tahun (82 persen) yang merupakan usia produktif
seseorang.

Bentangan fakta inilah yang mendorong semua pihak untuk melakukan pencegahan terhadap laju
penularan HIV/AIDS di Indonesia. Pemerintah Indonesia bahkan secara khusus membentuk
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat hingga tingkat kabupaten. Sementara tidak
sedikit LSM yang juga menaruh perhatian terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tujuanya
satu, yakni mencegah dan menekan laju penularan HIV/AIDS di Indonesia.

Untuk itu, berbagai upaya dilakukan. Satu di antaranya, yakni promosi penggunaan kondom di
kalangan PSK dan berbagai kelompok beresiko lainnya seperti Waria, buruh pelabuhan, sopir
dan kondektur, para pelanggan pekerja seks dan sebagainya.

Terhadap promosi penggunaan kondom, Dirjen PPM dan PLP per 19 Desember 1996
mengeluarkan surat edaran yang mengharuskan semua pelanggan PSK menggunakan kondom
saat melakukan hubungan seksual. Kebijakan ini, menganjurkan pemakaian kondom hanya pada
perilaku seksual resiko tinggi dan bukan untuk masyarakat biasa. Tak cuma itu, ada juga daerah
yang secara khsusus membuat PERDA wajib kondom bagi PSK dan pelanggannya.

Kendati demikian, program ini menuai banyak hambatan. Selain dinilai sebagian kalangan
berbenturan dengan etik moral, tapi pada kenyataannya banyak pihak yang enggan
menggunakannya dengan alasan subjektif seperti tidak enak bila bersengama menggunakan
kondom. Tak cuma itu, di lokalisasi misalnya, meski tahu resiko penularan HIV/AIDS, namun
para PSK tetap saja melayani pelanggan yang tidak memakai kondom. Mereka umumnya tidak
dapat menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom agar mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Karena itu, kebijakan pelaksanaan kondom 100% dari pemerintah
Indonesia dalam menyediakan kondom untuk keperluan tersebut tidak berjalan efektif. Yang ada
justru bukan penggunaan kondom 100% tetapi distribusi kondom 100%. Artinya, PSK selalu
menerima jatah kondom dari klinik/berbagai yayasan tetapi tidak digunakan dengan alasan
pelanggan tidak mau menggunakan kondom.

Dalam program kondom ini yang sulit adalah bagaimana atau indikator apa yang digunakan
untuk memantau penggunaan kondom 100%, hal ini tentunya akan dipengaruhi metoda kualitas
kondom, distribusi kondom, cara pemakaian kondom yang benar untuk pencegahan
HIV/AIDS dan IMS, serta monitoring yang baik karena pada akhirnya hanya WPS dan
pelangganlah yang mengetahuinya. (Beni, 2004)
Dari uraian di atas, beberapa hal yang menjadi kesimpulan dan saran penulis
adalah sebagai berikut:

1. Di era epidemi saat ini, kondom masih merupakan media terbaik dalam
mencegah penularan HIV. Kondom yang berkualitas baik dan digunakan secara
benar terbukti mencegah masuknya virus seperti HIV, hepatisis, dan herpes/PMS.
Untuk itu, promosi mengubah citra kondom harus dilakukan lebih gencar, sehingga
tingkat penerimaan masyarakat dan jumlah pemakaian menjadi lebih besar. Semua
ini untuk menghilangkan krisis penggunaan kondom, sehingga orang yang
terlindungi menjadi lebih banyak dan gelombang epidemi HIV/AIDS dapat dihindari.

2. Penggunaan kondom hendaknya dijadikan sebagai ekspresi cinta, bertanggung


jawab dan juga sebagai bagian dari kehidupan terpelajar. Dengan pendekatan yang
positip seringkali mengubah kesan menjadi lebih baik daripada melalui pendekatan
menakut-nakuti.

3. Harapan ideal untuk mewujudkan masyarakat bebas perselingkuhan dan bebas


pelacuran membutuhkan waktu lama. Sementara, HIV/AIDS menyebar dengan
cepat. Untuk itu menganjurkan dan mewajibkan penggunaan kondom tidak berarti
melegitimasi seks bebas. Tanpa promosi penggunaan kondom, seks bebas tetap
ada. Menganjurkan dan mewajibkan penggunaan kondom merupakan upaya untuk
menanggulangi penyebaran IMS dan HIV/AIDS.

4. Pencegahan melalui pemakaian kondom adalah pelengkap. Karena itu upaya


pendidikan lewat jalur sekolah, keluarga, pendidikan agama dan lainnya terus
digalakkan meski membutuhkan waktu lama sebelum terasa khasiatnya.

5. Program promosi pemakaian kondom hendaknya diarahkan pada peningkatan


pengetahuan dan mempertahankan perilaku sehatnya. Kepada anak-anak muda
agar tidak melakukan hubungan seks lebih awal dari semestinya sampai tiba
saatnya. Sementara untuk yang sudah berhubungan seks sebelum atau di luar
pernikahan, agar mengubah perilaku, mengendalikan aktivitas seksual, mengurangi
jumlah partner dan menggunakan kondom secara benar, konsisten dan
bertanggung jawab dalam setiap hubungan seksualnya. (*)

You might also like