You are on page 1of 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS POST

PARTUM DENGAN SECTIO CAESARIA INDIKASI PEB (PRE EKLAMPSIA BERAT)


DIRUANG BERSALIN RSUD DR. LOEKMONO HADI KUDUS

Disusun Oleh :

Syifa Yulia

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIDYA HUSADA

SEMARANG

2017
TINJAUAN TEORI

1. POST PARTUM
A. Pengertian
Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa nifas
(puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat
kandungan yang lamanya 6 minggu. Post partum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir
sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil
(Bobak, 2010).
Post partum adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta
keluarlepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya
kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan
seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Suherni, 2009).
Pada masa postpartum ibu banyak mengalami kejadian yang penting, Mulai dari
perubahan fisik, masa laktasi maupun perubahan psikologis menghadapi keluarga baru
dengan kehadiran buah hati yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Namun kelahiran bayi juga merupakan suatu masa kritis bagi kesehatan ibu,
kemungkinan timbul masalah atau penyulit, yang bila tidak ditangani segera dengan
efektif akan dapat membahayakan kesehatan atau mendatangkan kematian bagi ibu,
sehingga masa postpartum ini sangat penting dipantau oleh bidan (Syafrudin&Fratidhini,
2009).
B. Tahapan Masa Postpartum
Adapun tahapan-tahapan masa postpartum adalah :
1. Puerperium dini :Masa kepulihan, yakni saat-saat ibu dibolehkan berdiri dan berjalan-
jalan.
2. Puerperium intermedial : Masa kepulihan menyeluruh dari organ-organ genital, kira-
kira 6-8 minggu.
3. Remot puerperium : Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama
apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi (Suherni, 2009).
C. Perubahan Fisiologis Masa Postpartum
1. Perubahan Sistem Reproduksi
Perubahan Uterus Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar.
Hal ini menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta (plasental site) sehingga
jaringan perlekatan antara plasenta dan dinding uterus, mengalami nekrosis dan lepas.
Ukuran uterus mengecil kembali (setelah 2 hari pasca persalinan, setinggi sekitar
umbilikus, setelah 2 minggu masuk panggul, setelah 4 minggu kembali pada ukuran
sebelum hamil).
Perubahan vagina dan perineum Pada minggu ketiga, vagina mengecil dan timbul
rugae (lipatan-lipatan atau kerutan-kerutan) kembali. Terjadi robekan perineum pada
hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya.
Bila ada laserasi jalan lahir atau luka bekas episiotomi (penyayatan mulut serambi
kemaluan untuk mempermudah kelahiran bayi) lakukanlah penjahitan dan perawatan
dengan baik (Suherni, 2009).
2. Perubahan pada Sistem Pencernaan
Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan.Hal ini umumnya karena
makan padat dan kurangnya berserat selama persalinan. Seorang wanita dapat merasa
lapar dan siap menyantap makanannya dua jam setelah persalinan. Kalsium sangat
penting untuk gigi pada kehamilan dan masa nifas, dimana pada masa ini terjadi
penurunan konsentrasi ion kalsium karena meningkatnya kebutuhan kalsium pada ibu,
terutama pada bayi yang dikandungnya untuk proses pertumbuhan juga pada ibu
dalam masa laktasi (Saleha, 2009).
3. Perubahan Perkemihan
Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2-8 minggu, tergantung pada :
a. Keadaan/status sebelum persalinan.
b. Lamanya partus kala II dilalui.
c. Besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat persalinan. Disamping itu, dari
hasil pemeriksaan sistokopik segera setelah persalinan tidak menunjukkan adanya
edema dan hyperemia diding kandung kemih, akan tetapi sering terjadi
exstravasasi (extravasation, artinya keluarnya darah dari pembuluh-pembuluh
darah di dalam badan) kemukosa. (Suherni, 2009).
4. Perubahan dalam Sistem Endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem
endokrin, terutama pada hormon-hormon yang berperan dalam proses tersebut.
Oksitosin diseklerasikan dari kelenjer otak bagian belakang. Selama tahap ketiga
persalinan, hormon oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan
kontraksi, sehingga mencegah perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi
ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus kembali ke bentuk normal.
Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan
ada rangsangan folikel dalam ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui
bayinya tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah persalinan,
sehingga merangsang kelenjer bawah depan otak yang mengontrol ovarium kearah
permulaan pola produksi estrogen dan progesteron yang normal, pertumbuhan folikel,
ovulasi, dan menstruasi.
Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun mekanismenya secara
penuh belum dimengerti. Di samping itu, progesteron mempengaruhi otot halus yang
mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat
mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum dan
vulva, serta vagina.
5. Perubahan Tanda- tanda Vital
Selama 24 jam pertama, suhu mungkin meningkat menjadi 38C, sebagai akibat
meningkatnya kerja otot, dehidrasi dan perubahan hormonal jika terjadi peningkatan
suhu 38C yang menetap 2 hari setelah 24 jam melahirkan, maka perlu dipikirkan
adanya infeksi seperti sepsis puerperalis (infeksi selama post partum), infeksi saluran
kemih, endometritis (peradangan endometrium), pembengkakan payudara, dan lain-
lain.
Dalam periode waktu 6-7 jam sesudah melahirkan, sering ditemukan adanya
bradikardia 50-70 kali permenit (normalnya 80-100 kali permenit) dan dapat
berlangsung sampai 6-10 hari setelah melahirkan. Takhikardia kurang sering terjadi,
bila terjadi berhubungan dengan peningkatan kehilangan darah dan proses persalinan
yang lama.
Selama beberapa jam setelah melahirkan, ibu dapat mengalami hipotensi
orthostatik (penurunan 20 mmHg) yang ditandai dengan adanya pusing segera setelah
berdiri, yang dapat terjadi hingga 46 jam pertama. Hasil pengukuran tekanan darah
seharusnya tetap stabil setelah melahirkan. Peningkatan tekanan sisitolik 30 mmHg
dan penambahan diastolik 15 mmHg yang disertai dengan sakit kepala dan gangguan
penglihatan, bisa menandakan ibu mengalami preeklamsia dan ibu perlu dievaluasi
lebih lanjut. Fungsi pernafasan ibu kembali ke fungsi seperti saat sebelum hamil pada
bulan ke enam setelah melahirkan (Maryunani, 2009).
D. Tanda-Tanda Bahaya dan Komplikasi Pada Masa Postpartum
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah
persalinan. Oleh karena itu, penting bagi bidan/perawat untuk memberikan informasi dan
bimbingan pada ibu untuk dapat mengenali tanda-tanda bahaya pada masa nifas yang
harus diperhatikan. Tanda-tanda bahaya yang perlu diperhatikan pada masa nifas ini
adalah :
1. Demam tinggi hingga melebihi 38C.
2. Perdarahan vagina yang luar biasa atau tiba-tiba bertambah banyak (lebih dari
perdarahan haid biasa atau bila memerlukan penggantian pembalut 2 kali dalam
setengah jam), disertai gumpalan darah yang besar-besar dan berbau busuk.
3. Nyeri perut hebat/rasa sakit dibagian bawah abdomen atau punggung, serta nyeri ulu
hati.
4. Payudara membengkak, kemerahan, lunak disertai demam dan lain-lainya.
Komplikasi Yang Mungkin Terjadi Pada Masa Postpartum, Infeksi postpartum
adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya kuman kedalam alat genetalia
pada waktu persalinan dan nifas.Sementara itu yang dimaksud dengan Febris Puerperalis
adalah demam sampai 38C atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca
pesalinan, kecuali pada hari pertama. Tempat-tempat umum terjadinya infeksi yaitu
rongga pelvik: daerah asal yang paling umum terjadi infeksi, Payudara, Saluran kemih,
Sistem vena.
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml
setelah bersalin. Perdarahan nifas dibagi menjadi dua yaitu :
1. Perdarahan dini, yaitu perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir dan dalam 24 jam
pertama persalinan. Disebabkan oleh : atonia uteri, traumdan laserasi, hematoma.
2. Perdarahan lambat/lanjut, yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam. Faktor resiko
: sisa plasenta, infeksi, sub-involusi.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Jumlah darah lengkap, hemoglobin/hematokrit (Hb/Ht)
2. Urinalisis; kadar urin, darah

F. Penatalaksanaan Medis
1. Memberikan tablet zinc untukmengatasi anemia
2. Memberikan antibiotik bila ada indikasi

2. PEB ( Pre Eklampsia Berat )


A. Pengertian
Pre eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin
dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan protein uria tetapi tidak menjukkan
tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya
muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih. (Nanda, 2012)
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
Pre eklamsi adalah timbulanya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia 20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer dkk, 2006).
Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia,
namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita
hamil umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis
pembuluh darah.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Kenaikan
tekanan sistolik > 30 mmHg dari nilai normal atau mencapai 140 mmHg, atau kenaikan
tekanan diastolik > 15 mmHg atau mencapai 90 mmHg dapat membantu ditegakkannya
diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang
kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+
atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream
yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul
lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-eklampsia,
namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh harus
teteap diwaspadai. Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Normalnya,
wanita hamil mengalami kenaikan berat badan sekitar 0.5 kg per minggu. Apabila
kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu dicurigai timbulnya pre-eklampsia.
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia, yang
ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Eklampsia dapat menyebabkan
terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang menyebabkan jejas iskemi
pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat fatal.
B. Klasifikasi
Dibagi dalam 2 golongan :
Pre-eklampsi ringan, bila keadaan sebagai berikut :
1. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi rebah
terlentang/tidur berbaring, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan
sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 x
pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
2. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
perminggu.
3. Proteinuria kwantitatif 0,3 gr atau lebih perliter, kwalitatif 1+atau 2+ pada urin kateter
atau midstream ( Ida Bagus.1998).
Pre-eklampsi berat:
1. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter
3. Oliguria, jmlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam
C. Etiologi
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan Blocking
Antibodies akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan sebelumnya,
seperti respons imunisasi.
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun
pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek imun
dalam serum.
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada
Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan
bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia,
tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air
dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak dan
cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada ipar
mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak
essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan
menyebabkan Loss Angiotensin Refraktoriness yang memicu terjadinya
preeklampsia.
6. Jumlah primigravi, terutama primigravida muda
7. Distensi rahim berlebihan : hidramnion, hamil ganda, mola hidatidosa
8. Penyakit yang menyertai hamil : diaetes melitus, kegemukan
9. Jumlah umur ibu diatas 35 tahun
D. Manifestasi klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan :
1. Pertambahan berat badan yang berlebihan
2. Diikuti edema
3. Hipertensi
4. Akhirnya proteinuria.
Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala gejala subyektif. Pada pre eklampsia
berat didapatkan :
1. Sakit kepala terutama di daerah frontal
2. Gangguan mata, penglihatan kabur
3. Rasa nyeri di daerah epigastrium
4. Mual atau muntah
5. Gangguan pernapasan sampai sianosis
6. Terjadinya gangguan kesadaran.
Gejala gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.

E. Patofisiologi
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik
uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan
kadar 1 -25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan
absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada
janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon
(PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi
kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar
kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah.
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan
prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis
prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan vaskuler
terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang
resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang, sehingga terjadi vasospasme.
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan hambatan
aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi arterial yang membahayakan
pembuluh darah karena gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia
dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin 1
yang merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan kebocoran antar sel
endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti thrombosit dan fibrinogen
tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke berbagai sistem
organ.
Fungsi organ-organ lain
1. Perubahan pada otak
Pada pre-eklampsi aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-batasn
ormal. Pada eklampsi, resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada
pembuluh darah otak. Edema terjadi pada otak yang dapat menimbulkan kelainan
serebral dan kelainan pada visus. Bahkan pada keadaan lanjut dapat terjadi
perdarahan.
2. Perubahan pada uri dan Rahim
Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi
gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin.
Pada pre-eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus rahim dan kepekaan
terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah partus prematurus.
3. Perubahan pada ginjal
Filtrasi glomerulus berkurang oleh karena aliran ke ginjal kurang. Hal ini
menyebabkan filfrasi natrium melalui glomerulus menurun, sebagai akibatnya
terjadilah retensi garam dan air. Filnasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari
normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.
4. Perubahan pada paru-paru
Kematian wanita pada pre-eklampsi dan eklampsi biasanya disebabkan oleh edema
paru. Ini disebabkan oleh adanya dekompensasi kordis. Bisa pula karena terjadinya
aspires pnemonia. Kadang-kadang ditemukan abses paru.
5. Perubahan pada mata
Dapat ditemukan adanya edema retina spasmus pembuluh darah. Bila ini dijumpai
adalah sebagai tanda pre-eklampsi berat. Pada eklampsi dapat terjadi ablasio retinae,
disebabkan edema intra-okuler dan hal ini adalah penderita berat yang merupakan
salah satu indikasi untuk terminasi kehamilan. Suatu gejala lain yang dapat
menunjukkan arah atau tanda dari pre-eklampsi berat akan terjadi eklampsi adalah
adanya: skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan perubahan peredaran
darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
6. Perubahan pada keseimbangan air dan elektrolit
Pada pre-eklampsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan nyata pada metabolisme
air, elektrolit, kristaloid dan protein serum. Dan tidak terjadi ketidakseimbangan
elektrolit. Gula darah,bikarbonasn atrikusd an pH normal. Pada pre-eklampsi berat
dan pada eklampsi : kadar gula darah naik sementara asam laktat dan asam organik
lainnya naik sehingga cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya disebabkan
oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-zat organik dioksidasi sehingga
natrium dilepas lalu bereaksi dengan karbonik sehingga terbentuk bikarbonas
natrikus. Dengan begitu cadangan alkali dapat kembali pulih normal ( khaidir. 2009).
F. Komplikasi
1. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari dinding rahim. Pada penderita
preeklamsi ini terjadi karena adanya vasospasme pada pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke plasenta terganggu. Sehingga nutrisi menuju ke janin
atau plasenta berkurang kemudian terjadi sianosis yang menyebabkan plasenta lepas
dari dinding rahim.
2. Hemolisis
Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati pada penderita
pre-eklampsia.
3. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada
retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya
apopleksia serebri.
4. Edema paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-
paru.
Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum.
Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
5. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah,
mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),
agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan tromboksan
(vasokonstriktor kuat), lisosom.
6. Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi anuria atau
gagal ginjal.
7. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation):
DIC adalah gangguan serius yang terjadi pada mekanisme pembekuan darah pada
tubuh. Pada penderita preeklamsi terjadi proteinuria yaitu protein yang keluar
bersama urin akibat dari kerusakan ginjal. Sedangkan dalam mekanisme pembekuan
darah di perlukan fibrinogen yang merupakan protein. Sehingga pada penderita
preeklamsi karena terjadi kekurangan protein dalam darah menyebabkan mekanisme
pembekuan darah terganggu kemudian terjadinya DIC.
G. Pemeriksaan penunjang
Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk
preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun
ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar
asam urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik menandakan peningkatan
resiko terjadinya preeklampsia superimpose.
1. Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita
dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar
enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan protein total pada urin 24
jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga pemeriksaan
kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan pembekuan.
Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau
progresifitas penyakitprotein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya meningkat
hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ), kadar hematokrit menurun,
BJ urine meningkat, serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
2. USG : untuk mengetahui keadaan janin
3. NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pada penderita yang sudah masuk ke rumah sakit dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala preeklamsi berat segera harus di beri sedativa yang kuat untuk mencegah
timbulnya kejang-kejang.
Sebagai tindakan pengobatan untuk mencegah kejang-kejang dapat di berikan:
a. Larutan sulfas magnesikus 40% sebanyak 10 ml (4 gr) disuntikan intramuskulus
bokonh kiri dan kanan sebagai dosis permulaan dan dapat di ulang 4 gr tiap 6 jam
menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis
baik, reflek patella positif, dan kecepatan pernafasan lebih dari 16 per menit. Obat
tersebut selain menenangkan, juga menurunkan tekanan darah dan meningkatkan
diuresis.
b. Klopromazin 50 mg intramuskulus.
c. Diazepam 20 mg intramuskulus
Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika
dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang ICU.
Sebagai tindakan pengobatan untuk menurunkan tekanan darah
a. Anti hipertensi
b. Tekanan darah sistolis > 180 mmHg, diastolis > 110 mmHg. Sasaran
pengobatan adalah tekanan diastolis < 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)
karena akan menurunkan perfusi plasenta.
c. Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
d. Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-
obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang
biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press disesuaikan
dengan tekanan darah.
e. Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet
antihipertensi secara sublingual atau oral. Obat pilihan adalah nifedipin yang
diberikan 5-10 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam.
d. Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
Penggunaan obat hipotensif pada pre-eklamsia berat diperlukan karena
dengan menurunnya tekanan darah kemungkinan kejang dan apolpeksia serebri
menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oliguria, sebaiknya penderita diberi glukosa
20% secara intravena. Obat diuretika tidak si berikan secar rutin
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
Tujuannya : mencegah kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan
suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan.
(Angsar MD, 2009; Saifuddin et al. 2002):
a) Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
b) Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.
c) Pemberian obat antikejang.
d) Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.
e) Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off) tekanan darah, untuk
pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai
adalah 160/110 mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU Soetomo Surabaya
batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180
mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg.
f) Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.

3. SECTIO CAESAREA
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan insisipada abdomen dan
uterus. (Joy, 2009).
Yusmiati (2007) menyatakan bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu dan
uterus untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih. Cara ini biasanya dilakukan ketika
kelahiran melalui vagina akan mengarah pada komplikasi-komplikasi, kendati cara ini
semakin umum sebagai pengganti kelahiran normal.
Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi denganberat di atas 500
gr, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (intact) (Syaifuddin, 2006).
2. Indikasi
Berdasarkan waktu dan pentingnya dilakukan sectio caesarea, maka dikelompokkan
4 kategori (Edmonds,2007) :
a. Kategori 1 atau emergency
Dilakukan sesegera mungkin untuk menyelamatkan ibu atau janin. Contohnya
abrupsio plasenta, atau penyakit parah janin lainnya.
b. Kategori 2 atau urgent
Dilakukan segera karena adanya penyulit namun tidak terlalu mengancam jiwa ibu
ataupun janinnya. Contohnya distosia.
c. Kategori 3 atau scheduled Tidak terdapat penyulit.
d. Kategori 4 atau elective
Dilakukan sesuai keinginan dan kesiapan tim operasi.
Dari literatur lainnya, yaitu Impey dan Child (2008), hanya mengelompokkan 2
kategori, yaitu emergency dan elective Caesareansection. Disebut emergency apabila
adanya abnormalitas pada power atautidak adekuatnya kontraksi uterus. Passenger bila
malaposisi ataupun malapresentasi. Serta Passage bila ukuran panggul sempit atau
adanya kelainan anatomi.
1) Indikasi Ibu
a. Panggul Sempit Absolut
Pada panggul ukuran normal, apapun jenisnya, yaitu panggul ginekoid,
anthropoid, android, dan platipelloid. Kelahiran pervaginam janin dengan berat
badan normal tidak akan mengalami gangguan. Panggul sempit absolut adalah
ukuran konjungata vera kurang dari 10 cm dan diameter transversa kurang dari 12
cm. Oleh karena panggul sempit, kemungkinan kepala tertahan di pintu atas
panggul lebih besar, maka dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan
kepala. Hal ini dapat mengakibatkan inersia uteri serta lambatnya pembukaan
serviks (Prawirohardjo, 2009).
b. Tumor yang dapat mengakibatkan Obstruksi
Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam. Tumor
yang dapat dijumpai berupa mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim.
Adanya tumor bisa juga menyebabkan resiko persalinan pervaginam menjadi
lebih besar. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan
apakah persalinan dapat berlangsung melalui vagina atau harus dilakukan
tindakan sectio caesarea.
Pada kasus mioma uteri, dapat bertambah besar karena pengaruh hormon
estrogen yang meningkat dalam kehamilan. Dapat pula terjadi gangguan sirkulasi
dan menyebabkan perdarahan. Mioma subserosum yang bertangkai dapat terjadi
torsi atau terpelintir sehingga menyebabkan rasa nyeri hebat pada ibu hamil
(abdomen akut). Selain itu, distosia tumor juga dapat menghalangi jalan lahir.
Tumor ovarium mempunyai arti obstetrik yang lebih penting. Ovarium
merupakan tempat yang paling banyak ditumb uhi tumor. Tumor yang besar dapat
menghambat pertumbuhan janin sehingga menyebabkan abortus dan bayi
prematur, selain itu juga dapat terjadi torsi. Tumor seperti ini harus diangkat pada
usia kehamilan 16-20 minggu. Adapun kanker rahim, terbagi menjadi dua; kanker
leher rahim dan kanker korpus rahim. Pengaruh kanker rahim pada persalinan
antara lain dapat menyebabkan abortus, menghambat pertumbuhan janin, serta
perdarahan dan infeksi. (Mochtar,1998).
c. Plasenta Previa
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan
yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan
yang berat, dan jika tidak mendapat penanganan yang cepat bisa mengakibatkan
syok yang fatal. Salah satu penyebabnya adalah plasenta previa.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terdapat di bagian atas uterus. Sejalan
dengan bertambah besarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah
proksimal memungkinkan plasenta mengikuti perluasan segmen bawah rahim.

Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta


melalui pembukaan jalan lahir. Disebut plasenta previa komplit apabila seluruh
pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta. Plasenta previa parsialis apabila
sebagian permukaan tertutup oleh jaringan. Dan disebut plasenta previa
marginalis apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
(Decherney, 2007).
d. Ruptur Uteri
Ruptura uteri baik yang terjadi dalam masa hamil atau dalam proses
persalinan merupakan suatu malapetaka besar bagi wanita dan janin yang
dikandungnya. Dalam kejadian ini boleh dikatakan sejumlah besar janin atau
bahkan hampir tidak ada janin yang dapat diselamatkan, dan sebagian besar dari
wanita tersebut meninggal akibat perdarahan, infeksi, atau menderita kecacatan
dan tidak mungkin bisa menjadi hamil kembali karena terpaksa harus menjalani
histerektomi. (Prawirohardjo, 2009). Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada
rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan
rongga peritoneum (Mansjoer, 1999). Kausa tersering ruptur uteri adalah
terpisahnya jaringan parut bekas sectio caesarea sebelumnya.
(Lydon,2001).Selain itu, ruptur uteri jugadapat disebabkan trauma atau operasi
traumatik, serta stimulus berlebihan. Namun kejadiannya relatif lebih kecil
(Cunningham, 2005).
e. Disfungsi Uterus
Mencakup kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan tidak
adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim. Dan ini membuat
kemajuan persalinan terhenti sehingga perlu penanganan dengan sectio caesarea
(Prawirohardjo, 2009)
f. Solutio Plasenta
Disebut juga abrupsio plasenta, adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
plasenta sebelum janin lahir. Ketika plasenta terpisah, akan diikuti pendarahan
maternal yang parah. Bahkan dapat menyebabkan kematian janin. Plasenta yang
terlepas seluruhnya disebut solutio plasenta totalis, bila hanya sebagian disebut
solutio plasenta parsialis, dan jika hanya sebagian kecil pinggiran plasenta yang
terpisah disebut ruptura sinus marginalis (Impey, 2008).
2) Indikasi Janin
a. Kelainan Letak
a) Letak Lintang
Pada letak lintang, biasanya bahu berada di atas pintu atas panggul
sedangkan kepala berada di salah satu fossa iliaka dan bokong pada sisi yang
lain. Pada pemeriksaan inspeksi dan palpasi didapati abdomen biasanya
melebar dan fundus uteri membentang hingga sedikit di atas umbilikus. Tidak
ditemukan bagian bayi di fundus, dan balotemen kepala teraba pada salah satu
fossa iliaka. Penyebab utama presentasi ini adalah relaksasi berlebihan
dinding abdomen akibat multiparitas yang tinggi. Selain itu bisa juga
disebabkan janin prematur, plasenta previa, uterus abnormal, cairan amnion
berlebih, dan panggul sempit. (Cunningham, 2005).
b) Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan bagian
terendahnya bokong, kaki, atau kombinasi keduanya. Dengan insidensi 3
4% dari seluruh persalinan aterm. Presentasi bokong adalah malpresentasi
yang paling sering ditemui. Sebelum usia kehamilan 28 minggu, kejadian
presentasi bokong berkisar antara 25 30%. (Decherney,2007). Faktor resiko
terjadinya presentasi bokong ini antara lain prematuritas, abnormalitas uterus,
polihidamnion, plasenta previa, multiparitas, dan riwayat presentasi bokong
sebelumnya. (Fischer,2006).
c) Presentasi Ganda atau Majemuk
Presentasi ini disebabkan terjadinya prolaps satu atau lebih ekstremitas
pada presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki panggul
bersamaan dengan kaki dan atau tangan. Faktor yang meningkatkan kejadian
presentasi ini antara lain prematuritas, multiparitas, panggul sempit,
kehamilan ganda (Prawirohardjo, 2009).
b. Gawat Janin
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin
(DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam cairan amnion.
Untuk keperluan klinik perlu ditetapkan kriteria yang termasuk keadaan gawat
janin. Disebut gawat janin, bila ditemukan denyut jantung janin di atas 160/menit
atau di bawah 100/menit, denyut jantung tak teratur, atau keluarnya mekonium
yang kental pada awal persalinan. (Prawirohardjo, 2009). Keadaan gawat janin
pada tahap persalinan memungkinkan dokter memutuskan untuk melakukan
operasi. Terlebih apabila ditunjang kondisi ibu yang kurang mendukung. Sebagai
contoh, bila ibu menderita hipertensi atau kejang pada rahim yang dapat
mengakibatkan gangguan pada plasenta dan tali pusar. Sehingga aliran darah dan
oksigen kepada janin menjadi terganggu. Kondisi ini dapat mengakibatkan janin
mengalami gangguan seperti kerusakan otak. Bila tidak segera ditanggulangi,
maka dapat menyebabkan kematian janin. (Oxorn, 2003)

c. Ukuran Janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby),
menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan janin yang
berlebihan disebabkan sang ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Bayi
yang lahir dengan ukuran yang besar dapatmengalami kemungkinan komplikasi
persalinan 4 kali lebih besar daripada bayi dengan ukuran normal. (Oxorn, 2003).
Menentukan apakah bayi besar atau tidak terkadang sulit. Hal ini dapat
diperkirakan dengan cara :
Adanya riwayat melahirkan bayi dengan ukuran besar, sulit dilahirkan atau
ada riwayat diabetes melitus.
Kenaikan berat badan yang berlebihan tidak oleh sebab lainnya (edema, dll).
Pemeriksaan disproporsi sefalo atau feto-pelvik.
3) Indikasi Ibu dan Janin
a. Gemelli atau Bayi Kembar
Kehamilan kembar atau multipel adalah suatu kehamilan dengan dua janin atau
lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan ganda (2 janin), triplet (3
janin), kuadruplet (4 janin), quintuplet (5 janin) dan seterusnya sesuai dengan
hukum Hellin. Morbiditas dan mortalitas mengalami peningkatan yang nyata
pada kehamilan dengan janin ganda. Oleh karena itu, mempertimbangkan
kehamilan ganda sebagai kehamilan dengan komplikasi bukanlah hal yang
berlebihan. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain anemia pada ibu, durasi
kehamilan yang memendek, abortus atau kematian janin baik salah satu atau
keduanya, gawat janin, dan komplikasi lainnya. Demi mencegah komplikasi
komplikasi tersebut, perlu penanganan persalinan dengan sectio caesarea untuk
menyelamatkan nyawa ibu dan bayi bayinya.(Prawirohardjo, 2009).

b. Riwayat Sectio Caesarea


Sectio caesarea ulangan adalah persalinan dengan sectio caesarea
yangdilakukan pada seorang pasien yang pernah mengalami sectio caesarea
pada persalinan sebelumnya, elektif maupun emergency. Hal ini perlu dilakukan
jika ditemui hal hal seperti :
Indikasi yang menetap pada persalinan sebelumnya seperti kasus panggul
sempit.
Adanya kekhawatiran ruptur uteri pada bekas operasi sebelumnya.
c. Preeklampsia dan Eklampsia
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema
setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Bila tekanan
darah mencapai 160/110 atau lebih, disebut preeklampsia berat.Sedangkan
eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan karena kelainan neurologi)
dan atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala preeklampsia.
Janin yang dikandung ibu dapat mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen
sehingga dapat terjadi gawat janin. Terkadang kasus preeklampsia dan eklampsia
dapat menimbulkan kematian bagi ibu, janin, bahkan keduanya.
(Decherney,2007).
4) Indikasi Sosial
Menurut Mackenzie et al (1996) dalam Mukherjee (2006), permintaan ibu
merupakan suatu faktor yang berperan dalam angka kejadian sectiocaesarea yaitu
mencapai 23%. Di samping itu, selain untuk menghindarisakit, alasan untuk
melakukan sectio caesarea adalah untuk menjaga tonus otot vagina, dan bayi dapat
lahir sesuai dengan waktu yang diinginkan. Walaupun begitu, menurut FIGO (1999)
dalam Mukherjee (2006), pelaksanaan sectio caesarea tanpa indikasi medis tidak
dibenarkan secara etik.
3. Jenis-Jenis Sectio Caesaria
a. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
a) Sectio caesarea transperitonealis :
Sectio caesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang padakorpus
uteri. Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira
kira sepanjang 10 cm.
Sectio caesarea ismika atau profunda atau low cervical denganinsisi pada
segmen bawah rahim. Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf
pada segmen bawah rahim kira kira 10 cm.
b) Sectio caesarea ekstraperitonealis
Sectio caesarea yang dilakukan tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan
demikian tidak membuka kavum abdominal.
b. Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :
Sayatan memanjang (vertikal) menurut Kronig
Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
Insisi Klasik
Sayatan huruf T terbalik (T-incision).
4. Komplikasi
Komplikasi dilakukannya sectio cecarea menurut Wiknjosastro (2002) antara lain :
a. Infeksi puerperal, dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Ringan, kenaikan suhu beberapa hari saja
2) Sedang, kenaikan suhu lebih tinggi disertai dehidrasi dan perut sedikit
kembung
3) Berat, dengan peritonitis, sepsis danileus paralitik
b. Perdarahan disebabkan oleh banyak pembuluh darah yang terputus, terbuka, atonia
uteri serta perdarahan pada placenta
c. Luka kandung kemih, emboli paru
d. Kemungkinan ruptur uteri spontan pada kehamilan sekarang.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan post operasi sectio caesarea, antara lain :
a. Periksa dan catat tanda tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit
pada 4 jam kemudian.
b. Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat.
c. Pemberian tranfusi darah, bila terjadi perdarahan post partum.
d. Pemberian antibiotika.
e. Walaupun pemberian antibiotika sesudah sesar efektif dapat dipersoalkan, namun pada
umumnya pemberiannya dianjurkan.
f. Mobilisasi.
g. Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat tidur dengan
dibantu paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita sudah dapat berjalan ke kamar
mandi dengan bantuan.
h. Pemulangan
i. Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari kelima setelah
operasi (Mochtar Rustam, 2002).
4. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian Fokus
a. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita hipertermia malignan atau reaksi anastesi?
b. Riwayat penyakit hepatik, alergi terhadap obat, makanan, plester, dan larutan.
2. Pengkajian Kata Dasar
a. Sirkulasi
Riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau stasis
vaskuler (peningkatan pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya faktor stres multipel. Dengan
tanda tidak dapat beristirahat dan peningkatan tegangan.
c. Makanan/cairan
Malnutrisi, membran mukosa yang kering, pembatasan puasa praoperasi.
d. Pernafasan
Adanya kondisi kronik/batuk, merokok.
e. Keamanan
Riwayat transfusi darah dan tanda munculnya proses infeksi.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, dan pencocokan silang, tes Coombs.
b. USG : melokalisasi plasenta, menentukan pertumbuhan, kedudukan, dan presentasi
janin.
c. Urinalisis : menentukan kadar albumin/glukosa.
d. Kultur : mengidentifikasi adanya virus herpes simpleks tipe II.
e. Pelvimetri : menentukan CPD.
f. Amniosentesis : mengkaji maturitas paru janin.
g. Tes stres kontraksi atau tes nonstres : mengkaji respon janin terhadap gerakan/stres
dari pola kontraksi uterus atau pola abnormal.
h. Pemantauan elektronik kontinue : memastikan status janin atau aktivitas uterus
(Doengoes, 2001).
4. Diagnosa Keperawatan
a. Hambatan Mobilitas Fisik
b. Nyeri akut
c. Resiko Infeksi
d. Kekurangan volume cairan
e. Intoleransi aktifitas
f. Ketidakefektifan manajemen laktasi
5. Intervensi
a. Hambatan Mobilitas Fisik
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan nyeri. Hasil
yang diharapkan : mempertahankan posisi fungsi dibuktikan tidak adanya kontraktur,
meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit / kompensasi,
dan mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan kembali
aktivitas.
Intervensi
Kaji fungsi motorik dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan.
Rasional : mengevaluasi keadaan khusus.pada beberapa lokasi trauma
mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi.
Catat tipe anestesi yang diberikan pada saat intra partus pada waktu klien sadar.
Rasional : pengaruh anestesi dapat mempengaruhi aktifitas klien.
Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan, seperti bel
atau lampu pemanggil. Rasional : Membuat pasien memiliki rasa aman, dapat
mengatur diri dan mengurangi ketakutan karena ditinggal sendiri.
Bantu / lakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan
perlahan dan lembut. Rasional : meningkatkan sirkulasi, meningkatkan mobilisasi
sendi dan mencegah kontraktur dan atrofi otot.
b. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi
Hasil yang diharapkan : dapat mengontrol rasa nyerinya dengan kriteria hasil mampu
mengidentifikasikan cara mengurangi nyeri, mengungkapkan keinginan untuk
mengontrol nyerinya, dan mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, dan lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu memudahkan tindakan
keperawatan.
Ajarkan dan catat tipe nyeri serta tindakan untuk mengatasi nyeri. Rasional :
meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang di dalamnya.
Ajarkan teknik relaksasi. Rasional : meningkatkan kenyamanan klien.
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
Rasional : tirah baring diperlukan pada awal selama fase reteksi akut.
Anjurkan menggunakan kompres hangat.
Rasional : membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi Rasional : mengurangi nyeri.
c. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah,
perubahan dalam kemampuan pembekuan darah.
Hasil yang diterapkan : adanya tanda-tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi
dengan kualitas baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran
urine yang sesuai.
Intervensi
Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intraoperasi.
Rasional : membantu mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan
penggantian.
Kaji pengeluaran urinarius.
Rasional : mengindikasikan malfungsi atau obstruksi sistem urinarius.
Awasi TD, nadi, dan tekanan hemodinamik.
Rasional : hipoteksi, takikardia penurunan tekanan hemodinamik menunjukan
kekurangan cairan.
Catat munculnya mual/muntah. Rasional : mual yang terjadi 1224 jam
pascaoperasi dihubungkan dengan anestesi; mual lebih dari tiga hari pascaoperasi
dihubungkan dengan narkotik untuk mengontrol rasa sakit atau terapi obat-obatan
lainnya.
Periksa pembalut atau drain pada interval reguler. Kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan. Rasional : pendarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada
hipovolemia/hemoragi. Pembengkakan lokal mengindikasikan formasi
hematoma/pendarahan.
Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer. Rasional : kulit dingin/lembab, denyut
lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer.
Pasang kateter urinarius sesuai kebutuhan.
Rasional : memberikan mekanisme untuk memantau pengeluaran urinarius yang
adekuat.
Berikan cairan parental, produksi darah dan/ atau plasma ekspander sesuai
petunjuk. Rasional : gantikan kehilangan cairan. Catat waktu penggunaan volume
sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi.
d. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Resti infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan kulit, pemajanan pada
patogen. Hasil yang diharapkan : tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor,
tumor dan fungsio laesa), tanda-tanda vital normal terutama suhu (36-370C), dan
pencapaian tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi.
Intervensi :
Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : suhu yang meningkat, dapat menunjukkan terjadinya infeksi (color).
Kaji luka pada abdomen dan balutan.
Rasional : mengidentifikasi apakah ada tanda-tanda infeksi adanya pus
Menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan klien, rawat luka dengan teknik
aseptik.
Rasional : mencegah kontaminasi silang/penyebaran organisme infeksius.
Dapatkan kultur darah, vagina, dan plasenta sesuai indikasi.
Rasional : mengidentifikasi organisme yang menginfeksi dan tingkat keterlibatan.
Catat hemoglobin dan hematokrit. Catat perkiraan kehilangan darah selama
prosedur pembedahan.
Rasional : risiko infeksi pasca melahirkan dan penyembuhan buruk meningkat
bila kadar hemoglobin rendah dan kehilangan darah berlebihan.
Berikan antibiotik pada praoperasi.. Rasional : mencegah terjadinya proses
infeksi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri,
pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu,
Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik. Intervensi dan rasional :
Rencanakan periode istirahat yang cukup.
Rasional: mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
Rasional : tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara
perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
Rasional : mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
Rasional : menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai
akibat dari latihan.
f. Ketidakefektifan manajemen laktasi
Tidak efektifnya laktasi berhubungan dengan perpisahan dengan bayi. Hasil yang
diharapkan :dapat mengidentifikasi aktivitas yang menentukan atau meningkatkan
menyusui yang berhasil.
Intervensi
Kaji isapan bayi, jika ada lecet pada putting. Rasional : menentukan kermampuan
untuk memberikan perawatan yang tepat.
Anjurkan klien breast care dan menyusui yang efektif. Rasional : mempelancar
laktasi.
Anjurkan klien memberikan asi esklusif.
Rasional : ASI dapat memenuhu kebutuhan nutrisi bagi bayi sehingga
pertumbuhan optimal.
Berikan informasi untuk rawat gabung.
Rasional : menjaga meminimalkan tidak efektifnya laktasi.
Anjurkan bagaimana cara memeras, menyimpan, dan mengirim atau memberikan
ASI dengan aman.
Rasional : menjaga agar ASI tetap bisa digunakan dan tetap higienis bagi
bayi.

DAFTAR PUSTAKA

Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC


Carpenito- Moyet,Lynda juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC.
Doenges E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC.
Farrer, Helen. 2001. Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Llewellyn-Jones, Derek. 2002. Dasar-Dasar Obstetri Dan Ginekologi. Jakarta : Hipokartes
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Purwaningsih, Wahyu. 2010. Asuhan Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Vol.2
Edisi 8. Jakarta : EGC.

You might also like