You are on page 1of 176

LAPORAN KEASISTENAN HUBUNGAN

INTERNASIONAL

EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL


SOH 305

Alfionita Rizky Perdana


071311233080

Pembimbing : Dra. Lilik Salamah, M.Si

Departemen Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
SEMESTER GENAP 2015/2016

Ekonomi Politik Internasional 1


Kata Pengantar

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena


berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyusun
laporan asistensi ini tepat pada waktunya. Laporan asistensi ini
membahas mengenai Ekonomi Politik Internasional.
Dalam penyusunan laporan asistensi ini, penulis banyak
mendapat tantangan dan hambatan, akan tetapi dengan bantuan
dari berbagai pihak tantangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan asistensi ini.
Penulis menyadari bahwa laporan asistensi ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca begitu penulis harapkan
untuk penyempurnaan karya-karya tulis lainnya.
Akhir kata semoga laporan asistensi ini dapat memberikan
manfaat kepada kita sekalian.

Surabaya, 21 Juni 2016

Penulis

Ekonomi Politik Internasional 2


Daftar Isi
Halaman
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR. 2
DAFTAR ISI.. 3
Garis Besar Program Pengajaran. 6
Satuan Acuan Pembelajaran. 14
BAB I Pendahuluan. 22
BAB II Apa Itu Ekonomi Politik Internasional ?.......... 29
BAB III Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme :
Pendekatan Besar dalam Ekonomi Politik
Internasional.. 38
BAB IV Kepemimpinan, Hegemoni, dan Stabilitas :
Tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional.. 50
BAB V Dari Perdagangan Internasional ke
Imperialisme : Ekspansi Global dalam Ekonomi
Politik Internasional 60
BAB VI Great Depression, Keynesianisme, dan
Fordisme :Krisis dan regulasi dalam Ekonomi Politik
Internasional. 71
BAB VII Dari Standar Emas ke Sistem Bretton
Woods : Institusionalisasi dalam Ekonomi Politik

Ekonomi Politik Internasional 3


Internasional.. 83
BAB VIII Developmentalisme, Industrialisasi,
dan Dependensi : Inklusi Non-Kapitalis dalam
Ekonomi Politik Internasional.. 95
BAB IX Negara, Korporasi Multinasional,
dan Kapitalis Transnasional : Agensi dalam
Ekonomi Politik Internasional.. 105
BAB X Pos-Bretton Woods dan Casino
Capitalism : Struktur Finansial Ekonomi Politik
Internasional 116
BAB XI Washington Consensus, Structural
Adjustment, dan Neoliberalisme : Monetarisme
dalam Ekonomi Politik Internasional. 126
BAB XII Pos-Fordisme, Globalisasi, dan Ekonomi
Informasional : Perubahan Produksi dalam Ekonomi
Politik Internasional 135
BAB XIII GATT, Blok Regional, dan WTO :
Integrasi dalam Ekonomi Politik Internasional... 148
BAB XIV Dari Krisis Asia ke Krisis Amerika
Serikat Kemudian Apa Selanjutnya ? : Prospek
dalam Ekonomi Politik Internasional 159
BAB XV Kesimpulan 169

Ekonomi Politik Internasional 4


DAFTAR PUSTAKA.. 171

Ekonomi Politik Internasional 5


GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP)

Nama Mata Ajaran : Ekonomi Politik Internasional


Kode Mata Ajaran : SOH305
Pengajar : 1. Citra Hennida, MA (Koordinator)
2. Moch Yunus, MA (anggota)
Asisten Dosen : Ni Putu Indah Maharani (071311233097)
Alfionita Rizky Perdana (071311233080)
Semester : Genap; 2016
Hari pertemuan : Selasa/ pukul 15.30-18.00 WIB
Tempat Pertemuan : FISIP A-304 dan A-310

1. Deskripsi Perkuliahan
Mata ajaran ini membahas mengenai berbagai perspektif ekonomi
politik (seperti misalnya perspektif Keynesian, Marxis, 'public
policy', dan kausa sirkulasi) serta menjelaskan berbagai
permasalahan yang menyangkut keterikatan politik pada ekonomi
dalam skala internasional. Pembahasan lebih menekankan pada
interaksi/hubungan antar aktor negara dan bukan negara seperti
perusahaan multinasional dan organisasi non-pemerintah
internasional. Dengan mengikuti mataajaran ini secara aktif para

Ekonomi Politik Internasional 6


mahasiswa dapat diharapkan akan mampu menganalisis berbagai
persoalan ekonomi politik internasional.

2. Manfaat Mata Kuliah


Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan aspek-aspek atau fenomena internasional dalam
perspektif yang menempatkan persinggungan antara persoalan
ekonomi dan persoalan politik sebagai dasar analisis

3. Tujuan Instruksional
Dengan mengikuti mata ajaran ini secara aktif para mahasiswa
diharapkan mampu menganalisis berbagai persoalan ekonomi politik
internasional. Mata ajaran ini membahas mengenai berbagai
perspektif ekonomi-politik (seperti misalnya perspektif
Keynesianisme, Marxisme, public policy, dan kausa-sirkulasi) serta
menjelaskan berbagai permasalahan yang menyangkut keterikatan
politik pada ekonomi dalam skala internasional. Pembahasan lebih
menekankan pada interaksi/hubungan antar aktor negara dan bukan
Negara, seperti perusahaan multinasional dan organisasi non-
pemerintah internasional.

Ekonomi Politik Internasional 7


4. Strategi Perkuliahan
Strategi instruksional yang digunakan pada mata kuliah ini
terdiri dari:
a. Urutan kegiatan instruksional berupa: pendahuluan (TIU dan
TIK, cakupan materi pokok bahasan, dan relevansi), penyajian
(uraian, contoh, diskusi, evaluasi), dan penutup (umpan balik,
ringkasan materi, petunjuk tindak lanjut, pemberian tugas di
rumah, gambaran singkat tentang materi berikutnya)
b. Metode instruksional menggunakan: metode ceramah,
demonstrasi, tanya-jawab, diskusi kasus, dan penugasan.
Ceramah berupa penyampaian bahan ajar oleh dosen
pengajar dan penekanan-penekanan pada hal-hal yang
penting dan bermanfaat
Tanya jawab dilakukan sepanjang tatap muka, dengan
memberikan kesempatan mahasiswa untuk memberi
pendapat atau pertanyaan tentang hal-hal yang tidak
mereka mengerti atau bertentangan dengan apa yang
mereka pahami sebelumnya.
Diskusi kasus dilakukan dengan memberikan contoh
kasus/kondisi pada akhir pokok bahasan, mengambil tema
yang sedang aktual yang relevan dengan pokok bahasan
tersebut, kemudian mengajak mahasiswa untuk

Ekonomi Politik Internasional 8


memberikan pendapat atau menganalisis secara kritis
kasus/kondisi tersebut sesuai dengan pengetahuan yang
baru mereka dapatkan.
Penugasan diberikan untuk membantu mahasiswa
memahami bahan ajar, membuka wawasan, dan
memberikan pendalaman materi. Penugasan bisa dalam
bentuk menulis tulisan ilmiah, membuat review artikel
ilmiah, ataupun membuat tulisan yang membahas
kasus/kondisi yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pada
penugasan ini, terdapat komponen ketrampilan menulis
ilmiah, berpikir kritis, penelusuran referensi ilmiah, dan
ketrampilan bahasa Inggris.
c. Media instruksional berupa: LCD projector, whiteboard,
artikel aktual di surat kabar/internet/majalah/jurnal ilmiah,
buku diktat bahan ajar, handout, dan kontrak perkuliahan.

5. Tugas, bahan kuliah dan evaluasi


Dalam perkuliahan, diberikan beberapa tugas sebagai berikut:
a. Materi perkuliahan sebagaimana disebutkan dalam jadwal
perkuliahan harus sudah dibaca sebelum mengikuti tatap muka.
Bahan ajar harus diserahkan pada mahasiswa sebelum hari
kuliah.

Ekonomi Politik Internasional 9


b. Evaluasi mahasiswa dilakukan dengan mengadakan UTS,
UAS, tugas-tugas jurnal/mingguan dan quiz bila perlu.
c. Penugasan sesuai pokok bahasan, yang harus sudah
diselesaikan sesuai dengan waktu yang disepakati.

6. Kriteria Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh pengajar dengan menggunakan
kriteria yang telah ditetapkan FISIP, sebagai berikut:
Nilai dalam Rentang nilai Bobot
huruf
A 75 80 4,0
AB 70 - 74,9 3,5
B 65 69,9 3,0
BC 60 64,9 2,5
C 55 59,9 2,0
D 40 54,9 1,0
E < 40 0

Pembobotan nilai adalah sebagai berikut.


Bobot evaluasi terdiri dari:
UTS: 20 % (ujian lisan)
UAS: 40 % (final paper dan presentasi)

Ekonomi Politik Internasional 10


Tugas-tugas: 25 %
Keaktifan di kelas (presentasi, penyangggah, tanya jawab): 15
%

7. Daftar Bacaan
1. Arrighi, Giovani, 2006. The Long Twentieth Century.
London: Verso
2. Brown, Michael B., 1995. Models in Political
Economy. London: Penguin.
3. Castells, Manuell, 1996. The Rise of the Network
Society. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
4. Dunford, Michael, 2000. Globalization and Theories of
Regulation. In: Palan, Ronen, Global Political
Economy: Contemporary Theories. London:
Routlledge, pp. 143-167.
5. Fischer, Stanley, 1998. Asian Crisis: The View from
the IMF, Journal of International Financial
Management and Accounting. 9(2), pp. 167-176
6. Frieden, Jeffrey A., 2006. Global Capitalism: Its Fall
and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W.
Norton & Co. Inc.

Ekonomi Politik Internasional 11


7. Gilpin, Robert, 1987. The Political Economy of
International Relations. Princeton : Princeton
University Press, pp. 25-64.
8. Gilpin, Robert, 2001. Global Political Economy:
Understanding the International Economic Order.
Princeton: Princeton University Press
9. Gramsci, Antonio, 1971. Selections from the Prison
Notebooks. London: Lawrence & Wishart
10. Harvey, David, 2007. Freedoms Just Another Word.
In: A Brief History of Neo-Liberalism. Oxford: Oxford
University Press, pp. 5-38.
11. Hobsbawm, Eric, 1987. The Age of Empire 1875-1914.
London: Weidenfield & Nicolson
12. Hoogvelt, Ankie, 1997. Globalization and the Post-
Colonial World: the New Political Economy of
Development. Baltimore: The John Hopkins University
Press
13. Jackson, Robert, & George Sorensen, 1999.
Introduction to International Relations. Oxford :
Oxford University Press, pp. 175-216.
14. Lairson, Thomas D., & D. Skidmore, 1993.
International Political Economy: The Struggle for

Ekonomi Politik Internasional 12


Power and Wealth. Orlando: Harcourt Brace College
Publishers
15. Magdoff, Harry, 1978. Imperialism: From the Colonial
Age to the Present. New York: Monthly Review Press.
16. Naim, Moises, 2000. Foreign Policy. No. 118, pp. 86-
103
17. Peet, Richard, 2003. Unholy Trinity: The IMF, World
Bank, and WTO. London: Zed Books
18. Raphael, D.D., Donald Winch, & Robert Skidelsky,
1997. Three Great Economists: Smith, Maltus, Keynes.
Oxford: Oxford University Press
19. Ravenhill, John, 2008. Global Political Economy.
Oxford: Oxford University Press
20. Robinson, William I., 2004. A Theory of Global
Capitalism: Production, Class, and State in a
Transnational World. Baltimore: The John Hopkins
University Press
21. Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its
Discontents. London: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 89-
132.
22. Strange, Susan, 1986. Casino Capitalism. Oxford: Basil
Blackwell Ltd., pp.1-24

Ekonomi Politik Internasional 13


SATUAN AJAR PEMBELAJARAN (SAP)
DETAIL PERKULIAHAN
1. Mata Ajar : Ekonomi Politik Internasional
2. Kode : SOH 305
3. SKS : 3
4. Semester : Semester genap, semester
terbuka; 2016
5. Deskripsi : Mata kuliah ini akan membawa
sejumlah perspektif dalam
ekonomi politik seperti
Keynesianisme, Marxisme,
public policy, dan kausa
sirukulasi, juga termasuk akan
menjelaskan isu-isu berkaitan
dengan Ekonomi dan politik
internasional. Lebih lanjut,
pembahasan dalam mata kuliah
ini akan menekankan pada
interaksi/hubungan antara aktor
negara dan non-negara (contoh
: Multinational Corporations
(MNC), International Non-

Ekonomi Politik Internasional 14


Governmental Organizations
(INGO))
6. Manfaat Utama : Mahasiswa dapat mengerti dan
memberi sebuah penjelasan
lengkap mengenap apa itu
ekonomi politik internasional
dan aspek-aspek atau
fenomena-fenomena
internasional dari perspektif-
perspektif, yang menjadi latar
belakang analisis permasalahan
ekonomi dan politik.
7. PJMA : Citra Hennida, MA
Staf Pengajar : Moch Yunus, MA
Asisten Dosen :
Ni Putu Indah Maharani (071311233097)
Alfionita Rizky Perdana (071311233080)

Ekonomi Politik Internasional 15


Ekonomi Politik Internasional 16
Ekonomi Politik Internasional 17
Ekonomi Politik Internasional 18
BAHAN BACAAN:

1. Arrighi, Giovani, 2006. The Long Twentieth Century.


London: Verso
2. Brown, Michael B., 1995. Models in Political Economy.
London: Penguin.
3. Castells, Manuell, 1996. The Rise of the Network Society.
Oxford: Basil Blackwell Ltd.
4. Dunford, Michael, 2000. Globalization and Theories of
Regulation. In: Palan, Ronen, Global Political Economy:
Contemporary Theories. London: Routlledge, pp. 143-167.
5. Fischer, Stanley, 1998. Asian Crisis: The View from the
IMF, Journal of International Financial Management and
Accounting. 9(2), pp. 167-176
6. Frieden, Jeffrey A., 2006. Global Capitalism: Its Fall and
Rise in the Twentieth Century. New York: W.W. Norton &
Co. Inc.
7. Gilpin, Robert, 1987. The Political Economy of
International Relations. Princeton : Princeton University
Press, pp. 25-64.

Ekonomi Politik Internasional 19


8. Gilpin, Robert, 2001. Global Political Economy:
Understanding the International Economic Order.
Princeton: Princeton University Press
9. Gramsci, Antonio, 1971. Selections from the Prison
Notebooks. London: Lawrence & Wishart
10. Harvey, David, 2007. Freedoms Just Another Word. In:
A Brief History of Neo-Liberalism. Oxford: Oxford
University Press, pp. 5-38.
11. Hobsbawm, Eric, 1987. The Age of Empire 1875-1914.
London: Weidenfield & Nicolson
12. Hoogvelt, Ankie, 1997. Globalization and the Post-
Colonial World: the New Political Economy of
Development. Baltimore: The John Hopkins University
Press
13. Jackson, Robert, & George Sorensen, 1999. Introduction to
International Relations. Oxford : Oxford University Press,
pp. 175-216.
14. Lairson, Thomas D., & D. Skidmore, 1993. International
Political Economy: The Struggle for Power and Wealth.
Orlando: Harcourt Brace College Publishers
15. Magdoff, Harry, 1978. Imperialism: From the Colonial
Age to the Present. New York: Monthly Review Press.

Ekonomi Politik Internasional 20


16. Naim, Moises, 2000. Foreign Policy. No. 118, pp. 86-103
17. Peet, Richard, 2003. Unholy Trinity: The IMF, World Bank,
and WTO. London: Zed Books
18. Raphael, D.D., Donald Winch, & Robert Skidelsky, 1997.
Three Great Economists: Smith, Maltus, Keynes. Oxford:
Oxford University Press
19. Ravenhill, John, 2008. Global Political Economy. Oxford:
Oxford University Press
20. Robinson, William I., 2004. A Theory of Global
Capitalism: Production, Class, and State in a
Transnational World. Baltimore: The John Hopkins
University Press
21. Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents.
London: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 89-132.
22. Strange, Susan, 1986. Casino Capitalism. Oxford: Basil
Blackwell Ltd., pp.1-24.

Ekonomi Politik Internasional 21


Pendahuluan
Buku ini membahas mengenai Ekonomi Politik
Internasonal. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang khas dan asli
ditemukan dalam studi Hubungan Internasional, Ekonomi Politik
Internasional menjadi sama pentingnya dengan disiplin ilmu lain
untuk dipelajari. Laporan asistsnsi yang berbentuk buku ini terdiri
dari 15 bab. 13 bab di antaraanya merupakan 13 topik dalam
perkuliahan Ekonomi Politik Internasional. Bab pertama dalam
buku ini berisi pendahuluan yang menjelaskan mengenai gambaran
umum rangkaian materi perkuliahan dengan tujuan atau sasaran
pembelajaran.
Pada bab kedua buku ini akan menjelaskan mengenai
definisi Ekonomi Politik Internasional. Berkaitan dengan definisi,
konsep umum mengenai Ekonomi Politik Internasional dibahas
dalam bab ini. Di dalam bab ini pula akan dijelaskan mengenai
perkembangan Ekonomi Politik Internasional, bagaimana ia
muncul dan menemukan urgensinya. Dilanjutkan pembahasan
mengenai state of art dari Ekonomi Politik Internasional dan apa
yang kemudian membedakannya dari Ekonomi Politik.
Kemudian pada bab ketiga dibahas mengenai tiga
pendekatan besar dalam Ekonomi Politik Internasional. Ketiga
pendekatan besar tersebut adalah Liberalisme, Marxisme, dan

Ekonomi Politik Internasional 22


Merkantilisme. Di dalam bab ini dijelaskan bagaimana dan seperti
apa masing-masing ketiga pendekatan tersebut memandang
Ekonomi Politik Internasional. Terakhir, dalam bab ini dijelaskan
bagaimana perbedaan dari ketiga pendekatan tersebut.
Bab keempat buku ini membahas mengenai tatanan dalam
Ekonomi Politik Internasional. Di dalam pembahasan bab ketiga
ini akan berfokus pada tiga hal yakni kepemimpinan, hegemoni,
dan stabilitas. Pada bab ini dijelaskan mengenai tiga hal ; yang
pertama didefinisikan terlebih dahulu mengenai tatanan atau orde
dalam Ekonomi Politik Internasional, bagian dua menjelaskan
tentang struktur yang berlaku dalam Ekonomi Politik
Internasional, dan kemudian di bagian terakhir dijelaskan
mengenai siapa yang bertanggungjawab atas tatanan Ekonomi
Politik Internasional saat ini. Bab ketiga ini juga membahas 3 teori
untuk memahami bagaimana tatanan dalam Ekonomi Politik
Internasional yakni stabilitas hegemoni, dualisme, dan modern
world system.
Bab kelima buku Ekonomi Politik Internasioal menjelaskan
mengenai ekspansi global dalam Ekonomi Politik Internasional.
Pembahasan mengenai ekspansi global ini akan berfokus dari
perdagangan internasional hingga imperialisme. Penjelasan bab ini
dimulai dari titik awal dimulainya praktik sosial Ekonomi Politik

Ekonomi Politik Internasional 23


Internasional. Dilanjutkan kemudian pada pembahasan mengenai
motif-motif atau bentuk-bentuk historis yang ada di balik ekspansi
global Ekonomi Politik Internasional. Di bagian terakhir bab
keempat ini pembahasan mengarah pada alasan mengapa praktik
ekspansi global berkembamg ke tingkat internasional.
Bab keenam buku ini menjelaskan mengenai krisis dan
regulasi dalam Ekonomi Politik Internasional. Bab ini berfokus
pada tiga hal yakni Great Depression sebagai unit analisis terkait
krisis, kemudian Fordisme dan Keynesianisme sebagai dua bentuk
regulasi menghadapi krisis. Di bagian awal, buku ini menerangkan
mengenai peristiwa Great Depression bagaimana bisa terjadi dan
dampaknya kemudian. Dilanjutkan di bagian kedua membahas
mengenai Keynesianisme dan Fordisme, bagaimana preskripsi
Keynesianisme dalam mengatasi Great Depression dan bagaimana
sistem atau mekanisme dalam Fordisme yang ikut berperan dalam
membantu pengentasan krisis.
Bab ketujuh membahas mengenai institusionalisasi
Ekonomi Politik Internasional. Pembahasan berfokus pada sistem
standar emas dan sistem Bretton Woods. Pada bagian pertama
pembahasan menjelaskan mengenai sistem standar emas dan
mengapa menimbulkan masalah dalam sistem moneter.
Dilanjutkan di bagian kedua membahas mengenai perlunya

Ekonomi Politik Internasional 24


institusionalisasi Ekonomi Politik Internasional. Kemudian di
bagian ketiga dijelaskan mengenai nilai-nilai yang mendasari
institusionalisasi dalam Ekonomi Politik Internasional
sebagaimana yang tercermin dalam Sistem Bretton Woods.
Pada bab kedelapan buku ini menjelaskan mengenai inklusi
non-kapitalis dalam Ekonomi Politik Internasional. Fokus
pembahasan adalah pada developmentalisme, industrialisasi, dan
dependensi. Bagian pertama akan dimulai dengan penjelasan
mengenai kemunculan inklusi non-kapitalis sebagai preskripsi
alternatif sesudah Perang Dunia II. Kemudian di bagian kedua
pembahasan menerangkan tentang perbedaan inkulis kapitalis dan
non-kapitalis dalam memandang pembangunan.
Jika pada delapan bab sebelumnya membahas mengenai
obyek dalam Ekonomi Politik Internasional, maka pada bab
kesembilan pembahasan menjelaskan tentang agensi dalam
Ekonomi Politik Internasional. Ada tiga aktor dalam Ekonomi
Politik Internasional yang menjadi fokus perkuliahan ini yakni
negara, korporasi multinasional, dan kapitalis transnasional.
Pembahasan akan dimulai dengan uraian tentang signifikansi
ketiga aktor tersebut dan bagaimana relasi ketiganya. Terakhir
setelah memahami masing-masing posisi aktor, maka menjadi

Ekonomi Politik Internasional 25


penting untuk memahami apa yang dimiliki oleh negara untuk
memertahankan posisinya di tengah keberdaan dua aktor lain.
Bab kesepuluh ini menjelaskan tentang struktur finansial
dalam Ekonomi Politik Internaasional. Pembahasan mengenai
struktur finansial dalam Ekonomi Politik Internasional akan terdiri
dari dua hal utama yakni pos-Bretton Woods dan Casino
Capitalism. Penjelasan terkait pos-Bretton Woods akan terdiri dari
bagaimana keruntuhan rezim ini dan dampaknya terhadap struktur
finansial kala itu. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai Casino Capitalism yang mengulas tentang apa yang
dimaksud Casino Capotalism dan bagaimana kemunculannya.
Bab kesebalas buku ini menerangkan mengenai
Monetarisme dalam Ekonomi Politik Internasional. Pembahasan
terkait Monetarisme akan dijelaskan ke dalam tiga sub-pokok
bahasan yakni Washington Consensus, Structural Adjustment, dan
Neoliberalisme. Dijelaskan sebagai awal adalah Monetarisme dan
kaitannya dengan embedded liberalism. Dilanjutkan di bagian
kedua mengenai hubungan Washington Consensus dan Structural
Adjustment dengan Monetarisme dan Neoliberalisme. Terakhir
pembahasan akan mengulas tentang signifikansinya bagi Ekonomi
Politik Internasional.

Ekonomi Politik Internasional 26


Bab keduabelas membahas mengenai perubahan produksi
dalam Ekonomi Politik Internasional. Pembahasan bab keduabelas
ini berfokus pada 3 sub-pokok bahasan yakni globalisasi, global
value chain, dan ekonomi informasional. Masing-masing akan
menjelaskan tentang bagaimana kaitan ketiganya dengan
perubahan model produksi dalam Ekonomi Politik Internasional.
Tentunya dengan dijelaskan terlebih dahulu bagaimana ketiganya
bisa muncul dan seperti apa ilustrasinya.
Kemudian pada bab ketigabelas pembahasan buku ini akan
meneranhkan tentang integrasi dalam Ekonomi Politik
Internasional. Yang menjadi fokus adalah GATT, blok regional,
dan WTO. Integrasi dalam Ekonomi Politik Internasional dalam
perkuliahan ini terdiri dari dua pola yakni global dan regional.
Integrasi global yang ada dalam GATT dan WTO akan dianalisis
seperti apa praktiknya. Dilanjutkan pada bagaimana integrasi
regional yang tengah populer akhir-akhir ini dan dianalisis pula
mengapa terjadi peningkatan tren integrasi regional.
Bab keempatbelas buku ini membahas mengenai prospek
Ekonomi Politik Internasional. Di dalam bab ini akan dijelaskan
mengenai krisis finansial yang terjadi di Asia tahun 1997 serta
sedikit yang terjadi di Amerika Serikat (AS) tahun 2008. Krisis
yang terjadi akan dihubungkan dengan bagaimana IMF sebagai

Ekonomi Politik Internasional 27


lembaga dunia menghadapi krisis ini. Kemudian ketika berbicara
mengenai prospek tentu tidak dapat dilepaskan dari masalah-
masalah apa yang dihadapi oleh Ekonomi Politik Internasional ke
depannya.
Terakhir, buku ini dalam bab kelimabelas ditutup dengan
kesimpulan dari keseluruhan materi perkuliahan yang terdiri dari
13 bab. Kesimpulan ini akan merangkum seperti apa dan
bagaimana Ekonomi Politik Internasional dimulai dari awal hingga
masa depannya.

Ekonomi Politik Internasional 28


Apa Itu Ekonomi Politik Internasional ?

Pendahuluan
inEkonomi Politik Internasional merupakan salah satu
kajian yang khas Hubungan Internasional. Ekonomi Politik
Internasional pada dasarnya telah ada dan dipraktikkan sejak lama.
Sempat dianggap sebagai sebuah hal yang berbeda dan terpisah,
hingga kemudian ekonomi dan politik kembali bersatu dan
dianggap sebagai sebuah hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Hingga saat ini Ekonomi Politik Internasional menjadi salah
satu kajian yang menarik dan banyak ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Pada pembahasan ini, topic mendasar yang perlu
dipahami adalah mengenai definisi, state of art, dan perbedaan
kajian ini dengan kajian lain yakni Ekonomi Politik.

Definisi dan Perkembangan Ekonomi Politik Internasional


Untuk memahami definisi Ekonomi Politik Internasional
perlu dipahami dari dua kata utama penyusunnya yakni ekonomi
dan politik. Ekonomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan
pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan,
perindustrian, dan perdagangan. Sementara itu, politik dimaknai

Ekonomi Politik Internasional 29


sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan
sebagainya) mengenai setidaknya secara sederhana Ekonomi
Politik Internasional dapat dipahami tentang bagaimana proses-
proses dalam pasar memiliki implikasi maupun kaitan dengan
aktivitas politik. Sementara itu, Adam Smith yang dikenal sebagai
bapak Ekonomi menjelaskan bahwa Ekonomi Politik adalah
sebuah cabang ilmu pengetahuan para negarawan dan legislator
dan sebagai panduan menuju manajeman ekonomi nasional yang
lebih bijaksana (Gilpin 2001, 25). Selanjutnya John Stuart Mill
mengartikan ekonomi politik sebagai sebuah ilmu pengetahuan
yang mengajarkan bangsa bagaimana untuk menjadi kaya (Gilpin
2001, 25). Secara keseluruhan, dapat dirangkum pemaknaan
ekonomi politik sebagai sebuah studi yang mempelajari kaitan
antara pasar (ekonomi) dan politik yang dapat diwakili salah
satunya ke dalam bentuk kebijakan.
Ekonomi Politik Internasional sebenarnya telah dimulai
secara praktik sosialnya sejak masa lampau. Setidaknya salah satu
stepping stone dalam praktik Ekonomi Politik Internasional dapat
dilihat dari perdagangan di abad 13 yang melalui jalur sutra (silk
road). Hingga kemudian di abad 15 bangsa-bangsa Eropa mulai
melakukan pelayaran ke luar benuanya. Pelayaran ini disebabkan
karena beberapa alasan di antaranya adalah kelangkaan rempah-

Ekonomi Politik Internasional 30


rempah yang menyebabkan diperlukannya pencarian tempat baru.
Sekilas pelayaran ini terlihat seperti aktivitas ekonomi biasa. Akan
tetapi, pelayaran atau ekspedisi semacam ini sebenarnya memiliki
keterkaitan politis yang terletak dari perumusan keputusan para
negarawan saat itu. Kondisi pasar rempah-rempah yang tidak
berjalan dengan baik di Eropa sementara kebutuhan masyarakat
semakin meningkat mendorong pemerintah mengambil kebijakan
untuk mencari area baru untuk berdagang. Di sini kemudian dapat
terlihat praktik Ekonomi Politik Internasional yang terjadi secara
sederhana.
Akan tetapi, Ekonomi Politik Internasional mulai
mengalami pemisahan. Ekonomi dan politik dianggap terpisah dan
dinilai sebagai dua hal yang berbeda yang harusnya tidak bisa
dikaitkan. Meskipun di era Adam Smith seiring dengan penulisan
buku The Wealth of Nations pemaknaan ekonomi dan politik sama-
sama signifikannya, namun keduanya kemudian mengalami
pemisahan cukup lama. Semakin terlihat perbedaannya saat
kemunculan Positivisme di era tahun 1960-an. Pada masa tersebut,
ekonomi dan politik dianggap dua hal terpisah. Ekonomi berkaitan
dengan hitungan matematis dan politik sebagai ilmu yang
berkarakter pada kualitas, bukan kuantitas. Sehingga, penyatuan
keduanya tidak mungkin dilakukan. Namun demikian di tahun

Ekonomi Politik Internasional 31


1970-an, ada setidaknya dua peristiwa dunia yang kemudian
mendorong manusia untuk mulai memikirkan bahwa ekonomi dan
politik bukan lagi sebagai dua entitas terpisah. Peristiwa pertama
adalah sepanjang masa dtente, mulai bermunculan negara-negara
yang bangkit perekonomiannya, seperti Jepang dan Korea Selatan
(Ravenhill 2008, 18-9). Kebangkitan ekonomi ini di satu sisi
memiliki implikasi politik terkait hubungan antarnegaranya.
Sementara itu, peristiwa kedua adalah di tahun 1970-an tengah
terjadi krisis minyak (Ravenhill 2008, 18-9). Krisis minyak ini
diawali justru akibat boikot yang dilakukan oleh negara-negara
Arab anggota OPEC. Ini dilakukan sebagai reaksi negara-negara
Arab anggota OPEC ketika banyak negara-negara mendukung
Israel sebagai sebuah negara. Padahal minyak merupakan
komoditas paling penting yang menggerakkan perindustrian di
banyak negara maju saat itu. Dari peristiwa-peristiwa ini, publik,
negarawan, hingga ilmuwan mulai menyadari bahwa ada
keterkaitan dan interaksi tercipta antara ekonomi dan politik.
Keduanya tidak bisa dipisahkan karena dalam kondisi-kondisi
tertentu keduanya ikut berhubungan.

Ekonomi Politik Internasional 32


State of Art Ekonomi Politik Internasional
State of art dimaknai sebagai nature atau karakter khas
yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Ekonomi Politik internasional
sebagai sebuah studi memiliki state of art yang berbicara mengenai
bagaimana distribusi perolehan dari kegiatan pasar. State of art
dari Ekonomi Politik Internasional adalah interaksi dari negara dan
pasar (Gilpin 2001, 77). Interaksi negara dan pasar merupakan
sebuah hal yang khas dan tidak dapat dipisahkan dalam Ekonomi
Politik Internasional. Ini yang membedakannya dari studi lain.
Misalnya saja ekonomi, hanya berfokus pada pembahasan
mengenai pasar, efisiensi, dan keuntungan bersama dari pertukaran
ekonomi (Gilpin 2001, 77). Maka dari itu, ketika membicarakan
politik perlu dilihat adakah keterkaitan dan interaksinya dengan
pasar atau ekonomi. Begitu pula dengan ekonomi yang seringkali
diikuti dengan kebijakan pemerintah dan perilaku-perilaku politis
aktor-aktornya. Dapat diambil contoh misalnya bagaimana
Tiongkok yang menggagas Asian Infrastructure Investment Bank
(AIIB) yang dikatakan oleh pemerintah Tiongkok sebagai badan
untuk memberi donasi pembangunan infrastruktur di negara-
negara berkembang di Benua Asia. Di balik kerjasama ekonomi
semacam ini, pada kenyataannya di Asia sudah ada Asian
Development Bank (ADB) yang bergerak di bidang yang sama

Ekonomi Politik Internasional 33


dengan AIIB. Namun Tiongkok tetap bersikukuh untuk
membentuknya. Setelah dilihat lebih lanjut dapat dipahami bahwa
motif Tiongkok adalah untuk menunjukkan eksistensi dan
posisinya sebagai negara yang tengah bangkit perekonomiannya di
percaturan dunia. ADB didominasi kepemimpinannya oleh Jepang
dan ini yang menjadi ketidaksepakatan Tiongkok akan adanya
ADB. Sehingga, motif Tiongkok membentuk AIIB juga dilandasi
persaingannya dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang ikut
menjadi pendonor terbesar di ADB.

Perbedaan Ekonomi Politik Internasional dan Ekonomi Politik


Terlihat dari kata-kata penyusunnya, sebenarnya ada
perbedaan yang ditunjukkan antara ekonomi politik dan ekonomi
politik internasional. Cakupan pembahasan dari kedua kajian ini
berbeda. Ekonomi politik hanya membahas cakupan nasional
sebuah negara, sementara Ekonomi Politik Internasional memiliki
cakupan eksternal sebuah negara. Gilpin (2001, 77) menjelaskan
lebih lanjut untuk menerangkan perbedaan ekonomi politik dan
ekonomi politik internasional. ekonomi hanya berfokus pada
efisiensi dan keuntungan bersama dari pertukaran ekonomi,
sementara ekonomi politik internasional tidak hanya berfokus pada
hal-hal tersebut melainkan juga pada isu-isu yang lebih luas,

Ekonomi Politik Internasional 34


misalnya secara khusus pada distribusi perolehan dari aktivitas
pasar. Selain itu, ekonomi politik internasional lebih tertarik pada
fakta bahwa ekonomi dunia memiliki dampak pada kekuatan, nilai-
nilai, dan otonomi politik dari masyarakat nasional negara. (Gilpin
2001, 77) Negara memiliki insentif kuat untuk mengambil aksi
dalam menjaga kepentingannya, khususnya melalui media
kekuatan dan kebebasan bertindak, selain itu negara jmampu untuk
memanipulasi kekuatan pasar untuk meningkatkan kekuatan dan
pengaruhnya terhadap negara-negara lain yang menjadi pesaingnya
maupun yang menjadi aliansinya (Gilpin 2001, ).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, ekonomi
politik internasional diartikan sebagai interaksi antara pasar
(sebagai elemen ekonomi) dan politik dalam cakupan
internasional, yang kemudian mengimplikasikan adanya hubungan
antarnegara dan aktor non-negara di dalamnya. Ekonomi politik
internasional memiliki state of art atau karakter khas yang tidak
dimiliki oleh studi lainnya. State of art ekonomi politik
internasional adalah interaksi antara negara dan pasar. Hal ini yang
kemudian membedakannya dari studi atau disiplin lainnya.
Ekonomi politik internasional dan ekonomi politik pada dasarnya

Ekonomi Politik Internasional 35


hampir sama. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan.
Perbedaan utama keduanya adalah jika pada ekonomi politik
internasional, ada proses dan dampak yang akan berhubungan atau
berkaitan dengan negara-negara lain baik yang menjadi saingannya
atau yang menjadi aliansinya.

Kata-kata Kunci : interaksi, negara, pasar, state of art,


internasional, aktor non-negara

Pertanyaan Arahan :
Apa itu Ekonomi Politik Internasional ?
Apa yang menjadi state of art disiplin ini ?
Seberapa berbeda Ekonomi Politik Internasional dengan studi
mengenai Ekonomi Politik ? Berikan ilustrasinya!

Referensi :
Gilpin, Robert, 2001. The New Global Economic Order. dalam:
Global Political Economy: Understanding the International
Economic Order. Princeton: Princeton University Press, pp.
3-24---ADD.
_________________. The Nature of Political Economy.
dalam:Global Political Economy: Understanding the

Ekonomi Politik Internasional 36


International Economic Order. Princeton: Princeton
University Press, pp. 25-45.
_________________. The Study of International Political
Economy. dalam: Global Political Economy: Understanding
the International Economic Order. Princeton: Princeton
University Press, pp. 77-102.
Ravenhill, John, 2008. The Study of Global Political Economy.
dalam: Ravenhill, John, (ed.), Global Political Economy. Oxford:
Oxford University Press, pp. 18-25.

Ekonomi Politik Internasional 37


Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme : Tiga Pendekatan
Besar dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Ekonomi Politik Internasional pada mulanya berangkat dari
dua studi berbeda, ekonomi dan politik. Dua studi ini dipelajari
secara terpisah cukup lama sebelum akhirnya didapat kesadaran
bahwa keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Namun
demikian dalam memahami Ekonomi Politik Internasional ada
berbagai pendekatan yang memiliki pakem tersendiri. Secara garis
besar ada 3 pendekatan umum yang diguanakn dalam memahami
Ekonomi Politik Internasional yaitu Liberalisme, Nasionalisme,
dan Marxisme. Ketiganya memiliki pandangan berbeda terkait
pakem persepektif terhadap studi Ekonomi Politik Internasional.

Merkantilisme (Nasionalisme Ekonomi)


Dalam memahami Ekonomi Politik Internasional ada
sebuah kerangka besar teoritis yang dimiliki oleh masing-masing
pendekatan tersebut. Pendekatan pertama yaitu Nasionalisme.
Nasionalisme meyakini bahwa politik merupakan hal utama bagi
sebuah negara. Pendekatan Nasionalisme menyatakan bahwa
ekonomi merupakan sektor yang mendukung keberlangsungan dari

Ekonomi Politik Internasional 38


kegiatan politik. Dengan kata lain kemudian bahwa ekonomi
adalah alat politik, sebuah basis untuk kekuatan politis (Jackson &
Sorensen 1999, 178). Nasionalisme begitu menekankan pada
pemanfaatan ekonomi sebagai basis kekuatan negara.
Nasionalisme memilikin ama lain yaitu Merkantilisme. Seperti
yang telah diketahui, Merkantilisme merupakan sebuah paham
atau cara pandang yang populer di era sebelum tahun 1700-an.
Sehingga implementasi dari pendekatan ini pun dapat dilihat dari
bgaimana negara berlomba-lomba untuk memiliki kekuatan di
sektor ekonomi yang begitu besar. Hingga melakukan ekspedisi
dan kolonialisme ke negara-negara di luarnya untuk memeroleh
pemasukan dalam bentuk cadangan emas. Ini berguna untuk
menyokong kekuatan negara saat itu. Artinya semakin besar
cadangan emas suatu negara akan semakin kuat negara tersebut di
mata negara lain.
Di masa-masa berikutnya Merkantilisme kemudian
memunculkan varian-varian baru dan bentuknya sendiri kini
dikenal pula sebagai nasionalisme. Pendekatan Nasionalisme
diilhami oleh ideology Realisme (Jackson & Sorensen 1999). Cara
pandang Realisme pun akhirnya juga ditemui dalam kerangka
teoritis Ekonomi Politik Internasional menurut pendekatan
Nasionalisme. Terlihat dari bagaimana Nasionalisme menekankan

Ekonomi Politik Internasional 39


bahwa politik adalah nomor 1 sementara ekonomi sebagai
submisinya. Robert Gilpin (1987) juga menyatakan bahwa negara
adalah aktor utama dalam Ekonomi Politik Internasional. Sehingga
ini berimplikasi pada Nasionalisme, pendekatan ini menempatkan
alasan kekuatan negara sebagai yang utama. Ekonomi diperlukan
untuk menyokong kekuatan negara.

Liberalisme Ekonomi
Sementara itu pendekatan kedua adalah Liberalisme.
Liberalisme ekonomi berakar dari ideology Liberalisme. Ideologi
Liberalisme menempatkan kebebasan individu sebagai yang
utama. Sehingga pada varian dan sektor apa pun, dasarnya tetap
pada kebebasan individu yang diutamakan. Termasuk dalam sektor
ekonomi dan politik. Liberalisme politik merupakan sebuah cara
pandang yang menekankan pada kebebasan dan persamaan
individu (Glipin 1987, 27). Ini sudah berbeda konteks dengan
Liberalisme ekonomi yang menekankan pada pasar bebas dan
intervensi negara yang minimal (Gilpin 1987, 27). Liberalisme
ekonomi merupakan sebuah paham dan pendekatan yang populer
sejak seorang ilmuwan bernama Adam Smith menulis buku
berjudul The Wealth of Nations yang menolak persepsi
Merkantilisme bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan dari

Ekonomi Politik Internasional 40


banyaknya emas yang dimiliki. Berawal dari gagasan Smith ini
muncul konsepsi Liberalisme.
Liberalisme meyakini bahwa pemerintah atau negara harus
keluar dari pasar. Tugas pemerintah atau negara hanya sebatas
sebagai pengawas. Keterlibatan pemerintah atau negara baru akan
diperlukan apabila pasar mengalami ketidakstabilan. Di situ peran
negara atau pemerintah sebagai pembuat kebijakan diperlukan,
kebijakan yang merupakan instrument politis muncul dan lantas
dapat berkaitan dengan ekonomi. Sehingga dapat dipahami
kemudian bahwa kerangka teoritis besar Liberalisme bagi
Ekonomi Politik Internasional terletak pada cara pandang mereka
bahwa ekonomi dan politik adalah dua hal terpisah (Glipin 1987,
26). Meskipun mereka tidak menolak jika ekonomi meningkatkan
kekuatan dan keamanan negara, akan tetapi tujuan utama dari
aktivitas ekonomi menurut Liberalisme tetaplah keuntungan
individu (Glipin 1987, 27).

Marxisme
Selain Nasionalisme dan Liberalisme ada 1 pendekatan
besar lainnya yaitu Marxisme. Marxisme merupakan sebuah cara
pandang yang digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engel.
Marxisme memiliki sebuah kerangka teoritis bagi Ekonomi Politik

Ekonomi Politik Internasional 41


Internasional. Marxisme ekonomi mengamini cara pandang
Nasionalisme atau Merkantilisme, bahwa politik dan ekonomi
saling berkaitan satu sama lain (Jackson & Sorensen 1999, 184).
Akan tetapi Marxisme lebih menekankan pada ekonomi sebagai
hal paling utama dan politik berada pada posisi kedua. Marxisme
ekonomi ini merupakan pengembangan dari ideology Marxisme.
Oleh sebab itu dasar Marxisme akan ditemui pula dalam
pemahaman Marxisme ekonomi. Ekonomi Politik Internasional
dipahami oleh Marxisme bahwa negara dikuasai oleh sekelompok
orang yang menguasai sumber-sumber untuk produksi (Jackson &
Sorensen 1999, 185). Sehingga negara juga digerakkan oleh
kepentingan kelompok borjuis tersebut. Kelompok borjuis
memiliki kemampuan untuk menempati posisi-posisi elit. Ada
kaum borjuis, ada pula kaum proletar. Kemunculan kaum proletar
sebagai pihak yang dipekerjakan dan diekploitasi oleh kaum
borjuis merupakan dialektika khas ideology Marxisme. Demikian
pula dalam Marxisme ekonomi, kaum proletar ini selalu ada dalam
perekonomian internasional. Selain keberadaan kaum borjuis dan
kepentingannya yang menggerakkan negara, Marxisme ekonomi
juga memandang bahwa konflik antarnegara seharusnya dipahami
dalam konteks ekonomi. Konflik antarnegara seperti peperangan
merupakan akibat dari pencarian pasar dan keuntungan lebih.

Ekonomi Politik Internasional 42


Ekonomi bersifat ekspansif, demikian pernyataan Marxisme. Oleh
sebab itu permasalahan politik tidak lepas dan berakar dari
permasalahan ekonomi.

Perbedaan Ketiga Pendekatan Besar dalam Ekonomi Politik


Internasional
Dari ketiga pendekatan tersebut didapat perbedaan yang
cukup mencolok. Perbandingan Nasionalisme dan Liberalisme
terletak pada bagaimana kerjasama di bidang ekonomi diyakini
oleh keduanya. Nasionalisme tidak begitu meyakini bahwa
kerjasama di bidang ekonomi seperti perdagangan internasional
antarnegara dapat membawa kemakmuran atau keuntungan
baginya (Jackson & Sorensen 1999). Keyakinan seperti ini
merupakan pengaruh dari ideology Realisme yang menjadi
akarnya. Nasionalisme menekankan pada zero sum game atau juga
sebagai absolute advantage (Jackson & Sorensen 1999). Artinya
dalam sistem internasional aka nada negara yang absolut
memeroleh keuntungan dan ada yang merugi. Sehingga kemudian
pendekatan Nasionalisme menjelaskan pula bahwa negara harus
memanfaatkan potensi ekonomi yang dimiliki dan dikuasai untuk
meningkatkan kekuatan negaranya. Ini berbeda dengan pendekatan
Liberalisme ekonomi yang sebaliknya mengatakan bahwa

Ekonomi Politik Internasional 43


kerjasama di bidang ekonomi internasional antarnegara sangat
mungkin dilakukan dan akan membawa keuntungan bagi semua
(Jackson & Sorensen 1999, 182). Liberalisme memiliki konsepsi
relative advantage. Artinya sebuah negara tidak mungkin
memproduksi segala macam produk atau jasa untuk meraih
keuntungan. Akan tetapi, negara sebaiknya mengkalkulasi potensi
yang dimiliki dan melakukan spesialisasi. Missal jika negara A
spesialisasi pada anggur, sementara itu negara B memiliki
spesialisasi pada keju. Dengan spesialisasi, kerjasama antarnegara
tetap bisa terjalin dan lebih efisien, di mana negara hanya perlu
melakukan produksi produk yang menguntungkan dan mampu
dihasilkan, sementara untuk produk lain yang tidak dilakukan bisa
didapat melalui pertukaran barang dengan negara lain.
Sementara itu Nasionalisme dan Marxisme memiliki
perbedaan yang terletak pada prioritas urusan politik dan ekonomi.
Nasionalisme menempatkan politik sebagai urusan nomor 1
sementara ekonomi menjadi penyokong atau alat untuk
memperkuat kekuatan negara (Gilpin 1987). Di sisi lain Marxisme
menekankan pada ekonomi sebagai sektor utama sementara politik
sebagai urusan kedua (Jackson & Sorensen 1999). Ini
dimaksudkan bahwa dalam kacamata Marxisme segala sesuatu
harusnya dipandang dalam konteks ekonomi. Permasalahan yang

Ekonomi Politik Internasional 44


bersifat politis berakar dari permasalahan ekonomi seperti
misalnya kelangkaan sumber daya. Berikutnya, Liberalisme dan
Marxisme memiliki perbedaan yang terletak pada cara pandang
mengenai keterkaitan ekonomi dan politik. Liberalisme tidak
begitu menganggap ekonomi dan politik sebagai kesatuan,
melainkan terpisah. Marxisme berpandangan sebaliknya,
pendekatan ini mengamini pandangan Nasionalisme bahwa
ekonomi dan politik merupakan sebuah kesatuan.

Ekonomi Politik Internasional 45


Grand Theoretical Templates : Kunci Memahami Ketiga
Pendekatan Besar dalam Ekonomi Politik Internasional

Sumber : Jackson & Sorensen 1999

Ekonomi Politik Internasional 46


Sehingga dari uraian mengenai masing-masing pendekatan dan
perbedaannya, didapat tabel seperti di atas. Dari tabel di atas, dapat
dilihat bagaimana masing-masing pendekatan dalam ekonomi
politik internasional memiliki grand theoretical template untuk
memahami ekonomi politik internasional itu sendiri. Salah satu
poin yang menunjukkan distingsinya dalam ekonomi politik
internasional adalah kaitan antara ekonomi dan politik.
Merkantilisme menjadikan politik sebagai entitas yang paling
menentukan, Liberalisme memposisikan ekonomi sebagai entitas
yang bebas dan otonom dari politik, sementara Marxisme
menjadikan ekonomi sebagai entitas yang menentukan kegiatan
politiknya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, di dalam Ekonomi
Politik Internasional ada 3 pendekatan besar yakni Merkantilisme
atau Nasionalisme Ekonomi, Liberalisme, dan Marxisme. Masing-
masing memiliki grand theoretical template dalam melihat
Ekonomi Politik Internasional. Hal utama yang menjadi grand
theoretical template dari Nasionalisme Ekonomi atau
Merkantilisme adalah posisi ekonomi yang dilihat sebagai aspek
penyokong kepentingan politis. Sementara itu, Liberalisme

Ekonomi Politik Internasional 47


melihat ekonomi sebagai sebuah entitas yang otonom terpisah dari
politik. Marxisme memandang ekonomi sebagai entitas yang
paling menentukan, artinya masih ada kaitan antara ekonomi dan
politik.

Kata-kata Kunci : pendekatan, Merkantilisme, Liberalisme,


Marxisme, grand theoretical template, ideologi, perbedaan

Pertanyaan Arahan :
Adakah grand theoretical templates dalam memahami Ekonomi
Politik Internasional ?
Ideologi apa saja yang ada di balik variasi-variasi 3 pendekatan
tersebut ?
Seberapa berbeda ketiga pendekatan besar tersebut ?

Referensi :
Gilpin, Robert, 1987. Three Ideologies of Political Economy,
dalam The Political Economy of International Relations.
Princeton : Princeton University Press, pp. 25-64
Jackson, Robert, & George Sorensen, 1999. Introduction Political
Economy, dalam Introduction to International Relations.
Oxford : Oxford University Press, pp. 175-216

Ekonomi Politik Internasional 48


Raphael, D.D., Donald Winch, &Robert Skidelsky, 1997.Three
Great Economists: Smith, Maltus, Keynes. Oxford: Oxford
University Press, pp.26-43---ADD.
Watson, Matthew, 2008. Theoretical Traditions in Global Political
Economy. In: Ravenhill, John. Global Political Economy.
Oxford: Oxford University Press, pp. 27-66.

Ekonomi Politik Internasional 49


Kepemimpinan, Hegemoni, dan Stabilitas : Tatanan dalam
Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Di dalam Ekonomi Politik Internasional ada struktur dan
tatanan yang muncul. Secara teoritis ada tiga teori tatanan yang
dikenal, yaitu dualisme, modern world system, dan stabilitas
hegemoni. Ketiga teori ini dapat ditemui dalam praktik sehari-hari
Ekonomi Politik Internasional. Ketiga teori ini berasal dari 3
pendekatan besar dalam Ekonomi Politik Internasional yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya. Masing-masing memiliki
penjelasan tersendiri dan pandangannya terhadap Ekonomi Politik
Internasional. Tidak terkecuali dalam hal pengaturan EPI itu
sendiri. Ketiga teori yang akan dibahas pada paper ini memberi
gambaran dan arahan tentang bagaimana EPI ditata. Atau dengan
kata lain ketiga teori tersebut menurunkan struktur dalam EPI.
Pada paper ini penulis akan menguraikan tentang eksistensi
tatanan dalam EPI. Setelah memahami soal eksistensi tatanan,
maka akan dilanjutkan pada penjelasan mengenai struktur yang
ada dalam EPI. Terakhir akan dijelaskan mengenai aktor yang
bertanggung jawab dalam keberadaan tatanan di EPI.

Ekonomi Politik Internasional 50


Definisi Orde atau Tatanan dalam Ekonomi Politik
Internasional
Orde atau tatanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefinisikan sebagai aturan, tata tertib, dan sistem. Dari sini dapat
dipahami bahwa tatanan menggambarkan adanya pengaturan dan
aktor yang bertanggung jawab sebagai pengaturnya. Di ranah
Ekonomi Politik Internasional ada tatanan yang mengatur kegiatan
perekonomian internasional. Tatanan ini diciptakan oleh aktor
yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengaturnya.
Salah satu contohnya adalah peranan AS dan Inggris yang menjaga
dan menjamin keberlangsungan sistem moneter internasional
dengan menyediakan kekuatan finansial dan moneter (Gilpin 1987,
77). Selain itu, ada pula berbagai sistem dan peraturan lain yang
diciptakan, seperti Bretton Woods System. Orde-orde ini diciptakan
untuk menjaga keberlangsungan Ekonomi Politik Internasional di
tengah situasi yang dominan liberal.

Struktur yang Berlaku dalam Ekonomi Politik Internasional


Kemunculan tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional
mengindikasikan adanya struktur di dalam sistem internasional.
Untuk memahami struktur yang muncul dalam Ekonomi Politik
Internasional ada tiga teori yang menjelaskan lewat pandangannya.

Ekonomi Politik Internasional 51


Teori pertama adalah teori dualisme yang berakar dari pendekatan
Liberalisme. Teori Dualisme memandang ekonomi dunia modern
telah berevolusi lewat perluasan pasar produksi secara global dan
inkorporasi area baru dalam ekonomi internasional, ini berbeda
dari ekonomi internasional di abad 16 (Gilpin 1987, 67). Seperti
halnya Liberalisme yang memandang individu sebagai aktor utama
dalam pasar bebas, maka demikian halnya teori ini memandang.
Dengan keadaan pasar bebas yang telah berkembang pesat dan
makin meluas, akan memunculkan individu-individu yang
menguasai kapital. Karena prinsip kebebasan yang dipegang, maka
ada indikasi menurut Liberalisme jika semua individu sama.
Artinya, teori dualisme tidak melihat ada struktur dalam Ekonomi
Politik Internasional. Semua kesempatannya sama, tinggal individu
bersaing untuk meraih profit besar. Kondisi pasar yang semakin
kompetitif dan tingkat maksimalisasi kekayaan serta efisiensi
produksi yang tinggi mendorong aktor-aktor untuk menyesuaikan
perilaku dan berinovasi untuk menghadapi tantangan tersebut
(Gilpin 1987, 67). Dalam hal order, teori ini tidak terlalu
memandang penting kemunculan tatanan. Sifat liberal atau
kebebasan adalah kuncinya, teori ini meyakini bahwa secara
natural pasar telah memiliki prinsipnya sendiri seperti keterbukaan
dan non-diskriminasi (Gilpin 1987, 72)

Ekonomi Politik Internasional 52


Berikutnya, teori kedua adalah teori Modern World System.
Teori ini merupakan berakar dari Marxisme. Cara pandang teori ini
salah satunya menekankan pada melihat dunia sebagai area yang
memiliki struktur. Maka teori ini memandang bahwa dalam ranah
Ekonomi Politik Internasional ada struktur yang berhirarki dan
terefleksi dari struggle of states dan kelas-kelas ekonomi (Gilpin
1987, 68). Teori ini kemudian menjelaskan sistem atau struktur
yang muncul adalah negara core dan periphery sebagai sebuah
integrasi secara keseluruhan (Gilpin 1987, 69). Teori Modern
World System menjelaskan bahwa dalam Ekonomi Politik
Internasional, negara-negara periphery cenderung tereksploitasi
dan tergantung pada negara-negara core. Bahan-bahan mentah
diekspor ke negara-negara core dan tidak jarang dibeli hanya
dengan harga murah. Ironisnya, ketika bahan-bahan mentah
tersebut telah diolah, produk jadi akan diekspor kembali ke negara-
negara periphery tersebut dengan harga yang terbilang tinggi. Bagi
Teori Modern World System struktur Ekonomi Politik
Internasional bersifat hirarkis, eksploitatif dan merugikan bagi
negara-negara berkembang. Pada realitanya, tatanan dalam
Ekonomi Politik Internasional jika dihubungkan dengan teori ini
seakan hanya menguntungkan negara-negara maju atau industri
saja. Tatanan hanya diciptakan oleh sekelompok negara yang juga

Ekonomi Politik Internasional 53


kembali menguntungkan kelompok negara itu sendiri, sementara
negara-negara berkembang tidak banyak menikmati hasil dari alur
ekonomi internasional.
Selanjutnya teori ketiga adalah teori stabilitas hegemoni.
Teori ini berakar dari pendekatan Merkantilisme dan ideology
Realisme. Teori ini memandang bahwa keadaan internasional
bersifat anarki. Oleh sebab itu diperlukan keberadaan satu
hegemon yang memiliki tanggung jawab dalam mengendalikan
kegiatan ekonomi internasional (Gilpin 1987, 72). Dengan kata
lain, struktur dalam Ekonomi Politik Internasional menurut teori
ini adalah stabil dengan keberadaan dan tanggung jawab satu aktor
hegemon. Menurut Teori Stabilitas Hegemoni, tidak ada kekuatan
supranasional di atas negara yang absolut dalam mengendalikan
jalannya kegiatan ekonomi internasional. Oleh sebab itu kemudian
kemunculan aktor hegemon akan menjamin keberlangsungan dan
kestabilan sistem ekonomi internasional. Kemunculan aktor
hegemon diperlukan untuk menciptakan orde-orde yang berfungsi
untuk mengembangkan pasar secara teratur (Gilpin 1987, 74).
Aktor hegemon juga bertanggung jawab dalam mengontrol
kegiatan ekonomi internasional agar berjalan stabil dan menjamin
keperluan bersama (Gilpin 1987, 74). Meski demikian, bergantung
pada satu negara hegemon juga memiliki konsekuensi ketika aktor

Ekonomi Politik Internasional 54


hegemon tersebut mengalami ketidakstabilan dalam internal
maupun eksternal. Apabila negara hegemon tidak dapat
dikendalikan, yang terjadi kemudian adalah imbas ke kegiatan
ekonomi internasional.

Siapa yang Bertanggungjawab atas Tatanan Ekonomi Politik


Internasional Saat Ini ?
Di dalam praktik Ekonomi Politik Internasional, tatanan
ada dan dikembangkan sebagai konsekuensi kegiatan ekonomi
internasional. Demikian jika merujuk pada awal mula
perkembangan orde atau tatanan dalam Ekonomi Politik
Internasional. Di era kolonialisme dan imperialisme, Inggris
memiliki andil besar dalam keberlangsungan kegiatan ekonomi
internasional. Akan tetapi, ini masih belum dapat dikatakan jika
Inggris adalah aktor yang bertanggung jawab pada Ekonomi
Politik Internasional saat itu. Tatanan dalam Ekonomi Politik
Internasional yang telah modern dan sistematis muncul di era
sesudah Perang Dunia II. Bretton Woods System adalah salah satu
contoh tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional. Di dalam
sistem Bretton Woods ini menghasilkan tiga organisasi
internasional yang berpengaruh dan berperan besar dalam kegiatan
perekonomian internasional, yaitu Bank Dunia, IMF, dan GATT

Ekonomi Politik Internasional 55


(WTO) (Lairson & Skidmore 1993, 65). Sistem Bretton Woods
digagas oleh Amerika Serikat (AS) beserta Inggris dan beberapa
negara industri lainnya. Sistem ini telah menghasilkan beragam
kebijakan yang diimplementasi di seluruh dunia. Tidak hanya
sistem Bretton Woods, tatanan lain juga ditemukan dalam
Ekonomi Politik Internasional. Dari kesemua tatanan yang
diciptakan untuk menjaga kestabilan ekonomi internasional,
muncullah AS sebagai aktor yang memiliki peranan besar. AS
dapat dikatakan sebagai negara hegemon yang menjaga kestabilan
kegiatan ekonomi internasional. Terlihat dari bagaimana AS
menciptakan tatanan-tatanan tersebut dan juga mengalokasikan
uang serta tenaga militer yang cukup besar untukmenjaga
kestabilan dan kelangsungan kegiatan ekonomi internasional
tersebut (Lairson & Skidmore 1993, 69). AS juga bukan tanpa
kendala, krisis pada tahun-tahun tertentu juga ikut berdampak pada
perekonomian internasional. Menurut (Lairson & Skidmore 1993)
AS masih memegang peranan sebagai yang bertanggung jawab
dalam Ekonomi Politik Internasional. Sehingga dapat dikatakan
jika tatanan yang berlaku dalam Ekonomi Politik Internasional
adalah Stabiliitas Hegemoni.
Hal berbeda disebutkan oleh Arrighi (2006) yang
menyebutkan bahwa struktur atau tatanan yang berlaku dalam

Ekonomi Politik Internasional 56


Ekonomi Politik Internasional saat ini adalah Modern World
System. Hal ini disebabkan karena saat ini dapat diamati tren yang
muncul adalah kemunculan negara-negara maju baru seperti
Tiongkok, Jepang, Korea Selatan. Kemunculan Tiongkok sebagai
kekuatan dunia yang baru misalnya mulai memperlihatkan peranan
di beberapa hal, seperti membiayai banyak kredit di dunia.
Sehingga kemudian struktur yang terlihat adalah ada negara-negara
maju yang disebut sebagai core dan negara-negara berkembang
yang disebut sebagai periphery. Selain itu ada pula negara-negara
yang menjadi semi-periphery atau negara-negara yang belum dapat
dikatakan negara maju namun sudah bukan lagi negara-negara
berkembang.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, ada tatanan
atau orde yang muncul dalam Ekonomi Politik Internasional. Orde
diciptakan oleh aktor hegemon dan bertanggung jawab dalam
menjaga dan menjamin kestabilan kegiatan ekonomi internasional.
Kemunculan orde dalam Ekonomi Politik Internasional dapat
disebabkan karena perlunya kepastian dan keteraturan agar pasar
maupun kegiatan ekonomi lainnya bisa berjalan tanpa hambatan.
Salah satu contoh orde yang terkenal adalah Sistem Bretton Woods

Ekonomi Politik Internasional 57


yang menghasilkan 3 organisasi internasional yakni IMF, Bank
Dunia, dan WTO. Masing-masing memegang peranan pernting
dalam menjaga urusan ekonomi internasional. Di masa sekarang,
aktor yang paling bertanggung jawab dalam Ekonomi Politik
Internasional masih dipegang AS. Meskipun ada kemunculan
Tiongkok sebagai kekuatan baru yang ikut memengaruhi, namun
AS masih memegang peranan vital dalam menjaga kestabilan
ekonomi internasional. Penulis beropini, tatanan muncul dan
memang layak dibuat oleh satu aktor hegemon. Ini berfungsi untuk
menjaga kestabilan dan menciptakan keteraturan. Apabila ekonomi
internasional dibiarkan berjalan apa adanya maka kegiatan
ekonomi bisa terganggu. Sehingga penulis sependapat dengan teori
stabilitas hegemoni yang mendukung kemunculan satu aktor
hegemon sebagai penanggungjawab dan pengontrolnya.

Kata-Kata Kunci : tatanan, struktur, dual economy system,


modern world system theory, hegemonic stability.

Pertanyaan arahan :
Adakah tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional ?
Struktur apa yang berlaku dalam Ekonomi Politik Internasional ?

Ekonomi Politik Internasional 58


Siapa yang bertanggungjawab atas struktur dalam Ekonomi Politik
Internasional saat ini ?

Referensi :
Arrighi, Giovani, 2006. The Three Hegemonies of Historical
Capitalism, dalam: The Long Twentieth Century. London:
Verso, pp.27-84---NONE.
Gilpin, Robert, 1987. The Dynamics of International Political
Economy, dalam The Political Economy of International
Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 65-
117.
Lairson, Thomas D., & D. Skidmore, 1993. The Political
Economy of American Hegemony : 1938-1973, dalam
International Political Economy : the Struggle for Power
and Wealth. Orlando : Harcourt Brace College Publishers,
pp. 63-94.

Ekonomi Politik Internasional 59


Dari Perdagangan Internasional ke Imperialisme : Ekspansi
Global Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Ekonomi Politik Internasional berbicara kaitan antara
pemerintah dan pasar. Pemerintah mewakili unsure politik,
sementara pasar merepresentasikan unsur ekonomi. Interaksi dari
ketiganya ini yang kemudian menyebabkan adanya Ekonomi
Politik Internasional. Kemunculan Ekonomi Politik Internasional
dilatarbelakangi berbagai peristiwa. Dari peristiwa ini kemudian
melahirkan gagasan-gagasan yang menjadi solusi dan pedoman
dalam memahami peristiwa tersebut. Ekonomi Politik
Internasional dalam sejarahnya telah melewati berbagai masa dan
peristiwa yang membuatnya sebagai sebuah studi menjadi matang.

Ekonomi Politik Internasional sebagai Praktik Sosial


Ekonomi Politik Internasional dipahami sebagai interaksi
antara pemerintah negara dan pasar. Berangkat dari definisi ini,
secara teoritis Ekonomi Politik Internasional muncul sekitar abad
18, seiring dengan gagasan Adam Smith dan karya
monumentalnya yang berjudul the Wealth of Nations (Gilpin 1987,
25). Akan tetapi, secara praktik sosial, Ekonomi Politik

Ekonomi Politik Internasional 60


Internasional mulai mengalami peningkatan di abad 19 seiring
dengan maraknya ekspansi global dan kemunculan negara-negara
industri baru. Kemunculan Ekonomi Politik Internasional sebagai
praktik sosial ditandai dengan meningkatnya keterlibatan
pemerintah dalam mengatur pasar di tengah persaingan
antarnegara yang terjadi saat itu (Hobsbawm 1987). Pemerintah
negara muncul dan kemudian terjadi interaksi dengan pasar serta
sektor-sektor publik. Peranan pemerintah ini ditujukan untuk
membantu negara dalam bersaing dengan negara-negara lain.
Seperti Inggris yang di abad 19 semakin memantapkan diri sebagai
negara eksportir terbesar di dunia. Inggris meraih keuntungan
besar dari ekspor produk-produknya ini. Oleh sebab itu saat
Revolusi Industri sempat mengalami overproduksi, pemerintah
kemudian masuk dan membantu penyelesaiannya. Salah satu
caranya adalah dengan melakukan ekspansi ke beberapa negara di
Eropa dan luar Eropa. Tidak hanya itu, pemerintah Inggris juga
mendirikan kongsi dagang British East India Company di sekitar
abad 16 dan 17 yang melindungi pedagang dan perdagangan
Inggris.

Ekonomi Politik Internasional 61


Motif-Motif atau Bentuk Historis di Balik Ekspansi Global
Sebelum terjadi ekspansi global, negara-negara di Eropa
dan beberapa negara industri di luar Eropa menerapkan model
lama dalam ekonomi, yaitu perdagangan. Perdagangan pada masa
itu secara umum masih berbasis pada agraris. Produk-produk yang
dipergangkan adalah kebanyakan produk-produk agraris seperti
rempah-rempah. Ini dapat dipahami karena sebelum abad 18-19,
sistem Merkantilisme masih menjadi sistem ekonomi di Eropa.
Merkantilisme merupakan paham yang menjelaskan bahwa
kekayaan negara diukur dari cadangan emasnya (Deliarnov 1995).
Semakin banyak cadangan emas yang dimiliki, maka semakin kaya
dan makmur negara tersebut (Deliarnov 1995). Negara-negara
kemudian berdagang dan menjadikan produk-produk agraria
sebagai komoditasnya. Ini nantinya akan menghasilkan emas
sebagai pembayarannya. Dengan adanya doktrin Merkantilisme ini
bahkan kemudian melakukan ekspedisi ke luar Eropa untuk
mencari produk-produk pertanian dan perkebunan seperti rempah-
rempah, kentang, dan sebagainya yang berkualitas bagus untuk
kemudian dipakai dan dijual kembali di pasaran Eropa. Pada tahap
awal ini, ekspansi sebenarnya telah terjadi, akan tetapi ekspansi
yang dilakukan adalah sebatas pencarian dan penguasaan teritori
baru untuk mendapatkan sumber daya alam mentah (Hoogvelt

Ekonomi Politik Internasional 62


1997, 17). Selain untuk diperdagangkan kembali di Eropa, ini juga
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di masing-
masing negara Eropa itu sendiri. Misalnya ekspedisi Vasco da
Gama ke Benua Amerika yang lantas datang ke pemukiman suku
Indian. Di sana da Gama mulai membawa sumber daya berupa
kentang, vanilla, sayur-sayuran, dan sebagainya ke Eropa untuk
dijual kembali sekaligus untuk memenuhi keperluan sehari-hari
masyarakat di Spanyol. Selain mencari sumber daya alam mentah,
tujuan ekspansi di masa Merkantilisme juga dikatakan oleh
Hoogvelt (1997, 18) bertujuan untuk mempersiapkan keperluan
menuju Revolusi Industri, seperti hasil penjualan sumber daya
mentah tersebut digunakan sebagai dana untuk Revolusi Industri.
Keadaan berubah ketika terjadi krisis di Eropa di sekitar
tahun 1700-an. Krisis ini memunculkan sebuah peristiwa yang
dinamakan Revolusi Industri di Inggris yang mengubah
perekonomian di sana. Dari yang pada mulanya hanya berorientasi
pada agrarian, kini orientasi telah berkembang dengan juga
memperjualbelikan produk-produk seperti pakaian jadi, teknologi-
teknologi perindustrian, dan sebagainya (Hackett 1992). Revolusi
ini berdampak dengan menjadikan Inggris di tahun 1880-an
sebagai negara yang berorientasi ekspor (Hobsbawm 1987, 39).
Dengan penggunaan teknologi yang lebih efisien serta ditunjang

Ekonomi Politik Internasional 63


dengan tenaga kerja yang dipekerjakan dengan jam kerja cukup
lama. Hasilnya, Inggris hingga memasuki abad 19 menguasai
perdagangan dunia (Frieden 2006, 59). Ini menandakan bahwa
Inggris menjadi negara imperial pada masa itu. Istilah negara
imperial merujuk pada indikator negara imperialisme yaitu
penguasaan sumber-sumber ekonomi dan penempatan kekuatan
militer di wilayah kekuasaan. Ini terlihat dari kekuatan laut Inggris
pada masa itu yang mendukung perekonomiannya. Kekuatan
militer juga ditempatkan untuk memastikan kestabilan kegiatan
industri di daerah jajahan.
Revolusi Industri berkembang pesat dan kemudian
menyebar ke berbagai negara di Eropa hingga ke AS (Hackett
1992). Revolusi Industri perlahan memunculkan negara-negara
industri baru selain Inggris seperti Jerman, AS, Prancis, Belgia,
Swiss, dan Ceko (Hobsbawm 1987, 49). Permasalahan kemudian
muncul saat terjadi overproduksi di negara-negara Eropa ini.
Terjadinya overproduksi disebabkan oleh kelebihan produksi
barang sementara daya beli masyarakat rendah (Hoogvelt 1997,
22). Konsepsi Kapitalisme yang diterapkan di negara-negara
industri menekankan pada produksi berbagai macam barang,
bahkan produk yang kurang penting bagi warga sipil seperti
persenjataan juga diproduksi. Sementara itu, daya beli masyarakat

Ekonomi Politik Internasional 64


sedang rendah karena gaji yang diterima sebagai buruh nilainya
kecil. Kebanyakan masyarakat pada masa itu bekerja sebagai
buruh yang memeroleh pendapatan rendah akibat kebijakan
produsen untuk meraih keuntungan besar dengan menekan gaji
pekerja.
Pada mulanya negara-negara industri ini meyakini bahwa
apa yang dikatakan oleh Adam Smith soal the invisible hand yang
akan mengembalikan kestabilan pasar secara sendirinya, ternyata
menuai keraguan di masa itu (Hobsbawm 1987, 40). Ini terjadi
karena pasar masih belum stabil dengan produk-produk yang
belum terjual. Pemerintah kemudian turun tangan dan terlibat di
sana. Solusi yang harus diambil adalah dengan melakukan
ekspansi sebagai upaya penyelesaian konflik yang muncul serta
meraih kebrhasilan dari persaingan antarnegara (Magdoff 1978,
99). Ekspansi dilakukan agar pasar menjadi lebih luas dan produk-
produk tersebut dapat terjual. Pasar penjualan produk-produk tidak
hanya difokuskan di wilayah Eropa dan Amerika Latin saja, tetapi
juga mulai diperluas jangkauannya. Pada masa ini, ekspansi
ditujukan bukan hanya mengambil sumber daya melainkan juga
untuk pemasaran produknya. Ekspansi yang identik dengan
Kolonialisme dan Imperialisme menjadi sebuah kebijakan yang
dibenarkan pada masa itu (Hoogvelt 1997, 20). Dengan ekspansi,

Ekonomi Politik Internasional 65


Inggris perlahan memperbaiki kondisinya dan mempertahankan
posisinya sebagai negara imperial. Pengaruh imperial Inggris ini
lantas menjadikan negara-negara besar lain seperti Prancis dan
Belanda berada dalam kendali kebijakan Inggris (Tarling 1999).
Inggris memainkan peranan dominan ini setidaknya hingga akhir
abad 19. Baru kemudian ekspansi juga diikuti oleh negara-negara
lain seperti Jerman. Jerman ini yang kemudian menjadi pesaing
Inggris saat memasuki abad 20. Namun kemampuan Jerman
diruntuhkan saat Perang Dunia I yang lantas memunculkan
Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan imperialisme baru.

Praktik Ekonomi Politik Berkembang ke Lingkup


Internasional
Praktik Ekonomi Politik seiring dengan adanya
permasalahan seperti overproduksi dan konflik dalam ekspansi
global ini mengandung unsur hubungan dua negara atau lebih.
Artinya, permasalahan ekonomi politik kini telah berkembang
menjadi di tingkat internasional. Seperti keputusan melakukan
ekspansi di satu negara juga perlu memerhatikan pergerakan
negara lain. Persaingan antara negara-negara ini pun juga semakin
ketat, orientasi pada keuntungan mendorong pemerintah negara-
negara industri untuk terus berinovasi dan menentukan kebijakan

Ekonomi Politik Internasional 66


yang tepat agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain.
Ekonomi Politik berkembang ke tingkat internasional juga
dipengaruhi oleh pembentukan imperium akibat adanya ekspansi
tersebut. Ekspansi dan pendudukan Inggris di abad 17-19 dan
kemudian di abad berikutnya diikuti oleh negara-negara industri
lain ke wilayah-wilayah lain seperti di Afrika, Asia, dan
sebagainya menyebabkan terbentuknya imperium baru. Ini
menandakan Ekonomi Politik di satu negara pemilik imperium
juga harus memerhatikan negara-negara lain yang menjadi
kekuasaannya tersebut.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan Ekonomi
Politik Internasional sebagai praktik sosial muncul saat terjadi
intensitas keterlibatan pemerintah di kawasan Eropa untuk masuk
dan menangani permasalahan di pasar. Ini disebabkan karena pada
saat itu tengah terjadi Revolusi Industri di Inggris yang kemudian
merambah ke negara-negara lain. Permasalahan muncul karena
akibat Revolusi Industri terjadi overproduksi. Akibat dari
overproduksi ini peranan pemerintah diperlukan setelah apa yang
dikatakan oleh Adam Smith tentang invisible hand diragukan.
Pemerintah lantas memberi solusi ekspansi. Ekspansi ke wilayah-

Ekonomi Politik Internasional 67


wilayah baru dilakukan agar jumlah barang-barang yang berlebih
tersebut dapat segera dikonsumsi dan tidak menurunkan nilai
jualnya secara drastis. Kebijakan ekspansi ini diikuti di hampir
banyak negara mulai sekitar abad 19 atau 20. Sehingga model
perekonomian bergeser dari perdagangan internasional menjadi
imperialisme karena satu negara memiliki wilayah koloni yang
membentuk sebuah imperium. Ekonomi Politik lantas berkembang
ke level internasional. Ini disebabkan karena Ekonomi Politik tidak
hanya di tingkat domestik melainkan juga telah merambah
hubungan antarnegara. Misalnya rumusan kebijakan ekonomi
pemerintah suatu negara dipengaruhi oleh aksi dan kebijakan
ekonomi di negara lain. Dengan perkembangan Ekonomi Politik
yang telah internasional ini juga mengindikasikan bahwa
permasalahan ekonomi kini menimbulkan kebijakan yang berguna
untuk mengatur permasalahan lintas negara tersebut. Penulis
beropini, pola-pola imperialisme dalam Ekonomi Politik
Internasional ini masih dapat ditemui hingga sekarang. Perluasan
pasar masih mudah ditemui di era sekarang, namun pembedanya
perluasan atau ekspansi pasar di masa sekarang tidak selalu
melibatkan kontak fisik atau konfrontasi seperti di masa lampau,
melainkan kini perluasan pasar dilakukan secara soft dengan
bantuan promosi internet misalnya.

Ekonomi Politik Internasional 68


Kata-Kata Kunci : perdagangan internasional, ekspansi global,
imperialisme

Pertanyaan Arahan :
Kapan Ekonomi Politik Internasional sebagai sebuah praktik sosial
dimulai ?
Motif-motif atau bentuk-bentuk historis apa yang ada di balik
ekspansi global Ekonomi Politik Internasional ?
Mengapa praktik-praktik ekonomi politik berkembang ke tingkat
internasional ?

Referensi :
Frieden, Jeffrey A., 2006. Success Stories of the Golden Age,
dalam Global Capitalism : Its Fall and Rise in the
Twentieth Century. New York : W.W. Norton & Co. Inc.,
pp. 56-79.
Gilpin, Robert, 2001. Global Political Economy : Understanding
the International Economic Order. New Jersey : Princeton
University Press.

Ekonomi Politik Internasional 69


Hobsbawm, Eric, 1987. An Economic Changes Gear, dalam The
Age of Empire 1875-1914. London : Weidenfield &
Nicolson, pp. 34-55.
Magdoff, Harry, 1978. Imperialism : A History Survey, dalam
Imperialism : From the Colonial Age to the Present. New
York : Monthly Review Press, pp. 94-113.
Hoogvelt, Ankie, 1997. The History of Capitalist Expansion,
dalam Globalization and the Post-Colonial World : the
New Political Economy of Development. Baltimore : The
John Hopkins University Press, pp. 14-28.

Ekonomi Politik Internasional 70


Great Depression, Keynesianisme, dan Fordisme : Krisis dan
Regulasi dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Sebagai sebuah studi, Ekonomi Politik Internasional telah
melewati berbagai peristiwa yang di dalamnya terdapat substansi
terkait untuk memperkaya kajian dan analisis terkait studi ini
sendiri. Peristiwa Great Depression yang melanda dunia di tahun
1930-an. Peristiwa ini lantas mengubah pola pikir masyarakat dan
para pengambil kebijakan soal perekonomian. Ekonomi klasik a la
Adam Smith yang menjadi prinsip ekonomi saat itu menemui
masalah ketika tidak dapat mengatasi keadaan ekonomi yang
memburuk di hampir seluruh dunia. Kondisi ini kemudian
memunculkan John Maynar Keynes, seorang ekonom asal Inggris
yang kemudian mengkritik ekonomi klasik Adam Smith. Keynes
menggagas beberapa poin yang kemudian menjadi bagian dari
aliran yang dikenal sebagai Keynesianisme. Pemikiran-pemikiran
Keynes kemudian dilirik oleh para pengambil keputusan di AS,
Inggris, dan kemudian diikuti di beberapa negara. Selain solusi
yang digagas oleh Keynes untuk mengatasi Great Depression, era
ini juga melahirkan sebuah paham bernama Amerikanisme dan
Fordisme.

Ekonomi Politik Internasional 71


Peristiwa Great Depression dalam Ekonomi Politik
Internasional
Perang Dunia I yang berlangsung dari tahun 1914 hingga
1918 menimbulkan permasalahan baru bagi negara-negara di
Eropa. Meski memenangkan perang, tetapi Inggris, Rusia, dan
negara-negara lain mengalami pergolakan di sektor ekonominya.
Pergolakan ini disebabkan oleh kondisi ekonomi yang terjadi di
Amerika Serikat (AS) pada awalnya. AS menerapkan
isolasionisme sehingga mereka tidak ikut berperang langsung saat
Perang Dunia I. Meskipun sebenarnya AS mendukung Inggris
dalam Perang Dunia I dengan bantuan dana. Isolasionisme AS ini
berdampak dengan peningkatan ekonomi dalam negeri akibat
pembangunan dalam negeri yang berhasil. Masa kejayaan AS ini
mendapat tantangan saat memasuki tahun 1920-an, jumlah uang
dalam negeri begitu banyak, salah satunya akibat kebijakan
isolasionisme yang memengaruhi investasi dan penyebaran uang
AS di dunia. Jumlah uang yang banyak ini juga dipengaruhi oleh
faktor sikap spekulasi para investor di Wall Street (Frieden 2006,
175). Dengan masyarakat memegang uang banyak, para investor
dan pemain saham memutuskan untuk lebih sering menyimpan
uang di bank dan berinvestasi. Saham yang dibeli oleh para
spekulan atau investor ini disebut sebagai praktik buying on

Ekonomi Politik Internasional 72


margin. Artinya, para spekulan membeli saham sebagai down
payment untuk menginvestasikan perolehan saham lainnya. Ini
pula yang diikuti oleh masyarakat saat itu. Mereka lebih senang
menyimpan uang daripada membelanjakannya.
Kondisi yang seperti ini dikhawatirkan akan mendorong
adanya inflasi. Oleh sebab itu pemerintah kemudian menaikkan
suku bunga agar stok uang dapat berkurang dan menyulitkan para
investor untuk meminjam uang (Frieden 2006, 175). Keputusan ini
ternyata tidak membuahkan solusi, yang terjadi keputusan ini
semakin memperburuk keadaan. Dengan menaikkan suku bunga,
para pengusaha menjadi kesulitan dalam meminjam uang yang
digunakan untuk modal usaha. Jumlah uang memang kembali
stabil, akan tetapi jumlahnya semakin sedikit dan menyebabkan
deflasi. Jumlah uang yang sedikit beredar di masyarakat ini
menyebabkan harga-harga di pasaran menjadi turun. Karena harga-
harga turun, gaji para buruh pun ikut dipotong. Ini menyebabkan
daya beli masyarakat menurun, karena bagaimana pun gaji
masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai buruh dan pegawai ini
dipotong. Kondisi ini disebut pula sebagai under consumption
yang menjadi ciri khas Great Depression. Kondisi ini juga
mendorong perusahaan dan industri menjadi bangkrut dan
berakibat pada peningkatan pengangguran. Pemerintah juga

Ekonomi Politik Internasional 73


mengambil kebijakan likuidasi. Likuidasi atau penghapusan ini
dilakukan untuk menghapus investasi, pinjaman, uang, dan
berbagai aspek-aspek bermasalah untuk menyelamatkan kestabilan
ekonomi (Frieden 2006, 178). Permasalahan semakin buruk karena
bank-bank juga ikut kena dampaknya. Ketika suku bunga tinggi,
orang menjadi enggan untuk meminjam uang. Ini berdampak pada
kebangkrutan bank-bank dan terancam ditutup. Karena terancam
ditutup, masyarakat berbondong-bondong mengambil uang mereka
di bank karena panic dan takut mengalami kerugian besar (Frieden
2006, 181-20. Selain karena investasi, saham, dan hutang, faktor
emas sebagai mata uang juga jadi penyebabnya. Di masa lampau,
emas dijadikan alat tukar mata uang dalam perdagangan
internasional. Ketika seorang pengusaha berniat untuk kembali ke
negara asal setelah mengambil hasil penjualan produknya di
negara lain, maka mata uang negara lain tersebut harus ditukar
dengan emas atau dengan mata uang internasional yaitu Dollar,
Poundsterling (Frieden 2006, 185). Tetapi permasalahannya,
banyak masyarakat dari kalangan pengusaha ini yang lebih
memilih menukarkannya dengan emas. Akibatnya peredaran uang
perlahan menurun yang menyebabkan deflasi. Negara-negara juga
menerapkan kebijakan beggar-thy-negihbour, sebuah kebijakan
mengorbankan negara lain (Frieden 2006). Kebijakan ini

Ekonomi Politik Internasional 74


dimaksudkan dengan menutup pintu perdagangan negara untuk
mencegah ekspor negara lain ke negara tersebut. Kebijakan ini
pertama kali dilakukan oleh AS yang lantas diikuti di beberapa
negara Eropa dan akhirnya menjadi semacam domino dengan satu
persatu jatuh perekonomiannya.

Preskripsi Keynesianisme terhadap Great Depression


Melihat kondisi seperti ini, pemerintah tidak banyak
mengambil kebijakan yang tepat dan hanya menerima apa yang
ada (Frieden 2006, 176). Mereka lebih bersikap biasa dan
meyakini jika pasar akan mengembalikan kestabilannya sendiri
karena adanya invisible hand seperti yang dikatakan Adam Smith.
Keadaan seperti ini lantas mendorong seorang ekonom bernama
John Maynard Keynes untuk mengkritik konsepsi ekonomi klasik.
Nantinya Keynes juga menyodorkan solusi berdasar pemikirannya.
Keynes tidak sependapat dengan pemikiran Smith yang
menyatakan bahwa pasar akan mengembalikan kestabilannya
sendiri. Bagi Keynes, justru pemerintah perlu untuk membantu
penyelesaiannya dengan masuk ke dalam pasar. Keynes mendekati
pemasalahan ini dengan cara melihat demand side. Di dalam
pemikiran Keynes, ada beberapa poin penting yang menjadi
gagasan dan solusinya. Pertama adalah uang bersifat tidak netral

Ekonomi Politik Internasional 75


dan berperan sebagai store of value. Dua hal ini yang muncul
akibat masyarakat tidak membelanjakan semua uangnya. Perilaku
masyarakat yang lebih memilih untuk menyimpan uangnya ini
berakibat pada inflasi, jumlah uang yang beredar dalam
masyarakat banyak tetapi harga-harga naik. Oleh sebab itu,
masyarakat perlu untuk membelanjakan uangnya tersebut agar
perputaran uang kembali stabil.
Hal kedua adalah pengangguran yang tinggi menyebabkan
kondisi under consumption atau konsumsi lebih rendah daripada
jumlah produk yang beredar. Karena suku bunga yang tinggi, para
pengusaha kesulitan untuk mendapat modal tambahan. Akibatnya
untuk menyiasati, para pengusaha ini memotong gaji pegawai.
Dampaknya para pegawai dan buruh yang merupakan mayoritas
masyarakat biasa ini daya belinya menjadi menurun. Produk-
produk yang telah dihasilkan pun akhirnya menumpuk. Di sini
Keynes lantas menyatakan untuk mengatasi pengangguran,
pemerintah perlu menciptakan demand side. Pemerintah perlu
menciptakan sektor-sektor industri untuk menyerap tenaga kerja
(Brown 1995, 56). Ketika tenaga kerja tercipta, perusahaan bisa
beroperasi yang lantas mendorong permintaan. Ketika permintaan
muncul, maka penawaran pun bisa terjadi. Akhirnya uang dapat
kembali dihasilkan dan para pegawai ini daya belinya kembali

Ekonomi Politik Internasional 76


membaik. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk memberikan
social safety atau tunjangan. Tunjangan diberikan bertujuan untuk
mengurangi pengangguran. Dengan social safety, setidaknya
permintaan pasar dapat terus terjaga karena masyarakat memiliki
uang untuk membelanjakannya daripada hanya sekedar
menyimpan.

Fordisme dan Kaitannya dengan Great Depression serta


Keynesianisme
Selain Keynesianisme yang dinilai oleh ilmuwan sebagai
salah satu solusi menangani Great Depression saat itu, ada pula
yang disebut sebagai Amerikanisme dan Fordisme. Amerikanisme
dan Fordisme merupakan sebuah paham dan prinsip berproduksi
yang pertama kali dijelaskan oleh Antonio Gramsci.
Amerikanisme dan Fordisme merupakan dampak dari metode
produksi AS yang produktif dan efisien yang diperkenalkan ke
Eropa (Gramsci 1971, 277).
Ide Fordisme dicetuskan oleh seorang pengusaha mobil
kenamaan di abad 19 yaitu Henry Ford. Ford menggagas ide
produksi dan konsumsi massal. Produksi massal yang digagas oleh
Ford ini berisi tentang produksi barang-barang dengan jumlah
besar yang untuk memproduksinya digunakan mesin-mesin

Ekonomi Politik Internasional 77


canggih yang tidak sulit untuk dioperasikan oleh tenaga kerja. Ford
juga menjelaskan bahwa tenaga kerja akan bekerja secara
spesialisasi pada sektor pengolahan tertentu. Tenaga kerja tersebut
akan bekerja secara spesifik di sektor pengolahan tertentu,
mengoperasikan mesin yang sama, dan meski monoton namun
tingkat efisien dan efektivitasnya tetap terjaga. Hal ini disebabkan
karena meskipun Ford dan perusahaannya merekrut tenaga kerja
yang tidak berkemampuan sekalipun, penggunaan mesin yang
mudah dioperasikan akan membantu tenaga kerja tersebut untuk
tetap menghasilkan produk dalam jumlah besar (Gramsci 1971).
Oleh sebab itu karena jumlah produksi yang besar dan sifat
pekerjaan yang monoton, maka Ford memberi insentif pada tenaga
kerjanya (Gramsci 1971, 279-280). Upah para tenaga kerja dipatok
tinggi dan selain itu para tenaga kerja ini diberi fasilitas yang baik
dan bermanfaat agar dapat melepas penat. Fasilitas ini
dimanfaatkan bersama keluarga para tenaga kerja, sehingga
potensi penyalahgunaan waktu dan fasilitas untuk bersenang-
senang dengan mabuk dan hal-hal lain dapat dicegah. Karena hal-
hal yang seperti mabuk dan bersenang-senang hanya akan
menurunkan produktivitas pekerja tersebut.
Sementara itu dari sisi konsumsi besar, Fordisme
menjelaskan bahwa konsumsi dalam jumlah besar terjadi karena

Ekonomi Politik Internasional 78


daya beli masyarakat tinggi. Ini disebabkan oleh gaji yang diterima
telah besar sehingga kemampuan untuk membeli barang juga ada
(Gramsci 1971). Sehingga dari sini dapat dipahami konsepsi
Fordisme ini mencoba untuk tidak terpaku pada konsepsi ekonomi
klasik yang menekankan pada efisiensi dengan menurunkan gaji
pegawai. Fordisme menilai kesejahteraan tenaga kerja harusnya
ikut diperhatikan agar tidak terjadi kemandekan dalam kegiatan
ekonomi. Karena bagaimana pun para tenaga kerja ini yang
menghidupi perekonomian dunia. Selain itu, melihat bagaimana
Fordisme membangunkan kembali perekonomian yang lesu
setelah Great Depression, didapat kaitan antara Great Depression,
Keynesianisme, dan Fordisme. Ketiganya memiliki keterkaitan
yang terletak pada fenomena dan bagaimana solusi yang
dilakukan. Great Depression menjadi momen saat perekonomian
dalam tingkatan terendahnya. Di masa lampau, preskripsi yang
diyakini ketika terjadi fenomena semacam ini adalah
membiarkannya karena pasar akan kembali normal dan ini telah
menjadi konsekuensi atau pil yang harus diminum untuk mencapai
kondisi yang lebih baik. Namun dalam Great Depression ini,
solusi tersebut justru tidak banyak membantu dan kemudian
mendorong munculnya solusi lain yang melibatkan peranan
pemerintah di dalamnya. Preskripsi ini ada pada bagaimana

Ekonomi Politik Internasional 79


Keynesianisme memandang dan memberi solusinya. Sehingga
dapat dikatakan Keynesianisme merupakan solusi dari sisi
pemerintah. Sementara itu Fordisme merupakan solusi dari sisi
swasta yang seiring dengan preskripsi Keynesianisme mengenai
pembukaan lapangan kerja untuk menyerap tenaga kerja agar pasar
kembali berjalan normal.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan Great
Depression yang terjadi di tahun 1930 merupakan peristiwa
terjadinya under consumption akibat daya beli masyarakat tengah
menurun sementara jumlah produk masih besar. Ini disebabkan
oleh upah pegawai yang dipotong menyebabkan pengangguran dan
inflasi yang tinggi. Peristiwa ini dikritik sebagai titik kelemahan
paham ekonomi klasik Adam Smith. Pemerintah tidak banyak
berbuat karena keyakinannya jika pasar akan kembali pada
keseimbangan. Pada kenyataannya pasar tidak kunjung stabil. John
Maynard Keynes dan Herry Ford adalah sebagian orang yang
memiliki gagasan di bidang ekonomi yang lantas menginspirasi
para pengambil kebijakan untuk dijadikan solusi menangani Great
Depression. Keynes dikenal dengan Keynesianisme sementara
Ford dikenal dengan gagasan Fordisme. Keynesianisme

Ekonomi Politik Internasional 80


menjelaskan bahwa peran pemerintah masih diperlukan dalam
menjaga kestabilan pasar. Pemerintah perlu untuk membangkitkan
kembali permintaan pasar. Sehingga pendekatan Keynes lebih
mengarah pada demand side. Sementara itu Fordisme menjelaskan
adanya produksi dan konsumsi massal yang mengindikasikan
pendekatan secara supply side. Keduanya juga sama-sama
menekankan pada pentingnya memberi insentif pada tenaga kerja
untuk menjaga produktivitasnya. Berbeda dari ekonom klasik yang
lebih memilih untuk memotong gaji pegawai demi efisiensi.
Penulis beropini Keynesianisme dan Fordisme keduanya telah
menjadi solusi menangani Great Depression dan mengubah pola
pikir tradisional di masa lampau.

Kata-kata kunci : Great Depression, Keynesianisme, Fordisme,


beggar-thy-neighbor, buying on margin.

Pertanyaan Arahan :
Mengapa Great Depression terjadi ?
Apa kaitan dari Great Depression, Keynesianisme, dan Fordisme ?

Ekonomi Politik Internasional 81


Referensi :
Brown, Michael B., 1995. The Keynesian model, dalam Models
in Political Economy. London : Penguin, pp. 55-71
Frieden, Jeffrey A., 2006. The Established Order Collapses,
dalam Global Capitalism : Its Fall and Rise in the
Twentieth Century. New York : W.W. Norton & Co. Inc.,
pp. 173-194
Gramsci, Antonio, 1971. Americanism and Fordism, dalam
Selections from the Prison Notebooks. London : Lawrence
& Wishart, pp. 277 318.

Ekonomi Politik Internasional 82


Dari Sistem Standar Emas ke Sistem Bretton Woods :
Institusionalisasi Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Belajar dari peristiwa Great Depression, negara-negara
seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris mulai membenahi
perekonomian dalam negerinya. Tetapi di tengah proses perbaikan
sesudah krisis tersebut, dua negara ini bersama negara-negara
Eropa lain seperti Uni Soviet, Prancis, Jerman, dan negara Asia
yaitu Jepang terlibat dalam Perang Dunia II mulai tahun 1939.
Berada dalam situasi penuh peperangan memunculkan pemikiran-
pemikiran untuk menciptakan perdamaian. Di tahun 1944
diwujudkanlah sebuah impian untuk menciptakan situasi damai
di sektor ekonomi setelah peperangan selesai. Impian ini adalah
sebuah institusi yang mengatur regulasi ekonomi internasional
yang terinspirasi dari pembelajaran krisis Great Depression tahun
1930. Institusi yang dihasilkan nantinya akan dikenal sebagai
bagian dari Sistem Bretton Woods.

Sistem Standar Emas


Sistem standar emas (Gold Standard System) adalah sistem
moneter internasional yang digunakan di era sebelum kemunculan

Ekonomi Politik Internasional 83


Sistem Bretton Woods. Emas dijadikan standar nilai tukar uang
pada masa itu. Mekanismenya adalah 1 ons emas bernilai beberapa
sterling. Inggris menjadi penangung jawabnya supaya sistem
standar ini berjalan stabil (Gilpin 1987, 124). Mengingat pada
masa itu Inggris tengah menjadi hegemon dengan imperiumnya
yang besar dan kuat di dunia, oleh sebab itu Inggris memiliki
tanggung jawab sebagai penjamin nilai emas. Era ini juga dikenal
sebagai Pax Brittanica dan dinilai sebagai masa yang relatif stabil
(Peet 2003, 28). Sehingga jika dibuat sedikit ilustrasi, maka dapat
dimisalkan 1 ons emas dihargai 15 sterling oleh Inggris (Yunus
2015). Ketika individu atau negara memiliki sejumlah emas dan
ingin menukar dengan uang, maka individu tersebut dapat
menukarkannya dengan mata uang Inggris tersebut. Begitu pula
sebaliknya jika ada individu atau negara yang memiliki sejumlah
emas dan ingin menukarnya dengan uang maka Inggris yang akan
membayarnya.
Di sekitar tahun 1920 hingga 1930 terjadi gejala krisis yang
melanda AS namun kemudian merambah negara-negara di Eropa.
Permasalahan awalnya adalah adanya ketidakmampuan pasar
menyerap surplus agrikultur AS. Sektor agrikultur terintegrasi
dengan sektor-sektor lain, termasuk dengan bisnis saham. Suatu
hari, AS tengah mengalami surplus agrikultur, ternyata fenomena

Ekonomi Politik Internasional 84


ini juga diikuti oleh negara-negara lain. Akibat surplus ini pasar
kemudian tidak mampu lagi menyerap. Dampaknya harga-harga
barang menjadi jatuh karena jumlah produk di pasar berlebihan. Ini
kemudian menyebabkan efek domino pada bisnis saham. Bisnis
saham ikut jatuh karena harga-harga di sektor agrikultur semakin
hari semakin menurun, akibatnya para spekulan memutuskan
untuk menjual saham mereka secara serempak di hari Selasa dan
Kamis yang kemudian dikenal sebagai Black Tuesday and
Thursday (Frieden 2006). Pemerintah sempat mengambil langkah
dengan menaikkan suku bunga untuk menghentikan aksi para
spekulan ini. Keadaan ini juga makin diperburuk dengan kebijakan
pemerintah untuk melakukan likuidasi (Frieden 2006). Likuidasi
pada mulanya bertujuan untuk memusnahkan bisnis dan hutang
bermasalah, sehingga keadaan stabil akan kembali. Namun
kenyataannya tidak terjadi. AS, negara-negara Eropa, dan lain
yang tengah mengalami krisis kemudian memutar otak untuk
segera menuju stabilitas.
Untuk memeroleh pemasukan negara setelah harga-harga
produk jatuh, AS menerapkan kebijakan beggar-thy-neighbor yang
ternyata juga dibalas dengan diikuti oleh negara-negara lain.
Kebijakan beggar-thy-neighbor adalah kebijakan dengan
mengorbankan negara lain (Frieden 2006). Suatu negara mematok

Ekonomi Politik Internasional 85


pajak tinggi bagi produk-produk impor negara lain (Yunus 2015).
Ini justru menimbulkan masalah karena produk-produk tersebut
menjadi tidak laku karena pengangguran di negara tujuan yang
tinggi sehingga daya beli masyarakat menurun. Akibatnya barang-
barang tersebut kembali ke negara asal dan makin merugikan
negara. Selain menerapkan kebijakan tersebut di sektor pajak, AS
juga menerapkannya pada sektor hutang. AS menolak untuk
melikuidasi hutang Jerman, Inggris, dan Prancis (Mansbach &
Rafferty 2008, 517). Seperti yang diketahui sesudah Perang Dunia
I, tiga negara tersebut berhutang pada AS untuk menutupi biaya
pos-Perang Dunia I. AS yang tengah membutuhkan pemasukan
enggan untuk menghapus hutang ketiga negara tersebut. Ini lantas
berdampak pada kesulitan ekonomi di domestik negara-negara
tersebut yang berakibat jangka panjang pada Perang Dunia II.
Sementara itu di sisi lain, para pebisnis yang memiliki
bisnis di luar negeri memiliki jumlah uang yang banyak dan ingin
menukarkannya dengan emas (Frieden 2006). Inggris sebagai
penjamin mau tidak mau harus menyediakan dan mengganti
sterling tersebut dengan sejumlah emas. Karena para pebisnis ini
berbondong-bondong mengambil uang mereka di bank karena
khawatir bank akan ditutup, segera menukar uangnya dengan
emas. Akibatnya jumlah uang di masyarakat menjadi semakin

Ekonomi Politik Internasional 86


sedikit. Emas Inggris juga seiring waktu juga semakin menipis.
Karena tidak mungkin memeroleh emas dalam waktu sekejap,
diperlukan cara lain untuk mengakalinya. Caranya adalah dengan
mengurangan jumlah uang yang dimiliki oleh Inggris (Gilpin 1987,
124-5). Tetapi akibat dari kebijakan ini adalah deflasi. Deflasi
menyebabkan masyarakat tidak banyak memegang uang yang
kemudian menurunkan daya beli mereka. Great Depression
semakin nyata dengan kondisi-kondisi ini. Akhirnya dengan sistem
standar emas yang kolaps dan situasi ekonomi internasional kacau,
Inggris mulai menurun performanya sebagai hegemon.

Sistem Bretton Woods dan Nilai-Nilai yang Terkandung di


Dalam Konteks Ekonomi Politik Internasional
Muncul sebuah kekacauan dengan adanya kondisi seperti
ini. Oleh sebab itu negara-negara saat itu mulai berpikir akan
perlunya tatanan dan regulasi yang dapat menertibkan situasi
ekonomi internasional (Peet 2003, 31). Terbersit ide untuk
menciptakan sebuah mekanisme yang dapat mengatur dan
menertibkan ekonomi internasional saat itu. Namun belum sempat
terealisasi, negara-negara di Eropa, AS, dan Jepang terlibat ke
dalam Perang Dunia II. Sempat terlupakan namun para elit di
negara-negara tersebut mulai kembali mempertimbangkan ide

Ekonomi Politik Internasional 87


mekanisme yang lebih baik saat itu. Hingga akhirnya di tahun
1944 diadakan sebuah konferensi di kota Bretton Woods di AS.
Konferensi ini dilakukan salah satunya sebagai upaya untuk
merumuskan langkah penciptaan perdamaian dan ketertiban
sesudah perang (Peet 2003, 27). Gilpin (1987, 131) juga
menambahkan bahwa Sistem Bretton Woods bertugas dalam
penciptaan tatanan ekonomi dunia yang stabiil. Di dalam
konferensi ini hadir 44 negara yang masing-masing negara
diwakili oleh menteri ekonomi, keuangan, ahli ekonomi, dan
mahasiswa yang baru lulus. Di dalam proses negosiasi, 1muncul
ide-ide untuk membuat sebuah mekanisme yang dapat
menciptakan keteraturan dalam ekonomi. Delegasi AS mengajukan
pendirian IMF yang akan diproyeksikan sebagai badan yang
berwenang dalam sistem moneter internasional dan ITO yang
diproyeksikan sebagai badang yang menjaga perdagangan
internasional (Peet 2003, 42). AS dapat dikatakan mewakili
kalangan ekonomi klasik yang mencoba menempatkan kekuatan
ekonomi bukan di tangan pemerintah yang mewakili unsur politik.
Sementara itu John Maynard Keynes, ekonom asal Inggris yang
menggagas pemikiran Keynesianisme mengajukan pembentukan
IBRD (yang kemudian dikenal sebagai Bank Dunia). IBRD
diproyeksikan untuk merekonstruksi dan membantu negara-negara

Ekonomi Politik Internasional 88


di dunia sesudah perang untuk membangun kembali negaranya
(Peet 2003, 42). IBRD khas dengan pemikiran Keynesianisme soal
welfare state. Ini juga seiring dengan nilai positif yang didapat
oleh Keynesianisme dari publik saat itu. Keynesianisme terbukti
mampu membangkitkan kondisi ekonomi domestic dan
kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu pendirian IBRD
dibiarkan oleh AS saat itu. Sementara itu AS menetapkan diri
sebagai hegemon baru menggantikan Inggris. Ini terlihat salah
satunya dari kesediaan AS sebagai penjamin sistem moneter saat
itu. Sistem moneter internasional yang sebelumnya adalah floating
exchange rate dengan emas sebagai standarnya kemudian bergeser
menjadi fixed exchange rate dengan emas tetap sebagai bagiannya.
Sehingga dalam mekanisme baru, 1 ons emas dihargai US$ 35
Dollar (Frieden 2006, 290). Setelah muncul hegemon baru,
ekonomi politik internasional kemudian berjalan stabil kembali.
Dengan disepakatinya Sistem Bretton Woods, beberapa
negara mulai meratifikasi, kecuali Uni Soviet dan negara-negara
satelitnya serta Tiongkok. Sistem ini kemudian diterapkan dan
terlihat implementasinya dalam hubungan internasional maupun
domestic negara-negara tersebut. Tahun 1950 hingga 1960
merupakan era keemasan dunia terlihat dari kombinasi-kombinasi
yang dihasilkan ketiga badan Sistem Bretton Woods (Frieden

Ekonomi Politik Internasional 89


2006, 300). IBRD atau Bank Dunia mulai memberi bantuan dana
untuk pembangunan dalam negeri ke beberapa negara. Dana ini
kemudian mendorong terwujudnya konsepsi walfare state di dunia
contohnya di Skandinavia (Frieden 2006b, 297-8). Sementara itu
ITO yang kemudian berubah nama menjadi GATT ini mereduksi
hambatan dalam perdagangan yang berimbas pada liberalisasi
pasar serta meningkatnya ekspor negara-negara di dunia (Frieden
2006b, 288). Dengan ekspor besar-besaran ini berdampak pada
kemakmuran negara, contohnya Jepang yang di tahun 1950-an
bertransformasi sebagai negara maju baru. Kemudian IMF
menjadikan sistem moneter internasional berjalan dengan stabil.
Ini disebabkan karena nilai emas dan dollar yang tetap. Didukung
pula dengan penguasaan AS terhadap 2/3 emas dunia yang
menyebabkan sistem standar emas ini tetap berjalan.
Institusionalisasi Ekonomi Politik Internasional berjalan dengan
baik selama masa Bretton Woods ini. Harapan untuk menertibkan
ekonomi internasional berhasil seiring dengan adanya institusi
yang meningkatkan kestabilan rezim serta adanya hegemon dalam
rezim ini. Peranan AS sebagai hegemon tidak dapat dipungkiri ikut
menertibkan kondisi ekonomi internasional yang sebelumnya
kacau dan penuh ketidakpastian. Ekonomi dan politik di masa

Ekonomi Politik Internasional 90


Bretton Woods ini dapat berjalan beriringan dengan baik. Politik
dijalankan sebagai instrumen pengatur dan pengendali ekonomi.

Kejatuhan Sistem Bretton Woods


Kejayaan sistem ini kemudian mengalami penurunan
seiring dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap AS
(Gilpin 1987, 138). Ini disebabkan karena overvalued dollar dan
penurunan trade balance di akhir periode 1960 atau di awal
dekade 1970 (Gilpin 1987, 138). Di dalam mekanisme ini
ditetapkan bahwa AS tidak akan mendevaluasi dollar AS untuk
meningkatkan harga barang ekspor AS. Ini memunculkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen AS, sementara di
sisi lain negara-negara di dunia diizinkan mendevaluasi mata
uangnya. Akibat yang kemudian muncul karena terpacu, AS lantas
mencetak uang banyak dengan asumsi tidak ada devaluasi. Tetapi
permasalahan muncul karena sebenarnya AS mengekspor inflasi
ke negara-negara lain. Ini seiring dengan suplai dollar AS ke
negara-negara lain yang berarti jumlah dollar lantas semakin
banyak di negara-negara tersebut. Akhirnya mekanisme fixed
exchange rate diubah kembali pada mekanisme lama yaitu float
exchange rate hingga saat ini. Sistem Bretton Woods kemudian
runtuh di tahun 1981 dengan ditandai pembaruan aturan dalam

Ekonomi Politik Internasional 91


ketiga badannya. IMF, GATT atau WTO, dan Bank Dunia masih
bertahan hingga saat ini. Namun ada pembaruan aturan yang
ditetapkan karena telah terjadi pergeseran pendulum Ekonomi
Politik Internasional. Misalnya IMF dan Bank Dunia yang kini
berkolaborasi dengan menetapkan syarat pemberian hutang pada
negara-negara resipiennya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan,
membicarakan mengenai sistem moneter tidak terlepas dari sistem
standar emas yang merupakan contoh sistem moneter tertua yang
ada. Sistem standar emas menjadi acuan tentang bagaimana
negara-negara dalam melakukan pertukaran uang. Sistem standar
emas tertua ada di era Pax Britannica yang aturannya adalah satu
ons emas dihargai senilai 15 sterling. Sehingga ketika negara lain
ingin menukar mata uangnya, harus ada penjamin emas untuk
memastikan nilainya. Sistem ini dikenal sebagai fixed exchange
rate. Tetapi kemudian sistem ini tidak bertahan lama karena
beberapa alasan mulai dari dampak Great Deperession hingga
kendala ketersediaan emas yang tidak selamanya tersedia terus
menerus dan cepat dalam ketersediannya. Sistem standar emas
yang demikian ini ditambah dengan kasus Great Depression

Ekonomi Politik Internasional 92


mendorong negara-negara saat itu untuk melakukan
institusionalisasi. Institusionalisasi dilakukan dengan tujuan untuk
menertibkan kondisi ekonomi politik internasional saat itu.
Institusionalisasi ini yang kemudian mendorong lahirnya Sistem
Bretton Woods dengan tiga institusi pilarnya yakni Bank Dunia,
IMF, dan WTO (dulu GATT). Sistem Bretton Woods membuat
standarisasi di masing-masing instansinya dengan tujuan
menertibkan perilaku negara-negara dalam praktik ekonomi politik
internasional. Ini menjadi solusi yang terbilang berhasil di
masanya. Solusi Sistem Bretton Woods ini juga menggambarkan
apa yang disebut sebagai embedded liberalism yakni sebuah terma
yang menjelaskan upaya untuk menyatukan ekonomi domestik dan
ekonomi internasional.

Kata-kata Kunci : sistem standar emas, sistem Bretton Woods,


embedded liberalism, institusionalisasi, moneter

Pertanyaan Arahan :
Seperti apa sistem standar emas ? Mengapa membawa masalah
pada sistem moneter internasional ?
Mengapa perlu institusionalisasi dalam Ekonomi Politik
Internasional ?

Ekonomi Politik Internasional 93


Nilai-nilai apa yang mendasari munculnya institusionalisasi dalam
Ekonomi Politik Internasional sebagaimana yang terjadi dalam
Sistem Bretton Woods ?

Referensi :
Frieden, Jeffrey A., 2006. The Bretton-Woods in Action. In:
Global Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth
Century. New York: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 278-300.
Gilpin, Robert, 1987. International Money Matters. In: The
Political Economy of International Relations. Princeton :
Princeton University Press, pp. 118-170.
Peet, Richard, 2003. Bretton-Woods: Emergence of a Global
Economic Regime. In: Unholy Trinity: The IMF, World
Bank, and WTO. London: Zed Books, pp. 27-55.

Ekonomi Politik Internasional 94


Developmentalisme, Industrialisasi, dan Dependensi :
Preskripsi Non-Kapitalis dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Peristiwa Great Depression 1930 memiliki peranan bagi
negara-negara di luat Eropa, seperti negara-negara Amerika Latin
(Thomas 2008, 417). Momen ini dijadikan negara-negara
berkembang tersebut untuk memperbaiki stabilitas ekonominya.
Caranya adalah dengan memulai industrialisasi. Fenomena ini
menarik karena industrialisasi yang diterapkan di Amerika Latin
menjadi solusi menarik karena mengedepankan peranan negara
lebih kuat dibanding pasar. Bahkan mekanisme ini bertahan hingga
tahun 1980-an. Tidak hanya di Amerika Latin, berakhirnya Perang
Dunia II mendorong kemunculan negara-negara baru yang harus
menghadapi masalah perkembangan ekonomi. Negara-negara baru
merdeka ini berusaha mencari solusi untuk membangkitkan
perekonomian mereka yang di masa kolonial, mereka lebih
menjadi subordinatnya dengan memasok bahan mentah ke negara
penjajah (Thomas 2008, 419). Dengan berbagai pertimbangan dari
preskripsi teoritisi ekonomi, bermunculan negara-negara
berkembang yang kemudian bertransformasi menjadi negara maju
di dunia. Preskripsi yang diterapkan bukan hanya milik

Ekonomi Politik Internasional 95


Kapitalisme saja, tetapi juga non-Kapitalis. Pembahasan topic ini
akan menjelaskan mengenai bagaimana inklusi non-Kapitalis
diterapkan di negara-negara berkembang dengan perbandingan
pemikiran dasarnya dengan solusi Kapitalis.

Perkembangan Inklusi Non-Kapitalis


Inklusi non-kapitalis muncul sebagai respon sistem
internasional di era sesudah Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia
II berakhir di tahun 1945, banyak negara-negara industri yang
mulai melakukan dekolonialisasi dengan tidak lagi menduduki
negara koloninya. Berakhirnya kolonialisasi ini disebabkan
beberapa di antaranya oleh karena perjuangan di dalam negara
kolonial dan juga efek perang yang besar menghancurkan
perekonomian mereka membuat negara-negara ini harus perlahan
melepas koloninya. Ketika proses dekolonialisasi dimulai maka
mulai muncul negara-negara baru. Menurut pandangan
Strukturalisme, negara-negara baru ini menghadapi tantangan baru
dari struktur atau sistem internasional yang telah ada. Di dalam
pandangan Strukturalisme, sistem internasional telah bersifat
diskriminatif dan eksploitatif. Di dalam artian negara-negara baru
ini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus bisa bertahan
di tengah sistem yang telah terdesain seperti itu. Untuk bisa

Ekonomi Politik Internasional 96


bertahan ini muncul pandangan-pandangan yang dijadikan
masukan bagi kebijakan pemerintah negara. Pada masa itu, di
tengah arus utama preskripsi pembangunan dan industrialisasi
negara-negara berdasarkan paham Kapitalisme, ada pula negara-
negara yang menerapkan preskripsi anti-mainstream. Ini yang
dikenal sebagai inklusi non-kapitalis. Inklusi non-kapitalis ini
banyak dimunculkan oleh pemikir-pemikir beraliran
Strukturalisme dari Amerika Latin. Adanya inklusi non-kapitalis
ini juga tidak terlepas dari tujuan negara-negara baru ini untuk
mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara lain.
Mengingat kondisi mereka yang telah tertinggal dan harus tetap
bisa bertahan di tengah sistem internasional yang demikian, maka
inklusi non-kapitalis banyak diadopsi di beberapa negara.

Perbedaan Inklusi Non-Kapitalis dan Kapitalis dalam


Memandang Industrialisasi dan Pembangunan
Ada 3 pendekatan yang menjelaskan soal solusi
developmentalisme di negara-negara berkembang. 2 pendekatan
yaitu Liberalisme dan Marxisme identik dengan solusi Kapitalis,
sementara pendekatan Strukturalisme mengarah pada solusi non-
Kapitalis. Pertama adalah solusi menurut Liberalisme. Inti dari
solusi yang dicetuskan oleh kaum Kapitalis adalah dengan

Ekonomi Politik Internasional 97


melakukan industrialisasi berorientasi ekspor. Tidak hanya sekedar
mengekspor bahan mentah, melainkan juga mulai mengekspor
barang jadi. Solusi Kapitalis ini banyak diterapkan di negara-
negara seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, dan
Hongkong. Di dalam kerangka kerja Liberalisme, ada unsure-unsur
lain yang dapat digunakan untuk membangkitkan pertumbuhan
ekonomi suatu negara, yaitu bantuan internasional dan investasi
asing (Gilpin 1987, 265). Tetapi, Liberalisme juga mengingatkan
bahwa mencapai pertumbuhan dan perkembangan, pada dasarnya
tidak dapat dicapai apabila unsur politik yaitu permrintah terlalu
banyak mencampuri urusan pasar (Gilpin 1987, 266). Lebih lanjut
pula Liberalisme menjelaskan mengenai kemungkinan terjadinya
ketergantungan. Bagi Liberalisme, ketergantungan terjadi karena
industrialisasi tersebut. Difusi dari negara core ke negara
berkembang diperlukan untuk membantu proses industrialisasi itu
sendiri (Gilpin 1987, 266). Ini sejalan dengan teori Dual Strategy
yang menyatakan bahwa difusi modernitas wajar terjadi sebagai
proses mencapai pertumbuhan ekonomi (Gilpin 1987, 265).
Sehingga dapat dipahami, meski buruk, namun ketergantungan
justru yang akan menjalankan aliran perdagangan internasional.
Berikutnya adalah solusi yang ditawarkan oleh Marxisme
Tradisional. Marxisme Tradisional merujuk pada Marxisme yang

Ekonomi Politik Internasional 98


digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Solusi
developmentalisme yang ditawarkan oleh Marxisme adalah dengan
meyakini bahwa model kapitalisme diperlukan dalam proses
mencapai masyarakat Sosialis, fase tertinggi dalam Marxisme
(Gilpin 1987, 273). Marxisme meyakini bahwa sejarah manusia
selalu bergerak dinamis dan berputar seperti roda (Gilpin 1987,
270). Artinya masyarakat primitive akan bergerak menuju
modernisasi yang diwakili pada fase kapitalis hingga akhirnya
akan mencapai masyarakat Sosialisme sebagai fase tertinggi
Marxisme. Seperti yang dicontohkan oleh Marx adanya model
produksi Asia (Asiatic Production) yang bertahan di Asia sampai
sebelum kedatangan bangsa Barat ke benua ini lewat ekspedisinya
(Gilpin 1987, 272). Model produksi Asia masih sangat tradisional
dengan basis pedesaan dan pertanian. Tetapi ketika bangsa Barat
datang ke Asia, maka perlahan model produksi ini melebur dan
tergantikan oleh model produksi yang lebih modern. Jika ditarik di
masa sekarang dapat dilihat bagaimana kemudian siklus hidup
masyarakat selalu bergerak. Modernitas yang dibawa
menggantikan tradisionalitas tersebut selalu muncul dan membawa
perubahan, termasuk pertumbuhan di masyarakat tersebut.
Sehingga, dengan pola sirkular artinya kapitalisme dibutuhkan
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat.

Ekonomi Politik Internasional 99


Kapitalisme di negara-negara berkembang diperkenalkan
oleh negara-negara penjajahnya. Dari model kolonialisme ini
kapitalisme dapat ditransfer. Fitur-fitur penggerak model
kapitalisme seperti teknologi pun diperkenalkan dalam
kolonialisme (Gilpin 1987, 271). Dari sini, industrialisasi di negara
berkembang akan bergerak dan membangkitkan perekonomian
domestic negara tersebut Ketika kesejahteraan dicapai masyarakat
dan negara telah mencapai kemakmuran dengan kekayaannya
maka sistem kapitalisme akan runtuh secara alami yang kemudian
nantinya akan digantikan oleh masyarakat Sosialisme. Di fase ini
nanti hasil dari kapitalisme akan dinikmati oleh masyarakat dalam
komune tersebut. Sehingga ketika industrialisasi dari kapitalisme
tersebut bergerak, ketergantungan tidak dapat dihindari karena
aliran perdagangan internasional itu sendiri. Tetapi Marxisme
menilai deependensi ini diperlukan agar target developmentalisme
di negara-negara berkembang tercapai. Ketergantungan itu sendiri
tercipta dari hubungan negara berkembang dengan negara
penjajahnya, dan justru di situ letak baiknya untuk menggerakkan
industrialisasi (Gilpin 1987, 271).
Ketiga adalah solusi underdevelopment yang diwakili oleh
Strukturalis. Posisi Strukturalis ini yang dikenal sebagai solusi
non-Kapitalis. Solusi Strukturalisme ini salah satunya dicetuskan

Ekonomi Politik Internasional 100


melalui gagasan ISI atau Import Substituting Industrialization
(Gilpin 1987, ). Model ISI banyak diterapkan di negara-negara
Amerika Latin yang kemudian dikenal pula sebagai solusi pos-
Kolonial. Para teoritisi Amerika Latin meyakini bahwa berlawanan
dengan liberalism klasik yang menjadi arus utama ekonomi,
perlindungan dan subsidi terhadap industri adalah sebuah hal yang
bagus bagi perkembangan ekonomi. ISI diterapkan dengan
mekanisme industrialisasi secara cepat dan produksi sendiri
produk-produk yang dahulu diimpor dari negara-negara maju
(Frieden 2006, 304). Sehingga dengan mekanisme seperti ini,
mencapai pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dengan cara
membangkitkan industrialisasi dalam negeri namun tidak sampai
menyebabkan munculnya ketergantungan terhadap negara lain.
Momen Great Depression dan berakhirnya Perang Dunia II
mendorong negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya adalah
negara-negara dengan orientasi ekonomi pasar bebas, kemudian
berubah haluan menjadi industrialisasi berorientasi proteksionis
(Frieden 2006, 304). Pemerintah mendukung program ISI ini
dengan menyediakan insentif dan subsidi pada industri (Frieden
2006, 304). Tujuannya adalah untuk membangkitkan industri
dalam negeri agar memenuhi kebutuhan domestic secara tepat dan

Ekonomi Politik Internasional 101


agar jangan sampai ada masyarakat yang tidak terpenuhi
kebutuhannya.
Solusi non-Kapitalis ini menarik karena dengan mekanisme
ISI, negara-negara Amerika Latin mampu bertahan dengan
mencapai kestabilan ekonomi. Akan tetapi, meski diterapkan
cukup lama, mekanisme ISI ini harus berakhir ketika di tahun
1980-an, negara-negara di Amerika Latin mulai bergeser
haluannya dari state-led economy menjadi market-led economy
(Thomas 2008, 123). Ini diakibatkan oleh kebutuhan negara-negara
Amerika Latin untuk mendapat investasi asing dan juga bantuan
finansial dari luar negari yang tengah marak saat itu. Periode 1980-
an dan 1990-an menjadi masa kemunculan globalisasi dengan misi
neoliberalisme yang masif saat itu. Sehingga dapat dipahami
kemudian, solusi non-Kapitalis ini akhirnya ditinggalkan
berangsur-angsur oleh penggunanya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan di negara-
negara berkembang, preskripsi developmentalisme muncul dalam
dua cara umum, yaitu solusi kapitalis dan non-Kapitalis. Solusi
Kapitalis dengan penjelasan menurut Liberalisme dan Marxisme
menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan negara dapat

Ekonomi Politik Internasional 102


dicapai dengan cara industrialisasi yang berorientasi ekspor.
Ketika industrialisasi yang berorientasi ekspor ini digerakkan,
maka kesejahteraan dapat dicapai. Tetapi ketergantungan mungkin
muncul akibat dari proses difusi modernitas ke negara-negara
subordinat. Meski terdengar buruk, ketergantungan ini sebenarnya
wajar dan sudah seharusnya terjadi karena dengan begitu
developmentalisme dapat tercapai. Berikutnya adalah solusi non-
Kapitalis. Solusi yang ditawarkan oleh para kaum non-Kapitalis ini
adalah dengan membangkitkan sektor industrialisasi yang
memproduksi keperluan domestic yang dahulu hanya dapat
dipenuhi dari proses impor. Selain industrialisasi untuk pemenuhan
sektor domestic, industrialisasi juga tetap digerakkan untuk
keperluan ekspor. Dengan cara ini, maka pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang dapat
tercapai dan sekaligus menghentikan ketergantungan pada negara
lain. Solusi non-Kapital ini banyak diterapkan di negara-negara
Amerika Latin, seperti Brasil yang hingga kini menjadi salah satu
kekuatan baru dunia.

Kata-Kata Kunci : developmentalisme, industrialisasi,


dependensi, non-kapitalis, strukturalisme

Ekonomi Politik Internasional 103


Pertanyaan Arahan :
Mengapa pandangan-pandangan non-kapitalis muncul sebagai
alternative pembangunan sesudah Perang Dunia II ?
Apa beda antara pandangan kapitalis dan non-kapitalis dalam
melihat industrialisasi dan arah pembangunan?

Referensi :
Frieden, Jeffrey A., 2006. Decolonization and Development. In:
Global Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth
Century. New York: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 301-320.
Gilpin, Robert, 1987. The Issue of Dependency and Economic
Development. In: The Political Economy of International
Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 263-
305.
Thomas, Caroline, 2008. Globalization and Development in the
South.In: Ravenhill, John. Global Political Economy.
Oxford: Oxford University Press, pp. 410-447.

Ekonomi Politik Internasional 104


Negara, Korporasi Multinasional, dan Kapitalis Transnasional
: Agensi dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Di dalam Ekonomi Politik Internasional (EPI) aktor utama
yang menjadi subyek pembahasan studi ini adalah negara,
perusahaan multinasional, dan kapitalis transnasional. Tiga aktor
ini seringkali dikenal pula sebagai agensi dalam EPI dan menjadi
subyek menarik untuk diperdebatkan terkait siapa yang paling kuat
dan berpengaruh dalam ekonomi politik internasional. Oleh sebab
itu, penulis pada paper ini akan membahas mengenai agensi dalam
EPI yang terdiri dari tiga agen atau aktor yaitu negara, perusahaan
multinasional, dan kapitalis transnasional. Pembahasan dalam
minggu ini akan terbagi menjadi 4 bagian. Pertama akan
membahas mengenai agensi apa saja yang ada dalam EPI.
Penjelasan selanjutnya akan dilanjutkan pada bagian kedua tentang
peranan signifikan dari negara, perusahaan multinasional, dan
kapitalis transnasional. Berikutnya pada bagian ketiga akan
dibahas mengenai keterhubungan ketiga agensi tersebut. Terakhir
penjelasan akan membahas mengenai apa yang seharusnya dimiliki
negara untuk menjaga eksistensinya di tengah perusahaan
multinasional dan perusahaan transnasional.

Ekonomi Politik Internasional 105


Negara, Korporasi Multinasional, dan Kapitalis Transnasional
dalam Ekonomi Politik Internasional
Di dalam Ekonomi Politik Internasional ada tiga agensi
utama yang menjadi unit analisis studi ini. Tiga agensi tersebut
adalah negara, perusahaan multinasional, dan kapitalis
transnasional. Pertama, negara merupakan aktor yang telah sejak
masa lampau ada. Negara menjadi agensi dalam Ekonomi Politik
Internasional karena negara merupakan pelaku dalam aktivitas
ekonomi politik internasional. Negara menyediakan wilayah untuk
berproduksi sekaligus untuk pemasaran. Negara juga pastinya
memiliki warga negara yang mendiami teritori tersebut dan mereka
ini menjadi tenaga kerja maupun sebagai konsumen dari produk-
produk yang dipasarkan. Eksistensi negara sebagai agensi dalam
ekonomi politik internasional juga berfungsi sebagai otoritas
berwenang dalam penciptaan regulasi-regulasi yang berguna untuk
beroperasinya sebuah perusahaan atau industri (Gilpin 2001).
Tidak hanya itu, negara juga menjadi rujukan perusahaan-
perusahaan untuk berkonsultasi sebelum mendirikan usaha.
Termasuk pula ketika sebuah perusahaan multinasional membuka
cabang baru di host country, tentunya profit dari bisnis ini akan
diterima oleh home country sebagai pemasukannya (Magdoff
1978).

Ekonomi Politik Internasional 106


Agensi ekonomi politik internasional berikutnya adalah
perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional merupakan
perusahaan yang beroperasi secara lintas batas, dengan
kepemilikan saham maupun diisi oleh individu-individu yang
berasal dari berbagai negara. Ada berbagai pendapat mengenai
signifikansi dari perusahaan multinasional ini. Sebagian pendapat
menyebutkan bahwa peranan perusahaan multinasional saat ini
bahkan melebihi negara. Hal ini disebabkan karena kemampuan
perusahaan multinasional untuk mendirikan bisnis dan meraih
keuntungan besar dari pembukaan bisnis di suatu negara, bahkan
lebih besar dari negara home sendiri, contohnya Walmart di
Amerika Serikat (AS). Selain itu, keberadaan perusahaan
multinasional ini juga membawa dua hal yang penting dan
diperlukan oleh negara, yaitu dana dan teknologi (Gilpin 2001). Di
sisi lain, ada pendapat yang mencoba menujukkan dampak positif
dari adanya perusahaan multinasional ini. Melalui perusahaan
multinasional, ada investasi dan atau aliran dana yang diberikan
pada negara host. Adanya dana ini dimanfaatkan untuk
pembiayaan maupun pembukaan industri-industri baru. Sehingga,
aka nada penyerapan tenaga kerja dan pemasukan pada negara
yang menjadi tujuan perusahaan multinasional ini. Pemberian dana
ini juga dikenal sebagai FDI atau foreign direct investment.

Ekonomi Politik Internasional 107


Menurut Magdoff (1978), FDI ini penyebab kemunculan
perusahaan-perusahaan multinasional baru di negara-negara dunia
ketiga utamanya. Tidak hanya dalam hal dana, perusahaan
multinasional ini juga terlibat dalam transfer teknologi bagi
pembangunan negara host. Meski besar peranan perusahaan
multinasional, namun di satu sisi, perusahaan multinasional
memiliki kelemahan. Hal ini berkaitan dengan otoritas, meskipun
perusahaan multinasional memiliki pengaruh yang kuat, namun
mereka tidak memiliki otoritas, misalnya dalam pembuatan
regulasi atau hukum soal industri. Pihak yang memiliki otoritas
adalah tetap negara. Oleh sebab itu, sekuat apa pun perusahaan
multinasional, namun tetap saja kekuatannya tidak dapat
melampaui negara (Singh 2005). Perusahaan multinasional masih
memiliki kekurangan dan hanya negara yang mampu memberinya
perlindungan (Gilpin 2001).
Selanjutnya, agensi ketiga dalam ekonomi politik
internasional adalah kapitalis transnasional. Kapitalis transnasional
menurut Robinson (2004) adalah orang-orang pemilik properti
yang di dalam hal ini diartikan sebagai para pemilik modal atau
kapital. Kapitalis transnasional merupakan golongan orang-orang
pemilik kapital atau faktor-faktor produksi yang lintas batas atau
antarnegara. Artinya, kepemilikan kapital tidak hanya terpusat

Ekonomi Politik Internasional 108


pada sekelompok orang di satu negara, melainkan juga
antarnegara. Para kapitalis transnasional ini dapat diibaratkan
sebagai kelas borjuis dalam dialektika Marxisme. Golongan
kapitalis transnasional ini memiliki signifikansi peranan sebagai
penyedia faktor-faktor produksi. Golongan ini yang ikut serta
dalam proses investasi dan kepemilikan saham lintas batas dan di
berbagai perusahaan. Para pemilik kapital ini juga memiliki
kemampuan untuk membantu kemudahan dan keberlangsungan
bisnisnya dan dapat pula perusahaan multinasional. Menurut
Robinson (2004), golongan kapitalis transnasional ini dapat
dicontohkan sebagai birokrat, pebisnis besar, teknisi, dan
konsumen (pedagang kelas kecil). Golongan ini oleh sebab itu
mampu memengaruhi pemerintah lewat lobi-lobi yang dilakukan.
Tidak hanya itu, golongan ini dapat pula menjembatani hubungan
antara pemerintah dengan perusahaan multinasional.

Relasi Negara, Korporasi Multinasional, dan Kapitalis


Transnasional
Meski memiliki keterkaitan, namun sesungguhnya, ketiga
agensi ini keberadaannya menjadi perdebatan. Terutama tentang
bagaimana eksistensi negara di tengah kehadiran perusahaan
multinasional dan kapitalis transnasional ini. Setidaknya, ada 3

Ekonomi Politik Internasional 109


pemikiran teoritisi yang dapat dijadikan referensi tentang
bagaimana posisi atau eksistensi negara di mata mereka. Robert
Gilpin (2001) yang seorang state-centric realism memandang
bahwa eksistensi negara masih ada. Tanpa keberadaan negara,
perusahaan multinasional mustahil dapat berjalan. Oleh sebab itu,
dua aktor ini bagi Gilpin (2001) sebenarnya memiliki hubungan
yang saling memberi manfaat. Terutama bagi negara dalam proses
pembangunan dan membangkitkan perekonomiannya, maka
diperlukan kehadiran perusahaan multinasional sebagai faktor
pendukungnya.
Sementara itu, di sisi lain ada Magdoff yang menilai bahwa
kehadiran negara itu sudah tidak ada lagi. Di dalam artian, negara
sudah tidak eksis. Hal ini disebabkan karena perusahaan
multinasional memiliki kekuatan yang bahkan melebihi negara.
Perusahaan multinasional lebih banyak beraktivitas dengan
pemenuhan preferensi produk mereka daripada kebutuhan
masyarakat di host country (Magdoff 1978). Tidak hanya itu,
perusahaan multinasional juga ketika beroperasi di suatu negara,
hasil yang didapat tentu akan kembali masuk ke home country
(Magdoff 1978). Oleh sebab itu, Magdoff memandang bahwa
dampak positif yang selalu didengung-dengungkan mengenai
perusahaan multinasional terlalu dilebih-lebihkan.

Ekonomi Politik Internasional 110


Selain Magdoff, ada pula Robinson (2004) yang
memandang bahwa eksistensi negara sudah tidak lagi menguat
atau ada. Menurut Robinson (2004), yang ada sekarang adalah
kapitalis transnasional memiliki kekuatan melebihi negara.
Perusahaan multinasional telah menciptakan interkonektivitas
antar kelas kapitalis. Para kapitalis ini dapat dipertemukan ke
dalam sebuah aktivitas bisnis di berbagai negara dan tidak hanya
cukup di satu negara melainkan di banyak negara. Sehinggam
identitas nasionalis para kapitalis transnasional ini hilang, berbeda
dengan perusahaan multinasional yang masih memegang identitas
nasionalis mereka. Sehingga dapat dipahami bahwa eksistensi
negara sudah usang dalam pandangan Robinson.

Kunci Negara di Tengah Eksistensi Korporasi Multinasional


dan Kapitalis Transnasional
Mengingat kemudian peranan negara yang seringkali
dianggap telah usang dengan adanya perusahaan multinasional dan
kapitalis transnasional, maka perlu dijelaskan mengenai apa yang
seharusnya dipegang pemerintah negara agar tetap eksis dan kuat.
Otoritas adalah hal penting yang harus selali dimiliki dan dipegang
oleh negara di tengah kemunculan perusahaan multinasional dan
kapitalis transnasional. Negara masih memegang otoritas dan

Ekonomi Politik Internasional 111


menjadi aktor penting serta kuat, bahkan perusahaan multinasional
dan kapitalis transnasional belum mampu melebihinya (Singh
2005). Negara masih memiliki kewenangan dalam menyusun
hukum dan regulasi terkait perindustrian. Negara juga masih
berperan dalam penyedia informasi penting terkait bisnis negara.
Selain itu, ketika suatu bisnis baru didirikan di suatu negara, tentu
perusahaan multinasional dan kapitalis transnasional masih
membutuhkan kehadiran negara untuk pembukaan usaha.
Perusahaan multinasional dan kapitalis transnasional ini juga tidak
akan dapat beroperasi dan tidak mau beroperasi apabila negara
tidak mampu menunjukkan kapabilitas dan upayanya dalam
penyediaan jaminan hak-hak buruh itu sendiri. Ada banyak
pertimbangan yang diambil oleh perusahaan multinasional dan
kapitalis transnasional tersebut. Semuanya mengarah pada otoritas
atau kewenangan yang dimiliki oleh negara lah yang membuatnya
diperlukan oleh perusahaan multinasional maupun kapitalis
transnasional.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di
dalam ekonomi politik internasional ada tiga agensi yaitu negara,
perusahaan multinasional, dan kapitalis transnasional. Negara

Ekonomi Politik Internasional 112


memiliki signifikansi peranan sebagai pusat dari aktivitas ekonomi
politik internasional. Negara berperan sebagai penyedia teritori,
massa, pasar, dan otoritas berjasa dalam hal regulasi, hukum, izin,
dan sumber informasi untuk bisnis. Sementara itu, perusahaan
multinasional memiliki signifikansi peranan sebagai penyedia dana
dan teknologi. Dana berupa FDI ini biasanya dibawa oleh negara
asal melalui perusahaan-perusahaan multinasional ke negara
tujuan. Berikutnya kapitalis transnasional yang memiliki
signifikansi peranan sebagai penyedia faktor-faktor produksi
sebuah industri. Ketiga agensi ini saling berkaitan satu sama lain.
Perusahaan multinasional dan kapitalis transnasional
membutuhkan negara sebagai penyedia teritori, sumber daya,
pasar, dan sumber informasi yang diperlukan untuk
keberlangsungan bisnis mereka. Sementara negara memerlukan
perusahaan multinasional dan kapitalis transnasional untuk
keperluan pemasukan investasi atau dana ke dalam negeri.
Sementara itu kapitalis transnasional juga berhubungan dengan
membantu perusahaan multinasional beroperasi di sebuah negara.
Begitu pula sebaliknya, perusahaan multinasiona dibutuhkan
kapitalis transnasional untuk membangun bisnis dan meraih profit
dari hasil investasinya pada perusahaan multinasional tersebut.
Seringkali peranan negara dianggap usang, padahal negara justru

Ekonomi Politik Internasional 113


diperlukan keberadaan dan peranannya. Negara dibutuhkan karena
perusahaan multinasional dan kapitalis transnasional tidak
terlampau kuat dibanding negara dalam hal otoritas. Selain itu,
negara diperlukan agar kompetisi antarbisnis tetap berjalan sehat
dan lancar. Oleh sebab itu, hal mendasar yang perlu untuk dimiliki
oleh negara adalah otoritas. Dengan otoritas, maka negara akan
tetap memegang peranan penting di antara perusahaan
multinasional dan kapitalis transnasional.

Kata-Kata Kunci : negara, korporasi multinasional, kapitalis


transnasional, otoritas

Pertanyaan arahan :
Bagaimana signifikansi negara, korporasi multinasional, dan
kapitalis transnasional di Ekonomi Politik Internasional ?
Bagaimana relasi ketiganya ?
Apa yang harus dimiliki oleh negara agar dapat memertahankan
posisinya di tengah-tengah kehadiran korporasi multinasional dan
kapitalis transnasional ?

Ekonomi Politik Internasional 114


Referensi :
Gilpin, Robert, 2001. The State and The Multinationals, dalam
Global Political Economy : Understanding the
International Economic Order. Princeton: Princeton
University Press, pp. 278-304.
Magdoff, Harry, 1978. The Multinational Corporation and
DevelopmentA Contradiction?, dalam Imperialism:
From the Colonial Age to the Present. New York: Monthly
Review Press, pp. 165-197.
Robinson, William I., 2004. Global Class Formation and the Rise
of a Transnational Capitalist Class, dalam A Theory of
Global Capitalism : Production, Class, and State in a
Transnational World. Baltimore: the John Hopkins
University Press, pp. 33-84.
Singh, Kavaljit, 2005. Does Globalization Spell the End of
Nation-State?, dalam Questioning Globalization, London:
Zed Books, pp. 163-181

Ekonomi Politik Internasional 115


Pos-Bretton Woods dan Casino Capitalism : Struktur Finansial
Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Setelah hampir 30 tahun dioperasikan, Sistem Bretton
Woods di tahun 1971 akhirnya resmi diakhiri. Ini disebabkan oleh
ketidakmampuan Amerika Serikat (AS) dalam mekanisme
penjamin sistem moneter internasional. Ketidakmampuan AS ini
lantas berdampak pada pergeseran menuju era baru dalam sistem
moneter internasional. Pergeseran tersebut terjadi dari sistem fixed
exchange rates kemudian menjadi floating exchange rates. Seperti
yang telah diketahui, ada tiga jenis nilai tukar, yakni fixed,
floating, dan managed exchange rates. Fixed exchange rates
merupakan sebuah rezim pertukaran mata uang dengan pemerintah
negara atau bank sentral mengikatkan nilai tukar resminya ke mata
uang (atau nilai emas) negara lain. Sementara itu, floating
exchange rated adalah rezim nilai tukar mata uang dengan mata
uang diatur oleh pertukaran pasar luar negeri melalui mekanisme
permintaan dan penawaran yang kemudian bersifat relatif terhadap
mata uang lain. Selain dua jenis tersebut, ada managed floating
exchange rates yang merupakan rezim pertukaran mata uang yang
menggabungkan kekuatan pasar bebas dan intervensi. Dengan

Ekonomi Politik Internasional 116


bergesernya sistem pertukaran mata uang ke floating exchange
rates, permasalahan baru kemudian muncul dengan sistem baru ini
yang mirip dengan model judi. Istilah casino capitalism adalah
istilah Susan Strange yang menggambarkan rentannya volatilitas
dalam floating exchange rates ini.

Keruntuhan Rezim Bretton Woods


Rezim mata uang di dalam Sistem Bretton Woods berisi
mengenai jaminan Dollar AS sebagai mata uang jangkar dunia.
Mekanismenya adalah 1 Dollar AS senilai dengan 35 ons emas
(Helleiner 2008). Mekanisme ini bernilai tetap oleh sebab itu
dikenal sebagai fixed exchange rates. AS menjadi penjamin
ketersediaan emas dan Dollar ini (Helleiner 2008). Jika ada negara
yang berniat untuk menukarkan emasnya dengan Dollar dan
sebaliknya, maka AS pun harus siap untuk memenuhi tanggung
jawabnya (Helleiner 2008). Selain itu pula, di dalam ketentuan
Bretton Woods ini tidak boleh ada devaluasi mata uang, baik oleh
negara-negara di dunia ini, termasuk AS yang tidak diperbolehkan
mendevaluasi mata uangnya. Rezim mata uang Bretton Woods
seperti ini diterapkan karena belajar dari peristiwa masa lampau
saat Great Depression. Beggar-thy-neighbor banyak menyebabkan
negara-negara saat itu saling mendevaluasi mata uangnya tanpa

Ekonomi Politik Internasional 117


kendali. Oleh sebab itu kemudian ketika sistem Bretton Woods ini
digagas, rezim mata uang yang disepakati mendorong AS yang
notabene adalah satu-satunya yang bertahan sesudah Perang Dunia
II (selain Uni Soviet) untuk memegang komitmen internasional.
Akan tetapi, rezim mata uang ini menemui kendala ketika
memasuki tahun 1970-an mulai muncul masalah yang dihadapi
oleh AS. Pertama adalah inflasi yang besar dialami AS. Inflasi ini
terjadi akibat AS terlalu banyak mencetak Dollar untuk
kepentingan penjaminan pasokan Dollar dunia (Frieden 2006, 344-
5). Kebijakan moneter ekspansif AS ini selain itu juga digunakan
untuk pembiayaan program-program AS saat itu seperti Marshalls
Plan dan Perang Vietnam. Kekalahan perang di Vietnam ini
misalnya merugikan AS dalam jumlah besar (Helleiner 2008, 222).
Selain telah merugi dengan kematian pasukan di medan perang
yang banyak, kerugian juga diakibatkan oleh banyaknya
pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan perang. Dua kondisi ini
memengaruhi kestabilan kekuatan AS.
Inflasi ini juga diakibatkan oleh banyaknya negara-negara
yang berniat menukarkan Dollar mereka dengan emas. Sementara
pasokan emas AS yang mulai menipis, AS sendiri mengakali
dengan menyediakan Dollar dalam jumlah banyak. Dollar ini pun
dipasok dan diekspor ke negara-negara dunia dan kemudian sama

Ekonomi Politik Internasional 118


saja dengan mengekspor inflasi ke dunia (Frieden 2006, 345).
Akibatnya inflasi pun tidak dapat dihindari. Inflasi ini juga
dibarengi dengan peningkatan pengangguran di AS. Jumlah
pengangguran terus meningkat sementara inflasi juga makin
meningkat. Ini tidak sejalan dengan konsepsi John Maynard
Keynes bahwa akan terjadi trade-off antara inflasi dan
pengangguran. Selain Dollar yang jumlahnya terlalu banyak
beredar, ada dampak lain muncul akibat kebijakan moneter
ekspansif AS yaitu adanya overvalue akibat penguatan nilai
berlebih pada Dollar (Frieden 2006, 346). Akibatnya harga barang-
barang menjadi mahal yang berdampak lanjutan pada produk-
produk AS menjadi tidak kompetitif.
Pada fase menjelang keruntuhan sistem Bretton Woods,
kondisi seperti di atas juga dikenal sebagai bagian dari fenomena
Nixon Shock. Di masa itu Richard Nixon, presiden AS tengah
dalam proses menuju pemilihan umum. Nixon yang dihadapkan
pada kondisi dilematis antara komtimen untuk menyelesaikan
permasalahan domestik AS atau tetap pada komitmen internasional
AS sebagai penanggungjawab sistem moneter internasional
(Frieden 2006, 342). Setelah melewati pertimbangan matang, AS
kemudian mengambil keputusan untuk berkomitmen pada sektor
domestiknya. Agar inflasi dalam negeri teratasi dan produk-produk

Ekonomi Politik Internasional 119


AS kembali laku, AS kemudian memutuskan untuk menghentikan
konvertibilitas Dollar dan emas. Baru kemudia AS mendevaluasi
mata uangnya sebesar 10 % (Frieden 2006, 341). Tidak hanya
sekali, melainkan di waktu berikutnya AS mendevaluasi mata
uangnya sebesar 10 %. Dengan demikian di tahun 1971, AS
sepakat untuk kemudian mengakhiri rezim mata uang dalam
Sistem Bretton Woods.

Imbas Keruntuhan Rezim Bretton Woods pada Struktur


Finansial
Dengan berakhirnya rezim mata uang fixed exchange rates,
maka dimulai mekanisme floating exchange rates dalam sistem
moneter internasional (Helleiner 2008, 225). Sehingga dapat
dipahami penyebab keruntuhan rezim mata uang Bretton Woods
adalah ketidakmampuan AS sebagai negara jangkar dalam sistem
tersebut. Keruntuhan rezim mata uang Bretton Woods ini
kemudian berdampak pada struktur finansial pada masa itu yang
menjadi lebih volatile. Imbas lain adalah pemerintah kini tidak
perlu lagi campur tangan terhadap kestabilan mata uang karena
nilai tukar mata uang mekanismenya diserahkan pada pasar.
Berakhirnya rezim mata uang Bretton Woods ini juga
menyebabkan adanya pergeseran fokus dalam impossible trinity.

Ekonomi Politik Internasional 120


Impossible trinity merupakan konsep yang terdiri dari 3 hal yang
tidak mampu ditangani oleh suatu negara secara bersamaan. Ketiga
hal itu adalah stabilitas mata uang, independensi kebijakan
moneter, dan free flow of investment. Di era setelah Perang Dunia
II atau saat sistem Bretton Woods masih berjalan, yang menjadi
fokus adalah stabilitas mata uang dan independensi kebijakan
moneter. Ini disebabkan permasalahan seperti yang telah
disebutkan pada pembahasan sebelumnya mengenai mekanisme
rezim mata uang Bretton Woods. Akan tetapi, ketika sistem ini
berakhir, fokus impossible trinity pun bergeser. Penggunaan
floating exchange rates mengindikasikan adanya fokus negara-
negara saat itu pada aspek free flow of investment. Artinya, negara-
negara kini lebih berfokus pada sektor investasi, dengan memacu
tingkat investasinya saat itu. Di dalam mekanisme ini, nilai tukar
mata uang diserahkan pada pasar. Pemerintah negara tidak perlu
lagi meregulasi perdagangan dan ketersediaan mata uangnya
misalnya karena pasar yang menentukan nilai mata uang tersebut.
Sehingga kemudian yang terjadi adalah tingginya volatilitas dalam
sistem finansial baru ini. Nilai mata uang menjadi naik turun dan
disebabkan karena tidak adanya kepastian seperti pada mekanisme
fixed exchange rates. Tidak hanya volatilitas yang tinggi ketika
sistem floating exchange rates diterapkan kembali, akan tetapi juga

Ekonomi Politik Internasional 121


di era setelah keruntuhan Sistem Bretton Woods ini globalisasi
finansial dan perdagangan makin masif terjadi (Helleiner 2008,
233). Dengan nilai mata uang yang diserahkan ke pasar maka
menjadi intensif kemudian kegiatan investasi seperti aliran foreign
direct investment (FDI) dan setiap pengusaha memperhatikan
perubahan nilai mata uang yang ada di negara lain.

Casino Capitalism dalam Struktur Finansial Ekonomi Politik


Internasional
Kondisi baru yang penuh dengan ketidakpastian dalam
sistem finansial tersebut seperti bermain judi di kasino. Seorang
bernama Susan Strange mencetuskan istilah yang dikenal sebagai
casino capitalism. Istilah ini populer setelah rezim mata uang pada
sistem Bretton Woods berakhir. Salah satu indikator dari adanya
casino capitalism adalah dengan makin maraknya pergeseran
bank-bank konvensional ke bank-bank investasi. Gagasan utama
Strange dalam casino capitalism ini bahwa struktur finansial dunia
yang tinggi saat ini menawarkan para pemainnya sebuah pilihan
permainan (Strange 1986, 1). Maksud dari casino capitalism
adalah layaknya di sebuah kasino, para pemain di dalamnya tidak
dapat memastikan keadaan (Strange 1986, 2-3). Dalam sekejap
para pemain di dalamnya bisa menjadi kaya atau bahkan miskin.

Ekonomi Politik Internasional 122


Para pemain dalam kasino akan mempertaruhkan segalanya demi
menjaga peluang kemenangannya.
Demikian halnya dengan kondisi finansial dengan
mekanisme floating exchange rates. Menyerahkan nilai tukar mata
uang pada pasar merupakan sebuah mekanisme yang rentan
(Strange 1986, 8). Pengusaha harus setiap saat mengamati
pergerakan mata uang dan mengamankan kapital yang mereka
miliki. Ini adalah risiko yang harus ditanggung karena tingginya
volatilitas struktur finansial internasional (Strange 1986, 4).
Sehingga bagaikan di dalam kasino, para pengusaha pun
mempertaruhkan segala yang dimilikinya untuk dapat bertahan di
tengah persaingan dan volatilitas finansial yang begitu tinggi.
Kondisi semacam ini pun menjadikan para pengusaha untuk setiap
saat memperhatikan nilai mata uang yang tiap saat dapat berubah.
Sehingga mereka harus memperhatikan setiap saat agar saham
yang dimiliki maupun harga produknya tetap terjaga. Akibatnya
kemudian spekulasi menjadi tinggi dan ada pergeseran dari nilai-
nilai fundamental dalam ekonomi ke persepsi dan intuisi. Persepsi
dan intuisi menjadi faktor penting yang ada dalam sistem finansial
sesudah Bretton Woods ini.

Ekonomi Politik Internasional 123


Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan rezim mata
uang dalam Sistem Bretton Woods berakhir karena
ketidakmampuan negara jangkar yaitu AS dalam menjamin
kestabilan sistem finansial masa itu. Ini disebabkan karena
tingginya inflasi yang terjadi akibat AS terlalu banyak mencetak
Dollar untuk menyiasati ketersediaan emas yang makin menipis
dan pembiayaan keikutsertaan dalam Perang Vietnam. Karena AS
tidak mampu lagi berkomitmen mereka kemudian memutuskan
untuk mengakhiri rezim mata uang ini sehingga mengubah
mekanisme dan struktur sistm finansial internasional dari fixed
exchange rates ke floating exchange rates. Akibatnya kemudian
sistem finansial internasional bersifat volatil yang artinya begitu
rentan terjadi krisis atau ketidakstabilan. Volatilitas yang tinggi ini
kemudian menginspirasi Susan Strange untuk kemudian
menggagas istilah casino capitalism. Istilah ini memiliki tesis
utama yang menggambarkan situasi dalam struktur sistem finansial
internasional sesudah keruntuhan rezim mata uang Bretton Woods.
Sistem finansial internasional berada dalam ketidakpastian, sama
halnya di dalam kasino, para pemainnya harus setiap saat
mengamati kemungkinan menang dan siap mengambil risiko
kerugian atau kekalahan dan mengorbankan yang dimilikinya.

Ekonomi Politik Internasional 124


Kata-Kata Kunci : sistem Bretton Woods, casino capitalism,
struktur finansial, floating exchange rate, impossible trinity

Pertanyaan arahan :
Mengapa rezim Bretton Woods runtuh dan apa imbasnya bagi
struktur finansial kala itu ?
Apa itu Casino Capitalism dan bagaimana kemunculannya ?

Referensi :
Frieden, Jeffrey A, 2006. The End of Bretton-Woods dalam
Global Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth
Century, New York: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 339-360.
Helleiner, Eric. 2008, The Evolution of the International
Monetary and Financial System, dalam John
Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford
University Press, pp. 213-240.
Strange, Susan, 1986. Casino Capitalism, dalam Casino
Capitalism, Oxford: Basil Blackwell, Ltd., pp. 1-24 .

Ekonomi Politik Internasional 125


Washington Consensus, Structural Adjustment, dan
Neoliberalisme : Monetarisme dalam Ekonomi Politik
Internasional

Pendahuluan
Berakhirnya sistem Bretton Woods tahun 1970-an
menandai dimulainya era baru dalam Ekonomi Politik
Internasional. Era baru ini ditandai dengan pergeseran dari
embedded liberalism yang identik dengan sistem Bretton Woods
dan Ekonomi Politik Internasional menuju kembali munculnya
liberalisme. Namun kini liberalisme yang kembali muncul dan
diadopsi oleh negara-negara di dunia dikenal sebagai
neoliberalisme. Neoliberalisme ini identik dengan Monetarisme
sebagai salah satu alirannya. Di dalam Ekonomi Politik
Internasional, Neoliberalisme dan Monetarisme ini berkaitan
dengan Washington Consensus dan Structural Adjustment. Oleh
sebab itu, pada topic ini akan membahas tentang Neoliberalisme,
Washington Consensus, Structural Adjustment, dan Monetarisme
dalam Ekonomi Politik Internasional.

Ekonomi Politik Internasional 126


Monetarisme dan Hubungannya dengan Embedded Liberalism
Monetarisme muncul dan menjadi marak dibicarakan di era
1970-an. Hal ini disebabkan karena krisis yang tengah melanda
dunia saat itu. Stagflasi tengah terjadi, ini menjadi peristiwa yang
berlawanan dari keyakinan John Maynard Keynes dengan
Keynesianismenya. Dinyatakan bahwa permasalahan inflasi dan
pengangguran adalah permasalahan trade-off yang akan
terselesaikan salah satunya. Jika inflasi rendah, maka
pengangguran akan meningkat, dan begitu pula sebaliknya. Namun
yang terjadi adalah inflasi tetap tinggi dan pengangguran tetap
tinggi. Bagi kalangan Neoliberalisme ini menjadi target kritik
mereka. Salah satu aliran dalam Neoliberalisme ini adalah
Monetarisme. Monetarisme layaknya aliran Neoliberalisme begitu
menjunjung tinggi kebebasan individu (Harvey 2007, 5). Akan
tetapi, pembedanya adalah Monetarisme menekankan pada
penyelesaian dari sisi moneter sebagai solusi atas terjadinya inflasi
(Brown 1995, 72). Bagi kalangan Monetaris, sejatinya konsepsi
Keynesianisme membohongi public. Konsepsi bahwa keterlibatan
pemerintah dalam menjamin kestabilan dan adanya trade-off antara
inflasi atau pengangguran pada dasarnya adalah sebuah kesalahan
(Brown 1995, 72). Bagi Monetarisme, tidak bisa kemudian
dilakukan trade-off. Jika inflasi tinggi, maka pengangguran pun

Ekonomi Politik Internasional 127


juga tinggi. Di sini Monetarisme memiliki pandangan bahwa yang
menjadi akarnya adalah dengan penyelesaian inflasi (Brown 1995,
72). Inflasi bagi Monetarisme merupakan sebuah momok dan
penyakit yang harus diatasi. Dengan inflasi yang rendah, maka
jumlah pengangguran pun bisa teratasi. Ini yang kemudian
membedakan Monetarisme dengan embedded liberalism.
Embedded liberalism menjadikan pengangguran sebagai fokus dan
dasar penyelesaiannya. Solusi yang ditawarkan oleh embedded
liberalism adalah dengan preskripsi Keynesianisme yaitu
kombinasi solusi fiskal dan moneter (Harvey 2007, 11)
Monetarisme kemudian meningkat popularitasnya seiring
dengan pengadopsian Neoliberalisme di dunia saat itu. Setelah
terjadinya stagflasi tahun 1970-an, negara-negara yang
menerapkan konsepsi walfare state atau Keynesianisme ini mulai
berpikir preskripsi lain yang dapat menjadi pegangan bagi mereka.
Dengan kegagalan Keynesianisme dan embedded liberalism
mengatasinya, maka Neoliberalisme muncul dan meraih
kejayaannya kembali. Monetarisme merupakan salah satu aliran
dalam neoliberalisme. Sehingga dua hal ini berkaitan satu sama
lain. Neoliberalisme begitu menjunjung tinggi kebebasan individu,
pemerintah tidak perlu terlalu jauh campur tangan dalam
kehidupan ekonomi negara maupun rakyatnya. Manusia dengan

Ekonomi Politik Internasional 128


rasionalitasnya akan bertindak seefisien mungkin dan ini
berkebalikan dengan peran pemerintah (Harvey 2007, 5). Peran
pemerintah yang berlebih tidak akan berdampak baik bagi
perekonomian. Untuk penyelesaian inflasi dan pengangguran,
Monetarisme menyediakan jawabannya. Salah seorang Monetaris
yang terkenal dan mengkritisi kondisi saat itu adalah Milton
Friedman. Inflasi merupakan penyakit yang harus segera
disembuhkan. Jika inflasi teratasi, maka pengangguran akan
teratasi pula. Monetarisme menekankan bahwa kebijakan moneter
memegang peranan penting. Suplai uang sebagai penyebab inflasi
harus dikurangi (Brown 1995, 72-4) Pemerintah harus
menghentikan proyek-proyek padat karyanya dan pemberian social
safety pada masyarakat karena dua hal ini yang menyebabkan
suplai uang berlebih di masyarakat sebagai sumber pembiayaan
pemerintah (Brown 1995, 72-4). Preskripsi demikian mulai
diterapkan di berbagai dunia dengan cepat. Penyebaran yang cepat
ini disebabkan karena negara-negara yang tengah mengalami
stagflasi ini memerlukan solusi dan preskripsi untuk diikuti. Di
Inggris, Margaret Thatcher menghentikan social safety dan
memotong gaji buruh yang tinggi untuk mengurangi inflasi di sana
(Brown 1995, 76). Hal sama juga dilakukan di era Ronald Reagan
di AS.

Ekonomi Politik Internasional 129


Hubungan Washington Consensus dengan Structural
Adjustment dan Neoliberalisme dengan Monetarisme
Salah satu bentuk kesepakatan yang kemudian tercipta
dalam Monetarisme dan Neoliberalisme adalah Washington
Consensus dan Structural Adjustment. Washington Consensus
merupakan konsensus yang dicapai oleh negara-negara sesudah
keruntuhan Uni Soviet tahun 1990-an (Harvey 2007, 13). Di
dalamnya terkandung kesepakatan yang khas Neoliberalisme yaitu
kebijakan Monetarisme yang terdiri dari kebijakan pada sektor
pajak, suku bunga, disiplin fiskal, dan kurs. Selain itu juga
Washington Consensus terdiri dari kebijakan Neoliberalisme
seperti liberalisasi perdagangan, arus modal, privatisasi,
deregulasi, dan hak kekayaan intelektual. Di dalam Washington
Consensus, negara-negara mengadopsi kesepakatan tersebut
dengan harapan dapat mencapai tujuan terbaik dalam mengelola
ekonomi di negaranya. Ini juga berkaitan dengan program
Structural Adjustment yang salah satunya dibawa oleh IMF.
Structural Adjustment merupakan program yang berisi langkah-
langkah kesepakatan pembenahan struktur negara. Di dalam
konteks IMF ini, Structural Adjustment berkaitan dengan
bagaimana sebuah negara menjalankan negaranya atau kompensasi

Ekonomi Politik Internasional 130


yang diberikan sesudah negara tersebut menerima bantuan dari
IMF. Contohnya, isi Structural Adjustment ini salah satunya
meminta negara-negara yang menerima bantuan dari IMF untuk
melakukan privatisasi satu per satu badan usaha milik negara dan
termasuk pula meliberalisasi pasarnya (Peet 2003, 143). Ini juga
terlihat dari isi Structural Adjustment Programmes yang di
antaranya bersesuaian dengan ide-ide Neoliberalisme dan
Monetarisme (Peet 2003, 143).

Signifikansi Washington Consensus dan Structural Adjustment


dalam Ekonomi Politik Internasional
Washington Consensus dan Structural Adjustment dari
penjelasan di atas didapat keterkaitan dan signifikansinya dalam
Ekonomi Politik Internasional. Washington Consensus dan
Structural Adjustment merupakan contoh implementasi atau
program yang berisi nilai-nilai Neoliberalisme dan Monetarisme.
Akibat gagalnya negara-negara di dunia mengatasi inflasi dan
pengangguran serta kolapsnya Uni Soviet, banyak negara-negara
yang kemudian membutuhkan preskripsi baru yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan ekonomi negeri
mereka. Akibat preskripsi Keynesianisme dan Komunisme tidak
lagi mampu mengatasi permasalahan yang muncul, negara-negara

Ekonomi Politik Internasional 131


maju maupun negara-negara berkembang memilih untuk
menyepakati dan mengadopsi preskripsi-preskripsi Neoliberalisme
dengan salah satu poinnya yaitu Monetarisme. Kondisi demikian
menunjukkan signifikansi Washington Consensus dan Structural
Adjustment dalam Ekonomi Politik Internasional. Dua program ini
mengubah tatanan dalam Ekonomi Politik Internasional yang kini
didominasi oleh Neoliberalisme. Bandul Ekonomi Politik
Internasional pun bergeser dari pemerintah ke pasar. Kondisi ini
hingga saat ini marak ditemui dan menjadi preskripsi di banyak
negara.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan paham
monetarisme merupakan paham yang menekankan pada kebijakan
moneter sebagai poin penting penyelesaian inflasi dan
pengangguran. Yang menjadi poin penting dari Monetarisme yang
membedakannya dari embedded liberalism adalah Monetarisme
memandang jika inflasi adalah penyakit atau momok yang harus
dihadapi, sementara embedded liberalism memandang bahwa
pengangguran adalah penyakit yang harus dilawan dan kebijakan
fiskal menjadi solusi utamanya. Monetarisme merupakan salah
satu aliran dalam Neoliberalisme. Sehingga, keduanya memiliki

Ekonomi Politik Internasional 132


keterkaitan yaitu dari bagaimana keduanya menjunjung tinggi
kebebasan individu dan pemberian kewenangan pada individu dan
bukan pemerintah. Keduanya cepat berkembang dan menyebar
seiring dengan kegagalan Keynesianisme mengatasi inflasi yang
tetap tinggi dan pengangguran yang juga tetap tinggi. Salah satu
bentuk implementasi monetarisme dan neoliberalisme adalah
Washington Consensus dan Structural Adjustment. Washington
Consensus adalah kesepakatan yang terbentuk setelah keruntuhan
uni soviet dengan isi kesepatan adalah pemberlakuan kebijakan
moneter dan liberalisasi perdagangan maupun investasi. Sementara
Structural Adjustment adalah salah satu contoh program
pembenahan structural negara dalam menangani ekonominya,
dalam hal ini Structural Adjustment dibawa oleh IMF dan menjadi
kesepakatan dengan negara-negara peminjam uang. Washington
Consensus dan Structural Adjustment memiliki keterkaitan dengan
neoliberalisme dan monetarisme karena dua program tersebut
merupakan bentuk implementasi yang di dalamnya mengandung
poin-poin neoliberalisme dan monetarisme. Signifikasi bagi
Ekonomi Politik Internasional terletak dengan pergeseran bandul
Ekonomi Politik Internasional dari pemerintah ke pasar.

Ekonomi Politik Internasional 133


Kata-kata Kunci : Washington Consensus, Structural Adjustment,
Neoliberalisme, Monetarisme

Pertanyaan Arahan :
Apa itu monetarisme dan hubungannya dengan embedded
liberalism ?
Apa hubungan Washington Consensus dan Structural Adjustment
dengan monetarisme dan neoliberalisme ?
Apa signifikansinya bagi Ekonomi Politik Internasional ?

Referensi :
Brown, Michael B., 1995. The Monetarist Model. In: Models in
Political Economy. London: Pengun, pp 72-89.
Harvey, David, 2007. Freedoms Just Another Word. In: A Brief
History of Neo-Liberalism. Oxford: Oxford University Press,
pp. 5-38.
Peet, Richard, 2003. The World Bank. In: Unholy Trinity: The
IMF, World Bank, and WTO. London: Zed Books, pp. 111-
145.

Ekonomi Politik Internasional 134


Pos-Fordisme, Globalisasi, dan Ekonomi Informasional :
Perubahan Produksi dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Globalisasi menjadi sebuah era dan fenomena yang
membawa dampak pada beragam aspek kehidupan, termasuk EPI.
EPI pun juga terkena dampak dari adanya globalisasi, ini
dibuktikan dengan adanya pergeseran-pergeseran yang
memunculkan pola-pola baru berbeda dibanding sebelumnya.
Salah satu yang berbeda adalah model produksi dalam EPI. Model
produksi baru dalam EPI ini berkaitan dengan adanya fenomena
pos-Fordisme, globalisasi, dan ekonomi informasional. Pada topik
ini dibahas mengenai perubahan model produksi di EPI dengan
tiga fokusnya yaitu pos-Fordisme, globalisasi, dan ekonomi
informasional. Ketiga hal ini merupakan elemen yang dapat
menjelaskan bagaimana model produksi di era terkini dalam
Ekonomi Politik Internasional.

Globalisasi
Globalisasi secara sederhana didefinisikan oleh Baylis &
Smith (2001 : 7) sebagai sebuah proses peningkatan
keterhubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya

Ekonomi Politik Internasional 135


di belahan bumi lain. Dari pengertian ini dapat dipahami jika
adanya globalisasi menyebabkan keterhubungan antarmasyarakat
menjadi tinggi. Keterhubungan yang tinggi ini disebabkan oleh
menyempitnya ruang dan waktu. Seringkali globalisasi
menyebabkan ketergantungan pula akibat keterhubungan yang
tinggi tersebut. Globalisasi dengan pemahaman yang demikian
dinilai telah menyebabkan beragam pengaruh, tidak terkecuali di
dalam Ekonomi Politik Internasional. Pengaruh globalisasi dalam
Ekonomi Politik Internasional dapat diamati pada beberapa hal.
Pertama terkait perusahaan multinasional atau MNC.
Dengan menjamurnya MNC ini menjadikannya sebagai aktor yang
paling mudah diamati dan jelas terlihat oleh publik sebagai bentuk
pengaruh di dalam Ekonomi Politik Internasional (Thun 2008,
346). MNC sejatinya telah ada sejak masa lampau, setidaknya di
abad 16 dan 17 sudah bermunculan MNC seperti VOC milik
Belanda dan East India Company milik Inggris (Thun 2008, 347).
Aktivitas MNC seperti dua contoh ini menyebar hingga masuk ke
negara-negara jajahan seperti di Asia disebabkan oleh ekspedisi.
Ekspedisi ini didasari oleh adanya kebutuhan rempah-rempah atau
bahan-bahan keperluan dapur atau domestik yang langkah di
negara asal. Dari sini dapat dipahami bahwa bentuk globalisasi
yakni ekspedisi telah membuka pergerakan MNC hingga ke luar

Ekonomi Politik Internasional 136


negara asalnya. Selanjutnya pada tahap kedua, setelah terjadi
Revolusi Industri di Inggris mulai terjadi pergeseran kebutuhan,
yakni terkait soal kebutuhan bahan-bahan mentah dan juga wilayah
untuk menampung hasil produksi (Thun 2008, 347). Pada fase ini
globalisasi mulai kembali terjadi dengan masifnya pendudukan di
wilayah-wilayah jajahan sebagai bagian untuk mengatasi masalah
overproduksi.
Kondisi ini kemudian terus mengalami pergeran seiring
dengan zaman dan kebutuhan manusia yang berubah. Memasuki
tahun 1970-1980-an, muncul sebuah fitur yang identik di
kemudian hari sebagai globalisasi, yaitu perkembangan teknologi
dan peningkatan FDI (Thun 2008, 348). Peningkatan FDI dan
perkembangan teknologi kemudian mengubah model produksi
secara signifikan, dengan tidak lagi hanya berproduksi pada satu
wilayah asal, melainkan kemudian model produksi disebar atau
direlokasi ke wilayah-wilayah negara lain yang dinilai lebih
membawa keuntungan serta efisiensi (Thun 2008, 347-8). Dengan
model produksi baru yang demikian, peranan MNC makin nyata
terlihat public dan seringkali memengaruhi negara. Pengaruhnya
terhadap negara dalam konteks Ekonomi Politik Internasional ini
adalah persoalan hubungan negara host dan home yang kemudian
terefleksi seperti yang digambarkan oleh World System Theory

Ekonomi Politik Internasional 137


soal negara core dan periphery. Globalisasi pun makin nyata
memperlihatkan hubungan MNC yang seringkali berasal dari
negara-negara core dengan negara-negara periphery atau
berkembang yang menjadi host.

Global Value Chain


Dengan adanya MNC yang semakin mengglobal, ini
kemudian menimbulkan konsekuensi pada adanya perubahan
model produksi. Salah satu fenomena yang muncul adalah global
value chain yang dikontrol oleh MNC (Thun 2008, 346). Global
value chain merupakan sebuah model produksi dengan perusahaan
membuat rantai nilai produksinya dalam skala global. Mekanisme
dari global value chain ini adalah serangkaian aktivitas melalui
teknologi yang dikombinasikan dengan materi dan tenaga kerja
dan kemudian dikumpulkan, dipasarkan, dan didistribusikan (Thun
2008, 346). Maksudnya adalah sebagai berikut, aktivitas produksi
kini telah direlokasi dengan pola menyebar ke berbagai lokasi-
lokasi yang di tiap lokasinya akan dihasilkan penambahan nilai
bagi suatu produk yang tengah diproduksi. Misalnya handphone
Samsung yang tiap-tiap bagiannya diproduksi di berbagai lokasi di
dunia, missal baterainya di Indonesia, pembungkusnya dibuat di
Kamboja dan sebagainya. Dengan sekuensi demikian, akan terjadi

Ekonomi Politik Internasional 138


efisiensi yang bisa mendorong nilai produk tersebut. Dengan
adanya global value chain ini, perusahaan mampu memproduksi
barang secara efisien dengan tetap menjaga kualitas dan nilainya.
Model produksi semacam ini kemudian makin memperkaya MNC
karena profit yang dihasilkan terus mengalir serta pasokan
keperluan untuk produksi pun tidak berhenti. Jika dibanding
sebelum munculnya global value chain ini, MNC hanya
memusatkan produksinya pada satu wilayah. Model bisnis
internasional yang demikian ini tidak selamanya berhasil karena
pasti ada batasan dalam berproduksi dengan model demikian
(Dunford 2000, 155-6).

Ekonomi Informasional
Perubahan model produksi tidak hanya dalam bentuk baru
yaitu global value chain, melainkan juga mmeunculkan model
produksi baru yang dinamai ekonomi informasional. Kemunculan
ekonomi informasional ini seiring dengan terjadinya Revolusi
Teknologi dan Informasi di tahun 1970-an hingga 1980-an
(Castells 1996, 66). Revolusi Teknologi dan Informasi
memunculkan inovasi atau penemuan baru terkait teknologi. Selain
teknologi, persebaran informasi pun mulai masif melalui media
internet. Di era ini, pengembangan internet dimulai. Ini menjadi

Ekonomi Politik Internasional 139


salah satu media atau alat dalam perkembangan ekonomi. Ini
kemudian memunculkan istilah ekonomi informasional. Menurut
businessdictionary.com (t.t), ekonomi informasional merupakan
sebuah model ekonomi dengan pengetahuan dan teknologi sebagai
input atau bahan mentahnya. Artinya, di dalam ekonomi
informasional, pengetahuan atau informasi dan teknologi
memegang peranan sebagai input yang ikut memengaruhi proses
produksi sebuah korporasi. Informasi dan teknologi menjadi dua
hal penting untuk dikuasai seiring dengan perkembangan zaman
dan tingkat kompetisi antarkorporasi yang makin meningkat
(Castells 1996, 87). Teknologi canggih marak dikembangkan dan
ini membantu proses produksi korporasi agar lebih efisien dan
tetap produktif (Castells 1996, 67). Meskipun produktivitas bukan
satu-satunya penentu keberhasilan perusahaan, namun
produktivitas memengaruhi keberhasilan sebuah korporasi dalam
mengelola kapasitasnya untuk dapat mencapai profit (Castells
1996, 71).
Kemudian, dalam hal informasi atau pengetahuan, ini
menjadi penting karena informasi atau pengetahuan adalah kunci
dalam menghasilkan strategi-strategi unik, baru, dan berharga
dalam membantu perusahaan bertahan. Seiring dengan integrasi
pasar, tingkat kompetisi antarekorporasi makin meningkat dan

Ekonomi Politik Internasional 140


diperlukan strategi yang menarik dan unik agar dapat menarik
perhatian konsumen (Castells 1996, 87). Tidak hanya itu,
informasi atau pengetahuan menjadi penting terkait bagaimana
perusahaan menjalankan penelitian dan pengembangan (research
and development) yang menjadi kunci dalam perkembangan
ekonomi informasional (Castells 1996, 95). Selain itu, research
and development berguna sebagai bentuk tanggungjawab korporasi
pada masyarakat suatu negara. Tidak hanya itu, pertimbangan
korporasi dalam bisnisnya juga tentunya memerlukan informasi
atau pengetahuan terkait banyak hal agar dapat merumuskan
formulasi tepat bagi bisnisnya (Thun 2008, 355).
Jika dikaitkan kemudian dengan global value chain,
ekonomi informasional telah memudahkan proses global value
chain itu sendiri. Kemunculan teknologi-teknologi canggih yang
mampu membantu proses produksi di berbagai negara atau
wilayah produksi korporasi tersebut (Castells 1996, 67). Informasi
atau pengetahuan juga penting sebagai input sebelum proses global
value chain dibuka di wilayah-wilayah lain. Ini penting misalnya
untuk mengetahui mana wilayah potensial sebagai lahan produksi
dan pasar serta juga terkait dengan regulasi pemerintah host yang
perlu untuk didalami sebelum terjun dan melanjutkan global value
chain tersebut di wilayah terbaru (Thun 2008, 355-6).

Ekonomi Politik Internasional 141


Kontribusi Global Value Chain dan Ekonomi Informasional
dalam Menciptakan Pos-Fordisme
Berikutnya, setelah memahami terkait global value chain
dan ekonomi informasional, dua hal ini juga berkaitan dengan apa
yang disebut sebagai pos-Fordisme. Istilah pos-Fordisme merujuk
pada fase sesudah berakhirnya model produksi Fordisme. Seperti
yang diketahui, model produksi Fordisme menjelaskan bahwa
produksi dilakukan secara spesialisasi, setiap pekerja mengerjakan
pekerjaan spesialisasinya dan tidak diperkenankan untuk
mengerjakan pekerjaan yang bukan keahliannya (Dunford 2000,
154). Model produksi Fordisme berakhir di tahun 1970-an dan
sejak saat itu dimulai fase baru yang dikenal sebagai pos-Fordisme
(Dunford 2000, 154). Pada masa pos-Fordisme ini, model produksi
sudah tidak lagi terpusat di satu wilayah saja dan pekerjanya juga
tidak lagi diharuskan bekerja secara spesialisasi. Di masa ini,
perusahaan telah merelokasi dan memperluas jaringan produksinya
ke berbagai wilayah di dunia. Ini disebabkan pergerakan kapital
telah masif di era globalisasi atau pos-Fordisme ini (Dunford 2000,
159). Selain itu, perusahaan-perusahaan ini tidak mengharuskan
setiap pekerjanya untuk spesialisasi, artinya para tenaga kerja
diberi kesempatan yang sama untuk memilih posisi mana dan
meski tidak sesuai dengan kemampuan atau latar belakangnya,

Ekonomi Politik Internasional 142


namun perusahaan akan membantu memberi pelatihan bagi para
tenaga kerja ini. Ini yang kemudian dikenal sebagai model
produksi baru dalam globalisasi. Sehingga didapat kaitan
kontribusi globalisasi, global value chain, dan ekonomi
internasional bagi model produksi pos-Fordisme.
Globalisasi telah berkontrbusi dalam membuat fleksibilitas
tenaga kerja semakin tinggi. Globalisasi pula yang memudahkan
perusahaan-perusahaan merelokasi area produksinya ke tempat-
tempat baru yang potensial. Penggunaan teknologi pun ikut
mendorong perusahaan merestrukturisasi model produksinya
menjadi lebih fleksibel (Dunford 2000, 154-5). Global value chain
kemudian tercipta ketika perusahaan-perusahaan ini membuka area
produksi-produksi baru di berbagai dunia tidak lagi terpusat pada
satu wilayah. Informasi dan teknologi pun menjadi penting bagi
model produksi pos-Fordisme. Akses informasi memudahkan para
tenaga kerja memeroleh pekerjaan, teknologi canggih membantu
para tenaga kerja mengoperasikan dan tetap produktif dalam
bekerja tanpa ada kesulitan berarti (Castells 1996). Konsepsi
global value chain pun nyata terlihat dalam model produksi pos-
Fordisme ; tenaga kerja, informasi, dan teknologi dikumpulkan
menjadi satu dalam sebuah proses produksi berantai untuk
meningkatkan nilai produk secara efisien dan tetap menjaga

Ekonomi Politik Internasional 143


produktivitas produksi (Thun 2008, 346). Ekonomi internasional
yang makin terintegrasi memudahkan pergerakan korporasi ini
untuk beroperasi di tempat-tempat baru. Kompetisi yang tinggi
sebagai efek integrasi tersebut memaksa model produksi bar uterus
diinovasi agar dapat bertahan di tengah kompetisi tersebut.

Perubahan Model Produksi dalam Ekonomi Politik


Internasional
Pada akhirnya, model produksi pos-Fordisme yang
demikian itu mengubah model produksi Ekonomi Politik
Internasional. Model produksi dalam Ekonomi Politik
Internasional kini pun berjalan lebih fleksibel, tidak lagi kaku
seperti masa Fordisme (Dunford 2000, 155). Perusahaan tetap
dapat menjaga efisiensi mereka tanpa kekurangan pasokan produk
jadi untuk dapat dipasarkan. Akibatnya profit pun akan terus
mengalir ke perusahaan. Dengan model produksi pos-Fordisme ini
pula, negara-negara host ikut andil dalam meregulasi dan
mengawasi pergerakan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di
dalam negerinya tersebut. Ini seiring dengan maraknya pembukaan
cabang baru perusahaan ini. Bagi negara home, kondisi demikian
tentunya akan membawa manfaat pula dengan pemasukan devisa
dari perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di luar negeri.

Ekonomi Politik Internasional 144


Meskipun menurut Dunford (2000, 156) hubungan perusahaan
dengan negara home sebenarnya mulai melemah. Interkonektivitas
yang tinggi telah mengubah model produksi dalam Ekonomi
Politik Internasional ini.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, globalisasi
menyebabkan interkonektivitas yang tinggi antarmasyarakat
maupun antarnegara. Tingginya interkonektivitas yang demikian
tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran dalam model
produksi di Ekonomi Politik Internasional, dari model Fordisme ke
pos-Fordisme. Model produksi pos-Fordisme ini mengandung dua
hal yang ikut berkontrbusi memengaruhi kemunculannya, yakni
global value chain dan ekonomi informasional. Global value chain
merupakan serangkaian aktivitas peningkatan nilai produk dengan
faktor-faktor produksi yakni tenaga kerja, informasi, dan teknologi
dikumpulkan menjadi satu yang membentuk mata rantai produksi
global. Sementara ekonomi informasional merupakan ekonomi
yang menjadikan informasi dan teknologi sebagai dua hal yang
digolongkan sebagai bahan mentah untuk input produksi.

Ekonomi Politik Internasional 145


Kata-Kata Kunci : globalisasi, global value chain, ekonomi
informasi, pos-Fordisme

Pertanyaan Arahan :
Apa yang dimaksud dengan pos-Fordisme & bagaimana global
value chain & ekonomi informasi berkontribusi menciptakannya ?
Bagaimana pos-Fordisme mengubah model produksi dalam
Ekonomi Politik Internasional ?

Referensi :
Baylis, John, & Steve Smith, 2001. The Globalization of World
Politics, 2nd Edition. Oxford : Oxford University Press, pp.
1-12.
Business Dictionary, t.t. Informational Economy. dalam :
http://www.businessdictionary.com/definition/information-
economy.html [diakses 18 Mei 2015]
Castells, Manuell. 1996. The Informational Economy and the
Process of Globalization, dalam The Rise of The Network
Society. Oxford: Blackwell, pp. 66-150.
Dunford, Michael. 2000. Globalization and Theories of
Regulation, dalam Ronen Palan (ed.), Global Political

Ekonomi Politik Internasional 146


Economy: Contemporary Theories. London: Routledge, pp.
143-167.
Thun, Eric. 2008. The Globalization of Production, dalam John
Ravenhill, Global Political Economy. Oxford: Oxford
University Press, pp. 346-372

Ekonomi Politik Internasional 147


GATT, Blok Regional, dan WTO : Integrasi dalam Ekonomi
Politik Internasional

Pendahuluan
Ekonomi menjadi aspek krusial yang perlu dijaga
stabilitasnya oleh negara. Salah satu langkah yang dilakukan oleh
pemerintah negara adalah dengan melakukan kerjasama dengan
negara lain, baik bilateral maupun multilateral. Salah satu isu
penting dalam meningkatkan perekonomian sebuah negara adalah
integrasi. Integrasi menjadi upaya dalam peningkatan
perekonomian, baik secara global maupun regional. Integrasi
global diwakili oleh GATT atau WTO. Integrasi global yang
tercermin di dalamnya menjadi rujukan negara-negara untuk
mengangkat perdagangan mereka, meski dalam faktanya masih
ditemui dilema di tingkat global. Sementara integrasi juga dapat
dilakukan secara regional. Ada beragam blok regional yang
mengintegrasikannya beberapa di antaranya adalah Uni Eropa dan
ASEAN.

Integrasi dalam Ekonomi Politik Internasional


Integrasi di dalam EPI pada dasarnya dilatarbelakangi
alasan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran serta

Ekonomi Politik Internasional 148


meminimalisir potensi adanya proteksionisme maupun regulasi-
regulasi lain yang akan menghambat perekonomian negara lain.
Dimulainya integrasi di dalam EPI dapat ditelusuri dengan
merujuk pada abad 19-an. Pada masa itu, Inggris tengah menjadi
satu-satunya hegemon dunia dan seringkali disebut sebagai Pax
Britannica. Di Pax Britannica ini, proses perdagangan negara-
negara di dunia semacam mendapat jaminan dari Inggris, sehingga
yang terjadi kesejahteraan dan kemakmuran tercapai (Winham
2008, 140). Ini mengindikasikan sebenarnya integrasi dalam EPI
telah ada dan dimulai. Akan tetapi, ketika memasuki tahun 1800-
an, mulai terjadi proteksionisme di beberapa negara seperti di
Austria-Hungaria dan Jerman (Winham 2008, 140). Ini kemudian
membawa pada kondisi Great Depression yang pertama. Keadaan
demikian terus terbawa hingga terjadi kembali Great Depression
kedua di tahun 1930. Akan tetapi, pada tahun ini kemudian muncul
gagasan dari Franklin Delano Roosevelt untuk menyarankan yang
pada intinya agar negara-negara berhenti melakukan
proteksionisme dengan menaikkan tarif karena tindakan seperti ini
tidak akan mengatasi masalah (Winham 2008, 142). Sejak saat itu
dimulai proses penyelesaian isu proteksionisme saat itu. Hingga
kemudian setelah Perang Dunia II berakhir dan dimulai sistem
Bretton Woods, digagas pembentukan ITO sebagai salah satu pilar

Ekonomi Politik Internasional 149


dalam Bretton Woods yang bergerak di bidang perdagangan.
Tujuan dari organisasi atau rezim internasional perdagangan ini
pada dasarnya adalah untuk mencegah kembalinya proteksionisme
negara-negara, mereduksi ketidakpastian dan situasi tak dapat
diprediksi dari perdagangan internasional, serta mengusahakan
stabilitas (Winham 2008, 138). ITO yang kemudian disepakati
menjadi GATT merupakan organisasi internasional yang
menggambarkan adanya integrasi global EPI di dalamnya.
GATT atau WTO di masa sekarang merupakan organisasi
internasional yang berperan dalam mencegah terjadinya
proteksionisme serta menjaga kestabilan alur perdagangan
internasional. Pada mulanya di dalam proses pembentukan sistem
Bretton Woods, istilah ITO digunakan untuk menyebut badan yang
akan mengurus kepentingan perdagangan dan mengintegrasikan
perdagangan global ke dalam satu organisasi ini. Akan tetapi,
nama ITO kemudian berubah menjadi GATT setelah Amerika
Serikat (AS) menyetujui pembentukan GATT atau sebelumnya
ITO ini. Di dalam GATT terjadi proses integrasi melalui regulasi-
regulasi yang diciptakan oleh organisasi ini. Terutama soal
penurunan tarif atau penghilangan halangan dalam proses
perdagangan. Perdagangan diusahakan untuk dijalankan secara
bebas sesuai dengan prinsip-prinsip neoliberalisme (Peet 2003,

Ekonomi Politik Internasional 150


198). Di GATT atau WTO, integrasi EPI terjadi secara global,
artinya semua negara di dunia bisa bergabung tidak terbatas pada
latar belakang wilayahnya. Sehingga, di dalamnya akan terlihat
negara-negara hegemon dan subordinat di dalamnya (Peet 2003,
198). Di dalam GATT atau WTO biasanya dilakukan putaran-
putaran yang akan membahas agenda-agenda tertentu di dalamnya
terkait perdagangan tentunya. Kemudian untuk keputusan
dilakukan secara Most Favored Nations (MFN). Prinsip ini
dijalankan

Regionalisme sebagai Integrasi dalam Ekonomi Politik


Internasional
Selain integrasi global melalui GATT atau WTO, ada pula
integrasi lain yang terbentuk ke dalam regionalisme. Regionalisme
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
sebuah paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerjasama
yang erat antarnegara di satu kawasan. Di dalam regionalisme
terjadi kerjasama dan integrasi, termasuk integrasi EPI di
dalamnya. Integrasi di dalam regionalisme terjadi dengan
menyatukan seluruh negara dalam sebuah kawasan ke dalam satu
entitas yang akan menjadi wadah bagi kerjasama mereka. Uni
Eropa dan ASEAN (atau secara khusus adalah ASEAN Economic

Ekonomi Politik Internasional 151


Community) adalah dua contoh integrasi EPI dalam regionalisme
(Ravenhill 2008, 178). Uni Eropa misalnya membentuk sebuah
organisasi regional dengan berawal dari gagasan kerjasama di
bidang ekonomi. (Ravenhill 2008, 175) Ini lantas berkembang dan
kemudian dilanjutkan dengan mengintegrasikan perekonomian
negara-negara anggotanya ke dalam satu entitas. Ini dibuktikan
misalnya dengan integrasi melalui pasar bebas dengan tidak
adanya tarif yang dikenakan untuk negara-negara anggota Uni
Eropa. Begitu pula yang terjadi di ASEAN Economic Community.
Di dalamnya juga digagas ide untuk mengintegrasikan
perekonomian negara-negara ASEAN ke dalam pasar tunggal serta
beragam regulasi seperti penurunan tarif untuk mempermudah
perdagangan di kawasan ini.
Model integrasi regionalisme menjadi pilihan banyak
negara disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah regionalisme
lebih mudah untuk dimonitor daripada integrasi global (Ravenhill
2008, 179-80). Ini disebabkan karena jumlah anggota dalam
sebuah blok regional lebih sedikit sehingga untuk memonitor
proses implementasi kesepakatan lebih mudah. Berbeda dengan
memonitor negara-negara dalam integrasi global yang jumlah
anggotanya banyak. Selain itu juga, dengan jumlah anggota yang
tidak terlalu banyak, ini akan lebih menarik perhatian korporasi

Ekonomi Politik Internasional 152


masuk dan berinvestasi di negara-negara tersebut daripada
integrasi global (Ravenhill 2008, 179-80). Karena di dalam
integrasi global, korporasi akan lebih sulit untuk bisa memonitor
kerjasama mereka. Berikutnya, kelebihan kedua adalah dengan
regionalisme, negara-negara anggota bisa meningkatkan
bargaining power yang dimiliki (Ravenhill 2008, 179). Integrasi
regional akan mendorong peningkatan nilai tawar sebuah negara.
Ini berbeda dengan integrasi global yang lebih besar ruang
lingkupnya dan menyulitkan negara-negara yang tidak berdaya
tarik untuk bisa meningkatkan kualitas dan bargaining power yang
dimiliki. Selanjutnya, regionalisme lebih mudah proses
negosiasinya karena ada kesamaan-kesamaan sehingga proses
pemahaman satu sama lain bisa muncul (Ravenhill 2008, ).
Berbeda dengan integrasi global yang akan memakan waktu lama
untuk bisa menumbuhkan kesamaan tersebut.
Kelebihan keempat adalah regionalisme akan
meningkatkan kepercayaan diri negara-negara anggotanya
(Ravenhill 2008, 178). Integrasi secara regional lebih mudah
menumbuhkan kepercayaan karena kesamaan yang telah ada serta
ketimpangan distribusi kekuatan di dalamnya tidak terlalu
mencolok seperti yang terjadi di integrasi global. Kemudian
kelebihan kelima adalah integrasi regional akan membantu

Ekonomi Politik Internasional 153


meningkatkan stabilitas kawasan, atau dengan kata lain ada agenda
keamanan baru yang di dalamnya berisi konsepsi keamanan baru
(Ravenhill 2008, 178-9). Persepsi keamanan tidak hanya dimaknai
secara tradisional, namun juga secara baru yang seringkali dikenal
sebagai human security. Kasus-kasus seperti kelaparan dan
transnational crime menjadi penyebab perlunya integrasi regional
dan akan lebih dipilih dibanding integrasi global. Selain motif-
motif politik, ada pula motif-motif ekonomi yang menyebabkan
regionalisme muncul sebagai model integrasi yang diminati.
Pertama adalah alasan bahwa regionalisme memudahkan
perlindungan terhadap sektor yang tidak bisa bertahan di tingkat
global (Ravenhill 2008, 180). Perlindungan terhadap sektor-sektor
yang kurang kompetitif di tingkat global menjadi penting dan
hanya dapat diraih melalui cara alternative yaitu integrasi secara
regional. Selain itu, alasan kedua adalah dengan integrasi secara
regional akan memperluas pasar dan peningkatan jumlah investasi
yang diterima oleh negara-negara anggota (Ravenhill 2008, 181).
Model integrasi di dalam regionalisme seringkali dinilai
lebih berhasil dibanding dengan model integrasi global dalam
GATT atau WTO. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
yang pertama integrasi global lebih sulit diterapkan karena
mencoloknya perbedaan kapasitas tiap negara. Di tingkat global

Ekonomi Politik Internasional 154


atau dalam hal ini adalah di tingkat GATT atau WTO begitu
terlihat perbedaan kapabilitas ekonomi tiap negara. Kondisi ini
akan mempersulit proses integrasi dan justru akan menimbulkan
inkonsistensi dalam regulasi-regulasi kebijakannya tersebut.
Terlihat di GATT atau WTO terjadi diskriminasi terhadap negara-
negara berkembang hingga memicu adanya koalisi negara
berkembang pada Putaran Cancun tahun 2003 di GATT atau
WTO. Kelemahan lain dalam integrasi global melalui GATT atau
WTO adalah lamanya proses integrasi di dalamnya (Ravenhill
2008. Di setiap putaran yang diadakan oleh GATT dan WTO,
selalu memakan waktu lama untuk dapat terselesaikan putaran
tersebut. Ini berarti proses penuntasan isu atau agenda dalam
GATT atau WTO lebih lama jika dibanding integrasi regional yang
relatif lebih cepat. Dari uraian tersebut tidak dapat dikatakan pula
apakah integrasi regional akan memperkecil peluang keberhasilan
GATT atau WTO. Namun jika berkaca pada realita, sebenarnya
integrasi regional sudah mampu menyaingi GATT atau WTO. Ada
beberapa contoh sukses yang menunjukkan kemampuan integrasi-
integrasi regional dibanding dengan integrasi GATT atau WTO ini,
seperti Uni Eropa yang hingga sekarang terus menunjukkan
kesuksesannya. Dari Uni Eropa pula dilahirkan negara-negara
kekuatan baru dunia seperti Jerman.

Ekonomi Politik Internasional 155


Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan integrasi
dalam EPI dilatarbelakangi karena adanya kepentingan negara-
negara dalam mereduksi halangan dalam proses ekonomi mereka
khususnya perdagangan. Dengan mereduksi halangan dan bersatu
ke dalam sebuah wadah, negara-negara yang berada di dalamnya
bisa meraih kestabilan ekonomi dan kesejahteraan bagi
domestiknya. Selain itu, integrasi dilakukan untuk menciptakan
kerjasama yang menguntungkan dan mengurangi terjadinya
persaingan tidak sehat antarnegara yang dapat membuat
ketidakstabilan dalam ekonomi domestik maupun internasional.
Integrasi ada dua bentuk, integrasi global dan regional. Integrasi
global contohnya adalah melalui GATT atau WTO. GATT atau
WTO merupakan organisasi internasional yang bergerak di sektor
perdagangan. Integrasi EPI yang terjadi di dalamnya adalah
negara-negara di dunia bergabung di dalamnya tanpa
memerhatikan wilayah negara tersebut. Sementara integrasi
regional terjadi melalui model regionalisme. Integrasi EPI di dalam
regionalisme didasarkan atas kewilayahan dan biasanya jumlah
negara-negara anggotanya sedikit. Integrasi secara regional ini
lebih menarik minat negara-negara karena kemudahannya dalam
dimonitor, menciptakan peluang kerjasama dengan sesaman negara

Ekonomi Politik Internasional 156


maupun korporasi yang lebih mudah, tidak menghabiskan biaya
dan waktu berlebih, serta sebagai alat bargaining negara-negara
anggotanya. Sementara di GATT atau WTO, integrasi seringkali
berjalan lama dan sulit karena banyaknya jumlah negara dan
ketimpangan kemampuan negara-negara di dalamnya. Meski
demikian belum bisa dikatakan apakah integrasi global akan kalah
dengan integrasi regional.

Kata-Kata Kunci : integrasi, regionalisme, GATT, WTO

Pertanyaan Arahan :
Apa kelemahan integrasi EPI di bawah GATT & WTO sehingga
regionalisme menjadi kian populer sbg model integrasi EPI ?
Apakah regionalisme memperkecil peluang keberhasilan integrasi
EPI di bawah GATT & WTO ?

Referensi :
Peet, Richard. 2003. The World Trade Organization, dalam
Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO. London:
Zed Books, pp. 146-199.

Ekonomi Politik Internasional 157


Ravenhill, John. 2008. Gilbert R. Regionalism, dalam Global
Political Economy, Oxford: Oxford University Press, pp.
172-209.
Winham, Gilbert R. 2008. The Evolution of the Global Trade
Regime, dalam John Ravenhill (ed.), Global Political
Economy, Oxford: Oxford University Press, pp. 137-171

Ekonomi Politik Internasional 158


Dari Krisis Asia ke Krisis Amerika Serikat Lalu Krisis Apa
Berikutnya ? Prospek dalam Ekonomi Politik Internasional

Pendahuluan
Krisis Asia tahun 1997 menjadi momen penting dalam
kajian Ekonomi Politik Internasional (EPI). Krisis Asia pula
menandai bagaimana EPI menghadapi krisis dengan memberi
perspektif dan kajian-kajian lainnya. Setelah Krisis Asia 1997
teratasi dan dunia kembali pulih, pertanyaan selanjutnya yang
bermunculan adalah apa yang akan dihadapi oleh EPI di masa
mendatang. Pertanyaan terkait masa depan EPI ini berkaitan
dengan siklus krisis yang akan selalu bermunculan.

Resesi Asia 1997


Krisis atau Resesi Asia tahun 1997 merupakan krisis yang
terjadi di sektor finansial. Di sekitar era 1980-an hingga setidaknya
1990-an, kawasan Asia tengah mengalami pertumbuhan ekonomi
yang bagus. Melihat keadaan ini, banyak investor yang merasa
tertarik untuk berinvestasi di kawasan ini. Dari banyaknya aliran
investasi yang masuk ke Asia, sebagian besar merupakan hasil dari
praktik uang panas. Uang panas merujuk pada investasi jangka
pendek dalam bentuk investasi portofolio yang bertujuan untuk

Ekonomi Politik Internasional 159


meraih keuntungan yang cepat dan mudah (Fischer 1998). Praktik
ini muncul sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang
melambat di negara-negara maju. Para investor percaya pada
praktik ini dan merasa aman melihat kondisi perokonomian Asia
yang sedang berada dalam masa terbaiknya. Praktik uang panas
ini yang kemudian nantinya akan memunculkan krisis finansial di
kawasan Asia.
Perlu diingat pula, sejak Sistem Bretton Woods berakhir di
tahun 1973, terjadi pergeseran pada impossible trinity. Jika
sebelumnya sektor finansial menjadi sektor yang dikorbankan,
maka pada masa Pos-Bretton Woods, maka nilai mata uang yang
stabil kemudian dikorbankan dan ini membuat derasnya arus
kapital asing menjadi tidak dikontrol (Frieden 2006, 460). Sejak
1973 hambatan hambatan arus kapital menjadi target yang
dihapuskan, mengingat dana asing pada era itu tengah meningkat
(Pauly dalam Ravenhill 2008, 245 256). Ini yang kemudian
berdampak pada mudahnya sebuah krisis menyebar, bukan hanya
dari negara maju akan tetapi juga dari negara berkembang.
Krisis finansial kemudian dapat diamati dari dua negara
yang terkena yakni Korea Selatan dan Thailand (Stiglitz 2002, 94).
Di Korea Selatan yang merupakan negara di kawasan Asia Timur
tengah menikmati era kesejahteraan dengan ditandai kejayaan

Ekonomi Politik Internasional 160


perusahaan-perusahaan milik Korea Selatan ini. Dengan dukungan
pemerintah dan rendahnya suku bunga, perusahaan-perusahaan ini
banyak meminjam uang di bank untuk keperluan pembangunan
infrastruktur produksi maupun pembiayaan produksi mereka
(Stiglitz 2002, 94). Akan tetapi, permasalahan kemudian muncul
ketika ada isu beredar jika perusahaan-perusahaan ini tidak
sanggup membayar hutang mereka kembali ke bank. Bank lantas
mulai berhati-hati dan tegas dalam memberi pinjaman. Lama
kelamaan, bank mulai memperkecil peluang perusahaan-
perusahaan ini untuk meminjam uang. Bank tentunya khawatir jika
harus menanggung risiko besar akibat ketidakmampuan
perusahaan-perusahaan Korea Selatan dalam membayar hutangnya
(Hill t.t). Kondisi ini lantas mendorong perusahaan-perusahaan
Korea Selatan tidak lagi mampu membayar hutang-hutang mereka
ke bank karena dana yang biasa mereka pinjam dibatasi. Akibatnya
dimulai suatu krisis ketika semua perusahaan di sana benar tidak
mampu membayar hutang-hutangnya (Hill t.t). Pembangunan
infrastruktur pun macet dan ini menyebabkan krisis finansial atau
moneter di Korea Selatan.
Sementara itu, di Thailand krisis finansial terjadi ketika
dana asing yang masuk ke Thailand begitu besar dan masif. Ini
mendorong pemikiran bagi para pebisnis property untuk memberi

Ekonomi Politik Internasional 161


pinjaman sesukanya pada para pengaju kredit rumah misalnya.
Uang pun beredar banyak di Thailand sementara itu, pemerintah
juga harus menyeimbangkan pasokan uang Baht dengan Dollar
agar seimbang (Stiglitz 2002, 95). Yang terjadi adalah jumlah uang
Baht begitu banyak dan ini memulai sebuah krisis. Karena jumlah
uang yang berlebih, muncul isu jika akan dilakukan devaluasi atau
pemotongan nilai mata uang (Stiglitz 2002, 94). Isu ini
menyebabkan masyarakat khawatir dan berbondong-bondong
mengambil uangnya di bank. Baht kemudian ditukarkan dengan
mata uang Dollar dan ini menyebabkan peredaran uang di
masayarakat makin banyak dan nilai Baht sendiri menurun.
Kondisi ini kemudian juga berdampak pada perusahaan-
perusahaan yang mandek karena nilai Baht yang turun
menyebabkan produk-produk mereka menjadi mahal dan tidak
kompetitif. Krisis di Thailand ini lantas berimbas ke Indonesia dan
sekitarnya.

Peran IMF dalam Resesi Asia


Menanggapi permasalahan ini, IMF sebagai lembaga
keuangan yang dipercaya mampu mengatasi permasalahan di Asia
ini kemudian mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam
beberapa hal. Pertama adalah IMF menyediakan uang begitu

Ekonomi Politik Internasional 162


banyak (Stiglitz 2002, 95). Uang ini diproyeksikan untuk melunasi
hutang-hutang perusahaan ke bank-bank dan juga untuk bailout
bank. Kedua, penyediaan uang yang begitu banyak iin juga
dikombinasikan dengan kondisi (Stiglitz 2002, 96). Kondisi yang
dimaksudkan adalah dengan menerapkan persyaratan untuk
mengembalikan stabilitas atau dalam bahasa Stiglitz adalah
kesehatan ekonomi. Persyaratan tersebut terdiri dari hal yakni
menaikkan suku bunga dan memotong pengeluaran pemerintah
serta menaikkan pajak (Stiglitz 2002, 96). Menaikkan suku bunga
bertujuan untuk menurunkan jumlah peminjam uang di bank.
Dengan suku bunga yang rendah, para pengusaha maupun orang-
orang akan berbondong-bondong untuk dapat meminjam uang di
bank. Ini yang di dalam Krisis Asia menyebabkan permasalahan.
Dengan menaikkan suku bunga, maka tidak akan lagi kelebihan
peminjam maupun untuk mencegah adanya pengaju kredit yang
tidak dapat dipercaya. Kemudian, pemotongan anggaran
pemerintah dan menaikkan pajak berkaitan dengan upaya untuk
menghentikan pengeluaran pemerintah yang tidak perlu.
Pemotongan pengeluaran pemerintah ini dilakukan di sektor-sektor
yang tidak penting seperti pemberian social safety. Karena hal-hal
seperti ini yang menyebabkan supply of money menjadi berlebih di
pasar. Pajak juga perlu dinaikkan untuk menyokong permasukan

Ekonomi Politik Internasional 163


negara. Selain di sektor ekonomi, kondisi juga dilakukan oleh IMF
dengan cara meminta persyaratan yang sifatnya politik. Pemerintah
negara disyaratkan oleh IMF melalui kebijakan yang dikenal
sebagai structural adjustment (Stiglitz 2002, 96). Di dalamnya
dijelaskan bahwa jika pemerintah negara ingin meminjam atau
mendapat uang dari IMF, maka pemerintah harus mengubah
pemerintahan mereka menjadi lebih demokratis, transparan,
meningkatkan regulasi pasar finansial, atau pembukaan pasar, dan
sebagainya (Stiglitz 2002, 96). Kebijakam-kebijakan ini begitu
khas neoliberalisme dan monetarisme.
Keterlibatan IMF dalam Krisis Asia di satu sisi menjadi
kontroversi. Kontroversi ini muncul akibat adanya anggapan
bahwa IMF terlalu tenang dan mengabaikan kondisi finansial dan
ekonomi di kawasan lain. Ada perkiraan terlalu jumawa akan
fakta stabilitas di kawasan Asia yang relatif baik dan menjadi
emerging forces sehingga IMF tidak banyak membahasnya. Ini
bisa jadi kelemahan yang harus dilengkapi oleh EPI. Bahwa sistem
finansial begitu volatil dan sistem finansial itu memiliki
karakteristik yang sebenarnya berbeda satu sama lain. Sehingga
ketika tidak diperhatikan atau dipantau oleh lembaga berwenang,
maka yang terjadi adalah krisis semacam ini. Kemudian,
kelamahan IMF kedua yang perlu dilengkapi dalam EPI adalah

Ekonomi Politik Internasional 164


pemahaman soal karakteristik negara. Mengingat volatilitas
finansial yang tinggi, maka tidak dapat diabaikan karakteristik tiap
negaranya.

Prospek yang Harus Dihadapi oleh Ekonomi Politik


Internasional di Masa Mendatang
Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa krisis
merupakan hal yang dalam sejarah atau dinamika Ekonomi Politik
Internasional selalu ada. Di masa mendatang pun prospek Ekonomi
Politik Internasional setelah Krisis Asia 1997 ini terbilang baik dan
akan terus ditingkatkan kajiannya. Krisis yang akan selalu ada
menjadikan prospek Ekonomi Politik Internasional bergerak
dinamis seiring dengan kelemahan-kelemahan yang harus
dilengkapi oleh Ekonomi Politik Internasional. Bisa jadi di masa
mendatang kembali pergeseran dalam Ekonomi Politik
Internasional terkait perspektif yang berkembang. Kini muncul
Neokeynesianisme yang mencoba menyempurnakan atau menutupi
kelemahan Keynesian dalam menjelaskan isu krisis di dalam
Ekonomi Politik Internasional. Krisis juga akan terus terjadi
seiring dengan ditetapkannya sistem finansial yang notabene
bersifat volatilitas. Sehingga ketika negara terkena dampaknya
tentu akan berdampak ke sekitarnya. Dari sini sebenarnya dapat

Ekonomi Politik Internasional 165


diambil makna bahwa bandul Ekonomi Politik Internasional akan
terus bergerakn mengikuti dinamika dan isu yang tengah dibahas.
Selain itu ini pula yang akan memberi pelajaran ke depannya
tentang bagaimana menciptakan stabilitas dan iklim yang lebih adil
dan kooperatif.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan krisis
merupakan hal yang akan terus dihadapi dalam Ekonomi Politik
Internasional. Di tiap masa, seringkali ditemukan permasalahan
dalam Ekonomi Politik Internasional yang membutuhkan solusi
penyelesaiannya. Masing-masing krisis atau masalah memiliki
karakter tersendiri dan penyelesaiannya juga beragam. Di masing-
masing era serta masalah yang dihadapi ini kemudian
memunculkan hal baru, seperti kemunculan perspektif atau teori
baru dalam Ekonomi Politik Internasional maupun kebangkitan
perspektif atau teori yang sebelumnya telah ada kemudian
memunculkan perspektif atau teori yang menyempurnakannya. Ke
depan, Ekonomi Politik Internasional masih akan terus
menghadapai tantangan atau masalah seperti krisis atau pergeseran
aktor dan lainnya. Ini yang kemudian menjadikan Ekonomi Politik

Ekonomi Politik Internasional 166


Internasional tetap relevan karena akan selalu dikaji dan
diperlukan sebagai suatu ilmu.

Kata-Kata Kunci : krisis Asia 1997, IMF, prospek

Pertanyaan Arahan :
Apa yang menyebabkan resesi Asia dan bagaimana peran IMF
dalam resesi tersebut ?
Masalah-masalah apa lagi yang ke depannya harus diselesaikan
Ekonomi Politik Internasional ?

Referensi :
Frieden, Jeffrey A., 2006. Global Capitalism Trouble. In: Global
Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth Century.
New York: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 457-472.
Fischer, Stanley, 1998. Asian Crisis: The View from the IMF,
Journal of International Financial Management and
Accounting. 9(2), pp. 167-176---NONE
Hill, Charles W. L., t.t. The Asian Financial Crisis [online]. dalam
:http://www.wright.edu/~tdung/asiancrisis-hill.htm [diakses
11 Maret 2015].

Ekonomi Politik Internasional 167


Pauly, Louis W., 2008.The Political Economy of Global Financial
Crisis.In: Ravenhill, John. Global Political Economy.
Oxford: Oxford University Press, pp.241-272.
Stiglitz, Joseph E., 2002. The East Asia Crisis: How IMF Policies
Brought the World to Verge of a Global Meltdown. In:
Globalization and Its Discontents. London: W.W. Norton
& Co. Inc., pp. 89-132.

Ekonomi Politik Internasional 168


Kesimpulan
Dari keseluruhan materi perkuliahan Ekonomi Politik
Internasional yang tertuang ke dalam 13 bab ini telah dijelaskan
perkembangan Ekonomi Politik Internasional sebagai titik awal
memahami. Ditambah dengan konsep-konsep serta teori dan
pendekatan yang ada dalam Ekonomi Politik Internasional untuk
memahami permasalahan yang ada. Tiap bab dalam buku ini
memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini ada pada relasi
periode serta bagaimana relasi periode tersebut akan menunjukkan
keterkaitan yang dekat dari topic yang dibicarakan. Dijelaskan pula
tentang krisis yang telah terjadi dalam Ekonomi Politik
Internasional dan bagaimana regulasi yang diterapkan untuk
menghadapinya. Kemudian diterangkan pula mengenai pentingnya
institusionalisasi sebagai bentuk menjaga ketertiban dalam
Ekonomi Politik Internasional. Aktivitas aktor dalam Ekonomi
Politik Internasional juga dibahas di dalamnya dan bagaimana
posisi masing-masing aktor serta relasi ketiganya. Preskripsi
alternative juga tidak luput dari pembahasan dalam Ekonomi
Politik Internasional. Demikian halnya dengan sistem moneter
yang ada dalam Ekonomi Politik Internasional. Kemudian
globalisasi serta fitur-fiturnya dapat memengaruhi perubahan
model produksi. Integrasi dalam Ekonomi Politik Internasional

Ekonomi Politik Internasional 169


sebagai praktik terkini yang terus meningkat juga tidak luput dari
pembahasan. Hingga di bab akhir materi Ekonomi Politik
Internasional ini mengulas tentang krisis finansial dan prospek dari
Ekonomi Politik Internasional ke depannya. Dengan demikian dari
keseluruhan bab diharapkan pembelejarnya akan memahami dan
mengambil pelajaran tentang bagaimana mengelola dan
mengambil kebijakan strategis dalam Ekonomi Politik
Internasional.

Ekonomi Politik Internasional 170


Daftar Pustaka
Arrighi, Giovani, 2006. The Long Twentieth Century. London:
Verso
Baylis, John, & Steve Smith, 2001. The Globalization of World
Politics, 2nd Edition. Oxford : Oxford University Press, pp.
1-12.
Business Dictionary, t.t. Informational Economy. dalam :
http://www.businessdictionary.com/definition/information
-economy.html [diakses 18 Mei 2015]
Brown, Michael B., 1995. Models in Political Economy. London:
Penguin.
Castells, Manuell, 1996. The Rise of the Network Society. Oxford:
Basil Blackwell Ltd.
Dunford, Michael, 2000. Globalization and Theories of
Regulation. In: Palan, Ronen, Global Political Economy:
Contemporary Theories. London: Routlledge, pp. 143-
167.
Fischer, Stanley, 1998. Asian Crisis: The View from the IMF,
Journal of International Financial Management and
Accounting. 9(2), pp. 167-176

Ekonomi Politik Internasional 171


Frieden, Jeffrey A., 2006. Global Capitalism: Its Fall and Rise in
the Twentieth Century. New York: W.W. Norton & Co.
Inc.
Gilpin, Robert, 1987. The Political Economy of International
Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 25-
64.
____________, 2001. Global Political Economy: Understanding
the International Economic Order. Princeton: Princeton
University Press
Gramsci, Antonio, 1971. Selections from the Prison Notebooks.
London: Lawrence & Wishart
Harvey, David, 2007. Freedoms Just Another Word. In: A Brief
History of Neo-Liberalism. Oxford: Oxford University
Press, pp. 5-38.
Hill, Charles W. L., t.t. The Asian Financial Crisis [online]. dalam
:http://www.wright.edu/~tdung/asiancrisis-hill.htm
[diakses 11 Maret 2015]
Hobsbawm, Eric, 1987. The Age of Empire 1875-1914. London:
Weidenfield & Nicolson
Hoogvelt, Ankie, 1997. Globalization and the Post-Colonial
World: the New Political Economy of Development.
Baltimore: The John Hopkins University Press

Ekonomi Politik Internasional 172


Jackson, Robert, & George Sorensen, 1999. Introduction to
International Relations. Oxford : Oxford University
Press, pp. 175-216.
Lairson, Thomas D., & D. Skidmore, 1993. International Political
Economy: The Struggle for Power and Wealth. Orlando:
Harcourt Brace College Publishers
Magdoff, Harry, 1978. Imperialism: From the Colonial Age to the
Present. New York: Monthly Review Press.
Naim, Moises, 2000. Foreign Policy. No. 118, pp. 86-103
Peet, Richard, 2003. Unholy Trinity: The IMF, World Bank, and
WTO. London: Zed Books
Raphael, D.D., Donald Winch, & Robert Skidelsky, 1997. Three
Great Economists: Smith, Maltus, Keynes. Oxford:
Oxford University Press
Ravenhill, John, 2008. Global Political Economy. Oxford: Oxford
University Press
Robinson, William I., 2004. A Theory of Global Capitalism:
Production, Class, and State in a Transnational World.
Baltimore: The John Hopkins University Press
Singh, Kavaljit, 2005. Does Globalization Spell the End of
Nation-State?, dalam Questioning Globalization,
London: Zed Books, pp. 163-181

Ekonomi Politik Internasional 173


Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents.
London: W.W. Norton & Co. Inc., pp. 89-132.
Strange, Susan, 1986. Casino Capitalism. Oxford: Basil
BlackwellLtd., pp.1-24.

Ekonomi Politik Internasional 174


Ekonomi Politik Internasional 175

You might also like