Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Rumusan Masalah
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin
indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus jika
tidak ditangani dengan baik (Prawirohardjo,1997).
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi (kadar) bilirubin
tak terkonjugasi yang ditunjukkan dengan ikterus pada minggu pertama
kelahiran.
Ikterus adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa,
sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di
dalam darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit, konjungtiva,
mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).
B. Klasifikasi
Hiperbilirubinemia terdiri dari Ikterus Fisiologis, Ikterus Patologis, dan Kern
Ikterus.
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan
tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987) dan
(Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
3. Kern Ikterus
Kern Ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin
Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus
Subtalamus, Hipokampus,
Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
C. Jenis Bilirubun
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis
yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport
dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak
karena bisa melewati sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu
bilirubin larut dalam air, tidak larut lemak, dan tidak toksik untuk otak.
D. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam
air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya
hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin
binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah
matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai
sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
E. Etiologi
1. Peningkatan produksi
a. Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
d. Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
f. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
g. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstrukti.
F. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya
akan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Gloobin (protein) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diubah
menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z
dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia atau hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra atau ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat
indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang
karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada
derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan
hipoglikemia (AH Markum, 1991).
1. Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan
hemoglobin oleh kerja heme oksidase, biliverdin reduktase dan agen
pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial.C
2. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh
protein intraseluler Y protein dalam hati. Pengambilan tergantung pada
alairan darah hepatik dan adanya ikatan protein.
3. Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam hati dirubah (terkonjugasi) oleh
enzim asam uridin disfosfoglukuronat (UDPGA; Uridin
Diphospgoglucuronic Acid). Glukuronil transferase menjadi bilirubin
mono dan diglukuronida yang polar larut dalam air (bereaksi direk).C
4. Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui
ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui
membran kanalikular.
5. Akhirnya dapat masuk ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh
bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin
diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enteroheptik.
6. Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang
larut lemak, tak terkonjugasi, non-polar (bereaksi indirek).
7. Pada bayi hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari
defisiensi atau tidak aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya
pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein
hepatik sejalan dengan penurunan aliran darah hepatic.
8. Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari
hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak
bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir.
Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25
sampai 30 mg/dl selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya
dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu.
9. Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun
berangsur-angsur dan dapat menetap selama 3 sampai 10 minggu pada
kadar yang lebih rendah.
10. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan
cepat., biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.
11. Penghentian ASI selama 1 sampai 2 hari dan penggantian ASI dengan
formula menfakibatkan penurunan bilirubin serum dengan cepat,
sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan hiperbilirubin tidak
kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.
12. Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalan 24 jam
pertama kelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis,
muncul antara 3 sampai 5 hari sesudah lahir.
Menurut dr. Aty Firsiyanti, Sp.,A patofisiologi dari hiperbilirubinemia
adalah sebagai berikut :
1. Produksi bilirubin meningkat : sel darah merah , umur sel darah
merah , pemecahan sel darah merah .
2. Penurunan konjugasi bilirubin : prematuritas.
3. Peningkatan reabsorbsi dalam saluran cerna : asfiksia, obstruksi
saluran cerna.
4. Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi, sepsis, kolestasis,
hepatitis, fibrosis kistik.
G. Manifestasi Klinik
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis
sebagian otot mata dan displasia dentalis.
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium (pemeriksaan darah)
a) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bilirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2
dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya di atas 10 mg/dl, tidak
fisiologis. Pada bayi dengan prematur kadar bilirubin mencapai
puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin
yang yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak fisiologis.
b) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c) Protein serum total.
2. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu memebedakan
hepatitis dari atresia biliary.
1. Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada
saat kelahiran.
2. Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan
darah tali pusat pada setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan
yang dibutuhkan.
3. Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24
jam pertama kelahiran.
4. Pemeriksaan laboratorium : bilirubin, golongan darah ibu anak, darah
rutin, Coomb test, kadar enzim G6PD.
5. Pemeriksaan USG abdomen.
I. Komplikasi
Menurut Suriadi, 2001, Keadaan bilirubin yang tidak teratasi akan
menyebabkan memperburuk keadaan, dan menyebabkan komplikasi :
1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius).
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental,
hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking.
J. Penatalaksanaan Medik
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum
tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernicterus atau ensefalopati
biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat
lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya
glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar.
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin),
terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat
mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan
apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum,
letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang
penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan
hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan antara lain :
1. Menghilangkan anemia.
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi.
3. Meningkatkan badan serum albumin.
4. Menurunkan serum bilirubin.
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi,
Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan
Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus
pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light
bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi
eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang
diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
isomer yang disebut Fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin
dapat dikeluarkan melalui urine. Fototherapi mempunyai peranan dalam
pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah
penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek
4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000
gram
harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa
ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24
jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif
baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal
masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin
dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine
sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
2. Pemeriksaan Fisik
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks
menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua
merasa
5. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran tepi dan permukaan), ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu dan masa abdominal, selaput
lender, kulit berwarna merah tua, kuning, pucat, urine pekat warna teh, pallor
konvulsi, letargi, tangisan dengan nada tinggi (melengking), iritabilitas,
penurunan kekuatan otot (hipotonia), penurunan refleks menghisap, gatal,
tremor, dan convulsio (kejang perut).
6. Laboratorium
Pada bayi dengan hiperbilirubinemia pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya Rh darah ibu dan janin berlainan, kadar bilirubin bayi
aterm lebih dari 12,5 mg/dl, premature lebih dari 15 mg/dl, dan dilakukan tes
comb.
7. Pemeriksaan psikologis
Efek dari sakit bayi yaitu diantaranya ; gelisah, tidak/sulit kooperatif dan
merasa asing.
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan