You are on page 1of 17

TUGAS UAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

PERISTIWA DAYAK-MADURA DI KALIMANTAN TENGAH

Dosen Pembimbing
Dra. Liliek Soetjiatie, M.Si.
NIP. 19660513 199803 2 001

Oleh
Pramitha Galuh A. P.
NIM. P27 838 113 035

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN TEKNIK ELEKTROMEDIK
2017
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya ingin mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat
Allah SWT karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Konflik Sampit antara Suku Dayak dengan Suku Madura di Kalimantan Tengah
ini dengan baik. Dimana makalah ini dibuat dan disusun untuk memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Saya ingin
berterimakasih kepada semua pihak yang membantu saya dalam mengerjakan
tugas makalah ini. Apabila ada kritik dan saran dari pembaca, saya bersedia
menerima semua kritik dan saran tersebut. Karena kritik dan saran ini sebagai batu
loncatan yang dapat memperbaiki makalah saya dimasa mendatang. sehingga saya
akan berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan lebih baik lagi.

Surabaya, 25 Januari 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................i


KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG .........................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ....................................................................3
1.3 TUJUAN .............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................4
2.1 KONFLIK SAMPIT ...........................................................................4
2.2 KRONOLOGIS KONFLIK SAMPIT ................................................8
2.3 PENYELESAIAN MASALAH .........................................................10
BAB III PENUTUP ........................................................................................13
3.1. KESIMPULAN ..................................................................................13
3.2. SARAN ..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Runtuhnya rezim Soeharto oleh kekuatan reformasi tahun 1998, telah


banyak mengubah keadaan di Indonesia. Jika pada masa Orde Baru gejolak
masyarakat dapat ditekan oleh pemerintahan yang kuat dengan berbagai
bentuk represinya, tidak demikian keadaannya dengan pemerintahan sipil
setelah reformasi digulirkan. Sejak masa presiden Habibie hingga
pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid yang terpilih melalui
mekanisme demokrasi, kondisi stabilitas masyarakat Indonesia nampaknya
belumlah kembali normal seperti sebelum krisis. Kerusuhan demi
kerusuhan, konflik disintegrasi seperti tidak henti-hentinya terjadi di
beberapa daerah di Indonesia (Satrya, 2002).

Konflik etnis yang terjadi belakangan ini merupakan fenomena yang


menarik untuk dicari tahu akar permasalahannya. Bangsa Indonesia sejak
dulu merupakan bangsa yang multietnis dengan berbagai adat istiadat dan
budaya yang berbeda-beda. Walaupun berbda-beda, sejak dulu bangsa
Indonesia berjuang bersama-sama untuk mengusir penjajah dari bumi
nusantara (Satrya, 2002).

Hal yang patut untuk dipertanyakan sekarang adalah mengapa wacana


etnisistas menjadi momok yang sangat menakutkan dalam kehidupan
berbangsa? Hal ini tidak lain karena wacana etnisistas telah dikembangkan
secara sistematis oleh negara dengan berbagai konotasi yang bersifat
negatif, keberagaman merupakan sumber konflik dan perpecahan, oleh
karena itu harus ditinggalkan (Satrya, 2002).

Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak


menyangkut dari persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan
merasakannya. Dengan demikian, jika suatu keadaan tidak dirasakan

1
sebagai konflik, maka pada dasarnya konflik tersebut tidak ada dan begitu
pula sebaliknya (Usop, 2011)
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang
relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian
berdasarkan ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang
bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga
diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi
sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional
(Usop, 2011)
Prasangka dibagi 3 kategori :
1) Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
2) Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai atau tidak disukai
3) Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecendrungan seseorang
dalam bertindak

Diskriminasi yaitu membeda-bedakan karakteristik individu yang


merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu,
dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili individu
tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk
membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan tidak adil
karena karakteristik suku, antar golongan, jenis kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, kondisi fisik, atau karakteristik lain yang diduga merupakan
awal dari tindakan diskriminasi (Usop, 2011).

Kategori diskriminasi dibagi 2, yaitu:


1) Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan/kebijakan jelas-
jelas menyebutkan karakteristik tertentu menghambat adanya peluang
sama.
2) Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan (Usop, 2011).

2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana terjadinya konflik Sampit pada tahun 2001?
1.2.2 Apa penyebab terjadinya konflik Sampit pada tahun 2001?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini untuk menjelaskan bagaimana terjadinya


konflik Sampit.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konflik Sampit

Permasalahan konflik tidak terlepas dari adanya interaksi antara suku


bangsa didalam penguasaan sumber daya yang ada di dalam lingkup
teritorialnya. Pada awalnya masyarakat yang berada di Sampit sangat
konformitas terhadap persinggungan budaya hal ini dikarenakan tragedy
sampit yang menjatuhkan korban jiwa yang cukup banyak dari suku Madura
merupakan kompleksitas dari tragedi-tragedi kecil yang sebelumnya pernah
terjadi. Sehingga masyarakat suku dayak memberikan label terhadap suku
Madura sebagai suku antagonis sehingga atas ketidak berdayaannya
melawan pengaruh-pengaruh penguasaan suku pendatang secara dominan
terhadap suku yang seharusnya menjadi milik territorial sumber daya
dominan yang dilakukan oleh Suku Madura yang menyebabkan
kecemburuan secara sosial dan ekonomi (Sunarto n.d.).
Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan hak asasi
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku
Dayak di Sampit selalu terdesak dan selalu mengalah. Dari kasus
dilarangnya menambang intan di atas tanah adat mereka sendiri karena
dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kediaman mereka yang
harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang
kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk oleh ketidak adilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban
kasus-kasus tersebut (Sunarto n.d.).
Tidak sedikit kasus-kasus pembunuhan orang Dayak (yang sebagian
besar disebabkan oleh aksi premanisme etnis Madura) yang merugikan
masyarakat Dayak karena para tersangka tidak bisa ditangkap dan diadili
oleh aparat penegak hukum (Cahyono et al., 2008) .

4
Etnis Madura juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi
(mengingat suku Madura sebagai pendatang) (Cahyono et al, 2008) .
Sering terjadinya kasus pelanggaran tanah larangan orang Dayak
oleh penebang kayu dari suku Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu
pemicu perang antar etnis Dayak-Madura (Cahyono et al, 2008).
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja,
mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat
Dayak, bahkan masyarakat banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan
untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula
tipu-daya yang mereka lakukan. Tidak semua suku Madura bersifat seperti
ini. Namun, hanya segelintir saja (Cahyono et al. 2008)
Ada yang mengungkapkan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara
Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat dikedua belah
pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota
suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai
yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Missal, adat orang Madura
yang membawa parang atau celurit kemanapun pergi membuat orang Dayak
melihat sang tamu-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak
membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang
atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal salah
menyambit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang
semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak
bernyawa tanpa kepala saat terjadi pembantaian Sampit entah bagaimana
cara mereka (suku Dayak) yang tengah dirasuki kemarahan membedakan
suku Madura dengan suku lainnya yang jelas suku-suku lainnya luput dari
serangan orang-orang Dayak (Cahyono et al, 2008).
Begitu pula adanya catatan ingatan dari suku asli tentang perlakuan-
perlakuan yang tidak adil terhadap suku asli yang menyebabkan
meningkatnya konformitas dan identitas kesukuan yang dibangkitkan oleh
masyarakat Dayak. Ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan ingatan

5
dari masyarakat Dayak yang menurut mereka adalah perlakuan yang tidak
wajar terhadap masyarakat suku Dayak, antara lain: (Cahyono et al, 2008)
1) Tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa di Palangka Raya. Atas
kejadian itu diadakan perdamaian secara hukum adat.
2) Tahun 1982, terjadi pembunuhan orang Dayak yang pelakunya
merupakan orang Madura. Tidak ada penyelesaian hukum dan pelaku
tidak tertangkap.
3) Tahun 1983, warga Kasongan yang ber-etnis Dayak dibunuh di
Kecamatan Bukit Batu, Kasongan. Diadakan perdamaian, dilakukan
peniwahan itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan. Perdamaian
ditandatangani kedua pihak dan jika pihak Madura melakukan
perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
4) Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa dan dibunuh di gedung
bioskop Panala di Palangka Raya, ternyata hukumannya sangat ringan.
5) Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak
dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40
orang, dengan semua orang Madura meninggal pada kejadian tersebut.
Orang dayak mempertahankan diri dengan ilmu beladiri. Dan orang
Dayak dihukum berat.
6) Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota kecamatan Kaltingan Tengah,
seorang anak mati terbunuh oleh seorang tukang sate etnis Madura.
Anak itu hanya kebetulan lewat setelah tukang sate tersebut bertikai
dengan para anak muda.
7) Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok empat pemuda
Madura hingga meninggal, pelakunya dinyatakan melarikan diri dan
kasus tidak diselesaikan secara hukum.
8) Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa
orang Madura karena masalah sengketa tanah. 2 orang Dayak
meninggal dunia.
9) Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas ketertiban umum
dibacok oleh orang Madura, pelaku ditahan di polresta Palangka Raya,
namun dibebaskan keesokan harinya tanpa tuntutan hukum.
10) Tahun 1999, di Pangkut, ibukota kecamatan Arut Utara, kabupaten
Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian missal dengan suku Madura.

6
Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas suku dayak.
Perkelahian banyak menimbulkan korban pada kedua pihak. Tak ada
penyelesaian hukum.
11) Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-
istri. Tindakan tersebut dilakukan untuk balas dendam, namun salah
alamat.
12) Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, sekeluarga Dayak
dibunuh oleh orang Madura, pelaku lari tanpa penyelesaian hukum.
13) Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 orang Dayak di bunuh oleh
pengeroyok suku Madura di depan gereja Imanuel. Pelaku lari tanpa
penyelesaian hukum.
14) Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin
Timur, terjadi pengeroyokan oleh suku Madura. Pelaku kabur tanpa
penyelesaian hukum.
15) Tahun 2001, di Sampit (17-20 Februari 2001) warga Dayak banyak
terbunuh karena dibantai. Suku Madura lebih dulu menyerang warga
Dayak.
16) Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga dayak
terbunuh diserang suku Madura.

Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat,


Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup
berdampingan dengan suku lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan
suku Madura. Lalu terjadilah peristiwa kerusuhan pada 25 Februari yaitu
peristiwa Sampit yang mencekam.

Apa yang membuat suku Dayak begitu marah menghadapi suku


Madura. Hampir semua tokoh Dayak menunjukkan kebanyakan etnis
Madura penyebab akar permasalahannya. Maka dari itu, telah terpapar
diatas bahwasanya persinggungan penguasaan sumber daya yang tidak
terdistribusi secara merata dalam persaingan dan kerjasama sebelum
meningkat menjadi konflik juga dipicu karena permasalahan label dari
masyarakat suku Dayak terhadap suku Madura dalam segi budaya yang

7
menimbulkan etnosentrisme sehinggan terjadi konflik (Cahyono et al, 2008)

2.2 Kronologis Konflik Sampit


- Pada tanggal 18 Februari 2001
Pukul 01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian antar etnis diawali
dengan terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok
Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan 5 (lima) orang
meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya dari Suku
Madura.
Pukul 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak
2 (dua) buah rumah yang dilakukan oleh kelompok Suku Madura dan 1
(satu) buah rumah Suku Dayak dirusak dan dijarah oleh kelompok Suku
Madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal dari
Suku Dayak.
Pukul 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob Polda dari
Kalimantan Selatan sebanyak 103 personil dengan kendali BKO Polda
Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl. 12.00 WIB
Pukul 10.00 WIB sebanyak 38 orang tersangka dari kelompok
Suku Dayak atas kejadian tersebut di atas diamankan ke MAPOLDA
Kalteng di Palangka Raya dan menyita beberapa macam senjata tajam
sebanyak 62 buah.
Pukul 20.30 WIB ditemukan 1 orang mayat dari kelompok Suku
Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.
- Pada tanggal 19 Februari 2001
Pukul 02.00 WIB terjadi pembakaran 1 (satu) buah mobil Kijang
milik Suku Madura di Jalan Suwikto, Sampit.
Pukul 16.00 WIB ditemukan mayat sebanyak 4 (empat) orang dan
1 orang luka bakar semuanya dari Suku Dayak di Jalan Karya Baru,
Sampit.
Pukul 17.00 WIB diadakan sweeping oleh Petugas aparat
keamanan terhadap kelompok Suku Madura dan kelompok Suku Dayak
di Sampit.
Penangkapan 6 (enam) orang Suku Dayak tersangka berdasarkan
hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah ditahan sebelumnya,
dan diamankan di Polres Kotim.

8
Pukul 22.00 WIB Wakil Gubernur Kalimantan Tengah dan
DANREM 102/PP bersama  pasukan dari Yonif 631/ATG
sebanyak 276 orang menuju Sampit dan tiba Pukul 03.00 WIB.

Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001 kota Sampit sepenuhnya dikuasai


oleh Suku Madura yang menggunakan senjata tajam dan bom Molotov.

- Tanggal 20 Februari 2001


Pukul 08.30 WIB diadakan pertemuan antara DANREM 102/PP,
KAPOLDA dan Wakil Gubernur dan MUSPIDA Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan tokoh masyarakat di Sampit ( Tokoh
Dayak, Madura dan Tokoh Masyarakat Sampit) untuk mengupayakan
penghentian pertikaian dan dilanjutkan dengan pemantauan ke lokasi
pertikaian dengan mengadakan dialog dengan warga yang bertikai.
Warga yang ketakutan karena kerusuhan dan sweeping disertai
pembakaran rumah yang dilakukan oleh Suku Madura terhadap Suku
Dayak mengungsi ke Gedung Balai Budaya Sampit, Gedung DPRD
Kotawaringin Timur dan Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Timur
sebanyak 702 KK (2.850 orang) bukan Suku Madura dan sebagian
warga non Madura mengungsi ke Palangka Raya.
Terjadi perkelahian dan kerusuhan massal terbuka antara Suku
Madura dan Suku Dayak yang datang membantu dari pedalaman. Di
saat inilah kerusuhan terbesar terjadi dimana kedua pihak etnis tersebut
saling membantai etnis lainnya.
Dari serangkaian peristiwa yang mencekam tersebut dilaporkan
terdapat sebanyak 383 orang korban jiwa dan 38 orang luka-luka.
Korban materil berupa 793 buah rumah terbakar, 48 buah rumah rusak,
13 buah kendaraan bermotor, dan 206 buah becak. Dan akhirnya
seluruh etnis Madura yang berada di Kalimantan Tengah dan tempat-
tempat lainnya diungsikan keluar daerah tersebut. (Cahyono et al, 2008)

2.3 Penyelesaian Masalah

9
Pertama-tama penyelesaian diserahkan untuk ditangani oleh lembaga
independen yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari kedua etnis
serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari pemerintahan. Yang
difasilitasi sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi kewenangan untuk
menemukan kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian
mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata
mereka kembali keharmonisan social dalam ketenangan dan rasa aman yang
terjamin (Usop, 2011).
Kedua, siapa pun yang diindikasikan kuat sebagai actor-aktor
intelektual di balik kerusuhan di Kalteng, baik dari kalangan etnis Dayak
maupun Madura, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Supremasi
hukum harus ditegakkan atas mereka (Usop, 2011).
Ketiga, negara harus membantu warga etnis Madura untuk
mendapatkan kembali hak milik mereka berupa asset ekonomi terutama
yang berupa tanah serta rumah tempat tinggal. Juga memberikan
kompensasi terhadap etnis Dayak untuk menjadi tuan tanah di tanah nenek
moyangnya. Mereka harus diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan
(Usop, 2011).
Keempat, negara bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat
melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk
tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa majemuk berikut pentingnya
hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik
tanpa kekerasan di dalama masyarakat. Dan, yang tak kalah pentingnya
adalah berupaya menghapus kesan negatif atau stereotype antara etnis
Dayak dan Madura selama ini (Usop, 2011).
Agar kasus serupa tidak terulang lagi diharapkan ada upaya-upaya yang
dapat dilakukan baik oleh Kepolisian maupun pemerintah yakni :
1) Kepolisian
Yang dapat dilakukan oleh Kepolisian dalam mengatasi kasus serupa
agar tidak terulang lagi antara lain :

10
a. Kepolisian harus mampu deteksi dini pada kasus-kasus yang
melibatkan perebutan sumber daya di Sampit dan bekerja sama
dengan Pemerintah Daerah agar dapat mencari solusi dalam
penyelesaian masalah-masalah yang melibatkan munculnya
persinggungan antar kedua suku.
b. Melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh kedua suku agar kasus
ini tidak terulang lagi dan menyakinkan kedua belah pihak bahwa
solusi terbaik terhadap permasalahan perbedaan antar suku bangsa
masih bisa di fasilitasi dengan cara berkomunikasi untuk mencari
problem solving terhadap permasalahan tersebut.
c. Penegakan hukum secara tegas dan menunjukkan netralitas aparat
kepolisian dalam menciptakan stabilitas keamanan dan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum negara (Usop, 2011).
2) Pemerintah
Berdasarkan dari analisa kasus yang terjadi diatas bahwa kita
ketahui bahwa ketidak tegasan pemerintah terhadap permasalahan lahan
dan aturan-aturan yang ada dalam transaksi ekonomi dan sosial
memberikan dampak buruk terhadap persaingan dalam mencari sumber
rezeki masyarakat. Sehingga peran dari pemerintah adalah membuka
ruang-ruang ekonomi masyarakat seharusnya lebih meluas dan
memberikan keseimbangan diantara kemajemukan masyarakat terutama
antara masyarakat dominan dan masyarakat mayoritas.
Pemerintah membuat paguyuban bersama antara suku-suku bangsa
yang menjadikan arena komunikasi yang solutif sebelum terjadinya
permasalahan yang melibatkan permasalahan kesukuan yang tidak
menutup kemungkinan dengan adanya rangkaian sejarah kejadian
Sampit menjadikan tolak ukur yang menimbulkan gabungan antara
Suku Dayak dan Madura (Usop, 2011).

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Permasalahan konflik antara suku Dayak dan Madura adalah rangkaian


panjang dari perjalanan interaksi antara kekuatan-kekuatan sosial dalam
struktur sosial dalam memperebutkan sumber daya yang ada di Sampit yang
menimbulkan persaingan dan akibat dari tidak meratanya pendistribusian
sumber daya yang ada akan menyebabkan konflik. Perbedaan budaya bukan
merupakan penyebab konflik, tetapi bisa menjadi pemicu terjadinya konflik.
Maka dari itu pihak kepolisian dan pemerintah daerah sangat berperan untuk

12
memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat
Sampit (Suyanto & Bagong, 2001).

3.2 Saran

Sistem kekerabatan, rasa saling menghormati, menyayangi dan sikap


toleransi harus lebih di tingkatkan lagi sesama warga di Indonesia,
walaupun berbeda ras, suku dan agama demi mewujudkan Negara Indonesia
yang aman, damai dan sesuai dengan semboyan Bangsa Indonesia yang
dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika. (Suyanto & Bagong, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono et al., 2008. Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik (Daerah
Konflik Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI.

Satrya, I.G.A.., 2002. Jurnalisme Damai Pada Media Cetak: Studi Kasus
Pemberitaan Kerusuhan Sampit di Harian Kompas dan Jawa Pos,
Surabaya: Universitas Airlangga.

Sunarto, K., Pengantar Sosiologi 3rd ed., Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia.

13
Suyanto & Bagong, 2001. Menguak Akar Kerusuhan Sampit, Surabaya: Jawa Pos.

Usop, S.R., 2011. Manyalamat Petak Danum (Refleksi Terhadap Konflik Etnis di
Sampit), Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

14

You might also like