You are on page 1of 8

Modul tutorial II

Airway, breathing and circulation

Step 1

Vulnus lactum : luka akibat tusukan

Krepitasi : sensasi bergerak yang teraba, yang di temukan pada sendi

Emphysema subcutis : di tandai dengan adanya udara dalam pleura dalam jaringan subkutan, Karena
cedera thorax

Sianosis : perubahan warna kulit (berwarna kebiruan) karena kurangnya HB

Sudut costophrenicus : bentuk antara rongga thorax dengan diafragma

Afebris : kondisi dimana suhu tubuh mengalami penurunan suhu dari sebelumnya

Learning objektif

1. Tanda-tanda shock hipovolemik


2. Interpretasi dari scenario
3. Apa yang menyebabkan distensi vena jugularis kanan dan pada tekanan berapa meningkat serta
cara mengukurnya
4. Penanganan awal yang dilakukan
5. Komplikasi pada trauma maxilla facialis
6. Termasuk tension pneumothorax atau hematothorax atau efusi pleura (diagnosis pada scenario)
7. Penanganan shock hipovolemik
8. Apa yang menyebabkan emfisema subcutis pada kasus
9. Bagaimana cara merujuk pasien dengan multiple trauma
10. Bagaimana Dampak trauma thorax pada dada

Jawababan

1. Tanda-tanda dari shock hipovolemik

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syock hipovolemik akibat non perdarahan serta
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syock. Respon
fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil
memperbaiki volume darah dalam sirkukasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja
simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi
besar guna pengisisan volume pembuluh darah dengan menggunakan cairana intersissial,
intraselulur dan menurunkan produksi urin.
Ringan (<20% volume darah) : eksremitas dingin, waktu pengisisan kapiler meningkat,
diaphoresis, vena kolaps dan cemas.
Sedang (20-40% volume darah): sama, ditambah dengan takikardia, takipnea, oliguria,
hipotensi ortostatik
Berat (>40% volume darah) : sama, ditambah dengan hemodinamik tak stabil, takikardia,
bergejala hipotensi dan perubahan kesadaran

Sumber : Sudoyo dkk, 2009, Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1 Edisi V, interna publishing.

2. Apa yang menyebabkan distensi vena jugularis kanan dan pada tekanan berapa meningkat serta
cara mengukurnya

Distensibilitas vena-vena di leher dapat memperlihatkan adanya perubahan volume dan


tekanan di dalam atrium kanan. Terdapat 2 buah vena jugularis pada leher yaitu vena jugularis
interna dan vena jugularis eksterna. Pemeriksaan JVP menunjukkan keadaan input jantung.
Vena jugularis yang biasa digunakan yakni vena jugluaris interna karena berhubungan langsung
dengan vena cava superior dan atrium kanan. (Waskito, 2008)
Tekanan normal pada atrium kanan ekuivalen dengan tekanan kolom darah setinggi 10-
12 cm. Jadi, apabila pasien berdiri atau duduk tegak, vena jugularis interna akan kolaps dan bila
pasien berbaring, vena terisi penuh. Bila pasien berbaring sekitar 45, maka pulsasi vena jugularis
akan tampak tepat di atas klavikula; maka posisi ini digunakan untuk pemeriksaan denyut vena
jugularis (JVP) (Gambar 1). Kepala pasien diletakkan pada bantal, dengan leher fleksi dan
pandangan lurus ke depan. Sebaiknya tidak menegangkan muskulus sternomastoid, karena vena
jugularis interna tepat berada di bawahnya. (Waskito, 2008)

Prosedur

1. Atur klien pada posisi supine dan relaks.


2. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan:
o 15 - 30 (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112; Lanros & Barber, 1997, p. 141), atau
o 30 - 45 (LeMone & Burke, 2000, p. 1188), atau
o 45 - 90 pada klien yang mengalami peningkatan tekanan atrium kanan yang cukup
bermakna (Luckman & Sorensen, 1993, p 1112).
3. Gunakan bantal untuk menopang kepala klien dan hindari fleksi leher yang tajam.
4. Anjurkan kepala klien menengok menjauhi arah pemeriksa.
5. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau thorak bagian atas.
6. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan (shadows) vena jugularis.
Identifikasi pulsasi vena jugular interna (bedakan denyutan ini dengan denyutan dari arteri
karotis interna di sebelahnya), jika tidak tampak gunakan vena jugularis eksterna.
7. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna/eksterna dapat dilihat
(Meniscus).
8. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai tempat untuk mengukur tinggi pulsasi
vena. Titik ini 4 5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
9. Gunakan penggaris.
o Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah satu ujungnya
menempel pada sudut sternum.
o Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal), dimana ujung yang satu tepat di titik
tertinggi pulsasi vena (meniscus), sementara ujung lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1.
10. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi vena
(meniscus).
11. Nilai normal: kurang dari 3 atau 4 cm diatas sudut sternum, pada posisi tempat tidur bagian
kepala ditinggikan 30 - 45 (Luckman & Sorensen, 1993, p. 1113).
12. Catat hasilnya.

A. Menulis dan Membaca Hasil


Misal = 5+2
5: adalah jarak dari atrium ka ke sudut manubrium, dan ini adalah konstanta
+2: hasilnyameniscus
B. Hasil Pengukuran dan Interpretasinya
1. Nilai lebih dari normal, mengindikasikan peningkatan tekanan atrium/ventrikel kanan,
misalnya terjadi pada:
a. Gagal jantung kanan
b. Regurgitasi trikuspid
c. Perikardial tamponade
2. Nilai kurang dari normal, mengindikasikan deplesi volume ekstrasel.
3. Distensi unilateral, mengindikasikan obstruksi pembuluh pada salah satu sisi.

Sumber : Waskito, Budi A. (2008). Anamnesa dan pemeriksaan fisik sitem kardiovaskuler.
http://fk.uwks.ac.id%2Felib%2FArsip%2FDepartemen%2FIlmu%2520Kedokteran
%2520Terintegrasi%2520-%2520PBL%2Fanamnesa_pemfisik-kardio-
budiarief.pdf&rct=j&q=pengukuran
%20JVP&ei=FqixTP7gK4nIvQOQuJSABw&usg=AFQjCNHABfBtSHZ4Mfhtb8BIiHhbiYPy_
Q&cad=rja (kamis,16 april 2015)

3. Penanganan awal yang dilakukan


Airway
Nilai jalan napas. Dapatkah pasien berbicara dan bernapas dengan bebas? Bila ada
sumbatan, langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
- Chin lift/jaw thrust (lidah melekat pada rahang)
- Suction (bila tersedia)
- Guedel airway/nasopharyngeal airway
- Intubasi. Pertahankan posisi leher dalam keadaan immobile pada posisi netral
Breathing
Breathing dinilai sebagai bebasnya airway dan adekuatnya pernapasan diperiksa kembali.
Bila tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Dekompresi dan drainase dari tension pneumothorax/haemotrhorax
- Penutupan trauma dada terbuka
- Ventilasi artificial
- Berikan oksigen bila tersedia
Circulation
Nilai sirkulasi, sebagai supplai oksigen dan bebasnya airway, dan adekuatnya pernapasan
diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan
adalah:
- Hentikan perdarahan eksternal
- Pasang 2 IV line berkaliber besar (14 atau 16 G) bila memungkinkan
- Berikan cairan bila tersedia
Disability
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara terhadap rangsang
nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan Glasgow
Coma Scale, maka sistem AVPU pada keadaan ini lebih jelas dan cepat:
- Awake (A)
- Verbal response (V)
- Painful response (P)
- Unresponsive (U)
Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka. Bila pasien disangkakan
mengalami trauma leher maupun spinal, immobilisasi dalam suatu garis lurus sangat
penting(Wilkinson, 2000)

Sumber : Wilkison, 2000, primary trauma care manual, A Manual for Trauma Management in
District and Remote Locations, Published by Primary Trauma Care Foundation. http:
http://www.primarytraumacare.org/wp-content/uploads/2011/09/PTC_ENG.pdf

4. Komplikasi pada trauma maxilla facialis


Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak
wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan
terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan
terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan
yang tepat dan secepat mungkin

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas,
di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut.
Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le
Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks
nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah
maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, dimana patah tulang yang terisolasi ke rahang
bawah.

Komplikasi pada maxillofacialis dapat terjadi sesuai dengan pada bagian daerah yang
mengenainya.

Sumber:http://www.scribd.com/doc/49847044/TRAUMA-CURIGA-MAXILO-FACIAL-
REVISI-BARU-1#scribd
5. Termasuk tension pneumothorax atau hematothorax atau efusi pleura (diagnosis pada scenario)
Tension Pneumothoraks atau Pneumothoraks Ventiel : komplikasi ini terjadi karena tekanan
dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser
kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada
terlihat mediastinum terdorong kearah kontralateral dan diafragma tertekan kebawah sehingga
menimbulkan rasa sakit. Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu
yang harus segera ditangani kalau tidak akan berakibat fatal.

Pneumotoraks dibagi atas:

1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antara ruang
pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran terbuka yang dapat menyebabkan udara dapat
keluar masuk dengan bebas ke rongga pleura selama proses respirasi.

2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas
atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif.

3. Pneumotoraks Valvular: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada proses inspirasi tetapi
tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi. Akibat hal ini dapat terjadi peningkatan tekanan
intrapleural. Karena tekanan intrapleural meningkat maka dapat terjadi tension pneumotoraks.

Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi
penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan dokter yang
berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa pneumotoraks dan hemotoraks, namun teknik ini
jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus dipasang secara hati-hati untuk semua jenis
hemathorax dan pnemuothorak. Dalam 85%, tube toraktomi adalah satu-satunya metode yang
dapat dilakukan. Jika pendarahan terus terjadi maka lebih baik dari sistemik daripada arteri
pulmonary.

Sumber : Kahar Kusumawidjaja, 2000, Pleura dan Mediastinum, Radiologi diagnositik, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta

6. Penanganan shock hipovolemik

Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatakan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernapasan dan diberikan
resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara lain yang memungkinkan seperti
pemasangan kateter CPV (central venous pressure) atau jalur intraarterial.
Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang di tetes dengan cepat (hati-hati terhadap
asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti ringers laktat (RL) dengan
jarum infuse yang terbesar. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit.
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan
dopamine, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan
ventrikel yang cukup setelah volume darah di cukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infuse tidak
banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nasokson bolus 30 mcg/kg dalam 3-5
menit dilanjutkan 60mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan
MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran napas pasien juga harus dijaga. Kebutuhan oksigen pasien
harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang
terjadi dibandingkan dengan syok septic atau traumatic. Kerusakan organ dapat terjadi pada
susunan saraf pusat, hati dan ginjal dan gagal ginjal maerupakan komplikasi yang penting pada
syok ini.

Sumber : Sumber : Sudoyo dkk, 2009, Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1 Edisi V, interna
publishing.

7. Penyebab enfisema subcutis


Emfisema subkutis spontan dapat terjadi karena peningkatan tekanan udara di paru
yangmenyebabkan rupture pada alveoli. Udara berpindah dari alveoli yang rupture tadi
menujuintersisium dan sepanjang pembuluh darah paru, menuju mediastinum dan ke jaringan

Penyebab emfisema subkutis dapat dibagi menjadi :


Udara yang berasal dari internal :
Pneumotorax
Pneumomediastinum
Emfisema pulmonary interstistial
Perforasi viscus yang berongga didaerah leher
Fistula pada traktus2.
Udara yang berasal dari eksternal :
-Trauma penetrasi
-Pembedahan
-Intervensi perkutaneus

Udara yang dihasilkan de novo


-Adanya infeksi yang memproduksi ga

Sumber : http://www.scribd.com/doc/58190277/Emfisema-Subkutan#scribd

8. Cara merujuk pasien dengan multiple trauma


Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau =
Minor.

Sumber : fk.unand.ac.id/images/PANDUAN_MAHASISWA_4.2_2012.pdf

9. Bagaimana dampak dari trauma thoraks

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh
benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma dada dapat merupakan trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothorks, hematopneumo thoraks. Trauma
thorax adalah troma paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam
atau tumpul. Trauma thorak dapat disebut juga trauma yang terjadi pada toraks yang
menimbulkan kelainan padaorgan-organ di dalam toraks.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme patologi
berikut:

1. Hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar uga, dan otot
pernapasan, kolaps paru dan pnemotoraks

2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan pasif dari pembuluh besar, rupture jantung, atau
hemotoraks. Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan
intratoraks yang meningkat.
Sumber : Basic Trauma-Cardiac Life Support.Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118
PMI.2005.Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta : Markas Pusat Palang Merah Indonesia
http//:www.chandrarandy.wordpress.com/2012/10/08/konsep-trauma-thorax/

You might also like