You are on page 1of 57

BAHAN AJAR

BIOANALISIS
1. PENDAHULUAN UMUM

Bioanalisis merupakan salah satu ilmu terapan yang bermanfaat dan


memberikan dukungan yang cukup besar terhadap kemajuan berbagai aspek
ilmu yang lain, diantaranya untuk pengembangan obat baru, studi
bioavailabilitas dan bioekivalensi, studi dasar penelitian biomedik dan
farmasetik, serta penyalahgunaan obat dan farmasi forensik. Perkembangan
dan aplikasi dalam bioanalisis sendiri tidak lepas dari dukungan ilmu-ilmu
terkait diantaranya ilmu farmakologi, mikrobiologi, farmakokinetika,
toksikologi, kimia analisa dan rancangan obat (Quantitative Structure Activity
Relationship/QSAR). Pengetahuan tentang sifat fisika-kimia suatu senyawa,
berbagai metode ekstraksi, dan metode analisa misalnya kromatografi,
spektroskopi, atau radiokimia sangat mendukung dalam penanganan awal
sampel biologis serta penetapan kadar obatnya.

Hasil kerja seorang bioanalis dewasa ini menjadi sedemikian penting,


karena akan menjadi landasan dalam menentukan langkah lanjut bagi banyak
profesi yang lain, misalnya dokter, farmakokinetis, biokemis dan toksikologis.
Dalam proses pengembangan obat, peran bioanalisis bisa dirasakan mulai
sejak uji farmakologi dan toksikologi, uji metabolisme dan farmakokinetik, uji
klinik fase I, uji klinik fase II dan III, uji farmakodinamik dan pengembangan
formulasi obat. Berperan juga dalam pengawasan obat dan toksikologi
forensik.

Secara garis besar ilmu ini dibagi dalam dua bagian penting yaitu
bioassay atau analisis hayati (merupakan analisis baik secara kualitatif maupun
kuantitatif suatu bahan obat, sediaan obat maupun wadah obat dengan
melibatkan sistem hayati) dan bioanalisis itu sendiri (merupakan analisis baik
secara kualitatif maupun kuantitatif suatu bahan obat maupun sediaan obat
dalam sampel biologis). Sistem hayati yang digunakan bervariasi bisa berupa

Bioanalisis hal 2
PENDAHULUAN UMUM

hewan utuh atau organ terisolasi (untuk uji hayati dengan hewan utuh),
organisme atau bagian-bagian tertentu dari makhluk hidup misalnya enzim,
protein atau DNA. Penelitian bisa dilakukan atau dikembangkan secara in-vivo
maupun in-vitro.

Bioassay atau uji hayati diklasifikasikan dalam uji hayati kualitatif dan
kuantitatif. Uji hayati kualitatif diantaranya meliputi uji pirogen, uji sterilitas,
uji mikrobia, uji toksisitas dan penetapan angka antigen, sedangkan uji hayati
kuantitatif mempelajari hubungan dosis respon, baik dari efek quantal
maupun efek gradual.

Interaksi antara obat dan organisme hidup akan dipelajari dalam dua
bagian ilmu yaitu:

farmakodinamika (mempelajari pengaruh obat terhadap tubuh


organisme)

farmakokinetika (mempelajari pengaruh tubuh organisme terhadap


obat)

Aksi obat bisa tenjadi pada: 1. organisme utuh, 2. organ, 3. jaringan, 4. sel, 5.
struktur subseluler dan 6. molekul biologi. Berdasarkan adanya aksireaksi
tersebut bisa dipelajari banyak hal, antara lain:

Efek obat meliputi efek utama (khasiat) dan efek samping (efek
toksik atau efek lain selain efek utama)
Tempat aksi
Mekanisme aksi
Kinetika obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi
Penetapan kadar obat
Pengembangan obat baru

Bioanalisis hal 3
PENDAHULUAN UMUM

Perbedaan bioassay dan bioanalisis adalah:

1. Bioassay : analisa kuantitatif atau kualitatif suatu senyawa (obat), sediaan


obat atau wadah obat dengan melibatkan sistem hayati

2. Bioanalisis: analisa kuantitatif atau kualitatif suatu senyawa (obat) dalam


sampel biologis (penetapan kadar obat dalam cairan hayati)

Bioanalisis hal 4
2. BIOSSAY

2.1 Definisi

Bioassay (analisis hayati) yaitu: analisa kuantitatif atau kualitatif suatu senyawa
(obat), sediaan obat atau wadah obat dengan melibatkan sistem hayati.

Sistem hayati adalah: media hidup yang digunakan untuk analisis hayati.

Media tersebut bisa berupa:


1. Hewan utuh (whole animal) atau organ terisolasi (isolated organ)
pada analisis hayati dengan binatang.
2. Mikroorganisme
3. Enzim atau antibodi pada reaksi antigen-antibodi
4. Kultursel

2.2 Ruang Lingkup dan Arti Penting


Bioassay

A. Ruang Lingkup Bioassay

1. Farmakologi dan Mikrobiologi


- Menentukan potensi dan efi obat
- Menentukan nilai ED (effective dose) suatu obat

Bioanalisis hal 5
PENDAHULUAN

- Keperluan diagnosa
2. Farmakokinetika
- Menetapkan nilai MEC, MTC suatu obat atau MIC
(antibiotika)
- Menetapkan nilai parameter farmakokinetika (Vd, Kel, T ,
Ka, dsbnya)
- Analisis obat di dalam material biologis, bila analisis Fisika
Kimia tidak memadai
3. Toksikologi
- Mencari toksisitas obat (obat baru)
- Menetapkan Dosis Toksik (TD-50 atau LD-50, IC-SO)
4. Rancangan Obat (QSAR = Quantitative Structure Activity Relationship)
Meneliti Hubungan Struktur Obat dengan Aktivitas Biologis (untuk
menentukan potensi suatu obat)

B. Arti Penting Bioassay

Latar Belakang
Analisis obat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Fisikokimiawi (F-K)
2. Analisis hayati

Namun analisis secara fisikokimiawi tidak selalu menggambarkan potensi


obat, sehingga analisis atau uji hayati lebih menguntungkan. Juga karena
adanya beberapa alasan spesifik lain diantaranya:

Bioanalisis hal 6
PENDAHULUAN

1. Identitas zat aktif belum jelas (misalnya hormon paratiroid).

STRUKTUR A
KIMIA ?

B?

2. Struktur kimia diketahui, metode fisikokimia yang memadai belum


ada (insulin). Gugus aktif fisikokimiawi belum tentu merupakan gugus
aktif biologi/farmakologi.

B
FK STRUKTUR
KIMIA ?

3. Obat/sediaan merupakan campuran kompleks dengan berbagai struktur


dan aktivitas (preparat digitalis).

4 1 2

4. Belum ada cara pemumian yang memadai untuk suatu senyawa sehingga

Bioanalisis hal 7
PENDAHULUAN

analisa fisika kimia tidak memungkinkan (contoh: vitamin D dari


minyak ikan masih belum dapat dipisahkan secara murni sehingga
belum benar-benar bebas dan kontaminan).

I
K

5. Analisa F-K tak mampu membedakan isomer aktif dan tidak aktif
sehingga yang ditetapkan merupakan kadar isomer total, jadi hasil
analisis F-K tidak menggambarkan aktifitas biologis yang
sebenarnya.[contoh: kalsium pantotenat ada dua bentuk isomer dektro
(D) dan levo (L) tetapi yang aktif Ca-D-Pantotenat sedangkan bentuk
Ca-L-Pantotenat tidak aktif].
6. Untuk beberapa obat analisis hayati lebih spesifik, sensitive dan
praktis dibandingkan dengan analisa fisikokimiawi (contoh untuk
vitamin B12 dan INH)
7. Pada perkembangan QSAR

Metode F-K tidak selalu menggambarkan aktifitas biologis sehingga metode


F-K diganti dengan analisis hayati (bioassay).

Disamping memiliki kelebihan, analisis hayati memiliki kekurangan yaitu:


1. Presisi dan akurasinya lebih rendah dibanding analisis secara fisika
kimia, hal ini bisa dilihat dariharga ralat rawu dan ralat sistematiknya
2. Teknik pelaksanaan lebih rumit dan perlu keahlian tertentu
3. Biaya biasanya lebih mahal
4. Waktu pelaksanaan lebih lama

Usaha untuk meningkatkan presisi dan akurasi bisa dilakukan dengan cara:

Bioanalisis hal 8
PENDAHULUAN

1. Pengendalian variabel pada sisitem hayati untuk menurunkan ralat


rawu atau kesalahan acak
2. Penggunaan baku hayati (standard pembanding)
3. Penggunaan rancangan uji yang sesuai misalnya menurut:
a. USP
b. Remingtons
c. Farmakope Indonesia

Bioanalisis hal 9
3. KLASIFIKASI BIOASSAY

3.1 Bioassay Kualitatif

Bioassay kualitatif merupakan cara pemeriksaan kualitatif obat/sediaan obat


atau wadah obat (alat-alat infuse, injeksi) dengan memanfaatkan fenomena
biologis yang timbul.

Termasuk dalam bioassay kualitatif diantaranya:


1. Uji pirogen
2. Uji sterilitas
3. Uji mikrobia
4. Uji toksisitas
5. Penetapan angka antigen

3.1.1 Uji Pirogenitas

Uji pirogenitas yaitu uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu
Sediaan Uji Steril bebas pirogen atau tidak
Cara pengujian dengan mengukur peningkatan suhu badan kelinci yang
disebabkan penyuntikan intravena sediaan uji steril
Hewan percobaan: kelinci (syarat: seminggu sebelum pengujian tidak
menunjukkan penurunan bobot badan)
Hewan percobaan tidak dapat digunakan jika:

Bioanalisis hal 10
KLASIFIKASI BIOSSAY

a. Tiga hari sebelumnya dipakai untuk pengujian pirogenitas, hasil


negative.
b. Tiga minggu sebelumnya digunakan untuk pengujian
pirogenitas sediaan uji tidak memenuhi syarat.
c. Telah digunakan kapan saja untuk pengujian pirogenitas tetapi
respon rata-rata kelompok kelinci melebihi 1,20
Alat:
1. Termometer atau termometer listrik
-
ketelitian skala 0,10
- dapat dimasukkan ke dalam rektum kelinci sedalam 5
cm
2. Alat suntik (terbuat dan kaca atau bahan lain yang cocok, tahan
pemanasan pada suhu 250
Sediaan uji :
Dibuat dari zat uji dengan melarutkan atau mengencerkannya
menggunakan larutan natrium klorida P steril bebas pirogen atau jika zat uji
berupa larutan yang sesuai dapat langsung digunakan.
Pengujian, pengujian meliputi dua tahap yaitu:
1. Pendahuluan hewan uji disuntik dengan larutan NaCl P steril
bebas pirogen (10 ml/kgBB, i.v.) 1-3 hari sebelum pengujian.
2. Pengujian Utama: sediaan uji (dihangatkan, 38,50)
3. Disuntikkan perlahan ke dalam vena auricularis tiap kelinci dan
dilakukan evaluasi
Penafsiran hasil (penafsiarn hasil dilakukan menurut Farmakope
Indonesia Edisis III atau IV). Penafsiran hasil dibedakan untuk:
1. Hewan pencobaan (kelinci)
2. Sediaan uji
Persyaratan penafsiran hasil pembacaan suhu (respon) dibaca sesuai
petunjuk dan dibandingkan dengan daftar pada tabel 1.1.

Bioanalisis hal 11
KLASIFIKASI BIOSSAY

Tabel 1.1.
Sediaan uji memenuhi syarat Sediaan uji tidak memenuhi
Jumlah
jk jumlah respon tidak syarat jk jmlh respon
Kelinci
melebihi melebihi
3 1,200 2,700
6 2,800 4,300
9 4,500 6,000
12 6,600 6,600

3.1.2 Uji Sterilitas

Maksud Uji: untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur dan


ragi/yeast yang hidup dalam sediaan zat yang diperiksa.
Jumlah sampel: kecuali dinyatakan lain digunakan jumlah sampel seperti
tertera dalam tabel 1.2.

Tabel 1.2.
Jumlah wadah dalam bets Jumlah bagian sampel
< 100 10% atau 4, diambil yang lebih besar
100 500 10
> 500 2% atau 20, diambil yang kecil

Sediaan Uji: dibuat menggunakan zat uji sejumlah tertera pada tabel 1.3
atau sisa pada membran penyaring 450 nm yang diperoleh sebagai
berikut:
1. Zat uji berupa larutan atau cairan (> 10 ml) atau antibiotika
disaring lebih dahulu dengan penyaring membran.
2. Zat uji berupa serbuk: dilarutkan atau disuspensikan

Bioanalisis hal 12
KLASIFIKASI BIOSSAY

menggunakan pelarut steril yang cocok.


3. Larutan atau suspensi minyak dikocok dahulu dengan pelarut
yang cocok, disaring melalui penyaring membran.

Tabel 1.3
Jumlah zat uji dalam Jumlah zat yang diperlukan untuk
wadah Uji kuman Uji jamur dan ragi
Cairan
kurang dari 1 ml Semua isi Semua isi
tidak kurang dari 1 ml
Separo isi Separo isi
tidak kurang dari 4 ml
tidak kurang dari 4 ml
2 ml 2 ml
tidak kurang dari 20 ml
lebih dari 20 ml 10% dari isi 10% dari isi
Padat
kurang dari 50 mg Semua isi Semua isi
tidak kurang dari 50 mg
Separo isi Separo isi
tidak lebih dari 200 mg
lebih dari 200 mg 100 mg 100 mg

Medium Perbenihan (Ada dalam daftar Farmakope Edisi III)


Kuman Indikator
1. B. aerob
- Bacillus substillis DKBS
- Sarcina lutea DKSL
2. B. anaerob:
- Bacteoroides vulgatus DKBV
- Clostridium sporogenes DKCS
3. Ragi/yeast dan jamur: Candida albicans DKCA

Bioanalisis hal 13
KLASIFIKASI BIOSSAY

Uji Pendahuluan: (FI ed. III)


o Uji fertilitas medium perbenihan
o Uji efektifitas medium penbenihan
Penafsiran Hasil: Zat uji dinyatakan memenuhi syarat sterilitas, jika
pada masing-masing tabung tidak terdapat pertumbuhan jasad renik

3.1.3 Uji Mikrobial Uji Batas Jasad Renik


(Bacteriological Test)

Uji dilakukan untuk: menetapkan banyaknya mikroba (jasad renik)


aerob hidup yang terdapat dalam zat atau untuk menyatakan zat bebas
cemaran jasad renik tertentu.
Pengujian meliputi:
a. Perhitungan banyaknya mikroba aerob dihitung jumlah koloni
pertumbuhan bakteri tiap gram atau ml sediaan yang diuji.
b. Pengujian bebas jasad renik meliputi:
Uji bebas Staphyllococcus dan Pseudomonas
1. Uji koagulasi (untuk Staphyllococcus aureus)
2. Uji oksidase (untuk Pseudomonas aeruginosa)
Uji bebas Salmonella dan Escherichia coli
Sediaan uji dinyatakan bebas, jika tiap cawan uji tidak menunjukkan
tanda-tanda seperti tertera pada persyaratan Farmakope Indonesia ed.
III).

Bioanalisis hal 14
KLASIFIKASI BIOSSAY

i. Uji Toksisitas

Uji toksisitas (ketoksikan) secara umum dibedakan menjadi 2 yaitu:


1. Uji ketoksikan tak khas: uji ketoksikan akut, sub
akut/subkronis, kronis dan uji potensiasi.
2. Uji ketoksikan khas, meliputi: uji keteratogenikan,
kemutagenikan, kekarsinogenikan dan uji reproduksi

ii. Uji Ketoksikan Akut

Ketoksikan akut: derajat efek toksik sesuatu senyawa yang terjadi dalam
waktu singkat (24 jam).
Takrif: uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan atau dipejankan
dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya
dilakukan selama 24 jam.
Tujuan:
o Untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis
letal atau dosis toksik obat terkait pada 1 jenis hewan uji atau
lebih.
o Untuk menilai berbagai gejala toksik yang timbul, adanya efek
toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai kematian
Data:
o Tolok ukur kuantitatif : kisaran dosis Ietal/toksik,
o Tolok ukur kualitatif: gejala toksik, wujud, mekanisme efek
toksik
Dosis letal tengah (LD-50) atau dosis toksik tengah (TD-50): suatu besaran
yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal sesuatu
senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik

Bioanalisis hal 15
KLASIFIKASI BIOSSAY

yang berarti pada 50% hewan uji.


Beberapa metode yang digunakan untuk menghitung harga LD-50:
o Metode grafik Lithfield dan Wilcoxon
o Metode kertas garfik probit logaritma (Miller -Tainter)
o Metode rata-rata bergerak Thompson-Weil
o Menurut Farmakope Indonesia
Dasar : kekerabatan antara dosis dan % hewan yang menunjukkan respon

Perhitungan harga LD-50 menurut F.l:

Log LD-50 = a - b( pi - 0,5)

a: logaritma dosis terendah yang menyebabkan jumlah kematian


100% tiap kelompok
b: beda logaritma dosis yang berurutan.
pi = jumlah hewan yang mati menerima dosis i dibagi dengan jumlah
hewan seluruhnya yang menerima dosis i

Syarat :
1. Menggunakan seri dosis dengan pengenceran berkelipatan tetap.
2. Jumlah hewan uji/biakan jaringan tiap kelompok harus sama.
3. Dosis diatur sedemikian rupa sehingga memberikan efek 0 - 100%,
perhiitungan dibatasi pada kelompok percobaan yang memberi efek
0-100%

iii. Penetapan Hayati Antigen dan Zat Anti

Antigen: Senyawa asing yang masuk/dimasukkan ke dalam tubuh dan


menyebabkan timbulnya respon.
Hewan percobaan : Kecuali dinyatakan lain, digunakan marmut atau

Bioanalisis hal 16
KLASIFIKASI BIOSSAY

mencit yang memenuhi persyaratan berikut:


Marmut: Sehat, bobot tidak kurang dari 250 g; untuk perc. kulit,
digunakan marmut putih atau berwama muda; untuk percobaan
Bebas keracunan, bobot tidak lebih dari 350 g.
Mencit: Sehat, bobot tidak kurang dari 17 g dan tidak lebih dari 20 g,
umur dan galur seragam.
Syarat umum: hewan belum pernah diberi zat yang dapat mengganggu
percobaan
Sediaan baku. Kecuali dinyatakan lain, digunakan baku yang tertera
pada baku hayati dan satuan aktivitas

Penetapan hayati (P.H.) antigen (Farmakope Indonesia ed. II)


meliputi:
1. P. H. serum antitoksin difteri
2. P.H. serum antirabies
3. P. H. serum antitoksin tetanus
4. P. H. serum antibisa ular monovalen
5. P.H. vaksin cholera
6. P.H. vaksin pertusis
7. P.H. vaksin polio
8. P.H. toksin percobaan Schick

3.2 Bioassay Kuantitatif

Bioassay kuantitatif merupakan cara penetapan potensi obat dengan


mengamati efek biologis. Efek biologis ini digolongkan dalam dua bagian
besar yaitu respon farmakologis (respon yang terjadi atau mempengaruhi satu
system tertentu pada tubuh organisme) dan respon biologis (respon terjadi

Bioanalisis hal 17
KLASIFIKASI BIOSSAY

atau mempengaruhi pada seluruh tubuh organisme). Contoh respon


farmakologis misalnya: efek hipoglikemik insulin, efek isoproterenol pada
denyut jantung, efek norepinefrin pada tekanan darah dan efek oksitosin pada
kontraksi otot uterus. Contoh untuk respon biologis adalah stimulasi
pertumbuhan mikro organisme karena pemberian vitamin.

Pada bab ini akan dijelaskan tentang:


1. Hubungan dosis - respon secara kuantitatif
2. Efek quantal
3. Efek gradual

3.2.1 Hubungan Dosis - Respon

Yaitu: hubungan antara jumlah obat dan besarnya efek (respon) yang
ditimbulkan.
Syarat agar dapat dilakukan evaluasi hubungan dosis respon, efek obat harus
memiliki 2 sifat yaitu:
o Harus dapat diukur (bila berupa data kualitatif harus diubah ke data
kuantitatif)
o Harus mempunyai nilai Nol pada saat Dosis = 0, sehingga
perubahan dosis dapat diamati perubahan efeknya

Penggambaran kurva:
o Dosis: digambar pada bagian absis (independent variable)
o Efek: digambar pada sisi ordmnat (dependent variable)

Setelah pemberian obat:


Efek tergantung waktu dan dosis sehingga efek merupakan fungsi dan
keduanya.

Bioanalisis hal 18
KLASIFIKASI BIOSSAY

E =f(t,D)
Respon farmakologi dapat dibedakan menjadi 2:
1. Graded respon (respon bertingkat)
2. Quantal respon

Respon Bertingkat
- Kenaikan dosis akan menyebabkan kenaikan respon individu secara
teratur (pada satu sistem hayati)
- Dl El
D2 E2
DI Ei
Dn Emax

Emax = 50% respon


2
ED-SO = dosis yang memberikan efek separo dari Emax

Efficacy obat: ukuran kemampuan intrinsik obat untuk menghasilkan efek


(kemanjuran obat), penting dalam terapi.

Potency obat:
- Menunjukkan besaran dosis
- kurang penting dalam terapi (Iebih penting efek)
- dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
Suatu obat kadang memiliki efikasi lebih besar dibanding obat lain
tetapi potensinya lebih kecil, namun bisa juga memiliki efikasi dan
potensi yang lebih besar dibanding obat lain.

Misal: obat B (obat-obat basa lemah: morfin, digoxin, diazepam)


obat A (obat-obat asam lemah: asam salisilat, parasetamol)

Bioanalisis hal 19
KLASIFIKASI BIOSSAY

Metode pembuatan kurva dosis-respon


Absis Ordinat Bentuk kurva
1 Linier % Emax Hiperbola
2 Linier Absolute Hiperbola
3 Log Absolut Sigmoid

3.2.2 Respon Quantal

Pada respon quantal ada dua kemungkinan: yaitu ada atau tidak ada
efek, disebut juga All or None effect dan sistem hayati yang digunakan adalah
satu kelompok bukan perindividu. Contoh: uji efek tidur untuk obat golongan
Barbiturat, maka yang diperhatikan adalah efek bisa menidurkan atau tidak
bisa, intensitas tidurnya tidak diperhatikan, sehingga data yang diperoleh
berupa frequensi tidur hewan uji (berapa jumlah hewan uji yang tidur dalam
tiap kelompoknya).

Bioanalisis hal 20
4. RANCANGAN PERCOBAAN DAN
ANALISIS STATISTIKA

Desain penelitian adalah rancangan penelitian yang disusun


sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk mendapatkan
jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain tersebut memiliki manfaat
yaitu: sebagai sarana bagi peneliti untuk memperoleh jawaban terhadap
pertanyaan penelitian dan alat bagi peneliti untuk mengontrol atau
mengendalikan variabel-variabel yang berpengaruh pada penelitian.
Sedangkan hakekat penelitian, merupakan konfirmasi kebenaran hipotesis
dalam rangka menjawab pertanyaan yang ada.

Desain penelitian adalah berbagai hal yang akan dilakukan oleh


peneliti meliputi:
1. Identiftkasi masalah
2. Rumusan masalah
3. Operasionalisasi hipotesis
4. Cara pengumpulan data
5. Analisis data

Materi-materi yang akan dibahas metiputi:


a. Rancangan penelitian secara garis besar yang dibagi menjadi dua
bagian yaitu rancangan observasional dan eksperimental. Ciri-ciri yang
membedakan keduanya yaitu, pada rancangan penelitian
eksperimental dilakukan:
o Manipulasi variabel
o Monitor perubahan (efek) pada variabel lain
o Pengendalian pengaruh variabel yang tak dikehendaki
b. Pembagian variabel-variabel dalam penelitian, pengendalian variabel

Bioanalisis hal 21
RANCANGAN PERCOBAAN DAN ANALISIS STATISTIKA

non eksperimental dan cara manipulasi subyek penelitian.


o Jenis-jenis variabel pengacau yang berasal dari variabel subyek,
lingkungan, pengukuran dan peneliti.
o Klasifikasi penelitian berdasarkan ruang lingkup penelitian,
berdasar waktu, substansi penelitian, ada dan tidaknya
hubungan antar variabel dan desain khusus penelitian.
o Pengantar statistika secara umum, dan metode metode
statistika yang berkaitan erat dengan bidang kesehatan dan
farmasi.
c. Pembahasan lebih detil mengenai beberapa rancangan penelitian
o Rancangan sederhana
o Cross-over design
o Latyn cross-over design
o Analisis probit
o Hubungan dosis-respon kuantitatif

Bioanalisis hal 22
5. PENETAPAN HAYATI DENGAN
MIKROBIA

Materi yang akan disampaikan meliputi:


Sistem Hayati:
o bakteria
o ragi (yeast)
o jamur

Obat yang diuji:


o Antibiotika (bactericide, fungicide)
o Vitamin (Vit.B, Ca-Pantotenat, B12, Niasinamid)

Respon:
1. Antibiotika: Kematian mikroorganisme (m.o.)
2. Vitamin: Pertumbuhan mikroorganisme (m.o.)

Bentuk media dan hasil yang diamati:


Lempeng/plate (media padat pada petrie disk): diameter Zone of
Inhibition pada media agar.
Tabung/turbidimetri (media cair pada tabung): kejernihan dari media.

Cara Pengujian:
1. Berbagai kadar (antibiotika) a.b. yang diuji (dari konsentrasi rendah ke
tinggi)
2. Berbagai kadar a.b. standard (dari konsentrasi rendah ke tinggi)
3. Gunakan:
Jenis sistem hayati yang sama
Medium yang sama dan sesuai untuk pertumbuhan m.o.

Bioanalisis hal 23
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

Kondisi yang sama: suhu (37 0C), lama inkubasi, aerasi


Koloni onganisme yang homogen
4. Ukur diameter zone penghambatan atau tingkat kejernihan pada tiap
kadar a.b.
5. Buat Plot Kadar terhadap Respon
6. Tentukan potensi a.b. yang diuji

Metode pengukuran pertumbuhan bakteri :

Metode 1:
Penghitungan Langsung
menggunakan mikroskop yang dikalibrasi
yang dihitung jumlah bakteri
tidak membedakan bakteri hidup atau mati

Metode 2:
Penghitungan Sel hidup
aliquot kultur ditumbuhkan pada media padat, diinkubast dan koloni
yang hidup dihitung.
yang dihitung jumlah koloni, bukan bakteri.
jumlah koloni dinyatakan sebagai C.F.U. (Colony Forming Units).

Metode 3:
Penghitungan Populasi Bakteri
bakteri dalam suspensi akan menyerap sinar dan intensitas sinar yang
lewat akan diukur.
mengukur bakteri hidup dan mati, juga kemungkinan partikel lain.

Waktu pembiakan rata-rata (Mean Generation time/Doubling Time)

Bioanalisis hal 24
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

Waktu pembiakan rata-rata yaitu: waktu yang diperlukan oleh satu


seluntuk membelah menjadi sel berikutnya (jadi 2 sel).
Dasar: jika 1 sel bakteri membelah jadi 2, maka jumlah bakten N akan
menjadi:
o Generasi pertama N = 1 X 2 = 21
o kedua N=1x2x2 = 22
o ketiga N=1x2x2x2 = 23
o Generasi ke-y N = 1 x 2y = 2y

Jika mula-mula ada N0 sel, maka pada generasi ke-y, populasi sel menjadi:
N = No x
Log N = Log N0 + Y Log 2
Y = Log N Log No
0,301
G= T= T x 0,301 G =w
Y LogN Log No
G = waktu pembiakan rata-rata

Hal hal yang harus diperhatikan adalah :


1. Kontaminasi m.o. lain harus dicegah.
2. Sterilisasi alat dan bahan harus sesuai dengan prosedur baku.
3. Digunakan larutan kontrol (tanpa a.b), jika larutan ini menimbulkan
hambatan harus dihitung factor koreksi.

5.1 Penetapan Hayati Vitamin


Dasar:
o Mikroorganisme tidak mensintesis vitamin
o Untuk tumbuh secara normal perlu adanya vitamin
o Sangat sensitif terhadap perubahan kadar senyawa/vitamin

Bioanalisis hal 25
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

Teknik Analisa:
a. Media : sedimikian rupa sehingga tidak mengandung vitamin
- Kontrol: tidak ada pertumbuhan
- Uji: ada pertumbuhan sebanding dengan senyawa yang
ditambahkan
b. Pengukuran :
- Turbidimetri
- Titrasi, contoh asidimetri
- Senyawa Baku: yang dibandingkan

Contoh:
1. Niasin (Niacinamide) USP;NF
Jasad Renik:
o Lactobacillus plantarum
o Non patogen
o Mudah dibiakkan
Media: sederhana dengan komposisi glukosa, gelatin, ekstrak
ragi
Senyawa uji: 0,05 - 0,5 g/tabung
Larutan Uji:
o Perlu ditambah H2S04 untuk menghidrolisa prekursor
niasin, autoklaf selama 30 menit
o Sisa H2SO4 dinetralkan dengan NaOH I N
o Pengenceran biasa
Pengukuran : turbidimetri (spektrofotometri)

2. Vitamin B12-
Media: sangat kompleks
Jasad renik: Lactobacillus leichmanii

Bioanalisis hal 26
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

Larutan Baku: sianokobalamin


Pengukuran: spektrofotometri

5.2 Penetapan Hayati Antibiotika

Parameter yang menentukan antibiotika (a.b.)


1. Aktivitas/tingkat aktivitas terhadap mikroorganisme pathogen
2. Luas spektrum
3. Bakteriostatika atau bakterisida
4. Resistensi (cepat/lambat)
5. Daya tahan a.b. terhadap enzim bacteria
6. Stabilitas terhadap jaringan binatang
7. Protein binding
8. Farmakokinetika pada hewan uji untuk berbagai jalur pemberian
9. Apakah a.b. mampu mengobati hewan terinfeksi, jika ya maka harus
ditentukan:
Toksisitas pada hewan uji
Farmakokinetika pada manusia (sukarelawan)
Efek samping:
- sakit pada tempat suntikan
- mual, pusing
- simptom lain yang tiadk teramati pada hewan
10. Dicari korelasi:
Farmakokinetika pada hewan dan aktivitas a.b.
Farmakokinetika pada hewan dan pada manusia

Bioanalisis hal 27
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

5.3 Test Invitro

Meliputi:
1. Rentang dan tingkat aktivitas antimikroba
2. Aksi bakterisida
3. Cross-resistance
4. Resisstance development
5. Pengaruh oleh enzim bakteria (rnsak/berubah)
6. Stabilitas thd. Enzim mamalia
7. Protein binding

Rentang dan tingkat aktivitas antimikroba


1. Pemilihan organisme
2. Pemilihan media kultur
Prinsip:
o Digunakan medium sederhana
o Random error/variasi rendah
o Kandungan senyawa pengganggu kecil
MIC dipengaruhi oleh
o PH medium
o Kadar Ca
o Osmolalitas
3. Evaluasi hasil
Fase I: ada/tidak aktivitas
Fase II: aktivitas dinyatakan dalam MIC untuk organisme
tertentu

Bioanalisis hal 28
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

Penilaian Antibiotika Baru


Faktor-faktor penilaian:
1. Fase-fase evaluasi a.b. baru
2. Parameter yang menentukan manfaat a.b. baru
3. Uji in-vitro
4. Uji in-vivo
5. Uji farmakokinetika pada manusia

Fase-fase Evaluasi Antibiotika Baru


A. Fase I (Skrining Primer)
Seleksi a.b. potensial, sebagian besar senyawa dibuang
Uji in-vitro menggunakan m.o. patogen (standar)
Bakteria:
1. Staphylococcus aureus
2. Escherichia ccli
3. Proteus mirabilis
4. Pseudomonas aeruginosa
Fungi:
1. Candida albicans
2. Aspergillus niger
3. Micmspcrum canis
Aktivitas: sembarang (tidak ada kriteria khusus)
Penetapan Cross-resistance

B. Fase II (Skrining Sekunder)


Senyawa yang masuk nominasi diteliti lebih lanjut
Fase I diulang secara lebih terperinci
Organisme:
- lebih beraneka ragam
- tiap species, diperbanyak jenis strainnya

Bioanalisis hal 29
PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

- dari isolat klinik


Hasil test positif, indikasi a.b. potensial
Penetapan luas spektrum a.b.
Penetapan Cross-resistance
Hasil test dinyatakan sebagai MIC pada species tertentu

C. Fase III (Uji Toksisitas)


Bisa dimulai sebelum Fase II selesai,
Senyawa yang lolos Fase II diuji meluas, dengan berbagai
species binatang.
Indeks terapi cukup besar akan lolos seleksi.
Besaran dosis ditentukan dengan farmakokinetika pada uji
menggunakan binatang

D. Fase IV (Farmakokinetika pada Manusia)


Dari Fase III: dapat diperkirakan besaran dosis, frekuensi
pemberian dan jalur pemberian.
Alasan: Farmakokinetika pada hewan kurang akurat
meramalkan farmakokinetika pada manusia.

E. Fase V (Percobaan Klinik)


Persiapan percobaan klinik ada pada Fase IV
Menggunakan pasien: dievaluasi kelebihan dari a. b. lain

Bioanalisis hal 30
6. PENETAPAN HAYATI DENGAN
HEWAN PERCOBAAN

Penetapan hayati dengan hewan percobaan bisa dilakukan dengan


hewan utuh maupun dengan mengambil bagian khusus dari hewan uji (organ
terisolasi). Kelebihan penggunaan hewan utuh dibanding organ terisolasi
yaitu:

Pada hewan utuh (whole animal) memberikan overall/net effect dari


suatu obat karena obat tetah mengalami penistiwa
o Absorpsi
o Distribusi
o Metabolisme
o Ekskresi

Seperti halnya saat digunakan pada manusia.


Faktor koreksi karena perbedaan kondisi percobaan diharapkan tidak
terlalu besar. Penggunaan organ terisolasi juga memiliki keuntungan
dibanding uji dengan hewan utuh:
efek obat bisa langsung pada tempat sasaran
dibutuhkan dosis yang lebih kecil untuk menimbulkan efek

Bioanalisis hal 31
7. PENETAPAN HAYATI DENGAN
HEWAN UTUH

Materi yang akan disampaikan meliputi:


1. Jenis-jenis hewan uji, dan persyaratan untuk hewan uji yang bisa
digunakan dalam percobaan.
Syarat-syarat Media Hidup:
Hewan Utuh: strain dan jenis kelamin sama, berasal dari biakan
murni, berat badan seragam.
Organ Terisolir: berasal dan satu binatang, biakan murni dan
persyaratan lain sama dengan hewan utuh.
Mikroorganisme : dipilih yang sesuai dengan tujuan penelitian;
berasal dari biakan murni; satu strain; pembiakan., pemeliharaan
dan penyimpanan memenuhi standar baku.

Alternatif Biakan Murni:


Diketahui asal usulnya
Bersumber dan satu induk

Sebelum digunakan untuk pengujian hewan uji harus dikondisikan


selama kira-kira 2 minggu dan diamati perkembangan :
kesehatan hewan uji
pertumbuhan hewan uji (korelasi umur dengan berat badan)
pertambahan berat badan rata-rata ( 10 %)
suhu badan normal ( 1 0C)
tinja normal (tidak ada parasit)
makanan (komposisi, kadar, jumlah), diusahakan tetap

Bioanalisis hal 32
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

Jenis-jenis hewan uji yang sering digunakan dalam percobaan:


1. Mencit
2. Tikus
3. Marmot
4. Kelinci
5. Merpati
6. Kucing
7. Anjing
8. Domba

2. Persyaratan pemeliharaan meliputi kandang, pakan, minum dan cara


penanganan hewan uji

Kandang :
ukuran dan jenis bahan harus disesuaikan dengan hewan uji
bahan plastic, sifat ringan dan mudah dipindahkan
alas kandang bisa berupa grajen, kawul atau sekam padi
alas sebaiknya diganti tiap 3 hari sekali
jumlah hewan uji tiap kandang harus proporsional, jangan sampai
berdesakan

Pakan :
komposisi komponen penyusun harus disesuaikan dengan syarat
ideal pertumbuhan masing-masing hewan uji
jumlah dan jenis makanan juga harus disesuaikan

contoh:
Mencit jenis makanan pelet (5-7 gram sehari)
Tikus jenis makanan pelet (15-20 gram sehari)

Bioanalisis hal 33
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

Minuman :
direbus lebih dulu
jumlah cukup
wadah dibersihkan minimal 3 hari sekali

Penanganan hewan uji:


Hewan uji harus diperlakukan dengan lembut dan penuh kasih
sayang untuk mencegah stress
Kucing, kelinci, marmot dipegang pada bagian tengkuk
Tikus dan mencit dipegang pada ekor

Berat badan ideal untuk percobaan:


Mencit : 20 - 40 g
Tikus : 150 - 250 g
Marmot : 300 - 500 g
Kelinci : 1,5 - 2,5kg
Kucing : > 2,5 kg
Merpati :100 200 g
Anjing :10 16 kg

3. Pemilihan hewan uji untuk percobaan, alasan pemilihan dan cara


pengorbanannya

Pemilihan hewan uji:


Kesesuaian atau kesamaan dengan manusia: misalnya susunan
saluran pencernaan, susunan kulit, sisitem enzim atau fungsi lain.
Kepraktisan dipandang dari sisi analisis dan ekonomis: meliputi
jumlah dan harga.
Ekstrapolasi hasil harus mempertimbangkan adanya variasi antar
spesies

Bioanalisis hal 34
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

Faktor penyebab variasi antar spesies:


a. Fase Absorbsi
- waktu transit (lama waktu pengosongan lambung)
- pH tempat absorbsi (saluran cerna)
- keadaan makanan (puasa atau tidak)
- microbial
- aliran darah
- jenis hewan (carnivore atau herbivore)
b. Fase Distribusi
- aliran darah organ
- koefisien partisi
- derajat ionisasi
- ikatan obat dengan protein plasma
c. Fase Metabolisme
- aliran darah organ
- defisiensi enzim
d. Fase Ekskresi
- aliran darah organ
- pH urin

Cara pengorbanan hewan uji:


- secara kimiawi, menggunakan eter, C02, pentobarbital
- secara fisik, dislokasi leher

4. Contoh-contoh uji hayati menggunakan hewan utuh

GLUKAGON
(HGF = Hypoglycemic Glycogenolytic Factor)
Prinsip:

Bioanalisis hal 35
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

Pengukuran peningkatan kadar gula darah pada kucing: sehat,


dipuasakan atau dianesthesi
Pemberian secara intravena
alternating dosis sampel dan standard

DIGITALIS (Tanaman, Digitalis purpurea)


Prinsip:
o Glikosida kardioaktif terdiri atas: digitosin dan gitoxin
o Saponin like glicosides: golongan digitonin tetapi hampir tidak
mempunyai efek pada jantung.
digitoflavin
digitophyllin
lipid dan karbohidrat
o Glikosida kardioaktif: mempunyai struktur kimia dan aktivitas
farmakodinamika yang sama, tetapi berbeda pada:
potensi
absorpsi di saluran gastro intestinal.
onset dan durasi
o Prosedur:
hewan uji: digunakan merpati teranesthesi
cara pemberian: infus, intravena
akhir penetapan: matinya merpati karena berhentinya denyut
jantung
(evaluasi: sejumlah obat (dosis tertentu) yang menyebabkan
kematian merpati)
o Kerugian dan keterbatasan metode
1. Pada percobaan pemberian secara oral, sedangkan pada
pasien secara oral sehingga kemungkinan terjadi perbedaan
dosis atau efek
2. Akhir penetapan: lebih keefek toksik dan pada efek terapetik

Bioanalisis hal 36
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

TUBOCURARIN CHLORIDE INJEKSI


Prinsip:
Relaksasi otot sketet
Hewan uji: kelinci, obat diberikan secara intravena
Data: Head-drop (paralisis dan otot skelet leher)

CHORIONIC GONADOTROPIN
Prinsip:
Gonad stimulating
Hewan uji: tikus betina
Pemberian: injeksi subkutan setiap hari selama 3 hari
Data: peningkatan bobot uterus

HEPARIN (SODIUM)
Prinsip uji:
Anticoagulant
Media uji: darah domba
Metoda: penambahan heparin pada plasma darah
Data: penghambatan terjadinya clot (penjendalan)

PROTAMIN SULFAT
Prinsip:
Netralisasi heparin
Media uji: darah domba
Invitro pada plasma yang mengandung jumlah tertentu heparin
Diukur penurunan clotting time dari heparin

Bioanalisis hal 37
PENETAPAN HAYATI DENGAN HEWAN UTUH

COD LIVER OIL (VITAMIN D)


Prinsip:
Anti rachitic
Hewan uji: tikus rachitis
Pemberian: dosis total pada hari pertama 1/2 sisanya dalam 3-4
hari
Calcification of rachitic

Bioanalisis hal 38
8. PENETAPAN HAYATI DENGAN
ORGAN TERISOLASI

Materi yang akan disampaikan meliputi :


1. Kelebihan dan kekurangan uji dengan organ terisolasi
Kelebihan:
Efek obat lebih spesifik untuk suatu organ
Dapat diketahui letak atau jenis reseptornya
Kelemahan:
Tidak 100% menggambarkan keadaan in-viva karena:
a. tidak ada supply darah ke organ
b. system faali berubah (enzim, syaraf)
c. bila teknik preparasi kurang cermat hasil tidak valid karena timbul
variabel baru yang tak terkendali, misalnya: larutan garam
fisiologis tidak sesuai, kurang oksigenasi, preparasi organ terlalu
lama sehingga banyak sel yang mati, suhu tidak sesuai

2. Jenis-jenis larutan fisiologis untuk uji


Beberapa contoh garam fisiologis yang digunakan untuk uji
menggunakan organ terisolasi:
a. Frog ringer, digunakan untuk jaringan amfibi
b. Krebs ringer, digunakan untuk jaringan mamalia
c. Tyrode solution, digunakan untuk jaringan intestine
d. Locke ringer, digunakan untuk otot jantung
e. Solutio de Jalon, digunakan untuk jaringan uterus

3. Prinsip preparasi jaringan secara umum dan prinsip kerja


a. Prinsip prosedur penetapan
- penyiapan larutan fisiologis

Bioanalisis hal 39
PENETAPAN HAYATI DENGAN ORGAN TERISOLASI

- preparasi jaringan
- perlakuan dan pencatatan respon
- pengolahan data
- evaluasi dan pengambilan kesimpulan

b. Prinsip preparasi jaringan secara umum


hewan uji dikorbankan secara fisik, dan diletakkan pada
papan fiksasi, dibuka badannya, dan diambil organ atau
jaringan yang diperlukan
preparat dibersihkan dari jaringan lain yang tidak
dikehendaki
pencucian jaringan:
menggunakan larutan fisiologis yang sesuai
over flow, larutan sekali pakai dan langsung dibuang
intestine, jaringan sangat lunak sehingga harus hati-hati
untuk menghindari penekanan mekanik
perlu diperhatikan alat-alat yang digunakan karena jaringan
sensitive terhadap logam (Cu, Mg dan Fe) sehingga
disarankan digunakan stainless steel, platina atau yang lain
organ diikat dengan benang dan dipasang pada kait yang
tersedia
penting untuk diperhatikan, temperature dan aliran gas
untuk menjaga kondisi organ tetap baik

c. Jenis-jenis jaringan yang sering digunakan untuk uji organ


terisolasi yaitu: thoracic aorta pada kelinci, ileum, trachea marmot,
fundus strip dari tikus dan jantung terisolasi dari kelinci

Bioanalisis hal 40
9. BIOANALISIS

Bioanalisis yang dibahas disini merupakan bioanalisis dalam


pengertian sempit yaitu merupakan analisis obat dalam cairan hayati atau
sampel biologis. Sampel biologis ini ada karena adanya uji hayati baik uji
hayati kualitatif maupun kuantitatif, sehingga antara bioassay dan bioanalisis
sesungguhnya tidak bisa benar-benar dipisahkan.

9.1 Definisi Dan Ruang Lingkup


Bioanalisis

Bioanalisis merupakan analisis baik secara kualitatif maupun


kuantitatif suatu bahan obat maupun sediaan obat dalam sampel biologis.

1) Bioanalisis kualitatif
Bioanalisis kualitatif merupakan analisis suatu bahan obat maupun
sediaan obat dalam sampel biologis yang berdasarkan ciri atau sifat fisika
kimia senyawa. Disini tidak dihitung jumlahnya atau ditetapkan kadarnya,
namun lebih ditekankan pada pemeriksaan untuk mengetahui keberadaan
senyawa yang diinginkan.

2) Bioanalisis kuantitatif
Bioanalisis kuantitatif merupakan analisis suatu bahan obat maupun
sediaan obat dalam sampel biologis yang didasarkan pada keberadaan
senyawa, dengan cara melakukan penetapan kadarnya. Sehingga bisa diketahui
besarnya senyawa dan bisa dinyatakan secara kuantitatif.

Bioanalisis hal 41
BIOANALISIS

3) Bioanalisis dalam percobaan in-vivo

Percobaan in-vivo dilakukan menggunakan subyek uji secara utuh baik


pada penelitian pre-klinik (menggunakan hewan uji utuh) atau uji klinik pada
sukarelawan sehat ataupun pasien. Percobaan bisa meliputi uji farmakologi,
farmakokinetika, toksikologi, uji bioekivalensi, uji klinik dari fase I sampai IV,
monitoring obat, pengembangan dan modifikasi struktur maupun
pengembangan formulasi obat.

Obat dimasukkan ke dalam tubuh subyek uji (di dalam tubuh


makhluk hidup), untuk dilihat efeknya atau pengaruh tubuh terhadap obat,
dan sampel biologis bisa berupa sampel darah, urin, saliva, biopsi jaringan,
organ atau sampel yang lain tergantung jenis percobaan yang dilakukan.

4) Bioanalisis dalam percobaan in-vitro

Percobaan in-vitro merupakan percobaan yang dilakukan diluar tubuh


makhluk hidup, tetapi media yang digunakan tetap berasal dari tubuh
makhluk hidup yang diambil dari bagian tertentu. Bisa berupa darah, kultur
sel, atau organ terisolasi (jantung, usus, otot trachea dan sebagainya).

Pada percobaan in-vitro perlu keahlian khusus dan pengalaman agar


diperoleh hasil yang valid, perlu latihan bagaimana untuk preparasi organ,
bagaimana menjaga kondisi agar organ tetap berfungsi, medium apa yang
cocok untuk digunakan dalam kultur sel, bagaimana komposisi medium
yang sesuai harus diperhatikan dengan seksama.

Penanganan sampel juga tidak kalah rumit dibanding sampel dari


pencobaan in-vivo, masing-masing memiliki karaktenistik tersendiri

Bioanalisis hal 42
BIOANALISIS

9.2 Arti Penting Bioanalisis

1) Dasar penelitian biomedik dan farmasetik


Penelitian biomedik dan farmasetik akan menghasilkan sampelsampel
biologis, pengetahuan tentang penanganan sampel mulai saat pengumpulan,
penyimpanan maupun saat dilakukan analisis sangat penting dimiliki oleh
peneliti.

2) Pengembangan obat baru


Penelitian untuk pengembangan obat baru akan melibatkan uji-uji
farmakologi, toksikologi, farmakokinetika, mungkin juga uji mikrobiologi dan
uji lain yang dibutuhkan, jelas kesemuanya membutuhkan pengetahuan
tentang bioanalisis, karena memang akan ada banyak sampel biologis yang
dihasilkan.

3) Studi bioavailabilitas dan bioeqivalensi


Studi bioavailabilitas dan bioeqivalensi tidak akan terlepas dari
penetapan kadar obat dalam sampel bialogis terutama darah dan unin. Disini
bioanalisis kuantitatif memiliki peran besar. Dari hasil penetapan kadar obat
dalam darah dan unin maka akan dilakukan perhitungan untuk mengetahui
harga parameter-parameter farmakokinetika dari satu obat atau lebih yang
akan dibandingkan dengan parameter farmakokinetika obat standar. Dan hasil
evaluasi akan diketahui apakah obat bioeqivalen atau tidak, memiliki
bioavailabititas yang sama atau tidak antara obat uji dengan obat standar.
Penelitian ini berkaitan erat dengan pengembangan formulasi karena
formulasi obat akan sangat menentukan bagaimana proses absorbsi, yang
selanjutnya akan berpengaruh pula pada proses distribusi, metabolisme dan
juga ekskresi obat.

Bioanalisis hal 43
BIOANALISIS

4) Penyalahgunaan obat dan farmasi forensik


Pada kasus penyalahgunaan obat dan farmasi forensic yang berkaitan
dengan kasus-kasus criminal biasanya yang lebih berperan adalah bioanalisis
kualitatif bukan kuantitatif. Sebagai contoh bila ada seseorang yang keracunan
obat, akan diutamakan pemeriksaan yang bersifat kualitatif untuk menentukan
jenis obatnya, berapa lama obat digunakan sehingga dapat ditentukan
tindakan yang tepat untuk menangani keracunan tersebut. Bukan berapa
jumlah obat yang digunakan atau berapa jumlah obat yang terdapat dalam
tubuh, karena hal ini disamping sulit untuk diketahui juga tidak akan
bermanfaat untuk penanganan pasien.

Bioanalisis hal 44
10. BIOANALISIS SECARA FISIKA-
KIMIAWI

Sampel-sampel biologis dari suatu uji harus segera mendapatkan


penanganan yang tepat supaya diperoleh hasil yang baik dan valid. Apabila
penanganan sampel terlambat atau tidak tepat, kemungkinan besar sampel
akan mengalami kerusakan atau perubahan yang tentunya akan
mempengaruhi hasil analisanya atau penetapan kadarnya. Bila hal ini terjadi
tentu saja akan berakibat fatal, karena jelas akan mempengaruhi hasil
evaluasi yang mana kesimpulan yang diambil akan dijadikan dasar pijakan
untuk membuat kebijakan. Sebagai contoh penetapan kadar obat jantung
dalam darah seorang pasien untuk suatu uji farmakokinetika. Dari uji ini
akan diperoleh kadar obat dalam darah pada berbagai waktu, kemudian akan
dihitung harga parameter-parameter farmakokinetika obat tersebut.
Selanjutnya akan dievaluasi berdasarkan harga parameter farmakokinetika
yang diperoleh apakah perlu dilakukan perubahan dosis untuk si pasien.
Apabila terjadi kesalahan dalam penetapan kadar obat tentunya akan terjadi
kesalahan pula dalam pengambilan keputusan tersebut, hal mana akan
sangat menentukan kelangsungan hidup jiwa pasien karena penetapan dosis
yang salah bisa mengakibatkan kematian pasien.
Penanganan sampel awal seharusnya memenuhi cara penanganan
sampel yang baik, sehingga diharapkan dapat meminimalkan kesalahan.
Penanganan ini meliputi saat pengumpulan atau pengambilan, penyimpanan
dan pengangkutan sampel serta pengembangan metode analisis yang sesuai.
Sebagai contoh metriphonate dan dichlorvos dalam sampel darah dapat
mengalami kerusakan yang cepat, hal ini bisa dicegah lewat pengasaman
langsung dengan penambahan asam phosphor. Terjadinya dekomposisi
diamorphine dalam plasma juga harus menjadi perhatian. Obat ini juga akan
mengalami deasetilasi dalam larutan basa membentuk 6-

Bioanalisis hal 45
BIOANALISIS SECARA FISIKA KIMIAWI

monoacetilmorphine dan selanjutnya membentuk morphine. Untuk


mencegah degradasi tersebut disarankan agar sampel disimpan pada suhu
40C, pembekuan sampel plasma sesegera mungkin dan esktraksi cair-cair
untuk mencegah kesalahan analisis selanjutnya dalam studi pharmakokinetik
heroin.

10.1 Penanganan Awal Sampel-Sampel Biologis

1) Denaturasi protein

Obat dalam sampel biologis berada bersama-sama dengan senyawa


lain terutama protein, karena obat akan berikatan dengan protein plasma
untuk didistribusikan, sehingga harus dilakukan pemisahan. Proses
pemisahan bisa dilakukan dengan cara denaturasi protein, bisa dengan
penambahan asam, misalnya TCA 10% (trichloro acetic acid) atau dengan
pemanasan pada suhu tertentu. Perlu diperhatikan adalah pengaruh bahan
yang digunakan atau pemanasan terhadap obatnya, karena bisa
mengakibatkan perubahan struktur kimia atau kerusakan. Jadi harus dipilih
bahan yang cocok atau metode denaturasi yang sesuai.

Denaturasi protein bisa dilakukan dengan mengatur pH medium,


misalnya menggunakan asetonitril. Setelah plasma dicampur dengan
asetonitril dengan volume yang sebanding, larutan dijenuhkan dengan
sodium bisulfate atau sodium klorida, maka protein akan mengendap dan
obat terpisah berada dalam fase atas. Bisa juga dilakukan dengan enzim
proteolitik yang sesuai. Misalnya enzim subtilisin bisa mendenaturasi protein
plasma dengan baik.

Bioanalisis hal 46
BIOANALISIS SECARA FISIKA KIMIAWI

2) Ekstraksi pelarut untuk senyawa hidrofobik

Senyawa hidrofobik merupakan senyawa tidak suka air, sehingga


harus dipertimbangkan bagaimana sifat senyawa pengekstraksi, apakah
berupa pelarut organic atau anorganik. Apalagi jika pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi lebih dari satu, maka harus dipilih kombinasi yang tepat
sehingga dihasilkan komposisi pelarut yang dapat mengektraksi secara
efektif dan efisien. Artinya jumlah pelarut sesedikit mungkin, tetapi dapat
menghasilkan senyawa terekstraksi sebanyak mungkin.

3) Liofilisasi
Kestabilan senyawa kimia sangat dipengaruhi oleh sifat fisika-
kimianya, apalagi jika berada dalam sampel biologis, oleh sebab itu
diperlukan penanganan tepat agar tidak terjadi kerusakan. Salah satu
upayanya adalah dengan melakukan liofilisasi (pembekuan), yaitu dengan
menyimpan sampel pada suhu dibawah 0 0C lazimnya -20 0C , -70 0C atau
dalam nitrogen cair. Suhu yang dipilih biasanya tergantung jenis sampel dan
lama penyimpanan yang diinginkan.

4) Hidrolisis konjugat
Hidrolisis konjugat diperlukan bila senyawa yang akan kita analisis
dalam bentuk terkonjugasi dengan senyawa lain. Macam senyawa
penghidrolisis bisa berupa enzim atau senyawa kimia biasa, hal ini sangat
tergantung pada jenis ikatan konjugasi dan proses pembentukannya.

5) Derivatisasi kimia sebagai pendahuluan ekstraksi


Proses derivatisasi diperlukan jika senyawa sulit untuk diisolasi,
tetapi akan lebih mudah bila berada dalam bentuk derivatnya. Untuk
membentuk derivatnya tentu diperlukan suatu senyawa spesifik yang harus
ditambahkan sehingga bereaksi dan dapat mengubah struktur kimia senyawa

Bioanalisis hal 47
BIOANALISIS SECARA FISIKA KIMIAWI

awal menjadi derivatnya. Pemilihan senyawa apa yang harus ditambahkan


dan kondisi bagaimana yang harus dipenuhi, tentunya diperlukan
pengetahuan khusus dan juga pengalaman untuk mengerjakanya. Harus pula
diketahui proses reaksi dan mekanismenya, sehingga tidak keliru
membentuk senyawa lain.

6) Prosedur ekstraksi dan prinsip pengukuran untuk obat dan


metabolitnya

Ekstraksi padat-cair dan cair-cair


Metode kromatografi, spektroskopi dan radiokimia dalam bioanalisis
kualitatif dan kuantitatif (review)
Aplikasi untuk sampel biologis

Bioanalisis hal 48
11. UJI MIKROBIOLOGI

A. Metode tradisional
Metode difusi
Metode turbidimetri
Bioantografi

B. Metode non-tradisional
Metode pembahan permeabilitas membran pada yeast
Metode pengikatan kompetitif

Bioanalisis hal 49
12. ANALISIS SECARA ENZIMATIK

a. Prinsip umum
Enzim memiliki sifat khas, yang biasanya sangat dipengaruhi oleh
perubahan pH, temperatur dan hanya bekerja pada kondisi yang sesuai
sehingga memerlukan penanganan khusus. Enzim juga hanya bereaksi
untuk senyawa tertentu atau bekerja spesifik. Kapasitas kerja enzim
biasanya berbanding lurus bila konsentrasi kecil, tetapi suatu saat akan
mencapai maksimum, kapan hal ini terjadi, tentunya dipengaruhi juga
substrat yang digunakan.

b. Enzim ammobil
Enzim merupakan senyawa yang labil dan mudah rusak, padahal
manfaatnya sangat besar dalam kehidupan. Untuk mengatasi hal tersebut
dilakukan usaha agar enzim bersifat lebih stabil, yaitu dengan membuat
mikroba menjadi termofilik (dengan asumsi karena enzim dihasilkan oleh
mikroba, sehingga diharapkan mikroba yang tahan panas juga akan
menghasilkan enzim yang tahan panas) atau dibuat bentuk ammobil
dengan cara memerangkap enzim tersebut dalam suatu bahan khusus.
Bentuk enzim ammobil ini memiliki beberapa keuntungan antara
lain: enzim lebih stabil, bisa digunakan berkali-kali dan mudah dipisahkan
dari produk. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membentuk
enzim amobil:
1. Adsorpsi, enzim ditempelkan pada pembawa yang bersifat inert,
misalnya CaSO4, Bentonit atau Tanah Lempung
2. Enzim ditempelkan pada carier melalui ikatan ionic, enzim diatur
bermuatan negative atau positif dengan mengatur pH pelarutnya,
contoh: Dietil Amino Etil yang bermuatan positif
3. Ditempelkan dengan ikatan kovalen antar enzim dengan

Bioanalisis hal 50
ANALISIS SECARA ENZIMATIK

pembawa, ikatan ini cukup kuat dan stabil, contoh: glutaraldehide


4. Dibuat ikatan kovalen antar system, ikatan ini juga kuat,
menggunakan pereaksi gluraldehide
5. Penjebakan atau trapning. Enzim dijebak dalam suatu matrik,
biasanya berupa poliakrilamid yang dibuat bersilang-silang
dengan senyawa lain sehingga berbentuk jaring. Cara ini banyak
dipilih juga untuk amobil sel, terlebih bila sel pathogen karena
ikatan sangat kuat.
6. Membuat bentuk kapsul, enzim diliputi dengan bahan tertentu
missal karagen atau pati sehingga berbentuk kapsul, banyak
digunakn juga untuk trapping sel tanaman

Cara a dan b biasanya mudah bocor, tetapi kemungkinan terjadi


penurunan aktivitas kecil. Sedangkan cara c dan d ikatan kuat, namun karena
enzim bekerja pada ruang yang spesifik maka ada kemungkinan terjadi
perubahan bentuk sehingga bisa terjadi penurunan aktivitas. Cara e lebih
banyak dipilih karena ikatan cukup kuat dan aktivitas relative konstan, namun
juga memiliki kelemahan yaitu sewaktu pembuatan matrik timbul panas yang
kemungkinan bisa mendenaturasi enzim.

c. Penggunaan enzim dalam bioanalisis

Enzim memiliki fungsi sebagai biokatalis, bisa dimanfaatkan dalam


proses isolasi dan purifikasi senyawa-senyawa yang diinginkan dalam berbagai
sampel biologis. Enzim bisa digunakan juga dalam terapi misalnya pepsin,
papain dan renin untuk membantu pencernaan, asparaginase sebagai
antikanker, lisosim sebagai antibakteri dan -glukoronidase untuk pengobatan
kardmovaskuler.

Bioanalisis hal 51
13. PEMILIHAN METODE (Analisis
Obat Dalam Berbagai Sampel
Biologis)

Problem utama analisis obat dalam cairan hayati adalah untuk


misahkan obat dan material endogen sebanyak mungkin. Kemudahan sampel
untuk dianalisis akan meningkat seiring tingkat fluidisitasnya, cairan
serebrospinal biasanya merupakan cairan yang paling mudah untuk ditangani,
sementara darah total adalah yang paling sulit (tabel X.1). Untuk
meningkatkan fluiditasnya, senyawa berbentuk padatan atau semipadat untuk
analisis bisa dilakukan secara mekanik (tabel 10.2). Prosedur ini mungkin
berpengaruh pada sampel dalam beberapa metode yang digunakan yang bisa
berakibat berubahnya konsentrasi obat dalam sampel (efek temperature,
pembentukan khelat logam tertentu, dan hidrolisis konjugat) dan beberapa
bagian penanganan menjadi lebih sulit (penyabunan, emulsifikasi dan rupture
sel). Pelarut yang digunakan sebagai media bersifat kritis dan masing-masing
memiliki keuntungan dan kerugian. Kemudahan ekstraksi obat dalam larutan
anorganik ke pelarut organik akan bergantung pada pelarut yang digunakan,
dan umumnya dilakukan dengan kombinasi polaritas pelarut pengekstraksi.

1. Darah

Darah, merupakan cairan biologis yang paling kompleks, dikoleksi


dari subyek atau hewan uji. Darah terdiri atas cairan buffer encer yang
mengandung protein terlarut (solubilized proteins), lemak dan padatan terlarut
(dissolved fats and solids), dan sel tersuspensi, untungnya, kandungan utamanya
yaitu sel darah merah (erythrocytes) dapat dipisahkan dari cairan encer (plasma)
dengan sentrifugasi sederhana. Meskipun demikian, darah tidak mudah untuk

Bioanalisis hal 52
PEMILIHAN METODE

ditangani, sel dapat pecah atau rusak dan menyebabkan komponen-


komponen yang tak diharapkan dan menjadikan keadaan makin sulit.
Contohnya, ion feri dilepaskan oleh eritrosit mungkin akan membentuk
khelat dengan senyawa analit dan mengakibatkan ekstraksi yang kurang baik
dari fase air.

Tabel X.1. Daftar Sampel Biologis Bergantung pada Fluiditasnya dalam


Kaitannya dengan Tingkat Kemudahan Analisisnya (Chamberlain,1 995)
Tingkat Fluiditas Jenis Sampel Biologis
Cairan - Cairan serebrospinal
- Air mata
- Keringat
- Ludah
-Urin
- Empedu
Campuran - Plasma
- Serum
- Darah
- Feses
Padatan - Otak
- Jantung, Ginjal dan Hepar
- Pam, Otot
- Tulang

Sel bisa pecah karena pemanasan atau pembekuan, atau oleh factor
mekanik seperti pengadukan, tetapi umumnya akibat perubahan kekuatan ion
disekeliling cairan karena penambahan air, menghasilkan osmosa karena sel
bengkak dan pecah (swell and rupture) sehingga perlu penambahan larutan
garam isotonis untuk mengubah volume sampel darah utuh.

Bioanalisis hal 53
PEMILIHAN METODE

Ekstraksi umumnya bukan dari darah total, tetapi disiapkan sebagai


serum atau plasma. Serum diperoleh dengan cara sentrifugasi langsung atau
pengendapan sel darah merah tanpa penambahan antikoagulan, kemudian
diambil supernatannya sehingga masih mengandung faktor penjendalan
darah. Sedangkan plasma diperoleh dengan menambahkan antikoagulan
dalam darah, disentrifugasi dan diambil supernatannya. Plasma maupun
serum mengandung protein dalam jumlah besar yang harus dipisahkan dari
analit bila akan diperiksa.

2. Urin

Urin, berbeda dengan plasma atau serum, biasanya bebas dari protein
atau lemak sehingga bisa diekstraksi langsung dengan pelarut organic.
Meskipun begitu, urin memiliki banyak variasi komposisi dan sangat
tergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi. Normalnya senyawa yang
ditemukan dalam urin adalah larut air, sedangkan sebagian besar obat larut
lipid sehingga dapat diekstraksi dengan pelarut yang cocok.

Kesulitan dalam pengumpulan sampel urin adalah volume urin yang


benar yang diproduksi selama interval waktu sampling, bukan pada penetapan
kadarnya. Jumlah analit diperoleh dengan mengalikan volume konsentrasinya.
Sampel urin juga sering memberikan hasil negative palsu misalnya pada
pemeriksaan kreatinin.

Urin juga memiliki variasi pH yang lebar, dipengaruhi oleh konsumsi


makanan atau obat-obatan. Penggunaan antasida misalnya, kemungkinan bisa
menyebabkan urin menjadi basa. Asam kuat tidak besar pengaruhnya, pH
urin normal berkisar 5,5 - 7.

Bioanalisis hal 54
PEMILIHAN METODE

3. Feses
Penanganan sampel feses cukup rumit, mengingat bentuknya
semipadat dan juga berupa campuran sisa-sisa proses pencernaan maupun
senyawa-senyawa sisa proses metabolisme tubuh. Harus dipikirkan
pengambilan cuplikan yang tepat dan juga jenis pelarut yang cocok karena
banyaknya senyawa yang terkandung, apalagi jika kadar analit dalam sampel
kecil.

4. Sampel biologis lain


Sampel biologis yang lain bisa berupa air susu, cairan serebrospinal,
empedu, ludah dan lain-lain, masing-masing memiliki kekhasan sifat dan
kandungan senyawa yang berbeda. Kelarutan obat dalam tiap larutan juga
berbeda sehingga pemilihan pelarut harus dilakukan secara cermat.

Bioanalisis hal 55
DAFTAR PUSTAKA

1. Abramson, J.H., 1997, Metode Survei dalam Kedokteran Komunitas, Pengantar


Studi Epidemiologi dan Evaluatif, Ed. III, diterjemahkan oleh Akhid,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
2. Chamberlain, J.,1995, The Analysis of Drugs in Biological Fluids 2nd Ed, CRC
Press, New York
3. Departemen Kesehatan RI, 1972, Farmakope Indonesia, Ed. II, Jakarta
4. Departemen Kesehatan RI, 1979, Farmakope Indonesia, Ed. III, Jakarta
5. Departemen Kesehatan RI, 1995, Farmakope Indonesia, Ed. IV, Jakarta
6. Ecobichon, D.J., 1997, The Basis of Toxicity Testing, 2nd ed. CRC Press,
New York
7. Gad S.C., and Chengelis C. P., 1998, Acute Toxicology Testing, 2nd ed
Academic Press, San Diego California
8. Hasan, I., 2002, Pokok-Pokok Materi Statistika 1, Statistika Deskriptif, Ed.
II., PT. Bumi Aksara, Jakarta
9. Hasan, I., 2002, Pokok-Pokok Materi Statistika 2, Statistika Inferensif, Ed.
II., PT Bumi Aksara, Jakarta
10. Hugo W B, dan Russel, A. D., 1987, Pharmaceutical Microbiology 4th ed,
BSP- London
11. Matteis 0. F., and Smith L.L., 1995, Molecular and Cellular Mechanism of
Toxicity, CRC Press, London
12. Pratiknya, A.W.,1993, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta
13. Rossi G.V., 1980, Biological Testing, in Remingtons Pharmaceutical
Sciences 16th ed
14. Robyt, J.F., dan White, B.J., 1987, Biochemical Techniques, Theoty and Practice,
Brooks/Cole Publishing Company, California
15. Santoso, S., 2003, Statistika Non Parametrik, PT. Elex Media

Bioanalisis hal 56
Komputindo-
Gramedia, Jakarta
16. Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis, Ed. II, CV. Sagung Seto, Jakarta.
17. Snell. K., dan Mullock, B.,1987, Biochemical Toxicology, A Practical
Approach, IRL Press, Washington-DC.
18. Tallarida, R.J., Jacob, L.S., 1979, The Dose-Response Relation in Pharmacology,
S-V, Berlin
19. Timbrell, J.A.. I 996, Principles of Biochemical Toxicology 2nd ed, Taylor &
Francis Inc, London
20. Wonnacott, R.J., dan Wonnacott, T.H., 1991, Pengantar Statistika, Ed. IV,
Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Bioanalisis hal 57

You might also like