You are on page 1of 11

GERAKAN MAHASISWA:

TRADISI INTELEKTUAL BERWAWASAN KEINDONESIAAN


KEISLAMAN

Ismail S. Wekke, Sidratahta Mukhtar

1) Ford Foundation International Fellowship Program


Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia
No. 8-2A Jl. Hentian 5, Pusat Hentian Kajang
Selangor D.E. 43000 Malaysia
E-mail: iswekke@antarbangsa.net

2) Antarbangsa Institute Fellowship


Program Pascasarjana, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
Jl. Mataram Kav. 3-5-7 Suite 77
Jakarta Timur 13150 Indonesia
E-mail: lintas@antarbangsa.net

ABSTRAK

Mahasiswa merupakan kaum elit dari setiap bangsa. Nyala api kebangsaan telah
mendorong semangat muda untuk berpihak kepada kepentingan orang banyak.
Sehubungan dengan uraian tersebut, makalah ini menggambarkan kekuatan gerakan
mahasiswa yang sangat berkarakter keindonesiaan keislaman dalam melakukan
berbagai proses perkaderan untuk menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan
mahasiswa. Penulisan makalah ini didasarkan pada penelitian partisipatif yang
memberikan gambaran dan analisis keberadaan HMI sebagai gerakan moral yang
didasari oleh semangat intelektualitas. Selanjutnya, dengan aktifitas yang berbasiskan
pada perguruan tinggi, maka Islam menjadi nilai-nilai dasar untuk diperjuangkan
secara berkelanjutan dalam konteks negara-bangsa. Secara organisasi, HMI
menyebutnya dengan Nilai dasar perjuangan.
Dalam gerakan kemahasiswaan yang diteliti, dalam hal ini Himpunan
Mahasiswa Islam, ada dua hal pokok yang menjadi daya dorong dan pemberi
semangat bagi keberlangsungan gerakan yaitu semangat keindonesiaan di satu sisi
dan semangat keislaman di sisi lain. Dengan keberadaan identitas keindonesiaan tidak
akan mengurangi identitas keberagamaan yakni Islam, sebagai jalan hidup. Untuk itu,
terlihat bahwa kedua identitas (Indonesia dan Islam) dapat diparalelkan. Akhirnya,
sebagai gerakan politik etis, ada godaan untuk mendorong gerakan kemahasiswaan
yang murni hadir untuk masyarakat banyak menjadi kekuatan politik praktis. Ini
menjadikan adanya pertentangan internal yang pada gilirannya akan melemahkan
pola gerakan kemahasiswaan.
PENDAHULUAN

Dalam perkembangan Indonesia modern, gerakan mahsiswa merupakan suatu


kekuatan pressure group yang berpengaruh dan penentu peubahan tatanan
kemasyarakatan dan kenegaraan. Bahkan pada fase-fase transisi panjang kita sejak
awal kebangkitan nasionalisme demokratik, revolusi menuju pembebasan dan
kemerdekaan hingga upaya monumental mahasiswa mendobrak reformasi enam
tahun silam. Kesemua itu memperlihatkan bahwa gerakan mahasiswa itu bukanlah
suatu gerakan politik yang berorientasi pembelaan terhadap segala kekuatan
masyarakat yang menjadi korban peranan negara yang otoriter.
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang didirikan di Yogyakarta, 5 Pebruari
1947 merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan yang banyak melahirkan
kader-kader politik bangsa. Mereka tersebar dalam berbagai lembaga-lembaga
kekuasaan seperti pemerintah, DPR, MPR, MA, dan sebagainya. Di samping kader
HMI juga banyak berkiprah dalam berbagai partai politik baik yang bercorak Islam
maupun nasionalis (Sidratahta, Media Indonesia: 19 Juni 2002). Kecenderungan
orientasi HMI masuk ke dalam arena kekuasaan bukan suatu yang kebetulan, tetapi
merupakan bagian dari hasil perjuangan politik dan kaderisasinya sejak awal
didirikan HMI hingga saat ini. Realitas ini diperkuat oleh pandangan Azyumardi Azra
bahwa atmosfir politik saat kelahiran HMI itu sangat diwarnai oleh semangat
revolusioner umat Islam dan bangsa yang habis tersita guna mempertahankan
proklamasi kemerdekaan dan mengusir kolonial yang menjajah rakyat Indonesia
kembali (Azyumardi Azra, 2002: xi).
Menyadari suasana dan iklm politik yang sedang dalam keadaan perang dan
pergolakan revolusi, maka pendiri HMI, Lafran Pane, dkk meletakkan semangat dan
tujuan yang yang relevan dengan tantangan jamannya, seperti tercantum dalam pasal
4 Anggaran Dasar HMI yaitu (1) mempertahankan negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyak Indonesia (2) menegakkan dn mengembangkan ajaran
agama Islam. Komitmen kebangsaan dan keislaman HMI dengan cepat
diaktualisasikan dalam bentuk program kerja sebagaimana hasil kongres I HMI, 30
November 1947 yang mencakup dua hal. Pertama, HMI bekerja dengan rakyat
Indonesia umumnya dan tentara pada khusunya, dalam mempertahankan negara
kesatuan Republik Indonesia. Kedua, bekerjasama dengan perkumpulan-perkumpulan
dan parati-partai lainnya umumnya dalam memperbaiki kehidupan politik dan
ekonomi rakat dan umat Islam ( Agussalim Sitompul, 1976:20 dan Ramli HM. Yusuf,
1997:36)
Latar belakang sosial politik kebangsaan seperti itu telah mempengaruhi
dinamikan perkaderan HMI di kemudian hari. Nurcholish Madjid sebagai salah satu
kader HMI terpenting, juga mengakui bahwa meskipun bukan organisasi politik
tetapi sejak awal HMI mempunyai citra sebagai lembaga perkaderan yang
salahsatunya perkaderan politik, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi
generasi bangsa untuk menjadi insan-insan pimpinan dengan etika dan moral yang
kuat dan dengan kemampuan tinggi. Proses perkaderan demikian merupakan
konsekuensi dari posisi strategis HMI sebagai pemuda elit yang memiliki
kemampuan sangat tinggi baik sebagai individu maupun kolektif-organisatoris
(Nurcholish Madjid, 1997:99-104).
Komitmen politik HMI memnag tidak bersifat sloganistik karena disaat
mengadakan ulang tahun pertama di tahun 1948, Panglima Jenderal Soedirman
menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indnesia. Bahkan hanya satau tahun
sesudahnya sebuah Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta menyatakan HMI
sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia. Pada tahap-tahap awal
perkembangan HMI memang belum langsung menjadi suatu organisasi kader yang
terencana, sistematis, terarah dan berkesinambungan sebagaimana lazimnya
organisasi modern. Hal ini disebabkan oleh panggilan HMI untuk ikut berjuang
secara fisik dalam mempertahankan kedaulatan negara dan mengkonsolidasikan diri
sesudah pengakuan kedaulatan. Ismail Hasan Metareum, (1997:37) mengatakan
bahwa selama masa revolusi kemerdekaan dan masa konsolidasi organisasi proses
perkaderan HMI masih bertumpu kepada hidden curriculum dan masih belum jelas
model perkaderannya. Secara embrional mulai dipikirkan ketika menghadapi pemilu
1955, dimana HMI menjaga jarak dengan dinamika politik praktis partai-partai politik
yang tumbh subur menjelang pemilu pertama yang demokratis itu. Konferensi akbar
HMI di Kaliurang sekitar April 1955 menegaskan bahwa jika dinatar pengurus HMI
menjadi anggota parlemen (konstitante), mereka harus melepaskan jabatan dalam
kepengurusan HMI. HMI mendukung semua partai poltik Islam dan mendukung
pemilihan umum.
Berdasarkan latar belakang kaderisasi HMI dalam mengisi struktur kekuasaan
di Indonesia, maka masalah pokok yang akan dibahas adalah sumbangsih perkaderan
HMI. Kaderisasi HMI terutama pada decade 1960 dan 1970 an telah terbukti
melahirkan banyak alumninya yang tersebar dalam berbaga bidang kehidupan
kmasyaraktan dan kebangsaan pada decade 1990 an sampai sekarang. Dengan
mengkaji HMI sebagai kader politik bangsa, perhatian penulisan dpusatkan pada
beberapa pertanyaan penting untuk menjawab: Bagaimanakah sistem kaderisasi HMI
yang diterapkan ? apa sajakah wacana, pemikiran politik dan doktrin ideologis HMI
yang berkembang pada decade 1960an sampai 1970an sehingga melahirkan orientasi
politik kekuasaan yang dominan. Banyak ahli sejarah dan pemikir tentang HMI
melihat masa duapuluh tahun kaderisasi HMI merupakan puncak Lhirnya generasi
intelektual musim (Bachtiar Effendy, 1950)
Menghasilkan pemahaman tentang partisipasi politik HMI pada masa Orde
Baru dan Reformasi, dua model rezim politik yang berbeda, dibawah Orde Baru yang
otoriter dan orde reformasi dengan sistem politik demokratis. Disamping itu,
penulisan ini bertujuan bertujuan mengetahui pengaruh dominasi HMI dalam
kekuasaan dengan semakin menurunnya kualitas kaderisasi dan peran strategis HMI
dalam gerakan pembaharuan dan berfungsi sebagai pengkritik dan pengontrol
kekuasaan negara.
Studi ini tidakhanya ingin menghasilkan pengetahuan deskriptif dan
fenomenalogis tentang HMI sebagai sumber rekruitmen politik di lembaga-lembaga
negara, tetapi juga memberikan nilai manfaat terhadap perkembangan ilmu politik
khususnya teori partisipasi politik. Penelitian mengenai HMI telah banyak dilakukan
oleh para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi kajian mengenai kader politik
masih jarang dilakukan. Apalgi di Indonesia belum ada lembaga-lembaga perkaderan
politik yang efektif dan prospektif melahirkan calon-calon pemimpin bangsa di masa
depan. Sebagai negara yang menghadapi transisi menuju demokrasi, maka kajian
partisipasi politik adalah penting, sehingga dapat melahirkan, sebagaimana tujuan
HMI, sebagai kader masa depan.
Kemunculan HMI sebagai organisasi kader yang modern secara terencana,
sistematis dan berkesinambungan baru dimulai tahun 1958 dan sistem perkaderan itu
diberi nama Pendidikan Dasar. Bahkan kaderisasi sebagai satu langkah modernisasi
HMI itu ditandai dengan pengiriman penguus PB HMI untuk mengikuti pelatihan
kader di luar negeri antara lain Aisjah Aminy, Mahbub Junaidi dan Mahmud Yunus
ke Aloka India dan Ibrahim Madylao dan Nusral ke Amerika Serikat. Hasil studi
perkaderan mereka di luar negeri menjadi landasan pengembangan perkaderan HMI
selanjutnya. Ismal Hasan Metareum, Ketua Umum PB HMI (1957-1960)
menganggap langakah penting HMI itu sebagai langkah perintisan karena belum ada
organsasi kemahasiswaan yang melakukan pendiidkan perkaderan secara terencana
dan berkesinambungan Lokakary perkaderan nasional di Pekalongan awal 1960an
menghasilkan pedoman materi latihan dasar kepemimpinan oleh kongres VII HMI
tahun 1963 (Ismail Hasan Metareum, 1997)
Studa Hasanudin (1996) telah membuktikan keberadaan kaderisasi HMI baik
dari segi militansi, maupun ideologi dan pemikirannya. HMI merupakan organisasi
yang mampu menggrakkan massanya dengan cepat, menandingi organisasi
revolusioner seperti PKI. HMI adalah organisasi mahasiswa yang lahir dua tahun
setelah kemerdekaan, yang telah banyak melahirkan kader yang tersebar dalam posisi
strategi, baik di pemrintahan dan swasta, sehingga posisi kader demikian berpotendis
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politk kekuasaan. Sehingga kader-
kader HMI tahun 1950an dan angkatan 6 adalah generasi pertama HMI telah
berketetapan untuk menjalin hubungan dengan Orba dan memandang perlu
berpartisipasi dalam kegiatan poltik Orba dengan memasuki institusi-institusi
pemerintahan khusunya lembaga politik dan ekonomi dibwah patronase kelopok
teknotrat Widjojo Nitisastro dan Sumitro Djojohadikusumo, meskipun mereka
menduduki lapisan kedua dalam kekuasaan setelah lapisan teknokrat tersebut.
Diantara mereka yang menepati posisi penting itu adalah Deliar Noer, Bintoro
Tjokroamodjojo, barli Halim, Madjijd Ibrahim, Bustanul Arifin, Zainul Zasmi, dan
Umar Tusin. Bahkan ada yang menduduki pos menteri seperti Abdul Gafur, Akbar
Tanjung, Marie Muhammad, Mintaredjo dan lainnya. Meskipun dalam sejarahnya
umat Islam pernah menggunakan partai poltik Islam dan organisasi massa sebagai
media politiknya tetapi HMI tidak pernah berafiliasi kepada partai politik apapun
sesuai dengan prinsip independensinya, HMi tidak berhubungan scara formal dengan
suatu partai politik apapun (masykur Hakim, 1998)
Kaderisasi 1 merupakan langkah yang memungkinkan HMI muncul sebagai
kekuatan mahasiswa yang bahkan daya jangkauannya, meminjam istilah Bachtiar
Effendy, melampaui cita-cita para pendri HMI. Ribuan kader muslim professional
diatas menjadi bukti historic betapa HMI sebenarnya merupakan organisasi kader
pertama di Indonesia. Pendeta Victor I Tanja yang melakukan studi doktoral tentang
HMI, sejarah dan keduudkannya di Tengah gerakan-gerakan pembaharu di Indonesia
(1979). Menemukan erat hubungan HMI dengan partisipasinya dalam pembangunan
khusunya Orde Baru, Temuan penelitian Victor Tanja yang terkenal adalah perana
HMI yang signifikan dalam gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia. Tanja
mengungkapkan, HMI memulas wajahnya sehingga menjadi lebih menyerupai pusat
kekuasaan politik, mengingat posisinya sebagai organisasi mahasiswa muslim
terbesar, maka HMI harus menjadikan pandangan keagamaanya. Nurcholish Madjijd,
bagi Victor Tanja lebih suka berusaha menjadikan gagasan keagamaannya sebagai
media menciptakan politik sebagai seni perjuangan kepentingan pembaharuan umat.
Kedudukan HMI yang strategis itulah, maka Victor Tanja menyimpulkan bahwa
Sejarah HMI terjalin sangat sempurna dengan sejarah Indonesia modern dan sejarah
umat Islam pada khususnya.

DEKONSTRUKSI SISTEM KADERISASI DAN GERAKAN SOSIAL


POLITIK HMI

Pada dasarnya setiap gerakan mahasiswa, termasuk HMI sebagai salah satu gerakan
sosial di Indonesia, harus selalu menyesuaikan dengan tantangan dan realitas
perkembangan jamannya. Dalam konteks demokratisasi saat ini, orientasi kekuasaan

1
Perkaderan HMI adalah usaha organisasi yang dlaksanakan secara sadar dan sistematis selaras
dengan pedoman perkaderan HMI, sehingga memungkinkan seseorang anggota HMI
mengaktualisasikan ptensi dirinya menjadi kader muslim-intelektual-profesional, yang memiliki
kualitas insane cita (lihat Agussalim)
merupakan hal yang wajar, namun akan terus membawa dampak negatif bagi HMI
karena menimbulkan konfliks kepentingan, kehilangan orientasi kerakyatan dan
kurang kritis terhadap kekuasaan.
Apalagi banyak diantara penyelenggara kekuasaan itu adalah kalangan alumni
HMI, meskipun sebagaimana sinyalemen NUrcholish Madjid (2002) bahwa
kehadiran mereka di pucuk pimpinan parlemen, eksekutif dan yudikatif tidak
mewakili organisasi, tetapi tetap mendorong partisipasi politik HMI dan membawa
pengaruh terhadap membiasnya kaderisasi HMI kepada pragmatism politik (Sidharta,
Media Indonesia, 19 Juni 2001). Tetapi bagi HMI, kebesaran sejarah dimasa lalu
menjadi penyebab semakin melemahnya etos gerakan intelektual dan gerakan moral
HMI dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Memang hal ini disebabkan beberapa
factor seperti usia organisasi yang semakin tua sehingga melahirkan watak
kompromistis HMI terhadap kekuasaan, dimana banyak alumni didalamnya. HMI
juga sudah demikian gemuk dimana terdapat 164 HMI cabang, dan 17 Badan
Koordnasi (badko), sementara kader aktif HMI sudah mencapai lebih dari 100 ribu.
Persoalan mendasar kaderisasi HMI adalah terletak pada perubahan
mainstream gerakan HMI dari gerakan intelektual, menjadi gerakan politik
kekuasaan. Meskipun watak kekuasaan itu terjadi pada elite HMI misalnya Pengurus
Besar (PB) HMI dan Badko HMI, dan pada tingkat pengurus HMI cabang, tetapi
menjadi penyebab tergadainya visi dan etos intelektualitas sebagai keharusan
menempatkan HMI sebagai organisasi mahasiswa yang independen. Independensi
menjadi faktor yang sangat mendasar dan penting membangun kembali HMI, kita
pun mengalami krisis kemampuan melahirkan agenda-agenda pembaharuan. Bila
mengutip disertasi Greg Barton dari Australia bahwa HMI meletakkan dasar, bahkan
sebagai pelaku pembaharuan gerakan modernism Islam di Indonesia, maka mau tidak
mau gerakan HMI kedepan harus diarahkan kepada upaya perkaderan yang
berorientasi intelektualitas.
Gerakan intelektualitas menghendaki paradigma dan sistem berpikir kader
HMI sejak dini, terutama, Basic Training (LK I), follow up, model kajian tematik
hingga aplikasinya dalam konteks perubahan sosial dan politik masyarakat khususnya
pada lapisan rakyat bawah. Persoalannya adalah kader-kader HMI sudah
diperkenalkan dengan wacana dan praksis politik sejak awal. Sebagai seorang yang
terlibat dalam kaderisasi HMI beberapa tahun, saya menyaksikan perubahan
orientasidan budaya politik besar-besaran yang intinya menempatkan wacana politik
praktis dan issue-issue politik kekuasaan secara lebih dominan daripada wacana dan
pemikiran yang berorientasi kekuasaan, gerakan intelektual dan bahkan sistem
kaderisasi itu sendiri terlupakan.
Bagi saya, persoalan HMI dewasa ini perlu dijelaskan secara obyektif dan
orisinil sejak awal, agar orientasi dan tujuan mahasiswa-mahasiswi menjadi kader
HMI menjadi terarah dan sekaligus melatih menghadapkannya dengan persoalan
2
HMI yang merupakan bagian dari persoalan mereka sendiri dengan latihan
menghadapi beragam masalah bagi kader-kader baru akan menguji dan
mendewasakan kader-kader HMI mmengemban misi, kemahasiswaan, keislaman dan
keindonesiaan.

POSISI HMI DALAM KONTEKS GLOBAL


Bila didasarkan pada kerangka peranan HMI sebaga salah satu kekuatan pembaharu,
agent of innovator dan misinya membangun nasionalisme demokratik, maka HMI
memerlukan revitalisasi diri kedalam isu-isu global diatas. Dimasa lalu telah
memperlihatkan besar dan strategisnya peranan HMI menghadapi globalisasi,
fundamentalisme dan demokratisasi di dunia. Baik di Asia maupun di hadapan dunia
kepemudaan dan kemahasiswaan, HMI telah mengambil andil yang penting itu.
Menghadapi mesalah-masalah terutama globalisasi, fundamentalisme dan
demokratisasi memerlukan pengkajian dan dikursus yang kritik melalui reorientasi
perkaderan yang mengarahkan pada pola-pola pengkajian strategis baik masalah
potensi demokrasi lokal, budaya dan kekuatan-kekuatan local lainnya maupun isu-isu
globalisme dan demokratisasi itu secara mendasar. Pengkajian dan gerakannya
diarahkan pada usaha mentautkan dan mendekonstruksikan dengan Islam sebagai
paradigm etis dan moral umat Islam. Dalam konteks gerakan HMI dekonstruksi
peranannya didasarkan pada HMI sebagai ideologi politik. Dalam rangka itu NDP
relevan karena sudah membahas dan pengkontektualisasikan nilai-nila moralitas,
modernitas, sosialisme dan keadilan secara universal.
Bila generasi HMI yang lau memperhatikan isu-isu dalam negeri, maka saat
ini harus diarahkan pada berbagai isu-isu global itu dengan focus kepada masalah
globalisasi (terutama masalah ekonomi dan sosial) sementara demokratisasi
merupkan pilihan yang rasional dan sesuai dengan sistem politik yang dianut
umumnya oleh masyarakat negara modern. Selanjutnya, perlu dilakukan usaha-usaha
yang intensif dan berkelanjutan terhadap label yang dilekatkan oleh kalangan lain
bahwa Islam merupakan agama teroris.

MENGGUGAT ORIENTASI KEKUASAAN HMI

Dalam suatu forum konsolidasi partai-partai politk (parpol) Islam menjelang pemilu
1999, Hajriyanto Y Tohari sebagai moderator mengomentari begitu banyaknya parpol
Islam yang bermunculan saat itu sebagai dampak dan konfliks internal HMI. Tohari
mendasarkan pada kenyataan bahwa banyak dari pendiri dan pimpinan partai Islam

2
Bandingkan dengan sekian banyak persoalan yang dihadapi pendri HMI (yang juga mahasiswa)
ketika mendirikan HMI.
itu berlatar belakang alumni-alumni HMI. Pandangan Tohari yang juga tokoh muda
Muhammadiyah itu cukup penting untuk menjelaskan fenomena perpecahan HMI
baik yang diakibatkan oleh kejahatan Orde Baru yang memaksakan agar HMI
menerima pemberlakuan asas Tunggal Pancasila seperti diungkapkan Ismatillah A.
Nuad, (Republika, 20/8/2003) maupun Pecahnya HMI Dipo pasca Kongres 24 di
Balikpapan (2002), seperti yang disesalkan Viva Yoga Mauladi (Republika,
2/10/2003)
Strategi Politik Orde Baru memang sangat ampuh untuk melumpuhkan
kekuatan mahasiswa secara struktural maupun kultural. Lembaga kemahasiswaan
intra kampus yang demokratis seperti DEMA (Dewan Mahasiswa) terpaksa harus
dibubarkan sebagai konsekuensi dari depolitisasi kampus yang diterapkan melalui
NKK/BKK (1978). Setelah itu sasaran berikutnya adalah mengkooptasi kekuatan
kultural mahasiswa dengan penerapan asas tunggal pancasila dengan KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) sebagai media satu-satunya yang diakui penguasa Orde
Baru. Sebagai organisasi mahasiswa terbesar saat itu, HMI jelas menghadapi posisi
dilematis antara kekuatan yang menolak asas tunggal dengan yang bersedia
berkompromi dengan kekuasaan. Ismatillah, aktivitas HMI MPO menganggap
kelompoknyalah yang benar karena berhasil mempertahankan idealismenya dan
masih mempunyai cita-cita pada gerakan dakwah islam. Sedangkan kelompok
Pancasila Yes (HMI-Dipo) dianggap telah menjual idealismenya kepada
kekuasaan. Sementara itu, Viva Yoga menanggapi tulisan Ismatillah dengan alasan
bagi HMI-Dipo menerima Pancasila karena nilai Islam dan Pancasila tidak
bertentangan karena semua sila dan butir-butir Pancasila tidak bbertentangan dengan
nilai Islam . Kalau tidak bertentangan berarti nilai Pancasila termasuk Islami.
Polemik Ismatillah vs Viva Yga diatas sebenarnya dapat diobyektifikasi
melalui beberapa kecenderungan HMI dan dampaknya setelah Orde Baru itu tumbang
lima tahun islam. Kenyataannya, HMI mengalami kemunduran dan bahkan
meminjam istilah Viva Yoga sendiri, mengalami penyakit kronis. Artinya konfliks
HMI Dipo dengan HMI MPO sejak 1986 mengenai posisi HMI dihadapan kekuasaan
otoriter dan represif dapat kita buktikan saat ini bahwa HMI semakin mengalami
kemunduran dalam segala fungsi dan perannya sebagai organisasi kader dan
perjuangan ummat dan bangsa.
Persoalannya mengapa kekuatan alumni HMI masih tetap kuat dalam ranah
kekuasaan, meskipun reformasi telah memposisikan HMI sebagai bagian strategis
dari rezim Orde, tetapi nampaknya masih banyak posisi penting dalam lembaga-
lembaga negara justru dipegang oleh alumni HMI. Dalam kabinet Megawati tercatat
sejumlah mantan pimpinan Badko HMI menjadi menteri kabinet persatuan nasional.
Berlanjut sampai Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan Jusuf Kalla sebagai
wakil presiden yang merupakan mantan ketua umum HMI Cabang Makassar.
Bila dicermati bahwa fungsi perkaderan HMI dalam upaya melakukan
pembaharuan masyarakat dan bangsa itu memang efektif pada dekade 1960an hingga
1970an. Pada masa ini Victor Tanja (1983) mengatakannya sebagai tahapan
keemasan peran pembaharuan HMI sebagai kader umat dan kader bangsa sehingga
Victor Tanja menyimpulkan bahwa wajar HMI mengambil bagian penting dalam
pembangunan Orde Baru. Sedangkan generasi sesudahnya adalah kader-kader HMI
yang selalu mengambil langkah kompromi politik dengan kekuasaan. Kompromi
politik bagi HMI sebagai organisasi mahasiswa yang independen merupakan tindakan
yang kurang menguntungkan bagi HMI tetapi dapat dijadikan momentum strategis
bagi kader-kader HMI yang mempunyai kecenderungan memasuki arena politik
praktis. Sebenarnya semua jenjang kepimimpinan HMI menyadari proses
perkaderannya tidak lagi berlangsung secara efektif dengan tradisi-tradisi intelektual
yang semakin kehilangan daya kritisismenya.
Dalam konteks demokratisasi saat ini, orientasi kekuasaan merupakan hal
yang wajar, namun akan terus membawa dampak negatif bagi HMI karena
menimbulkan konfliks kepentingan, kehilangan orientasi kepada kepentingan rakyat
dan kurang kritis terhadap kekuasaan. Apalagi banyak di antara penyelenggara
kekuasaan itu adalah kalangan alumni HMI, meskipun kehadiran mereka di pucuk
pimpinan parlemen, eksekutif dan yudikatif tidak mewakili organisasi, tetapi tetap
mendorong partisipasi politik HMI.
Dengan demikian, orientasi kekuasaan HMI perlu digugat agar terdapat batas
yang tegas dan eksplisit antara kader, pimpinan HMI dengan alumni, senior dan
kalangan lainnya. Pembatasan ini penting agar tidak mengganggu dinamika internal
dan peran-peran eksternal HMI yang semestinya berfungsi sebagai pengontrol dan
pengkritik kekuasaan secara obbyektif dan rasional, meskipun harus mengorbankan
alumni HMI sekalipun. Tetapi sandaran kontrol selalu didasarkan pada komitmen
menjaga moralitas bangsa, membangun demokratisasi bangsa dan sebagainya.
Selama ini kebijakan-kebijakan HMI bukan saja lahir dari hasil dialektika wacana,
pemikiran dan rumusan keputusan di sekretariat PB HMI, tetapi juga sangat
dipengaruhi banyak kalangan lain (senior, alumni, KAHMI dan unsur kekuasaan
lainnya) yang memiliki kepentingan politik. Sehingga tarik-menarik internal HMI
yang melahirkan perpecahan di tubuh PB HMI, dapat dilihat sebagai dampak
kepentingan banyak kalangan itu. Jadi sebenarnya akar konfliks HMI saat ini adalah
terjadi disorientasi sistem organisasi dari fungsinya sebagai organisasi kader menjadi
seperti dinamika suatu organisasi politik, sehingga perpecahan itu dapat dilihat
sebagai bentuk kegagalan sistem (support stress). Terakhir, satu hal yang penting
adalah upaya mengembalikan orientasi gerakan HMI sebagai kekuatan intelektual
moral bangsa.
PENUTUP

Apapun kondisinya, tetapi gerakan moral mahasiswa tidak boleh berhenti hanya
karena tindakan represif aparat keamanan, tetapi harus terus berjalan secara
berkelanjutan. Kita harus bertitiktolak pada komitmen moral yang menegaskan
bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan karena itu jangan ragu-ragu
memperjuangkannya.
Pada tanggal 5 Pebruari 2007 lalu, HMI telah memasuki usia 60 tahun, suatu
usia yang bisa dikatakan tua bagi lembaga kemahasiswaan jika mengukurnya dengan
usia manusia. Dalam proses perjalanannya yang panjang itu HMI telah banyak
memberikan konstribusi nyata bagi proses pembangunan masyarakat dan bangsa.
Disamping, perananya dalam merintis gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia, tetapi juga menjadi lembaga yang menfalitasi proses perkaderan generasi
muslim dalam jumlah besar yang tersebar dalam berbagai lini kehidupan dari
akademisi, politis hingga elite-elite birokrat.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Mengabdi Republik, Memberdayakan Umat: Apresiasi Atas


Pemikiran Keislaman dan Kiprah Keindonesiaan HMI, (Pengantar) Buku
Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa:
Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), (Ciputat: Logos
wacana Ilmu, 2002) hal xi.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Pemikiran Neo Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman
Wahid), (disertasi) Paramadina, Pustaka Antara, Jakarta, 1999.
Bachtiar Effendy, Islam and The State: The Contribution of Islamic Parties to The
Declined Of Democracy in the 1950, makalah, tidak diterbitkan.
Hakim, Maskyur, The Response of Muslim Youth Organizations to social-political
Change: A Case of HMI Role in Indonesia (disertasi) Jamia Millia Islamia,
India, 1998.
Kurnia, Ahmad Doli, Meluruskan Jalan Ke Khitah HMI, Belukar, Yogyakarta, 2002.
Metareum, Ismail Hasan, Penegakkan Jiwa Kemandirian dan Kepeloporan HMI,
dalam 50 tahun HMI Mengabdi Republik, Ramli HM. Yusuf, editor, LASPI,
Jakarta, 1997.
Madjid, Nurcholish, Mempertegas Visi Perjuangan HMI, dalam HMI dan KAHMI,
Menyongsong Perubahan dan Pergantian Zaman, Majelis Nasional KAHMI,
Jakarta, 1997.
Madjid, Nurcholish, HMI Sebaiknya Dibubarkan, Media Indonesia, 14 Juli 2002.
Muhammad Kamal Hasan, Modenisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
(disertasi) Lingkaran Studi Indonesia, Ciputat, 1987.
M. Saleh, Hasanuddin, HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila, (tesis) Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1996.
PB HMI, Hasil-Hasil Lokakarya Perkaderan Nasional, Jakarta, 4-8 November 2000.
Sitompul, Agussalim, Sejarah Perjuangan HMI (1947-1975), Penerbit Bina Ilmu,
Surabaya, 1976.
-------, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa Pemikiran Keislaman-
Keindonesiaan HMI (1947-1997), (disertasi) Logos wacana Ilmu, Ciputat,
2002.
Sidratahta, Ketika HMI Menjadi Beban Bangsa, Media Indonesia, 19 Juni 2002.
Tanja, Victor, HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan Muslim
Pembaharu di Indonesia, Disertasi, Penerbit Sinar Harapan, 1983.

You might also like