Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Mahasiswa merupakan kaum elit dari setiap bangsa. Nyala api kebangsaan telah
mendorong semangat muda untuk berpihak kepada kepentingan orang banyak.
Sehubungan dengan uraian tersebut, makalah ini menggambarkan kekuatan gerakan
mahasiswa yang sangat berkarakter keindonesiaan keislaman dalam melakukan
berbagai proses perkaderan untuk menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan
mahasiswa. Penulisan makalah ini didasarkan pada penelitian partisipatif yang
memberikan gambaran dan analisis keberadaan HMI sebagai gerakan moral yang
didasari oleh semangat intelektualitas. Selanjutnya, dengan aktifitas yang berbasiskan
pada perguruan tinggi, maka Islam menjadi nilai-nilai dasar untuk diperjuangkan
secara berkelanjutan dalam konteks negara-bangsa. Secara organisasi, HMI
menyebutnya dengan Nilai dasar perjuangan.
Dalam gerakan kemahasiswaan yang diteliti, dalam hal ini Himpunan
Mahasiswa Islam, ada dua hal pokok yang menjadi daya dorong dan pemberi
semangat bagi keberlangsungan gerakan yaitu semangat keindonesiaan di satu sisi
dan semangat keislaman di sisi lain. Dengan keberadaan identitas keindonesiaan tidak
akan mengurangi identitas keberagamaan yakni Islam, sebagai jalan hidup. Untuk itu,
terlihat bahwa kedua identitas (Indonesia dan Islam) dapat diparalelkan. Akhirnya,
sebagai gerakan politik etis, ada godaan untuk mendorong gerakan kemahasiswaan
yang murni hadir untuk masyarakat banyak menjadi kekuatan politik praktis. Ini
menjadikan adanya pertentangan internal yang pada gilirannya akan melemahkan
pola gerakan kemahasiswaan.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap gerakan mahasiswa, termasuk HMI sebagai salah satu gerakan
sosial di Indonesia, harus selalu menyesuaikan dengan tantangan dan realitas
perkembangan jamannya. Dalam konteks demokratisasi saat ini, orientasi kekuasaan
1
Perkaderan HMI adalah usaha organisasi yang dlaksanakan secara sadar dan sistematis selaras
dengan pedoman perkaderan HMI, sehingga memungkinkan seseorang anggota HMI
mengaktualisasikan ptensi dirinya menjadi kader muslim-intelektual-profesional, yang memiliki
kualitas insane cita (lihat Agussalim)
merupakan hal yang wajar, namun akan terus membawa dampak negatif bagi HMI
karena menimbulkan konfliks kepentingan, kehilangan orientasi kerakyatan dan
kurang kritis terhadap kekuasaan.
Apalagi banyak diantara penyelenggara kekuasaan itu adalah kalangan alumni
HMI, meskipun sebagaimana sinyalemen NUrcholish Madjid (2002) bahwa
kehadiran mereka di pucuk pimpinan parlemen, eksekutif dan yudikatif tidak
mewakili organisasi, tetapi tetap mendorong partisipasi politik HMI dan membawa
pengaruh terhadap membiasnya kaderisasi HMI kepada pragmatism politik (Sidharta,
Media Indonesia, 19 Juni 2001). Tetapi bagi HMI, kebesaran sejarah dimasa lalu
menjadi penyebab semakin melemahnya etos gerakan intelektual dan gerakan moral
HMI dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Memang hal ini disebabkan beberapa
factor seperti usia organisasi yang semakin tua sehingga melahirkan watak
kompromistis HMI terhadap kekuasaan, dimana banyak alumni didalamnya. HMI
juga sudah demikian gemuk dimana terdapat 164 HMI cabang, dan 17 Badan
Koordnasi (badko), sementara kader aktif HMI sudah mencapai lebih dari 100 ribu.
Persoalan mendasar kaderisasi HMI adalah terletak pada perubahan
mainstream gerakan HMI dari gerakan intelektual, menjadi gerakan politik
kekuasaan. Meskipun watak kekuasaan itu terjadi pada elite HMI misalnya Pengurus
Besar (PB) HMI dan Badko HMI, dan pada tingkat pengurus HMI cabang, tetapi
menjadi penyebab tergadainya visi dan etos intelektualitas sebagai keharusan
menempatkan HMI sebagai organisasi mahasiswa yang independen. Independensi
menjadi faktor yang sangat mendasar dan penting membangun kembali HMI, kita
pun mengalami krisis kemampuan melahirkan agenda-agenda pembaharuan. Bila
mengutip disertasi Greg Barton dari Australia bahwa HMI meletakkan dasar, bahkan
sebagai pelaku pembaharuan gerakan modernism Islam di Indonesia, maka mau tidak
mau gerakan HMI kedepan harus diarahkan kepada upaya perkaderan yang
berorientasi intelektualitas.
Gerakan intelektualitas menghendaki paradigma dan sistem berpikir kader
HMI sejak dini, terutama, Basic Training (LK I), follow up, model kajian tematik
hingga aplikasinya dalam konteks perubahan sosial dan politik masyarakat khususnya
pada lapisan rakyat bawah. Persoalannya adalah kader-kader HMI sudah
diperkenalkan dengan wacana dan praksis politik sejak awal. Sebagai seorang yang
terlibat dalam kaderisasi HMI beberapa tahun, saya menyaksikan perubahan
orientasidan budaya politik besar-besaran yang intinya menempatkan wacana politik
praktis dan issue-issue politik kekuasaan secara lebih dominan daripada wacana dan
pemikiran yang berorientasi kekuasaan, gerakan intelektual dan bahkan sistem
kaderisasi itu sendiri terlupakan.
Bagi saya, persoalan HMI dewasa ini perlu dijelaskan secara obyektif dan
orisinil sejak awal, agar orientasi dan tujuan mahasiswa-mahasiswi menjadi kader
HMI menjadi terarah dan sekaligus melatih menghadapkannya dengan persoalan
2
HMI yang merupakan bagian dari persoalan mereka sendiri dengan latihan
menghadapi beragam masalah bagi kader-kader baru akan menguji dan
mendewasakan kader-kader HMI mmengemban misi, kemahasiswaan, keislaman dan
keindonesiaan.
Dalam suatu forum konsolidasi partai-partai politk (parpol) Islam menjelang pemilu
1999, Hajriyanto Y Tohari sebagai moderator mengomentari begitu banyaknya parpol
Islam yang bermunculan saat itu sebagai dampak dan konfliks internal HMI. Tohari
mendasarkan pada kenyataan bahwa banyak dari pendiri dan pimpinan partai Islam
2
Bandingkan dengan sekian banyak persoalan yang dihadapi pendri HMI (yang juga mahasiswa)
ketika mendirikan HMI.
itu berlatar belakang alumni-alumni HMI. Pandangan Tohari yang juga tokoh muda
Muhammadiyah itu cukup penting untuk menjelaskan fenomena perpecahan HMI
baik yang diakibatkan oleh kejahatan Orde Baru yang memaksakan agar HMI
menerima pemberlakuan asas Tunggal Pancasila seperti diungkapkan Ismatillah A.
Nuad, (Republika, 20/8/2003) maupun Pecahnya HMI Dipo pasca Kongres 24 di
Balikpapan (2002), seperti yang disesalkan Viva Yoga Mauladi (Republika,
2/10/2003)
Strategi Politik Orde Baru memang sangat ampuh untuk melumpuhkan
kekuatan mahasiswa secara struktural maupun kultural. Lembaga kemahasiswaan
intra kampus yang demokratis seperti DEMA (Dewan Mahasiswa) terpaksa harus
dibubarkan sebagai konsekuensi dari depolitisasi kampus yang diterapkan melalui
NKK/BKK (1978). Setelah itu sasaran berikutnya adalah mengkooptasi kekuatan
kultural mahasiswa dengan penerapan asas tunggal pancasila dengan KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) sebagai media satu-satunya yang diakui penguasa Orde
Baru. Sebagai organisasi mahasiswa terbesar saat itu, HMI jelas menghadapi posisi
dilematis antara kekuatan yang menolak asas tunggal dengan yang bersedia
berkompromi dengan kekuasaan. Ismatillah, aktivitas HMI MPO menganggap
kelompoknyalah yang benar karena berhasil mempertahankan idealismenya dan
masih mempunyai cita-cita pada gerakan dakwah islam. Sedangkan kelompok
Pancasila Yes (HMI-Dipo) dianggap telah menjual idealismenya kepada
kekuasaan. Sementara itu, Viva Yoga menanggapi tulisan Ismatillah dengan alasan
bagi HMI-Dipo menerima Pancasila karena nilai Islam dan Pancasila tidak
bertentangan karena semua sila dan butir-butir Pancasila tidak bbertentangan dengan
nilai Islam . Kalau tidak bertentangan berarti nilai Pancasila termasuk Islami.
Polemik Ismatillah vs Viva Yga diatas sebenarnya dapat diobyektifikasi
melalui beberapa kecenderungan HMI dan dampaknya setelah Orde Baru itu tumbang
lima tahun islam. Kenyataannya, HMI mengalami kemunduran dan bahkan
meminjam istilah Viva Yoga sendiri, mengalami penyakit kronis. Artinya konfliks
HMI Dipo dengan HMI MPO sejak 1986 mengenai posisi HMI dihadapan kekuasaan
otoriter dan represif dapat kita buktikan saat ini bahwa HMI semakin mengalami
kemunduran dalam segala fungsi dan perannya sebagai organisasi kader dan
perjuangan ummat dan bangsa.
Persoalannya mengapa kekuatan alumni HMI masih tetap kuat dalam ranah
kekuasaan, meskipun reformasi telah memposisikan HMI sebagai bagian strategis
dari rezim Orde, tetapi nampaknya masih banyak posisi penting dalam lembaga-
lembaga negara justru dipegang oleh alumni HMI. Dalam kabinet Megawati tercatat
sejumlah mantan pimpinan Badko HMI menjadi menteri kabinet persatuan nasional.
Berlanjut sampai Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan Jusuf Kalla sebagai
wakil presiden yang merupakan mantan ketua umum HMI Cabang Makassar.
Bila dicermati bahwa fungsi perkaderan HMI dalam upaya melakukan
pembaharuan masyarakat dan bangsa itu memang efektif pada dekade 1960an hingga
1970an. Pada masa ini Victor Tanja (1983) mengatakannya sebagai tahapan
keemasan peran pembaharuan HMI sebagai kader umat dan kader bangsa sehingga
Victor Tanja menyimpulkan bahwa wajar HMI mengambil bagian penting dalam
pembangunan Orde Baru. Sedangkan generasi sesudahnya adalah kader-kader HMI
yang selalu mengambil langkah kompromi politik dengan kekuasaan. Kompromi
politik bagi HMI sebagai organisasi mahasiswa yang independen merupakan tindakan
yang kurang menguntungkan bagi HMI tetapi dapat dijadikan momentum strategis
bagi kader-kader HMI yang mempunyai kecenderungan memasuki arena politik
praktis. Sebenarnya semua jenjang kepimimpinan HMI menyadari proses
perkaderannya tidak lagi berlangsung secara efektif dengan tradisi-tradisi intelektual
yang semakin kehilangan daya kritisismenya.
Dalam konteks demokratisasi saat ini, orientasi kekuasaan merupakan hal
yang wajar, namun akan terus membawa dampak negatif bagi HMI karena
menimbulkan konfliks kepentingan, kehilangan orientasi kepada kepentingan rakyat
dan kurang kritis terhadap kekuasaan. Apalagi banyak di antara penyelenggara
kekuasaan itu adalah kalangan alumni HMI, meskipun kehadiran mereka di pucuk
pimpinan parlemen, eksekutif dan yudikatif tidak mewakili organisasi, tetapi tetap
mendorong partisipasi politik HMI.
Dengan demikian, orientasi kekuasaan HMI perlu digugat agar terdapat batas
yang tegas dan eksplisit antara kader, pimpinan HMI dengan alumni, senior dan
kalangan lainnya. Pembatasan ini penting agar tidak mengganggu dinamika internal
dan peran-peran eksternal HMI yang semestinya berfungsi sebagai pengontrol dan
pengkritik kekuasaan secara obbyektif dan rasional, meskipun harus mengorbankan
alumni HMI sekalipun. Tetapi sandaran kontrol selalu didasarkan pada komitmen
menjaga moralitas bangsa, membangun demokratisasi bangsa dan sebagainya.
Selama ini kebijakan-kebijakan HMI bukan saja lahir dari hasil dialektika wacana,
pemikiran dan rumusan keputusan di sekretariat PB HMI, tetapi juga sangat
dipengaruhi banyak kalangan lain (senior, alumni, KAHMI dan unsur kekuasaan
lainnya) yang memiliki kepentingan politik. Sehingga tarik-menarik internal HMI
yang melahirkan perpecahan di tubuh PB HMI, dapat dilihat sebagai dampak
kepentingan banyak kalangan itu. Jadi sebenarnya akar konfliks HMI saat ini adalah
terjadi disorientasi sistem organisasi dari fungsinya sebagai organisasi kader menjadi
seperti dinamika suatu organisasi politik, sehingga perpecahan itu dapat dilihat
sebagai bentuk kegagalan sistem (support stress). Terakhir, satu hal yang penting
adalah upaya mengembalikan orientasi gerakan HMI sebagai kekuatan intelektual
moral bangsa.
PENUTUP
Apapun kondisinya, tetapi gerakan moral mahasiswa tidak boleh berhenti hanya
karena tindakan represif aparat keamanan, tetapi harus terus berjalan secara
berkelanjutan. Kita harus bertitiktolak pada komitmen moral yang menegaskan
bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan karena itu jangan ragu-ragu
memperjuangkannya.
Pada tanggal 5 Pebruari 2007 lalu, HMI telah memasuki usia 60 tahun, suatu
usia yang bisa dikatakan tua bagi lembaga kemahasiswaan jika mengukurnya dengan
usia manusia. Dalam proses perjalanannya yang panjang itu HMI telah banyak
memberikan konstribusi nyata bagi proses pembangunan masyarakat dan bangsa.
Disamping, perananya dalam merintis gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia, tetapi juga menjadi lembaga yang menfalitasi proses perkaderan generasi
muslim dalam jumlah besar yang tersebar dalam berbagai lini kehidupan dari
akademisi, politis hingga elite-elite birokrat.
DAFTAR PUSTAKA