You are on page 1of 34

TAX PLANNING PPH BADAN

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Seminar Perpajakan
Pendidikan Program Sarjana (S1) Akuntansi Pada Universitas Widyatama

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

Rianti Ayuningsih (0115124013)

Alifta Nur Azizah (0115124021)

Mutia Yulita Amarilis (0115124027)

Luqman Nurhakim (0115124020)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WIDYATAMA

BANDUNG

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum ketentuan perpajakan maupun peraturan peraturannya yang
tergantung dan ditertibkan dalam undang-undang atau peraturan-peraturan perpajakan
lainnya yang sangat berpengaruh pada dunia usaha, hal tersebut akan meningkatkan
kompetisi dan prestasi suatu badan usaha, dimana kegiatan usaha dilakukan untuk
mencapai tujuan perusahaan, yaitu untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya
dan meminimalisasikan beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Untuk
meminimalisasikan beban pajak yang ditanggung wajib pajak ditempuh dapat
ditempuh dengan cara rekayasa yang masih berada dalam ruang lingkup perpajakan
hingga diluar ketentuan perpajakan. Upaya untuk meminimalisasi pajak sering
disebut dengan tekhnik tax planning.
Tujuan pokok dari tax planning adalah untuk mengurangi jumlah atau total pajak
yang harus dibayar oleh wajib pajak. Tax planning adalah tindakan legal karena
penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur
oleh undang-undang. Tujuannya bukan untuk mengelak membayar pajak, tetapi
mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Terdapat
perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi perbedaan
tersebut tidak perlu dipertentangan karena masing-masing memiliki tujuan
penggunaan yang berbeda, meski pengukuran profitnya diperoleh dari sumber data
yang sama, yakni laporan keuangan komersial.
Menyusun perencanaan pajak PPh Badan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa
memfaktorkan jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh badan memiliki
keterkaitan atau interdependensi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26, PPh Final
dan juga PPN.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, tujuan, dan jenis Tax Planning?
2. Bagaimana perbedaan akuntansi komersial dengan akuntansi perpajakan serta
perbedaan Laba Komersial dengan Laba Fiskal?
3. Bagaimana Tax Planning PPh Badan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian, tujuan, dan jenis Tax Planning.
2. Untuk mengetahui perbedaan akuntansi komersial dengan akuntansi perpajakan
serta perbedaan Laba Komersial dengan Laba Fiskal.
3. Untuk mengetahui Tax Planning PPh Badan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, Tujuan, dan Jenis Tax Planning
Upaya untuk melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui
manajemen pajak. Sophar mendefinisikan bahwa manajemen pajak adalah sarana untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.
Tujuan manajemen pajak terbagi dua, yakni:
1. Menerapkan peraturan perpajakan secara benar;
2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya;
Tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak
yang terdiri dari:
1. Perencanaan pajak (Tax Planning)
2. Pelaksanaannya kewajiban perpajakan (Tax Implementation);
3. Pengendalian pajak (Tax Control).
Jenis-jenis tax planning (Suandy, 2003:116) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning) yaitu perencanaan yang
dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam perencanaan pajak nasional
pemilihan atas dilaksanakannya atau tidak suatu transaksi hanya bergantung terhadap
transaksi tersebut. Artinya untuk menghindari/mengurangi pajak, wajib pajak dapat
memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang
ada, misalnya akan terkena tarif pajak khusus final atau tidak.
2. Perencanaan Pajak Internasional (Intenational Tax Planning) yaitu perencanaan pajak
yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik dan juga harus memperhatikan
perjanjian pajak (tax treaty)dan undang-undang dari negara-negara yang terlibat.
Dalam perencanaan pajak internasional yang dipilih adalah negara (yuridikasi) mana
yang akan digunakan untuk suatu transaksi.
Strategi dalam tax planning
1. Tax saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan yang memiliki
penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta dapat melakukan perubahan pemberian
natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.
2. Tax avoidance
Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan
pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan
yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk
uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh pasal
21. Dengan demikian, terjadi penghematan pajak.
3. Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari
timbulnya sanksi perpajakan, antara lain:
Sanksi administrasi berupa denda, bunga atau kenaikan
Sanksi pidana atau kurungan
4. Menunda pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran pajak kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku
dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran pajak PPN. Penundaan ini dilakukan
dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang
diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat
menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
barang.
5. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib pajak sering juga memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang
dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas
pembelian solar dan/atau impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Jadi dapat disimpulkan, ada strategi-strategi yang dapat diambil oleh wajib pajak
(terutama badan) dalam usahanya melakukan tax planning dengan tujuan mengatur atau
dengan kata lainmenimbulkan jumlah pajak yang harus dibayar. Diantara strategi-strategi
tersebut ada yang legal maupun ilegal.Untuk strategi-strategi atau cara-cara yang legal
sesuai dengan aturan undang-undang yangberlaku, biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan hal-ha yang tidak diatur dalam undang-undang atau dalam hal ini
memanfaatkan celah-celah yang ada dalam undang-undang perpajakan (loopholes).
2.2 Perbedaan Akuntansi Komersial dengan Akuntansi Perpajakan serta Perbedaan
Laba Fiskal dengan Laba Komersial

Menurut Waluyo (2000 : 45) perbedaan antara akuntansi komersial dengan akuntansi
fiskal antara lain
Dasar penyusunan : Dasar penyusunan laporan keuangan komersil adalah standard
akuntansi keuangan, sedangkan dasar peyusunan laporan keuangan fiskal adalah standard
akuntansi keuangan yang disesuaikan dengan Undangundang perpajakan yang berlaku.
Konsep : Konsep laporan keuangan komersial terdiri dari:

1. Dasar akrual (accrual basis): Pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat
kejadian dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar dan dicatat dalam
catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan.
2. Mempertemukan beban dengan pendapatan yang paling tepat (proper matching cost
and revenue) melibatkan pengakuan penghasilan dan beban atau bersamaan yang dihasilkan
secara langsung dan bersamasama dari transaksi atau peristiwa lain yang sama.
3. Konservatif (conservative), yaitu konsep hatihati, mungkin rugi yang ditaksir
sudah diakui sebagai kerugian, dengan membentuk penyisihan (cadangan) pada akhir tahun
atau dengan membuat adjustment, contoh: penyisihan kerugian piutang, penyisihan
potongan penjualan, penyisihan retur penjualan, penyisihan klaim, penyisihan setelah biaya
penjualan, penyisihan penurunan nilai suratsurat berharga, penilaian persediaan dengan
metode harga pokok dan harga pasar mana yang lebih rendah, kerugian piutang (metode
langsung dan metode penyisihan).
4. Materialitas digunakan oleh auditor untuk menyatakan wajar/tidak wajar dalam
penilaian laporan keuangan komersial.
Konsep laporan keuangan fiskal terdiri dari :
1. Akrual Stelsel (stelsel Accrual) : Pengaruh transaksi mengakui penghasilan pada
saat diperoleh penghasilan, walaupun penghasilan tersebut belum diterima tunai, dan
mengurangkannya dengan biaya - biaya pada saat biaya tersebut terutang, walaupun biaya
tersebut belum dibayar tunai. Sebagai contoh misalnya : pengeluaran untuk suatu
pembayaran dimuka.
2. Mempertemukan antara biaya untuk mendapat, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan (proper matching taxable income and
deductible expense) sesuai dengan prinsip 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara)
penghasilan, beban (expense) yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak (taxable
income) adalah beban yang timbul dalam hubungannya dengan penghasilan (match and
link). Dalam suatu transaksi akan melibatkan lebih dari satu pihak lainnya akan
membukukan sebagai beban. Misalnya, pada transaksi pembayaran gaji, pihak pemebri
kerja akan membukukannya sebagai beban gaji sedangkan karyawan/pegawai akan
memperlakukan imbalan gaji tersebut sebagai penghasilan. Sebaliknya, bila pihak yang satu
tidak membukukan sebagai penghasilan kena pajak maka pihak lawan transaksinya akan
membukukan sebagai bukan beban (non deductible expenses). Misalnya pada transaksi
pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefits) kepada
karyawan/pegawai, dianggap bukan sebagai penghasilan kena pajak (non objek pajak) bagi
karyawan/pegawai dan tidak dapat dibebankan oleh pemeberi kerja.
3. Konservatif tidak digunakan: Materialistis digunakan oleh auditor untuk
menyatakan wajar/tidak wajar dalam penilaian laporan keuangan komersial tidak
digunakan (selain bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, hanya diperkenankan
dengan metode langsung)
4. Tujuan : Tujuan laporan keuangan komersial adalah: menghitung laba bersih,
mengukur kinerja, mengukur keadaan posisi keuangan, mengukur keadaan kekayaan dan
laporannya ditujukan untuk pihak ketiga dan manajemen. Sedangkan tujuan laporan
keuangan fiskal adalah : menghitung besarnya pajak yang terutang dan laporannya
ditujukan kepada pihak fiskus.
5. Akibat penyimpangan : Akibat dari penyimpangan dari laporan keuangan
komersial, misalnya : pengambilan keputusan yang tidak tepat oleh manajemen, adanya
opini yang buruk terhadap laporan keuangan yang berhubungan langsung dengan kreditor,
investor dan pemilik perusahaan. Sedangkan akibat penyimpangan dari laporan keuangan
fiskal adalah dikenakannya sanksi di bidang perpajakan antara lain : sanksi administrasi
yang berupa denda, bunga atau kenaikan sedangkan sanksi pidananya berupa kurungan atau
penjara. Menurut Gunadi (2001 : 201 202) Perbedaan Laporan keuangan Komersial
dengan laporan Keuagan Fiskal disebabkan antara lain:
Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dan
praktek akuntansi, misalnya kenikmatan dan natura (benefits and kinds), intercompany
dividend, pembebasan utang dan pengahsilan (BUT) karena atribusi force attraction.
Beban dan penghasilan, metode depresiasi, penerapan norma penghitungan,
pemajakan dengan metode basis bruto atau netto.
Pemberian relif atau keringanan yang lainnya misalnya laba rugi pelaporan aktiva
atau pengahasilan hibah, penghasilan tidak kena pajak, perangsang penanaman dan
penyusutan dipercepat.
Perbedaan perlakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara atau harta yang
tidak dipakai dalam usaha.
Bila kita tinjau kembali maka sebenarnya perbedaan laporan keuangan komersial
dengan laporan keuangan fiskal terdapat pada:
1) Perbedaan mengenai konsep penghasilan atau pendapatan
Konsep penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah Kenaikan manfaat ekonomi
selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau
penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari
kontribusi penanam modal. Dari sisi fiskal, konsep penghasilan tidak jauh berbeda dengan
konsep akuntansi, yaitu: Segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/diperoleh
Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia yang bisa
dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Lebih lanjut fiskal membedakan penghasilan tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai
dengan UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:
Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan

Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final


Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.

Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan mengenai


konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan objek pajak berarti
atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak menambah laba fiskal), lebih
jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan tersebut diuraikan dalam UU No 36 Tahun
2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3 Tentang Pajak Penghasilan.
2) Perbedaan Konsep Beban (Biaya)
Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai Penurunan manfaat ekonomi
selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau
terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanam modal. Sisi Fiskal sendiri, mengartikan Beban sebagai biaya
untuk menagih, memperoleh dan memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan
langsung dengan perolehan penghasilan. Perbedaan inilah yang menyebabkan pihak fiskus
sering berbeda pendapat dengan wajib pajak dalam hal menentukan beban/biaya yang boleh
atau tidak boleh dikurangkan sehingga harus dikeluarkan/tidak boleh diperhitungkan
sebagai pengurangan penghasilan. Misalnya penafsiran atas bunyi undang-undang yang
menyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah meliputi biaya
untuk menagih, memelihara dan mempertahankan penghasilan.
Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk memberikan sumbangan baik yang wajib
maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
Kemudian wajib pajak menganggap biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dibiayakan
karena dikeluarkan sehubungan dengan kelancaran usaha, sedangkan pihak fiskus
menganggap biaya tersebut termasuk hibah, bantuan dan sumbagan yang tidak boleh
dikurangkan.
3) Perbedaan dalam konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan
Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan terutama
menyangkut konsep penyusutan dan penilaian persediaan barang dagangan.
Konsep Penyusutan
Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang perpajakan adalah
penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi
menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun penentuan umur tersebut
tidak terlepas dari tafsiran Judgement. Menurut IAI (2007:) Akuntansi memiliki beberapa
metode penyusutan yaitu: 1). Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan
pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika dinilai residunya tidak berubah. 2).
Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu, menghasilkan pembebanan
yang menurun selama umur manfaat asset. 3). Metode Jumlah Unit (sum of the unit
method), yaitu menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset.
Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus dilaksanakan
wajib pajak berdasarkan pasal UU No 36 tahun 2008 pasl 11 tentang Pajak Penghasilan
yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo menurun yang dilaksanakan secara
konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud) dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan
masa manfaat sebagai berikut :
Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk memberikan
keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan penyusutan maupun amortisasi.
Konsep Nilai Persediaan
Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan dan pemakaian
persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan (cost) yang
dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode mendahulukan persediaan
yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first out (FIFO). Penggunaan metode
tersebut harus dilakukan secara konsisten. Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada
3 jenis metode yang dilakukan untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK No 14
tahun 2007 yaitu dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP
atau FIFO), kemudian rata-rata tertimbang (weight average cost method) dan masuk
terakhir keluar pertama (MTKP atau LIFO). Kemudian untuk barang yang lazimnya tidak
dapat digantikan dengan barang lain (not ordinary interchangeable) dan barang serta jasa
yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek khusus harus diperhitungkan berdasarkan
identifikasi khusus terhadap biayanya masing-masing.
- Laba Fiskal vs Laba Komersial
Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba-rugi disusun berdasarkan
prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik. Laporan keuangan komersial dapat
diubah menjadi laporan keuangan fiscal dengan melakukan koreksi seperlunya atau
penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara standar akuntansi dan ketentuan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan keuangan
komersial adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal didasarkan pada penerapan
mekanisme atau prinsip taxable dan deductible.
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi) merupakan prinsip
yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak merupakan objek
pajak, serta mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh
dikurangkan, atau sebaliknya, didasarkan pada ketentuan perpajakan, dengan konsekuensi
terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Prinsip taxability deductibility yang dianut dalam melakukan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya adalah penjabaran dri
ketentuan perpajakan yang diterapkan pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 (penghasilan) dan Pasal 6
ayat 1 (biaya deductible), serta Pasal 9 ayat 1 (biaya non deductible) Undang-Undang No. 7
Tahun 1983 yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya, yakni:
1) Penghasilan yang menjadi objek (taxable income)
Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Pajak Penghasilan No.
36 Tahun 2008.

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,


kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;


i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU
PPh No. 36 tahun 2008.

Penghasilan dibawah ini dapat dikenakan pajak bersifat final:

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
b. Berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasanganya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dan transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, usaha
jasa kontruksi, usaha real estate, dan pesewaan tanah dan atau bangunan; dan penghasilan
tertentu lainya, yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

3. Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)


Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam pasal 4 ayat 3 UU PPh No. 36
Tahun 2008, sebagai berikut:

a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak, atau sumbangan wajib keagamaan.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
c. Warisan.
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah,
kecuali yang diberihkan oleh atau wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara
final atau wajib pajak yang menggunak norma perhitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1. Dividenn berasal dari cadangan laba ditahan.
2. Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen , kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang
disetor.
h. Iuran yang diterima atau dioperoleh dana pensiun yang pendirianya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i. Penghasilan daroi modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k. Dihapus.
l. Pengahasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan usaha mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuanya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membeidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
4. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expense)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 UU PPh No. 36
Tahun 2008.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
1. Biaya pembelian bahan.
2. Berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
3. Bunga, sewa, dan royalti.
4. Biaya perjalanan.
5. Biaya pengolahan limbah.
6. Premi asuransi.
7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
8. Biaya administrasi.
9. Pajak, keculain PPh.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai manfaat lebih
dari satu tahun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirianya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magan dan pelatihan.
h. Piutang yang nyatanya tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
3. Telah diserahkan perkara penagihanya kepada pengadilan negeri.
4. Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k,
yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penangulangan bencana nasional yang ketentuan ya
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuanya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuanya diatur dengan peraturan
pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuanya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expense).
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 UU
PPh No. 36 tahun 2008 sebagai berikut:
a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apa pun seperti dividen.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hakm opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan pajak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh BPJS.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Cadangan bkiaya rekilamasi untuk usaha pertambangan.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri.
d. Premi asuransi perusahaan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, keculai dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihutang sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang
bersangkutan.
e. Pergantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau
menjadi prang tanggunganya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi brupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunya masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak.
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pengahasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final.
o. Pajak yang ditanggung oleh pemeberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26 ayat (1)
UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan
dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak.
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki atau tidak diperhunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak.

2.3 Tax Planning PPh Badan

Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih optimal apabila wajib pajak memahami
timbulnya perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba
yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No.
17 tahun 2000 dan peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam perhitungan
laba akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan pajak yang tepat
sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar. Berikut ini adalah beberapa cara
tax planning untuk PPh Badan.

1. Menunda Penghasilan
Misalnya, pembukuan perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan
Desember tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba akibat lonjakan
permintaan tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun
berikutnya. Di samping itu, angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya otomatis akan
menjadi lebih besar. Bila memungkinkan, pengusaha dapat melakukan pendekatan
kepada konsumen dan menjual barangnya pada awal bulan Januari tahun berikut.
Dengan demikian, pembayaran pajaknya dapat ditunda 1 tahun.

2. Mempercepat Pembebanan Biaya


Pada akhir tahun fiskal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-
biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya, biaya konsultan hukum,
konsultan pajak, dan auditor. Dengan demikian, seperti halnya dengan penundaan
penghasilan, langkah seperti ini akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.

Namun demikian, di sisi lain, konsekuensi pembebanan biaya seperti di atas dapat
mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 (2)
sudah harus dilakukan. Untuk itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan aspek
perpajakan yang satu ini.
Ketika perusahaan untung, alternatif mempercepat pembebanan biaya seperti di atas
akan lebih efektif karena PPh Badan dapat diturunkan sampai dengan 30% dari total
biaya yang dibebankan, sedangkan dari sudut PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4(2),
perusahaan harus memotong pajak sebesar masing-masing 6% atau 7,5% dan 10%.

3. Melakukan Pengujian Arus Piutang, Arus Barang, Arus Utang dan Arus Kas Saat
Rekonsiliasi Fiskal
a. Atas penjualan, lakukan pengujian arus barang, arus piutang dan arus kas dengan
formula sebagai berikut:
1) Arus barang

a) Penjualan dalam unit = saldo awal persediaan + pembelian saldo akhir

b) Penjualan dalam rupiah = penjualan dalam unit x harga jual per unit

Apabila harga jual per unit berfluktuasi sepanjang tahun, dapat digunakan harga
jual rata-rata, tetapi hasil perkaliannya hanya bersifat pendekatan

2) Arus uang

(Saldo akhir kas/bank + pengeluaran kas/bank saldo awal kas/bank = penerimaan


kas/bank)

3) Arus piutang usaha

a) Penjualan kredit = saldo akhir + pelunasan piutang usaha (diambil dari sisi
kredit rekening koran) saldo awal

b) Total penjualan = penjualan tunai + penjualan kredit

b. Atas harga pokok penjualan, lakukan pengujian arus utang dengan formula sebagai
berikut:
1) Pembelian kredit = saldo akhir + pelunasan utang usaha saldo awal

2) Total pembelian = pembelian tunai + pembelian kredit

4. Mengoptimalkan Pengkreditan Pajak yang Telah Dibayar


Selain angsuran PPh Pasal 25, PPh yang dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang
pada akhir tahun adalah PPh yang dipotong/pungut pihak lain dan sifat
pemotongan/pemungutannya tidak final. Perusahaan seringkali kurang memperoleh
informasi mengenai hal ini. PPh yang dapat dikreditkan antara lain:

a. PPh Pasal 22 atas impor atau pembelian solar dari Pertamina,


b. PPh Pasal 23 dari bunga non bank, royalti,
c. PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri, dan
d. Pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n karyawan qq. Perusahaan
berikut NPWP perusahaan),
e. STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) baik telah dibayar maupun belum.
f. PPh atas pengalihan tanah/bangunan,
Ketika menyusun rekonsiliasi fiskal, perusahaan harus memperoleh keyakinan yang
cukup bahwa pajak yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh
pemotong/pemungut pajak ke kas negara. Keyakinan demikian sangat diperlukan karena
pada saat pemeriksaan pajak petugas akan menempuh prosedur konfirmasi ke bank
tempat pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut disetorkan atau ke KPP tempat
pemotong/pemungut tersebut melaporkan SPT-nya.

Salah satu caranya adalah dengan melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik
pemungutan PPh 22 dan/atau pemotongan PPh 23 dengan Uang Muka PPh terkait yang
telah dicatat di neraca. Jika timbul selisih, atas selisih tersebut dapat segera
ditindaklanjuti dengan cara meminta pihak pemungut/pemotong pajak untuk
menyerahkan bukti pemungutan/ pemotongannya.

5. Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh pasal 25


Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
a. SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan,

b. kenaikan laba pada tahun yang lalu,

c. kenaikan pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D).


Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, apabila
sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, perusahaan dapat menunjukan
bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh
yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan
dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis
kepada Kepala KPP tempat perusahaan terdaftar.

Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud di


atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan
perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25
untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan
perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap
diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan
penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan usaha dan
diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari
PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya
PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus
dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh
perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.

6. Mengelola Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan Secara Fiskal


Seringkali staf akunting perusahaan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-
biaya tertentu sehingga pada waktu pemeriksaan pajak biaya-biaya tersebut tidak dapat
dikurangkan. Contohnya,

a. biaya promosi, biaya keamanan, biaya pemasaran dibukukan dengan nama


sumbangan. Berdasarkan pasal 9 (1) huruf g UU PPh, sumbangan tidak
diperkenankan dikurangkan sebagai biaya.
b. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjananan direksi yang
mengesankan sebagai biaya liburan direksi.
c. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai.
d. Pemberian uang tips kepada oknum di institusi tertentu atau dalam rangka pengurusan
dokumen dicatat sebagai biaya lain-lain atau biaya entertainment yang tak bisa
didukung dengan daftar entertainment.
Khusus untuk butir d di atas, pembahasan lebih detil dapat dibaca di bagian lain yang
mengupas biaya entertainment.

7. Menentukan Metode Gross-up dalam Withholding Tax


Perusahaan seringkali harus memotong PPh atas pembayaran kepada pihak ketiga
(witholding taxes), sementara pihak yang menerima imbalan tersebut tidak bersedia
dipotong pajaknya. Untuk mengatasi hal tersebut, berikut ini adalah ilustrasinya:

Uraian Alternatif A Alternatif B

LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal

Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000


Biaya operasi
Jasa profesional 600.000 600.000 648.649 648.649
Biaya pajak 45.000 - - -
645.000 600.000 648.649 648.649
Penghasilan neto 355.000 400.000 351.351 351.351
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 120.000 105.405
- PPh pasal 23 45.000 48.649
(7,5%)
165.000 154.054
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Jika perusahaan mengalami kerugian, perusahaan dapat menanggung biaya pajak
tersebut dan, sebagai konsekuensinya, untuk keperluan rekonsiliasi fiskal (SPT PPh
Badan) biaya pajak tersebut termasuk non deductible expense (Alternatif A).
b. Bila perusahaan dalam keadaan untung, biaya tersebut perlu digross-up sehingga nilai
transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut (Alternatif B)
8. Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri
Penyertaan modal saham pada PT dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau
perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, dividen yang diperolah
perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Akan tetapi, apabila modal sahamnya atas
nama PT dan atau BUMN/D, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU
PPh, penerimaan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang dipenuhi
kriteria berikut:

a. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan


b. Kepemilikan saham Perseroan Terbatas dan BUMN/D pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, dan
c. Perseroan Terbatas dan BUMN/D tersebut harus memiliki usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut.
Syarat yang tercantum di butir a di atas mengandung pengertian bahwa kalau ternyata
dividennya tidak dibagikan dari Retained Earning, tapi dari konversi agio saham,
dividen tersebut otomatis menjadi objek pajak.

Untuk PT dan BUMN/D yang hanya bersifat sebagai investment holding dan
memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, sesuai dengan persyaratan
di atas, dividen tersebut menjadi objek pajak. Agar dividen tersebut diperlakukan
sebagai non objek pajak, investment holding company tersebut harus punya usaha aktif
secara minimal.

9. Merger antara Perusahaan yang Terus Menerus Rugi dengan Perusahaan yang Laba
Dalam satu kelompok usaha kadangkala terdapat perusahaan yang terus merugi selama
beberapa tahun, sedangkan perusahaan lainnya mudah menghasilkan laba. Secara
kelompok perusahaan harus membayar PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba
sebenarnya.

Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila
kedua perusahaan tersebut digabungkan, akumulasi kerugian perusahaan yang merugi
tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah dilakukan
revaluasi aktiva tetap. Bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, secara konsolidasi
perusahaan membayar atas laba sebenarnya.

10. Transaksi Afiliasi


a. Jenis transaksi afiliasi yang sangat berisiko bila ditinjau dari aspek perpajakan, di
antaranya :
1) Untuk transaksi usaha, Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya
penghasilan dan biaya untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.
2) Untuk pinjaman, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan tingkat bunga yang
wajar atas transaksi utang piutang antar pihak yang mempunyai hubungan
isitimewa. Hal ini berarti akan merugikan perusahaan karena perusahaan harus
memotong PPh Pasal 23 berdasarkan tingkat bunga wajar dan ada kemungkinan
dikenakan sanksi oleh pihak pajak karena kurang memotong. Bagi perusahan
induk, atas penghasilan bunga tersebut akan dikoreksikan positif sehingga laba
kena pajak akan lebih tinggi.
3) Atas transaksi utang piutang berupa reimbursment cost yang biasa dilakukan antar
induk dan anak perusahaan memiliki kemungkinan adanya implikasi perpajakan
berupa kewajiban memungut PPN dan/ atau memotong PPh Pasal 23. Hal ini dapat
terjadi apabila pihak pajak mengindikasikan adanya objek pemungutan PPN dan
objek pemotongan pajak atas transaksi utang piutang affiliasi tersebut.
b. Hal-hal yang harus dilakukan:
1) Diupayakan semaksimal mungkin agar transaksi pembelian barang atau pun
pemanfaatan jasa, yang biasanya dilakukan melalui induk perusahan, dapat
dilakukan langsung oleh perusahaan yang menggunakannya. Dengan demikian,
tidak muncul adanya transaksi utang afiliasi antara anak perusahaan dengan induk
perusahaan. Dengan cara ini, dapat diminimalkan risiko adanya pemungutan PPN
maupun pemotongan PPh Pasal 23 karena transaksi utang piutang afiliasi.
2) Dalam hal dilakukan pemberian pinjaman kepada anak perusahaan tanpa bunga,
harus terpenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Surat Dirjen Pajak No. S-
165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 yaitu :
a) Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman
itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
b) Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman
kepada perusahaan penerima pinjaman telah setor dalam keadan seluruhnya.
c) Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan rugi.
d) Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
Apabila salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuhi, atas pinjaman
tersebut akan dilakukan koreksi oleh kantor pajak dan menjadi terutang bunga
dengan tingkat bunga wajar. Hal ini akan menambah beban biaya bagi perusahaan.

Karena itu, apabila ada transaksi pinjam meminjam antara perusahaan dengan
induk perusahaan, perlu dibuat perjanjian pinjaman yang sekurang-kurangnya
memuat tentang pokok pinjaman, jangka waktu, dan tingkat bunga yang
dibebankan. Seandainya tidak ada pembebanan bunga, hal tersebut harus secara
tegas dinyatakan di dalam perjanjian tersebut.

11. Piutang Tak Tertagih


Menurut UU PPh pasal 6 (1) huruf h, piutang yang nyata-nyata tidak dapat tagih dapat
dibebankan sebagai biaya dengan syarat :

a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi-laba komersial;


b. Telah diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/ pembebasan utang antar kreditur dan debitur yang bersangkutan;
c. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
d. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
DirjenPajak.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, sedangkan syarat kedua dan ketiga tersebut
tidak mudah dilakukan oleh perusahaan. Syarat kedua dapat dilakukan dengan
memberitahukan bukti publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain yang dapat
dilakukan yaitu dengan menjual piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga
setelah dikurangi penghapusan piutang yang tertagih tersebut dan mengurangkan
kerugian penjualan tersebut sebagai beban.

12. Bunga Pinjaman dan Deposito


Seringkali uang kas yang menganggur (idle cash) untuk satu atau dua bulan perusahaan
investasikan di bank dalam bentuk deposito berjangka. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000, atas bunga deposito dipotong
pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%.

Bila perusahaan tidak mempunyai utang, hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bila
perusahaan tersebut mempunyai utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari
tingkat bunga deposito, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian karena
berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas
utang tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.

Untuk menghindari masalah tersebut, beberapa cara yang dapat ditempuh perusahaan,
antara lain:

a. Perusahaan sebaiknya menempatkan dana yang belum dipergunakan dalam bentuk


rekening giro, tidak dalam bentuk deposito. Jika memungkinkan dilakukan negosiasi
dengan bank yang bersangkutan agar bunga gironya lebih besar dari biasanya karena
saldo yang kita miliki cukup besar.
b. Alternatif lain yang dapat diambil adalah dengan memanfaatkan dana tersebut di
dalam instrumen keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes,
didepositokan di luar negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.
13. Biaya Entertaiment
Seringkali perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal langsung melakukan
koreksi fiskal positif atas biaya entertainment. Dengan demikian, perusahaan akan
membayar pajak lebih besar 30% dari total biaya entertainment yang dikoreksi positif.
Untuk menghindari beban pajak yang seharusnya, perusahaan membuat Daftar
Nominatif dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh Badan serta menyimpan bukti
pendukung pengeluaran entertainment tersebut. Dengan demikian, perusahaan akan
memperoleh penghematan pajak sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh
dikurangkan.

Daftar nominatif berisi :

a. Nomor urut.
b. Tanggal entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. Nama tempat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Alamat entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
e. Jenis entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
f. Jumlah (Rp) entertainment dan sejenisnya yang telah diberikan.
g. Relasi usaha yang diberikan entertainment dan sejenisnya sesuai dengan nomor
urut tersebut di atas (Nama, Posisi, Nama perusahaan, dan Jenis usaha)
Kadangkala perusahaan juga membebankan pemberian uang tips, uang pengurusan
dokumen atau izin, uang jamuan pimpinan proyek ke dalam biaya entertainment atau
biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai
konsekuensinya, pada akhir tahun biaya entertainment yang tidak didukung daftar
nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh Badan.

Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat mereklasifikasi biaya


tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga. Penghitungan
pajaknya dilakukan dengan cara gross-up (Alternatif B) sehingga penghematan pajaknya
dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi bila perusahaan merugi, PPh Badannya akan
nihil sehingga pembebanan ke biaya entertainment (Alternatif A) dapat dilakukan untuk
menghemat pajak.

Uraian Alternatif A Alternatif B

LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal

Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000


Biaya operasi
Biaya entertainment 600.000 - - -
Biaya honor - - 600.000 600.000
Tunj. Pajak (gross- - - 31.579 31.579
up)
600.000 - 631.579 631.579
Penghasilan neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
Penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 di atas didasarkan asumsi bahwa setiap orang
menerima uang tips tidak lebih dari Rp 25 juta. Dengan demikian, sesuai ketentuan pasal
5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000 jo Per-
15/PJ/2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, di
antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, dipotong
PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.
14. Pengelolaan Transaksi yang Berhubungan dengan Pemberian Kesejahteraan
Karyawan
Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini
sangat tergantung dari kondisi perusahaan.

a. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak yang telah dikenakan
tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final,
diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk
natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible (lihat
Alternatif B).
b. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit )
akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil (lihat Alternatif A).
Uraian Alternatif A Alternatif B

LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal

Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000


Biaya operasi
Benefit in kind 600.000 - - -
Benefit in cash - - 600.000 600.000
Tunj. Pajak (gross- - - 31.579 31.579
up)
600.000 - 631.579 631.579
Penghasilan neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
15. Pendanaan Aktiva Tetap melalui Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance
Lease / Capital Lease)
Untuk efisiensi beban pajak, sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) sebaiknya
dipilih karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan seluruh
pembayaran leasing (pokok dan bunga) dapat dibiayakan.

Misalnya, dibeli kendaraan operasi secara capital lease. Harga tunainya Rp 100 juta,
uang muka Rp 35 juta dan bunga untuk tenor 3 tahun sebesar Rp 19,5 juta dan cicilan
per bulan Rp 2.347.222 yang sudah termasuk pokok dan bunga. Dengan demikian, biaya
pembayaran leasing selama setahun yang termasuk deductible expense sebesar Rp
28.166.664. Sementara itu, bila kendaraan tersebut dibeli tidak dengan capital lease,
biaya penyusutan yang boleh dibebankan sebesar Rp 12.500.000.

16. Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2)
Ekualisasi antara biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2) dan
masing-masing SPT Masa PPh sangat diperlukan agar selisih yang terjadi dapat segera
diidentifikasi lebih dini. Secara ideal ekualisasi ini harus dilakukan sebelum SPT
Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak. Untuk lebih rincinya, pembahasan hal
ini terdapat di bagian lain.

17. Tax Planning PPN

1. Penerbitan faktur pajak standar pada akhir bulan berikutnya, jika karakterisitiknya
penjualan produk menunjukkan piutang usaha dilunasi dalam waktu lebih dari satu
bulan.
2. Terbitkan faktur pajak pada saat diterima pembayaran termin, khususnya untuk
penyerahan yang didasarkan prosentase penyelesaian, seperti jasa kontruksi.
3. Pastikan bahwa faktur pajak standar catat, batal tetap disimpan
4. Pastikan potongan harga tercantum dalam faktur pajak standar.
5. Pastikan faktur pajak standar masukan, SSPCP serta faktur pajak yang
dipersamakan tidak cacat.
6. Melakukan sentralisasi PPN terutang
7. Ekualisasi pendapatan yang terkait dengan objek PPN.
Ekualisasi omzet penjualan menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan
penyerahan menurut SPT Masa PPN selama satu tahun pajak.
Ekualisasi omzet PPh Badan dengan PPN juga sangat diperlukan sebelum SPT
Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak agar selisih yang timbul dapat
diidentifikasi lebih dini dan dicarikan penyebabnya.

Analisis equalisasi digunakan untuk memastikan dalam satu tahun pajak


apakah omzet di SPT Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi sama dengan
penyerahan BKP/JKP di SPT Masa PPN. Analisis Ekualisasi Omzet SPT Tahunan
PPh dengan Penyerahan SPT Masa PPN biasanya dilakukan dalam kondisi omzet
atau peredaran bruto yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh berbeda dengan total
nilai penyerahan kumulatif yang dilaporkan di SPT Masa PPN selama 1 tahun
buku.

Sebelum melaporkan pajak penghasilan badan tahunan, sebaiknya


perusahaan membandingkan peredaran usaha di SPT Masa PPN selama satu tahun
(mulai masa Januari sampai dengan masa Desember) dengan peredaran usaha di
laporan laba rugi akuntansi atau Pajak. Memang peredaran usaha di SPT
Tahunan dengan penyerahan BKP/JKP di SPT Masa PPN tersebut pasti
terjadi perbedaan, di mana perbedaan tersebut bisa diketahui dengan
melakukan analisis equalisasi. Sebab-sebab perbedaan omzet di SPT
Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi dengan Penyerahan BKP/JKP di SPT
Masa PPN adalah:
1. Penghasilan di SPT Tahunan PPh sudah diakui tetapi di SPT PPN, di mana
PPN-nya belum dipungut dan dilaporkan. Karena SPT Tahunan PPh mengacu pada
metode pembukuan accrual basis dan sedangkan SPT Masa PPN, Pemungutan PPN
yang ditandai dengan penerbitan faktur pajak standar dilaku kan paling
lambat pada akhir bulan berikutnya setelah terjadi penyerahan BKP/JKP
atau pada saat pembayaran dilaku kan.
2. Adanya penerimaan uang muka (down payment) yang sudah dikenakan PPN
tetapi belum diakui sebagai penghasilan di SPT PPh karena masih tercatat
sebagai pos utang. Misalnya pendapatan yang diterima di muka atas penyerahan
BKP/JKP.

3. Adanya penghasilan/penjualan yang merupakan objek PPh tetapi bukan


merupakan objek PPN atau fasilitas PPN. Fasilitas PPN seperti dibebaskan atau
tidak dipungut, misalnya ekspor dikenai PPN tarif 0%, penjualan makanan dan
minuman disajikan di hotel yang merupakan objek PPh akan tetapi bukan
merupakan objek PPN tetapi objek pajak daerah.

4. Adanya penghasilan yang dikenakan PPh final tetapi dipungut PPN dan
dilaporkan di SPT Masa PPN. Misalnya pendapatan sewa tanah dan atau bangunan
merupakan objek PPh Final sehingga tidak diperhitungkan dalam SPT PPh Badan.
Padahal penyerahannya adalah objek PPN.

5. Bukan penghasilan di SPT PPh tetapi objek pemungutan PPN yang


bukan merupakan penjualan, misalnya: adanya pemakaian sendiri atau
pemberian cuma-cuma di SPT PPN. Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma
dikenakan PPN dan diperhitungkan sebagai penyerahan yang terutang PPN.
Sedangkan di PPh tidak akan ada pengakuan penghasilan.

6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan sebaliknya. Transaksi ini bukan
penjualan ditinjau dari sisi akuntansi dan PPh, tetapi merupakan penyerahan BKP
menurut Undang Undang PPN.

7. Penyerahan BKP secara konsinyasi. Dari sisi akuntansi dan PPh belum
diakui penjualan, tetapi dari sisi Undang-Undang PPN sudah merupakan
penyerahan BKP dan wajib menerbitkan faktur pajak.

8. Adanya transaksi yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang


dipungut PPN dan dilaporkan SPT Masa PPN. Sering penghasilan tersebut di luar
usaha (other income); tidak masuk dalam omzet SPT Tahunan PPh melainkan
masuk other income, tetapi di SPT Masa PPN merupakan objek PPN.
9. Adanya penyerahan kepada pemungut PPN. Penyerahan kepada pemungut
PPN menganut prinsip cash basis, PPN baru dipungut pada saat pemungut
melakukan pembayaran. Maka wajib pajak rekanan pemungut melaporkan faktur
pajaknya pada masa pajak dilakukan pembayaran, tetapi transaksi penjualan di SPT
Tahunan PPh diakui jauh hari sebelum terjadi pembayaran.

10.Terjadi di awal tahun di mana terdapat faktur pajak di SPT Masa PPN atas
penjualan BKP/JKP, tetapi penghasilan sudah diakui pada periode sebelumnya
(tahun pajak sebelumnya) di SPT Tahunan PPh.

BAB III
KESIMPULAN

Hasil dari suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui
berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian, keputusan yang terbaik atas suatu
perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai
rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan bentuk perencanaan yang
diinginkan, karena terkadang suatu perencanaan harus diubah mengingat adanya perubahan
peraturan perundang-undangan.
Sepanjang penghematan pajak masih besar, rencana tersebut harus tetap dijalankan,
karena walau bagaimanapun juga kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal.
Jadi, akan sangat membantu jika pembuatan suatu rencana disertai dengan gambaran atau
perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa laba potensial yang akan diperoleh jika
berhasil maupun kerugian potensial jika terjadi kegagalan.
Dalam praktek bisnis banyak kasus pemungutan atau pemotongan pajak dari pihak
ketiga, dimana yang membuat kontrak bisnis kurang memahami atau mengabaikan aspek
perpajakan secara detail dan sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga saat
pemeriksaan oleh fiskus perusahaan dikenai kewajiban untuk membayar withholding tax
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk itu
perlu dilakukan optimalisai pembayaran pajak sebagai suatu langkah pengamanan yang
harus dilakukan oleh wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan
cashflow perusahaan yang tujuannya untuk penghematan pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Waluyo,2011.Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 1.Penerbit Salemba Empat,


Deswanto, V. Manajemen Perpajakan. Dikutip dari:
http://weserve.files.wordpress.com/2008/04/manajemen - pajak.ppt.
Suandy, E. 2003. Perencanaan Pajak . Ed. Rev. Penerbit Salemba Empat.\
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

You might also like