You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Setiap mahluk hidup diciptakanAllah berpasang-pasangan termasuk
didalamnya manusia yang diciptakan laki-laki dan perempuan(Kej. 1).Penyatuan
laki-laki dan perempuan disebut pernikahan, yang secara etimologi berarti nikah;
dalam bahasa Arab nikah yang berarti perjanjian perkawinan; tapi kata lain dalam
bahasa Arab nikah berarti persetubuhan. Ketika sepasang manusia berkomitmen
untuk menikah maka yang diharapkan dari pernikahan itu adalah kebahagiaan.
Seiring berjalanya waktu ketika masalah silih berganti muncul dalam perkawinan
maka perceraian sering dijadikan pilihan akhir.
Perceraian tidak hanya terjadi pada orang-orang kelas bawah, tapi juga terjadi
pada orang-orang yang mempunyai perekonomian yang lebih dari cukup, dengan kata
lain prcerian dapat saja terjadi pada pasangan suami istri manapun.
Perceraian bukan saja merugikan beberapa pihak, namun perceraian juga
dilarang oleh agama. Namun pada kenyataannya perceraian terus saja terjadi dari
tahun ketahun dan tingkat perceraian terus saja meningkat.
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan atau perkawinan. Ada dua jenis
perceraiaan yaitu: cerai hidup (karena berbagai alasan) dan cerai mati(karena salah
satu pasangan meninggal dunia).

1.2 Rumusan masalah


1. Definisi Perceraian ?
2. Faktor-faktor penyebab perceraian ?
3. Dampak dari Perceraian ?
4. Pandangan Alkitab tentang perceraian ?
5. Perceraian dalam Perspektif Etika ?

1.3 Tujuan
Adapuntujuan saya dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
wawasan mengenai perceraian, faktor-faktor yang menyebabkan perceraian, dampak
dari perceraian, serta lebih memahami pandangan Alkitab tentang perceraian,
terutama dalam perspektif etika kristen.

1.4 Manfaat
Manfaatdaripenulisanmakalahiniadalah, agar
pembacadapatmengetahuitentangakibatperceraiandanpengertianperceraian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DefinisiPerceraian

Perceraian adalah hal sama sekali tidak dibenarkan dalam agama manapun.
Namun pada kenyataannya karena berbagai masalah yang ada dalam kehidupan
keluarga membuat perceraiaan yang sebenarnya tidak dibenarkan dijadikan jalan
keluar bagi pasangan suami-istri. karena tidak bisa menyelesaikan konflik interen
yangfundamental.Perceraianjuga
merupakanterputusnyakeluargakarenasalahsatuataukeduapasanganmemutuskanuntuks
alingmeninggalkansehinggamerekaberhentimelakukankewajibannyasebagaisuamiistri
.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perceraiaan adalah putusnya


hubungan perkawinan karena kehendak kedua belah pihak, sehingga mengakibatkan
status sebagai suami dan istri berakhir. Juga karena gagal untuk mencapai tujuan
perkawinan yang bahagia kekal dan sejahtra.

Perceraian menurut UU perkawinan

Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah
sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi
mengenai perceraian secara khusus. Sebagaimana bunyi UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 39 dinyatakan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwasuami istri itu
tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tatacara perceraian di depan pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Dalam pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara jelas
menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan
yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari
putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP dijelaskan, yaitu:

2
1. karena kematian
2. karenaperceraian
3. karena putusnya di pengadilan

Dalam sosiologi, terdapat teori pertukaran yang melihat perkawinan sebagai suatu
proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang
terjadi diantara sepasang suami istri. Karena perkawinan merupakan proses integrasi
dua individu yang hidup dan tinggal bersama, sementara latar belakang sosial-
budaya, keinginan serta kebutuhan mereka berbeda, maka proses pertukaran dalam
perkawinan ini harus senantiasa dirundingkan dan disepakati bersama.

2.2 Faktor faktor penyebab perceraian

Di dalam sebuah perceraiansering kita jumpai banyak faktor faktor atau


penyebab terjadinya perceraian itu sendiri, diantaranya :

1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga : Alasan tersebut di atas adalah


alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami istri yang akan
bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain,
krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain,
istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian
yang lebih mendetail.

2. Gagal komunikasi : Komunikasi merupakan hal terpenting dalam menjalin


hubungan. Jika Anda dan pasangan kurang berkomunikasi atau tidak cocok
dalam masalah ini, maka dapat menyebabkan kurangnya rasa pengertian dan
memicu pertengkaran. Jika komunikasi Anda dan pasangan tidak diperbaiki,
bukan tidak mungkin akan berujung pada perceraian.

3. Perselingkuhan : Selingkuh merupakan penyebab lainnya perceraian. Sebelum


melangkah ke jenjang pernikahan, ada baiknya Anda dan pasangan memegang
kuat komitmen dan menjaga keharmonisan hubungan.

4. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) : KDRT tidak hanya meninggalkan


luka di fisik tetapi juga psikis. Oleh karena itu kenalilah pasangan Anda
sebaik mungkin sebelum memutuskan menikah dengannya. Jangan malu
untuk melaporkan KDRT yang Anda alami pada orang terdekat atau lembaga
perlindungan.

3
5. Krisis moral dan akhlak : Selain hal diatas, perceraian juga sering disebabkan
krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh
suami ataupun istri, poligami, dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan
baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, terlibat tindak kriminal.

6. Perzinahan : Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan


terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah
yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.

7. Pernikahan tanpa cinta: Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karena
faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan
pasangan yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah
tangga sering kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan. Selain itu,
alasan inilah yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri
sebuah perkawinan yakni bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa
dilandasi cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa
cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya,
juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam
menghasilkan keputusan yang terbaik.

8. Pernikahan dini : Menikah di usia muda lebih rentan dalam hal perceraian.
Hal ini karena pasangan muda belum siap menghadapi berbagai kesulitan
dalam kehidupan pernikahan dan ego masing-masing yang masih tinggi.

9. Masalah ekonomi : Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini


memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat
tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki
pekerjaan yang menyebabkan pasangan dianggap tidak mampu memenuhi
kebutuhan materi keluarga, sehingga memutuskan untuk meninggalkannya.

10. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan. Masalah dalam perkawinan itu


merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan
tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah
ranjang.

11. Keturunan : Anak memang menjadi impian bagi tiap pasangan, tetapi tidak
semua pasangan mampu memberikan keturunan, salah satu penyebabnya

4
mungkin kemandulan pada salah satu pasangan tersebut, sehingga menjadikan
sebuah rumah tangga menjadi tidak harmonis.

2.3 Dampak Perceraian

Beberapa faktor yang di atas itulah yang meyebabkan suatu pernikahan harus
berakhir pada perceraian. Perceraian sesunguhnya bukanlah akhir dari suatu masalah
keluarga, karena setelah perceraian akan muncul masalah lain lagi. Beberapa dampak
lainnya akan muncul karena perceraian antara lain :

Dampak perceraianbagi yang bersangkutan berupa:

Tekanan psikologis pada pasangan yang bercerai.


Trauma akan pernikahan.
Pandangan negatif dalam masyarakat

Dampak perceraianyang di rasakan oleh anak

Anak memiliki berbagai perasaan yang ia alami mengenai perceraian kedua orang
tuanya, antara lain :

a. Tidak aman (insecurity)

b. Tidak diingikan atau ditolak oleh orang tuanya yang pergi(tergantung ia ikut
dengan siapa)

c. Sedih

d. Kesepian

e. Marah

f. Kehilangan

g. Merasa bersalah dan menyalahkan diri

5
h. Kasar (Suka mengamuk, dan tindakan agresif.)

i. Menjadi pendiam, tidak lagi ceria dan tidak suka bergaul.

j. Sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi
disekolah cenderung menurun.

k. Suka melamun terutama mengkhayalkan orang tuanya akan bersatu lagi.

Dampak pada orang tua

Selain anak-anak, orang tua dari pasangan yang bercerai juga mungkin
terkena imbas dari keputusan untuk bercerai. Sebagai orang tua, mereka dapat saja
merasa takut anak mereka yang bercerai akan menderita karena perceraian ini atau
merasa risih dengan pergunjingan orang-orang.
Beberapa orang tua dari pasangan yang bercerai akhirnya harus membantu
membesarkan cucu mereka karena ketidaksanggupan dari pasangan yang bercerai
untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

2.4 Pandangan Alkitab tentang Perceraian

a. Perjanjian Lama

Dalam Kejadian 24 dikemukakan bahwa bagi allah perkawinan adalah ketika seorang
laki-laki memisahkan diri dari orangtuanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging. Sedangkan definisi perkawinan yang alkitabiah adalah
suatu ikatan janji yang eksklusif dan heteroseksual antara satu laki-laki dan satu pe
parempuan yang ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah, didahului dengan
meninggalkan orangtuanya, dengan sepengetahuan orang banyak, untuk mencapai
kegenapan sepenuhnya dalam persetubuhan, menjadi satu pasangan yang permanen,
saling menopang, dimahkotai dengan penganugerahan anak-anak. Pada prinsipya
perkawinan dalam PL adalah suatu ikatan seumur hidup, yang didalamnya tak
tertiadakan, sedangkan perceraian adalah pelanggaran perjanjian, dan merupakan
suatu tindakan penghianatan yang dibenci Allah (Maleakhi 2:13 dst). Sedangkan
dalam Ulangan 24:1-4 menunjuk pada alasan atau prosedur terjadinya perceraian.

6
Butir pertama menekankan tentang peraturan atau hukum, yang tidak
menuntut dan tidak melarang, tapi juga tidak mengijinkan perceraian.
Tujuannya adalah melarang laki-laki untuk mngawini ulang mantan istrinya.
Karena itu merupakan kekejian dihadapan allah. Larangan ini adalah untuk
melindungi perempuan dari suami yang tidak bisa diandalkan, atau dari
prilaku dan dan perangai buruk suaminya.
Butir kedua, meskipun perceraian tidak dianjurkan,namun ituterjadi dengan
alasan si suami mendapati sesuatu yang tidak senonoh pada istrinya. Inipun
tak mungkin menujuk pada suatu perzinahan dari istri, sebab kalau demikian
hukamannya vonis mati dan bukan perceraian.
Butir ketiga, ialah bahwa jika perceraian telah diizinkan dan ada perkawinan
ulang, maka nasitu mengasumsikan bahwa apabila perempuan itu telah
menerima surat cerai dari suaminya, maka ia bebas untuk kawin lagi,
meskipun ia adalah pihak yang bersalah.

b. Perjanjian Baru.
Dalam Markus 10:2 mengetengahkan tentang pertanyaan orang Farisi utuk
mencobai Yesusdemikian juga dalam Matius 1:3 apakah diperbolehkan orang
menceraikan istrinya dengan alasan apa saja ?. Barangkali dibalik pertanyaan ini ada
skandal Herodias yang telah meningalkan suaminya Filipus agar ia bisa kawin lagi
dengan raja Herodes Antipas.Sehingga Yohanes pembaptis dengan berani mengatakan
bahwa perkawinan itu tidak halal (Markus 6:17) mengakibatkan ia harus
dijebloskan dalam penjara. Sangat jelas bagaimana orang Farisi ingin memancing dan
menjebak Yesus dalam silang pendapat Shamai-Hilel. Melalui pertanyaan mereka
dimaksudkan supaya alasan atau sebab-musabab apapun membenarkan perceraian.
Dalam khotbah di bukit (Matius 5: 31,32) ada semacam antitesa Yesus mengenai
perceraian sebagai cara untuk melawan distorsi orang Farisi dan ahli Taurat, karena
abreviasi mereka dalamUlangan 24 sengaja dibuat supaya disalahmengerti. Dari
abreviasini sekan-akan perceraian sudah diperbolehkan dengan alasan asal sudah
memiliki surat cerai. Karena itu Yesus menolak mentah-mentah alasan tersebut.
Yesus menggarisbawahi keberlakuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya, dan
Ia menyatakan ketentuan yang ditetapkan musa dalah lkhwal perceraian sebagai suatu
konsesi yang bersifat sementara terhadap dosa manusia.
Respon balik dari orang Parisi mengutip Kejadian 1:27; 2:24 dengan mengajukan
pertanyaan kedua kepada Yesus: Jika demikian, apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya ?
Jawab Yesus: Karena ketegaran hatimu Musa menginzinkan kamu menceraikan
istrimu, Taurat mengiyakan perceraian untuk mencegah lebihbanyak kesusahan dan

7
penderitaan di pihak wanita, tapi sejak semula tidaklah demikian. Jadi, apa yang
menurut mereka adalah perintahdinyatakan Yesus sebagai yang diizinkan dengan
terpaksa, karena kekerasan kepala manusia, danbukan kehendak ilahi.Yesus
menyatakan hal itu dengan tujuan hendak membatasi akibat-akibat buruk, sebagai
indikasi untuk membuktikan bahwa perceraian tidak bertentangan dengan kehendak
Allah. Menurut Yesus perkawinan keduasesudah perceraian sebagai zinah atau
porneia. Yesus mengizinkan perceraian dan perkawinan kedua hanya karena alasan
satu-satunya yakni zinah.Orang Yahudi sangat prihatin terhadap alasan-alasan yang
bisa mengabsahkan perceraian akibat zinah.
Perceraian tidaklahmerupakan hukuman bagi pihak yang dianggap
bersalah,dan bukanlah hadiah bagi yang merasa tidak bersalah. Perceraian bukan
merupakansuatu kegagalan bagi satu pihak dan kemenangan bagi pihak lain,
melainkan merupakan kegagalan bersama dalam Two InOneship.

2.5 Perceraian dalam Perspektif Etika

Etika dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain: filosofis,
sosiologis, teologis, deskriptif/normatif, deotologis dan teleologis. Dalam makalah ini
dibatasi pada pokok bahasan Perceraian dari 3 sudut pandang,
yaitu: deotologis, teleologis dan teologis.
1. Etika Deotologis.
Istilah deontologis dari kata Yunani yang artinya kewajiban. Etika ini
menerapkan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu
tindakan itu baik bukan dinilai dandibenarkan berdasarkan akibat atau
tujuan baik dari suatu tindakan, melainkan berdasarkan tindakan itu
sendiri baik pada dirinya sendiri. Sesuatu yang harus dilakukan sesuai
dengan norma sosial yang berlaku. Sesuatu itu dianggapbaik karena
tuntutan norma sosial dan moral, apapun dampaknya dan tidak tergantung
dari apakah ketaatanpada norma itu membawa hasil yang menguntungkan
atau tidak, menyenangkan atau tidak.
Jadi ditinjau dari etika deontologis, perceraian adalah sesuatu yang keliru,
yang bertentangan dengan norma sosial dan moral yang berlaku dalam
masyarakat.

2. Etika Teleologis.
Teleologi berasal dari kata Yunani teles yang berarti: akar, tujuan, dan
maksud. Sedangkan logi asal logos artinya perkataan. Dalam arti
umum Teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti
perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam dan dalam sejarah. Dalam dunia

8
etika teleologi bisa diartikan juga sebagai pertimbangan moral akan baik
bu ruknya suatu tindakan yang dilakukan. Teleologi paham benar mana
yang salah dan mana yang benar. Karena itu ajaran teleologis dapat
menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Teleologis dapat
menciptakan hedonisme ketika yang baik dipersempit menjadi yang
baik bagi diri sendiri.
Jadi, dalam sorotan etika teleologis ini, perceraian dapat saja diajukan
dengan menunjuk pada prilaku yang disebabkan oleh alasan biologis dan
psikologis.

3. Etika Teologis.
Etika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal yang baik dan buruk
berdasarkan ajaran agama. Etika ini memandang semua perbuatan moral
sebagai: 1. Perbuatan yang mewujudkan kehendak Tuhan atau sesuai
dengan kehendak Tuhan, 2. Perbuatan sebagai perwujudan cinta-kasih
terhadap Tuhan.
Jadi ketika masalah perceraian ditinjau dari sudut pandang etika kristen,
berarti segala sesuatu harus ditinjau dari sudut pandang Alkitab. Hal ini
berarti bahwa Alkitab harus dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk
menilai salah-tidaknya perceraian itu.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Fenomena kawin-cerai memang sudah menjadi hal yang biasa dijumpai dalam
kehidupan masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kalangan umat beragama. Banyak
alasan yang mendasari terjadinya perceraian, yang seakan-akan alasan tersebut telah
menjadi bukti yang cukup kuat untuk bercerai. Sehingga perceraian menjadi lebih
mudah dilakukan oleh orang-orang beragama, apalagi diperkenankan oleh lembaga
pemerintah yang menanganinya.
Perceraian dalam perspektif etika kristen atau dalam pandangan alkitab pada dasarnya
tidak diizinkan, karena perkawinan adalah kudus. Itulah yang dipercaya oleh gereja-
gereja Tuhan sampai saat ini. Karena itu gereja harus tetap memelihara kekudusan
perkawinan itu.

3.2. Saran
Menjadi tugas gereja untuk mempersiapkan warganya sebelum menikah
dengan materi-materi yang tepat, aktual dan mendasar sesuai panggilan dan tanggung

9
jawab imannya kepada Tuhan melalui katekisasi pra nikah. Dilanjutkan dengan
pendampingan dan penggembalaan yang berkelanjutan. Tapi juga sekaligus
memberikan pembinaan khusus disertai informasi tentang dampak negatif yang
disebabkan perceraian. Karena sesungguhnya dalam perkawinan kristen tidak ada
perceraian dalam bentuk apapun kecuali maut atau kematian. Seperti bunyi
FirmanNya: apa yang telah dipesatukan allah, janganlah diceraikan oleh manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L. Ch., Sekitar Etika Kristen dan Soal-Soal Etis, Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 1996
Verkuyl,J., Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
1987
Internet:

http://mustain-billah.blogspot.com/2013/01/makalah-tentang-kesaksian-orang-
tua_8.html

10

You might also like