Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
3. Tujuan Pembelajaran
B. KEGIATAN BELAJAR
1. Materi Perkuliahan
a. Aliran Jabariyah
b. Aliran Mutazilah
c. Aliran Asyariyah
d. Aliran Maturidiyah
a. Aliran Mutazilah
Kaum Mutazilah memandang bahwa Tuhan itu tidak berkuasa
mutlak. Kemutlakan kekuasaan Tuhan dibatasi oleh beberapa hal
yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri, yang mana Tuhan tidak
akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri.
Dari kerangka berpikir kaum Mutazilah dapat dipahami
bahwa hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan sehingga tidak
lagi menjadi mutlak adalah kebebasan yang dimiliki oleh manusia
dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Keadilan Tuhan,
kewajiban Tuhan terhadap manusia dan natur atau hukum alam
(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Dalam hal ini kebebasan manusia menentukan kemauan dan
perbuatannya, kaum Mutazilah sepakat bahwa manusia mampu
menciptakan perbuatannya baik dan buruk.[59]
Amr bin Ubaid (tokoh Mutazilah) berkata bahwa
sesungguhnya Washil bin Atha berpendapat bahwa manusia bebas
dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian
maka keadilan Tuhan terwujud.[60] Hal yang sama dikemukakan
pula oleh al Jubbai dan anaknya Abu Hasan ibn Salam (keduanya
dari tokoh Mutazilah Basrah). Keduanya menyetujui bahwa
manusialah yang berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh.
Kepatuhan adalah atas kemauan dan kehendak itu telah ada dalam
diri manusia sebelum terwujudnya perbuatan.[61]
Paham kaum Mutazilah mengenai kebebasan manusia
nampaknya didasari oleh paham mereka tentang keadilan Tuhan.
Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi
kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan
apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia
diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan
diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya.
Dan atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan
pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
Agar yang baik dan yang terbaik bagi kemaslahatan dan
terlaksana, maka Huzail dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan
wajib memberi perlindungan (lutf) kepada manusia, sehingga
manusia menjadi taat kepada Tuhan dan menjauhi maksiat. Dengan
demikian para Nabi yang diutus oleh Tuhan untuk memberikan
petunjuk bagi kepada jalan kebaikan dan menjauhkannya dari jalan
kemaksiatan, adalah wajib bagi Tuhan. Selain itu wajib pula bagi
Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat untuk mewujudkan
keadilannya, agar orang yang tidak baik tidak setaraf dengan orang
yang baik, orang durhaka dengan orang taat. Atas dasar itulah
maka Tuhan bagi paham al Huzail wajib memasukkan orang baik ke
syurga dan orang jahat di neraka. Kalau tidak, maka Tuhan berbuat
zalim dan hal ini mustahil bagiNya.[62]
Sebagai konsekuensi logis dari adanya kewajiban Tuhan
menurut paham Mutazilah, maka dapat dipahami bahwa bagi kaum
Mutazilah, Tuhan membatasi kekuasanNya dengan kewajiban-
kewajiban yang ia wajibkan kepada diriNya sendiri.
Selanjutnya tentang sunnah Allah, kaum Mutazilah
berpendapat bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum
alam sendiri.[63] Hukum alam itulah yang mengatur perjalanan
kosmos. Ia tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan
sendiri.[64] Apa yang dimaksud dengan sunnah Allah, Muammar
(salah seorang tokoh Mutazilah) mengemukakan bahwa
sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan sesuatu kecuali ajsam
(benda materi). Apakah dalam bentuk natur seperti pembakaran
oleh api dan pemanasan oleh matahari, ataukah dalam bentuk
pilihan (ikhtiar) seperti gerak dan diam, berkumpul dan berpisah
yang dilakukan oleh binatang. Dalam hal ini, al Jahiz
mengemukakan bahwa tiap-tiap benda materi mempunyai naturnya
masing-masing.[65]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
menurut kaum Mutazilah, setiap benda (materi) mutlak melahirkan
naturnya yang sudah merupakan hukum alam atau sunnah Allah.
Jadi Tuhan mustahil merubah api menjadi tidak membakar sebab
sudah menjadi sunnah Allah api itu membakar, dan matahari tidak
menjadi tidak memanasi sebab sunnah Allah-nya matahari itu
memanasi. Atas dasar inilah dapat dipahami bahwa Tuhan menurut
paham kaum Mutazilah tidak memiliki kekuasaan mutlak karena
dibatasi oleh hukum alam atau sunnah Allah yang Tuhan sendiri
menetapkannya.
Persoalan Keadilan Tuhan oleh kaum Mutazilah telah
dijadikannya sebagai term khusus dalam paham teologi mereka.
Term ini menjadi suatu ajaran yang merupakan salah satu dari lima
prinsip terpenting dalam paham teologi mereka. Mereka
membahasnya secara mendetail, sehingga mereka lebih suka
dinamai dengan Ahl al Adl Wa al Tauhid.[66] Kalau dengan al
Tauhid, kaum Mutazilah ingin mensucikan diri Tuhan dengan
persamaan dengan makhluk, maka dengan al Adl mereka ingin
mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan makhluk.[67]
Dikarenakan kaum Mutazilah percaya pada kekuatan akal
dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, sehingga mereka
mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan
kepentingan manusia. Berdasarkan atas tendensi inilah, maka soal
keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia.
Sehubungan dengan hal tersebut, Abd al Jabbar sebagaimana
dikutip Harun Nasution menyatakan bahwa keadilan erat
hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi
seseorang akan haknya. Kata Tuhan Adil mengandung arti bahwa
segala perbuatanNya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat
buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-
kewajibanNya terhadap manusia.[68] Dan untuk memahami bahwa
Tuhan itu adil, maka golongan Mutazilah menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai suatu tujuan dalam ciptaanNya. Dia
menghendaki kebaikan bagi yang diciptakanNya ; Dia tidak
menghendaki kejahatan dan memerintahkannya ; Dia tidak
menciptakan perbuatan manusia, tidak perbuatan baik dan tidak
pula perbuatan jahatnya.[69] Tuhan tidak mungkin menyalahi hal
tersebut. Kalau Dia menyalahi, berarti Dia berbuat tidak sesuai
dengan kepentingan kebaikan manusia yang merupakan tujuan
diciptakannya manusia itu. Ia tidak melaksanakan kewajibanNya,
dan kalau demikian halnya berarti Ia berlaku aniaya, tidak adil,
sedangkan ketidakadilan adalah mustahil bagi Tuhan.
b. Aliran Asyariyah
Persoalan kekuasaan mutlak, oleh kaum Asyariyah
dipahaminya bahwa Tuhan itu mempunyai kekuasaan mutlak. Dan
tidak tunduk kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat
lain yang dapat membuat hukum dan menentukan apa yang boleh
dibuat Tuhan; Dia bersifat absolut dalam kehendak dan
kekuasanNya. Kaum Asyariyah tidak sependapat dangan kaum
Mutazilah yang mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan dibatasi oleh
kebebasan manusia berbuat dan berkehendak ; Keadilan Tuhan ;
Keadilan Tuhan ; Kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukanNya
serta Natur atau hukum alam.
Kekuasaan mutlak Tuhan oleh Asyariyah tidak dapat dibatasi
oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan
kaum Asyariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas
berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar
kehendak Tuhan, atau sekiranya dalam kekuasaanNya terjadi apa
yang tidak dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti bahwa Tuhan
itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah
mustahil bagi Tuhan. Dengan demikian, Tuhanlah yang
menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk
perbuatan baik atau perbuatan buruk.[70] Jelasnya Tuhanlah yang
berkuasa mutlak terhadap perbuatan manusia dan manusia tidak
mempunyai kebebasan sedikit pun dalam memilih dan menentukan
perbuatan-perbuatannya.
Demikian pula tentang keadilan Tuhan yang bagi kaum
Mutazilah, membatasi kuasa mutlak Tuhan, oleh kaum Asyariyah
tidak disetujuinya. Hal ini dapat dipahami dari konsep pemikiran
mereka yang menyatakan bahwa Tuhan itu berkuasa mutlak,
seperti di uraikan di atas. Konsekuensi logis konsep kuasa mutlak
Tuhan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak sesuatu pun yang
wajib bagi Tuhan; dapat saja Tuhan berbuat sekehendakNya,
menyiksa orang jahat atau memberi nikmat orang baik atau
sebaliknya. Karena itu memasukkan orang baik ke dalam syurga
dan orang jahat di neraka yang bagi kaum Mutazilah adalah wajib
bagi Tuhan karena keadilanNya, maka bagi kaum Asyari, tidak
wajib bagi Tuhan. Sebab keadilan Tuhan bagi kaum Asyari tidak
diukur dari hak manusia tetapi diukur dari kuasa mutlak Tuhan.
Olehnya itu walaupun Tuhan memasukkan seluruh manusia di
syurga Dia tetap adil dan kalaupun Tuhan memasukkan seluruh
manusia di neraka, Dia tidak zalim, karena kezaliman terjadi kalau
seseorang melakukan perbuatan bukan hanya atau meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya.[71]
Persoalan kewajiban-kewajiban Tuhan yang oleh kaum
Mutazilah dinyatakan ada dan membatasi kuasa mutlak Tuhan,
maka oleh Asyari ditolaknya, karena menurut mereka Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa. Perbedaan pandangan ini
disebabkan karena berbedanya pandangan mereka terhadap tujuan
Tuhan dalam perbuatanNya, yang di satu pihak kaum Mutazilah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-
perbuatanNya, dan di lain pihak kaum Asyari memandang bahwa
Tuhan tidak mempunyai tujuan dalam perbuatanNya, tujuan dalam
arti sebab yang mendorongNya untuk berbuat sesuatu.[72] Karena
itu mereka menolak pendirian kaum Mutazilah yang menyatakan
bahwa Tuhan wajib memberikan perlindungan (al lutf) kepada
manusia.[73] Dengan demikian, maka tertolaklah pemikiran adanya
kewajiban bagi Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban
terhadap hamba-hambaNya.
Persoalan lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan
pandangan antara kaum Mutazilah dengan kaum Asyariyah dalam
melihat kuasa Tuhan adalah konsep janji dan ancaman Tuhan (al
wad wa al waid). Berdasarkan konsep janji dan ancaman inilah,
maka kaum Mutazilah memandang bahwa dimasukkannya manusia
ke dalam syurga atau ke neraka adalah berdasarkan amal
perbuatannya. Bagi kaum Asyariyah pandangan seperti ini ditolak.
Mereka memandang bahwa dimasukkannya manusia di surga dan
di neraka bukan karena akibat perbuatan baik dan jahatnya, tetapi
karena rahmat Tuhan semata.[74] Tuhan dapat memberi atau tidak
memberi rahmat kepada siapa saja yang diinginkannya. Jelasnya
janji dan ancaman Tuhan bagi kaum Asyariyah sama sekali tidak
membatasi kuasa Tuhan.
n-l