You are on page 1of 51

DINAMIKA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KOMODO:

Kajian dan Diskusi Kebijakan untuk Merumuskan


Rekomendasi-Rekomendasi Mendatang

MUHAMAD IKSAN

Diterbitkan oleh:
Friederich-Naumann-Stiftung fr die Freiheit
DINAMIKA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KOMODO:
Kajian dan Diskusi Kebijakan untuk Merumuskan
Rekomendasi-Rekomendasi Mendatang

MUHAMAD IKSAN
DINAMIKA TAMAN NASIONAL KOMODO: Kajian dan Diskusi Kebijakan
Untuk Merumuskan Rekomendasi-Rekomendasi Mendatang
Muhamad Iksan

ISBN

Supervisi Penerbitan Ingo Batavia Hauter


Desain Cover dan Tata Letak Indra Kusuma

Cetakan Pertama November 2016

Diterbitkan atas kerjasama

Friedrich Naumann Stiftung


Jl. Kertanegara No. 51, Kebayoran Baru
Jakarta 12110 Indonesia
Tel: (62-21) 725 60 12/13
Fax: (62-21) 727 995 39
E-Mail: jakarta@fnst.org
Website: www.fnf-indonesia.org

Dan

Freedom Institute
Website: freedom-institute.org
E-Mail: office@freedom-institute.org
Ringkasan

Perubahan iklim sebagai fenomena global membutuhkan kesepahaman antara


beragam pemangku kepentingan. Pemahaman bersama menjadi pintu masuk
dalam isu lingkungan hidup yang bertalian dengan banyak aspek dalam
perikehidupan manusia. Kehadiran Taman Nasional, dalam kajian ini yang menjadi
contoh kasus yaitu Taman Nasional Komodo memilik beragam manfaat
konservasi, selain juga eksternalitas positif bagi pengembangan kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.
Indonesia telah banyak mengadopsi dan memiliki regulasi terkait pengelolaan
Taman Nasional dan Kawasan Konservasi. Secara faktual, praktek kebijakan dan
implementasi regulasi menyangkut pengelolaan Taman Nasional serta Kawasan
Konservasi masih belum maksimal dan kerapkali menghadapi kebuntuan.
Ekowisata memiliki potensi yang menjanjikan untuk menyediakan akses bagi
warga masyarakat guna memperoleh manfaat positif keberadaan Taman
Nasional. Masalah kemiskinan dapat dicarikan solusinya melalui ekowisata.
Namun kita perlu mewaspadai dan memahami dinamika pengelolaan Taman
Nasional, khususnya menyangkut aspek antropologis warga yang berdomisili di
Taman Nasional.
Secara teoritis dan empiris, model tata kelola sumber daya bersama (governing
the commons) serta pelembagaan hak kepemilikan kepada masyakat lokal akan
memberikan peluang bagi penerapan prinsip-prinsip kebebasan dan kemajuan.
Strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dipilih pemerintah, dari teori
pilihan publik melalui model birokrasi Niskanen dan model pemburu rente (rent
seeking) Tullock, memberikan wawasan mendasar bahwa kita perlu waspada
dengan kegagalan pemerintah, yang kerap dilibatkan secara sadar guna
memperbaiki kegagalan pasar. Internalisasi eksternalitas dalam isu perubahan
iklim dan lingkungan perlu melibatkan beragam pemangku kepentingan sehingga
suara (voice) warga bisa terdengar dan diperjuangkan. Perlu pula dicantumkan
bahwa teori pilihan publik tidak berarti kita bisa hidup tanpa pemerintahan
(anarchy). Wawasan dari teori pilihan publik justru mewaspadai persoalan
mendasar dari intervensi pemerintah.
Adanya sinergi maupun koordinasi yang mantap antara kalangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan
Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di
dalam Taman Nasional. Sinergi dan koordinasi adalah dua kata yang mudah
disebutkan, namun kerapkali implementasi di lapangan tidak mudah. Maka

v
penguatan data lapangan Taman Nasional dalam memetakan potensi dan
keunikan Taman Nasional, agar dapat diketahui jasa ekosistem sebagai entitas
ekonomi. Beragam hasil riset saintifik berbasis ilmu alam dan ilmu sosial perlu
terus dikembangkan. Peran serta pihak non-pemerintah dari masyarakat sipil
maupun entitas swasta melalui peran serta pengusaha perlu terus didorong
sehingga keseimbangan kekuatan tawar menawar dapat tercipta.
Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, mempunyai
instrumen politik anggaran yang sepatutnya berpihak kepada pengelolaan
kawasan konservasi demi kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Masa
pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi saja sudah tidak bisa
dilanjutkan, bila kita mengingikan anak dan cucu serta keturunan kita merasakan
dan menjumpai sumber daya hayati seperti yang ada sekarang. Tanpa
keberpihakan dalam bentuk politik anggaran, kehadiran pemerintah tidak banyak
artinya bagi pembangunan berkelanjutan.

vi
Daftar Tabel, Gambar dan Kotak

Tabel
Tabel 1 Perkembangan pendekatan kawasan konservasi dari masa ke masa
Tabel 2 Indeks Hak Kepemilikan Indonesia
Tabel 3 Peraturan Pengaturan Taman Nasional
Tabel 4 Pendidikan di Manggarai Barat
Tabel 5 Estimasi Biaya Wisatawan

Gambar
Gambar 1 PDB per kapita Provinsi
Gambar 2 Human Development Index Provinsi
Gambar 3 Empat Tipe Jenis Barang
Gambar 4 Lokasi Taman Nasional Komodo dan Wilayah Kabupaten Manggarai

Daftar Kotak
Kotak 1 Perkembangan pendekatan kawasan konservasi di Indonesia
Kotak 2 Tata Kelola Common Pool Resources (CPR)
Kotak 3 Aplikasi Pilihan Publik (public choice) dalam Pengelolaan Lingkungan
Kotak 4 Apa selanjutnya untuk ekowisata TN Komodo

vii
Daftar Isi

Ringkasan ............................................................................................................................ v
Daftar Tabel, Gambar, dan Kotak ........................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah . ................................................................................................................. 3
Metode Kajian ........................................................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 7
Taman Nasional, Kawasan Konservasi dan Perkembangannya ............................................ 7
Eksternalitas, Sumber Daya Milik Bersama, Serta Prinsip Liberal
dalam Pengelolaan CPR .......................................................................................................... 11
Taman Nasional sebagai Jasa Ekosistem serta Perubahan Iklim ........................................ 18
Tentang Perubahan Iklim ...................................................................................................... 19
Regulasi Pengelolaan Taman Nasional .................................................................................. 20
BAB III DISKUSI KEBIJAKAN .............................................................................................. 23
Lokasi TN Komodo, Kondisi Geografis dan Demografis
Kabupaten Manggarai Barat ................................................................................................. 23
Potensi Ekowisata TN Komodo dan Kendala-Kendalanya ................................................... 26
Dinamika Pengelolaan TN Komodo ....................................................................................... 31
Politik Anggaran Berdasarkan Teori Pilihan Publik .............................................................. 34
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 37
Kesimpulan dan Saran ......................................................................................................... 37
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 39
Profil Penulis ....................................................................................................................... 41
Profil FNF .......................................................................................................................... 43

ix
Bab I
Pendahuluan

Latar Belakang
Keberadaan Taman Nasional (TN) memiliki fungsi dan peran strategis bagi kelangsungan
pembangunan berkelanjutan. Berbagai studi maupun kajian telah banyak dilakukan oleh
peneliti maupun aktivis lingkungan diantaranya: Yani Saloh (2015), Moeliono et al (2010),
Karl Brandt (2003), dan lain sebagainya. Fungsi TN sebagai bagian dari kawasan
konservasi merupakan bagian dari hutan- yang berperan sebagai penyedia jasa
lingkungan.
Jasa lingkungan dapat didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi
ekosistem hutan, dimana manfaatnya dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung
(Saloh, 2015). Jasa lingkungan telah menjadi fokus kajian global yang dimotori oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai tahun 2001. Inisiatif ini juga melibatkan lebih dari 1,300
dari seluruh dunia. Tujuan utama Millenium Ecosystem Assesment (MEA) sebagai
instrumen analisis konsekuensi perubahan ekosistem terhadap kesejahteraan manusia,
dan selanjutnya meletakkan basis keilmuan untuk melakukan konservasi dan
pemanfaatan yang berkelanjutan. Dalam suatu lapoan MEA (2005) menekankan
pentingnya keanekaragaman hayati menjadi fondasi yang memungkinkan adanya jasa
lingkungan (Napitupulu, 2010).

Saat ini kita mempunyai 51 (lima puluh satu) buah TN yang tersebar diberbagai
kepulauan Nusantara mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua. TN ditetapkan guna melindungi ekosistem asli dengan
pengelolaanya berada di Balai Taman Nasional, penyelenggaraan serta pengelolaan TN
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) level provinsi. UPT-UPT ini bertanggung
jawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Studi ini berfokus pada pengelolaan TN Komodo dengan beberapa pertimbangan


sebagai berikut: pertama, TN Komodo merupakan salah satu dari lima TN pertama yang
digagas pemerintah pada tahun 1980an bersama dengan TN Gunung Leuser, TN Gede
Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Baluran serta TN Komodo dengan luas kawasan total
mencapai 1,4 juta Hektar. Sejarahnya yang panjang memberikan dinamika tersendiri bagi
generasi penerus untuk dapat dipelajari. Kedua, predikat yang disandang Taman Nasional
kebanggaan NTT ini juga cukup mentereng mulai dari The New Seven Wonder of Nature

1
pada tahun 2012 yang diselenggarakan oleh New 7 Wonders Foundation Benard Weber 1.
TN komodo juga temasuk dalam World Heritage Site dari Badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk Saintifik, Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO). TN Komodo bersama
dengan TN Lorentz, TN Ujung Kulon, serta Hutan Hujan Tropis Sumatera menjadi Situs
Warisan Dunia 2 yang membanggakan.

Menurut UNESCO dalam studi kasusnya sebagian besar situs-situs warisan dunia
tersebut kini terancam kelangsungannya oleh masifnya perubahan iklim. Perubahan iklim
telah terasa saat ini juga di masa depan bagi situs warisan dunia. Guna menjaga
kelangsungannya pemahaman dampak perubahan iklim melalui apa yang dinamakan
dengan Nilai Universal Terkemuka (Oustanding Universal Value) diharapkan mampu
memberi solusi yang efektif. Dokumen dan studi terkait perubahan iklim dan situs
warisan dunia dapat kita akses pada tautan berikut 3.

Ketiga, Taman Nasional di wilayah Kabupaten Manggarai Barat juga sebagai cagar
biospher yang memiliki keunikan tersendiri. Bersama dengan TN Cibodas, TN Lore Lindu,
TN Tanjung Puting, TN Gunung Leuser, TN Siberut dan cagar biosfer Giam Siak Kecil Bukit
Batu di Riau. Cagar biosfer didefinisikan sebagai kawasan konservasi ekosistem daratan
atau pesisir yang diakui oleh Program MAB - UNESCO 4 (Man and The Biosphere
Programme United Nations Education Social and Cultural Organization) untuk
mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam.

Berdasarkan ketiga pertimbangan pokok inilah, pada hemat penulis, TN Komodo


patut dikaji dan dibahas lebih mendalam menyangkut dinamika pengelolaannya.
Moeliono et al (2010:3) mengemukakan pengelolaan TN di Indonesia menghadapi
beragam permasalahan krusial diantaranya kebijakan penetapan TN, ketidakpastian
hukum, tumpang tindihnya aturan, sampai dengan problematika sosial budaya. Lebih
mendalam, Yani Saloh (2015) menunjukkan dalam contoh kasus Taman Nasional Betung
Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saloh menceritakan bagaimana
dalam kawasan TN Betung Kerihun, marak penambangan liar selain daripada sulitnya
infrastruktur seperti jalan membuat suku asli Dayak di sana menjadi sangat terisolasi dan
tertinggal dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah terdekat lainnya.

Walaupun demikian, Taman Nasional Komodo juga tercatat sebagai contoh nyata
inisiatif manajemen kolaboratif yang mampu mengandeng organisasi global The Nature
Conservancy (TNC), termasuk dalam konservasi wilayah maritim, menjadi contoh
keberhasilan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan (Rili Djohani, 2009
dalam Cribb dan Ford (eds), 2009). Sejak tahun 1995, TN Komodo telah memperoleh

1
http://www.kompasiana.com/yudhaheka/taman-nasional-komodo-resmi-menjadi-the-new-seven-wonders-
of-nature_5510820f8133115a3bbc6496
2
http://whc.unesco.org/en/statesparties/id
3
http://whc.unesco.org/en/climatechange/
4
https://alamendah.org/2010/12/29/cagar-biosfer-di-indonesia/

2
dukungan dari TNC guna pengawasan, monitoring, outreach serta berbagai program
pendampingan bagi masyarakat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kerjasama
ini berhasil meningkatkan kualitas karang laut di sekitar perairan Pulau Komodo dan
Pulau Rinca antara tahun 1996-2002, melalui pengurangan signifikan penangkapan ikan
menggunakan dinamit (Djohani, 2009:165).

Pada periode yang sama, Dirjen PHKA dengan dukungan TNC telah berhasil
membuat rencana pengembangan Taman Nasional untuk jangka waktu 25 tahun
(Djohani, 2009). Dokumen ini dihasilkan melalui konsultasi yang intensif dengan para
pemangku kepentingan, studi sosioekonomi, serta survei ekologis. Dokumen ini pula
yang menjadi basis kerangka hukum bagi penggunaan sumber daya yang berada didalam
Taman Nasional. Sumber daya dimaksud mencakup zona alam bebas (wilderness zone),
zona turisme (tourism zone), dan zona perikanan terbuka (pelagic fishery zone). Tujuan
akhir dari adanya dokumen rencana pengembangan TN Komodo adalah perlindungan
bagi biodiversitas, termasuk Naga Komodo dan stok cadangan ikan tangkap bagi
keberlanjutan pengelolaan usaha perikanan di wilayah sekitar. Cara yang ditempuh
melalui upaya mengurangi ancaman terhadap wilayah sumber daya maupun konflik
dengan berbagai aktivitas yang tidak menunjang tujuan tersebut (Djohani, 2009).

Rumusan masalah
Yando Zakaria (2012) dalam presentasi berjudul Kemiskinan, Budaya, dan Perekonomian
Rakyat dalam Bisnis Keajaiban Komodo menyatakan masalah kemiskinan yang mendera
warga desa di Pulau Komodo maupun wilayah pesisir pantai dikarenakan semakin
menyempitnya ruang gerak ekonomi masyarakat yang tinggal di Pulau. Disamping
semakin derasnya migrasi nelayan pendatang karena alasan potensi sumber daya yang
bersifat moneter/uang cukup intens, sehingga membawa tekanan pada lingkungan.
Sementara itu, sektor usaha masyarakat selain sektor ekstraktif penangkapan ikan masih
belum berkembang dengan optimal, misalnya: seni ukir, usaha rumahan abon ikan
maupun jasa pemandu wisata (ranger).

Secara umum, persoalan kemiskinan bukan hanya mendera nelayan yang berasal
dari Pulau Komodo saja. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih belum melepaskan
diri dari kemiskinan warganya. Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, tercatat sebagai
Provinsi termiskin berdasarkan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam
Dollar Amerika (USD). PDB per kapita NTT jauh dibawah PDB per kapita Indonesia yang
mencapai 3.000 USD per tahun. PDB per kapita NTT sedikit lebih baik dari Maluku dan
Maluku Utara seperti tergambar pada Gambar 1 di bawah ini

3
Sumber: Biro Pusat Statistik

Dari aspek pembangunan manusia yang diukur melalui indeks pembangunan


manusia (Human Development Index - HDI), provinsi NTT juga belum mencatatkan prestasi
yang menggembirakan. NTT tercatat sebagai salah satu dari sepuluh Provinsi dengan HDI
terendah yaitu 66,6 untuk tahun 2010. HDI NTT sedikit di atas Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Papua seperti disajikan pada Gambar 2 berikut:

Sumber: Biro Pusat Statistik

Cerita-cerita yang menyedihkan tentang kondisi NTT yang terbelakang masih


panjang daftarnya bila kita ingin menyigi lebih mendalam, dari sisi tingkat pengangguran,
tingkat elektrifikasi Rumah Tangga, serta proporsi Rumah Tangga yang masih
menggunakan kayu untuk memasak. Pertanyaannya kemudian, mengapa warga NTT
masih belum lepas dari belenggu kemiskinan?

Kuncinya terletak pada ketiadaan akses dan kapasitas untuk dapat berpartisipasi
aktif dalam kegiatan ekonomi yang produktif. Seperti diuraikan Kusumanto dan Satria

4
(2011) dalam Zakaria (2012) dimana karakteristik ekonomi berbasis usaha nelayan yaitu:
(i). ketidakpastian yang tinggi karena tangkapan ikan sangat tergantung pada musin
sehingga pola perolehan hasil tangkap menjadi tidak menentu. (ii). Hubungan sosial
ekonomi yang memiliki pola patron-klien sehingga surplus atau keuntungan lebih banyak
pada pihak patron. (iii). Kebijakan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat
yang tidak mendukung.

Karl Brandt (2003) melakukan studi antropologis tentang mengapa kebudayaan


masyarakat kampung komodo terancam. Ia mengajukan hipotesis penelitian dimana
perlindungan terhadap Komodo menjadi prioritas ketimbang menyejahterakan
komunitas. Sesuatu situasi yang sangat berbeda dari kebanyakan wilayah Indonesia
lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajikan rumusan masalah: bagaimana


dinamika pengelolaan Taman Nasional Komodo yang terfokus pada dua hal sebagai
berikut: Pertama, tentang kondisi kemiskinan warga dan potensi ekowisata berbasis
masyarakat. Hal yang menyangkut isu pertama juga apakah terjadi konflik perebutan
sumber daya antara masyarakat dengan pihak penguasa wilayah setempat sebagai
otoritas pemerintahan lokal. Kedua, tentang kebijakan anggaran dari pemerintah melalui
aparat terkait guna melakukan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Hal
yang dibahas dari isu kedua ini menyangkut sejauhmana anggaran didesain,
diimplementasikan, dan dievaluasi guna mencapai tujuan dan rencana awal.

Metode Kajian
Makalah ini menggunakan metode studi literatur yang memanfaatkan studi-studi
maupun kajian-kajian sebelumnya. Analisa data menggunakan metode deskriptif yaitu:
penulis menarasikan temuan studi, data kuantitatif serta kualitatif, maupun hasil
penelitian guna menjawab dua masalah pokok dalam rumusan masalah di atas. Beberapa
literatur yang digunakan secara intensif diantaranya: (1). hasil riset Karl Brandt tahun
2003 dari Fakultas Asian Studies Australian National University (ANU-Australia), (2).
Laporan studi lembaga Paramadina Public Policy Institute (2012) tentang penelitian dan
pengembangan kebijakan publik Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. (3). Laporan
studi lembaga Indonesia Budget Center (IBC, 2015) tentang Efektivitas Anggaran
Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Ditjen PHKA Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dokumen pendukung yang dipergunakan antara lain: (i). Yani Saloh (2015) Kajian
Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang Ekonomi dan Menjaga
Stabilitas Iklim, (ii). makalah presentasi R. Yando Zakaria tahun 2012 untuk Yayasan
Komodo Kita tentang Kemiskinan, Budaya dan Perekonomian Rakyat dalam Bisnis
Keajaiban Komodo, serta sumber-sumber lainnya seperti Moira Moeliono et al (2010) dari

5
Center for International Forestry Research, Arianto Patunru dan Anthea Haryoko (2015),
R David Simson (2016) PERC Policy Series No.55, dan James Salzman (2010) PERC Policy
Series No.48. Beberapa bab dalam buku: Indonesia beyond the waters edge: Managing an
Archipelagic State oleh Robert Cribb dan Michele Ford (eds) tahun 2009 dan
Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim oleh Iwan Jaya Azis, Lydia
M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) tahun 2010 memperkaya
wawasan dan khazanah literatur penulis guna memperoleh perspektif yang lebih luas
serta komprehensif dalam menganalisis dinamika pengelolaan Taman Nasional di wilayah
Manggarai Barat ini.

6
Bab 2
Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka, penulis menyajikan telaah literatur yang terdiri atas beberapa
sub-bab antara lain: Pertama, penulis mengulas konsep seputar Taman Nasional,
Kawasan Konservasi dan Perkembangan berisikan sejarah singkat beserta paradigma
yang melatarbelakangi kehadiran Taman Nasional beserta Kawasan konservasi. Selain itu
akan disajikan kriteria penunjukan Taman Nasional, dinamika ekspansi penetapan Taman
Nasional dari masa Orde Baru sampai saat ini.

Kedua, tinjauan pustaka mengelaborasi tentang konsep eksternalitas, internalisasi


eksternalitas, empat tipe barang (four types of goods), barang sumber daya bersama
(common pool resources - CPR) serta prinsip liberal dalam pengelolaan sumber daya
bersama menjadi sub-bab selanjutnya. Prinsip Liberal yang dimaksud ialah peran dan
fungsi hak kepemilikan (property rights) serta kondisi umum penerapan konsep property
rights di Indonesia menggunakan indeks hak kepemilikan. Prinsip liberal selanjutnya yaitu
keterlibatan beragam pemangku kepentingan yang memungkinkan terjadinya check and
balance dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, Sub-bab akan mengulas beberapa aspek terkait perubahan iklim serta
bagaimana strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam konteks keberadaan
Taman Nasional. Hal lain yang dibahas dalam sub-bab ketiga adalah ekowisata sebagai
salah satu jasa lingkungan (ecosytem services), termasuk implikasi ekonomi dari
penerapan ekowisata berbasis komunitas.

Keempat, penulis menegulas regulasi serta kebijakan yang berlaku dalam


pengelolaan Taman Nasional. Peraturan yang dibahas mulai dari tataran Undang-Undang
sampai peraturan teknis berupa Peraturan Menteri. Pembahasan soal regulasi serta
kebijakan teknis guna memperoleh deskripsi rule of the game pengelolaan Taman
Nasional dari waktu ke waktu.

Taman Nasional, Kawasan Konservasi dan Perkembangannya


Tujuan utama Pemerintah menetapkan Taman Nasional serta Kawasan Konservasi
lainnya tercatat sebagai aset umum Pemerintah- adalah pelestarian keanekaragaman
hayati dan pengembangan jasa lingkungan. Taman Nasional sebagai bagian dari kawasan
konservasi tempat terbaik menyaksikan keanekaragaman, keunikan beserta keindahan
flora juga fauna yang endemik, dilindungi dan khas wilayah nusantara. Misalnya TN

7
Gunung Halimun Salak memiliki vegetasi pegunungan khas Jawa Barat, serta habiat bagi
burung elang jawa juga lutung jawa. Sementara TN Kutai merupakan representasi hutan
dataran rendah khas Kalimantan Timur yang kaya akan jenis dipterokarpa seperti meranti
serta juga tempat tinggal bagi Orang Utan (Moeliono et al, 2010).

Taman Nasional-Taman Nasional kita telah banyak memperoleh pengakuan dari


dunia internasional, dalam paper ini misalnya, TN Komodo mendapat predikat New 7
Wonder, World Heritage Site, dan Cagar Biospher (Saloh, 2015). Lebih dari sekedar
pengakuan, kita mungkin telah sama-sama mengetahui potensi ekonomi dan kesehatan
yang berasal dari tanaman obat hasil hutan. Menurut Saloh (2015:17-18), sebagian besar
obat hasil hutan untuk industri yang berada di Pulau Jawa diperoleh dari Taman Nasional
Meru Betiri dan KPH Saradan Madium. Adapun potensi tanaman obat yang berada di TN
Meru Betiri mencakup 239 jenis tanaman obat yang tergolong dalam 78 famili, sangat
memadai untuk mendukung industri obat tradisional di Pulau Jawa.

Walaupun demikian, kewaspadaan perlu terus dijaga dalam melihat potensi


Taman Nasional ini. Meski potensi sosio-ekonomis Taman Nasional tinggi, tidak lantas
bisa kita eksplotasi secara berlebihan. Dampaknya eksploitasi masif ialah yang kita kenal
dengan the tragedy of the commons 5. Karena hutan, danau, daerah aliran sungai, serta
kawasan konservasi umumnya tidak dimiliki secara pribadi, maka tidak ada pihak yang
bertanggung jawab terhadap kesinambungannya. Berbeda dari kepemilikan pribadi
(private property) dimana pemilik akan menjaga keberlangsungan sumber daya yang Ia
milik untuk masa sekarang dan selanjutnya. Pembahasan lebih detail tentang tragedy of
commons pada sub-bab kedua tinjauan pustaka ini.

Sejarah pembentukan taman nasional diinisiasi oleh terbitnya Undang-Undang


Monumen Alam (cagar alam) melalui Lembar Negara no.278 tertanggal 18 Maret 1916, hal
ini menjadi dasar bagi Gubernur Jenderal Belanda guna menunjuk dan menetapkan
kawasan. Kita tentu mengenal cagal alam di Bengkulu (bengkulen) dalam rangka
perlindungan bunga bangkai (rafflesia arnoldi). Cagar alam Leuser juga telah ditetapkan
sebelum Indonesia Merdeka tahun 1934.

Perkembangan pendekatan yang dipilih Pemerintah mulai dari konservasi berbasis


ekosistem dan spesies kunci (flagship species) pada era 1970-an, munculnya paradigma
fortress conservation yang mengadopsi pendekatan pengamanan (security approach) di
dekade 1980-an. Sementara itu, era 1990-an sampai sekarang pendekatan konservasi
baru mulai diterapkan pada beberapa TN di Indonesia. Catatan terpentingnya pada

5
Garrett Hardin tercatat sebagai orang yang pertama menggunakan konsep the tragedy of the common,
lihat Garrett Hardin (1968), The tragedy of the commons, Science 162 no.3859: 1243-1248. Hardin
mengusulkan alternatif terhadap tragedi common ini dengan privatisasi common dan/atau mendefinisikan
hak kepemilikan atas common tersebut.

8
pendekatan ini yakni kehadiran lembaga konservasi internasional seperti World Wide
Fund, The Nature Conservancy (TNC), dan Conservation International (CI), dengan
memperoleh dukungan pendanaan dari lembaga donor internasional semisal Asian
Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan USAID (United State Agency for International
Development) (IBC, 2015). Jumlah kawasan konservasi secara langsung mengalami
peningkatan, dari lima TN menjadi 51 TN. Moeliono et al (2010:) menandaskan bahwa:

Ekspansi kawasan konservasi di Indonesia bukanlah semata-mata


inisiatif pemerintah, melainkan sangatlah dipengaruhi oleh tumbuhnya
kesadaran lingkungan masyarakat dunia, menguatnya agenda
konservasi di tingkat global, dan meningkatnya komitmen lembaga
pendanaan internasional untuk mendukung konservasi SDA.

Kata kunci yang dari penjelasan peneliti CIFOR di atas kini pemerintah bukan
pelaku utama upaya konservasi, melainkan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh institusi
global (pemain global konservasi) serta pula lembaga donor internasional. Kompleksitas
muncul dari jarangnya dilibatkannya semua pemangku kepentingan yang berada dalam
kawasan konservasi, padahal mereka telah menjadi bagian dari kawasan itu sendiri
melalui adat dan kebudayaan mereka sendiri.

Tantangan lain selain absennya pelibatan sebanyak mungkin pemangku


kepentingan, berubah-ubahnya pengertian kawasan konservasi pada tataran regulasi
perundangan. Misalnya UU 5/1990 menyatakan kawasan konservasi merupakan Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sementara Surat Keputusan
Dirjen PHKA 129/1996 memperluas definisi kawasan konservasi menjadi KSA, KPA, taman
berburu dan hutan lindung. Apakah tidak konsistensi definisi ini disengaja? Penulis tidak
dapat menjawabnya. Penulis hanya dapat menduga inkonsistensi ini tidak dimaksudkan
demikian karena sifat UU yang umum sementara peraturan turunan sangat sempit.

Kotak 1
Perkembangan pendekatan kawasan konservasi di Indonesia

Cagar alam Pancoran Mas di Depok Jawa Barat tercatat sebagai cagar alam peninggalan zaman
penjajahan Belanda, sayangnya sangat terbengkalai dan terpuruk (Saloh, 2015; Moeliono et al,
2010). Cerita dibalik Pancoran Mas berawal dari hibah dari Cornelis Castelein, partikelir/swasta
Belanda, dengan tujuan mempertahankan keaslian hutan belantara di Depok serta fungsinya
sebagai resapan air. Ekspansi dari masa ke masa kawasan konservasi telah dilakukan pemerintah
sesuai perkembangan kesadaran global dunia menyangkut lingkungan, penyelamatan Sumber
Daya Alam yang langka dan pendekatan yang ditempuh Pemerintah RI. Tabel 1 merangkum
perkembangan pendekatan kawasan konservasi dari masa ke masa.

Dekade Pendekatan Dominan Peristiwa/Kejadian sebagai


(Pemerintah) dan Regulasi Faktor Pendorong (Global)
Pendukung

9
Akhir Konservasi berbasis Pemerintah membutuhkan waktu 12 tahun
1970-an ekosistem dan spesies untuk ratifikasi CITES 1978 melalui UU 5/1990
kunci tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem
Indonesia meratifikasi
CITES (Convention on
International Trade of
Endangered Species of
Wild Fauna and Flora)
1980-an Fortress conservation Model adopsi TN Yellowstone, Amerika Serikat
Dirjen PHPA di Dephut Strategi pelestarian dunia, Indonesia bersama
terbentuk Brazil, Kolombia, Meksiko, Zaire beserta
Kemeneg Tanzania dikukuhkan sebagai Negeri Maha
Pembangunan dan LH Anekaragam (megadiversity country)
menjadi Kemeneg LH Kongres TN dan Kawasan Lindung Sedunia di
Bali, 1982, Indonesia memulai mengembangkan
gerakan konservasi nasional dengan deklarasi 11
TN
Kongres kehutanan sedunia ke-8 di Jakarta
dengan tema hutan bagi masyarakat (forrest
for people)
1990-an - Kerjasama internasional Kongres Kehutanan sedunia ke-9 di Meksiko
sekarang dan konservasi baru penekanan pada konservasi lingkungan melalui
serta mobilisasi dana penghijauan
internasional Kongres TN dan Kawasan Lindung se-Dunia ke-4
UU 5/1990 tentang di Caracas dengan tema park for life serta
Konservasi SDA Hayati ratifikasi biodiversity
dan Ekosistem Simposium Albani 1997 sebagai kelanjutan
UU 41/1999 mengganti Kongres Caracas mengidentifikasi empat hal
UU Pokok Kehutanan perubahan besar dalam pengelolaan TN dan
5/1967 kawasan lindung: (1). Perubahan titik pandang
UU pengesahan KK dari konsepsi kepulauan menjadi jaringan
Konvensi PBB tentang kerja; (2). KK menjadi pertimbangan utama
Keanekaragaman dalam perumusan kebijakan publik; (3). KK
Hayati 5/1994 dapat dikelola masyarakat, untuk dan bersama
UU 23/1997 tentang masyarakat; (4). Membangun kapasita
Pengelolaan LH berkesinambungan untuk pencapaian standar
PP 68/1998 tentang KSA pengelolaan
dan KPA
Sumber: IBC (2015); Moeliono et al (2010); Saloh (2015) diolah kembali

Boleh dikatakan semakin tahun upaya keras Pemerintah bersama pelaku lingkungan global
semakin ekspansif dan menelurkan konsep terbaru dalam pengelolaan sumber daya ini. Tentu
saja secara kuantitas, kawasan TN bertambah walaupun tantangan internal (berasal dari dalam
organisasi TN) maupun tantangan eksternal (berasal dari faktor luar) masih tetap ada.

Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman
nasional meliputi (Saloh, 2015:12-13): (1). memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem
yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; (2). memiliki
satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; (3). mempunyai luas yang cukup untuk
menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan (4). merupakan wilayah yang
dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya

10
sesuai dengan keperluan. Sedangkan dalam rangka pemanfaatan Taman Nasional berikut
beragam kegiatan yang dapat dilaksanakan didalamnya:

1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; misalnya : tempat penelitian, uji


coba, pengamatan fenomena alam, dll
2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; misalnya : tempat
praktek lapang, perkemahan, out bond, ekowisata, dll
3. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air,
panas, dan angin serta wisata alam; misalnya :pemanfaatan air untuk industri air
kemasan, obyek wisata alam, pembangkit listrik (mikrohidro/pikohidro), dll
4. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; misalnya : penangkaran rusa, buaya,
anggrek, obat-obatan, dll
5. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; misalnya : kebun
benih, bibit, perbanyakan biji, dll. pemanfaatan tradisional.
6. Pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan
kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang
tidak dilindungi.

Adapun menyangkut mekanisme pemanfaatan bersama pihak ketiga maka


terlebih dahulu membangun kesepahaman/kesepakatan/kolaborasi dengan pengelola
Taman Nasional dalam rangka pemanfaatan potensi kawasan. Kebijakan ini sesuai
regulasi Kementerian Kehutanan melalui Permenhut nomor P19/ Menhut/2004.
Sementara itu, terhadap masyarakat di sekitar TN dilakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat telah dilakukan melalui: pertama,
pengembangan desa konservasi; kedua, pemberian izin untuk memungut hasil hutan
bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin
pengusahaan jasa wisata alam; serta ketiga, fasilitasi kemitraan pemegang izin
pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

Eksternalitas, Sumber Daya Milik Bersama serta Prinsip Liberal dalam


pengelolaan CPR
Dalam displin ilmu ekonomi, eksternalitas menjadi konsep terpenting dalam memahami
fenomena/isu menyangkut lingkungan. Eksternalitas adalah dampak tindakan ekonomi
seseorang atau satu pihak terhadap orang atau pihak lain tanpa disertai aliran
kompensasi. Eksternalitas menyebabkan perbedaan persepsi akan biaya dari sudut
pandang individu versus sudut pandang sosial (masyarakat). Masalah sungai atau
lingkungan hidup yang tercemar karena pabrik membuang limbah hasil produksi secara
eksesif tanpa proses pengolahan limbah yang handal, menjadi contoh eksternalitas.
Dalam hal ini, eksternalitas negatif yaitu tidak diperhitungkannya biaya kerusakan
lingkungan akibat polusi yang ditimbulkan melalui proses produksi oleh pemilik pabrik.

Bagaimana solusi terhadap eksternalitas negatif? Caranya pemilik pabrik harus


memperhitungkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam keputusan bisnisnya,
misalnya dengan mengharuskan membayar sejumlah pajak atas limbah yang
11
diproduksinya. Solusi ini yang disebut dengan internalisasi eksternalitas negatif. Selain
eksternalitas negatif, maka dimungkinkan pula terdapat eksternalitas positif. Misalnya
perusahaan mengembangkan teknologi tepat guna dan murah guna membantu proses
persalinan ibu hamil di daerah pedalaman, sehingga dapat menekan angka kematian ibu
dan anak. Maka teknologi persalinan tadi menjadi contoh eksternalitas positif. Dalam hal
ini, pemerintah dapat menyubsidi harga alat persalinan sehingga dapat diproduksi secara
murah dan masif. Internalisasi eksternalitas positif melalui instrumen subsidi.

Beberapa penjelasan dari para ahli atas definisi eksternalitas sebagai berikut:
pertama, eksternalitas sebagai kasus ketika tindakan satu pelaku ekonomi berdampak
pada utilitas atau fungsi produksi pelaku ekonomi lainnya, tanpa pihak lain tersebut ikut
andil dalam pengambilan keputusan atas tindakan tersebut (Just el al, 2004). Kedua,
eksternalitas sebagai kerugian (atau manfaat) yang dialami suatu individu/perusahaan
akibat kegiatan yang dilakukan oleh individu/perusahaan lain, namun individu/perusahaan
yang menderita kerugian (atau memperoleh manfaat) tidak dibayar (atau tidak
membayar) atas dampak yang mereka rasakan (Stiglitz, 2000). Ketiga, eksternalitas
sebagai tindakan produsen atau konsumen yang mempengaruhi (menimbulkan efek
terhadap) konsumen atau produsen lain, tapi tidak diperhitungkan dalam pembentukan
harga (Pyndick, 2005).

Dari ketiga konsep Just el al (2004), Stiglitz (2000), dan Pyndick (2005) ada tiga hal yang
menjadi karakteristik eksternalitas, yaitu:

Pertama Kedua Ketiga

Ada pelaku ekonomi yang Pihak yang terkena dampak Tidak ada aliran kompensasi
secara riil terkena dampak (baik dampak positif yang menyertai dampak
aktivitas pelaku lainnya. maupun negatif) tidak ikut tersebut (baik berupa
menentukan, atau pemberian ganti rugi bila
mengambil keputusan, dampaknya negatif, atau
tentang aktivitas yang akan pembayaran kompensasi
berdampak pada dirinya bila dampaknya positif).
tersebut.

Sumber: Hartono, Yusuf, dan Resosudarmo (2010:53)

Selain konsep eksternalitas, dalam bagian ini, penulis memperkenalkan pula empat tipe
barang (goods) yang diidentifikasi oleh ilmu ekonomi berdasarkan sifat kemampuan
untuk dikecualikan (excludability) serta sifat kompetisi dalam mengonsumsinya (rivalary
in competition) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3 di bawah ini:

12
Barang privat (private good) adalah barang yang untuk mengonsumsinya perlu
saling bersaing antar pelaku ekonomi (high rivalary in consumption), disamping
sifatnya dapat mengesampingkan dengan mudah pelaku ekonomi yang tidak
membelinya (high excludability). Misalnya: es krim di musim panas, donat dan kopi
hangat dan lain sebagainya.
Barang klub (club good) adalah barang yang untuk mengonsumsinya tidak perlu
saling bersaing antar pelaku ekonomi (low rivalary in consumption), sementara
sifatnya dapat mengesampingkan dengan mudah bagi pelaku ekonomi yang tidak
berkontribusi (high excludability). Misalnya: jasa perpustakaan bagi mahasiswa di
satu universitas, tersedianya lift bagi pengunjung mal, dan lain sebagainya.
Barang Sumber Daya Bersama (common resources) merupakan barang yang untuk
mengonsumsinya perlu saling bersaing antar pelaku ekonomi (high rivalary in
consumption), sedangkan sifatnya tidak dapat mengesampingkan dengan mudah
pelaku ekonomi yang tidak mengeluarkan biaya (low excludability). Misalnya:
irigasi bagi petani, danau dimana pemancing bisa memancing ikan, dan lain
sebagainya.
Barang publik (public goods) merupakan barang yang untuk mengonsumsinya
tidak perlu saling bersaing (low rivalary in consumption), sementara sifatnya tidak
dapat mengesampingkan dengan pelaku ekonomi lainnya juga tidak mudah.
Misalnya: pertahanan keamanan suatu negara, pemadam kebakaran (fire
fighters), dan lain sebagainya.

Keberadaan taman nasional dan kawasan konservasi termasuk dalam contoh


barang sumber daya bersama atau lebih dikenal dengan Common-Pool Resources (CPR).
Dengan dua sifat utamanya pertama, tingginya tingkat kompetisi antara pelaku ekonomi
untuk mengonsumsinya dan kedua, rendahnya excludability dari Taman Nasional bagi
pelaku ekonomi yang ingin mengonsumsinya. Dengan bahasa yang sederhana, orang
yang ingin menikmati fasilitas Taman Nasional Komodo perlu mengeluarkan sejumlah
uang untuk tiket masuk (high rivalary in consumption) dan tidak mudah mengeluarkan
orang yang tidak membayar tikat masuk (low excludability) misalnya bagi penduduk asli
di sekitar kawasan Taman Nasional.

Karena sulitnya mengesampingkan pihak yang boleh mengonsumsi sumber daya


bersama (CPR) dan barang publik (public goods) menimbulkan dampak yang disebut

13
dengan the tragedy of the commons. Disamping tragedy of common, sangatlah sulit untuk
dikatakan mustahil memberikan harga dari barang non-private. Hal ini dikenal dengan
problematika menentukan biaya sosial dari tindakan privat, yang dikemukakan oleh
Ronald Coase melalui paper klasik tahun (1960), the problem of social cost.

Kiesling (2016) memberikan pandangan yang intuitif, dalam menggunakan dua


konsepsi tragedy of commons serta social costs, Elinor Ostrom memandang kontinum dari
barang privat dan CPR. Ketimbang melakukan kategorisasi barang privat murni dan
barang sumber daya bersama murni, maka ada baiknya kita mulai menganggap private
goods serta common-pool resources sebagai kontinum dengan gradasi mulai dari barang
privat murni hingga barang sumber daya bersama murni.

Kotak 2
Tata Kelola Common Pool Resources (CPR)

Metode pengambilan keputusan secara koletif, kontrol oleh publik, diskusi dan mekanisme-mekanisme
untuk resolusi konflik, pembukaan bidang-bidang keahlian baru, dan interkoneksi-semua ini adalah kriteria
untuk tata kelola sumber daya milik bersama seperti yang didefinisikan oleh Elinor Ostrom. Melalui studi
antropologis di lapangan, Ostrom peraih Nobel Ekonomi tahun 2009- menunjukkan bahwa negara
maupun pasar tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan sumber
daya milik bersama.Dalam bukunya yang berjudul Governing the Commons, berdasarkan observasi atas
keberagaman solusi empiris, Ostrom menunjukkan bahwa peraturan mengenai eksploitasi sumber daya
milik bersama mungkin dilakukan asalkan penduduk lokal diikut sertakan dalam prosesnya.

Dari sistem irigasi di Filipina sampai perikanan di Sri Langka dan akuifer di California, banyak studi yang
dilakukan oleh Elinor Ostrom menunjukkan bahwa strategi lokal tentang organisasi-diri, kerjasama, dan
pertukaran informasi adalah hal-hal yang memungkinkan eksploitasi kolaboratif sumber daya milik bersama
terjadi tanpa menghabiskannya.Kesulitan-kesulitan muncul ketika aturan-aturan lokal ini bertentangan
dengan para pemilik luar misalnya, perusahaan-perusahaan yang memompa air dari aquifer dan gagal
menyadari status sumber daya tersebut atau para nelayan industri yang menghancurkan nelayan-nelayan
lokal. Delapan prinsip tata kelola CPR:

14
Prinsip kesatu
Ditentukannya batas-batas dengan jelas (secara efektif tidak menyertakan pihak eksternal yang
tidak berhak)
Prinsip kedua
Adanya aturan-aturan mengenai provisi sumber daya milik bersama yang diadaptasi ke kondisi
lokal
Prinsip ketiga
Pengaturan kolektif yang memungkinkan sebagian besar pemilik sumber daya berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan
Prinsip keempat
Monitoring efektif yang dilakukan pihak-pihak yang merupakan bagian dari pemilik/bertanggung
jawab kepada pemilik sumber daya
Prinsip kelima
Adanya sanksi dalam skala berjenjang untuk pemilik sumber daya yang melanggar aturan
komunitas
Prinsip keenam
Mekanisme resolusi konflik yang murah dan mudah diakses.
Prinsip ketujuh
Komunitas memiliki kemampuan menentukan sendiri yang diakui oleh otoritas ditingkat yang
lebih tinggi
Prinsip kedelapan
Dalam kasus sumber daya milik bersama yang lebih besar, adanya organisasi berlapis yang terdiri
atas perusahaan-perusahaan, dengan lokal CPR di tingkat paling dasar

Sumber: Agnes Sinai (2002: 150), Tata Kelola Air di Paris, Jakarta: Gramedia

Disamping gagasan Elinor Ostrom tentang tata kelola sumber daya milik bersama
sebagai pendekatan liberal dalam pengelolaan lingkungan, konsep liberal lain yang juga
perlu diketengahkan adalah penting dan mendesaknya hak kepemilikan (property rights)
dalam perlindungan terhadap lingkungan. Hernando De Soto (2014) seperti dikutip oleh
Patunru dan Haryoko (2015) menyatakan bahwa pendekatan hak kepemilikan dalam
perlindungan lingkungan berdasarkan kepercayaan adanya korelasi kuat antara hak
kepemilikan yang terjamin (secure property rights), pertumbuhan ekonomi lokal, dan
perlindungan lingkungan.

Hak kepemilikan yang tidak terjamin (unsecure property rights) menjadi penyebab
utama bagi banyak individu, perusahaan-perusahaan serta juga berbagai komunitas
untuk eksploitasi sumber daya demi keuntungan jangka pendek. Dalam rangka mengukur
indeks hak kepemilikan, lembaga aliansi hak kepemilikan internasional secara rutin
mengeluarkan indeks hak kepemilikan suatu negara yang diukur melalui 3 kategori utama
yaitu: (1). Lingkungan hukum dan politik. (2). Hak kepemilikan fisik dan (3). Hak
kepemilikan Intelektual.

Tabel 2 di bawah ini merupakan ilustrasi Indeks Hak Kepemilikan Indonesia untuk
tahun 2016 sebagai berikut:

15
Skor Peringkat Global Peringkat di Kawasan
Keseluruhan 5.0 67 dari 128 negara 13 dari 20 negara
Lingkungan Hukum dan Politik 4.4 70 dari 128 negara 12 dari 20 negara
Hak kepemilikan fisik 6.5 36 dari 128 negara 9 dari 20 negara
Hak kepemilikan intelektual 4.2 98 dari 128 negara 15 dari 20 negara
Sumber: http://internationalpropertyrightsindex.org/country?s=indonesia

Berdasarkan tabel tersebut maka ruang untuk perbaikan skor indeks hak kepemilikan
Indonesia masih sangat terbuka lebar. Hasil korelasi antara perlindungan terhadap hak
kepemilikan dan tingkat pembangunan ekonomi sangat jelas dimana negara-negara maju
secara ekonomi memliki indeks hak kepemilikan juga yang tinggi. Negara di kawasan Asia
dan Pasifik misalnya Singapura memiliki skor 8,1, Jepang mempunyai skor 8,1, Hongkong
memiliki skor 7,8. Begitu pula sebaliknya negara yang tidak terlindungi hak
kepemilikannya umumnya negara yang masih tertinggal dalam pembangunan ekonomi.
Misalnya di kawasan Asia-Pasifik: Myanmar (2,8), Banglades (2,8), dan Pakistan (3,7).

Dari paparan di atas, dua pendekatan liberal terhadap barang sumber daya milik
bersama (common pool resources) dalam makalah ini adalah kawasan konservasi Taman
Nasional- ialah melalui tata kelola CPR yang diajukan oleh Elinor Ostrom dan memastikan
hak kepemilikan terjamin dengan dua asumsi terpenting: pertama, pelaku-pelaku
ekonomi mencari keuntungan individual serta kesejahterannya masing-masing. Kedua,
hanya melalui hak pemilikan yang terjamin dapat membuat individu-individu mengalihkan
perhatian keuntungan jangka pendek menjadi keuntungan jangka panjang yang berasal
dari sumber daya alam.

Filosof klasik dari masa pencerahan (scotish enlightment) David Hume, seperti
dikutip oleh Kiesling (2016:64), mendefinisikan hak kepemilikian sebagai pranata
(institusi) mencakup tiga elemen sekaligus: (i). Kepemilikan yang stabil/ajeg. (ii). Dapat
dipindahtangankan melalui persetujuan bersama. (iii). Kinerja yang sesuai dengan janji.
Permasalahannya kemudian adalah bila hak kepemilikan tidak mudah didefinisikan oleh
para pihak. Misalnya hutan sebagai kawasan konservasi selaku sumber daya milik
bersama dan barang publik. Dalam standar buku teks ekonomi, kondisi ini dikenal dengan
kegagalan pasar (market failure) yang dapat disebabkan oleh adanya eksternalitas,
masifnya monopoli, hadirnya informasi asimetris serta barang publik.

Dalam literatur ekonomi kesejahteraan (welfare economics), kegagalan pasar


dapat dikoreksi dengan tindakan afirmatif dari pemerintah. Pemerintah secara
konstitusi merupakan pihak luar yang diberikan mandat untuk mengoreksi kegagalan
pasar. Pemerintah mempunyai instrumen yang bersifat memaksa misalnya melalui pajak,
maupun sumber daya yang masif melalui birokrasi, serta memiliki legalitas konstitusional
guna memberikan kesejahteraan umum/bersama. Sayangnya pemerintah juga berpotensi
menyebabkan kegagalan pemerintah (government failure) yang dampaknya sama
merusaknya dengan kegagalan pasar (market failure).

16
Kotak 3
Aplikasi Pilihan Publik (public choice) dalam Pengelolaan Lingkungan

Pilihan publik atau public choice secara sederhana menerapkan pendekatan ekonomi ke dalam
institusi politik yang relevan. Asumsi dasar dalam ekonomi seperti manusia merupakan agen yang
bersifat rasional (rational agent) serta akan bertindak untuk maksimalisasi manfaat pribadi
(maximizing utility) dengan minimalisasi biaya yang harus ia keluarkan (cost efficiency). Secara
singkat, setiap manusia akan berhitung untung dan rugi dari setiap tindakannya.

Adapun asumsi dasar pilihan publik terhadap pemerintah pada hakikatnya, pemerintah bukan
pelaku ekonomi yang serba tahu (omniscient), pelaku ekonomi yang motifnya mulia (benevolent)
serta bukan pelaku ekonomi yang bersifat memaksa dan diktatorial (dictatorship). Pemerintah
seperti individu memiliki kepentingan personal yang ingin dikejar (self-interest). Dari keempat
asumsi dasar pemerintah ini omniscient, benevolent, dictarorship serta self-interest maka adalah
sikap bergantung yang berlebihan terhadap campur tangan pemerintah dapat memberikan solusi
maksimal hanyalah angan-angan belaka.

Dua kata kunci yang dibahas intensif oleh mazhab pilihan publik adalah perilaku memburu rente
(rent-seeking) dan kelompok kepentingan (interest group). Perilaku atau tindakan berburu rente
dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak guna mendapat manfaat
tertentu melalui upaya mempengaruhi pembuat keputusan politik (Tullock, 2005). Sedangkan
kelompok kepentingan (interest group) didefinisikan sebagai kelompok tertenu diluar pengambil
keputusan politik yang membawa dan memperjuangkan kepentingan tersebut secara
terorganisasi (Tullock, 2005).

Analisis pilihan publik atas regulasi terkait lingkungan merupakan refleksi keputusan dan interaksi
dinamis antar berbagai pelaku kebijakan misalnya ilmuwan, politisi, penggiat lingkungan hidup,
serta birokrat. Selain empat pelaku tersebut terdapat pula kelompok kepentingan yang
berdedikasi kepada isu-isu lingkungan seperti organisasi internasional seperti TNC, WWF, CI juga
organisasi lokal seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), serta kelompok penggiat
lingkungan lainnya. Kelompok kepentingan membawa dinamika tersendiri dalam diskusi
kebijakan melalui pertimbangan ekonomi-politik, hukum, sosial dan politik sebagai bahan baku
bagi perdebatan yang hidul dan bernas dalam proses pengambilan kebijakan. Dua pilihan yang
umumnya ditempuh dalam membuat kebijakan terkait lingkungan diilustrasikan melalui gambar
berikut:

Aturan Sederhana Aturan sederhana misalnya pelaku


(Simple Rules)
polusi dituntut membayar
kompensasi kepada pihak terkena
dampak
Kontrol dan Perintah misalnya
Kontrol dan Perintah
regulasi tertentu yang
(Command and
Control) memerintahkan dan melakukan

Sumber: Oktavinanda (2012), Tullock, Seldon and Brady (2002), Tullock (2005) diolah kembali

17
Taman Nasional sebagai Jasa Ekosistem serta Perubahan Iklim
Jasa lingkungan ialah jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem hutan, yang manfaatnya
dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung, yang dapat meningkatkan kualitas
hidup manusia maupun lingkungan. Newcome et al (2005) membagi jasa lingkungan
secara lebih praktis dalam tujuh kategori umum sebagai berikut:

1. Jasa yang menghasilkan material goods atau barang.


2. Jasa filtrasi dan detoksifikasi (purification and detocsification) antara lain filtrasi
dan purifikasi udara, air, tanah.
3. Jasa pendauran (cycling process), misalnya pendauran unsur hara, penyerapan
karbon, pembentukan tanah.
4. Jasa regulasi dan stabilisasi (regulation and stabilization), seperti kontrol hama dan
penyakit, regulasi iklim, pencegahan erosi dan abrasi, regulasi sumber daya air.
5. Jasa penyediaan habitat (habitat provision), termasuk tempat berlindung dan
tempat tinggal bagi manusia, flora, fauna, dan sumber daya genetika.
6. Jasa regenasi dan produksi (regenation and production), contohnya biomassa
untuk makanan, polinasi, distribusi benih.
7. Informasi (information and life-fulfilling), seperti peran dalam kegiatan rekreasi,
budaya, spiritual, dan keagamaan.

Sementara itu, kategori lain dari Millenium Ecosystem Assessment pada tahun 2005
membagi jasa lingkungan menjadi empat sebagai berikut (Salzman, 2010:2-3):

Kesatu Kedua Ketiga Keempat


jasa regulasi jasa budaya yang jasa daya dukung bagi
Jasa penyedia
lingkungan seperti memberikan jasa lainnya seperti
misalnya makanan,
kontrol hama, erosi, kepuasan nonmateri pembentukan tanah
air bersih dan fiber
filtrasi air dari ekosistem dan fotosintesis

Keberadaan Taman Nasional berdasarkan kategori Newcome serta MEA di atas,


termasuk ke dalam jasa ekosistem informasi (Newcome) serta jasa ekosistem budaya
(MEA). Hal ini dimungkinkan bagi wisatawan yang datang mengunjungi TN dapat
mempelajari seluk beluk tentang binatang langka Naga Komodo serta mengenal
kebudayaan orang Komodo khususnya serta budaya flores pada umumnya. Bahkan,
wisatawan bisa berfoto dengan hewan langka tersebut guna memberikan bukti kongkrit
telah berkunjung ke Pulau Komodo bagi teman dan handai taulan yang tidak ikut
berkunjung ke Pulau itu.

18
Konsep ekowisata yang saat ini tengah berkembang pesat dan diyakini dapat
menjadi solusi untuk mengkompromikan upaya konservasi dan pemanfaatannya secara
lebih berkelanjutan (Saloh, 2005). Melalui ekowisata dapat membantu promosi wisata
alam berkelanjutan dengan pelibatan komunitas lokal, serta diyakini menjadi jalan untuk
menyeimbangkan pendapatan ekonomi lokal tanpa harus mengorbankan fungsi alamiah
kawasan konservasi sebagai pendukung ekosistem. Didalam ekowisata tentu saja akan
melibatkan masyarakat lokal beserta budaya yang ada didalamnya, untuk masa depan
yang lebih berkelanjutan. Daya tarik ekowisata adalah adanya kesempatan untuk
berinteraksi lebih dalam, saling belajar, dan berkomunikasi dengan masyarakat lokal,
sembari menikmati alam dan budaya lokal.

Tentang Perubahan Iklim


Indonesia telah lama dikenal sebagai paru-paru dunia, selain Brazil, namun berada pada
tingkatan terendah dalam pengelolaan hutan, baik dari sisi konservasi maupun
pelestarian. Penyebab rendahnya pengelolaan hutan disebabkan keterbatasan
manajemen pemerintah didalam mengelola hutan, yang hingga saat ini masih menjadi
tantangan utama pemerintah. Pandangan keterbatasan manajemen pemerintah
berpandangan bahwa peran aktif pemerintah seharusnya dapat lebih termanifestasi
dalam anggaran pendapatan dan belanja publik. Selain itu, keberlangsungan
pembangunan sudah sepatutnya mempertimbangkan kelangsungan hutan yang memiliki
peran besar tidak saja secara ekonomi, namun juga sosial, budaya, ekologis, dan menjaga
stabilitas iklim global (Saloh, 2015:38).

Hal ini perlu didorong untuk dapat bangkit kembali dengan membenahi regulasi
kehutanan mulai dari hulu ke hilir (akan dibahas pada sub-bab berikutnya) dengan
memberikan insentif fiskal dan non-fiskal yang memadai guna mendorong
berkembangnya usaha hutan tanaman, mengupayakan berbagai alternatif penghasil
kayu dan serat dari luar kawasan hutan, seperti ekowisata. Pengelolaan Taman Nasional
yang lebih terfokus dan terarah dapat membantu memperbaiki keberlangsungan jangka
panjang aset hutan dan alam Indonesia serta mengurangi dampak negatif dan tekanan
pada hutan dan lingkungan.

Menurut Tumiwa (2010), strategi adaptasi dan mitigasi perubahan adalah integrasi
program aksi keduanya ke dalam rencana pembangunan nasional jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek, yang dituangkan dalam program kerja Kementerian dan
Lembaga. Bappenas telah menyusun dokumen kebijakan perencanaan sektoral yang
disebut dengan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), berfungsi sebagai
peta jalan sektoral guna integrasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan
sektoral dan lintas sektor.

19
Senada dengan Tumiwa, Murdiyarso (2010) menyebutkan pemahaman para pihak
terkait perubahan iklim semakin lama semakin baik, pasca Conference of the Parties (COP)
ke-13 di Bali tahun 2007. Walaupun begitu, pemahaman di setiap sektor pembangunan
dan daerah masih sangat beragam menyangkut perubahan iklim ini karena usia
pengenalan isu yang masih sangat muda. Beberapa masalah koordinasi lintas sektor
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hambatan institusi atau kelembagaan
menyangkut kapasitas aparatur pemerintah serta penyederhanaan proses perizinan dan
tata kelola yang lebih transparan, sehingga beban biaya transaksi menjadi lebih ringan
(Murdiyarso, 2010).

Strategi adaptasi dalam ICCSR mengintegrasikan kerangka penilaian risiko akibat


pemanasan global serta dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan akan terjadi di
Indonesia untuk menentukan tingkat ancaman bahaya iklim dan dampaknya pada sektor-
sektor yang relevan. Sedangkan strategi mitigasi dicapai melalui proses analisa terhadap
skenario laju emisi GRK pada setiap sektor berdasarkan kajian tingkat pertumbuhan emisi
dari sektor-sektor tersebut, dan dilakukan analisa terhadap skenario mitigasi untuk setiap
sektor misalnya energi, transportasi, industri, kehutanan dan limbah/sampah (Tumiwa,
2010: 40).

Regulasi Pengelolaan Taman Nasional


Pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan dalam bentuk regulasi guna meberikan
landasan hukum bagi pengelolaan Taman Nasional, melalui sistem zonasi. Adapun
pedoman zonasi taman nasional merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi
zona di bawah ini:

Zona inti

Zona khusus Zona rimba

Zona
Taman
Zona religi,
budaya dan
Nasional Zona
pemanfaatan
sejarah

Zona Zona
rehabilitasi tradisional

Sumber: Moeliono et al (2010: 12), Merentas Kebuntuan: Konsep dan panduan pengembangan zona khusus
bagi Taman Nasional di Indonesia. Bogor: CIFOR

20
Peraturan yang menyangkut pengelolaan Taman Nasional bervariasi mulai dari Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Kehutanan,
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun Peraturan Daerah. Tabel 3 merangkum
peraturan menyangkut pengelolaan TN:

No Peraturan Rincian Peraturan Perundangan


1. Undang-Undang UU 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
UU 41/1999 tentang Kehutanan
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Bab 3
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Jasa
Lingkungan
UU 10/2009 tentang Kepariwisataan
UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air
UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan

2. Peraturan Pemerintah PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan


PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan
Kawasan Hutan.
PP 26/2008 tentang RTRWN
PP 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru
PP 27/1999 tentang Analisis AMDAL
PP 22/2007 tentang Pengembangan ekowisata
PP 36/2010 tentang Pengusahaan pariwisata alam di SM, TN, THR
dan TWA
PP 28/2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.
3. Keputusan Presiden Keppres 43/1978 tentang Ratifkasi CITES
(Keppres) Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Keppres 48/1991 tentang Ratifikasi Ramsar
4. Peraturan Menteri P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi pengelolaan kawasan
Kehutanan (Permenhut) suaka alam dan kawasan pelestarian alam
P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan pertama atas Kepmen
Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002 tentang pedoman zonasi Taman
Nasional
P.03/Menhut-II/2007 tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis
Balai Taman Nasional
P.11/Menhut-II/2007 tentang pembagian rayon TN, THR dan TWA
P.49/Menhut-II/2010 tentang Pengusaha pariwisata alam di SM,
TN, THR, TWA
No.689/Kpts-II/1989 tentang Perijinan usaha di zona pemanfaatan
No.878/Kpts-II/1992 tentang Tarif masuk ke TN, THW dan TL
No.446/Kpts-II/1996 tentang Tata cara permohonan, pemberian
izin dan pencabutan izin pengusaha pariwisata alam
5. Keputusan Dirjen PHKA No.59/Kpts/DJ-VI/1993 tentang Pedoman penyusunan rencana
pengelolaan TN
No.129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pengelolaan KSA, KPA, TB dan HL
6. Peraturan Daerah No.5/2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

21
Sumber: Yani Saloh (2015: 4-6), Kajian Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang Ekonomi
dan Menjaga Stabilitas Iklim

Beberapa catatan dari regulasi pengelolaan TN diantaranya: pertama, secara


kerangka hukum pengelolaan keanekaragaman hayati dalam kawasan konservasi,
pemanfaatan ruang yang terpadu dan selaras, serta mengedepakan kesejahteraan
masyarakat telah cukup memadai. Hal ini dapat dibuktikan melalui kelengkapan
peraturan dari level UU hingga peraturan daerah serta yang bersifat operasional seperti
Keputusan Dirjen maupun Peraturan Menteri Kehutanan. Kedua, peluang bagi
masyarakat dan pihak lainnya untuk berkontribusi dan kolaborasi melakukan pengelolaan
kawasan suaka alam serta pelestarian alam, dengan otoritas pengelolaan Taman Nasional
tetap berada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan peluang
kolaborasi dan kontribusi para pihak diharapkan membawa kemaslahatan bersama.
Namun demikian, implementasi peraturan perundangan tidak dapat memenuhi seluruh
aspirasi masyarakat, terutama di era desentralisasi ini dimana kekuatan memaksa dari
negara dan aparatnya tidak lagi dominan.

22
Bab 3
Diskusi Kebijakan

Dalam diskusi kebijakan, penulis menyajikan pembahasan makalah ini yang terdiri atas
beberapa sub-bab antara lain: pertama, lokasi TN Komodo dan kondisi geografis serta
demografis Kabupaten Manggarai Barat. Kedua, potensi ekowisata TN Komodo dalam
penyediaan kesempatan berusaha bagi warga Kabupaten Manggarai Barat. Pada sub-bab
kedua juga penulis memotret kondisi kemiskinan yang dialami wilayah Pulau Komodo.
Ketiga, dinamika pengelolaan TN Komodo yang dikaji dari sisi konflik antara warga
dengan pengelola TN Komodo, perspektif historis serta pendekatan liberal terhadap
pengelolaan sumber daya milik bersama dipergunakan dalam membahas dinamika
pengelolaan Taman Nasional tersebut. Keempat, politik anggaran Dirjen PHKA
Kementerian LH dan Kehutanan dalam kaitannya dengan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, menggunakan perspektif public choice.

Lokasi TN Komodo, Kondisi Geografis dan Demografis Kabupaten Manggarai


Barat
Taman Nasional Komodo berada di Pulau Komodo berada di wilayah Kabupaten
Manggarai Barat. TN terdiri atas tiga pulau besar: Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau
Padar serta beberapa pulau kecil. Wilayah daratan meliputi luas 603 km persegi dan luas
wilayah total seluas 1817 km persegi. Kabupaten Manggarai Barat terdiri atas 10
kecamatan yaitu: Kecamatan Komodo, Boleng, Sano Nggoang, Mbeliling, Lembor, Welak,
Lembor Selatan, Kuwus, Ndoso, dan Macang Pacar. Kabupaten Manggarai Barat memiliki
luas daratan mencapai 2.947,50 km persegi, yang terdiri dari daratan Flores dan beberapa
pulau besar seperti Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Longgos serta beberapa pulau
kecil lainnya.

Kabupaten Mangarai Barat adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai


berdasarkan Undang Undang No. 8 Tahun 2003. Luas wilayah Kabupaten Manggarai
Barat adalah 9.450 km yang terdiri dari wilayah daratan seluas 2.947,50 km dan wilayah
lautan 6.052,50 km persegi (RPJMD 2011 - 2015:9). Dari keseluruhan wilayah daratan
tersebut, baru 39.771 ha atau 13,5% wilayah yang digunakan. Penggunaan wilayah
sebagian besar untuk tegalan/ladang 8,6%, sawah 3,88%, perkebunan 0,75%, dan
pemukiman 0,27%.

Beberapa data faktual yang telah dibahas sebelumnya tentang tingkat kemiskinan
di NTT 23% urutan ke-5 di Indonesia. Sedangkan tingkat kemiskinan di Kabupaten

23
Manggarai Barat 22%. Beberapa desa di sekitar kawasan wisata memiliki banyak warga
yang miskin dengan lingkungan yang kumuh (PPPI, 2012). Kabupaten Manggarai Barat
memiliki banyak lokasi yang berpotensi. Paling tidak sebanyak 23 lokasi obyek wisata
telah diidentifikasi oleh Pemda. Dari 23 lokasi tersebut terdapat 12 obyek wisata yang
telah dipromosikan oleh para pelaku pariwisata. Kedua belas obyek wisata ini adalah
Taman Nasional Komodo, Lokasi Menyelam (Diving), Pulau Bidadari, Pulau Seraya, dan
Pulau Kanawa. Obyek wisata yang sedang dimulai promosi wisatanya yaitu: Gunung Lime
Stone, Danau Kawah Vulkanik, Gua Ular, Kampung Tradisional, Air Terjun Cunca Rami,
Canyon Cunca Wulang, serta berbagai hiking maupun trekking lainnya.

Karakteristik dari obyek wisata di Manggarai Barat sayangnya masih didominasi


oleh belum mempunyai citra merek yang kuat di kalangan wisatawan domestik apa lagi
wisatawan internasional. Di samping itu, pengemasan dan paket wisata yang unik masih
terbatas untuk TN Komodo, yang memang terdapat Naga Komodo tinggal didalamnya.
Lama kunjungan yang masih singkat serta faktor pendorong wisatawan kembali
(repetisi), akses menuju lokasi wisata, dan fasilitas yang masih minim.

Gambar 4 di bawah ini mengilustrasikan lokasi Taman Nasional Komodo beserta


wilayah Kabupaten Manggarai lainnya.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo

Adapun tipe-tipe Zonasi yang beada di Taman Nasional Komodo 6 sebagai berikut:

Zona Inti, zona ini memiliki luas 34.311 Ha dan merupakan zona yang mutlak dilindungi,
di dalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia,
kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo

24
Zona Rimba, zona ini memiliki luas 66.921,08 Ha merupakan zona yang di dalamnya
tidak diperbolehkan adanya aktivitas manusia sebagaimana pada zona inti kecuali
kegiatan wisata alam terbatas.
Zona Perlindungan Bahari, zona ini memiliki luas 36.308 Ha adalah daerah dari garis
pantai sampai 500 m ke arah luar dari garis isodepth 20 m sekeliling bats karang dan
pulau, kecuali pada zona pemanfaatan tradisional bahari. Pada zona ini tidak boleh
dilakukan kegiatan pengambilan hasil laut, seperti halnya pada zona inti kecuali
kegiatan wisata alam terbatas.
Zona Pemanfaatan Wisata Daratan, zona ini memiliki luas 824 Ha dan diperuntukkan
secara intensif hanya bagi wisata alam daratan.
Zona Pemanfatan Wisata Bahari, zona ini memiliki luas 1.584 Ha dan diperuntukkan
secara intensif bagi wisata alam perairan.
Zona Pemanfaatan Tradisional Daratan, zona ini memiliki luas 879 Ha, zona yang
dapat dilakukan kegiatan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar penduduk asli
dalam kawasan dengan izin hak khusus pemanfaatan oleh Kepala Balai TN. Komodo.
Zona Pemanfaatan Tradisional Bahari, zona ini memiliki luas 17.308 Ha, zona yang
dapat dilakukan kegiatan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar penduduk asli
dalam kawasan dengan izin hak khusus pemanfaatan oleh Kepala Balai TN. Komodo.
Pada zona ini dapat dilakukan pengambilan hasil laut dengan alat yang ramah
lingkungan (pancing, bagan, huhate, dan paying).
Zona Khusus Permukiman, zona ini memiliki luas 298 Ha, zona untuk bermukim hanya
bagi penduduk asli dengan peraturan tertentu dari kepala Balai TN. Komodo bekerja
sama dengan pemerintah daerah setempat.
Zona Khusus Pelagis, zona ini memiliki luas 59.601 hektare. Pada zona ini dapat
dilakukan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan hasil laut lainnya yang tidak
dilindungi dengan alat yang amah lingkungan (pancing, bagan, huhate, dan payang)
serta kegiatan wisata/ rekreasi.

Posisi geografis Kabupaten Manggarai Barat berbatasan dengan wilayah


daratan/laut sebagai berikut: (i). Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, (ii).
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu, (iii). Sebelah Barat berbatasan dengan
Selat Sape, (iv). Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manggarai. Adapun
kondisi demografis menyangkut agama yaitu banyaknya pemeluk agama menurut agama
di Kabupaten Manggarai Barat (2015) yaitu:

25
Kristen Katolik 194.519 Jiwa

Islam 55.409 Jiwa

Kristen Protestan 2.008 Jiwa

Hindu 227 Jiwa

Budha 4 Jiwa

Konghucu 2 Jiwa

Sumber: BPS (2016) Manggarai Barat dalam Angka

Selain data demografis agama, penulis menyajikan pula jumlah sekolah, Guru dan Murid
menurut Tingkatan Pendidikan di Kabupaten Manggarai, data yang tersedia untuk tahun
2013 pada tabel 4 Pendidikan di Manggarai Barat sebagai berikut:

Rata- Rata-
Rata Rata
Tingkat Pendidikan Sekolah Guru Murid Guru Murid
Per Per
Sekolah Sekolah
Taman Kanak-
1 12 43 647 4 54
kanak
Sekolah
2 239 2 476 42 751 10 179
Dasar/MI
SMTP
3 67 974 14 832 15 221
Umum/MTS
4 SMTA Umum
SMA/MA Negeri 14 357 3 725 26 266
SMA/MA Swasta 7 145 2 108 21 301
SMK Negeri 6 148 1 554 25 259
SMK Pelayaran 1 10 30 10 30

Sumber : Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten


Manggarai Barat

Potensi Ekowisata TN Komodo dan Kendala-Kendalanya


Dalam diskusi tentang ekowisata Taman Nasional Komodo tidak bisa dilepaskan dari
kondisi pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Sebelum pariwisata
berbasis kawasan konservasi Taman Nasional Komodo dikenal banyak wisatawan.

26
Keberadaan warga Manggarai pada dasarnya adalah petani. Setidaknya terdapat ada 3
kegiatan penduduk asal Manggarai Barat ini: pertama, mereka mengerjakan lahan ladang
atau sawah (yang sudah dikenal sejak Abad 15); Kedua, mereka berburu (termasuk
mencari ikan dalam waktu-waktu yang memungkinkan; dan ketiga, mereka beternak
(Deki, 2011 dalam Zakaria, 2012).
Saat ini, kegiatan pertanian penduduk Manggarai telah pula berkembang ke arah
pengusahan tanaman perdagangan (tanaman tahunan), produk utamanya adalah kemiri
dan kopi. Sementara itu aktivitas mencari ikan bagi Orang Manggarai yang tinggal di
daerah pesisir bukanlah kegiatan ekonomi utama mereka. Aktivitas sebagai nelayan
sebagaimana yang terjadi di desa-desa yang ada di pulau-pulau dan desa-desa pesisir-
justru lebih banyak dilakukan oleh penduduk migran yang berasal dari Makassar, Ende,
Bima, dan Bajo.
Sementara itu, di Pulau Komodo yang dihuni oleh orang Komodo dan Naga
Komodo. Orang Komodo merupakan keturunan dari Orang Manggarai dengan Orang
Bima yang menetap di Pulau Komodo. Sejarah lisan menyebutkan bahwa Pasir Panjang di
Pulau Rinca, pendahulu pendatang dari Pulau Solor, yang menetap di Pulau Rinca setelah
pulang dari Perang Aceh (akhir Abad 18), yang kemudian beranak-pinak setelah
memperistri seorang perempuan asal Pulau Komodo (Orang Komodo).
Selain itu, terdapat pula Papagarang, pendatang berasal-usul dari Suku Bajo
dengan tradisi semacam sasi masih hidup. Sedangkan Warloka (dan Mesa) adalah
dominan suku Bima. Saat ini, di berbagai pulau terdapat penduduk yang berasal dari Bima
(mayoritas), Bugis, Makasar, dan Selayar. Kegiatan ekonomi utama adalah nelayan yang
mencari ikan di pantai dan lepas pantai.
Daya tarik utama Taman Nasional Komodo yaitu adanya reptil raksasa purba Naga
Komodo (latin: Varanus komodoensis). Disamping itu juga keaslian dan kekhasan
alamnya, khususnya panorama Savana dan Panorama bawah laut. Kesemuanya
merupakan daya tarik pendukung yang potensial. Selain atraksi Naga Komodo di Pulau
Komodo dan Pulau Rinca, telah mulai pula wisata bahari
misalnya, memancing, snorkeling, diving, kano, bersampan. Sedangkan di daratan,
potensi wisata alam yang bisa dilakukan adalah pengamatan satwa, hiking,
dan berkemah. Mengunjungi Taman Nasional Komodo dan menikmati pemandangan
alam yang sangat menawan merupakan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mempunyai visi pembangunan ekonomi
berbasis pariwisata, sehingga sektor pariwisata menjadi sumber utama pendapatan asli
daerah di masa mendatang. Berdasarkan dokumen Rencana pengembangan pariwisata
NTT, Kawasan Pengembangan Pariwisata di kawasan Flores Barat telah dibuat empat
klaster sebagai berikut:
1. Kawasan pengembangan pariwisata A meliputi obyek wisata di Labuan Bajo dan
kecamatan-kecamatan lainnya dengan pusat pengembangan di Labuan Bajo.

27
2. Kawasan pengembangan pariwisata B meliputi obyek wisata di Ruteng dan
sekitarnya dengan pusat pengembangan berada di Ruteng. Ruteng adalah pusat
pemerintahan Kabupaten Manggarai.
3. Kawasan pengembangan pariwisata C meliputi obyek wisata yang terletak di
Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya. Kawasan C merupakan kawasan
pengembangan wisata yang relatif terbatas.
4. Kawasan pengembangan pariwisata D meliputi obyek wisata di Bajawa dan
sekitarnya, termasuk Tanjung 17 Pulau di Kecamatan Riung dengan pusat
pengembangan di Bajawa.
Guna menyukseskan klaster kawasan wisata NTT, khususnya Manggarai Barat dan
Manggarai maka disusunlah dokymen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
yang berisikan prioritas pembangunan yang akan dilakukan selama tahun 2011 - 2015 7
adalah:
1. Meningkatkan jumlah obyek wisata pantai (Wisata Bahari) sebagai potensi wisata
andalan dengan meningkatkan minat investor lokal, dalam negeri maupun
investor asing.
2. Meningkatkan minat masyarakat terhadap obyek wisata heritage (legenda) atau
obyek wisata yang memiliki kekhususan tertentu seperti obyek wisata komodo
dengan meningkatkan promosi wisata dan nilai tambah obyek wisata.
3. Menjaga kelestarian obyek wisata dengan mengembangkan ekowisata,
agrowisata, wisata kuliner, dan obyek wisata budaya local.
4. Membangun dan memelihara infrastruktur penunjang pengembangan pariwisata
seperti prasasrana jalan menuju obyek wisata sarana kebersihan lingkungan
seperti tempat-tempat pembuangan sampah, arana pengangkutan sampah dan
drainase yang baik sehingga tercipta suasana lingkungan yang indah, bersih, dan
sehat.

Berdasarkan hasil kunjungan lapangan yang menjadi inti aktivitas riset PPPI tahun
2015 masih ditemui beragam kendala pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, Labuan
Bajo antara lain (PPPI, 2012) sebagai berikut: pertama, belum ditemukan branding yang
kuat dan intensif untuk dometik maupun internasional. Kedua, belum ditemukan
pengemasan dan promo paket wisata yang unik dibanding obyek wisata lainnya (kecuali
Komodo). Ketiga, belum ditemukan pemicu untuk meningkatkan lama kunjungan dan
repetisi kunjungan wisata. Keempat, masih banyak kesulitan akses menuju lokasi wisata.
Kelima, fasilitas pendukung pariwisata belum disiapkan dengan baik
Hal yang menyangkut fasilitas pendukung ekowisata belum disiapkan dengan baik
memberikan dampak negatif, padahal telah terdapat dalam salah satu dari empat
prioritas pembangunan dalam dokumen RPJMD 2010-2015. Dua gambar di bawah ini

7
Dokumen RPJMD sampai tahun 2015 berdasarkan hasil studi PPPI (2012). Saat ini tahun 2016 telah ada
dokumen RPJMD yang baru.

28
memberikan ilustrasi kendala fasilitas pendukung ekowisata yang seharusnya menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Fasilitas pendukung belum tersedia dengan baik


Sampah organik masih ditemukan di sekitar pantai
mempersulit akses menuju lokasi wisata
yang menjadi obyek wisata

Dua gambar di atas adalah ilustrasi kendala faktual bagi pengembangan ekowisata
disamping upaya pengembangan pariwisata yang belum maksimal. Adanya disparitas
atau kesenjangan antara kawasan klaster C dan klaster A, perkembangan kawasan TN
Komodo belum diikuti perkembangan kawasan lainnya di Labuan Bajo. Menurut
observasi Yando Zakaria, penasehat bidang sosial budaya dan pemberdayaan masyarakat
untuk Yayasan Komodo kita, masyarakat belum memperoleh efek pengganda dari
pariwisata dikarenakan beragam penyebab diantaranya: kesadaran masyarakat dalam
menjaga lingkungan alam masih rendah, kebiasaan masyarakat dalam membuang
sampah anorganik tidak pada tempatnya yang mengonfirmasi temuan observasi
lapangan PPPI.

Paparan Zakaria juga memaparkan bahwa keterkaitan kegiatan ekonomi


masyarakat dengan sektor pariwisata masih relatif sangat tipis dalam arti jasa ekowisata
belum dapat dimaksimalkan sesuai konsep ideal yang kerap menjadi contoh baik (best
practice). Disamping jubga rendahnya kapasitas penduduk yang masih belum terangkat
dari masalah struktural seperti pendidikan dan kemiskinan serta masih minimnya
keberadaan dan kontribusi pengusaha lokal.
Hasil studi PPPI lain yang juga berguna disajikan ialah efek pengganda dari
ekowisata Taman Nasional Komodo bagi perekonomian Kabupaten Manggarai Barat.
Tabel 5 di bawah ini menjadikan estimasi biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk
mengunjungi Labuan Bajo dan mengunjugi Taman Nasional Komodo.

Pengeluaran Nilai (Rp) % Penerima

Charter Kapal/Boat 1,700,000 30% Pemilik

29
Tiket Pesawat 1,600,000 28% Maskapai

Hotel 1,400,000 25% Pengusaha

Transport Dalam Kota 500,000 9% Pemilik

Tour Guide 250,000 4% Profesional

Makan 150,000 3% Pengusaha

Retribusi-TNK 40,000 1% TNK-Pemerintah Kontribusi


hanya 2%
Retribusi-Pemda 40,000 1% Pemda

Total Estimasi 5,680,000


Pengeluaran

Sumber: Hasil riset Paramadina Public Policy Institute (2012)

Bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan pelaku ekonomi wisata TN Komodo
perlu mendesain model pembayaran jasa ekowisata yang lebih sesuai (proper). Bisa kita
bayangkan kontribusi yang dikeluarkan wisatawan hanya 2% dari total pengeluaran untuk
berwisata ke Taman Nasional serta wilayah lain di Labuan Bajo.
Salzman (2010) mengemukakan acap kali jasa ekosistem misalnya ekowisata tidak
dinilai secara tepat, sehingga tidak ada insentif untuk memperbaiki kualitas infrastruktur
pendukung. Agar wisatawan tetap tertarik untuk mengunjugi Labuan Bajo dan TN
Komodo bila retribusi Taman Nasional dan Pemerintah Daerah dinaikkan, maka perlu
dilakukan survei berbasis wisatawan. Survei dan riset dapat bertanya keinginan untuk
membayar (willingness to pay) wisatawan terhadap jasa ekowisata yang lebih sesuai..
Disamping memperbaiki struktur biaya secara alamiah penting dilakukan ialah
mendorong dan menumbuhkan pengusaha menengah kecil bidang jasa penginapan,
transportasi, makanan-minuman, dan cinderamata agar dapat menurunkan biaya-biaya
lainnya dengan kompetisi dan persaingan usaha yang sehat.

Kotak 4
Apa selanjutnya untuk ekowisata TN Komodo

Secara berturut-turut beragam kegiatan promosi pariwisata digelar, antara lain


penyelenggaraan Sail Komodo (2013) yang menelan anggaran sekitar 3,7 triliun dan
penyelenggaraan Tour de Flores dengan anggaran sebesar 32 miliar. Ditambah perbaikan bandara
udara senilai 191 miliar disertai penambahan jumlah maskapai, landasan pacu yang diperpanjang,
dan jam terbang yang diperlama, dan menfasilitasi peningkatan jumlah kapal pesiar yang datang
ke Labuan Bajo meningkat. Semua kegiatan itu difasilitasi pejabat dan pemimpin daerah (Afioma,
2016).

Jumlah kunjungan wisatawan ke TN Komodo terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
2012 sebanyak 31.365 orang. Terdiri dari Wisman 26.631 orang, Wisnus 4.284 orang, lokal 450
orang.
Tahun 2011 berjumlah 41.443 orang. Terdiri dari Wisman 36.011 orang, Wisnus 5.432 orang dan
tidak ada data untuk tamu lokal. Pada tahun 2010 jumlah pengunjung sebanyak 41.117 orang. Data

30
terkini dari BPS untuk tahun 2015, peringkat lima pengunjung terbanyak dari dalam negeri 19.215
orang, Australia 9.055 pengunjung, Amerika 8.557 pengunjung, Jerman sebanyak 7.834 orang,
dan Perancis 6.933 orang wisatawan.

Usulan langkah ke depan untuk ekowisata di Taman Nasional Komodo, beberapa aktivitas usulan
melalui:

Branding pada lokasi dan


obyek unik
Gabungan paket wisata
serta aktivitas klaster
lebih kongkrit
Ekowisata Komodo
ke Depan Kegiatan budaya dan
kesenian sebagai bagian
paket ekowisata
Usaha Kecil dan
Menengah penopang
lebih banyak

Selain langkah-langkah di atas, perlu dipersiapkan untuk mendesain klaster wisata tidak hanya
Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo, klaster pertama meliputi Bali, Lombok, Komodo dan
Flores. Klaster kedua meliputi Makassar, Toraja, Wakatobi, Komodo, dan Flores.

Sumber: Hasil Riset Lapangan Paramadina Public Policy Institute (2012) diolah kembali penulis

Pada bagian ketiga diskusi kebijakan, penulis memaparkan dinamika pengelolaan


Taman Nasional Komodo guna memberikan perspektif yang lebih luas, kompleksitas
memajukan ekowisata di kawasan konservasi. Tidak mudah memperoleh materi dan
bahan diskusi, riset Karl Bradnt di tahun 2003 dan laporan Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) disajikan sebagai narasi dinamika pengelolaan kawasan konservasi. Bagian ketiga
adalah realitas faktual dari pengelolaan Taman Nasional dengan segenap dinamika dan
perilaku para pihak didalamnya.

Dinamika Pengelolaan TN Komodo


Pada bagian ini dibahas dinamika pengelolaan TN Komodo yang telah mulai beroperasi
sejak 1980. Sedikit mengulas keunikan Taman Nasional komodo terletak di

31
kawasan Wallacea Indonesia8. Kawasan Wallacea terbentuk dari pertemuan dua benua
yang membentuk deretan unik kepulauan bergunung api, dan terdiri atas campuran
burung serta hewan dari kedua benua Autralia dan Asia. Dengan menggunakan
perspektif tata kelola sumber daya milik bersama dari Ostrom (1990), taman nasional
seperti juga hutan konservasi, irigasi, akuifer serta contoh-contoh lainnya. Bagi Ostrom,
pilihan antara privatisasi maupun nasionalisasi commons 9, bukanlah kebijakan yang bisa
ditempuh. Privatisasi bermakna menyerahkan pengelolaan sumber daya milik bersama
kepada pasar atau swasta sama berbahayanya dengan nasionalisasi sumber daya yang
bermakna campur tangan negara yang dominan.
Dinamika pengelolaan TN sebagai sumber daya bersama dapat kita potret melalui
studi walhi mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat
dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru
Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan
beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini
dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka
yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.
Pada laporan walhi yang berjudul Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak
Boleh Lagi Mencari Ikan beberapa temuan kunci diantaranya: Kawasan TNK merupakan
wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan
bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai
banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa
melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak
kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003 10.
Selain data dari situs tersebut, penulis tidak mendapatkan data terkini tindak kekerasan
atau konflik antara aparat dengan nelayan setempat. Adapun data BPS Kabupaten
Manggarai Barat tidak merinci detail cerita tindak kekerasan.
Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan
masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu
didengungkan oleh pihak berwenang adalah karena penggunaan destructive fishing oleh
nelayan. Sayangnya solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber
kehidupannya.
TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat
seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus
diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah Pulau Komodo sebagai nelayan,
tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural sebagaimana
dinyatakan pula dalam studi-studi lain misalnya laporan penelitian antropologis Brandt
(2003) dan Zakaria (2012).

8
https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo
9
Lihat Kiesling (2016:65-67), Responsibility and the Environment dalam Tom G Palmer (eds) (2016), State
Control or Self-Control? You Decide, Ottawa: Jameson Book, Inc.
10
http://selviariayu.blogspot.co.id/

32
Brandt (2003:12) menarasikan sejak tahun 2000 ketika The Nature Conservancy
(TNC) selaku lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Amerika Serikat, tergolong
LSM lingkungan besar di negeri Paman Sam, bersama investor asal Malaysia, Feisol
Hasim, telah mendapat kepastian sebagai pemegang lisensi pengelolaan Taman Nasional
untuk kurun waktu 25 tahun. TNC sendiri seperti disebutkan dalam situs Taman Nasional
Komodo (http://www.komodonationalpark.org/) tidak dapat memperoleh konsensi
pengelolaan kawasan konservasi, kecuali membentuk perusahaan dengan pemegang
saham dari Indonesia berbentuk usaha patungan (joint venture). Banyak hal lain yang
terklarifikasi menyangkut TNC, apa yang dilakukan dan ingin dicapai dengan
keberadaanya di TN Komodo, konsesi yang diberikan, usaha patungan, serta manajemen
kolaboratif.
Keterbukaan informasi dari TNC perlu diapresiasi namun transparansi informasi
kerap tidak menghasilkan akuntabilitas dan masih ada pihak yang kalah dalam
menatakelola sumber daya milik bersama ini. Di satu sisi penulis cukup dapat memahami
perkembangan pendekatan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi tidak dapat
dilepaskan dari kehadiran aktor lingkungan global. Di sisi lain, tidak dapat dihindari
potensi benturan sosial baik antar masyarakat di dalam kawasan maupun dengan
masyarakat luar kawasan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti
pemisahan Komodo dengan masyarakat.
Bagi Brandt, kebudayaan orang kampung Komodo (telah) dihambat oleh
peraturan UNESCO dan TNC. Sejak Pulau Komodo menjadi bagian warisan alam dunia,
pohon tidak bisa dipotong. Semula, orang kampung Komodo makan bubur dari pohon
sagu dan membangun rumahnya dari pohon. Perkembangan jumlah manusia penduduk
Pulau Komodo memang pesat mulai tahun 1958, tahun1994, hingga tahun 2000.
Sikap saling tidak percaya sangat mendominasi antara misi TNC yang dikenal
dengan collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam
koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah
menjadikan masyarakat sebagai subyek.
Sikap xenophobia dan curiga terhadap orang asing (TNC dan perusahaan
patungan PT Putri Naga Komodo) dimana indikasi ini dapat jelas terlihat penilaian
terhadap proposal TNC yang akan menjadikan TN Komodo sebagai "lahan konsesi" yang
dikelola secara eksklusif. Padahal sejauh penulis baca tidak demikian. Keberatan juga
menyangkut format kolaborasi yang diusung TNC dan aparatur Balai TN dan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai satuan kerja Dirjen PHKA di lapangan,
tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terang-terangan TNC
juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata. Di
atas kertas, manajemen kolaboratif merupakan aplikasi dari governing the commons
namun delapan prinsip tata kelola sumber daya milik bersama dari Elinor Ostrom
sepertinya masih jauh dari harapan.
Kendala penerapan delapan prinsip tersebut bermuara pada sikap para pihak yang
dikotomis dalam memandang masalah lingkungan. Acap kali, aktor para penggiat

33
lingkungan hidup tidak memercayai solusi pasar/swasta dalam mengelola kawsan
konservasi. Privatisasi sangatlah ditentang. Sedangkan, intervensi pemerintah hampir
selalu tidak memadai karena keterbatasan anggaran, urusan non-prioritas menyangkut
isu iklim (walaupun perlahan kesadaran pembangunan berkelanjutan mulai mengemuka),
serta kapasitas aparatur pemerintah, terutama di daerah. Masih banyak persoalan
mendasar (elementary) seperti pendidikan dan kemiskinan yang mendapat perhatian.
Walaupun begitu, menilik potensi ekowisata sudah sepatutnya semua pihak mencapai
konsensus bahwa sektor pariwisata dapat memberikan harapan bagi kesejahteraan
warga Pulau Komodo serta Kabupaten Manggarai Barat secara luas.
Pelajaran dari tata keloa air di Paris memberikan catatan terpenting bahwa
keputusan politik untuk mengakhiri kontrak privatisasi air yang sudah berjalan selama
25 tahun. Pemerintah Kota Paris melakukan transformasi besar di berbagai bidang seperti
teknis, ekonomi, sosial, dan budaya (Agnes Sinai, 2002). Tanpa kerjasama dan konsensus
para pihak mustahil transformasi besar itu terjadi.

Politik Anggaran Berdasarkan Teori Pilihan Publik


Dalam melakukan penilaian terhadap politik anggaran Dirjen PHKA Kementerian LH dan
Kehutanan berdasarkan riset Indonesia Budget Center (IBC, 2015). Dokumentasi riset
Merahnya Anggaran Hijau merupakan riset yang bersifat evaluatif terhadap
pengelolaan anggaran pada sektor Konservasi SDA dan Ekosistem pada Dirjen PHKA
Kementrian LH dan Kehutanan. Fokus peneliti anggaran diarahkan kepada efktifitas
pengelolaan keuangannya, proses penganggarannya dan pemetaan permasalahan pada
pengelolaannya melalui pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja.

Kegiatan riset lembaga IBC dilakukan pada pengelolaan anggaran di Taman


Nasional di bawah naungan Dirjen PHKA dengan mengambil isu yang berkaitan dengan
tiga program: pertama, pencegahan kebakaran; kedua, program penyelesaian konflik;
dan ketiga, program pemberdayaan masyarakat.

Penulis perlu memperjelas yang dimaksud politik anggaran yaitu implementasi


kebijakan pemerintah melalui instrumen keuangan negara (anggaran pendapatan dan
belanja) guna mencapai sasaran yang telah dirancang sebelumnya. Sistem keuangan
negara kita menganut tiga pilar penganggaran yaitu: (1). Adanya penganggaran terpadu
atau unified budget. (2). Penerapan kerangka pengeluaran bersifat jangka menengah
sehingga program pembangunan disusun secara bertahap dan prudent. (3).
Penganggaran berbasis kinerja dimana salah satu prinsip pentingnya uang mengikuti
fungsi, fungsi mengikuti struktur (money follow function, function follows by structure).

Dari sisi teori kebijakan publik, birokrasi memperoleh perhatian tersendiri dalam
evolusi pemikiran teoritis maupun aplikasi empirisnya (Tullock, Seldon, Grady, 2002).
Niskanen (1973) tercatat sebagai ekonom generasi pertama dari teori pilihan publik yang
mempelajari birokrasi. Melalui model-nya Niskanen mempostulasikan birokrasi seperti

34
pengusaha atau manajer dalam perusahaan bisnis, yang mengejar keuntungan
semaksimal mungkin, sementara birokrasi mengejar pertambahan ukuran dari birokrasi,
baik berupa penambahan anggota/orang serta tentu saja yang terpenting anggaran.

Berkaca dari model budget maximization, kita bisa analisis keberadaan Ditjen
PHKA di bawah unit Kementerian LH dan Kehutanan. Selaku satu-satunya unit kerja yang
memperoleh mandat guna melaksanakan usaha perlindungan hutan serta konservasi
alam di Indonesia, bagi IBC, sewajarnya memperoleh dukungan anggarang yang cukup
untuk mengelola kawasan konservasi. IBC (2015) mencatat tren pagu anggaran dan
realisasi anggaran mengalami kenaikan selama kurun waktu tahun 2010-2015 (sedikit
menurun di tahun 2014). Persentase kenaikan mencapai 6,24% sampai 42,55% per tahun.
Menarik untuk dicatat bahwa meski alokasi anggaran trennya terus meningkat. Namun
dari sisi alokasi dibandingkan dengan jangkauan luas area konservasi di bawah kendali
Ditjen PHKA hanya sebesar Rp. 63,524,000 per hektar.

Hal lain yang perlu dicatat juga alokasi anggaran tidak seluruhnya dibelanjakan
pada kegiatan teknis guna melindungi kawasan konservasi dari beragam ancaman serta
meningkatkan pemanfaatan kawasan konservasi bagi kesejahteraan rakyat di wilayah
konservasi (IBC, 2015). Studi IBC juga menemukan bahwa dari enam keluaran program
yang ditetapkan sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) 11 Ditjen PHKA di tahun 2014 hanya
tiga indikator yang melampau targetnya. Tiga keluaran program yang tidak melampau
target sebagai berikut:

i. Penurunan konflik dan tekanan pada kawasan taman nasional dan kawasan
konservasi lainnya;
ii. Penurunan titik panas (hot spot) di Kalimantan, Sumatera, dan Selawesi;
iii. Terbangunnya persiapan sistem pengolahan Badan Layanan Umum di Unit
Pelaksana Teknis Perlindungan Hutan dan Konservasi alam.

Bagi IBC, tidak tercapainya beberapa keluaran yang telah ditetapkan sebelumnya
mengakibatkan penurunan efektifitas pencapaian kinerja menurut IKU. Ditambah lagi,
ada faktor eksternal di luar Kementerian LH dan Kehutanan misalnya fenomena El Nino
tahun 2014, tiga kandidat satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU) yang diajukan tidak
memenuhi persyaratan teknis, dan proses penyelesaian kasus Tindak Pidana Kehutanan
yang kompleks sehingga berlarut-larut (IBC, 2015:27).

Reformasi keuangan publik yang diinisiasi melalui reformasi keuangan negara


sejak tahun 2003 ialah kerangka logis (logical framework) agar anggaran semakin
mencerminkan kinerja birokrasi. Teori pilihan publik justru mempunyai asumsi dasar yang
berbeda dari reformasi keuangan publik. Dari teori maupun aplikasi pilihan publik,
kegagalan pemerintah (government failure) tidak serta merta memberikan solusi

11
IKU merupakan target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Jenderal Eselon 1, sementara IKK atau
Indikator Kinerja Kegiatan ialah target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Eselon 2

35
terhadap kegagalan pasar (market failure). Dalam isu lingkungan dan perubahan iklim,
wawasan skeptis model Niskanen bermanfaat untuk membuat kita tidak terjebak
dalam pemikiran yang penuh harap (wishful thinking). Alternatif mengatasi kegagalan
pemerintah yang bersumber dari birokrasi dari buku teks adalah keterlibaan sebanyak
mungkin pemangku kepentingan melalui model tata kelola sumber daya milik bersama
(governing the commons). Persoalannya kemudian adalah negara kita belum cukup
memliki sektor ketiga, disamping bisnis dan negara, yang kuat yaitu masyarakat sipil yang
kuat dan independen. Walaupun begitu, kita perlu terus mendorong masyarakat sipil
lokal tumbuh seiring dengan penguatasn kapasitas aparatur pemerintah melalui politik
anggaran yang berpihak pada konservasi sumber daya hayati.

36
Bab 4
Penutup

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan dan saran dari kajian Dinamika Pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai
berikut:

1) Perubahan iklim sebagai fenomena global membutuhkan kesepahaman antara


beragam pemangku kepentingan. Pemahaman bersama menjadi pintu masuk
dalam isu lingkungan hidup yang bertalian dengan banyak aspek dalam
perikehidupan manusia. Kehadiran Taman Nasional Komodo memilik beragam
manfaat konservasi, selain juga eksternalitas positif bagi pengembangan
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Indonesia telah banyak
mengadopsi dan memiliki regulasi terkait pengelolaan Taman Nasional dan
Kawasan Konservasi. Secara faktual, prakter kebijakan dan implementasi regulasi-
regulasi tersebut masih belum maksimal dan menghadapi kebuntuan.
2) Ekowisata memiliki potensi yang menjanjikan untuk menyediakan akses bagi
warga masyarakat guna memperoleh manfaat positif keberadaan Taman
Nasional. Isu kemiskinan dapat dicarikan solusinya melalui ekowisata. Namun kita
perlu mewaspadai dan memahami dinamika pengelolaan Taman Nasional,
khususnya menyangkut sisi antropologis warga yang berdomisili di Taman
Nasional. Secara teoritis dan empiris, model tata kelola sumber daya bersama
(governing the commons) serta pelembagaan hak kepemilikan kepada masyakat
lokal menerapkan prinsip-prinsip kebebasan dan kemajuan.
3) Apapun strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dipilih pemerintah,
teori pilihan publik melalui model birokrasi Niskanen dan model pemburu rente
(rent seeking) Tullock memberikan wawasan mendasar bahwa kita perlu waspada
dengan kegagalan pemerintah, yang kerap diundang secara sadar, guna
memperbaiki kegagalan pasar. Internalisasi eksternalitas dalam isu perubahan
iklim dan lingkungan perlu melibatkan beragam pemangku kepentingan sehingga
suara (voice) warga bisa terdengar dan diperjuangkan. Perlu pula dicantumkan
bahwa teori pilihan publik tidak berarti kita bisa hidup tanpa pemerintahan
(anarchy). Wawasan pilihan publik justru mewaspadai persoalan mendasar dari
intervensi pemerintah.
4) Perlunya sinergi maupun koordinasi yang mantap antara kalangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan
Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di

37
dalam Taman Nasional. Sinergi dan koordinasi adalah dua kata yang mudah
diujarkan namun implementasi di lapangan tidak mudah. Untuk itu, penguatan
data lapangan Taman Nasional dalam memetakan potensi dan keunikan Taman
Nasional, agar dapat diketahui jasa ekosistem sebagai entitas ekonomi. Beragam
hasil riset saintifik berbasis ilmu alam dan ilmu sosial perlu terus dikembangkan.
Peran serta pihak non-pemerintah dari masyarakat sipil maupun entitas
swasta/bisnis sangat didorong sehingga keseimbangan kekuatan tawar menawar
dapat tercipta.
5) Pemerintah mempunyai instrumen politik anggaran yang sepatutnya berpihak
kepada pengelolaan kawasan konservasi demi kesinambungan pembangunan
berkelanjutan. Masa pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi saja
sudah tidak bisa dilanjutkan, bila kita mengingikan anak dan cucu serta keturunan
kita merasakan dan menjumpai sumber daya hayati seperti yang ada sekarang.
Tanpa keberpihakan dalam bentuk politik anggaran, kehadiran pemerintah tidak
banyak artinya bagi pembangunan berkelanjutan.

38
Daftar Pustaka

1. Agnes Sinai (2002), Tata Kelola Air di Paris. Jakarta, Gramedia.


2. Arianto Patunru dan Anthea Haryoko (2015), Reducing Deforestation by
Strengthening Communal Property Rights. Kuala Lumpur, CIPS dan SEANET.
3. BPS Kabupaten Manggarai Barat (2015), Manggarai Barat Dalam Angka.
4. Daniel Murdiyarso (2010), Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja
Perundingan. Dalam Prisma Vol.29, No.2, April 2010.
5. Djoni Hartono, Arief A Yusuf, dan Budi Resosudarmo (2010), Konsep Dasar
Persoalan Eksternalitas, dalam Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A
Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran
dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta, Gramedia.
6. Elinor Ostrom (1990), Governing the common. New York, Cambridge University
Press.
7. Fabby Tumiwa (2010), Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan
Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini, Kertas Kebijakan, Jakarta, Freiderich Naumann
Stiftung.
8. Gordon Tullock, Arthur Seldon, dan Gordon L Brady (2002), Government Failure: A
Premier in Public Choice. Washington DC, Cato Institute.
9. Gordon Tullock (2005), Rent-Seeking Society, Selected Works of Gordon Tullock
volume 5. Indianapolis, Liberty Fund.
10. Indonesia Budget Center (2015), Merahnya Anggaran Hijau: Efektifitas Anggaran
Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Ditjen PHKA Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
11. Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo
(eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta,
Gramedia.
12. James Salzman (2010), Designing Payments For Ecosystem Services, PERC Policy
Series No.48.
13. Karl Brandt (2003), Mengapa Kebudayaan Masyarakat Kampung Komodo Terancam.
Fakultas Asian Studies, Australian National University, Australia.
14. Lynne Kiesling (2016), Responsibility and the Environment. Dalam Tom G Palmer
(eds) (2016), State Control or Self-Control? You Decide, Ottawa, Jameson Book, Inc.
15. Moira Moeliono et al (2010), Merentas Kebuntuan: Konsep dan panduan
pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia. Bogor, Center for
International Forestry Research.

39
16. Newcome et al (2005), The economic, social, and ecological value of ecosystem
services: a literature review, dalam Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A
Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran
dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta, Gramedia.
17. Paramadina Public Policy Institute (2012), Penelitian dan pengembangan kebijakan
publik Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. Jakarta, Tidak dipublikasikan.
18. Pramudya A.Oktavinanda (2012), Public Choice Theory dan Aplikasi dalam Sistem
Legilasi Indonesia. Diunduh dari http://www.pramoctavy.com/
19. R. Yando Zakaria tahun (2012), Kemiskinan, Budaya dan Perekonomian Rakyat
dalam Bisnis Keajaiban Komodo untuk Yayasan Komodo Kita. Jakarta, Tidak
dipublikasikan.
20. R David Simson (2016), Ecosystem Services: What are the Public Policy Implications?
PERC Policy Series No.55.
21. Robert Cribb dan Michele Ford (eds) (2009), Indonesia beyond the waters edge:
Managing an Archipelagic State. Singapura, ISEAS.
22. Yani Saloh (2015), Kajian Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang
Ekonomi dan Menjaga Stabilitas Iklim. Jakarta, FNF dan Freedom Institute.

40
Profil Penulis

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth


Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama
pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah
Pemuda. Selain aktivisme YFN, Iksan juga berprofesi sebagai
seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute
(PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina
Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel
menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelumnya,
Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki
passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil,
serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.

Iksan bisa dihubungi melalui email mh.iksan@suarakebebasan.org dan twitter


@mh_ikhsan

41

You might also like