Professional Documents
Culture Documents
8
Bagan 1. Pathogenesis dari LES
Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan
sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang abnormal dengan
segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, di mana 10-20 % pasien
penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan dengan
haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-
gen lain yang berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin
8
dan sitokin.
Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada
LES, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada
interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktifasi sistem
neuroendokrin . Di dalam tubuh sebenarnya terdapat kelompok limfosit B yang
memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat sitotoksik terhadap diri
8
sendiri.
Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit T
supresor.Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan terbentuknya autoantibodi
yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan jaringan.Sel T
sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil mengeluarkan
mediator yang mengakibatkan reaksi peradangan. Antibodi dan komplemen yang
7,8
melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh sel fagosit dan sel Killer.
Bagian yang penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu
yang resisten. Dalam keadaan normal,kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam
proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya
kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnahkan oleh makrofag dalam hati.
Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karenanya dapat lebih lama
8
berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab
mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.Meskipun kompleks imun berada di
sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan
akan timbul bila kompleks tersebut mengendap di jaringan. Terjadinya pengendapan
kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas
vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan oleh pelepasan histamin. Kompleks
imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat dengan tekanan darah yang tinggi
yang disertai turbulensi, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, pleksus koroid dan siliar mata.Akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut.Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
6-8
seperti ginjal,sendi,pleura,pleksus koroideus,kulit dan sebagainya.
9
Tabel 1. Manifestasi klinis LES (dikutip dari Lahita)
Sistem Organ Manifestasi Klinis Persentase
(%)
Sistemik Mudah lelah, lemah, demam, penurunan 95
berat badan
Muskuloskeletal Athralgia, mialgia, poliarthritis, miopati 95
Hematologik Anemia, hemolisis, leukopenia, 85
trombositopenia, dll
Kutaneus Ruam malar, ruam discoid, ruam kulit, 80
photosensitif,dll
Neurologik Sindrom otak organik, psikosis, serangan 60
kejang
Kardiopulmoner Pleuritis, perikarditis, miokarditis, 60
endokarditis Libmann Sacks.
Renal Proteinuria, sindrom nefrotik, gagal ginjal 50
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, diare, vaskulitis 45
Trombosis Arterial(5%) dan venosa(10%) 15
Okuler Konjungtivitis 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklampsia, kematian 30
janin dalam rahim
1.Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
9
prednisone.
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi pada beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
5,9
menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan oleh gejala gastrointestinal.
3. Demam
Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain
5,9
seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Manifestasi muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai
pada penderita LES, lebih dari 90%.Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri
sendi (athralgia) atau merupakan suatu arthritis di mana tampak adanya inflamasi
sendi.Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES, keterlibatan sendi pada
5,9
umumnya tidak akan menyebabkan deformitas.
5. Manifestasi kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi mukokutaneus
yang tampak sebagai bagian dari LES dapat berupa suatu reaksi fotosensitifitas,
discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus
profundus/paniculitis, alopesia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
5,9
retikularis, telangiektasia, fenomena Raynauds dan lain-lain.
6. Manifestasi paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum,
perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.Pneumonitis lupus dapat terjadi secara
akut atau berlanjut menjadi kronik.Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan
pneumonia bakterial.Apabila terjadi keraguan untuk diagnosis dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Pneumonitis lupus memberikan
5,9
respon yang baik terhadap pemberian kortikosteroid.
7. Manifestasi kardiologi
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat
terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah
perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, silhouette sign pada foto dada, ataupun melalui gambaran
EKG dan ekokardiografi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada
penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal
jantung kongestif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan
5,9
komplikasi lain yang juga sering ditemukan.
8. Manifestasi renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita kejadian ini (9:1)
dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau
sindrom nefrotik. Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya
infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan
10
ginjal pada penderita LES.
9. Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai
akibat pengobatan. Secara klinis vasculitis tampak adanya keluhan penyakit pada
esophagus, mesenteric inflammatory bowel disease(IBS), pancreatitis dan penyakit
5,9
hati
10. Manifestasi neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinisnya
begitu luas.Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremis, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis LES. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi
sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf cranial, lesi batang otak, meningitis aseptik
atau myelitis transversal.Sedangkan lesi pada susunan saraf tepi dapat bermanifestasi
sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multipleks. Dari segi
11
psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik dan non organik.
11. Manifestasi hemik-limfatik.
Limfadenopati baik menyeluruh maupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita
LES. Organ limfoid lain yang sering terkena adalah limfa yang biasanya disertai
pembesaran hati. Kelainan hematologik sangat bervariasi dan bahkan dapat
menyerupai gangguan darah perifer. Anemia dapat dijumpai pada satu periode dalam
12
perkembangan penyakit LES.
14
Tabel 2. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.
No Kriteria Difinisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas,rata atau meninggi,
letaknya di daerah macular, biasanya tidak mengenai
lipat nasolabialis.
2. Ruam Discoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin
terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui
anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulkus mulut Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Arthritis Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi perifer
ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh
dokter atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG
atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau adanya efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau >3+
atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obat yang dapat menyebabkan atau
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis, dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obatan yang dapat menyebabkan
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis LES memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%.Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis.Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes
ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan
15
observasi jangka panjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan
15
monitoring:
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax:
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES.Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Tabel 3. Autoantibodi yang dihasilkan pada pasien dengan LES (dikutip dari
12
Cunningham).
Antibodi Incidency(%) Clinical Associations
Antinuclear 95 Multiple antibodies, repeated negative test
make lupus unlikely
Anti-DNA 70 Associated with nephritis and clinical
actively
Anti-Sm 30 Spesific for lupus
Anti- RNP 40 Polimyositis, scleroderma,lupus,mixed
connective tissue disease
Anti Ro(SSA) 30 Sjorgen Syndrome, cutaneous lupus,
neonatal lupus
Anti-La(SSB) 10 Always with anti-Ro ; Sjorgens syndrome
Antihistone 70 Common in drug-induced lupus(95%)
Anticardiolipin 50 Antiphospolipid antibody, increased
thrombosis, spontaneous abortion; early
preeclampsia placental infarction; fetal
death; prolonged partial thromboplastin
time; false positive VDRL.
Antierythocytic 60 Overt hemolysis uncommon
Antiplatelet - Thrombocytopenia
7
Tabel 4. Pengaruh kehamilan terhadap aktivitas LES (dikutip dari Megan 2007)
Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk mengenali
gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan yang memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa flare yang
sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama kehamilan sebesar 2-
3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana sebagian besar
mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga berat.Sebagian
besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit, persendian, dan gejala
konstitusional. Hal tersebut juga nampak pada kehamilan biasa, sehingga seringkali
24
tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.
Penilaian aktivitas penyakit LES (lupus flare) dapat menggunakan kriteria
15
MEX SLEDAI, yang meliputi:
a. Gangguan neurologi (bobot 8)
- CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru,eksklusi arteriosklerosis.
- Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
- Sindrom otak organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
- Mononeuritis
- Myelitis: eksklusi penyebab lainnya.
b. Gangguan ginjal ( bobot 6)
- Cast, heme granular atau sel darah merah.
- Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi)
- Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen.
- Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl)
c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
d. Hemolisis( bobot 3): Hb<12,0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%,
trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.
e. Miositis (bobot 3)
f. Artritis(bobot 2)
g. Gangguan mukokutaneous(bobot 2):
- Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol
- Mucous ulcers
- Abnormal alopenia
h. Serositis(bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis
i. Demam(bobot 1)
3
j. Lekopenia(bobot 1): sel darah putih < 4000/mm , bukan akibat obat,
3
limfopeni( limfosit < 1200 mm , bukan akibat obat)
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
15
pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:
12 : flare berat, diperlukan pulse dose metilprednisolon 500-1000 mg perhari
selama 3 hari.
9-11 : flare moderate, 4-8 : flare ringan, < 4 : bukan flare.
Untuk flare ringan- moderate, bila sudah mendapat therapi steroid, dilanjutkan
pemberian steroid dengan imunosupresan.
Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi LES selama kehamilan,
menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa
peripartum.Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi
LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih
besar pada 8 minggu post partum.Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan
mempresipitasi timbulnya LES, di mana kematian yang terkait dengan penyakit
tersebut secara bermakna lebih tinggi.Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa
penderita LES tidak diperbolehkan untuk hamil.Dewasa ini para klinisi menganggap
bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, di mana diagnosis dan penatalaksanaan LES
saat ini tidak lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa wanita
25
dengan LES akan mengalami eksaserbasi selama kehamilan dan masa post partum.
Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang
sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian
eksaserbasi LES dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan
klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda spesifik untuk LES,
maka kejadiannya hanya 13%.Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak
dianjurkan pada penderita LES, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi
klinis pasca abortus.Bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus
dilakukan sedini mungkin. Pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian
7,25
kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.
23
Tabel 5. Jenis dan dosis obat yang dapat dipakai pada LES.
d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus LES
mencakup:
- Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama
5 hari, terutama pada pasien LES dengan trombositopenia, anemia
hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik LES, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaparesis pada pasien LES dengan sitopenia, krioglobulinemia dan
lupus serebritis.
- Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone( DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring effect
pada LES ringan.
- Dapson dan derivate retinoid pada LES dengan menifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada LES
yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi LES (saat
ini belum tersedia di Indonesia).
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
2.9 Penatalaksanaan LES pada kehamilan
Penatalaksanaan lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya
kehamilan.Konseling prakehamilan dibutuhkan dalam mengestimasti risiko pasien
dan meninjau kembali pengobatan lupus.Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan
untuk mencegah efek teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai
pengobatan baru untuk melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan
tersebut. Penatalaksanaan ini memerlukan pengawasan dan evaluasi terhadap ibu
31
setidaknya 6 bulan sebelum kehamilan agar tercapai luaran kehamilan yang baik.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan
7,31
yaitu:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga
dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus
sistemik.
Sehingga penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan
mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi bidang
rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan risiko tinggi serta
nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah dipastikan, pemantuan serta
evaluasi basal terkait aktivitas penyakit, keparahan, dan keterlibatan sistem organ
31
sebaiknya segera dilaksanakan.
Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga usia kehamilan 20
minggu, setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, dan setiap minggu
hingga persalinan tercapai. Pasien LES yang hamil bisa mencapai luaran kehamilan
yang baik dengan penanganan dan pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun
selama kehamilan. Pasien LES yang hamil yang memperoleh pengobatan
imunosupresif memerlukan profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi
7,31
influenza dan vaksin pneumokokus.
Tabel 6. Guidelines for assessment of pregnant patients with lupus ( dikutip dari
7
Osaimi).
15
Tabel 9. Rekomendasi suplementasi kortikosteroid
34
Tabel 10. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi
4. Aspirin
Pengobatan dengan aspirin dosis rendah selama kehamilan diindikasikan pada ibu
hamil dengan LES, hipertensi, riwayat preeklampsia, dan penyakit ginjal.Aspirin
dapat melewati plasenta dan menyebabkan kelainan kongenital namun hal ini sangat
jarang terjadi pada manusia.Wanita hamil yang menggunakan aspirin dosis rendah
mengalami penurunan risiko terhadap persalinan preterm dibandingkan kelompok
placebo.Aspirin sendiri memiliki efek antifosfolipid dan sebaiknya dihentikan
penggunaannya 8 minggu menjelang persalinan untuk mencegah kehamilan postterm
dan pemanjangan waktu persalinan, serta risiko perdarahan selama persalinan dan
31,32,33
komplikasi perdarahan pada janin.
5. Obat Antihipertensi
Hipertensi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu terbesar.
Tekanan darah(TD) selama kehamilan cenderung meningkat pada trimester pertama
dan kedua. Batasan tekanan darah serta target tekanan darah selama pengobatan
antihipertensif pada kehamilan masih kontroversial. Wanita dengan hipertensi berat (
TD sistolik 160 mmHg dan atau TD diastolic 110 mmHg) diperlukan pengobatan
antihipertensi untuk menurunkan risiko ibu terkait komplikasi sistem saraf pusat.
Target TD pada kehamilan adalah <140/90 mmHg.Pengobatan terbaik meliputi
metildopa dan labetalol.Metildopa merupakan satu-satunya obat antihipertensi yang
diteliti terkait efek jangka panjang pada janin. ACE inhibitor dan ARB sebaiknya
dihindari penggunaannya terkait efek samping pada konsepsi dan gangguan pada
fetus.31,32,33
6. Agen Imunosupresif
a. Siklofosfamid
Pemberian siklofosfamid selama kehamilan dikaitkan dengan risiko terjadinya fetal
loss.Pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid sebaiknya menunda
kehamilan setidaknya hingga 3 bulan setelah penghentian pengobatan. Obat ini
berefek teratogenik, sehingga sebaiknya digunakan setelah melewati trimester
31,32
pertama pada penyakit lupus yang sangat parah dan mengancam jiwa.
b. Azathiopurine (AZA)
AZA merupakan analog purin yang berperan dalam sintesis asam nukleat. AZA
mampu melewati plasenta, namun konsentrasi yang mencapai aliran darah janin
32
relatif sangat minimal.
c. Methotrexate (MTX)
MTX merupakan golongan obat FDA kategori risiko X, sehingga sangat
kontraindikasi pada kehamilan.Perencanaan kehamilan sebaiknya dilakukan setelah 3
bulan penghentian MTX karena metabolit aktifnya masih beredar dalam darah
selama 2 bulan setelah penghentian.MTX bekerja sebagai antagonis folat dan
mengakibatkan deplesi folat selama kehamilan. Pemberian suplemen folat
32
direkomendasikan selama masa kehamilan untuk mengatasi hal tersebut.
d. Mycophenolate mofetil (MMF)
Obat ini digunakan pada lupus renal dan direkomendasikan penggantian atau
switching regimen ke AZA sebelum terjadinya konsepsi.MMF digunakan sebagai
terapi pemeliharaaan terhadap lupus nefritis, lupus kulit yang resisten, aktivitas
penyakit lupus dan manifestasi hematologis.Wanita dengan lupus yang ingin hamil
dan menjalani pengobatan dengan MMF sebaiknya menghentikan pengobatan
31,32,33
tersebut setidaknya selama 6 bulan.
e. Siklosforin (CSA)
CSA merupakan agen imunosupresan yang tidak memilki efek teratogenik, namun
pemberiannya selama kehamilan dikaitkan dengan risiko prematur.
7. Agen Biologis
a. Anti TNF-
Konsentrasi immunoglobulin maternal dalam darah janin meningkat sejak awal
trimester kedua melalui mekanisme aliran plasenta.Antibodi maternal ini diperlukan
selama trimester ketiga.Penghambat TNF- (infliximab, etanercept, adalimumab)
dapat melewati sawar plasenta selama trimester pertama dan kemampuannya dalam
menembus sawar plasenta meningkat selama trimester kedua dan ketiga.Pemakaian
anti-TNF- menurunkan aktivitas inflamasi pada LES. FDA mengakategorikan anti
TNF sebagai obat ketagori B. Pasien yang diobati dengan anti TNF- sebelum
maupun setelah terjadinya konsepsi tidak diindikasikan untuk menjalani terminasi
31,32,33
kehamilan kecuali pada kasus gawat janin.
b. Rituximab
Obat ini merupakan chimeric dari antibody anti CD-20 cell depleting monoclonal.
Penggunaannya selama kehamilan berkaitan dengan sitopenia termasuk deplesi sel
beta pada janin yang bersifat reversibel.Sehingga, penjadwalan kehamilan sebaiknya
dilakukan setidaknya 12 bulan setelah penghentian pengobatan dengan
31,32,33
rituximab.
8. Terapi lainnya
a. Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan IVIG selama kehamilan tidak menimbulkan abnormalitas pada
janin.IVIG selama kehamilan dapat mengontrol aktivitas lupus berat.
b. Plasma Pharesis
Plasma Paresis (PP) digunakan pada keadaan resistensi siklofosfamid dan penyakit lupus
yang melibatkan ancaman multiorgan.Indikasi absolut pemberian PP meliputi
hiperviskositas dan perdarahan pulmonal.PP cukup aman dan memerlukan pemantuan
intensif selama pemberiannya. Apheresis dapat ditoleransi pada ibu hamil dan digunakan
31,32,33
untuk membersihkan antibodi antifosfolipid dan anti-Ro (SSA).
ibu.31,32,33
4. Kortikosteroid
American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemakaian prednisone dan
prednisolon aman pada saat menyusui. Paparan bayi terhadap prednisone dapat
diminimalisir dengan pemberian prednison dalam interval jarang dan mulai
31,32,33
menyusui setidaknya 4 jam setelah mengkonsumsi obat.
5. Siklofosfamid
Pasien LES dengan kondisi penyakit yang mengancam yang mengkonsumsi obat
siklofosfamid selama trimester kedua dan ketiga dilarang untuk menyusui.
Siklofosfamid memiliki kadar yang tinggi didalam ASI. Bayi sendiri perlu dimonitor
34
terkait keadaan imunosupresif dan keganasan.
6. AZA
Ibu yang memperoleh pengobatan dengan AZA juga dilarang untuk menyusui terkait
efek samping jangka panjang berupa imunosupresif dan karsinogenesis pada bayi.
Meskipun belum ada studi khusus yang menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
33,34
masalah tersebut.
7. MTX
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
dengan MTX, mengingat efek samping yang ditimbulkan berupa imunosupresif,
34
neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada bayi.
8. Siklosforin
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
dengan siklofosfamid, mengingat efek samping jangka panjang yang ditimbulkan
berupa imunosupresif, neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada
34
bayi.
9. Mycophenolate Mofetil (MMF)
Ibu yang mengkonsumsi obat MMF dilarang untuk menyusui terkait belum adanya
data yang cukup yang menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
10. Sulfasalazine
Pemberian ASI selama pengobatan dengan sulfasalazine dikatakan cukup aman,
meskipun masih mungkin menimbulkan efek samping berupa kern ikterus pada bayi.
11. Anti TNF-
Pemberian ASI selama pengobatan dengan anti-TNF- masih belum banyak diteliti,
sehingga belum diketahui secara pasti keamanannya selama menyusui.
12. Rituximab
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan rituximab mengingat data
yang belum cukup untuk menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
13. IVIG
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan IVIG mengingat data yang
belum cukup terkait ekskresi obat ini dalam ASI.
Tabel 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan obat selama menyusui
5
(dikutip dari Howard dan Lawrence,1999).
7
Tabel 12. Konseling Pra-konsepsi (dikutip dari Ruiz, 2008)
Bagan 3. Flow Chart Manajemen Pasien hamil dengan LES (dikutip dari R.
5
Handa, 2006)
Penyakit gagal ginjal kronik berkaitan secara positif dengan risiko komplikasi
obstetik berupa hipertensi dan keguguran.Penyakit paru restriktif juga bertambah
berat selama kehamilan akibat kompresi toraks.APS sekunder merupakan prediktor
utama dari komplikasi kehamilan berupa keguguran, kematian janin, prematuritas,
dan preeclampsia.Aktivitas penyakit berhubungan dengan fetal loss dan prematuritas
serta antikoagulan lupus merupakan faktor risiko keguguran pada pasien dengan
APS.Pada kondisi ekstrim kehamilan sebaiknya ditunda, terutama pada pasien
dengan lupus aktif yang melibatkan sistem organ internal.Hal ini juga berlaku pada
pasien dengan APS dan thrombosis, terutama thrombosis arteri.Perempuan dengan
penyakit ginjal berat, penyakit paru, ataupun penyakit jantung sebaiknya
menghindari kehamilan terkait kondisi kehamilan yang dapat memperparah penyakit
ibu.Pasien dengan hipertensi pulmoner simptomatik yang berat merupakan
kontraindikasi absolut untuk hamil, mengingat mortalitas ibu yang tinggi pada akhir
kehamilan hingga masa nifas.Pasien dengan kreatinin serum >250 mol/L memiliki
kemungkian keberhasilan kehamilan sebesar <30%.Terlepas dari pengobatan yang
agresif terhadap sindrom antibodi antifosfolipid, risiko terjadinya tromboemboli dan
kematian janin masih tetap tinggi. Lupus flare dapat terjadi selama kehamilan.
Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) menyatakan keluhan lemas, alopesia,
penurunan hematokrit, dan peningkatan LED bukan merupakan suatu petunjuk
terjadinya lupus flare dan lupus aktif selama kehamilan. Beberapa petunjuk lupus
flare selama kehamilan meliputi keterlibatan kulit, arthritis, hematuria, demam bukan
karena infeksi, limfadenopati, leukopenia, hipokomplementemia dengan jalur
alternatif, dan peningkatan titer antibodi terhadap DNA. Pasien dengan risiko
kehamilan yang rendah meliputi remisi dengan pengobatan prednisolone dalam dosis
<7,5 mg per hari, fungsi ginjal normal, tidak ada proteinuria, hitung darah lengkap
yang normal, tekanan darah yang normal, kadar komplemen yang normal, dan
20
dsDNA yang negative.
7
Pasien dengan risiko sedang dapat tetap hamil dengan pengawasan yang ketat:
-Pasien dengan flare ringan disertai arthritis, pleuraperikarditis ringan, lesi kulit,
mendapatkan pengobatan dengan prednisolon 10-15 mg per hari
-Pasien asimptomatik yang secara persisten menunjukkan peningkatan dsDNA dan
penurunan kadar komplemen.
LES sendiri merupakan suatu penyakit kronis dan membutuhkan pertimbangan
terkait risiko dan keuntungan untuk hamil.Konseling prakehamilan setidaknya
meliputi evaluasi riwayat penyakit, genetik, operasi, obstetrik, dan keluarga.
Pemeriksaan profil antibodi meliputi anti-SSA/Ro, anti SSB/La, anti-U1 RNP, ANA,
dsDNA, antikardiolipin (ACL, IgG, dan IgM) dan antikoagulan lupus sebaiknya
diperiksa 2x seminggu selama 6-8 minggu. Anti dsDNA dan kadar komplemen
diperiksa setiap trimester untuk menilai aktivitas penyakit. Pemeriksaan urine 24 jam
untuk memeriksa proteinuria dan albumin serum. Pasien dengan hasil positif
terhadap antiSSA/SSB/U1 RNP sebaiknya mengikuti alur pada bagan 3 untuk
diagnosis dan manajemen congenital heart block. Skrining fungsi hormone tiroid
juga dilakukan mengingat kelainan fungsi tersebut cukup sering ditemui pada pasien
7,20
LES.
Gangguan endokrinologi, seperti diabetes mellitus dan hiperprolaktenemia juga
dievaluasi.Jika ditemukan sebelum kehamilan, sebaiknya diterapi setidaknya 6 bulan
sebelum kehamilan.Jika selama 2 minggu terapi lupus belum merespon, diperlukan
pengkajian ulang untuk pemberian agen sitotoksik dan terminasi kehamilan dini,
terutama pada penurunan fungsi ginjal dan sedimen urine yang aktif. Seluruh pasien
sebaiknya menjalani modifikasi gaya hidup selama kehamilan berupa tidak merokok,
tidak mengkonsumsi alkohol, mengurangi konsumsi kafein (<250 mg/hari), dan
7,20
sebaiknya mengkonsumsi suplemen asma folat ( minimal 400 mcg/hari).
7
Tabel 14. Kontraindikasi hamil pada LES (dikutip dari Ruiz, 2008)
BAB III
RINGKASAN