You are on page 1of 55

KEHAMILAN DENGAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

dr. Iswara Somadina Duarsa, SpOG

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH
DENPASAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Lupus Eritematosus sangat


berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin, yang sampai saat
ini masih menjadi salah satu indikator kesehatan nasional. Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis akibat pengendapan
kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang penyebabnya belum
diketahui secara jelas, serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis
1
yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal
1
serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.
Insiden tahunan LES di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki- laki antara 9-14 : 1. Belum terdapat data
epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan
Sadikin Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien yang berobat
2,3
ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Data pasien LES pada kehamilan
2,3
masih sulit didapat, dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES. Dari
kunjungan pasien yang datang kontrol ke Poliklinik Kebidanan dan Penyakit
4
Kandungan RSUP Sanglah Denpasar, didapatkan 3 kasus dari tahun 2011- 2013.
Manifestasi klinis LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit, dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis
terbanyak berturut- turut adalah arthritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati
27,9%, fotosensitifity 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4%, dan demam 16,6%.
Sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam
5
discoid 7,8%, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.
Survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan
terhadap 108 orang pasien LES yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian
pasien dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktifitas penyakit dan infeksi (
termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam
5
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.
Tingginya kasus LES ini merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai
karena banyak faktor merugikan yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan
sistem autoimun. Penyakit LES menyerang hampir 90% wanita yang terjadi pada
rentang usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah
9:1. Penyakit LES yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi seringkali
menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat
membahayakan kondisi ibu dan janin. Dilaporkan wanita hamil yang menderita LES
memiliki komplikasi yang buruk terhadap kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu
6
penyakit LES sangat berisiko tinggi pada kehamilan.
Masalah yang memperburuk keadaan selama kehamilan adalah terjadinya
flare penyakit, terutama bila aktifitas penyakit LES tinggi sebelum hamil. Flare pada
kehamilan dilaporkan antara 13 sampai 68% pada penderita LES yang hamil
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jumlahnya meningkat selama
6
kehamilan dan pada masa post partum antara 30 sampai 50%.
Di bidang Obstetri penyakit ini dianggap penting karena LES dapat
merupakan satu penyakit kehamilan, di mana mempunyai potensi untuk
mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm, maupun kelainan pertumbuhan
janin.Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap LES dapat menyebabkan Lupus
Eritematosus Neonatal, walaupun jarang (1: 20.000 kelahiran hidup). Risiko
kematian ibu hamil yang menderita LES memiliki dampak 20x lebih tinggi karena
komplikasi yang disebabkan oleh pre-eklampsia, thrombosis, infeksi dan kelainan
7
darah. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan
risiko kematian yang tinggi maka penulis tertarik membuat sari pustaka ini, untuk
bisa mengenali lebih awal ibu hamil dengan LES, melakukan perawatan antenatal,
intranatal dan postnatal yang lebih komprehensif dan terarah pada kehamilan dengan
lupus eritematosus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi dan Pathogenesis LES


Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas.Meskipun
demikian terdapat banyak bukti yang mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan
dan hormonal terhadap respon imun.Kerusakan jaringan disebabkan oleh
autoantibodi komplek imun dan limfosit T. Seperti halnya penyakit autoimun yang
lain, suseptibilitas LES tergantung oleh gen yang multiple. Interaksi antara faktor
lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan menimbulkan
abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang
dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah stress fisik maupun mental,
infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan
LES adalah procainamine, hidralasin, quidine dan sulfasalasine. Pada LES ini sel
8
tubuh sendiri dikenali sebagai antigen.

8
Bagan 1. Pathogenesis dari LES
Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan
sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang abnormal dengan
segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, di mana 10-20 % pasien
penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan dengan
haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-
gen lain yang berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin
8
dan sitokin.
Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada
LES, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada
interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktifasi sistem
neuroendokrin . Di dalam tubuh sebenarnya terdapat kelompok limfosit B yang
memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat sitotoksik terhadap diri
8
sendiri.
Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit T
supresor.Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan terbentuknya autoantibodi
yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan jaringan.Sel T
sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil mengeluarkan
mediator yang mengakibatkan reaksi peradangan. Antibodi dan komplemen yang
7,8
melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh sel fagosit dan sel Killer.
Bagian yang penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu
yang resisten. Dalam keadaan normal,kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam
proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya
kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnahkan oleh makrofag dalam hati.
Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karenanya dapat lebih lama
8
berada dalam sirkulasi.
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab
mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.Meskipun kompleks imun berada di
sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan
akan timbul bila kompleks tersebut mengendap di jaringan. Terjadinya pengendapan
kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas
vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan oleh pelepasan histamin. Kompleks
imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat dengan tekanan darah yang tinggi
yang disertai turbulensi, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, pleksus koroid dan siliar mata.Akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut.Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
6-8
seperti ginjal,sendi,pleura,pleksus koroideus,kulit dan sebagainya.

2.2 Gejala Klinis LES


Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan
berat badan menurun.Pada penyakit yang sudah lanjut (berbulan - bulan sampai
tahunan) barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap
serta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat
9
yang dapat mengancam jiwa.

9
Tabel 1. Manifestasi klinis LES (dikutip dari Lahita)
Sistem Organ Manifestasi Klinis Persentase
(%)
Sistemik Mudah lelah, lemah, demam, penurunan 95
berat badan
Muskuloskeletal Athralgia, mialgia, poliarthritis, miopati 95
Hematologik Anemia, hemolisis, leukopenia, 85
trombositopenia, dll
Kutaneus Ruam malar, ruam discoid, ruam kulit, 80
photosensitif,dll
Neurologik Sindrom otak organik, psikosis, serangan 60
kejang
Kardiopulmoner Pleuritis, perikarditis, miokarditis, 60
endokarditis Libmann Sacks.
Renal Proteinuria, sindrom nefrotik, gagal ginjal 50
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, diare, vaskulitis 45
Trombosis Arterial(5%) dan venosa(10%) 15
Okuler Konjungtivitis 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklampsia, kematian 30
janin dalam rahim

1.Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
9
prednisone.
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi pada beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
5,9
menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan oleh gejala gastrointestinal.
3. Demam
Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain
5,9
seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Manifestasi muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai
pada penderita LES, lebih dari 90%.Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri
sendi (athralgia) atau merupakan suatu arthritis di mana tampak adanya inflamasi
sendi.Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES, keterlibatan sendi pada
5,9
umumnya tidak akan menyebabkan deformitas.
5. Manifestasi kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi mukokutaneus
yang tampak sebagai bagian dari LES dapat berupa suatu reaksi fotosensitifitas,
discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus
profundus/paniculitis, alopesia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
5,9
retikularis, telangiektasia, fenomena Raynauds dan lain-lain.
6. Manifestasi paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum,
perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.Pneumonitis lupus dapat terjadi secara
akut atau berlanjut menjadi kronik.Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan
pneumonia bakterial.Apabila terjadi keraguan untuk diagnosis dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Pneumonitis lupus memberikan
5,9
respon yang baik terhadap pemberian kortikosteroid.
7. Manifestasi kardiologi
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat
terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah
perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, silhouette sign pada foto dada, ataupun melalui gambaran
EKG dan ekokardiografi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada
penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal
jantung kongestif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan
5,9
komplikasi lain yang juga sering ditemukan.
8. Manifestasi renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita kejadian ini (9:1)
dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau
sindrom nefrotik. Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya
infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan
10
ginjal pada penderita LES.
9. Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai
akibat pengobatan. Secara klinis vasculitis tampak adanya keluhan penyakit pada
esophagus, mesenteric inflammatory bowel disease(IBS), pancreatitis dan penyakit
5,9
hati
10. Manifestasi neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinisnya
begitu luas.Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremis, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis LES. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi
sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf cranial, lesi batang otak, meningitis aseptik
atau myelitis transversal.Sedangkan lesi pada susunan saraf tepi dapat bermanifestasi
sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multipleks. Dari segi
11
psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik dan non organik.
11. Manifestasi hemik-limfatik.
Limfadenopati baik menyeluruh maupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita
LES. Organ limfoid lain yang sering terkena adalah limfa yang biasanya disertai
pembesaran hati. Kelainan hematologik sangat bervariasi dan bahkan dapat
menyerupai gangguan darah perifer. Anemia dapat dijumpai pada satu periode dalam
12
perkembangan penyakit LES.

2.3 Kriteria Diagnosis


American rheumatism association (ARA) mengumumkan kriteria untuk
klasifikasi LES yang mengandung 14 item. Namun karena sensitivitasnya sangat
bervariasi (57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982, dengan kriteria
13
revisi ini didapatkan sensitivitas sebesar 96 % dan spesifisitasnya antara 78-87%.
Kemudian the American College of Rheumatology (ACR) melakukan revisi lagi
14
tahun 1997.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit LES, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. LES pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya arthritis rheumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit LES menjadi
9,14
penting.

14
Tabel 2. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.
No Kriteria Difinisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas,rata atau meninggi,
letaknya di daerah macular, biasanya tidak mengenai
lipat nasolabialis.
2. Ruam Discoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin
terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui
anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulkus mulut Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Arthritis Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi perifer
ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh
dokter atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG
atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau adanya efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau >3+
atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obat yang dapat menyebabkan atau
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis, dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obatan yang dapat menyebabkan
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit.

9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau


3
Hematologi b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
3
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
3
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm
tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10. Gangguan Imunologi a. Adanya sel LE atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA
dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen
inti atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu
selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat
oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau
uji fluoresensi absorbs antibodi treponema.
11. Antibodi antinuclear Titer abnormal antinuclear antibodi yang diukur
dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain yang
positif(ANA)
setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindroma
lupus karena obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis LES memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%.Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis.Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes
ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan
15
observasi jangka panjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan
15
monitoring:
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax:
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES.Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

2.4 Pemeriksaan Serologi pada LES


Diagnosis LES didasarkan pada gejala klinis yang mendukung, dipastikan
dengan adanya autoantibodi yang ada dalam sirkulasi.Banyak sekali autoantibodi
yang telah dikenal dan berhubungan dengan LES.Autoantibodi yang baik dalam
mendiagnosis LES adalah yang berhubungan langsung terhadap nuclear antigen
yaitu antinuclear antibodi (ANA). Fenomena sel LE tidak lagi penting dalam
diagnosis LES, telah digantikan dengan imunofluorescent assay for ANA.Nilai ANA
yang positif dapat diinterpretasikan pada berbagai tingkatan tergantung pola
ikatannya. Empat pola dasar ikatan tersebut adalah homogenous, peripheral,
speckled dan nucleolar.Ikatan homogenous ditemukan pada 65% penderita LES,
sedangkan ikatan peripheral adalah ikatan yang paling spesifik untuk LES walaupun
tidak terlalu sensitif. Pola ikatan speckled dan nucleolar lebih spesifik terhadap
16
penyakit autoimun yang lain.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA (ANA IF dengan Hep 2 Cell).Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai
LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease, arthritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau
17
pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES, seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat negatif, dengan gambaran klinis tidak
15,17
sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti diagnosis LES, dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika
17
titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien bukan LES.
Antibodi terhadap double stranded (native) DNA (dsDNA) adalah yang
paling spesifik terhadap LES dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak
diobati. Kehadiran titer anti-dsDNA dikaitkan dengan aktifitas LES. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan titer anti-DNA mendahului lupus
flares pada lebih dari 80% penderita. Hal ini telah dikaitkan dengan eksaserbasi
7,17
penyakit dan prematuritas dalam kehamilan.

Tabel 3. Autoantibodi yang dihasilkan pada pasien dengan LES (dikutip dari
12
Cunningham).
Antibodi Incidency(%) Clinical Associations
Antinuclear 95 Multiple antibodies, repeated negative test
make lupus unlikely
Anti-DNA 70 Associated with nephritis and clinical
actively
Anti-Sm 30 Spesific for lupus
Anti- RNP 40 Polimyositis, scleroderma,lupus,mixed
connective tissue disease
Anti Ro(SSA) 30 Sjorgen Syndrome, cutaneous lupus,
neonatal lupus
Anti-La(SSB) 10 Always with anti-Ro ; Sjorgens syndrome
Antihistone 70 Common in drug-induced lupus(95%)
Anticardiolipin 50 Antiphospolipid antibody, increased
thrombosis, spontaneous abortion; early
preeclampsia placental infarction; fetal
death; prolonged partial thromboplastin
time; false positive VDRL.
Antierythocytic 60 Overt hemolysis uncommon
Antiplatelet - Thrombocytopenia

Antibodi terhadap single-stranded DNA (ssDNA) juga ditemui pada


persentase yang cukup tinggi pada penderita LES yang tidak diobati, tetapi kurang
spesifik jika dibandingkan dengan anti-ds DNA. Penderita LES juga mempunyai
antibodi terhadap RNA yang meliputi Sm antigen, nuclear ribonucleoprotein (nRNP),
17
Ro/SSA antigen dan La/SSB antigen.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis LES, sementara bila anti-dsDNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15-30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat
digunakan untuk diagnosis LES.Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES.
15,17
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
18
serupa yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjogren
c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)
d. Fibromyalgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis rheumatoid dini
h. Vaskulitis

2.5 Derajat Berat Ringannya Penyakit LES


Seringkali terjadi kebingungan dalam pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikatagorikan
19
ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
1. LES derajat ringan, bila memenuhi kriteria:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. LES derajat sedang, bila memenuhi kriteria:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
3 3
b. Trombositopenia (trombosit 20-50 x 10 / mm
c. Serositis mayor
3. LES derajat berat atau mengancam nyawa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstitial, shrinking lung
c. Gastrointestinal: pancreatitis, vaskulitis mesenterika
d. Ginjal: nefritis proliperatif. Dan atau membranous
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
f. Neurologi: kejang, acuteconfusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma
demielinasi
3
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1000/mm ),
3
trombositopenia < 20.000/mm , purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.

2.6 Pengaruh Kehamilan terhadap Lupus Eritematosus Sistemik


LES merupakan penyakit autoimun yang melibatkan berbagai sistem organ.
Flare LES dapat terjadi kapan pun, termasuk saat hamil dan pasca persalinan tanpa
pola yang pasti. Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan
dan mempengaruhi aktivitas lupus. Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan
lupus selama kehamilan, namun umumnya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada
saat nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus
dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga
meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu
hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Peningkatan respon inflamasi selama
lupus flare dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan selama kehamilan.
Membedakan preeklampsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami
hipertensi, proteinuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Pada renal flare terjadi
penurunan kadar C3/C4, peningkatan kadar anti-dsDNA dan membaik dengan
pemberian steroid. Sedangkan pada preeklampsia, kadar C3/C4 membaik, tidak ada
7
perubahan pada kadar anti-dsDNA, dan memburuk dengan pemberian steroid.
Gejala dan tanda kehamilan fisiologis yang dapat menyerupai aktivitas lupus selama
7,18,23
kehamilan:
1. Lemas
Keluhan lemas dapat terjadi pada kehamilan fisiologis maupun pada aktivitas lupus
selama kehamilan sebagai bagian dari fibromyalgia.
2. Eritema Palmaris dan facial blush
Pada kehamilan fisiologis peningkatan estrogen dapat mengakibatkan blushing pada
kulit, namun lupus flare juga memiliki tanda tersebut.
3. Artralgia dan efusi sendi
Pada kehamilan juga bisa disertai dengan nyeri kepala dan nyeri punggung bawah
akibat hormon relaksin, peningkatan level estrogen, dan retensi cairan.
4. Sesak napas
Pada kehamilan hal ini terjadi akibat pendesakan
diafragma. 5. Rambut rontok
Dapat terjadi kerontokan rambut selama puerpurium dan pasca persalinan pada
kehamilan normal
6. Penurunan hemoglobin dan platelet
Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah sebesar 50% dan berakibat pada
hemodilusi. Akan tetapi hemolitik anemia dan jumlah platelet kurang dari
3
100.000/mm biasa muncul pada aktivitas lupus selama kehamilan ataupun bagian
dari HELLP syndrome.
7. Peningkatan volume dan laju filtrasi glomerular mengakibatkan penurunan
kreatinin
serum dan peningkatan proteinuria biasa terjadi pada kehamilan normal. Level
kreatinin serum yang stabil selama masa kehamilan merupakan petunjuk adanya
insufisiensi renal yang biasa terjadi pada nefritis lupus. Peningkatan proteinuria lebih
dari 2 kali proteinuria basal merupakan hal abnormal, dimana pada kehamilan
normal biasa mencapai hingga 300 mg/24 jam. Level kreatinin serum >140 mol/L
berkaitan dengan 50% pregnancy loss yang dapat meningkat hingga 80% saat level
kreatinin serum >400 mol/L.
Bertahannya alograf janin in utero pada kehamilan normal diduga terjadi
akibat terbentuknya toleransi maternal terhadap alograf janin yang merupakan hasil
interaksi dari berbagai faktor seperti peranan plasenta, aktifitas sistem imunitas janin,
imunitas seluler dan humoral maternal, blocking faktor maternal dan janin dalam
7,18,23
kehamilan.
Plasenta merupakan sawar selektif terhadap pelintasan sel imunokompeten
dan faktor humoral antara ibu dan janin.Diduga plasenta merupakan suatu organ
penyerap imunologik, yang terutama berperanan dalam melakukan pembersihan
antibodi maternal yang dapat menyebabkan pembentukan dan pengendapan
kompleks imun atau antibodi sitotoksik terhadap antigen janin.Plasenta juga
mengikat dan menginaktivasi antibodi maternal terhadap berbagai antigen paternal
seperti antigen kompleks selaras jaringan utama (MHC antigen) paternal yang
melintasi plasenta. Dengan demikian semua antigen maternal, kompleks imun dan
agregat IgG yang melintasi lapisan trofoblas plasenta akan dieliminasi oleh makrofag
18,23
janin.
Perubahan imunitas humoral maternal pada kehamilan normal juga
berperanan dalam mencegah terjadinya penolakan alograf janin. IgG calon ibu dalam
kehamilan normal dapat menghambat sifat limfositotoksis maternal terhadap sel
trofoblast janin. Peningkatan kadar hormone progesterone, estrogen dan kortisol,
human Chorionik Gonadotropin(hCG) dan somatotropin dapat menghambat imunitas
seluler pada pertemuan(interface) antara janin dan ibunya. Hormon estrogen dan
progesterone kehamilan diduga bersifat imunosupresif secara lokal pada situs
plasenta, sedangkan hCG dapat menghambat proliferasi limfosit. Terbentuknya
faktor penghambat dalam kehamilan serum pregnancy blocking factors (SPBF)
merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang telah diketahui berpengaruh
23
dalam melindungi fetus dalam penolakan sistem imunitas maternal.
Sistem imunitas janin juga berperanan dalam menghambat pengaruh antibodi
maternal.Mekanisme ini diduga terjadi karena terdapatnya suatu soluble suppressor
factor yang disekresi oleh sel T penekan janin yang melintasi plasenta dan masuk ke
dalam sirkulasi ibu untuk menekan antibodi maternal.Selain itu feto protein (AFP)
juga diduga memiliki sifat imunosupresif dan dapat mengaktivasi sel T penekan
janin.Perubahan yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi keparahan
lupus yang melibatkan hormone ibu dan plasenta, peningkatan sirkulasi, peningkatan
volume cairan, peningkatan laju metabolik, hemodilusi, sel fetal dalam sirkulasi,
serta faktor-faktor lainnya yang terjadi selama kehamilan. Lupus flare biasa terjadi
7,23
selama kehamilan dengan risiko sebesar 0,06-0,136 selama bulan kehamilan.

7
Tabel 4. Pengaruh kehamilan terhadap aktivitas LES (dikutip dari Megan 2007)

Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk mengenali
gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan yang memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa flare yang
sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama kehamilan sebesar 2-
3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana sebagian besar
mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga berat.Sebagian
besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit, persendian, dan gejala
konstitusional. Hal tersebut juga nampak pada kehamilan biasa, sehingga seringkali
24
tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.
Penilaian aktivitas penyakit LES (lupus flare) dapat menggunakan kriteria
15
MEX SLEDAI, yang meliputi:
a. Gangguan neurologi (bobot 8)
- CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru,eksklusi arteriosklerosis.
- Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
- Sindrom otak organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
- Mononeuritis
- Myelitis: eksklusi penyebab lainnya.
b. Gangguan ginjal ( bobot 6)
- Cast, heme granular atau sel darah merah.
- Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi)
- Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen.
- Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl)
c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
d. Hemolisis( bobot 3): Hb<12,0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%,
trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.
e. Miositis (bobot 3)
f. Artritis(bobot 2)
g. Gangguan mukokutaneous(bobot 2):
- Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol
- Mucous ulcers
- Abnormal alopenia
h. Serositis(bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis
i. Demam(bobot 1)
3
j. Lekopenia(bobot 1): sel darah putih < 4000/mm , bukan akibat obat,
3
limfopeni( limfosit < 1200 mm , bukan akibat obat)
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
15
pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:
12 : flare berat, diperlukan pulse dose metilprednisolon 500-1000 mg perhari
selama 3 hari.
9-11 : flare moderate, 4-8 : flare ringan, < 4 : bukan flare.
Untuk flare ringan- moderate, bila sudah mendapat therapi steroid, dilanjutkan
pemberian steroid dengan imunosupresan.
Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi LES selama kehamilan,
menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa
peripartum.Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi
LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih
besar pada 8 minggu post partum.Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan
mempresipitasi timbulnya LES, di mana kematian yang terkait dengan penyakit
tersebut secara bermakna lebih tinggi.Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa
penderita LES tidak diperbolehkan untuk hamil.Dewasa ini para klinisi menganggap
bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, di mana diagnosis dan penatalaksanaan LES
saat ini tidak lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa wanita
25
dengan LES akan mengalami eksaserbasi selama kehamilan dan masa post partum.
Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang
sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian
eksaserbasi LES dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan
klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda spesifik untuk LES,
maka kejadiannya hanya 13%.Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak
dianjurkan pada penderita LES, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi
klinis pasca abortus.Bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus
dilakukan sedini mungkin. Pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian
7,25
kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.

2.7 Pengaruh LES terhadap Kehamilan


Pada penderita LES, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan
aktivitas sel T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan peningkatan
proliferasi dan aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas respon imunitas
7,8,25
humoral.
Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan terjadinya
produksi autoantibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen tubuh sendiri
seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel mononuclear
(MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai bentuk molekul
antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan phospolipid. Autoantibodi
yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan terbentuknya komplek
8,25
imun.
Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi sistem komplemen untuk
melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan amina
vasoaktif seperti histamine yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriole. Peningkatan permeabilitas vaskuler
ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan kompleks imun pada sel endotel
arteri dan arteriol jaringan, yang selanjutnya akan menginduksi terjadinya agregasi
trombosit, membentuk mikrotrombus pada jaringan kolagen membran basalis sel
endotel. Sel radang seperti PMN, MN, basofil, dan sel mast, yang tertarik ke arah lesi
oleh peptide kemotaktik komplemen, tidak mampu untuk melakukan fagositosis
terhadap seluruh endapan kompleks imun ini dan akan membebaskan enzim
lisosomal yang merupakan mediator inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya
kerusakan vaskuler yang lebih jauh. Pada LES aktif dapat dijumpai infiltrasi
8,25
perivaskuler oleh sel MN.
Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membrane attack complex
yang akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan memperberat
kerusakan jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan menyebabkan
terjadinya vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas seluler dan humoral
pada ibu penderita LES, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap
membran phospolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai
antibody antifosfolipid (APL).Terdapat dua jenis APL yang berperan penting pada
LES yaitu lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL). Kedua
jenis antibodi ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus habitualis
26
pada wanita hamil tanpa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas yang jelas.
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa terjadinya abortus
spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis desidual
plasenta, diathesis trombotik akibat pengaruh LAC dan ACL, trombositopenia serta
hipokomplementemia pada calon ibu penderita LES. Kelainan di atas akan
menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, dan penebalan membrane basalis
trofoblast yang akan mengganggu aliran darah ke arah plasenta sehingga
26
menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus atau kematian janin.
Wanita penderita LES juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
melahirkan bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum
mereka sadari.SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari
antibodi IgM terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La
(SSB) dan Anti-RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah lesi
kutaneus lupus subakut yang bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung kongenital
relatif jarang dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat dijumpai pula
27
manifestasi kelainan tersebut secara bersamaan.
Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi
reproduksinya dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang
dideritanya telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita
28
LES lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal.
Kelainan organ vital merupakan kontraindikasi bagi wanita penderita LES
untuk hamil.Dengan berkembangnya penatalaksanaan LES seperti yang umum
digunakan sekarang, prognosis penderita LES saat ini jauh lebih baik dibandingkan
masa lalu.Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat.
Walaupun pada eksaserbasi LES selama kehamilan menyebabkan peningkatan
29
morbiditas dan mortalitas ibu terutama pada masa peripartum.
Prognosis ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada saat
konsepsi.Bila konsepsi pada masa tenang, prognosisnya lebih baik. Hal ini bisa
dicapai dengan manipulasi terapeutik selama beberapa bulan sebelum konsepsi.
Selama ini dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat. Pada penderita
LES yang ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi
30
terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan.

2.8 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


Baik untuk LES ringan, sedang atau berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan.Pilar pengobatan LES ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
15
Tujuan khusus pengobatan LES adalah:
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup
keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal
15, 23
Pilar pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
1. Edukasi dan konseling
2. Program rehabilitasi
3. Pengobatan Medikamentosa
a. OAINS
b. Antimalaria
c. Steroid
d. Imunosupresan/ Sitotoksik
e. Terapi lain
15,23
Butir-butir edukasi terhadap pasien LES antara lain:
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit LES dan perangai dari masing- masing tipe.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
LES, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa
nyeri.
5. Pemakaian obat menyangkut jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai
jangka panjang contohnya obat antituberkulosis dan beberapa jenis lainnya
termasuk antibiotika.
6. Di mana pasien dapat memperoleh informasi tentang LES, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan LES dan
sebagainya.
Secara garis besar, maka tujuan,indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi
yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini: istirahat, terapi fisik, terapi dengan
23
modalitas, ortotik, dan lain-lain.
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada LES serta pemantauannya.

23
Tabel 5. Jenis dan dosis obat yang dapat dipakai pada LES.
d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus LES
mencakup:
- Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama
5 hari, terutama pada pasien LES dengan trombositopenia, anemia
hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik LES, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaparesis pada pasien LES dengan sitopenia, krioglobulinemia dan
lupus serebritis.
- Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone( DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring effect
pada LES ringan.
- Dapson dan derivate retinoid pada LES dengan menifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada LES
yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi LES (saat
ini belum tersedia di Indonesia).
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
2.9 Penatalaksanaan LES pada kehamilan
Penatalaksanaan lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya
kehamilan.Konseling prakehamilan dibutuhkan dalam mengestimasti risiko pasien
dan meninjau kembali pengobatan lupus.Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan
untuk mencegah efek teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai
pengobatan baru untuk melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan
tersebut. Penatalaksanaan ini memerlukan pengawasan dan evaluasi terhadap ibu
31
setidaknya 6 bulan sebelum kehamilan agar tercapai luaran kehamilan yang baik.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan
7,31
yaitu:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga
dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus
sistemik.
Sehingga penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan
mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi bidang
rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan risiko tinggi serta
nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah dipastikan, pemantuan serta
evaluasi basal terkait aktivitas penyakit, keparahan, dan keterlibatan sistem organ
31
sebaiknya segera dilaksanakan.
Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga usia kehamilan 20
minggu, setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, dan setiap minggu
hingga persalinan tercapai. Pasien LES yang hamil bisa mencapai luaran kehamilan
yang baik dengan penanganan dan pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun
selama kehamilan. Pasien LES yang hamil yang memperoleh pengobatan
imunosupresif memerlukan profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi
7,31
influenza dan vaksin pneumokokus.
Tabel 6. Guidelines for assessment of pregnant patients with lupus ( dikutip dari
7
Osaimi).

2.9.1 Pilihan Medikamentosa


Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria, dan imunosupresan.Akan
tetapi untuk pengobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak
memberikan pengobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada
dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktifitas
LES.Pengobatan LES yang aman selama prakonsepsi maupun selama konsepsi
diperlukan termasuk meminimalisir risiko efek samping terhadap kesejahteraan
5,30,31
janin. Klasifikasi pengobatan yang aman pada kehamilan ditunjukkan oleh
klasifikasi FDA sesuai table 7.
Tabel 7. United State FDA pharmaceautical pregnancy categories (Management of
7
pregnant lupus) dikutip dari Osaimi.
Rekomendasi sebelum memberikan obat-obat LES pada kehamilan dan menyusui
32
Tabel 8. Obat-obatan LES pada kehamilan dan menyusui

1. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)


Efek OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid) pada janin bergantung pada usia
kehamilan itu sendiri. Berbagai studi kohort terkait penggunaan OAINS selama
trimester pertama tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko terkait efek
teratogenik.Akan tetapi, efek OAINS yang menghambat sintesis prostaglandin
dikaitkan dengan efek konstriksi duktus arteriosus, hipertensi pulmoner yang
persisten, disfungsi renal pada neonatus, peningkatan perdarahan ibu, dan
pemanjangan masa kehamilan serta persalinan.Prostaglandin meningkatkan kontraksi
uterus, agregasi platelet, dan aliran darah renal janin.OAINS dapat berefek pada
penurunan produksi urine janin. Jika OAINS memang diperlukan selama trimester
33
pertama dan kedua, sebaiknya dipilih dari golongan ibuprofen.
2. Obat Antimalaria
Hidrocloroquine (HCQ) merupakan obat antimalaria yang paling sering digunakan
pada LES.Pada ibu hamil, obat ini juga digunakan sebagai profilaksis malaria tanpa
efek teratogenik. Mekanisme kerja HCQ melibatkan inhibisi proses antigen dan
pelepasan sitokin inflamasi. Obat ini sangat efektif pada discoid lupus erythematosus
(DLE) yang melibatkan lesi kulit.HCQ mengurangi efek fotosensitif berupa lesi kulit
dan mencegah lupus flare.HCQ juga mencegah lupus renal dan cerebral
lupus.Sehingga HCQ memiliki peranan sebagai agen profilaksis terkait morbiditas
mayor pada LES dan efek dari pengobatan LES, terutama hiperlipidemia, diabetes
mellitus, dan thrombosis.Waktu paruh HCQ dalam darah berkisar 8 minggu dan
berakumulasi dalam jaringan tubuh, di mana penghentian HCQ yang segera
dilakukan setelah konsepsi tidak mencegah paparan janin terhadap obat ini. HCQ
sering digunakan untuk menangani hiperaktivitas lupus dan dapat menurunkan
31,32,33
aktivitas lupus selama kehamilan.
3. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid cukup aman selama kehamilan, namun diperlukan
pemantauan terkait hipertensi pada ibu hamil, diabetes mellitus gestasional, infeksi,
peningkatan berat badan, akne, dan kelemahan otot proksimal. Pencapaian dosis
terapeutik terendah disertai penambahan suplemen vitamin D dan kalsium diperlukan
mengontrol flare penyakit. Kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta II-beta-
hydroxy steroid dehydrogenase (II-beta-HSD) yang mengkonversi kortison aktif
menjadi inaktif, sehingga konsentrasi kortikosteroid dalam darah janin sebesar 10%
dari konsentrasi kortikosteroid dalam darah ibu. Hal ini memerlukan pertimbangan
evaluasi adanya insufisiensi adrenal pada janin.Pemakaian kortikosteroid pada ibu
hamil dengan lupus sebaiknya memilih golongan deksametason atau betametason,
yang menjadi inaktif oleh placental II-beta hydorxysteroid dehydrogenase, sehingga
risiko terjadinya kematian janin dan sindrom distress napas pada bayi preterm dapat
menurun.Pemberian dosis tunggal kortikosteroid pada ibu hamil direkomendasikan
untuk meningkatkan pematangan paru-paru.Sedangkan pemberian dosis berulang
setiap minggu selama kehamilan sebaiknya dihindari pada ibu hamil dengan risiko
persalinan preterm. Pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka
panjang selama kehamilan sebaiknya mendapatkan hidrokortison stress dose yang
diindikasikan pada pemanjangan waktu persalinan, seksio sesaria, ataupun operasi
31,32,33
emergensi.
Pemberian dosis stress kortikosteroid direkomendasikan pada keadaan stress,
15
infeksi dan pada tindakan perioperatif, termasuk persalinan dan seksio sesaria.
- Pemberian dosis stress kortikosteroid adalah dua kali atau sampai 15 mg
prednisone atau setaranya.
- Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg hidrokortison
intravena pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50 mg
hidrokortison setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan
dosis kortikosteroid oral atau setara secara parenteral pada hari
pembedahan dilanjutkan dengan 25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam
selama 2 atau 3 hari.
- Pada bedah minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis
oral atau meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednisone
atau setara selama 1 sampai 3 hari.

15
Tabel 9. Rekomendasi suplementasi kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan LES.Dosis


yang digunakan bervariasi.Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
33
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:
- Dosis rendah: 7,5 mg prednisone atau setara perhari
- Dosis sedang: > 7,5 mg, tetapi 30 mg prednisone atau setara perhari
- Dosis tinggi: > 30 mg, tetapi 100 mg prednisone atau setara perhari
- Dosis sangat tinggi: > 100 mg prednisone atau setara perhari
- Terapi pulse: 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang.Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
33
lupus, lupus cerebral.

34
Tabel 10. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi

4. Aspirin
Pengobatan dengan aspirin dosis rendah selama kehamilan diindikasikan pada ibu
hamil dengan LES, hipertensi, riwayat preeklampsia, dan penyakit ginjal.Aspirin
dapat melewati plasenta dan menyebabkan kelainan kongenital namun hal ini sangat
jarang terjadi pada manusia.Wanita hamil yang menggunakan aspirin dosis rendah
mengalami penurunan risiko terhadap persalinan preterm dibandingkan kelompok
placebo.Aspirin sendiri memiliki efek antifosfolipid dan sebaiknya dihentikan
penggunaannya 8 minggu menjelang persalinan untuk mencegah kehamilan postterm
dan pemanjangan waktu persalinan, serta risiko perdarahan selama persalinan dan
31,32,33
komplikasi perdarahan pada janin.
5. Obat Antihipertensi
Hipertensi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu terbesar.
Tekanan darah(TD) selama kehamilan cenderung meningkat pada trimester pertama
dan kedua. Batasan tekanan darah serta target tekanan darah selama pengobatan
antihipertensif pada kehamilan masih kontroversial. Wanita dengan hipertensi berat (
TD sistolik 160 mmHg dan atau TD diastolic 110 mmHg) diperlukan pengobatan
antihipertensi untuk menurunkan risiko ibu terkait komplikasi sistem saraf pusat.
Target TD pada kehamilan adalah <140/90 mmHg.Pengobatan terbaik meliputi
metildopa dan labetalol.Metildopa merupakan satu-satunya obat antihipertensi yang
diteliti terkait efek jangka panjang pada janin. ACE inhibitor dan ARB sebaiknya
dihindari penggunaannya terkait efek samping pada konsepsi dan gangguan pada

fetus.31,32,33
6. Agen Imunosupresif
a. Siklofosfamid
Pemberian siklofosfamid selama kehamilan dikaitkan dengan risiko terjadinya fetal
loss.Pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid sebaiknya menunda
kehamilan setidaknya hingga 3 bulan setelah penghentian pengobatan. Obat ini
berefek teratogenik, sehingga sebaiknya digunakan setelah melewati trimester
31,32
pertama pada penyakit lupus yang sangat parah dan mengancam jiwa.
b. Azathiopurine (AZA)
AZA merupakan analog purin yang berperan dalam sintesis asam nukleat. AZA
mampu melewati plasenta, namun konsentrasi yang mencapai aliran darah janin
32
relatif sangat minimal.
c. Methotrexate (MTX)
MTX merupakan golongan obat FDA kategori risiko X, sehingga sangat
kontraindikasi pada kehamilan.Perencanaan kehamilan sebaiknya dilakukan setelah 3
bulan penghentian MTX karena metabolit aktifnya masih beredar dalam darah
selama 2 bulan setelah penghentian.MTX bekerja sebagai antagonis folat dan
mengakibatkan deplesi folat selama kehamilan. Pemberian suplemen folat
32
direkomendasikan selama masa kehamilan untuk mengatasi hal tersebut.
d. Mycophenolate mofetil (MMF)
Obat ini digunakan pada lupus renal dan direkomendasikan penggantian atau
switching regimen ke AZA sebelum terjadinya konsepsi.MMF digunakan sebagai
terapi pemeliharaaan terhadap lupus nefritis, lupus kulit yang resisten, aktivitas
penyakit lupus dan manifestasi hematologis.Wanita dengan lupus yang ingin hamil
dan menjalani pengobatan dengan MMF sebaiknya menghentikan pengobatan
31,32,33
tersebut setidaknya selama 6 bulan.
e. Siklosforin (CSA)
CSA merupakan agen imunosupresan yang tidak memilki efek teratogenik, namun
pemberiannya selama kehamilan dikaitkan dengan risiko prematur.
7. Agen Biologis
a. Anti TNF-
Konsentrasi immunoglobulin maternal dalam darah janin meningkat sejak awal
trimester kedua melalui mekanisme aliran plasenta.Antibodi maternal ini diperlukan
selama trimester ketiga.Penghambat TNF- (infliximab, etanercept, adalimumab)
dapat melewati sawar plasenta selama trimester pertama dan kemampuannya dalam
menembus sawar plasenta meningkat selama trimester kedua dan ketiga.Pemakaian
anti-TNF- menurunkan aktivitas inflamasi pada LES. FDA mengakategorikan anti
TNF sebagai obat ketagori B. Pasien yang diobati dengan anti TNF- sebelum
maupun setelah terjadinya konsepsi tidak diindikasikan untuk menjalani terminasi
31,32,33
kehamilan kecuali pada kasus gawat janin.
b. Rituximab
Obat ini merupakan chimeric dari antibody anti CD-20 cell depleting monoclonal.
Penggunaannya selama kehamilan berkaitan dengan sitopenia termasuk deplesi sel
beta pada janin yang bersifat reversibel.Sehingga, penjadwalan kehamilan sebaiknya
dilakukan setidaknya 12 bulan setelah penghentian pengobatan dengan
31,32,33
rituximab.
8. Terapi lainnya
a. Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan IVIG selama kehamilan tidak menimbulkan abnormalitas pada
janin.IVIG selama kehamilan dapat mengontrol aktivitas lupus berat.
b. Plasma Pharesis
Plasma Paresis (PP) digunakan pada keadaan resistensi siklofosfamid dan penyakit lupus
yang melibatkan ancaman multiorgan.Indikasi absolut pemberian PP meliputi
hiperviskositas dan perdarahan pulmonal.PP cukup aman dan memerlukan pemantuan
intensif selama pemberiannya. Apheresis dapat ditoleransi pada ibu hamil dan digunakan
31,32,33
untuk membersihkan antibodi antifosfolipid dan anti-Ro (SSA).

2.9.2 Persalinan pada penderita LES


LES sendiri bukan merupakan suatu indikasi seksio sesaria, meskipun risiko
terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dengan LES lebih tinggi dibandingkan
wanita hamil biasa. Indikasi seksio sesaria meliputi indikasi ibu seperti nekrosis
avaskuler pada panggul yang disertai dengan abduksi panggul yang inadekuat,
abrupsio plasenta, maupun indikasi janin, seperti gawat janin, prolaps tali pusat, hasil
NST yang abnormal, disproporsi sefalopelvikum, dan letak melintang. Persalinan
sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang memiliki ruang intensif neonatus. Wanita
hamil dengan lupus yang diterapi dengan steroid sistemik dalam 2 tahun sebelum
34
kehamilan sebaiknya mendapatkan steroid stress coverage selama persalinan.
2.9.3 Puerperium pada penderita LES
Masa nifas merupakan masa yang perlu diwaspadai pada wanita dengan
lupus.Selama masa tersebut terdapat risiko terjadinya lupus flare.Pemantauan ketat
setidaknya selama 4 minggu pertama masa nifas diperlukan, terutama pada pasien
dengan lupus aktif maupun riwayat lupus berat.Akan tetapi penggunaan steroid
sebagai profilaksis selama masa tersebut tidak dianjurkan.Masa ini juga masa dengan
risiko terjadi komplikasi tromboemboli, terutama pada pasien lupus dengan
APS.Pada kasus tersebut, profilaksis Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
sebaiknya diperpanjang hingga 4-6 minggu setelah persalinan. Pasien yang memiliki
riwayat thrombosis dapat kembali menggunakan antikoagulan dengan dosis semula
32,34
dalam 2-3 hari pertama pasca persalinan.

2.9.4 Laktasi pada penderita LES


Beberapa obat yang diminum oleh ibu diketahui dapat terkandung dalam ASI.
Berbagai macam faktor mempengaruhi kadar obat dalam ASI seperti yang
ditunjukkan oleh tabel 6, obat yang terikat kuat dengan protein biasanya memiliki
19
kadar dalam ASI yang lebih rendah.
Ibu yang menyusui disarankan meminum obatnya setelah selesai menyusui
untuk meminimalisir kadar obat dalam ASI dan sebisa mungkin memperoleh
31,32
pengobatan yang aman terkait laktasi.
1. Aspirin
Sebisa mungkin penggunaan aspirin dihentikan atau dihindari selama masa
pemberian ASI.American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan
aspirin pada saat pemberian ASI dengan kewaspadaan yang tinggi dan sebisa
mungkin dalam dosis terendah.
2. OAINS
Pemberian OAINS selama masa laktasi direkomendasikan cukup aman oleh
American Academy of Pediatrics. OAINS, terutama golongan ibuprofen,
indomethacin, dan naproxen memiliki kadar yang sangat rendah dan waktu paruh
yang singkat dalam ASI.
3. HCQ
Pemberian HCQ pada pasien LES sebaiknya tetap dilanjutkan selama masa
laktasi.HCQ direkomendasikan sebagai obat yang cukup aman mengingat kadarnya
yang sangat rendah yang tidak bersifat toksik bagi bayi dalam ASI. Kadar puncak
obat ini dalam ASI dicapai setelah 2 jam dan menurun setelah 9 jam konsumsi obat.
Bayi yang mendapat ASI secara tidak langsung ikut mengkonsumsi obat ini dalam
kadar 0,06-0,2 mg/kgBB/hari atau sebesar 2% dari dosis yang dikonsumsi oleh

ibu.31,32,33
4. Kortikosteroid
American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemakaian prednisone dan
prednisolon aman pada saat menyusui. Paparan bayi terhadap prednisone dapat
diminimalisir dengan pemberian prednison dalam interval jarang dan mulai
31,32,33
menyusui setidaknya 4 jam setelah mengkonsumsi obat.
5. Siklofosfamid
Pasien LES dengan kondisi penyakit yang mengancam yang mengkonsumsi obat
siklofosfamid selama trimester kedua dan ketiga dilarang untuk menyusui.
Siklofosfamid memiliki kadar yang tinggi didalam ASI. Bayi sendiri perlu dimonitor
34
terkait keadaan imunosupresif dan keganasan.
6. AZA
Ibu yang memperoleh pengobatan dengan AZA juga dilarang untuk menyusui terkait
efek samping jangka panjang berupa imunosupresif dan karsinogenesis pada bayi.
Meskipun belum ada studi khusus yang menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
33,34
masalah tersebut.
7. MTX
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
dengan MTX, mengingat efek samping yang ditimbulkan berupa imunosupresif,
34
neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada bayi.
8. Siklosforin
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
dengan siklofosfamid, mengingat efek samping jangka panjang yang ditimbulkan
berupa imunosupresif, neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada
34
bayi.
9. Mycophenolate Mofetil (MMF)
Ibu yang mengkonsumsi obat MMF dilarang untuk menyusui terkait belum adanya
data yang cukup yang menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
10. Sulfasalazine
Pemberian ASI selama pengobatan dengan sulfasalazine dikatakan cukup aman,
meskipun masih mungkin menimbulkan efek samping berupa kern ikterus pada bayi.
11. Anti TNF-
Pemberian ASI selama pengobatan dengan anti-TNF- masih belum banyak diteliti,
sehingga belum diketahui secara pasti keamanannya selama menyusui.
12. Rituximab
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan rituximab mengingat data
yang belum cukup untuk menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
13. IVIG
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan IVIG mengingat data yang
belum cukup terkait ekskresi obat ini dalam ASI.
Tabel 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan obat selama menyusui
5
(dikutip dari Howard dan Lawrence,1999).

2.9.5 Kontrasepsi pada penderita LES


Kontrasepsi yang efektif merupakan hal yang sangat penting.Kontrasepsi
hormonal yang mengandung estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi LES,
mengingat estrogen juga dapat menimbulkan tromboembolik dan membentuk
antibodi antikardiolipin.Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak
dianjurkan karena kemungkinan timbulnya infeksi. Kontrasepsi yang aman adalah
35
preparat oral progesterone yang murni, kondom, atau diafragma.
Perempuan dengan LES dalam masa pramenopause disarankan dapat
mengakses kontrasepsi dalam mengontrol kehamilan secara aman. Perempuan yang
mengalami gangguan kesuburan akan memerlukan intervensi hormonal untuk
menstimulasi ovulasi, sedangkan pasien yang memperoleh pengobatan dengan
siklofosfamid memerlukan perhatian khusus untuk mempertahankan kesuburannya.
Estrogen eksogen diperlukan untuk mencegah osteoporosis yang diinduksi oleh
pemakaian kortikosteroid terkait efek glukokortikoidnya, mengobati kista ovarium,
endometriosis, menstruasi ireguler, dan menorhagia.Pasien LES memerlukan akses
kontrasepsi terkait pengaturan waktu kehamilan yang tepat.Kehamilan sendiri
merupakan suatu risiko yang tinggi bagi ibu maupun janin terkait pasien LES dengan
penyakit lupus yang aktif ataupun sedang menjalani pengobatan LES yang bersifat
teratogenik.Pasien LES dapat memilih kontrasepsi metode berrier, IUD, dan obat
kontrasepsi oral.Pemakaian obat kontrasepsi oral yang mengandung estrogen
merupakan kontrasepsi pilihan pada pasien LES yang inaktif ataupun stabil yang
memiliki risiko rendah terhadap thrombosis.Pemilihan kontrasepsi pada pasien LES
perlu mempertimbangkan kondisi medis pasien, status reproduktif pasien, dan
keinginan personal pasien.Obat kontrasepsi oral sebaiknya tidak diberikan kepada
pasien dengan antikoagulan lupus atau dengan titer sedang ataupun tinggi terhadap
antikardiolipin ataupun anti-2 glikoprotein.Pemilihan obat kontrasepsi oral yang
mengandung estrogen tidak dianjurkan pada pasien dengan APS, kejadian
tromboemboli, dan migraine yang parah. IUD dikatakan cukup aman digunakan
sebagai kontrasepsi pada LES, meskipun terdapat risiko infeksi, namun risiko ini
terlalu kecil, dan keadaan imunosupresif bukan merupakan kontraindikasi pemakaian
IUD. Kombinasi obat kontrasepsi oral pada pasien LES dapat diberikan jika tidak
terdapat APS. Pasien LES dengan APS atau APL sebaiknya mendapatkan kontrasepsi
35
berupa progesterone oral atau injeksi ataupun IUD.

2.9.6 Assisted reproductive therapy (ART) pada LES


Pasien lupus yang memperoleh pengobatan siklofosfamid intravena berisiko
terhadap kegagalan fungsi ovarium secara dini.Fertilisasi in vitro digunakan pada
kasus infertilitas dengan beragam etiologi, termasuk LES dan atau APS.ART dipilih
pada pasien dengan LES dan APS yang berada dalam keadaan stabil. Diperlukan
pengawasan yang lebih ketat terkait kemungkinan terjadinya lupus flare dan
thrombosis yang berhubungan juga dengan ovarian hyperstimulation syndrome
(OHSS) selama stimulasi ovarium berlangsung. Sebaiknya ART tidak dilakukan pada
pasien dengan manifestasi SLE berupa flare akut, hipertensi tidak terkontrol,
hipertensi pulmoner, penyakit ginjal yang berat, valvulopati berat ataupun penyakit
jantung lainnya yang berat, serta kejadian thrombosis mayor. Pada kasus tersebut
ART dapat memberikan komplikasi pada ibu dan janin selama kehamilan ataupun
selama masa nifas.Terapi induksi ovulasi dapat menimbulkan aktivitas lupus dan
APS, sehingga evaluasi keadaan dan laboratorium basal diperlukan sebelum memulai
terapi ini. Saat memberikan gonadotropin pada pasien LES, diperlukan terapi
antiinflamasi, heparin, dan/atau antiagregasi platelet pada kasus APS dan riwayat
7
thrombosis.

2.9.7 Konseling Prakehamilan


Pasien SLE masih dapat menjalani kehamilan dan memiliki anak yang
normal.Hal ini dapat dicapai dengan melakukan penjadwalan kehamilan dan
monitoring yang ketat selama kehamilan dan pasca persalinan.

7
Tabel 12. Konseling Pra-konsepsi (dikutip dari Ruiz, 2008)

2.10 Fertilitas pada LES


Sebagian besar kasus LES tidak mengalami gangguan kesuburan. Akan
tetapi, beberapa kasus LES dapat melibatkan antibodi terhadap ovarium yang
mengganggu perkembangan ovum yaitu terjadinya prematurity ovarial failurekarena
terganggunya sirkulasi ke ovarium yang disebabkan kerusakan vaskuler akibat
pengendapan kompleks imun serta terganggunya siklus ovari. Pasien-pasien tersebut
membutuhkan investigasi yang lebih dalam.Kesuburan juga dapat terganggu pada
pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid jangka panjang (>6 bulan)
di samping kemungkinan terjadinya anomali kongenital.Pasien ini membutuhkan
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan selama pengobatan dan setidaknya sampai
dengan 3 bulan setelah penghentian pengobatan.
Ibu hamil dengan lupus memiliki risiko abortus, hipertensi, dan deformitas
embrio yang diakibatkan oleh pengobatan lupus yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ibu hamil biasa. Lupus flare dapat terjadi pada setiap fase kehamilan maupun
selama masa pascapersalinan. Sebagian besar pasien hamil dengan lupus hanya
mengalami flare ringan yang melibatkan kulit, persendian, dan gejala konstitusional,
dibandingkan aktivitas LES yang berat. Tidak semua pasien dengan LES memiliki
risiko komplikasi persalinan yang sama. Konseling prakehamilan dibutuhkan untuk
mengestimasi mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.Untuk menurunkan risiko
kehamilan sebaiknya dilakukan penjadwalan kehamilan.
23
Sebaiknya kehamilan dimulai saat:
- Penyakit lupus telah mencapai remisi setidaknya selama 6 bulan.
- Pasien yang mendapatkan pengobatan dengan prednisone <7,5 mg per hari.
- Pasien tanpa penyakit ginjal, hipertensi, trombositopenia, ataupun antibodi
antifosfolipid.
Pasien lupus dengan risiko tinggi terhadap kehamilan ditunjukkan pada tabel 9.
7
Tabel 13. Lupus pada kehamilan yang berisiko tinggi (dikutip dari Ruiz, 2008)

Beberapa faktor dikaitkan dengan komplikasi kehamilan, seperti riwayat


komplikasi kehamilan sebelumnya, APS yang berkaitan dengan risiko thrombosis
pada ibu serta gangguan perkembangan embrio dan janin.Adanya antibodi anti-Ro
dan anti-La berkaitan dengan congenital heart block sebesar 2% pada bayi
lahir.Meskipun kejadiannya sangat jarang, namun kondisi ini sangat mengancam dan
angka kematian yang ditimbulkan sangat tinggi baik disertai maupun tanpa
kardiomiopati.Bayi tersebut juga berisiko terhadap pemasangan pacemaker
permanen. Pemeriksaan terhadap antibodi anti-SSA/SSB/U1RNP hanya dilakukan
pada pasien dengan risiko tinggi seperti pasien LES, Sindrom Sjogren, penyakit
jaringan ikat undifferentiated, dan penyakit jaringan ikat lainnya, serta ibu hamil
23
dengan riwayat neonatal lupus.
Manajemen ibu dengan APS ditunjukkan dengan bagan 3.

Bagan 3. Flow Chart Manajemen Pasien hamil dengan LES (dikutip dari R.
5
Handa, 2006)

Penyakit gagal ginjal kronik berkaitan secara positif dengan risiko komplikasi
obstetik berupa hipertensi dan keguguran.Penyakit paru restriktif juga bertambah
berat selama kehamilan akibat kompresi toraks.APS sekunder merupakan prediktor
utama dari komplikasi kehamilan berupa keguguran, kematian janin, prematuritas,
dan preeclampsia.Aktivitas penyakit berhubungan dengan fetal loss dan prematuritas
serta antikoagulan lupus merupakan faktor risiko keguguran pada pasien dengan
APS.Pada kondisi ekstrim kehamilan sebaiknya ditunda, terutama pada pasien
dengan lupus aktif yang melibatkan sistem organ internal.Hal ini juga berlaku pada
pasien dengan APS dan thrombosis, terutama thrombosis arteri.Perempuan dengan
penyakit ginjal berat, penyakit paru, ataupun penyakit jantung sebaiknya
menghindari kehamilan terkait kondisi kehamilan yang dapat memperparah penyakit
ibu.Pasien dengan hipertensi pulmoner simptomatik yang berat merupakan
kontraindikasi absolut untuk hamil, mengingat mortalitas ibu yang tinggi pada akhir
kehamilan hingga masa nifas.Pasien dengan kreatinin serum >250 mol/L memiliki
kemungkian keberhasilan kehamilan sebesar <30%.Terlepas dari pengobatan yang
agresif terhadap sindrom antibodi antifosfolipid, risiko terjadinya tromboemboli dan
kematian janin masih tetap tinggi. Lupus flare dapat terjadi selama kehamilan.
Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) menyatakan keluhan lemas, alopesia,
penurunan hematokrit, dan peningkatan LED bukan merupakan suatu petunjuk
terjadinya lupus flare dan lupus aktif selama kehamilan. Beberapa petunjuk lupus
flare selama kehamilan meliputi keterlibatan kulit, arthritis, hematuria, demam bukan
karena infeksi, limfadenopati, leukopenia, hipokomplementemia dengan jalur
alternatif, dan peningkatan titer antibodi terhadap DNA. Pasien dengan risiko
kehamilan yang rendah meliputi remisi dengan pengobatan prednisolone dalam dosis
<7,5 mg per hari, fungsi ginjal normal, tidak ada proteinuria, hitung darah lengkap
yang normal, tekanan darah yang normal, kadar komplemen yang normal, dan
20
dsDNA yang negative.
7
Pasien dengan risiko sedang dapat tetap hamil dengan pengawasan yang ketat:
-Pasien dengan flare ringan disertai arthritis, pleuraperikarditis ringan, lesi kulit,
mendapatkan pengobatan dengan prednisolon 10-15 mg per hari
-Pasien asimptomatik yang secara persisten menunjukkan peningkatan dsDNA dan
penurunan kadar komplemen.
LES sendiri merupakan suatu penyakit kronis dan membutuhkan pertimbangan
terkait risiko dan keuntungan untuk hamil.Konseling prakehamilan setidaknya
meliputi evaluasi riwayat penyakit, genetik, operasi, obstetrik, dan keluarga.
Pemeriksaan profil antibodi meliputi anti-SSA/Ro, anti SSB/La, anti-U1 RNP, ANA,
dsDNA, antikardiolipin (ACL, IgG, dan IgM) dan antikoagulan lupus sebaiknya
diperiksa 2x seminggu selama 6-8 minggu. Anti dsDNA dan kadar komplemen
diperiksa setiap trimester untuk menilai aktivitas penyakit. Pemeriksaan urine 24 jam
untuk memeriksa proteinuria dan albumin serum. Pasien dengan hasil positif
terhadap antiSSA/SSB/U1 RNP sebaiknya mengikuti alur pada bagan 3 untuk
diagnosis dan manajemen congenital heart block. Skrining fungsi hormone tiroid
juga dilakukan mengingat kelainan fungsi tersebut cukup sering ditemui pada pasien
7,20
LES.
Gangguan endokrinologi, seperti diabetes mellitus dan hiperprolaktenemia juga
dievaluasi.Jika ditemukan sebelum kehamilan, sebaiknya diterapi setidaknya 6 bulan
sebelum kehamilan.Jika selama 2 minggu terapi lupus belum merespon, diperlukan
pengkajian ulang untuk pemberian agen sitotoksik dan terminasi kehamilan dini,
terutama pada penurunan fungsi ginjal dan sedimen urine yang aktif. Seluruh pasien
sebaiknya menjalani modifikasi gaya hidup selama kehamilan berupa tidak merokok,
tidak mengkonsumsi alkohol, mengurangi konsumsi kafein (<250 mg/hari), dan
7,20
sebaiknya mengkonsumsi suplemen asma folat ( minimal 400 mcg/hari).

7
Tabel 14. Kontraindikasi hamil pada LES (dikutip dari Ruiz, 2008)
BAB III
RINGKASAN

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis


akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ, di mana
penyebabnya sampai saat ini belum diketahui secara jelas serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 9-14:1, dengan
angka kematian yang cukup tinggi.
Terdapat banyak bukti tentang pengaruh faktor genetik, lingkungan dan
hormonal terhadap respon imun, di mana interaksi antara ketiganya akan
menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Hal ini dapat
dicetuskan oleh stress fisik,mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan.
Diagnosis penyakit LES masih mengacu pada kriteria dari the American
College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Klasifikasi ini terdiri dari 11
kriteria, di mana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Di bidang obstetri, penyakit ini dianggap penting karena pengaruhnya
terhadap kehamilan, yang berpotensi mengakibatkan abortus, gangguan pertumbuhan
janin, kelahiran preterm, kematian janin, dan lupus eritematosus neonatal.Dan
sebaliknya perubahan hormonal dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan dapat
mencetuskan aktivitas lupus yang berisiko menyebabkan eksaserbasi LES (flare) dari
ringan sampai berat bahkan kematian ibu hamil, akibat komplikasi yang disebabkan
oleh preeclampsia, thrombosis, infeksi dan kelainan darah.
Pilar pengobatan LES meliputi edukasi, dan konseling, rehabilitasi medik dan
medikamentosa. Pemberian terapi kortikosteroid merupakan lini pertama, di mana
cara penggunaan, dosis dan efek samping obat perlu diperhatikan. Penatalaksanaan
lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya kehamilan.Konseling pra-
kehamilan dibutuhkan dalam mengestimasi risiko pasien dan meninjau kembali
pengobatan lupus. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan LES
dengan kehamilan yaitu: 1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit
LES. 2. Placenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga
dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan. Sehingga penatalaksanaan LES pada
kehamilan memerlukan pendekatan multidisiplin dan koordinasi yang baik serta
follow up yang meliputi bidang rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait
kehamilan risiko tinggi, nefrologis terkait gangguan ginjal dan neonatologis terkait
Lupus Erythematosus Neonatal, dengan harapan mendapatkan hasil kehamilan yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and classification of systemic


lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Dubois lupus
th
erythematosus. 7 ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins 2007;16-9.

2. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus


erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus 2006;
15(5): 308-18.
3. Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In:
Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology systemic
lupus erythematosus. Philadelphia. Mosby 2007; 1-18.
4. Buku Register Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah
Denpasar 2011-2013.
5. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gill A, Lavilla P, et al.
Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during @ 10-years
period, a comparison of early and late manifestation in cohort of 1000 pasien.
Medicine 2003;82: 299-308.
6. Jacobsen S, Petersen J, Ullman S, Junker P, Voss A, Rasmussen JM, et al.
Mortality and cause of death of 513 Danish patient with systemic lupus
erythematosus. Scand J Rheumatol 1999;28(2): 75-80.
7. Kusuma Jaya AAN. Lupus Eritematosus Sistemik pada kehamilan. Jurnal
Penyakit Dalam 2007; 8(2): 170-175.
8. Almaollim Hani. Systemic Lupus Erythematosus. Pregnancy and SLE 2012;
p.455-83.
9. Bertias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic lupus
eritematosus;phatogenesis and clinical features. EULAR Texbook on
Rheumatic Disease 2012; p476-505.
10. Lahita RG. Clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In: Kelley
th
WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge LB. Texbook of Rheumatology; 5
Ed.Philadelphia 2000; 1029-39.
11. Smyth A, Oliveira GHM, Lahr BD, Bailey KR, Norby SM, and Garovic VD.
A systematic review and meta-analysis of pregnancy outcomes in patients
with systemic lupus erythematosus and lupus nephritis. Clin
J.Am.Soc.Nephrol 2010; 2060-8.
12. Surita FGC, Parpinelli MA, Yonehara E, Krupa F, Cecatti JG. Systemic
Lupus Erythematosus and pregnancy; clinical evaluation, maternal and
perinatal outcomes and placental findings. Sao Paulo Med J 2007; 125(2):
91-5.
13. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrip III LC, Haut JC,
nd
Wenstrom KD. William Obstetrics; 22 Ed; New York, Cicago,
Sanfransisco; Mc Graw Hill 2005; p.1211-4.
14. Hochberg Mc. Updating the American College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum 1997;40: 1725.
15. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Lupus Eritematosus sistemik .
Diagnosis dan pengelolaan 2011; p.10-41.
16. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J.
th
Harrisons Principle of Interna Medicine 2013;18 Edition; chapter 319.
17. Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, a clinical and laboratory features.
In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. Primer on
th
reumathic disease 2008; 13 Edition; p.303- 307.
18. Calvo-Alen J, Bastian HM, Straaton KV, Burgard SL, Mikhail IS,
Alarcon GS. Identification of patient subsets among those presumptively
diagnosed with referred, and/ or followed up for systemic lupus
erythematosus at a large tertiary care centre. Arthritis Rheum 1995;
38:1475- 84.
19. Branch DW, Porter TF. Autoimune disease. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP. High Risk Pregnancy; Philadelpia 2000; p. 853-64.
20. Lahita RG, The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In:
Lahita RG, Tsokos G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus
th
Erythematosus 2011; 5 Ed.
21. Ames RRJ, Hughes GRV. Antiphospolipid Antibody syndrome; Clinical
and Therapeutic Aspect; Rheumatologi Highligths XIII 1995.
22. Huong DLT, Wechsler B, Vauthier- Brouzes D, Beaufills H, Lefebvre G,
Piette JC. Pregnancy in past or present lupus nephritis: a study of 32
pregnancies from a single centre. Ann Rheum Dis 2001; 60: 599-1038.
23. Buyon VP. Management of SLE during pregnancy: a decision tree.
Rheumatology 2004; 20(4): 197-201.
24. Mock CC, Wong RWS. Pregnancy. In : Systemic lupus erythematosus.
Postgrad Med J 2001; 77 : 157-65.
25. Kwok LW, Tam LS, Zhu TY, Leung YY and Li EK. Predictors of
maternal and fetal outcomes in pregnancies of patient with systemic lupus
erythematosus 2011.
26. Petri M. Clinical and manajement aspects of antiphospholipid syndrome. In:
th
Wallace DJ, Hanh BH, editors. Dubois lupus erythematosus. 7 ed.
Philadelphia. Lippincott William and Wilkins 2007; 1262-97.
27. Brucato A, Frassi M, Franceschini F, et.al. Risk of congenital komplit heart
block in newborns of mothers with anti Ro/SSA antibodies detected by
counter immune electrophoresis. A prosfectif study of 100 women. Artritis
Rheumatoid 2001; 44: 1832-35.
28. Cervera R, Espinosa G, DCrus D. Systemic Lupus Erythematosus :
pathogenesis, clinical manifestation and diagnosis. In: Eular compendium on
rheumatic disease. BMJ Publishing Grup and European League Against
st
Rheaumatism 1 edition 2009; 1112-30.
29. Kasitanon N, Louthrenoo W, Sukitawut W, Vichainun R. Caused of death
and prognostic factors in Thai patients with systemic lupus erhytematosus
AsianPac J Allergy Immuno 2002; 20(2):85-91.
30. American college of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guideline. Arthitis Rheum 1999; 42(9): 1785-96.
31. Lee YH, Lee HS. Management of Pregnancy in Woman with systemic
lupus erythematosus 2011; volume 18.
32. Dhar JP, Sokol RJ. Lupus and pregnancy: complexe yet manageable. Clinical
Medicine and research 2006; 4(4): 310-21.
33. Bertias GK, loannidis JPA, Boletis J, Bombardieri S, Cervera R, Dostal C,
et.al. EULAR recommendations for the management of systemic lupus
erythematosus(SLE). Report of a Task Force of the European Standing
Committee for International Clinical Studies Including Therapeutics
(ESCISIT). Ann Rheumatism Dis 2008; 67: 195-205.
34. Jacob JWG, Bijlsma JWJ, Glucocorticoid Therapy. In: Firestein GS, Budd
RC, Harris ED,McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS. Editors, Kellys Texbook of
th
rheumatology. 8 ed. Philadelphia, WB Saunders Elsevier 2009; 863-81.
35. Petri M, Kim M, Kalunian K, et al. Combines oral contraceptive in
woman with systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2005; 353:
2550-8.

You might also like