You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan
adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum (VeR) atau lebih sering
disingkat visum saja. Melalui jalur inilah umumnya terjalin hubungan antara pihak yang
membuat dan memberi bantuan dengan pihak yang meminta dan menggunakan bantuan.

Walaupun istilah ini berasal dari bahasa Latin namun sudah dipakai sejak zaman
Hindia Belanda dan sudah demikian menyatu dalam bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari. Jangankan kalangan hukum dan kesehatan, masyarakat sendiri pun akan segera
menyadari bahwa visum pasti berkaitan dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk
kepentingan polisi dan pengadilan. Di Belanda sendiri istilah ini tidak dipakai.

Ada usaha untuk mengganti istilah VeR ini ke bahasa Indonesia seperti yang terlihat
dalam KUHAP, dimana digunakan istilah keterangan dan keterangan ahli untuk pengganti
visum. Namun usaha demikian tidak banyak berguna karena sampai saat ini ternyata istilah
visum tetap saja dipakai oleh semua kalangan.

Dari rumah sakit pemerintah maupun swasta sampai ke puskesmas, setiap bulan ada
ratusan pemeriksaan yang harus dilakukan dokter untuk membuat visum yang diminta oleh
penyidik. Yang paling banyak adalah visum untuk luka karena perkelahian, penganiayaan dan
kecelakaan lalu lintas, selanjutnya visum untuk pelanggaran kesusilaan atau perkosaan,
kemudian diikuti visum jenazah. Visum yang lain seperti visum psikiatri, visum untuk korban
keracunan atau penentuan keraguan siapa bapak seorang anak (disputed paternity), biarpun
tidak banyak namun merupaka pelayanan yang dapat dilakukan dokter juga.

Keterbatasan dokter spesialis forensik di Indonesia memberikan pengaruh terhadap


dokter umum dimana pada saat terdapat permintaan visum dan di instansi tersebut hanya
terdapat dokter umum, maka dokter umum berkewajiban untuk membuatnya. Sebenarnya
semua dokter forensik dan medikolegal dimana di dalamnya terdapat visum et repertum. Jadi
diperlukan keberanian, ketelitian dan kesungguhan dari para dokter itu sendiri untuk
melakukan pemeriksaan dan diberikan dalam bentuk visum et repertum.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi
Visum adalah istilah asing, namun sudah menyatu dalam bahasa Indonesia
sehingga orang awam sekalipun biasanya mengetahui bahwa visum berkaitan dengan
surat yang dikeluarkan dokter untuk polisi dan pengadilan. Visum adalah jamak
(plural) dari visa, yang berarti dilihat dan repertum adalah jamak dari repere yang
berarti ditemukan atau didapati, sehingga terjemahan langsung dari VeR adalah yang
dilihat dan ditemukan.
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskin langsung
yaitu pada staatsblad lembaga negara tahun 1937 no. 350.
Pasal 1:
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran di negeri Belanda ataupun di Indonesia,
merupakaan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta
tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter
pada benda yang diperiksa.
Pasal 2 :
(1) Pada dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di Negeri
belanda ataupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam pasal 1 diatas, dapat
mengucapkan sumpah sebagai berikut :
saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan membuat prnyataan-
pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan
peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-
baiknya. Semoga tuhan yang maha pengasih dan penyayang melimpahkan kekuata
lahir dan bathin.
Bila dirinci isi staatsblad ini mengandung makna:
1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di
Negeri Belanda ataupun di indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan
sumpah khusus ayat (2) dapat membuat VeR.
2. VeR mempunyai daya bukti yang syah/alat bukti yang sah dalam perkara
pidana.
3. VeR berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat,ditemukan pada benda-
benda/korban yang diperiksa.
Ketentuan dalam staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka
tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Seperti diketahui

2
setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah
keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah
yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, duanggap
sebagai sumpah yang syah unuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan
maksudnya berbeda. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir
visum, masih dicantumkan ketentuan hukum ini untuk mengingatkan yang
membuat maupun yang menggunakan visum, bahwa dokterwaktu membuat
visum akan bertindak jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan
ditemukan pada pemeriksaan korban menurut pengetahuan yang sebaik-
baiknya.
Jadi pengertian visum dirumuskan lebih jelas, yaitu laporan tertulis untuk
peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada
waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal
(fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia
(hidup atau mati) atau benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa
dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat
mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut. Dalam
KUHAP laporan dokteratas pemeriksaan pada korban yang dibuat oleh ahli
kedokteran kehakiman (SpF) disebut keterangan ahli dan bila dibuat oleh
dokter yang bukan SpF disebut keterangan. Tampaknya penyusun undang-
undang ini ingin menegaskan bahwa ada perbedaan antara keterangan ahli
dan keterangan. Pada visum jenazah sebutan keterangan ahli ini telah tepat,
tetapi untuk visum yang lain seperti pemeriksaan korban perkosaan yang
dibuat oleh sp.0G disebut keterangan, pengertian ini menjadi rancu, karena
pada masa ini SpOG yang lebih ahli dalam melakukan pemeriksaan korban
perkosaan/demikian pula dengan visum psikiatri.

B. Fungsi dan Peran Visum et Repertum


Visum et repertum dapat berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam pasal
184 KUHAP, visum et repertum merupakan alat bukti yang syah dalam proses
peradilan, yang berupa keterangan ahli, surat dan petunjuk. Dalam penjelasan pasal
133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis
forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh dokter selain dokter
spesialis forensik dosebut keterangan. Hal ini diperjelas pada pedoman pelaksanaan
KUHAP dalam keputusan menteri kehakiman RI no.M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang

3
menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat
bukti merupakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, semua hasil visum et
repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun dokter bukan
spesialis forensik merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Visum et repertum juga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti karena
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan di dalam bagian
pemberitaan. Karena barang bukti yang diperiksa tentu saja akan mengalami
perubahan alamiah, seperti misalnya luka yang telah sembuh, jenazah yang
mengalami pembusukan atau jenazag yang telah dikuburkan yang tidak mungkin
dibawa ke persidangan, maka visum et repertum merupakan pengganti barang bukti
tersebut yang telah diperiksa secara ilmiah oleh dokter ahli.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk persoalan
di sidamng pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya
bahan baru. Sesuai dengan pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat meminta
kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti
jika memang timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya
terhadap suatu hasil pemeriksaan.

C. Nilai VeR
Dalam KUHAP kedudukan atau nilai VeR adalah salah satu alat bukti yang
syah.
KUHAP pasal 184 :
Alat bukti yang syah adalah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Yang dimaksud dengan keterangan ahli dijelaskan dalam KUHAP pasal 186. Pasal
186 :
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Sedangkan laporan atas hasil pemeriksaan dokter yang selama ini disebut Ver
digolongkan ke dalam alat bukti surat dan ini dijelaskan dalam pasal 187.
KUHAP Pasal 187 :
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah ;
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya dan tegas
tentang kterangan itu.

4
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat berdasarka
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
e. Terlihat bahwa keterangan pada (c) mirip dengan pengertian yang terdapat
pada staatsblad 1937 no. 350 tentang VeR.

D. Jenis VeR
Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk orang hidup dapat dibedakan atas:
1. Visum seketika (defenitive). Visum yang langsung diberikan setelah korban
selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.
2. Visum sementara. Visum yang diberikan pada korban yang masih dalam
perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk meentukan
jenis kekerasan, sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam
menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum ditulis kesimpulan.
3. Visum lanjutan. Visum ini diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan
merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya.
Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara
yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum
lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi
oleh dokter yang terakhir merawat penderita.
Berdasarkan objek yang diperiksa, visum et repertum dibagi menjadi dua yaitu:
(1) Objek psikis
Visum et repertum berupa objek psikis ialah visum et repertum psikiatrikum.
Visum et repertum ini perlu dibuat karena adanya pasal 44(1) KUHP yang
berbunyi barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit tidak dipidana.
Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita
penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila
penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah
penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja,
jika semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan,
maka akan semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya sehingga

5
diperlukan pemeriksaan lanjutan. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang
bersifat hilang timbul juga akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter.
Visum et repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana visum et repertum lainnya.
Selain itu, visum et repertum menguraikan tentang segi kejiwaan manusia,
bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena visum et repertum
psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas
tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat visum et repertum
psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit
jiwa atau rumah sakit umum.
(2) Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Visum et repertum orang hidup
a) Visum et repertum perlukaan atau keracunan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah
untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka
atau sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat
catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang
dengan membawa serta surat permintaan visum et repertum.
Sedangkan para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke
dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat
permintaan visum et repertum-nya akan datang terlambat.
Keterlambatan surat permintaan visum et repertum dapat diperkecil
dengan diadakannya kerja sama yang baik antara dokter atau institusi
kesehatan dengan penyidik atau instansi kepolisian.
b) Visum et repertum korban kejahatan susila.
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan visum et
repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam
pidana oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan
pada wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang
belum cukup umur.
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan
adanya persetubuhan, adanya kekerasan, serta usia korban. Selain itu,
dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual,
kehamilan, dan kelainan psikiatri atau kejiwaan sebagai akibat dari

6
tindak pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya
pemerkosaan karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang
harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
2. Visum et repertum orang mati (jenazah)
Visum et repertum jenzah dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan visum et repertum adalah untuk menentukan sebab, cara dan
mekanisme kematian. Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum
nya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi
cap jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya.
Pada surat permintaan visum et repertum-nya harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah atau
pemeriksaan bedah jenazah (autopsi) (pasal 133 KUHAP).
a) Visum et repertum dengan pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan berupa tindakan tanpa
merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari
bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda disekitar jenazah,
perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi-geligi,
dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan diseluruh bagian
luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka
kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan
yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab
matinya tidak dapat ditentukan dan jenis kekerasan penyebabnya,
sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak
dilakukan pemeriksaan bedah jenazah. Bila dapat diperkirakan, lama
mati sebelum pemeriksaan (perkiraan waktu kematian) dapat
dicantumkan dalam bagian kesimpulan.
b) Visum et repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam.
Bila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib
memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga
korban (pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga berupa
jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (pasal 135 KUHAP).
Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka rongga
tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga dilakukan

7
pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian.

E. Bentuk dan Susunan VeR


Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang
kedoteran kehakiman yaitu Prof Muller, Prof Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof
Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito hamdani, ilmu
kedokteran kehakiman, edisi kedua, 1992). Konsep visum ini disusun dalam kerangka
dasar yang terdirii dari:
1. Pro-yustitia
2. Pendahuluan
3. Pemeriksaan
4. Kesimpulan
5. Penutup

Pro-yustitia

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat diatas kertas
materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuatnya
harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter
menulis pro-yustitia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan
kertas materai.

Penulisan kata pro-yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar
pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah
demi keadilan (pro-yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai
tentang arti sebenarnya kata pro-yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami
bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak
langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa
korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat
bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, biarpun pro-
yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang
terkandung di dalamnya, maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting
artinya.

Pendahuluan

8
Bagian pedndahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang
diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa
diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai
dengan yang tercantm dalam permintaan visum.

Pemeriksaan

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa
yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu
terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya
secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan dan
kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter
menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10cm, lebar
2cm dan dalam 4cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa
menyebutkan jenis luka. Menurut penulis cara penulisan ini leih baik langsung disebut
sebuah luka sayat dengan rincian seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek,
luka tembak dan lain-lain.

Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan


kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata,
maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya
sederhana saja, karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakai visum akan lebih
mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum. Pada masa
kini ini foto bukanlah hal yang langka dan mahal lagi.

Kesimpulan

Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan
dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya.
Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab-akibat
dari kelainan, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-
tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur
korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat
perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

9
Penutup

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut
dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah,

Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan staatsblad 1937 no 350, atau
dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHAP.

Lampiran foto:

Lampiran foto terutama perlu untuk memudahkan pemakai visum memahami


laporan yang disampaikan dalam visum. Pada luka yang sulit disampaikan dengan
kata-kata, dengan lampiran foto akan memudahkan pemakai visum memahami apa
yang ingin disampaikan dokter. Tentu akan timbul beberapa masalah dengan
pemakaian foto ini, terutama mengenai biaya, tehnik pengambilan, pemerosesan foto
dan juga mengenai keabsahan foto di pengadilan.

F. Pelayanan Primer
Pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal dasar (rumah sakit kelas D
dan Puskesmas). Pelayanan mencakup pelayanan forensik klinik, pemeriksaan luar
jenazah untuk pembuatan visum et repertum (sesuai dengan permintaan penyidik),
surat keterangan kematian, kamar jenazah sederhana. Tenaga yang tersedia adalah
dokter umum terlatih dan perawat.
Bagi daerah tertentu karena secara geografis tidak memungkinkan dan sangat
jauh letaknya dan belum ada dokter ahli forensik maupun jauh dari laboratorium
forensic seperti misalnya; Laboratorium Forensik Kepolisian, Laboratorium
Kesehatan (Dinas Kesehatan atau Rumah Sakit), Laboratorium Forensik Fakultas
Kedokteran, maka visum et repertum dari dokter (umum) atau dokter bukan ahli
sebagai pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat kecuali autopsy yang hanya boleh
dilakukan oleh dokter ahli forensik. Oleh karena itu dokter umum bisa dimintai
membuat visum et repertum.
Setiap dokter puskesmas di Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan
pelayanan kesehatan sesuai dengan program kesehatan yang dicanangkan pemerintah.
Salah satu diantara tugas itu adalah pemeriksaan terhadap jenazah yang meninggal
dalam daerah cakupan puskesmas yang bersangkutan. Jika ada kematian warga yang
tinggal atau meninggal dalam cakupan wilayah suatu puskesmas tertentu, maka
keluarga orang yang meninggal tersebut melaporkan kematian ke puskesmas. Dokter
puskesmas yang mendapat laporan tentang kematian tersebut wajib melakukan

10
pemeriksaan atas jenazah tersebut. Pada prinsipnya, penangan jenazah yang
meninggal akibat hal yang wajar (penyakit, atau tua) berbeda dengan yang tidak wajar
(bunuh diri, kecelakaan, atau pembunuhan). Dokter puskesmas sebagai petugas
kesehatan pelayanan primer dalam masyarakat bertanggungjawab atas setiap kematian
yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Dengan demikian setiap dokter puskesmas
sudah selayaknya memiliki pengetahuan mengenai tata cara pemeriksaan jenazah dan
lain-lain.

PELAYANAN VISUM
No. Kode : Ditetapkan Oleh:
Kepala Puskesmas Jeumpa
Terbitan : 01

No. Revisi :0
SPO
Tgl. Mulai Berlaku :
Puskesmas dr. Zubaidah
Jeumpa Halaman : 1. NIP: 19810321 201003 2 001

1. Pengerian Melayani perrnintaan pembuatan visum et repertum.

2. Tujuan Sebagai acuan membuat visum setelah melakukan pemeriksaan


pasien atau jenazah
3. Kebijakan Visum adalah sebagai bahan bukti pengganti bila diperlukan
dipengadilan.

Pelayanan visum disini adalah visum hidup


4. Referensi
a.

11
5. Alat dan Bahan 1. UGD puskesmas jeumpa melayani Visum hidup,

2. Permintaan Visum diajukan secara resmi dan tertulis oleh


Kepolisian kepada Puskesmas.

3. Pengajuan permintaan Visum disampaikan di UGD dalam


waktu 2 x 24 jam sejak kejadian oleh petugas kepolisian

4. Petugas UGD meneliti surat permintaan Visum, setelah


meneliti kebenaran surat, petugas menulis tanggal, jam
penerimaan, nama dan tanda tangan.

5. Apabila penderita / korban sudah masuk ruangan maka


surat permintaan Visum ada di UGD
6. Visum dibuat berdasarkan pemeriksaan penderita pada
saat permintaan Visum Et repertum.
7. Bila penderita / korban sudah meninggal maka petugas
UGD memriksa kondisi secara umum.
8. Visum hidup dibuat dan ditanda tangani oleh Dokter yang
memeriksa / menangani penderita pada saat visum
diterima.
9. Visum bisa diambil oleh petugas kepolisian dalam waktu 2 X
24 jam.
10. petugas menandatangani penerimaan laporan visum

catatan : dokumentasi visum (menggunakan kamera khusus


visum kemudian disimpan dikomputer UGD)

6. a.unit terkait Ambulance,


Kepolisian

b.Dokumen terkait 1. Rekam Medis


2. Catatan tindakan.

12

You might also like