Professional Documents
Culture Documents
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin
EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas
Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin
EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas
2012
Didukung Oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD) AID
ii | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD)
AID
Acknowledgement
Buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke
Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah ini disusun oleh Tim
Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal
(TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program
Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).
Disclaimer
Pandangan dan pendapat dalam buku Analisa Dampak
Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi
Fiskal Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian
Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik
Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan
Pemerintah Australia.
iv | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan........................................................................ 1
BAB II Kerangka Teori.................................................................... 7
BAB III Metode Penelitian................................................................ 30
BAB IV Analisa dan Pembahasan...................................................... 38
BAB V Penutup............................................................................... 69
Daftar Pustaka.................................................................................. 75
Daftar Isi v
vi | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Executive Summary
U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un
dang-undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000)
dengan memberlakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis
pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya.
Pemerintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara
Pemerintah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal
penting dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis
pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung
desentralisasi fiskal seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman
internasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserah
kan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju
yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasio
viii Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BPHTB di daerah. Selain itu, diseminasi terkait dengan kesadaran pa
jak, perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat;
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan
BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta
Pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi
yang mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang
baik kepada wajib pajak;
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan
BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan
agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan
yang sama;
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk men
ciptakan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan
kepada pembayar pajak;
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa
terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang di
pungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang di
pungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari
penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat
(Rp19.632.885.530,00).
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui
bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses
pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan
lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha
watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi
dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat.
Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right
track) untuk meningkatkan kemampuan fiskal Pemerintah Daerah.
Executive Summary ix
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah.
Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak
bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406
daerah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang
berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah
yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemu
ngutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya ber
hasil memungut kurang dari Rp 20 juta.
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB
suatu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai
transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009
menetapkan NPOPTKP paling rendah Rp 60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi
sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam
bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum
nya melalui Undang-Undang No. 20 tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP
itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap
perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, pene
rimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal
seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat
langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB
ternyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah
merancang dan menjalankan program ekonominya.
Perubahan density (kepadatan penduduk) berpengaruh positif ter
hadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi density maka
penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan pen
duduk merupakan faktor penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah
yang padat penduduknya menggambarkan tingginya persaingan
x Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang menyebabkan harga
akan meningkat. Peningkatan harga merupakan sumber utama po
tensi peningkatan penerimaan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB
Kota (yang biasanya lebih padat) jauh lebih tinggi dibanding pene
rimaan BPHTB kabupaten.
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan
penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin
buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin
kecil penerimaan BPHTB.
Executive Summary xi
hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama
pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba
iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya
penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk mengha
silkan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk
perumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan
kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja
sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela
tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
xii Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar
Direktur Program AIPD
P
emerintah Australia mendukung usaha Pemerintah Indonesia untuk
memperkuat implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia,
terutama melalui Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(Program AIPD). Tujuan AIPD adalah untuk mendorong perbaikan layanan
publik melalui pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik.
Pada tahun 2013 ini Program AIPD telah mendukung Tim Asistensi
Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) untuk melaku
kan empat penelitian terkait desentralisasi fiskal. Buku kedua dari hasil pe
nelitian tersebut adalah Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah.
Buku hasil penelitian TADF ini sangat relevan dan penting untuk men
dukung implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yang semakin baik di
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, dengan ditetapkannya
UU No. 28 Tahun 2009 ada perubahan besar dalam sistem perpajakan
nasional yaitu pengalihan kewenangan pengelolaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerin
tah Daerah. Kebijakan ini dipandang sangat baik untuk memperkuat im
Richard Manning
Direktur Program AIPD
xiv Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar
Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan
P
elaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama lebih
dari sepuluh tahun terakhir masih perlu secara terus-menerus dilaku
kan penyempurnaan. Melalui penyempurnaan kebijakan yang dida
sarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah diharapkan
dapat meningkatkan kualitas kebijakan tersebut. Untuk itu, Kementerian
Keuangan bekerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan
Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) yang beranggotakan para akademisi
dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah terus berupaya melakukan kajian-
kajian dimaksud.
Hasil kajian tahun 2012 yang menjadi rekomendasi kebijakan TADF
kepada Menteri Keuangan meliputi empat hasil penelitian dan tujuh
policy brief. Salah satu hasil penelitian tersebut adalah kajian mengenai
analisa dampak pengalihan pemungutan BPHTB terhadap kondisi fiskal
daerah. Pada dasarnya kajian ini bertujuan untuk mengetahui permasalah
PENDAHULUAN xv
an, hambatan dan dampak dari pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah
terhadap kondisi fiskal daerah.
Rekomendasi yang dihasilkan dari kajian ini antara lain perlu dila
kukannya perbaikan atas aturan terkait keleluasaan Pemerintah Daerah
dalam menentukan besaran NPOPTKP dan perlunya pemerintah pusat
memberikan bantuan terhadap daerah dengan penerimaan BPHTB sangat
rendah. Selain itu kajian ini juga memberikan rekomendasi kepada Peme
rintah Daerah, seperti saran agar daerah dengan penerimaan BPHTB sa
ngat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif maksimum, serta melakukan
berbagai upaya perbaikan infrastruktur agar dapat meningkatkan nilai
tanah dan bangunan di daerah tersebut. Rekomendasi berdasarkan kajian
ilmiah TADF tersebut diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi pe
nyempurnaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah, agar kemam
puan fiskal daerah dan pengelolaan perpajakan daerah dapat terus me
ningkat.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Aus
tralia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD) yang telah mendu
kung terlaksananya kegiatan TADF 2012. Kami berharap bahwa hasil
penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang lebih baik di Indonesia.
Marwanto Harjowiryono
Direktur Jenderal
xvi Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB I
Pendahuluan
U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Undang-
undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000) dengan
memberlakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak
dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Peme
rintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Peme
rintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara Pemerin
tah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal penting
dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis pajak
pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pa
jak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung
desentralisasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman inter
nasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan
kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
PENDAHULUAN 1
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju
yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasi
onal. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan,
namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan terse
but diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan
pemungutan BPHTB dengan baik.
Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun, dimana sebagian besar daerah
sudah melakukan pemungutan sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagaimana
halnya dengan pajak daerah lainnya, pemungutan BPHTB hanya dapat
dilakukan setelah adanya Peraturan Daerah (Perda). Perda tentang BPHTB
merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB di suatu daerah
yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan
ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB sesuai dengan
kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Sampai 20
April 2012, diketahui bahwa terdapat 474 daerah atau 96,3 persen dari
jumlah daerah yang telah menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini
memiliki potensi BPHTB sekitar 99,991 persen dari total penerimaan BPHTB
tahun 2010. Sementara itu, masih terdapat 18 daerah atau 3,7 persen
dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB.
Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,009
persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Dengan demikian, 18
daerah yang belum menetapkan Perda tersebut dipastikan akan kehilangan
potensi penerimaan BPHTB sekitar Rp 733,8 juta.
Dari keseluruhan daerah yang telah melakukan pemungutan BPHTB
tahun 2011, sebagian daerah bahkan sudah langsung mampu melampaui
besaran penerimaan BPHTB tahun 2010. Sebaliknya, sebagian lainnya
mengumpulkan lebih rendah dari besaran penerimaan BPHTB tahun 2010.
Data pada tabel berikut ini menunjukkan daerah-daerah dengan perubah
an penerimaan tinggi (100-500%), Normal (0-100%) dan rendah (< 0).
2 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 1.1.5.
(Lima) Daerah Kategori Tinggi dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi
Tabel 1.2.5.
(Lima) Daerah Kategori Normal dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi
PENDAHULUAN 3
Tabel 1.3.5.
(Lima) Daerah Kategori Rendah dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Terendah
4 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Secara umum, proses pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah telah
berjalan dengan baik. Hampir semua daerah telah menerbitkan perda
BPHTB dan menyusun tatacara pemungutannya, meskipun beberapa dae
rah terlambat memulainya. Faktor penting yang masih perlu ditingkatkan
adalah kapasitas sumber daya manusia dan sarana pendukung (hardware
dan software) di daerah. Selain itu juga penting untuk diketahui secara
pasti berapa besar dampak pengalihan BPHTB terhadap kondisi fiskal
daerah.
PENDAHULUAN 5
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif
dan legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan
daerah terkait dengan pemungutan BPHTB, agar kapasitas fiskal peme
rintah daerah terus mengalami kenaikan.
6 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB II
Kerangka Teori
S
ecara umum pajak dapat didefinisikan sebagai pungutan dari masya
rakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang
bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya
dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) se
cara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur sebagai berikut:
KERANGKA TEORI 7
Dari definisi di atas, selain unsur-unsur pajak, dapat terlihat pula
adanya dua fungsi pajak, yaitu:
8 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-
prinsip yang harus diperhatikan. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005),
banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan
yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Di
antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four ma
xims dari Adam Smith yang mengemukakan bahwa pemungutan pajak
hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu:
KERANGKA TEORI 9
Kedua pendekatan di atas adalah berdasarkan atas prinsip kesamaan
(equity), dimana prinsip kemanfaatan (benefit principle) berdasarkan atas
kesamaan manfaat yang diterima oleh wajib pajak sesuai dengan pajak
yang dibayarnya, sedangkan prinsip kemampuan membayar (ability to pay
principle) berdasarkan atas kesamaan pengorbanan yang sesuai dengan
kemampuan seorang wajib pajak untuk membayar pajak. Untuk mengukur
kemampuan membayar pajak dapat dilihat dari tingkat pendapatan se
orang wajib pajak.
Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), berdasarkan lembaga pemu
ngutannya, pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak pusat ter
diri dari:
a. Pajak Penghasilan (PPh);
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM);
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan
d. Bea Materai.
10 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
e. Pajak Rokok
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
KERANGKA TEORI 11
pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda
yang akan dikeluarkan oleh pemda tentu tidak boleh bertentangan de
ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.
Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek pajak daerah
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi keleluasaan
atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus
dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut:
12 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Obyek pajak BPHTB. Yang menjadi obyek pajak adalah perolehan
atas tanah ban bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meli
puti pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemindahan hak ini karena:
jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Selain itu, pemberian hak baru
dapat karena: kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTP. Jenis hak yang diatur da
lam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan jenis hak
yang diatur dalam UU rumah susun adalah hak milik atas satuan rumah
susun dan pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB. Obyek pajak yang tidak di
kenakan BPHTB adalah obyek pajak yang diperolah: perwakilan diplomatik,
negara untuk penyelenggaranaan pemerintahan dan atau untuk pelaksa
naan pembangunan guna kepentingan umum, badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri de
ngan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas; orang pribadi atau badan karena konversi hak atau ka
rena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; orang
pribadi atau badan karena wakaf; orang pribadi atau badan yang diguna
kan untuk kepentingan ibadah.
KERANGKA TEORI 13
1) Harga transaksi: jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang.
2) Nilai pasar: tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah wasiat,
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena
putusan hakim yang tetap, pemberian hak baru, penggabungan usa
ha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah.
3) NJOP PBB, apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP
PBB. Sementara itu, NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
14 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
saving dapat dimanfaatkan untuk pembentukan modal. Pajak juga ber
fungsi sebagai upaya untuk mengatur alokasi pendapatan masyarakat.
Dengan menarik pajak sesuai mekanismenya, maka pemerintah dapat
mengalokasikan pendapatan pada upaya-upaya investasi yang dapat
dinikmati banyak orang.
Selanjutnya, dengan tersedianya banyak investasi, maka akan timbul
lapangan pekerja. Sehingga secara tidak langsung pemerintah telah me
lakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Jadi secara tidak langsung
adanya penarikan pajak yang tepat akan membuka peluang bagi kemak
muran masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan
kerja.
Pengenaan pajak yang terbaik dipandang dari sudut pandangan ilmu
ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-pengaruh
ekonomi paling baik atau setidaknya walaupun memberikan pengaruh
tidak baik, adalah yang paling sedikit. Soal prinsip pengenaan pajak agar
dapat dihasilkan suatu kebaikan telah dikemukakan oleh Adam Smith
dengan cannon of taxation.
Suatu sistem pajak yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria
diantaranya adalah:
(1) Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar
sesuai dengan bagiannya yang wajar;
(2) Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan
ekonomi;
(3) Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di
sektor swasta, apabila instrumen pajak dapat melakukannya;
(4) Struktur haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk
tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi;
(5) Sistem pajak harus dimengerti wajib pajak;
(6) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya haruslah seminimal
mungkin;
(7) Pasti;
KERANGKA TEORI 15
(8) Dapat dilaksanakan; dan
(9) Dapat diterima.
16 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
karena pajak yaitu produk tersebut tidak diproduksi padahal sangat dibu
tuhkan masyarakat.
Dengan demikian terdapat mis-alokasi sumber-sumber produksi se
hingga konsumen menjadi kurang senang dan kehilangan kesejahteraan,
yang berarti mereka memikul beban pajak. Jadi dalam hal ini ada welfare
cost of taxation meskipun tidak ada direct cost of taxation. Apabila pajak
penjualan tersebut dipungut pada tingkat tertentu yang masih menghasil
kan sejumlah penerimaan pajak berarti akan timbul baik welfare cost of
taxation maupun direct cost of taxation (Khadijah, 2002). Lebih jelasnya
dapat diikuti pada gambar berikut:
Gambar 1.
Dampak Pajak Terhadap Welfare.
KERANGKA TEORI 17
sedangkan produksi turun dari Qo menjadi Q1. Penerimaan pajak (the
direct cost taxation) sama dengan PoP1BA. Harga bagi konsumen sekarang
adalah P1 di atas harga awal yaitu Po dan inilah sumber mis-alokasi yang
menyebabkan adanya welfare cost. Pengurangan konsumsi atas produk
tersebut dari Qo ke Q1 berarti hilangnya manfaat sebesar BCQoQ1.
Sumber-sumber produktif yang dipakai untuk memproduksi Qo dan
Q1 dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang lain yang lebih
banyak. Jadi pajak membatasi produksi barang-barang yang dikenakan
pajak dan mendorong sumber-sumber produktif berpindah kepemakaian
lain. Tetapi nilai barang lain yang diproduksi (ACQoQ1) lebih sedikit diban
ding dengan hilangnya nilai barang-barang yang dikenakan pajak (BCQoQ1).
Perbedaan atau selisih antara BCQoQ1 dan ACQoQ1= BAC merupakan
welfare cost sebab ini merupakan besarnya kehilangan neto akan manfaat.
Dengan mengetahui welfare cost maka dapat dibandingkan pajak yang
satu dengan yang lain dan menentukan mana yang memberikan beban
lebih besar kepada masyarakat sehingga pemerintah dapat membuat alter
natif lain di bidang perpajakan. Demikian pula besarnya welfare cost da
pat memberi petunjuk kepada pemerintah untuk mengalokasikan sumber
daya produktif seefisien mungkin.
18 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
yang mempunyai tingkat penghasilan yang rendah dalam suatu masyarakat
hanya akan menurunkan tingkat efisiensi kerjanya.
Pengenaan pajak juga akan mempengaruhi kemampuan menabung
masyarakat. Orang yang dikenakan pajak penghasilan, kemampuannya
untuk menabung akan berkurang sebesar marginal propensity to save
(mps) dikalikan dengan jumlah pajak yang dikenakan. Bagi orang-orang
yang tergolong mempunyai penghasilan rendah, pengenaan pajak tidak
akan mengurangi kemampuannya untuk menabung karena memang
pada umumnya biasanya mereka itu sudah tidak mempunyai tabungan
walaupun belum dikenakan pajak karena pendapatannya habis untuk
konsumsi. Sehingga kalau dikenakan pajak tidak akan mengurangi ta
bungannya melainkan akan mengurangi konsumsinya. Dampak selanjut
nya, jika pengenaan pajak akan berpengaruh pada tabungan, maka ber
dampak pada berkurangnya investasi yang terbatas. Hal ini dikarenakan
salah satu sumber utama adalah akumulasi tabungan.
KERANGKA TEORI 19
pajak dikatakan mempunyai struktur yang progresif apabila persentase
beban pajak terhadap pendapatan naik dengan meningkatnya pendapatan.
Sedangkan struktur pajak dikatakan bersifat regresif apabila persentase
beban pajak terhadap pendapatan menurun dengan meningkatnya pen
dapatan.
20 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dengan tanah, proses jual beli maupun pemindahan kepemilikan atas
properti yang dimiliki seseorang atau badan.
KERANGKA TEORI 21
dikarenakan adanya perbedaan tentang dasar pada masing-masing
properti maka untuk mempermudah di dalam memungut pajak properti
maka yang harus dilakukan yaitu melakukan pengkodean data, catatan
manajemen harus baik, penerbitan tagihan pajak, pembayaran rekaman,
dan melakukan pelacakan perubahan dalam kepemilikan tanah.
Di dalam kenyataannya di Filipina banyak pemerintah daerah yang
hanya mampu mengumpulkan pajak daerah sebesar 54% dari basis pajak
nya, dimana hal ini dikarenakan banyaknya kelemahan administrasi per
pajakan seperti masalah pengkodean data pajak, sehingga hal ini juga
menimbulkan masalah ketidakefisiensian di dalam pajak properti. Namun
di sisi lain, di daerah-daerah Filipina lainnya juga telah melakukan upaya
pengidentifikasian pajak properti misalnya Kota Naga yang sistem pe
merintahannya berbentuk partisipatif dan transparan, dimana pemerintah
Kota Naga telah memberikan situs pemerintahan kepada Negara, yang
mana situs tersebut memuat kontrak, anggaran, infrastruktur dan biaya
untuk pelayanan sosial, sehingga akibatnya dengan adanya transparansi
ini maka dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam melakukan
pembayaran pajak.
Sedangkan di Muntinlupa City, San Fernando City, Valenzuela City,
dan Quezon City, di dalam upaya meningkatkan pajak propertinya pe
merintahan di kota tersebut secara teratur melakukan pengiriman tagihan
pajak, merampingkan proses pembayaran pajak, menegakkan penagihan
tunggakan melalui penjualan properti melalui publik lelang dan untuk
wajib pajak diperlakukan sebagai pelanggan melalui penyediaan pemba
yaran pajak di kantor dengan karyawan yang sopan, dan fasilitas sederhana
seperti kopi.
22 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kelompok Kerja Teknis untuk belajar kebijakan pajak properti dengan ber
fokus hanya pada Phnom Penh. Diharapkan pajak properti di Phnom Penh
bisa menghasilkan USD3-6 juta per tahun. Pajak properti dikenakan pada
tanah dan bangunan kecuali milik pemerintah, LSM, kedutaan dan ma
syarakat miskin. Struktur kebijakan harus dibuat sederhana dan mudah
diimplementasikan dengan cara yang adil, efisien, menghasilkan tingkat
lokal penting untuk mendukung peningkatan tata kelola pemerintahan
dan akuntabel dan pelayanan.
Departemen Jenderal Pajak bertanggung jawab untuk mengelola
pajak properti yang diusulkan, bekerja sama dengan Departemen Manaje
men Tanah, Perencanaan Kota dan Konstruksi dan Nasional Sub Adminis
trasi. Strategi pelaksanaan pajak properti terdiri dari tiga komponen yaitu
dukungan mobilisasi politik dan publik, peningkatan administrasi pajak
yang ada, persiapan dan pelaksanaan pajak bumi dan bangunan. Tan
tangan yang dihadapi yakni: Sub Nasional Administrasi tidak berhak untuk
mengumpulkan semua jenis pajak (Departemen Pajak Umum mengum
pulkan pajak ditetapkan atas nama mereka), kekurangan pendidikan ke
pada wajib pajak tentang pajak properti, rumah tangga miskin yang me
miliki properti mahal (sebagai properti diwariskan). Pendapatan yang
dihasilkan dari pajak properti tidak dapat digunakan secara bijak.
KERANGKA TEORI 23
pajak properti hanya sebesar 0,16 -0,24 persen dari PDB. Hal ini dikarenakan
ada kesenjangan yang signifikan antara potensi pendapatan dari pajak
dan pendapatan yang telah diterima, yang mana terdapat beberapa pe
nyebab diantaranya metode penilaian terhadap properti yang sudah kada
luarsa, penegakan hukum yang buruk, dan cara menilai properti tersebut.
Di India asal mulanya pajak properti yang diterapkan berdasarkan
pada nilai modal dan nilai sewa properti, sehingga pemerintah harus se
ring merevisi tarifnya akibat nilai modal dan sewa yang terus mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Di dalam perkembangannya pajak pro
perti di India mengalami pereformasian, dimana penetapan tarif tidak lagi
berdasarkan pada nilai modal dan nilai sewa melainkan di tetapkan
berdasarkan lokasi properti dan jenis kontruksi properti tersebut. Dengan
adanya reformasi pajak properti seperti ini hasilnya cukup signifikan yang
mana pajak properti mampu mengalami peningkatan sebesar 3,5 kali
lipat selama delapan tahun dari 2,3 miliar rs pada 2004-05 ke 8,4 miliar
rs pada tahun 2011-2012. Di tahun yang akan datang, unsur yang akan
dilibatkan dalam penetapan tarif yaitu mengenai indeks harga riilnya.
24 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
PropertyTax di Amerika Serikat
Sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat mengenakan pajak
properti sebagai sumber utama pendapatan. Pajak ini dapat dikenakan
pada real estate atau properti pribadi. Pajak ini hampir selalu dihitung se
bagai nilai pasar yang wajar dari properti dikalikan assessment ratio dika
likan tax rate. Nilai tersebut ditentukan oleh pejabat lokal, dan dapat di
negosiasi dengan pemilik properti.
Pajak ini dikelola di tingkat pemerintah daerah. Pajak properti di
Amerika memberi batasan pada bagaimana yurisdiksi lokal dapat me
ngenakan pajak properti. Karena banyak properti yang dikenakan pajak
oleh lebih dari satu yurisdiksi lokal, beberapa negara memberikan metode
nilainya dibuat seragam di antara yurisdiksi tersebut.
Pajak properti jarang dinilai sendiri oleh pemilik properti. Pajak men
jadi kewajiban dan memiliki kekuatan hukum yang melekat pada properti
pada tanggal tertentu. Di setiap negara bagian USA biasa mengenakan
pajak pajak properti dari kendaraan yang terdaftar di negara bagian terse
but, dari beberapa jenis pajak negara bagian lainnya serta pajak bisnis
properti.
KERANGKA TEORI 25
Landasan. Kebanyakan yurisdiksi di bawah tingkat negara bagian di Ame
rika Serikat mengenakan pajak dalam real properti (tanah, bangunan, dan
perbaikan gedung secara permanen) yang mana dianggap di bawah
hukum negara bagian tertentu menjadi pajak kepemilikan. Aturan tersebut
bervariasi tergantung oleh yurisdiksi tiap negara bagian. Namun, dalam
beberapa fitur pajak properti tertentu sedang dibuat menjadi universal di
tiap negara bagian. Di beberapa yurisdiksi pajak juga menerapkan bebe
rapa jenis pajak bisnis properti pribadi, terutama dalam persediaan dan
peralatan.
Yurisdiksi yang tumpang tindih mungkin memiliki kewenangan untuk
pajak properti yang sama. Termasuk juga kabupaten, kota, distrik, dan oto
ritas perpajakan khusus, hal tersebut berbeda-beda berdasarkan negara
bagian. Beberapa negara bagian mengenakan pajak atas nilai properti.
Pajak ini berdasarkan nilai pasar wajar dari subjek properti, dan umumnya
ditetapkan untuk properti pada tanggal tertentu. Pemilik properti pada
tanggal tersebut bertanggung jawab atas pajak.
Besarnya pajak yang ditetapkan setiap tahun berdasarkan nilai pasar
masing-masing properti pada tanggal tertentu, dan sebagian besar yuris
diksi membutuhkan determinasi nilai secara berkala. Pajak ditentukan dari
nilai pasar dikali penilaian rasio suatu tarif pajak. Penilaian dan tarif pajak
bervariasi antar yurisdiksi, dan dapat bervariasi menurut jenis properti
dalam yurisdiksi. Badan legislatif Sebagian besar jurisdiksi menentukan
penilaian mereka dalam rasio dan tarif pajak, meskipun beberapa negara
bagian terdapat kendala pada penentuan tersebut.
Pajak asesor mengenakan pajak yurisdiksi untuk menentukan nilai
properti dengan berbagai cara, tetapi umumnya penentuan tersebut pada
nilai pasar wajar. Nilai wajar pasar adalah harga untuk penjual bersedia men
jual propertinya dan pembeli bersedia untuk membeli properti tersebut
dengan harga yang sudah ditentukan penjual dan tidak berada di bawah
setiap paksaan untuk bertindak. Ketika properti telah dijual antara penjual
yang tidak berhubungan langsung dengan pembeli, maka penjualan
26 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
tersebut menetapkan estimasi terhadap nilai pasar wajar. Teknik estimasi
yang umum digunakan adalah membandingkan penjualan lain yang se
banding, biaya penyusutan, dan pendekatan pendapatan. Pemilik properti
juga dapat menyatakan nilai yang dapat berubah oleh penilai pajak.
Setelah nilai ditentukan, penilai biasanya memberitahu pemilik pro
perti terakhir yang diketahui dari penentuan nilai. Pemberitahuan tersebut
dapat mencakup jumlah yang dihitung dari pajak. Nilai properti umumnya
ditinjau oleh dewan review atau badan serupa.
Setelah nilai diselesaikan, tagihan pajak properti atau pemberitahuan
akan dikirim ke pemilik properti. Metode pembayaran dan istilah bervariasi.
Jika pemilik properti gagal untuk membayar pajak, yurisdiksi perpajakan
memiliki berbagai metode untuk tetap menghimpun pajak tersebut,
dalam banyak kasus, termasuk penyitaan dan penjualan properti.
Tax Rates. Tarif pajak bervariasi antara yurisdiksi. Mereka umumnya diatur
oleh taxing jurisdictions governing body. Metode penentuan tingkat
bervariasi, namun dapat dibatasi berdasarkan hukum negara bagian ter
tentu. Perubahan tarif pajak atau rasio penilaian mungkin memiliki efek
praktis yang sama dari perubahan pajak bersih jatuh tempo pada properti
tertentu.
Sejarah. Pajak Properti di Amerika Serikat sudah ada selama masa penja
jahan. Pada 1796, 14 dari 15 negara bagian mengenakan pajak properti,
KERANGKA TEORI 27
tetapi hanya 4 negara bagian yang mengenakan pajak persediaan (saham
dalam perdagangan). Di beberapa negara bagian, semua harta properti,
dengan beberapa pengecualian yang dikenakan pajak, pengecualian ter
sebut akan muncul dalam nama pajak yang lain selain pajak properti. Tanah
dikenakan pajak di satu negara bagian tertentu menurut kuantitasnya, di
negara bagian lain sesuai dengan kualitas, dan juga ada yang tidak dike
nakan sama sekali. Tanggung jawab penilaian dan pengumpulan pajak
dalam beberapa kasus merupakan keputusan pada negara bagian itu sen
diri. Sebagai contoh Vermont dan North Carolina dikenakan pajak tanah
berdasarkan kuantitas, sementara New York dan Rhode Island dikenakan
pajak tanah berdasarkan nilai. Connecticut pajak tanah berdasarkan jenis
penggunaan.
Selama periode dari 1796 sampai Perang Saudara, prinsip pemersatu
dikembangkan. Pengenaan pajak seluruh aktiva bergerak dan tidak berge
rak, terlihat dan tak terlihat, atau nyata dan pribadi, seperti yang kita kata
kan di Amerika, pada satu tingkat yang seragam. Selama periode ini, pajak
properti akan dinilai berdasarkan nilai. Ini diperkenalkan sebagai persya
ratan dalam konstitusi banyak negara.
Setelah Perang Saudara, harta tak berwujud, termasuk saham perusa
haan, mengambil kepentingan yang jauh lebih besar. Yurisdiksi Perpajakan
menemukan kesulitan untuk menemukan metode pengenaan pajak pro
perti semacam ini. Tren ini menyebabkan pengenalan alternatif untuk
pengenaan pajak properti (seperti pendapatan dan pajak penjualan) di
tingkat negara bagian. Pajak properti tetap menjadi sumber utama pen
dapatan pemerintah di bawah tingkat negara.
Masa sulit selama Depresi Besar menyebabkan tingkat penyimpangan
pajak yang tinggi dan pendapatan properti mengurangi pajak. Juga pada
tahun 1900-an, banyak yurisdiksi mulai membebaskan properti tertentu
dari pajak. Banyak yurisdiksi membebaskan rumah veteran perang. Setelah
Perang Dunia II, beberapa negara bagian juga mengganti dengan keten
tuan membatasi kenaikan nilai untuk rumah tinggal.
28 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Berbagai faktor ekonomi telah menyebabkan inisiatif wajib pajak di
berbagai negara bagian untuk membatasi pajak properti. California Pro
position 13 (1978) diubah konstitusi California untuk membatasi pajak
properti agregat 1% dari nilai tunai penuh kekayaan tersebut. Hal ini juga
membatasi kenaikan nilai dinilai properti untuk faktor inflasi yang dibatasi
2% per tahun.
KERANGKA TEORI 29
BAB III
Metode Penelitian
B
erdasarkan atas tujuan penelitian yang sudah dijelaskan didepan,
maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini
didesain untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang
sudah dijelaskan didalam bab sebelumnya.
Penelitian dilakukan dengan pada sampel di beberapa daerah kota
maupun kabupaten di seluruh Indonesia. Metode pemilihan sampel dae
rah yang digunakan adalah dengan stratifikasi yaitu menetapkan daerah
kabupaten/kota di Indonesia dalam suatu klasifikasi yang didasarkan pada
perkembangan penerimaan BPHTB selama dua tahun terakhir, kemudian
dipilih masing-masing dua daerah yang tertinggi, normal dan rendah
realisasi penerimaan BPHTB-nya. Pertimbangan pemilihan daerah sampel
juga didasarkan pada kriteria daerah kota dan kabupaten.
30 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dan data yang dikumpulkan selama penelitian akan dijelaskan dan dieks
plorasi berdasakan hasil analisis. Jenis data yang ada sebagai berikut:
Data Primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari kunjungan
lapangan melalui proses dialog intensif dengan pengambil keputusan
dan stakeholders terkait dengan pelaksanaan pengenaan BPHTB di
daerah, melalui Focus Group Discussion (FGD) dan in-depth inter
view kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan informasi
yang perlu pendalaman.
Data Sekunder: yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah
Daerah, seperti data tentang PRDB, IKK, Kepadatan Penduduk, Per
tumbuhan Ekonomi, dan Penerimaan BPHTB.
METODE PENELITIAN 31
Daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari 6 dae
rah, yaitu 3 kabupaten dan 3 Kota yang mewakili ketiga kategori tersebut,
sebagaimana tergambar dalam Tabel di atas. Adapun ke-enam daerah
sampel terpilih adalah sebagai berikut:
1) Bappeda
2) Asisten Sekda Bidang Ekonomi dan Keuangan
3) Bagian Keuangan Setda
4) Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
5) Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
6) Kepala PTSP (Perizinan)
7) Notaris/PPAT
8) BPN di daerah
9) Dinas Penanaman Modal
10) Dinas Koperasi/ UKM / Perdagangan / Industri
11) Kadin daerah/Pengusaha Real Estate
12) Akademisi daerah
13) DPRD
14) Camat/KepalaDesa
15) LSM terkait dengan Pengelolaan Keuangan
32 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
1.3. Metoda Analisis Data
Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskriptif
untuk menjawab fenomena yang diperoleh didalam proses FGD. Analisis
deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang ter
jadi di daerah termasuk hambatan yang ada terkait dengan pelaksanaan
pemungutan BPHTB.
Perubahan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan melalui transaksi
(NPOP) mencerminkan dua hal pokok yaitu pengaruh dari faktor-faktor
yang tidak dapat dikendalikan (umumnya variabel ekonomi, penduduk,
PDRB, IKK, inflasi dll) dan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau upaya
yang telah dilakukan seperti perluasan cakupan (data dasar), pendataan,
penyusunan Zona Nilai Tanah (ZNT), dan perubahan NJOP yang disebut
dengan variabel dapat dikendalikan. Pengamatan terhadap variabel yang
dapat dikendalikan dapat dilihat dari berbagai usaha yang telah dilakukan
antara lain usaha perluasan cakupan, dan pengisian SPOP.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka inten
sifikasi atau ekstensifikasi terhadap komponen BPHTB dapat diamati dari
perkembangan dan luas cakupan. Selain itu para walikota maupun bupati
memberi insentif bagi para camat/notaris yang mencapai tingkat peneri
maan BPHTB yang mengesankan, sebaliknya memberi hukuman bagi apa
rat pemda (camat) yang tidak berhasil mencapai target.
Selain variabel tersebut diatas, masih terdapat beberapa variabel
yang mungkin mempengaruhi BPHTPB tergantung pada kondisi daerah
masing-masing. Variabel yang dianalisis di atas hanyalah variabel yang
dianggap dominan dan bersifat umum mempengaruhi NPOP maupun
NJOP. Variabel seperti tersedianya perda, maupun peraturan lainnya yang
mendukung BPHTB yang merupakan proksi terhadap upaya memperluas
cakupan baik dalam artian intensifikasi ataupun ekstensifikasi merupakan
variabel yang perlu medapat perhatian. Selain itu, variabel kebijakan yang
berbeda-beda pada tiap daerah juga turut mempengaruhi utamanya yang
METODE PENELITIAN 33
bersifat kekuasaan. Untuk mengantisipasi variabel-variabel tersebut de
ngan tepat sangat dibutuhkan visi dan analisis yang cermat dan dikaji
secara terus menerus. Karena dalam struktur organisasi Dispenda tidak
terdapat unit yang berfungsi melakukan kajian seperti itu maka, sebaiknya
ada kerjasama antar instansi untuk mengkaji masalah tersebut.
Metode Analisis yang dipakai sebagai berikut:
34 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
- Sistem penetapan NPOP yang berlaku saat ini.
Analisis sistem dan prosedur penilaian NPOP BPHTB yang akan dilaku
kan adalah sejauh mana proses penggunaan dan penilaian NJOP
mendekati harga sebenarnya dan apakah efektif dilakukan, maka akan
dilakukan analisis dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
kepada peserta FGD untuk melakukan pengujian terhadap informasi
yang disampaikan peserta FGD.
Dengan demikian maka metode analisis informasi melalui FGD ini
diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana penilaian dan pene
tapan NPOP ini ditopang oleh suatu sistem administrasi yang efektif.
Hasil analisis ini akan mengungkapkan efektifitas sistem dan pro
sedur pemungutan BPHTB. Dengan kata lain bahwa fokus utama
analisis sistem dan prosedur pemungutan adalah menilai apakah
mekanisme (jika sudah ada) tersebut berjalan sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan atau diperlukan aturan baik berupa SOP atau
pun SOTK untuk itu.
Untuk mendukung metodologi tersebut diatas maka akan
dilakukan beberapa rangkaian kegiatan antara lain ;
- Mengumpulkan dan mereduksi informasi yang diperoleh dari
FGD daerah
- Memahami proses penilaian NJOP maupun NPOP BPHTB
- Mengumpulkan informasi mengenai pelaksanaan transaksi dan
penetapan NPOP BPHTB.
- Mempelajari tata cara pendataan dan penilaian yang dilakukan
selama ini di masing masing daerah sampel.
METODE PENELITIAN 35
Kajian makro kuantitatif ini akan memanfaatkan model statistika
untuk melihat keterkaitan antara beberapa variabel ekonomi seperti per
tumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, serta indeks kemahalan kon
struksi (IKK). Analisis ini akan menggunakan peralatan statistik ekonometrik.
Dengan mengukur koefisien berbagai variabel berpengaruh untuk menge
tahui seberapa besar dan variabel mana yang dominan dalam mempe
ngaruhi penerimaan BPHTB.
Penelitian ini menganalisis BPHTB dari aspek makro. Khusus analisis
makro difokuskan untuk menganalisis berbagai faktor ekonomi yang mem
pengaruhi BPHTB. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa, nilai objek
pajak baik tanah maupun bangunan di suatu daerah sangat dipengaruhi
oleh kondisi ekonomi daerah tersebut. BPHTB yang umumnya perhitung
annya didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) sangat dipengaruhi
oleh perkembangan penduduk (kepadatan). Dan harapan maupun perki
raan akan perubahan harga sebagai akibat dari perbaikan akses (infrastruk
tur) yang diindikasikan oleh tingkat IKK yang rendah akan mempengaruhi
rencana penerimaan BPHTB. Selain variabel tersebut masih terdapat be
berapa variabel ekonomi lainnya yang diduga mempunyai peranan dalam
mempengaruhi nilai jual objek pajak. Untuk itu diketahui variabel ekonomi
dominan yang mempengaruhi BPHTB agar perkiraan pokok atau potensi
BPHTB lebih optimal.
Peralatan yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan
dan tingkat signifikansi masing-masing variabel adalah peralatan statistik,
dengan membangun persamaan bahwa BPHTB merupakan fungsi dari
variabel tersebut.
Estimasi pokok yang lebih mendekati potensi sebenarnya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
36 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BP = f (x1, x2, x3)
Dimana,
BP = Penerimanaan BPHTB
X1 = Pertumbuhan Ekonomi
X2 = Kepadatan Penduduk
X3 = IKK
Model akan dipilih yang terbaik sesuai dengan asumsi klasik, termasuk
variabel variabel yang akan dipergunakan dalam analisis. Sedangkan un
tuk melihat dampak BPHTB sebelum dan sesudah didaerahkan, akan di
lakukan uji beda dua sample berpasangan (paired sample T-test) atas data
yang ada.
METODE PENELITIAN 37
BAB IV
Analisa dan
Pembahasan
D
alam penelitian ini, selain menggunakan data sekunder dari berbagai
sumber, digunakan pula pengumpulan data primer dengan me
lakukan FGD di beberapa daerah sampel. Daerah sampel yang dite
tapkan adalah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Kabupaten
Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar. Pemilihan dae
rah sampel tersebut didasarkan pada kemampuan daerah dalam peneri
maan BPHTB, terutama pada awal penerapan BPHTB yakni tahun 2010
dan 2011. Berikut akan dibahas mengenai gambaran umum dari daerah
sampel.
38 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.1.
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Daerah Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
Dari data luas wilayah dan jumlah penduduk tahun 2010 dan 2011
pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa seluruh daerah sampel mengalami
kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru,
yaitu dari 903.902 jiwa di tahun 2010 menjadi 930.215 jiwa di tahun
2011, atau terjadi kenaikan sebesar 2.9 persen. Sedangkan kenaikan te
rendah terjadi di Kota Medan, yaitu dari 2.109.339 menjadi 2.117.224
jiwa, atau terjadi kenaikan sebesar 0.37 persen. Untuk rata-rata nasional,
kenaikan penduduk dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 5 persen.
Banyaknya jumlah penduduk di suatu daerah dianggap berpengaruh
positif pada permintaan tanah dan bangunan. Sehingga, semakin tinggi
pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah, maka diperkirakan
permintaan akan tanah dan bangunan di daerah tersebut juga akan me
ningkat. Pada akhirnya permintaan yang meningkat tersebut akan mendo
rong meningkatnya transaksi tanah dan bangunan, yang berarti mendo
rong penerimaan BPHTB.
Kota Pekanbaru merupakan kota yang memiliki kenaikan jumlah pen
duduk terbesar di banding daerah lain, walaupun begitu ternyata hanya
Gambar 4.1.
Perkembangan PDRB Daerah Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
1
Tingginya jumlah pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru lebih banyak disebabkan oleh
banyaknya pendatang (migrasi masuk), mengingat daya tarik Kota Pekanbaru sebagai
daerah yang paling pesat pertumbuhan ekonominya.
40 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Semakin tinggi perkembangan PDRB suatu daerah, maka dapat diarti
kan daerah tersebut mengalami dinamika dalam perekonomiannya. Se
cara empiris dapat disimpulkan bahwa kemajuan perekonomian di suatu
wilayah dapat menyebabkan penerimaan BPHTB di daerah semakin me
ningkat pula.
Data dari enam daerah sampel tahun 2010 ke 2011 menunjukkan
semua daerah sampel mengalami peningkatan PDRB. Peningkatan ter
tinggi terjadi di Kota Pekanbaru, dari Rp9.047,93 miliar menjadi Rp9.857.31
miliar dan kenaikan terkecil terjadi di Kabupaten Lebak, yaitu dari Rp4.015,56
miliar menjadi Rp4.180,39 miliar. Untuk rata-rata nasional, besarnya PDRB
tahun 2010 adalah sebesar Rp4.126,37 miliar dan meningkat menjadi
Rp4.386,60 miliar di tahun 2011.
Kota Pekanbaru yang memiliki peningkatan nilai PDRB tertinggi di
banding daerah lain, justru tidak mengalami peningkatan penerimaan
BPHTB yang signifikan jika dibandingkan daerah lain (hanya 14,8 persen).
Sedangkan Kabupaten Lebak, yang mengalami kenaikan terkecil PDRB
terkecil, justru mengalami peningkatan penerimaan BPHTB yang tinggi,
yaitu sebesar 84,5 persen. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dae
rah sampel tidak dapat cukup menggambarkan keadaan yang terjadi
pada tingkat nasional, dalam hal hubungan antara besarnya PDRB dan
penerimaan BPHTB. Selain itu, hal ini menggambarkan bahwa penerimaan
BPHTB tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti pertumbuhan
ekonomi maupun jumlah penduduk, kesiapan daerah terkait dengan pe
ngelolaan pajak tersebut yang paling dominan dalam mendorong pe
ningkatan penerimaan BPHTB.
Sumber: BPS
42 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Gambar 4.3.
Perkembangan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Daerah
Sampel Tahun 2010-2011
Sumber: BPS
4.2.1. Pengantar
Pembangunan Daerah selama 11 tahun periode desentralisasi telah men
dorong meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang, yang
diikuti dengan tuntutan akan layanan publik yang lebih baik. Bagaimanapun
juga, meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah akan mendorong
kebutuhan akan lahan dan bangunan sebagai sarana pendukung kegiatan
ekonomi. Mengingat keberadaan tanah dan atau bangunan sangat ter
batas. Maka sudah sewajarnya negara mengatur penggunaan atas tanah
dan termasuk bangunan diatasnya. Negara memungut pada orang pribadi
atau badan hukum yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari
tanah dan atau bangunan atau karena adanya perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan atau Bangunan yang biasa dikenal dengan BPHTB.
Mengingat permasalahan pengelolaan BPHTB ini bukan saja per
masalahan teknis, tetapi ada indikasi muncul permasalahan kelembagaan
misalnya kesiapan regulasi, kesiapan SDM, hubungan antar lembaga,2
khususnya terkait dengan kesiapan daerah, dinamika pengelolaan BPHTB
yang berbeda beda di setiap daerah, maka mengapa regulasi dan kesiap
an daerah yang dibutuhkan masih belum siap, serta perlu dijawab perma
2
Sebelum tahun 2010, BPHTB dikelola oleh direktorat jendral Pajak yang kemudian dibagi
hasilkan, dimana pelaksana teknis pengelolaan (termasuk pemungutan) BPHTB di daerah
adalah KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Oleh karena itu, KPP memiliki data tentang tanah
(termasuk ZNT, Zona Nilai Tanah) serta SDM yang berkeahlian teknis dalam pemungutan
BPHTB didaerah.
44 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
salahan terkait dengan proses perpindahan pengumpulan BPHTB dari KPP
(Kantor Pelayanan Pajak), maupun kondisi di lapangan secara riil, maka
salah satu pendekatan yang paling cocok untuk mengeksplorasi perma
salahan dan solusi pengelolaan BPHTB adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu metoda yang biasa digunakan
untuk mengungkap dan menjawab atas fenomena yang muncul, biasa
dikenal untuk menjawab nomena dari proses yang diamati. Didalam
pelaksanaanya, pendekatan kualitatif ini menggunakan pendekatan posi
tivistik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sudah di tetapkan.3
FGD (Focus Group Discussion) merupakan instrumen penelitian yang
diterapkan untuk mengeksplorasi atas jawabanjawaban penelitian yang
muncul. Di dalam FGD sangat penting peran dari fasilitator untuk mendo
rong setiap peserta untuk bercerita mengungkapkan fakta yang ada di
lapangan. Proses diskusi atas jawabanjawaban yang muncul biasa dike
nal dengan proses reduksi data, mengkonfirmasi jawaban dari satu peserta
kepada peserta lain untuk mendapatakan jawaban terbaik dan valid.
Secara umum, pelaksanaan FGD ini perlu melakukan hal sebagaimana
berikut, seperti:
3
Pendekatan positivistik merupakan pendekatan yang berangkat dari kerangka teoritis dan
empiris yang sudah ada. Pendekatan ini sering juga dikenal dengan pendekatan deduktif
(deductive approach) dimana kesimpulan yang diperoleh berdasarkan premis (teoritis
dan empiris) yang diperoleh. Sebaliknya pendekatan non-positivistik adalah pendekatan
yang berbasis dari pengamatan yang ada di lapangan, lalu menarik kesimpulan berdasar-
kan pengamatan yang ada (inductive approach).
Analisis yuridis empiris terkait dengan dasar hukum tarif serta peratur
an daerah yang ada juga dilakukan mengingat pengenaan BPHTB adalah
salah satu kebijakan publik yang harus berbasis hukum mengingat seluruh
masyarakat akan menerima dampaknya. Temuan dari diskusi dan peng
amatan dilapangan perlu dijelaskan secara rinci dan jelas (descriptive
analysis).
Secara umum beberapa kesimpulan awal dapat dijelaskan, BPHTB
merupakan pajak yang dikenakan dimana dalam pelaksanaannya meng
gunakan sistem self assessment, dan prosedur pembayarannya sangat
sederhana karena tidak menggunakan Surat Ketetapan Pajak.
Dalam prosesnya PPAT/Notaris memiliki peranan yang signifikan da
lam pemungutan BPHTB karena PPAT/Notaris adalah pejabat umum yang
terkait dengan transaksi jual beli tanah. PPAT/Notaris akan menandatangani
akta otentik setelah pajak BPHTB tersebut dibayar lunas oleh Wajib Pajak.
PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pem
bayaran pajak.
46 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Setelah informasi dikumpulkan didalam FGD, berikutnya peneliti
harus melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Database
Database terkait dengan luas tanah dan bangunan menunjukkan
nilai yang tidak akurat. Namun demikian data-data tersebut me
ngemukakan bahwa masih ada beberapa objek pajak yang be
lum tercatat pada data statistik Kantor Pelayanan Pajak, selain itu
pemutahiran data sangat jarang dilakukan sehingga data terse
but (NJOP) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
kekinian (memerlukan pemutakhiran) .
Masih banyak daerah yang belum menerima database dari KPP
ke pemerintah daerah. Database merupakan acuan dasar untuk
memperbaharui NJOP melalui pengisian SPOP oleh wajib pajak
sebaiknya dua tahun sekali. Namun umumnya daerah menemui
48 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
kendala ketika ingin melakukan penyesuaian NJOP, mereka tidak
memiliki database maupun sumberdaya manusia atau tenaga
yang memiliki kualifikasi penilai.
50 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Pajak. Dengan demikian rasa tanggung jawab Wajib Pajak tetap
terjaga dalam memenuhi kewajibannya setiap akan membayar
pajak. Ketersediaan sumber daya manusia di daerah yang mena
ngani perpajakan ini perlu dipersiapkan lebih baik.
- Nilai Transaksi
Sebagai pajak darerah yang relatif baru, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pelaksanaannya sederhana,
mudah, dan tidak perlu menggunakan Surat Ketetapan Pajak. Wa
jib Pajak langsung membayar besarnya pajak yang terutang tan
pa pemberitahuan dari KPP ataupun Dinas Pendapatan daerah.
Jual beli tanah dan atau bangunan didasarkan pada nilai
transaksi, yaitu harga yang terjadi dan telah disepakati oleh
pihak-pihak yang yang melakukan transaksi: Selain didasarkan
oleh nilai transaksi, khusus diluar jual beli didasarkan pada nilai
pasar, yaitu harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi disekitar letak tanah dan atau bangunan.
Orang pribadi atau badan hukum melakukan transaksi jual
beli di hadapan PPAT/Notaris, setelah ada kata sepakat dari para
pihak dan melalui perhitungan sesuai harga transaksi, ternyata
diperoleh bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) lebih besar
atau tidak sama dengan NPOPTKP ataupun hasilnya tidak nihil
setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta ru
piah), maka orang pribadi atau badan hukum tersebut dikenakan
pajak BPHTB sesuai yang terutang. Dalam prakteknya, penerimaan
BPHTB daerah sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai transaksi
(berdasar harga pasar) yang terjadi, walaupun secara hukum,
dasar pengenaan BPHTB adalah berdasarkan NJOP (Nilai Jual
Obyek Pajak). Sayangnya sebagian besar daerah belum melaku
kan penyesuaian data NJOP dengan harga pasar.
52 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
berbasis manual, sehingga kemungkinan terjadi kebocoran
masih cukup besar.
54 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan yang ber
laku, yaitu Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Nilai NPOPTKP dianggap oleh beberapa daerah masih terlalu
tinggi, sehingga tax base daerah menjadi berkurang. Sebelum
di daerahkan nilai tersebut sebesar Rupiah 20 juta, sehingga bisa
menjangkau wajib pajak yang kecil (masih terdapat harga tanah
senilai Rp3.500,00 Rp4.500,00 per meter). Untuk menghindar
kan kondisi itu, sebaiknya kedepan nilai NPOPTKP ini perlu ditin
jau ulang, selain itu kedepan perlu dibuat pengelompokan daerah
(cluster) dalam penetapan nilai NPOPTKP.
Di Kota Medan pembayaran terhadap BPHTB (walaupun nilainya
dibawah NPOPTKP) tetap dilakukan oleh wajib pajak dengan ha
rapan bukti pembayaran tersebut, dapat dianggap sebagai bukti
kepemilikan atas tanah dan bangunan. Pengembang perumahan
biasa menginformasikan (dalam brosur) harga rumah yang lebih
murah dari harga sebenarnya (disesuaikan dengan NPOPTKP),
sehingga wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban mem
bayar pajak.
Secara umum Pemerintah Kabupaten/kota yang diteliti meng
alami kenaikan penerimaan BPHTB Lonjakan yang sangat tinggi
dibeberapa daerah umumnya disebabkan karena kemampuan
daerah dalam menyiapkan pendataan yang baik, penyiapan
SDM yang mumpuni, serta penerapan teknologi yang mampu
meminimalisasi perilaku yang menyimpang (moral hazard).
4.3.1. Pengantar
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pada dasarnya merupakan penyerahan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah,
khususnya dari sisi penerimaan. Dalam UU tersebut BPHTB menjadi salah
satu jenis pajak baru yang diberikan wewenang pemungutan sepenuhnya
kepada pemerintah kabupaten dan kota, sebagaimana diatur dalam pasal
85 sampai dengan pasal 93. Tujuan utama pengalihan kewenangan itu
sangat relevan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk meningkat
kan local taxing power pemerintah kabupaten dan kota. Akan tetapi ter
nyata tidak semua daerah memberikan respon positif terhadap pengalihan
ini. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di enam
kabupaten/kota masih sering terungkap pernyataan beberapa pimpinan
SKPD yang cenderung pesimis terhadap keberhasilan pengalihan tersebut.
Ada kekhawatiran bahwa daerah kabupaten dan kota tidak akan mampu
56 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
melakukan pemungutan sebaik pemerintah pusat. Akibatnya, penerimaan
BPHTB setelah pengalihan akan jauh lebih rendah dari sebelumnya.
Oleh karena itu, kajian ini mengumpulkan data penerimaan BPHTB
tahun 2010 yang dipungut oleh pusat dan data penerimaan BPHTB tahun
2011 yang dipungut oleh daerah. Berdasarkan data tersebut dilakukan uji
beda berpasangan untuk mengetahui apakah secara statistik terdapat
perbedaan penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pusat dengan pene
rimaan BPHTB yang dipungut oleh daerah. Di samping itu, untuk mem
perkaya analisis, kajian ini juga akan melihat faktor-faktor apa saja yang
secara statistik mempengaruhi besarnya penerimaan BPHTB. Ada beberapa
faktor yang dikumpulkan datanya dan dilakukan pengujian secara statistik.
Faktor-faktor itu antara lain adalah:
58 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.2.
Uji Beda Berpasangan Antara Penerimaan BPHTB tahun 2010
dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011
df 404
t Stat -0.703627581
60 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
abel PDRB terpaksa didrop karena mengandung masalah multikolinearitas
dengan variabel BPHTB. Setelah melakukan beberapa kali pengujian, maka
model terbaik yang kami pilih untuk dianalisis adalah perubahan peneri
maan BPHTB merupakan fungsi dari perubahan pertumbuhan ekonomi,
Density (kepadatan penduduk), dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.3.
Pengaruh Perubahan Pertumbuhan Ekonomi, Density, dan IKK
terhadap Perubahan Penerimaan BPHTB
LnPertumb.
0.8264954 0.2313143 3.57 0.000 0.3724806 1.28051
Eko.
Tabel 4.4.
Daerah dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011 di bawah Rp20 juta
62 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
3 Kab Bener Meriah 2.800.000
64 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
sebelumnya mereka terima. Namun menurut kami keinginan seperti ini
kurang baik direalisasikan, disamping karena formula DAU sudah menam
pung dampak penurunan kapasitas fiskal akibat tidak adanya bagi hasil
BPHTB, juga karena bantuan pusat dimaksud akan menjadikan daerah
manja dan kurang kreatif dalam proses pemungutan BPHTB. Pemerintah
pusat memang harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Akan tetapi jenis bantuan yang diberikan
sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pendampingan untuk pe
rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan kuali
tas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama de
ngan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk
pemanfaatan teknologi informasi.
Sementara itu, hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa koefisien
arah semua variabel bebas sesuai dengan hipotesis.
1. Pertumbuhan Ekonomi
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap per
ubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka
penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerimaan BPHTB
bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti data, kualitas
SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan pe
nerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sangat terkait dengan se
berapa baik pemerintah daerah merancang dan menjalankan program
ekonominya.
Oleh karena itu, upaya untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi
tinggi adalah suatu keniscayaan jika daerah ingin memperoleh peningkatan
penerimaan BPHTB. Sudah barang tentu pertumbuhan ekonomi tinggi ha
nya akan terjadi jika investasi meningkat. Sementara investasi hanya akan
meningkat jika daerah itu dapat memahami potensinya, mampu meng
efisienkan birokrasi, menyediakan infrastruktur, menciptakan keamanan,
2. Population Density
Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan penerimaan
BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga akan semakin
tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor penting dalam
penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya menggambarkan
tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang
menyebabkan harga akan meningkat. Peningkatan harga merupakan
sumber utama potensi peningkatan penerimaan BPHTB. Hal inilah yang
menjadi penyebab mengapa penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih
padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten. Hasil
pengolahan data pada tabel berikut membuktikan hal itu:
Tabel 4.5.
Uji Beda Rata-Rata Antara Penerimaan BPHTB Pemerintah Kota
dengan Penerimaan BPHTB Pemerintah Kabupaten Tahun 2011
Kabupaten Kota
Observations 316 89
66 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Hypothesized Mean Difference 0
Df 403
t Stat -5.75672671
68 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB V
Penutup
5. 1. Kesimpulan
B
erdasarkan analisis yang dilakukan baik menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, maka diperoleh beberapa simpulan
atas pengalihan BPHTB ke daerah sebagai berikut:
PENUTUP 69
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan
BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta
pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi yang
mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang baik
kepada wajib pajak;
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan
BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan
agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan
yang sama;
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk mencipta
kan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan kepada
pembayar pajak;
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa
terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang
dipungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari
penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat
(Rp19.632.885.530,00).
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui
bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses
pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan
lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha
watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi
dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat.
Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right
track) untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah.
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah.
Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak
70 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406
daerah, masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang
berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah yang
telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan
yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil
memungut kurang dari Rp20 juta.
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB su
atu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai
transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 me
netapkan NPOPTKP paling rendah Rp60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi
sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam
bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum
nya melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP
itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
Penerimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor inter
nal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat
langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ter
nyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah me
rancang dan menjalankan program ekonominya, seberapa menarik
suatu daerah menjadi tempat tinggal, tempat berusaha, dan tempat
berinvestasi, dan seberapa baik kondisi infrastruktur yang disediakan
oleh pemerintah daerah.
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap
perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerima
an BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti
data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung
meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sa
PENUTUP 71
ngat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah merancang
dan menjalankan program ekonominya.
Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan peneri
maan BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga
akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor
penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya
menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah
dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Pening
katan harga merupakan sumber utama potensi peningkatan peneri
maan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih
padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten.
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan
penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin
buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin
kecil penerimaan BPHTB.
5.2. Rekomendasi
72 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
atau bangunan lebih dari satu objek hanya akan diberikan NPOPTKP
satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap atur
an (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKP-
nya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membe
dakan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib
pajak itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap per
olehan hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah,
terutama pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba
iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya
penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk menghasil
kan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk pe
rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan
kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja
sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela
tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
PENUTUP 73
penciptaan keamanan, dan penyediaan regulasi yang menjamin ke
pastian hukum.
Pemerintah Daerah terutama yang mengalami penerimaan BPHTB
rendah harus melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam
APBD nya agar proporsi belanja modal (infrastruktur) terus mengalami
kenaikan. Dengan harapan bahwa pengembangan infrastruktur akan
meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut.
74 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Daftar Pustaka
DaftAR PUSTAKA 75
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin
EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas