You are on page 1of 93

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin

EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas

TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN


BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2012
Gedung Radius Prawiro Lantai 9
Jl.Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat
www.djpk.depkeu.go.id
Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD) AID
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin

EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas

TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN


BIDANG DESENTRALISASI FISKAL

2012

Didukung Oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD) AID
ii | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD)
AID

Acknowledgement
Buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke
Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah ini disusun oleh Tim
Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal
(TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program
Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).

Disclaimer
Pandangan dan pendapat dalam buku Analisa Dampak
Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi
Fiskal Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian
Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik
Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan
Pemerintah Australia.
iv | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Daftar Isi

Executive Summary........................................................................... vii


Kata Pengantar Direktur Program AIPD . ........................................... xv
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.................. xvii

BAB I Pendahuluan........................................................................ 1
BAB II Kerangka Teori.................................................................... 7
BAB III Metode Penelitian................................................................ 30
BAB IV Analisa dan Pembahasan...................................................... 38
BAB V Penutup............................................................................... 69

Daftar Pustaka.................................................................................. 75

Daftar Isi v
vi | Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Executive Summary

U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un
dang-undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000)
dengan memberlakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis
pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya.
Pemerintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara
Pemerintah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal
penting dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis
pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung
desentralisasi fiskal seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman
internasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserah
kan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju
yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasio

Executive Summary vii


nal. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan, na
mun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan tersebut
diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan pemu
ngutan BPHTB dengan baik.
Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun, dimana sebagian besar daerah
sudah melakukan pemungutan sejak tanggal 1 Januari 2011. Sampai
akhir Maret 2013, 482 daerah (dari 492 daerah) sudah memiliki perda
BPHTB, sedangkan 10 daerah masih dalam proses penyusunan Perda. 482
daerah ini sudah mampu mengumpulkan 99,999998% dari penerimaan
BPHTB 2010, dengan demikian 10 daerah yang lain menunjukkan potensi
BPHTB yang rendah.
Berdasarkan alat analisis yang digunakan didalam penelitian ini, se
perti FGD di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Kota Medan, Kota
Palembang, Kota Pekanbaru, Kabupaten Lebak, Kabupaten Lombok Utara,
dan Kabupaten Gianyar, serta pendekatan dengan model regresi dan uji
beda berpasangan, maka ditemukan beberapa hal yang menarik, seperti:
Berdasarkan analisis yang dilakukan baik menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, maka diperoleh beberapa simpulan atas
pengalihan BPHTB ke daerah sebagai berikut:

Permasalahan data merupakan permasalahan yang mendesak,


termasuk pemutakhiran data yang ada pada database pemerintah
daerah. Selain itu peran SDM sangat penting didalam operasionalisasi
pengelolaan BPHTB di daerah. Untuk itu, perlu dikembangkan kerja
sama dengan lembaga lain (KPP) untuk pengembangan dan pe
nguatan SDM di pemerintah daerah. Pemutakhiran NJOP dengan
mempertimbangkan nilai Zona Nilai Tanah untuk menghasilkan
nilai NJOP yang semakin mendekati nilai transaksi, sekaligus meng
hindari transaksi diam-diam;
Penyerahan data, dari pemerintah pusat, dalam hal ini KPP perlu
cepat dilakukan dengan pertimbangan optimalisasi penerimaan

viii Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BPHTB di daerah. Selain itu, diseminasi terkait dengan kesadaran pa
jak, perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat;
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan
BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta
Pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi
yang mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang
baik kepada wajib pajak;
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan
BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan
agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan
yang sama;
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk men
ciptakan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan
kepada pembayar pajak;
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa
terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang di
pungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang di
pungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari
penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat
(Rp19.632.885.530,00).
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui
bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses
pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan
lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha
watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi
dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat.
Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right
track) untuk meningkatkan kemampuan fiskal Pemerintah Daerah.

Executive Summary ix
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah.
Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak
bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406
daerah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang
berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah
yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemu
ngutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya ber
hasil memungut kurang dari Rp 20 juta.
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB
suatu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai
transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009
menetapkan NPOPTKP paling rendah Rp 60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi
sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam
bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum
nya melalui Undang-Undang No. 20 tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP
itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap
perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, pene
rimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal
seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat
langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB
ternyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah
merancang dan menjalankan program ekonominya.
Perubahan density (kepadatan penduduk) berpengaruh positif ter
hadap perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi density maka
penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan pen
duduk merupakan faktor penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah
yang padat penduduknya menggambarkan tingginya persaingan

x Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang menyebabkan harga
akan meningkat. Peningkatan harga merupakan sumber utama po
tensi peningkatan penerimaan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB
Kota (yang biasanya lebih padat) jauh lebih tinggi dibanding pene
rimaan BPHTB kabupaten.
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan
penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin
buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin
kecil penerimaan BPHTB.

Beberapa rekomendasi dari temuan penelitian BPHTB ini yang perlu


dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:

Bagi Pemerintah Pusat


Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan
(5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah
daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60 juta,
atau bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai de
ngan kesamaan karakteristik masing-masing daerah.
Pemerintah harus memastikan adanya kepastian hukum (tidak multi
tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP. Undang-Undang No. 28 tahun
2009 belum memberikan batasan waktu terkait apakah wajib pajak
yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak itu dalam tanggal yang
sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seharusnya, seorang wajib
pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak atas tanah dan/
atau bangunan lebih dari satu obyek hanya akan diberikan NPOPTKP
satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap atur
an (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKP-
nya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membeda
kan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib pajak
itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap perolehan

Executive Summary xi
hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama
pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba
iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya
penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk mengha
silkan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk
perumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan
kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja
sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela
tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.

Bagi Pemerintah Daerah


Daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah sebaiknya tidak
menetapkan tarif BPHTB maksimum (5%), sebaliknya untuk lebih me
narik bagi investor, maka daerah tersebut harus menetapkan tarif
BPHTB yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah
menetapkan tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk
tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
Pemerintah daerah harus bisa menjadikan daerahnya menarik baik
untuk tinggal maupun untuk berusaha dan berinvestasi melalui pu
blikasi potensi daerah, efisiensi birokrasi, penyediaan infrastruktur,
penciptaan keamanan, dan penyediaan regulasi yang menjamin
kepastian hukum.
Pemerintah Daerah terutama yang mengalami penerimaan BPHTB
rendah harus melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam
APBD nya agar proporsi belanja modal (infrastruktur) terus mengalami
kenaikan. Dengan harapan bahwa pengembangan infrastruktur akan
meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut.

xii Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar
Direktur Program AIPD

P
emerintah Australia mendukung usaha Pemerintah Indonesia untuk
memperkuat implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia,
terutama melalui Australia Indonesia Partnership for Decentralisation
(Program AIPD). Tujuan AIPD adalah untuk mendorong perbaikan layanan
publik melalui pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik.
Pada tahun 2013 ini Program AIPD telah mendukung Tim Asistensi
Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) untuk melaku
kan empat penelitian terkait desentralisasi fiskal. Buku kedua dari hasil pe
nelitian tersebut adalah Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah.
Buku hasil penelitian TADF ini sangat relevan dan penting untuk men
dukung implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yang semakin baik di
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, dengan ditetapkannya
UU No. 28 Tahun 2009 ada perubahan besar dalam sistem perpajakan
nasional yaitu pengalihan kewenangan pengelolaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerin
tah Daerah. Kebijakan ini dipandang sangat baik untuk memperkuat im

SAMBUTAN AIPD xiii


plementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia. Namun, hasil penelitian
ini antara lain menyingkap bahwa belum semua Pemerintah Daerah mem
punyai kapasitas yang memadai untuk mengambil alih peran pengelolaan
BPHTB. Temuan dan rekomendasi penelitian ini pastilah akan sangat ber
manfaat untuk memperbaiki pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009, terutama
dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.
Akhirnya, kami ingin menyampakan penghargaan kami kepada Tim
Peneliti dari TADF yang telah bekerja keras untuk terwujudnya buku hasil
penelitian ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami sampaikan
kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Berkat inisiatif dan komitmen DJPK yang
tinggi untuk pengembangan kebijakan berbasis penelitian (research based
policy), hasil penelitian ini telah berhasil didokumentasikan dan dibagikan
ke masyarakat luas.

Richard Manning
Direktur Program AIPD

xiv Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kata Pengantar
Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan

P
elaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama lebih
dari sepuluh tahun terakhir masih perlu secara terus-menerus dilaku
kan penyempurnaan. Melalui penyempurnaan kebijakan yang dida
sarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah diharapkan
dapat meningkatkan kualitas kebijakan tersebut. Untuk itu, Kementerian
Keuangan bekerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan
Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) yang beranggotakan para akademisi
dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah terus berupaya melakukan kajian-
kajian dimaksud.
Hasil kajian tahun 2012 yang menjadi rekomendasi kebijakan TADF
kepada Menteri Keuangan meliputi empat hasil penelitian dan tujuh
policy brief. Salah satu hasil penelitian tersebut adalah kajian mengenai
analisa dampak pengalihan pemungutan BPHTB terhadap kondisi fiskal
daerah. Pada dasarnya kajian ini bertujuan untuk mengetahui permasalah

PENDAHULUAN xv
an, hambatan dan dampak dari pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah
terhadap kondisi fiskal daerah.
Rekomendasi yang dihasilkan dari kajian ini antara lain perlu dila
kukannya perbaikan atas aturan terkait keleluasaan Pemerintah Daerah
dalam menentukan besaran NPOPTKP dan perlunya pemerintah pusat
memberikan bantuan terhadap daerah dengan penerimaan BPHTB sangat
rendah. Selain itu kajian ini juga memberikan rekomendasi kepada Peme
rintah Daerah, seperti saran agar daerah dengan penerimaan BPHTB sa
ngat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif maksimum, serta melakukan
berbagai upaya perbaikan infrastruktur agar dapat meningkatkan nilai
tanah dan bangunan di daerah tersebut. Rekomendasi berdasarkan kajian
ilmiah TADF tersebut diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi pe
nyempurnaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah, agar kemam
puan fiskal daerah dan pengelolaan perpajakan daerah dapat terus me
ningkat.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Aus
tralia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD) yang telah mendu
kung terlaksananya kegiatan TADF 2012. Kami berharap bahwa hasil
penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang lebih baik di Indonesia.

Marwanto Harjowiryono
Direktur Jenderal

xvi Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

U
ndang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009
dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Undang-
undang ini menggantikan UU sebelumnya (UU No. 34 Tahun 2000) dengan
memberlakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak
dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Peme
rintah Kabupaten/Kota sebagai sumber pendapatan asli daerahnya. Peme
rintah Provinsi diberikan akses terhadap 5 jenis pajak, sementara Pemerin
tah Kota/Kabupaten diberikan akses terhadap 11 jenis pajak. Hal penting
dalam UU No. 28 /2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis pajak
pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pa
jak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung
desentralisasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman inter
nasional yang menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan
kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.

PENDAHULUAN 1
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan langkah maju
yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasi
onal. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan,
namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan terse
but diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan
pemungutan BPHTB dengan baik.
Pelaksanaan pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
telah berjalan lebih dari 1 (satu) tahun, dimana sebagian besar daerah
sudah melakukan pemungutan sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagaimana
halnya dengan pajak daerah lainnya, pemungutan BPHTB hanya dapat
dilakukan setelah adanya Peraturan Daerah (Perda). Perda tentang BPHTB
merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB di suatu daerah
yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan
ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan BPHTB sesuai dengan
kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Sampai 20
April 2012, diketahui bahwa terdapat 474 daerah atau 96,3 persen dari
jumlah daerah yang telah menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini
memiliki potensi BPHTB sekitar 99,991 persen dari total penerimaan BPHTB
tahun 2010. Sementara itu, masih terdapat 18 daerah atau 3,7 persen
dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB.
Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,009
persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Dengan demikian, 18
daerah yang belum menetapkan Perda tersebut dipastikan akan kehilangan
potensi penerimaan BPHTB sekitar Rp 733,8 juta.
Dari keseluruhan daerah yang telah melakukan pemungutan BPHTB
tahun 2011, sebagian daerah bahkan sudah langsung mampu melampaui
besaran penerimaan BPHTB tahun 2010. Sebaliknya, sebagian lainnya
mengumpulkan lebih rendah dari besaran penerimaan BPHTB tahun 2010.
Data pada tabel berikut ini menunjukkan daerah-daerah dengan perubah
an penerimaan tinggi (100-500%), Normal (0-100%) dan rendah (< 0).

2 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 1.1.5.
(Lima) Daerah Kategori Tinggi dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi

Penerimaan BPHTB Perubahan


No Daerah
2010 2011 (%)

1 Kab. Kutai Barat 521.920.000 8.110.587.556 1.453,99

2 Kab. Way Kanan 168.390.978 2.020.447.550 1.099,85

Kab. Hulu Sungai


3 495.557.887 5.160.680.027 941,39
Selatan

Kab. Tanjung Jabung


4 443.549.675 3.727.334.328 740,34
Barat

5 Kab. Lombok Utara 596.388.324 3.962.154.890 564,36

Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan


Daerah, 2012

Tabel 1.2.5.
(Lima) Daerah Kategori Normal dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Tertinggi

Penerimaan BPHTB Perubahan


No Daerah
2010 2011 (%)

1 Kab. Sorong 1.484.577.100 2.920.598.940 96,73

2 Kab. Pati 6.513.059.133 12.543.202.742 92,59

3 Kab. Lebak 2.443.780.250 4.509.364.192 84,52

4 Kab. Gianyar 13.122.308.000 23.555.449.913 79,51

5 Kota Pekanbaru 40.743.083.985 68.670.971.803 68,55

Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan


Daerah, 2012

PENDAHULUAN 3
Tabel 1.3.5.
(Lima) Daerah Kategori Rendah dengan Perubahan
Realisasi Penerimaan BPHTB Tahun 2011 Terendah

Penerimaan BPHTB Perubahan


No Daerah
2010 2011 (%)

1 Kab. Kerinci 150.953.884 500.000 -99,67

2 Kab. Sarolangun 4.014.985.757 539.450.321 -86,56

3 Kota Palembang 328.960.804.265 74.946.134.964 -77,22

4 Kab. Bungo 4.183.687.716 1.142.300.813 -72,70

Kab. Timur Tengah


5 240.589.947 65.755.100 -72,67
Selatan

Sumber: Pelengkap Buku Pegangan, Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan


Daerah, 2012

Ketiga tabel di atas menunjukkan bahwa kemampuan daerah dalam


pelaksanaan pengalihan BPHTB sangat bervariasi. Terdapat daerah yang
kemampuannya sangat tinggi, dimana daerah-daerah dalam kategori ini
bahkan mampu meningkatkan penerimaan BPHTB tahun 2011 lebih dari
500% penerimaan BPHTB tahun 2010. Sebaliknya, masih cukup banyak
daerah yang belum mampu melaksanakan pengalihan tersebut dengan
baik, ditunjukkan oleh penerimaan BPHTB mereka yang menurun bahkan
di atas 50% dari penerimaan BHHTB tahun 2010.
Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis pajak, selalu terdapat se
jumlah kendala dan hambatan, terlebih-lebih apabila jenis pajak tersebut
merupakan jenis pajak baru bagi daerah seperti BPHTB. Dalam proses
pengalihan BPHTB, akan terdapat beberapa kendala, baik yang bersumber
dari kekurangsiapan pemerintah pusat, kekurangsiapan pemerintah dae
rah, kondisi di lapangan, dan lain-lain. Kendala yang timbul perlu men
dapat penanganan segera dan dicarikan pemecahannya untuk kelancaran
pemungutan pajak daerah.

4 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Secara umum, proses pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah telah
berjalan dengan baik. Hampir semua daerah telah menerbitkan perda
BPHTB dan menyusun tatacara pemungutannya, meskipun beberapa dae
rah terlambat memulainya. Faktor penting yang masih perlu ditingkatkan
adalah kapasitas sumber daya manusia dan sarana pendukung (hardware
dan software) di daerah. Selain itu juga penting untuk diketahui secara
pasti berapa besar dampak pengalihan BPHTB terhadap kondisi fiskal
daerah.

1.2. Rumusan Masalah


Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam penelitian
ini adalah :

1. Apa saja permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah da


lam melakukan pengalihan BPHTB?
2. Bagaimana dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap
kondisi fiskal daerah?
3. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah agar mereka
dapat mengoptimalkan pemungutan BPHTB?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh


daerah dalam melakukan pengalihan BPHTB.
2. Mengevaluasi dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap
kondisi fiskal daerah.
3. Memberikan rekomendasi terkait optimalisasi pemungutan BPHTB
oleh daerah.

PENDAHULUAN 5
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif
dan legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan
daerah terkait dengan pemungutan BPHTB, agar kapasitas fiskal peme
rintah daerah terus mengalami kenaikan.

1.5. Sistematika Penulisan


Laporan hasil penelitian ini terdiri dari tiga bab, yang secara garis besar
menampilkan temuan penelitian sebagai berikut: Bab pertama adalah
pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, tujuan penelitian,
landasan teori, dan metodologi penelitian. Bab kedua, menyajikan hasil
kajian dari data primer dan sekunder yang diperoleh terkait dengan dam
pak pengalihan BPHTB ke daerah terhadap kondisi kapasitas fiskal daerah.
Bab ketiga, menjelaskan tentang metode penelitian yang diterapkan. Bab
keempat, akan menjelaskan tentang analisis dan pembahasan, dan Bab
kelima merupakan bab penutup menyajikan kesimpulan dan rekomen
dasi.

6 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB II
Kerangka Teori

2.1. Pajak Daerah

S
ecara umum pajak dapat didefinisikan sebagai pungutan dari masya
rakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang
bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya
dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) se
cara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur sebagai berikut:

1. Pungutan dari masyarakat oleh negara;


2. Berdasarkan undang-undang ;
3. Tanpa kontra prestasi/balas jasa dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk; dan
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengelu
aran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

KERANGKA TEORI 7
Dari definisi di atas, selain unsur-unsur pajak, dapat terlihat pula
adanya dua fungsi pajak, yaitu:

1) Fungsi Penerimaan (Budgeter), yaitu sebagai alat atau sumber untuk


memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara dengan
tujuan untuk membiayai pengeluaran negara (pengeluaran rutin dan
pembangunan).
2) Fungsi Mengatur (Reguler), yakni sebagai alat untuk mengatur guna
tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. Pa
jak, seperti custom duties/tarif (bea masuk), digunakan untuk men
dorong atau melindungi (memproteksi) produksi dalam negeri, khu
susnya untuk melindungi infant industry dan/atau industri-industri
yang dinilai strategis oleh pemerintah.
3) Fungsi Stabilitas, yaitu dengan adanya pajak, pemerintah pusat me
miliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan
stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dila
kukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masya
rakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4) Fungsi Redistribusi Pendapatan, yaitu pajak yang sudah dipungut
akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, terma
suk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka
kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan.

Selain itu, pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat


atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan. Misalnya di saat terjadi
kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang
tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah
juga mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan atau jasa tertentu
yang mempunyai eksternalitas negatif dengan tujuan mengurangi atau
membatasi produksi dan konsumsi barang dan atau jasa tersebut.

8 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-
prinsip yang harus diperhatikan. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005),
banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan
yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Di
antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four ma
xims dari Adam Smith yang mengemukakan bahwa pemungutan pajak
hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu:

1. Prinsip kesamaan/keadilan (equity), artinya bahwa beban pajak harus


sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.
2. Prinsip kepastian (certainty). Pajak hendaknya tegas, jelas, dan pasti
bagi setiap wajib pajak sehingga mudah dimengerti oleh mereka dan
juga akan memudahkan administrasi pemerintah sendiri.
3. Prinsip kecocokan/kelayakan (convenience). Pajak jangan terlalu me
nekan seorang wajib pajak, sehingga wajib pajak dengan suka dan
senang hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
4. Prinsip ekonomi (economy). Pajak hendaknya menimbulkan kerugian
yang minimal, dalam artian bahwa jangan sampai biaya pemungut
annya lebih besar dari pada jumlah penerimaan pajaknya.

Menurut Mardiasmo (2002), di samping penggunaan prinsip di atas,


terdapat dua pendekatan yang lebih mudah dilaksanakan yaitu benefit
approach dan ability to pay approach.

1. Benefit approach, dengan kata lain adalah prinsip pengenaan pajak


berdasarkan atas manfaat yang diterima oleh seorang wajib pajak
dari pembayaran pajak itu kepada pemerintah.
2. Ability to pay approach, disebut pula dengan prinsip kemampuan
untuk membayar atau berdasarkan daya pikul seorang wajib pajak.
Dengan kata lain ialah bahwa seorang wajib pajak akan dikenai be
ban pajak sesuai dengan kemampuannya untuk membayar pajak.

KERANGKA TEORI 9
Kedua pendekatan di atas adalah berdasarkan atas prinsip kesamaan
(equity), dimana prinsip kemanfaatan (benefit principle) berdasarkan atas
kesamaan manfaat yang diterima oleh wajib pajak sesuai dengan pajak
yang dibayarnya, sedangkan prinsip kemampuan membayar (ability to pay
principle) berdasarkan atas kesamaan pengorbanan yang sesuai dengan
kemampuan seorang wajib pajak untuk membayar pajak. Untuk mengukur
kemampuan membayar pajak dapat dilihat dari tingkat pendapatan se
orang wajib pajak.
Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005), berdasarkan lembaga pemu
ngutannya, pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak pusat ter
diri dari:
a. Pajak Penghasilan (PPh);
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM);
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan
d. Bea Materai.

2. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah


dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pajak daerah di Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Pembagian ini dilaku
kan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan ma
sing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi propinsi
atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat beberapa pajak yang dikelola
oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pajak Propinsi terdiri dari:

10 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
e. Pajak Rokok

Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari:

a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dimaksud


dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pri
badi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan peme
rintahan daerah dan pembangunan daerah. Dari definisi tersebut jelas
bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan ke
pada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali.
Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan
bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berda
sarkan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pemerintah
daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut

KERANGKA TEORI 11
pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda
yang akan dikeluarkan oleh pemda tentu tidak boleh bertentangan de
ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.
Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek pajak daerah
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi keleluasaan
atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus
dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut:

1. Bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;


2. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan ke
pentingan umum;
3. Potensinya memadai;
4. Tidak berdampak negatif terhadap perekonomian;
5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
6. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.

2.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Dasar hukum BPHTB adalah UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau
selanjutnya disebut BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Selanjutnya, perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang meng
akibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
Sedangkan hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah
termasuk hak pengelolaan, besarta bangunan diatasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 ten
tang Rumah susun, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

12 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Obyek pajak BPHTB. Yang menjadi obyek pajak adalah perolehan
atas tanah ban bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meli
puti pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemindahan hak ini karena:
jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Selain itu, pemberian hak baru
dapat karena: kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTP. Jenis hak yang diatur da
lam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan jenis hak
yang diatur dalam UU rumah susun adalah hak milik atas satuan rumah
susun dan pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB. Obyek pajak yang tidak di
kenakan BPHTB adalah obyek pajak yang diperolah: perwakilan diplomatik,
negara untuk penyelenggaranaan pemerintahan dan atau untuk pelaksa
naan pembangunan guna kepentingan umum, badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri de
ngan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas; orang pribadi atau badan karena konversi hak atau ka
rena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; orang
pribadi atau badan karena wakaf; orang pribadi atau badan yang diguna
kan untuk kepentingan ibadah.

2.3. Dasar Pengenaan Pajak


Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). Secara
umum NPOP dibagi menjadi 3 dasar, yakni:

KERANGKA TEORI 13
1) Harga transaksi: jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang.
2) Nilai pasar: tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah wasiat,
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena
putusan hakim yang tetap, pemberian hak baru, penggabungan usa
ha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah.
3) NJOP PBB, apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP
PBB. Sementara itu, NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

2.4. Peranan Pajak dalam Pembangunan


Pajak merupakan pungutan/iuran yang dipaksakan kepada warga atau
masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya,
untuk mendukung pembiayan penyediaan barang dan jasa publik, untuk
mengatur laju perekonomian dan juga mengatur tingkat konsumsi masya
rakat. Pajak memiliki sifat memaksa, karena sifatnya yang dipaksakan ter
sebut maka pajak dapat mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat
atau warga.
Pajak merupakan modal utama untuk membiayai aktivitas pemerintah
dalam menjalankan pembangunan. Sebagian besar sumber penerimaan
negara adalah berasal dari pajak, sehingga pajak sangat berperan dalam
pembangunan suatu negara. Pada saat pemerintah melakukan belanja
barang dan jasa terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke dalam ma
syarakat. Termasuk juga dalam hal ini beberapa multiplier effect dalam ben
tuk, misalnya employment creation dan peningkatan output. Kenaikan pen
dapatan masyarakat ini akan merangsang peningkatan permintaan dan
dalam kondisi penawaran yang relatif terbatas akan terjadi kecenderungan
kenaikan harga atau mendorong pada kenaikan laju inflasi.
Dalam kondisi sebagian dari pendapatan masyarakat yang meningkat
itu diambil oleh pemerintah melalui pajak untuk membiayai defisit ang
garan berikutnya, hal inilah yang dikatakan sebagai forced saving. Forced

14 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
saving dapat dimanfaatkan untuk pembentukan modal. Pajak juga ber
fungsi sebagai upaya untuk mengatur alokasi pendapatan masyarakat.
Dengan menarik pajak sesuai mekanismenya, maka pemerintah dapat
mengalokasikan pendapatan pada upaya-upaya investasi yang dapat
dinikmati banyak orang.
Selanjutnya, dengan tersedianya banyak investasi, maka akan timbul
lapangan pekerja. Sehingga secara tidak langsung pemerintah telah me
lakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Jadi secara tidak langsung
adanya penarikan pajak yang tepat akan membuka peluang bagi kemak
muran masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan
kerja.
Pengenaan pajak yang terbaik dipandang dari sudut pandangan ilmu
ekonomi adalah sistem perpajakan yang memiliki pengaruh-pengaruh
ekonomi paling baik atau setidaknya walaupun memberikan pengaruh
tidak baik, adalah yang paling sedikit. Soal prinsip pengenaan pajak agar
dapat dihasilkan suatu kebaikan telah dikemukakan oleh Adam Smith
dengan cannon of taxation.
Suatu sistem pajak yang baik haruslah memenuhi beberapa kriteria
diantaranya adalah:

(1) Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar
sesuai dengan bagiannya yang wajar;
(2) Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan
ekonomi;
(3) Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di
sektor swasta, apabila instrumen pajak dapat melakukannya;
(4) Struktur haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk
tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi;
(5) Sistem pajak harus dimengerti wajib pajak;
(6) Administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya haruslah seminimal
mungkin;
(7) Pasti;

KERANGKA TEORI 15
(8) Dapat dilaksanakan; dan
(9) Dapat diterima.

Konsep keadilan pada kriteria (1) sifatnya relatif. Dalam perpajakan


konsep dibedakan menjadi dua klasifikasi yaitu keadilan datar (horizontal
equity) dan keadilan tegak (vertical equity). Yang dimaksud dengan keadil
an datar adalah pengenaan pajak di mana setiap orang yang keadaannya
sama haruslah menderita beban yang sama pula besarnya. Sedangkan
keadilan tegak adalah situasi di mana orang yang keadaannya berbeda
haruslah menderita beban pajak yang berbeda pula. Dapat dipahami
bahwa keadilan ini sangat bias karena tidak jelas apa yang dimaksud de
ngan orang yang keadaannya sama.

Pajak dan Kesejahteraan (Welfare)


Jika suatu barang dikenakan pajak, maka berdampak pada harga yang
dibayar konsumen menjadi lebih tinggi daripada harga yang diterima oleh
produsen atau penjual, karena sebagian harga dibayarkan kepada peme
rintah. Dalam beberapa hal terkadang suatu pajak akan menimbulkan
beban yang lebih besar dibandingkan nilai yang dipungut. Kelebihan be
ban yang ditimbulkan oleh pajak itulah yang disebut kesejahteraan yang
hilang karena pajak (welfare cost of taxation). Penting sekali membedakan
secara jelas antara biaya tak langsung (the welfare cost taxation) dan biaya
langsung (direct cost of taxation) dalam hubungannya dengan penarikan
sumber-sumber produktif dari sektor swasta.
Perbedaan ini dapat diilustrasikan secara jelas dengan contoh sebagai
berikut: misalnya suatu pajak penjualan dikenakan pada produk tertentu,
tetapi pajak tersebut dikenakan sedemikian tinggi sehingga produk ter
sebut menurun sampai nol. Dalam kondisi seperti ini berarti tidak ada biaya
langsung dari suatu pajak, sebab tidak ada penerimaan pajak yang dapat
dikumpulkan oleh pemerintah. Tetapi jelas ada beban bagi masyarakat

16 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
karena pajak yaitu produk tersebut tidak diproduksi padahal sangat dibu
tuhkan masyarakat.
Dengan demikian terdapat mis-alokasi sumber-sumber produksi se
hingga konsumen menjadi kurang senang dan kehilangan kesejahteraan,
yang berarti mereka memikul beban pajak. Jadi dalam hal ini ada welfare
cost of taxation meskipun tidak ada direct cost of taxation. Apabila pajak
penjualan tersebut dipungut pada tingkat tertentu yang masih menghasil
kan sejumlah penerimaan pajak berarti akan timbul baik welfare cost of
taxation maupun direct cost of taxation (Khadijah, 2002). Lebih jelasnya
dapat diikuti pada gambar berikut:

Gambar 1.
Dampak Pajak Terhadap Welfare.

Sumber: Khadijah, 2002

Gambar 1 memperlihatkan bahwa harga mula-mula sebelum dikena


kan pajak terhadap produk tersebut adalah Po dan kurva supply adalah S,
namun ketika dikenakan pajak pada produk tersebut maka kurva supply
bergeser dari S ke S+T sehingga harga menjadi naik dari Po menjadi P1

KERANGKA TEORI 17
sedangkan produksi turun dari Qo menjadi Q1. Penerimaan pajak (the
direct cost taxation) sama dengan PoP1BA. Harga bagi konsumen sekarang
adalah P1 di atas harga awal yaitu Po dan inilah sumber mis-alokasi yang
menyebabkan adanya welfare cost. Pengurangan konsumsi atas produk
tersebut dari Qo ke Q1 berarti hilangnya manfaat sebesar BCQoQ1.
Sumber-sumber produktif yang dipakai untuk memproduksi Qo dan
Q1 dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang lain yang lebih
banyak. Jadi pajak membatasi produksi barang-barang yang dikenakan
pajak dan mendorong sumber-sumber produktif berpindah kepemakaian
lain. Tetapi nilai barang lain yang diproduksi (ACQoQ1) lebih sedikit diban
ding dengan hilangnya nilai barang-barang yang dikenakan pajak (BCQoQ1).
Perbedaan atau selisih antara BCQoQ1 dan ACQoQ1= BAC merupakan
welfare cost sebab ini merupakan besarnya kehilangan neto akan manfaat.
Dengan mengetahui welfare cost maka dapat dibandingkan pajak yang
satu dengan yang lain dan menentukan mana yang memberikan beban
lebih besar kepada masyarakat sehingga pemerintah dapat membuat alter
natif lain di bidang perpajakan. Demikian pula besarnya welfare cost da
pat memberi petunjuk kepada pemerintah untuk mengalokasikan sumber
daya produktif seefisien mungkin.

Pajak dan Produksi


Dari sisi produksi, dampak pajak dapat berpengaruh terhadap produksi
keseluruhan. Pengaruhnya terhadap produksi secara keseluruhan berlang
sung melalui pengaruhnya terhadap kerja, tabungan dan investasi. Lebih
jauh dampak pajak ini terlihat dari kemampuan dan keinginan untuk be
kerja, menabung dan mengadakan investasi.
Menurut Suparmoko (1997) kemampuan seseorang untuk bekerja
akan berkurang apabila dikenai pajak yang dapat mengurangi efisiensi
kerjanya. Oleh karena itu, suatu pajak yang dikenakan kepada golongan

18 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
yang mempunyai tingkat penghasilan yang rendah dalam suatu masyarakat
hanya akan menurunkan tingkat efisiensi kerjanya.
Pengenaan pajak juga akan mempengaruhi kemampuan menabung
masyarakat. Orang yang dikenakan pajak penghasilan, kemampuannya
untuk menabung akan berkurang sebesar marginal propensity to save
(mps) dikalikan dengan jumlah pajak yang dikenakan. Bagi orang-orang
yang tergolong mempunyai penghasilan rendah, pengenaan pajak tidak
akan mengurangi kemampuannya untuk menabung karena memang
pada umumnya biasanya mereka itu sudah tidak mempunyai tabungan
walaupun belum dikenakan pajak karena pendapatannya habis untuk
konsumsi. Sehingga kalau dikenakan pajak tidak akan mengurangi ta
bungannya melainkan akan mengurangi konsumsinya. Dampak selanjut
nya, jika pengenaan pajak akan berpengaruh pada tabungan, maka ber
dampak pada berkurangnya investasi yang terbatas. Hal ini dikarenakan
salah satu sumber utama adalah akumulasi tabungan.

Pajak dan Distribusi Pendapatan


Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah berupa pe
ningkatan pendapatan nasional per kapita, penciptaan lapangan kerja,
distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca
pembayaran internasional. Beberapa tujuan umum pembangunan terse
but seringkali tidak selaras dalam pencapaiannya, akan tetapi sering kali
untuk mencapai tujuan yang satu terpaksa harus mengurangi keberhasilan
dari tujuan yang lain. Misalnya, untuk mencapai laju pertumbuhan ekono
mi yang tinggi menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Tingkat pajak yang regresif cenderung untuk memperbesar ketim
pangan pendapatan dalam masyarakat. Sebaliknya semakin progresif sis
tem pajak yang dianut oleh suatu perekonomian akan semakin memini
malisir perbedaan penghasilan yang terdapat dalam perekonomian, se
hingga sistem pajak yang digunakan hendaklah bersifat progresif. Suatu

KERANGKA TEORI 19
pajak dikatakan mempunyai struktur yang progresif apabila persentase
beban pajak terhadap pendapatan naik dengan meningkatnya pendapatan.
Sedangkan struktur pajak dikatakan bersifat regresif apabila persentase
beban pajak terhadap pendapatan menurun dengan meningkatnya pen
dapatan.

Pajak dan Semangat Bekerja


Jika pajak progresif dikenakan pada pendapatan tenaga kerja maka tenaga
kerja tersebut akan berkurang keinginannya untuk bekerja. Hal ini dikare
nakan apabila penghasilannya bertambah maka sebagian besar hanya
akan dipungut oleh pemerintah saja. Jadi pajak progresif akan mengurangi
insentif kerja. Banyak kasus di luar negeri pindah kewargenagaraan untuk
menghindari pajak penghasilan yang tinggi di negara asalnya. Sedangkan
pajak regresif merupakan pajak dengan perkembangan yang kurang se
banding dengan perkembangan taxable capacity, persentase pajak yang
harus dibayar menjadi semakin kecil atau average tax rate menurun pada
setiap peningkatan tax base.
Pajak regresif ini akan mendorong peningkatan insentif kerja, karena
dengan semakin tingginya penghasilan yang diperoleh, maka pajak yang
harus dibayarnya semakin rendah persentasenya. Para pekerja akan be
kerja lebih giat agar memperoleh penghasilan yang lebih besar dan de
ngan demikian pajak yang harus dibayarnya akan menjadi semakin kecil
persentasenya.

2.5. Pengalaman Beberapa Negara berkaitan dengan Pajak


Properti
Di bawah ini akan diceritakan tentang pajak properti, tidak khusus tentang
BPHTB, tetapi terkait dengan PBB, yang sudah berjalan di beberapa ne
gara. BPHTB sebenarnya akan mengikuti seluruh kebijakan yang terkait

20 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dengan tanah, proses jual beli maupun pemindahan kepemilikan atas
properti yang dimiliki seseorang atau badan.

Pajak Properti Filipina


Pajak properti masih memiliki kontribusi yang sangat kecil terhadap pen
dapatan pemerintah daerah di Filipina. Namun, di satu sisi potensi pajak
properti dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan
pemerintah daerah. Pajak properti dapat dijadikan sumber peningkatan
pendapatan dikarenakan :

a. Pajak properti memiliki nilai pasar relatif lebih stabil dibandingkan


dengan pendapatan dan penjualan.
b. Tanah dan bangunan yang terlihat sehingga sulit untuk menyem
bunyikan.
c. Pajak properti sulit untuk dilakukan penggelapan.
d. Pajak properti merupakan pajak yang adil karena penilaian properti
berdasarkan pemanfaatan lahan yang intensif

Sebelum berlakunya kode pemerintahan daerah tahun 1991, sistem


pajak properti di Filipina sepenuhnya diberikan kepada pemerintah kota
madya, dimana pembagian pajak properti sebagaian besar dibagi dengan
porsi 35% provinsi, 40% kota, dan 25% desa sesuai dengan letak properti
yang ada, misalnya di Kota Manila yang memiliki porsi pajak 70% untuk kota
dan 30% untuk desa. Namun, di satu sisi hal ini menimbulkan perselisihan
antar daerah karena antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya
saling berebut untuk mendapatkan porsi pajak yang paling besar.
Penentuan dasar tarif pajak properti di Filipina, didasarkan kepada
fungsi lahan yang digunakan misalnya untuk perumahan dikenakan pajak
sebesar 20%, pertanian sebesar 40%, dan industry sebesar 50%. Dengan
adanya perbedaan dasar tarif pajak ini maka nantinya dapat menentukan
bagaimana lahan-lahan tersebut nantinya dapat dimanfaatkan. Selain itu

KERANGKA TEORI 21
dikarenakan adanya perbedaan tentang dasar pada masing-masing
properti maka untuk mempermudah di dalam memungut pajak properti
maka yang harus dilakukan yaitu melakukan pengkodean data, catatan
manajemen harus baik, penerbitan tagihan pajak, pembayaran rekaman,
dan melakukan pelacakan perubahan dalam kepemilikan tanah.
Di dalam kenyataannya di Filipina banyak pemerintah daerah yang
hanya mampu mengumpulkan pajak daerah sebesar 54% dari basis pajak
nya, dimana hal ini dikarenakan banyaknya kelemahan administrasi per
pajakan seperti masalah pengkodean data pajak, sehingga hal ini juga
menimbulkan masalah ketidakefisiensian di dalam pajak properti. Namun
di sisi lain, di daerah-daerah Filipina lainnya juga telah melakukan upaya
pengidentifikasian pajak properti misalnya Kota Naga yang sistem pe
merintahannya berbentuk partisipatif dan transparan, dimana pemerintah
Kota Naga telah memberikan situs pemerintahan kepada Negara, yang
mana situs tersebut memuat kontrak, anggaran, infrastruktur dan biaya
untuk pelayanan sosial, sehingga akibatnya dengan adanya transparansi
ini maka dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam melakukan
pembayaran pajak.
Sedangkan di Muntinlupa City, San Fernando City, Valenzuela City,
dan Quezon City, di dalam upaya meningkatkan pajak propertinya pe
merintahan di kota tersebut secara teratur melakukan pengiriman tagihan
pajak, merampingkan proses pembayaran pajak, menegakkan penagihan
tunggakan melalui penjualan properti melalui publik lelang dan untuk
wajib pajak diperlakukan sebagai pelanggan melalui penyediaan pemba
yaran pajak di kantor dengan karyawan yang sopan, dan fasilitas sederhana
seperti kopi.

Pajak Properti di Kamboja


Pajak properti adalah sumber utama pendapatan untuk Pemerintah Dae
rah. Untuk mewujudkan potensi ini, Pemerintah Kamboja menciptakan

22 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Kelompok Kerja Teknis untuk belajar kebijakan pajak properti dengan ber
fokus hanya pada Phnom Penh. Diharapkan pajak properti di Phnom Penh
bisa menghasilkan USD3-6 juta per tahun. Pajak properti dikenakan pada
tanah dan bangunan kecuali milik pemerintah, LSM, kedutaan dan ma
syarakat miskin. Struktur kebijakan harus dibuat sederhana dan mudah
diimplementasikan dengan cara yang adil, efisien, menghasilkan tingkat
lokal penting untuk mendukung peningkatan tata kelola pemerintahan
dan akuntabel dan pelayanan.
Departemen Jenderal Pajak bertanggung jawab untuk mengelola
pajak properti yang diusulkan, bekerja sama dengan Departemen Manaje
men Tanah, Perencanaan Kota dan Konstruksi dan Nasional Sub Adminis
trasi. Strategi pelaksanaan pajak properti terdiri dari tiga komponen yaitu
dukungan mobilisasi politik dan publik, peningkatan administrasi pajak
yang ada, persiapan dan pelaksanaan pajak bumi dan bangunan. Tan
tangan yang dihadapi yakni: Sub Nasional Administrasi tidak berhak untuk
mengumpulkan semua jenis pajak (Departemen Pajak Umum mengum
pulkan pajak ditetapkan atas nama mereka), kekurangan pendidikan ke
pada wajib pajak tentang pajak properti, rumah tangga miskin yang me
miliki properti mahal (sebagai properti diwariskan). Pendapatan yang
dihasilkan dari pajak properti tidak dapat digunakan secara bijak.

Pajak Properti di India


Pajak properti merupakan pajak yang sangat tepat yang dimiliki oleh pe
merintah daerah yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan layan
an publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, sehingga dengan ada
nya penarikan pajak properti dengan diimbangi pelayanan publik yang
baik maka akan meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajaknya. Namun, di
negara berkembang pajak properti belum mampu menjadi sumber penda
patan yang signifikan di pemerintah daerah. Di negara berkembang kon
tribusi hanya mencapai 0,6 persen dari PDB, bahkan di India kontribusi

KERANGKA TEORI 23
pajak properti hanya sebesar 0,16 -0,24 persen dari PDB. Hal ini dikarenakan
ada kesenjangan yang signifikan antara potensi pendapatan dari pajak
dan pendapatan yang telah diterima, yang mana terdapat beberapa pe
nyebab diantaranya metode penilaian terhadap properti yang sudah kada
luarsa, penegakan hukum yang buruk, dan cara menilai properti tersebut.
Di India asal mulanya pajak properti yang diterapkan berdasarkan
pada nilai modal dan nilai sewa properti, sehingga pemerintah harus se
ring merevisi tarifnya akibat nilai modal dan sewa yang terus mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Di dalam perkembangannya pajak pro
perti di India mengalami pereformasian, dimana penetapan tarif tidak lagi
berdasarkan pada nilai modal dan nilai sewa melainkan di tetapkan
berdasarkan lokasi properti dan jenis kontruksi properti tersebut. Dengan
adanya reformasi pajak properti seperti ini hasilnya cukup signifikan yang
mana pajak properti mampu mengalami peningkatan sebesar 3,5 kali
lipat selama delapan tahun dari 2,3 miliar rs pada 2004-05 ke 8,4 miliar
rs pada tahun 2011-2012. Di tahun yang akan datang, unsur yang akan
dilibatkan dalam penetapan tarif yaitu mengenai indeks harga riilnya.

Pajak Properti di Nepal


Kota di Nepal menghadapi dua tantangan besar dalam koleksi pajak
properti: kapasitas rendah dan rendah kepatuhan. Kapasitas yang rendah
dalam administrasi pajak adalah masalah besar karena kota kekurangan
sumber daya manusia yang terlatih untuk administrasi pajak. Terutama,
kapasitas rendah terhadap update rutin dari register pajak dan penggunaan
optimal dari perangkat lunak pajak. Tantangan kedua adalah kepatuhan
rendah karena rendahnya kesediaan membayar pajak. Kebanyakan pem
bayar pajak membayar pajak properti ketika mereka perlu untuk mengakses
layanan kota.

24 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
PropertyTax di Amerika Serikat
Sebagian besar pemerintah daerah di Amerika Serikat mengenakan pajak
properti sebagai sumber utama pendapatan. Pajak ini dapat dikenakan
pada real estate atau properti pribadi. Pajak ini hampir selalu dihitung se
bagai nilai pasar yang wajar dari properti dikalikan assessment ratio dika
likan tax rate. Nilai tersebut ditentukan oleh pejabat lokal, dan dapat di
negosiasi dengan pemilik properti.
Pajak ini dikelola di tingkat pemerintah daerah. Pajak properti di
Amerika memberi batasan pada bagaimana yurisdiksi lokal dapat me
ngenakan pajak properti. Karena banyak properti yang dikenakan pajak
oleh lebih dari satu yurisdiksi lokal, beberapa negara memberikan metode
nilainya dibuat seragam di antara yurisdiksi tersebut.
Pajak properti jarang dinilai sendiri oleh pemilik properti. Pajak men
jadi kewajiban dan memiliki kekuatan hukum yang melekat pada properti
pada tanggal tertentu. Di setiap negara bagian USA biasa mengenakan
pajak pajak properti dari kendaraan yang terdaftar di negara bagian terse
but, dari beberapa jenis pajak negara bagian lainnya serta pajak bisnis
properti.

KERANGKA TEORI 25
Landasan. Kebanyakan yurisdiksi di bawah tingkat negara bagian di Ame
rika Serikat mengenakan pajak dalam real properti (tanah, bangunan, dan
perbaikan gedung secara permanen) yang mana dianggap di bawah
hukum negara bagian tertentu menjadi pajak kepemilikan. Aturan tersebut
bervariasi tergantung oleh yurisdiksi tiap negara bagian. Namun, dalam
beberapa fitur pajak properti tertentu sedang dibuat menjadi universal di
tiap negara bagian. Di beberapa yurisdiksi pajak juga menerapkan bebe
rapa jenis pajak bisnis properti pribadi, terutama dalam persediaan dan
peralatan.
Yurisdiksi yang tumpang tindih mungkin memiliki kewenangan untuk
pajak properti yang sama. Termasuk juga kabupaten, kota, distrik, dan oto
ritas perpajakan khusus, hal tersebut berbeda-beda berdasarkan negara
bagian. Beberapa negara bagian mengenakan pajak atas nilai properti.
Pajak ini berdasarkan nilai pasar wajar dari subjek properti, dan umumnya
ditetapkan untuk properti pada tanggal tertentu. Pemilik properti pada
tanggal tersebut bertanggung jawab atas pajak.
Besarnya pajak yang ditetapkan setiap tahun berdasarkan nilai pasar
masing-masing properti pada tanggal tertentu, dan sebagian besar yuris
diksi membutuhkan determinasi nilai secara berkala. Pajak ditentukan dari
nilai pasar dikali penilaian rasio suatu tarif pajak. Penilaian dan tarif pajak
bervariasi antar yurisdiksi, dan dapat bervariasi menurut jenis properti
dalam yurisdiksi. Badan legislatif Sebagian besar jurisdiksi menentukan
penilaian mereka dalam rasio dan tarif pajak, meskipun beberapa negara
bagian terdapat kendala pada penentuan tersebut.
Pajak asesor mengenakan pajak yurisdiksi untuk menentukan nilai
properti dengan berbagai cara, tetapi umumnya penentuan tersebut pada
nilai pasar wajar. Nilai wajar pasar adalah harga untuk penjual bersedia men
jual propertinya dan pembeli bersedia untuk membeli properti tersebut
dengan harga yang sudah ditentukan penjual dan tidak berada di bawah
setiap paksaan untuk bertindak. Ketika properti telah dijual antara penjual
yang tidak berhubungan langsung dengan pembeli, maka penjualan

26 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
tersebut menetapkan estimasi terhadap nilai pasar wajar. Teknik estimasi
yang umum digunakan adalah membandingkan penjualan lain yang se
banding, biaya penyusutan, dan pendekatan pendapatan. Pemilik properti
juga dapat menyatakan nilai yang dapat berubah oleh penilai pajak.
Setelah nilai ditentukan, penilai biasanya memberitahu pemilik pro
perti terakhir yang diketahui dari penentuan nilai. Pemberitahuan tersebut
dapat mencakup jumlah yang dihitung dari pajak. Nilai properti umumnya
ditinjau oleh dewan review atau badan serupa.
Setelah nilai diselesaikan, tagihan pajak properti atau pemberitahuan
akan dikirim ke pemilik properti. Metode pembayaran dan istilah bervariasi.
Jika pemilik properti gagal untuk membayar pajak, yurisdiksi perpajakan
memiliki berbagai metode untuk tetap menghimpun pajak tersebut,
dalam banyak kasus, termasuk penyitaan dan penjualan properti.

Properti yang kena pajak. Hampir semua pajak properti memberlakukan


yurisdiksi pajak properti yang hampir sama. Ini meliputi tanah, bangunan,
dan semua perbaikan (sering disebut perlengkapan) yang tidak dapat di
hapus tanpa merusak properti. Pajak properti juga termasuk rumah, pe
ternakan, tempat usaha, dan properti lainnya. Properti yang sudah ada dan
terletak di wilayah hukum pada tanggal tertentu dikenakan pajak ini. Tang
gal tersebut biasa jatuh pada tanggal 1 Januari setiap tahun, namun ber
variasi antara yurisdiksi.

Tax Rates. Tarif pajak bervariasi antara yurisdiksi. Mereka umumnya diatur
oleh taxing jurisdictions governing body. Metode penentuan tingkat
bervariasi, namun dapat dibatasi berdasarkan hukum negara bagian ter
tentu. Perubahan tarif pajak atau rasio penilaian mungkin memiliki efek
praktis yang sama dari perubahan pajak bersih jatuh tempo pada properti
tertentu.

Sejarah. Pajak Properti di Amerika Serikat sudah ada selama masa penja
jahan. Pada 1796, 14 dari 15 negara bagian mengenakan pajak properti,

KERANGKA TEORI 27
tetapi hanya 4 negara bagian yang mengenakan pajak persediaan (saham
dalam perdagangan). Di beberapa negara bagian, semua harta properti,
dengan beberapa pengecualian yang dikenakan pajak, pengecualian ter
sebut akan muncul dalam nama pajak yang lain selain pajak properti. Tanah
dikenakan pajak di satu negara bagian tertentu menurut kuantitasnya, di
negara bagian lain sesuai dengan kualitas, dan juga ada yang tidak dike
nakan sama sekali. Tanggung jawab penilaian dan pengumpulan pajak
dalam beberapa kasus merupakan keputusan pada negara bagian itu sen
diri. Sebagai contoh Vermont dan North Carolina dikenakan pajak tanah
berdasarkan kuantitas, sementara New York dan Rhode Island dikenakan
pajak tanah berdasarkan nilai. Connecticut pajak tanah berdasarkan jenis
penggunaan.
Selama periode dari 1796 sampai Perang Saudara, prinsip pemersatu
dikembangkan. Pengenaan pajak seluruh aktiva bergerak dan tidak berge
rak, terlihat dan tak terlihat, atau nyata dan pribadi, seperti yang kita kata
kan di Amerika, pada satu tingkat yang seragam. Selama periode ini, pajak
properti akan dinilai berdasarkan nilai. Ini diperkenalkan sebagai persya
ratan dalam konstitusi banyak negara.
Setelah Perang Saudara, harta tak berwujud, termasuk saham perusa
haan, mengambil kepentingan yang jauh lebih besar. Yurisdiksi Perpajakan
menemukan kesulitan untuk menemukan metode pengenaan pajak pro
perti semacam ini. Tren ini menyebabkan pengenalan alternatif untuk
pengenaan pajak properti (seperti pendapatan dan pajak penjualan) di
tingkat negara bagian. Pajak properti tetap menjadi sumber utama pen
dapatan pemerintah di bawah tingkat negara.
Masa sulit selama Depresi Besar menyebabkan tingkat penyimpangan
pajak yang tinggi dan pendapatan properti mengurangi pajak. Juga pada
tahun 1900-an, banyak yurisdiksi mulai membebaskan properti tertentu
dari pajak. Banyak yurisdiksi membebaskan rumah veteran perang. Setelah
Perang Dunia II, beberapa negara bagian juga mengganti dengan keten
tuan membatasi kenaikan nilai untuk rumah tinggal.

28 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Berbagai faktor ekonomi telah menyebabkan inisiatif wajib pajak di
berbagai negara bagian untuk membatasi pajak properti. California Pro
position 13 (1978) diubah konstitusi California untuk membatasi pajak
properti agregat 1% dari nilai tunai penuh kekayaan tersebut. Hal ini juga
membatasi kenaikan nilai dinilai properti untuk faktor inflasi yang dibatasi
2% per tahun.

KERANGKA TEORI 29
BAB III
Metode Penelitian

B
erdasarkan atas tujuan penelitian yang sudah dijelaskan didepan,
maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini
didesain untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang
sudah dijelaskan didalam bab sebelumnya.
Penelitian dilakukan dengan pada sampel di beberapa daerah kota
maupun kabupaten di seluruh Indonesia. Metode pemilihan sampel dae
rah yang digunakan adalah dengan stratifikasi yaitu menetapkan daerah
kabupaten/kota di Indonesia dalam suatu klasifikasi yang didasarkan pada
perkembangan penerimaan BPHTB selama dua tahun terakhir, kemudian
dipilih masing-masing dua daerah yang tertinggi, normal dan rendah
realisasi penerimaan BPHTB-nya. Pertimbangan pemilihan daerah sampel
juga didasarkan pada kriteria daerah kota dan kabupaten.

1.1. Sumber dan Metoda Pengumpulan Data


Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, untuk
menjelaskan fenomena yang ditemukan di dalam penelitian. Informasi

30 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
dan data yang dikumpulkan selama penelitian akan dijelaskan dan dieks
plorasi berdasakan hasil analisis. Jenis data yang ada sebagai berikut:

Data Primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari kunjungan
lapangan melalui proses dialog intensif dengan pengambil keputusan
dan stakeholders terkait dengan pelaksanaan pengenaan BPHTB di
daerah, melalui Focus Group Discussion (FGD) dan in-depth inter
view kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan informasi
yang perlu pendalaman.
Data Sekunder: yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah
Daerah, seperti data tentang PRDB, IKK, Kepadatan Penduduk, Per
tumbuhan Ekonomi, dan Penerimaan BPHTB.

Data yang dikumpulkan selama periode sebelum dan setelah BPHTB


diserahkan kepada daerah, yakni tahun 2010 dan 2011.

1.2. Pemilihan Daerah Sampel


Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan pemilihan
daerah sampel yang akan dikunjungi melalui pelaksanaan Focus Group
Discussion (FGD) dan pembagian kuesioner. Daerah sampel akan dipilih
berdasarkan kemampuan melaksanakan pengalihan BPHTB tahun 2011
yang dikategorikan menjadi:

a. Daerah berkemampuan tinggi, jika besaran penerimaan BPHTB tahun


2011 berada di atas 100% dari penerimaan BPHTB tahun 2010.
b. Daerah berkemampuan normal, jika besaran penerimaan BPHTB
tahun 2011 berada diantara 0% s.d. 100% dari penerimaan BPHTB
tahun 2010.
c. Daerah berkemampuan rendah, jika besaran penerimaan BPHTB ta
hun 2011 lebih rendah dari penerimaan BPHTB tahun 2010 atau ter
jadi penurunan penerimaan BPHTB.

METODE PENELITIAN 31
Daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari 6 dae
rah, yaitu 3 kabupaten dan 3 Kota yang mewakili ketiga kategori tersebut,
sebagaimana tergambar dalam Tabel di atas. Adapun ke-enam daerah
sampel terpilih adalah sebagai berikut:

1. Kota Palembang, (Kategori rendah)


2. Kota Medan (Penerimaan BPHTB terbesar)
3. Kota Pekanbaru (Kategori normal)
4. Kabupaten Lebak (Kategori normal)
5. Kabupaten Lombok Utara (Kategori tinggi)
6. Kabupaten Gianyar (Kategori tinggi)

Responden yang akan diundang menghadiri FGD sekaligus diminta


menjawab pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari:

1) Bappeda
2) Asisten Sekda Bidang Ekonomi dan Keuangan
3) Bagian Keuangan Setda
4) Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
5) Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD
6) Kepala PTSP (Perizinan)
7) Notaris/PPAT
8) BPN di daerah
9) Dinas Penanaman Modal
10) Dinas Koperasi/ UKM / Perdagangan / Industri
11) Kadin daerah/Pengusaha Real Estate
12) Akademisi daerah
13) DPRD
14) Camat/KepalaDesa
15) LSM terkait dengan Pengelolaan Keuangan

32 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
1.3. Metoda Analisis Data
Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskriptif
untuk menjawab fenomena yang diperoleh didalam proses FGD. Analisis
deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang ter
jadi di daerah termasuk hambatan yang ada terkait dengan pelaksanaan
pemungutan BPHTB.
Perubahan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan melalui transaksi
(NPOP) mencerminkan dua hal pokok yaitu pengaruh dari faktor-faktor
yang tidak dapat dikendalikan (umumnya variabel ekonomi, penduduk,
PDRB, IKK, inflasi dll) dan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau upaya
yang telah dilakukan seperti perluasan cakupan (data dasar), pendataan,
penyusunan Zona Nilai Tanah (ZNT), dan perubahan NJOP yang disebut
dengan variabel dapat dikendalikan. Pengamatan terhadap variabel yang
dapat dikendalikan dapat dilihat dari berbagai usaha yang telah dilakukan
antara lain usaha perluasan cakupan, dan pengisian SPOP.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka inten
sifikasi atau ekstensifikasi terhadap komponen BPHTB dapat diamati dari
perkembangan dan luas cakupan. Selain itu para walikota maupun bupati
memberi insentif bagi para camat/notaris yang mencapai tingkat peneri
maan BPHTB yang mengesankan, sebaliknya memberi hukuman bagi apa
rat pemda (camat) yang tidak berhasil mencapai target.
Selain variabel tersebut diatas, masih terdapat beberapa variabel
yang mungkin mempengaruhi BPHTPB tergantung pada kondisi daerah
masing-masing. Variabel yang dianalisis di atas hanyalah variabel yang
dianggap dominan dan bersifat umum mempengaruhi NPOP maupun
NJOP. Variabel seperti tersedianya perda, maupun peraturan lainnya yang
mendukung BPHTB yang merupakan proksi terhadap upaya memperluas
cakupan baik dalam artian intensifikasi ataupun ekstensifikasi merupakan
variabel yang perlu medapat perhatian. Selain itu, variabel kebijakan yang
berbeda-beda pada tiap daerah juga turut mempengaruhi utamanya yang

METODE PENELITIAN 33
bersifat kekuasaan. Untuk mengantisipasi variabel-variabel tersebut de
ngan tepat sangat dibutuhkan visi dan analisis yang cermat dan dikaji
secara terus menerus. Karena dalam struktur organisasi Dispenda tidak
terdapat unit yang berfungsi melakukan kajian seperti itu maka, sebaiknya
ada kerjasama antar instansi untuk mengkaji masalah tersebut.
Metode Analisis yang dipakai sebagai berikut:

- Hasil pengumpulan informasi dan data akan dianalisis secara deskrip


tif untuk menjawab fenomena yang diperoleh didalam proses FGD.
Analisis deskriptif kualitatif dipergunakan untuk menjelaskan feno
mena yang terjadi di daerah termasuk hambatan yang ada terkait
dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB.
- Menganalisis penerimaan BPHTB, dengan mendeskripsi proses penge
lolaan mulai dari pendataan, penetapan, pembayaran dan pengawas
an terhadap penerimaan BPHTB selama dilakukan FGD dibeberapa
daerah. Kemudian dikaitkan dengan keadaan penerimaan secara le
bih rinci sehingga dapat diketahui perilaku umum yang terjadi pada
proses pemungutan BPHTB di daerah tersebut.
- Menganalisis cara penentuan NPOP dengan nilai transaksi atau de
ngan menggunakan NJOP sesuai dengan yang digunakan dalam
menetapkan PBB dan BPHTB. Pertama akan dilakukan reduksi terha
dap informasi yang diterima selama FGD dan selanjutnya dikelom
pokkan untuk mendapat penjelasan yang lebih fokus terhadap ba
gian tertentu dalam proses pemungutan BPHTB.
- Menganalisis tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar BPHTB
melalui informasi yang diperoleh dari peserta FGD serta dengan
membandingkan antara target dan realisasi penerimaan PBB. Data-
data yang digunakan tersebut berasal dari notaris, pihak pemerintah
daerah dan masyarakat.

34 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
- Sistem penetapan NPOP yang berlaku saat ini.
Analisis sistem dan prosedur penilaian NPOP BPHTB yang akan dilaku
kan adalah sejauh mana proses penggunaan dan penilaian NJOP
mendekati harga sebenarnya dan apakah efektif dilakukan, maka akan
dilakukan analisis dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
kepada peserta FGD untuk melakukan pengujian terhadap informasi
yang disampaikan peserta FGD.
Dengan demikian maka metode analisis informasi melalui FGD ini
diharapkan dapat mengungkapkan sejauh mana penilaian dan pene
tapan NPOP ini ditopang oleh suatu sistem administrasi yang efektif.
Hasil analisis ini akan mengungkapkan efektifitas sistem dan pro
sedur pemungutan BPHTB. Dengan kata lain bahwa fokus utama
analisis sistem dan prosedur pemungutan adalah menilai apakah
mekanisme (jika sudah ada) tersebut berjalan sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan atau diperlukan aturan baik berupa SOP atau
pun SOTK untuk itu.
Untuk mendukung metodologi tersebut diatas maka akan
dilakukan beberapa rangkaian kegiatan antara lain ;
- Mengumpulkan dan mereduksi informasi yang diperoleh dari
FGD daerah
- Memahami proses penilaian NJOP maupun NPOP BPHTB
- Mengumpulkan informasi mengenai pelaksanaan transaksi dan
penetapan NPOP BPHTB.
- Mempelajari tata cara pendataan dan penilaian yang dilakukan
selama ini di masing masing daerah sampel.

Sedangkan, analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui


dampak pemungutan BPHTB oleh daerah terhadap kondisi fiskal daerah.
Berdasarkan kedua analisis itu akan dirumuskan desain kebijakan yang
tepat untuk mengoptimalkan penerimaan BPHTB pemerintah daerah.

METODE PENELITIAN 35
Kajian makro kuantitatif ini akan memanfaatkan model statistika
untuk melihat keterkaitan antara beberapa variabel ekonomi seperti per
tumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, serta indeks kemahalan kon
struksi (IKK). Analisis ini akan menggunakan peralatan statistik ekonometrik.
Dengan mengukur koefisien berbagai variabel berpengaruh untuk menge
tahui seberapa besar dan variabel mana yang dominan dalam mempe
ngaruhi penerimaan BPHTB.
Penelitian ini menganalisis BPHTB dari aspek makro. Khusus analisis
makro difokuskan untuk menganalisis berbagai faktor ekonomi yang mem
pengaruhi BPHTB. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa, nilai objek
pajak baik tanah maupun bangunan di suatu daerah sangat dipengaruhi
oleh kondisi ekonomi daerah tersebut. BPHTB yang umumnya perhitung
annya didasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) sangat dipengaruhi
oleh perkembangan penduduk (kepadatan). Dan harapan maupun perki
raan akan perubahan harga sebagai akibat dari perbaikan akses (infrastruk
tur) yang diindikasikan oleh tingkat IKK yang rendah akan mempengaruhi
rencana penerimaan BPHTB. Selain variabel tersebut masih terdapat be
berapa variabel ekonomi lainnya yang diduga mempunyai peranan dalam
mempengaruhi nilai jual objek pajak. Untuk itu diketahui variabel ekonomi
dominan yang mempengaruhi BPHTB agar perkiraan pokok atau potensi
BPHTB lebih optimal.
Peralatan yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan
dan tingkat signifikansi masing-masing variabel adalah peralatan statistik,
dengan membangun persamaan bahwa BPHTB merupakan fungsi dari
variabel tersebut.
Estimasi pokok yang lebih mendekati potensi sebenarnya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :

36 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BP = f (x1, x2, x3)
Dimana,
BP = Penerimanaan BPHTB
X1 = Pertumbuhan Ekonomi
X2 = Kepadatan Penduduk
X3 = IKK

Model akan dipilih yang terbaik sesuai dengan asumsi klasik, termasuk
variabel variabel yang akan dipergunakan dalam analisis. Sedangkan un
tuk melihat dampak BPHTB sebelum dan sesudah didaerahkan, akan di
lakukan uji beda dua sample berpasangan (paired sample T-test) atas data
yang ada.

METODE PENELITIAN 37
BAB IV
Analisa dan
Pembahasan

4.1. Gambaran Umum di Daerah Sampel

D
alam penelitian ini, selain menggunakan data sekunder dari berbagai
sumber, digunakan pula pengumpulan data primer dengan me
lakukan FGD di beberapa daerah sampel. Daerah sampel yang dite
tapkan adalah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Kabupaten
Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar. Pemilihan dae
rah sampel tersebut didasarkan pada kemampuan daerah dalam peneri
maan BPHTB, terutama pada awal penerapan BPHTB yakni tahun 2010
dan 2011. Berikut akan dibahas mengenai gambaran umum dari daerah
sampel.

38 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.1.
Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Daerah Sampel Tahun 2010-2011

Jumlah Penduduk (jiwa)


Daerah Sampel Luas Wilayah (Km2)
2010 2011

Kota Medan 265.00 2,109,339 2,117,224

Kota Palembang 369.22 1,452,840 1,480,662

Kota Pekanbaru 632.27 903,902 930,215

Kab Lebak 3,426.56 1,203,680 1,237,232

Kab Lombok Utara 776.25 199,904 202,092

Kab Gianyar 368.00 470,380 479,497

Sumber: BPS

Dari data luas wilayah dan jumlah penduduk tahun 2010 dan 2011
pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa seluruh daerah sampel mengalami
kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan tertinggi terjadi di Kota Pekanbaru,
yaitu dari 903.902 jiwa di tahun 2010 menjadi 930.215 jiwa di tahun
2011, atau terjadi kenaikan sebesar 2.9 persen. Sedangkan kenaikan te
rendah terjadi di Kota Medan, yaitu dari 2.109.339 menjadi 2.117.224
jiwa, atau terjadi kenaikan sebesar 0.37 persen. Untuk rata-rata nasional,
kenaikan penduduk dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 5 persen.
Banyaknya jumlah penduduk di suatu daerah dianggap berpengaruh
positif pada permintaan tanah dan bangunan. Sehingga, semakin tinggi
pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah, maka diperkirakan
permintaan akan tanah dan bangunan di daerah tersebut juga akan me
ningkat. Pada akhirnya permintaan yang meningkat tersebut akan mendo
rong meningkatnya transaksi tanah dan bangunan, yang berarti mendo
rong penerimaan BPHTB.
Kota Pekanbaru merupakan kota yang memiliki kenaikan jumlah pen
duduk terbesar di banding daerah lain, walaupun begitu ternyata hanya

Analisa dan Pembahasan 39


mengalami kenaikan penerimaan BPHTB sebesar 14 persen dari tahun
2010 ke 2011.1 Sedangkan, untuk Kota Medan dengan kenaikan jumlah
penduduk terendah, mengalami kenaikan penerimaan BPHTB sebesar 26
persen. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk bukan satu-satunya faktor
yang menentukan tingkat penerimaan BPHTB, ada beberapa faktor lain
seperti pertumbuhan ekonomi, kebutuhan infrastruktur maupun dari
faktor internal seperti manajemen, SDM, penerapan teknologi informasi
maupun data data teknis tentang pertanahan dan bangunan.
Di bawah ini dijelaskan tentang gambaran perkembangan perekono
mian daerah yang diambil sebagai sampel. Perkembangan perekonomian
suatu daerah dapat dilihat dari angka PDRB yang dicapai oleh suatu daerah.

Gambar 4.1.
Perkembangan PDRB Daerah Sampel Tahun 2010-2011

Sumber: BPS

1
Tingginya jumlah pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru lebih banyak disebabkan oleh
banyaknya pendatang (migrasi masuk), mengingat daya tarik Kota Pekanbaru sebagai
daerah yang paling pesat pertumbuhan ekonominya.

40 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Semakin tinggi perkembangan PDRB suatu daerah, maka dapat diarti
kan daerah tersebut mengalami dinamika dalam perekonomiannya. Se
cara empiris dapat disimpulkan bahwa kemajuan perekonomian di suatu
wilayah dapat menyebabkan penerimaan BPHTB di daerah semakin me
ningkat pula.
Data dari enam daerah sampel tahun 2010 ke 2011 menunjukkan
semua daerah sampel mengalami peningkatan PDRB. Peningkatan ter
tinggi terjadi di Kota Pekanbaru, dari Rp9.047,93 miliar menjadi Rp9.857.31
miliar dan kenaikan terkecil terjadi di Kabupaten Lebak, yaitu dari Rp4.015,56
miliar menjadi Rp4.180,39 miliar. Untuk rata-rata nasional, besarnya PDRB
tahun 2010 adalah sebesar Rp4.126,37 miliar dan meningkat menjadi
Rp4.386,60 miliar di tahun 2011.
Kota Pekanbaru yang memiliki peningkatan nilai PDRB tertinggi di
banding daerah lain, justru tidak mengalami peningkatan penerimaan
BPHTB yang signifikan jika dibandingkan daerah lain (hanya 14,8 persen).
Sedangkan Kabupaten Lebak, yang mengalami kenaikan terkecil PDRB
terkecil, justru mengalami peningkatan penerimaan BPHTB yang tinggi,
yaitu sebesar 84,5 persen. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di dae
rah sampel tidak dapat cukup menggambarkan keadaan yang terjadi
pada tingkat nasional, dalam hal hubungan antara besarnya PDRB dan
penerimaan BPHTB. Selain itu, hal ini menggambarkan bahwa penerimaan
BPHTB tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti pertumbuhan
ekonomi maupun jumlah penduduk, kesiapan daerah terkait dengan pe
ngelolaan pajak tersebut yang paling dominan dalam mendorong pe
ningkatan penerimaan BPHTB.

Analisa dan Pembahasan 41


Gambar 4.2.
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel Tahun 2010-2011

Sumber: BPS

Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah menggambarkan kemajuan


pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi daerah, maka penerimaan BPHTB juga akan semakin besar.
Dari data perkembangan pertumbuhan ekonomi pada enam daerah
sampel, data menunjukkan semua daerah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang menurun (kecuali Kabupaten Lombok Utara yang tumbuh
dari 4,32 persen menjadi 4,59 persen di tahun 2011). Penurunan pertum
buhan ekonomi yang paling rendah terjadi di Kota Medan, yaitu dari 7,16
persen di tahun 2010 menjadi 6,86 persen di tahun 2011. Untuk rata-rata
nasional, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari 6,2 persen
di tahun 2010 menjadi 6,42 persen di tahun 2011.
Jika dikaitkan dengan penerimaan BPHTB, dimana dari ke enam dae
rah sampel, hanya Kota Palembang yang mengalami penurunan pene
rimaan BPHTB, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah sampel tidak
dapat cukup menggambarkan keadaan yang terjadi pada tingkat nasional,
dalam hal hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan
BPHTB.

42 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Gambar 4.3.
Perkembangan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Daerah
Sampel Tahun 2010-2011

Sumber: BPS

IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi) merupakan suatu ukuran yang


menggambarkan ketersediaan infrastruktur di suatu daerah. Semakin
tinggi nilai IKK, maka semakin buruk ketersediaan infrastruktur di daerah
tersebut sehingga harga tanah dan bangunan akan semakin rendah. Hal
ini berakibat pada penerimaan BPHTB yang semakin rendah.
Dari data yang diambil pada enam daerah sampel, dari tahun 2010
ke 2011, terjadi kenaikan IKK di Kota Medan, Kota Pekanbaru, dan Kabu
paten Gianyar. Sedangkan penurunan BPHTB terjadi di Kota Palembang,
Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Lombok Utara. Peningkatan tertinggi
terjadi di Kota Pekanbaru, yaitu dari 92,84 menjadi 96,41 dan penurunan
paling tinggi terjadi di Kota Palembang, dari 86,53 menjadi 85,28. Secara
nasional, rata-rata IKK tahun 2010 adalah sebesar 94,74 dan turun men
jadi 93,65 di tahun 2011.
Terkait dengan penerimaan BPHTB yang ada di keenam daerah sam
pel, hanya Kota Palembang yang mengalami penurunan penerimaan BPHTB,

Analisa dan Pembahasan 43


sedangkan daerah lainnya mengalami peningkatan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa daerah sampel tidak dapat cukup menggambarkan
keadaan bahwa IKK berpengaruh terhadap penerimaan BPHTB.

4.2. Analisis Kualitatif

4.2.1. Pengantar
Pembangunan Daerah selama 11 tahun periode desentralisasi telah men
dorong meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang, yang
diikuti dengan tuntutan akan layanan publik yang lebih baik. Bagaimanapun
juga, meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah akan mendorong
kebutuhan akan lahan dan bangunan sebagai sarana pendukung kegiatan
ekonomi. Mengingat keberadaan tanah dan atau bangunan sangat ter
batas. Maka sudah sewajarnya negara mengatur penggunaan atas tanah
dan termasuk bangunan diatasnya. Negara memungut pada orang pribadi
atau badan hukum yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari
tanah dan atau bangunan atau karena adanya perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan atau Bangunan yang biasa dikenal dengan BPHTB.
Mengingat permasalahan pengelolaan BPHTB ini bukan saja per
masalahan teknis, tetapi ada indikasi muncul permasalahan kelembagaan
misalnya kesiapan regulasi, kesiapan SDM, hubungan antar lembaga,2
khususnya terkait dengan kesiapan daerah, dinamika pengelolaan BPHTB
yang berbeda beda di setiap daerah, maka mengapa regulasi dan kesiap
an daerah yang dibutuhkan masih belum siap, serta perlu dijawab perma

2
Sebelum tahun 2010, BPHTB dikelola oleh direktorat jendral Pajak yang kemudian dibagi
hasilkan, dimana pelaksana teknis pengelolaan (termasuk pemungutan) BPHTB di daerah
adalah KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Oleh karena itu, KPP memiliki data tentang tanah
(termasuk ZNT, Zona Nilai Tanah) serta SDM yang berkeahlian teknis dalam pemungutan
BPHTB didaerah.

44 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
salahan terkait dengan proses perpindahan pengumpulan BPHTB dari KPP
(Kantor Pelayanan Pajak), maupun kondisi di lapangan secara riil, maka
salah satu pendekatan yang paling cocok untuk mengeksplorasi perma
salahan dan solusi pengelolaan BPHTB adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu metoda yang biasa digunakan
untuk mengungkap dan menjawab atas fenomena yang muncul, biasa
dikenal untuk menjawab nomena dari proses yang diamati. Didalam
pelaksanaanya, pendekatan kualitatif ini menggunakan pendekatan posi
tivistik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sudah di tetapkan.3
FGD (Focus Group Discussion) merupakan instrumen penelitian yang
diterapkan untuk mengeksplorasi atas jawabanjawaban penelitian yang
muncul. Di dalam FGD sangat penting peran dari fasilitator untuk mendo
rong setiap peserta untuk bercerita mengungkapkan fakta yang ada di
lapangan. Proses diskusi atas jawabanjawaban yang muncul biasa dike
nal dengan proses reduksi data, mengkonfirmasi jawaban dari satu peserta
kepada peserta lain untuk mendapatakan jawaban terbaik dan valid.
Secara umum, pelaksanaan FGD ini perlu melakukan hal sebagaimana
berikut, seperti:

a. Reduksi data adalah data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik


dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan tersebut di
reduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-
hal yang penting, dicari tema dan polanya.
b. Mengambil kesimpulan melalui verifikasi, yaitu data yang telah ter
kumpul telah direduksi, lalu berusaha untuk mencari maknanya,

3
Pendekatan positivistik merupakan pendekatan yang berangkat dari kerangka teoritis dan
empiris yang sudah ada. Pendekatan ini sering juga dikenal dengan pendekatan deduktif
(deductive approach) dimana kesimpulan yang diperoleh berdasarkan premis (teoritis
dan empiris) yang diperoleh. Sebaliknya pendekatan non-positivistik adalah pendekatan
yang berbasis dari pengamatan yang ada di lapangan, lalu menarik kesimpulan berdasar-
kan pengamatan yang ada (inductive approach).

Analisa dan Pembahasan 45


kemudian mencari pola, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering
timbul dan kemudian disimpulkan.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab I sebelumnya, maka


penelitian ini harus menjawab beberapa tujuan penelitian sebagaimana
berikut:

- Apa saja permasalahan internal yang muncul didalam persiapan serta


pengelolaan BPHTB di daerah?
- Bagaimanakah peranan PPAT/Notaris dalam pemungutan BPHTB, dan
apa saja hambatan-hambatan apakah yang muncul dalam pemungut
an BPHTB; dan
- Bagaimana upaya upaya yang sudah dan akan dilakukan pemerintah
daerah untuk mengatasi permasalahan yang ada?

Analisis yuridis empiris terkait dengan dasar hukum tarif serta peratur
an daerah yang ada juga dilakukan mengingat pengenaan BPHTB adalah
salah satu kebijakan publik yang harus berbasis hukum mengingat seluruh
masyarakat akan menerima dampaknya. Temuan dari diskusi dan peng
amatan dilapangan perlu dijelaskan secara rinci dan jelas (descriptive
analysis).
Secara umum beberapa kesimpulan awal dapat dijelaskan, BPHTB
merupakan pajak yang dikenakan dimana dalam pelaksanaannya meng
gunakan sistem self assessment, dan prosedur pembayarannya sangat
sederhana karena tidak menggunakan Surat Ketetapan Pajak.
Dalam prosesnya PPAT/Notaris memiliki peranan yang signifikan da
lam pemungutan BPHTB karena PPAT/Notaris adalah pejabat umum yang
terkait dengan transaksi jual beli tanah. PPAT/Notaris akan menandatangani
akta otentik setelah pajak BPHTB tersebut dibayar lunas oleh Wajib Pajak.
PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas
tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pem
bayaran pajak.

46 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Setelah informasi dikumpulkan didalam FGD, berikutnya peneliti
harus melakukan beberapa hal sebagai berikut:

a) Menganalisis berbagai informasi dan kecenderungan terhadap per


masalahan dan kendala yang dihadapi oleh daerah dalam melakukan
pengalihan BPHTB.
b) Mengidentifikasi pandangan daerah terkait dengan dampak pe
mungutan BPHTB terhadap kondisi fiskal daerah.
c) Mengumpulkan saran-saran dari daerah terkait dengan upaya opti
malisasi pemungutan BPHTB oleh daerah.

4.2.2. Dinamika Pelaksanaan Pemungutan (BPHTB)


Dinamika pembangunan ekonomi selama era desentralisasi sangatlah
kuat. Untuk itu, dukungan dan naiknya kebutuhan atas tanah dan bangun
an juga semakin besar. Selama ini, kebijakan pengelolaan BPHTB ini masih
sentralistik dan dikelola oleh pemerintah pusat. Sejak 2010, berdasarkan
UU No. 28 Tahun 2009 maka kewenangan pengelolaan ini diserahkan
kepada daerah.
Tujuan utama pemindahan kewenangan ini adalah penguatan ke
mampuan pajak daerah (local taxing power), untuk mendukung pening
katan kemampuan fiskal daerah. Dalam prakteknya kesiapan masing
masing daerah tidaklah sama. Data terakhir di bulan Maret 2013, masih
ada 10 daerah yang masih proses penyiapan perda untuk BPHTB ini. Wa
laupun begitu, nilai daerah yang belum selesai perda-nya tersebut hanya
kurang dari 1% (berdasarkan penerimaan BPHTB 2010). Hal ini menun
jukkan bahwa potensi dan dinamika pengelolaan BPHTB ini berbeda an
tara daerah.
Berdasarkan alasan tersebut, pelaksanaan FGD dilakukan di 6 daerah
yang berbeda, yakni Kota Medan, Kota Palembang, Kota Pekanbaru, Ka
bupaten Lebak, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Gianyar. Selan
jutnya, objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau

Analisa dan Pembahasan 47


bangunan yang meliputi aktifitas ekonomi seperti: pemindahan hak (jual
beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mem
punyai kekuatan hukum tetap, hadiah) dan pemberian hak baru (kelanjutan
pelepasan hak).
Dasar hukum untuk melakukan pemungutan pajak memunculkan
hukum pajak yang mencakup peraturan dasar pungutan pajak, ketentuan-
ketentuan untuk melakukan pungutan pajak tersebut, didalamnya juga
menerangkan mengenai subyek dan objek pajak, bentuk dan besarnya pem
bayaran, saat terutangnya pajak, saat timbulnya kewajiban bagi Wajib Pajak,
dan lain-lain. Undang-undang perpajakan yang berlaku saat ini lebih se
derhana dibandingkan dengan undang-undang lama, namun masyarakat
masih merasa sulit untuk memahami undang-undang tersebut, sebab
dalam kenyataannya masih ditemukan Wajib Pajak kurang memahami
peraturan BPHTB.
Dari informasi yang diperoleh selama FGD dibeberapa daerah,
ditemukan beberapa hal sebagai berikut:

- Database
Database terkait dengan luas tanah dan bangunan menunjukkan
nilai yang tidak akurat. Namun demikian data-data tersebut me
ngemukakan bahwa masih ada beberapa objek pajak yang be
lum tercatat pada data statistik Kantor Pelayanan Pajak, selain itu
pemutahiran data sangat jarang dilakukan sehingga data terse
but (NJOP) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
kekinian (memerlukan pemutakhiran) .
Masih banyak daerah yang belum menerima database dari KPP
ke pemerintah daerah. Database merupakan acuan dasar untuk
memperbaharui NJOP melalui pengisian SPOP oleh wajib pajak
sebaiknya dua tahun sekali. Namun umumnya daerah menemui

48 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
kendala ketika ingin melakukan penyesuaian NJOP, mereka tidak
memiliki database maupun sumberdaya manusia atau tenaga
yang memiliki kualifikasi penilai.

KERJA SAMA DENGAN KPP PRATAMA


Masalah lain yang banyak dikeluhkan Pemerintah Daerah dalam
pengalihan BPHTB adalah minimnya ketersediaan SDM baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas, serta minimnya ketersediaan
data, SOP, dan IT. Sampai tahun 2010 pemungutan BPHTB me
mang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui KPP Pratama,
maka sudah barang tentu KPP Pratama memiliki SDM, data, SOP,
dan IT yang jauh lebih baik dari daerah.

Menyadari hal ini, sejak Undang-Undang No. 28 Tahun 2009


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan, maka
Pemerintah Kota Medan langsung melakukan kerja sama dengan
KPP Pratama Medan Polonia. Kerja sama tersebut bahkan terma
suk memindahkan sebagian tenaga honorer di KPP Pratama
menjadi tenaga honorer Dispenda. Kerja sama ini cukup berhasil
karena Kota Medan menjadi relatif sangat siap dibandingkan
daerah lainnya dalam pengalihan pemungutan BPHTB. Kesiapan
tersebut bukan saja dari aspek ketersediaan SDM, data, dan SOP
tetapi juga ketersediaan IT yang sudah on-line ke seluruh stake
holders BPHTB seperti Notaris/PPAT, BPN, dan Bank. Oleh karena
itu, tidak heran jika Kota Medan menjadi daerah dengan peneri
maan BPHTB terbesar di Indonesia pada tahun 2011.

- Sumber Daya Manusia


Seperti diketahui bahwa sistem self assessment mengandung
arti bahwa Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memper
hitungkan, membayar sendiri dan melaporkan pajak yang ter

Analisa dan Pembahasan 49


hutang sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, se
hingga penentuan besarnya pajak yang terhutang dipercayakan
kepada Wajib Pajak. Dengan demikian sistem self assessment
dalam pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB ini menuntut
Wajib Pajak mengerti serta menguasai tentang ketentuan-keten
tuan perpajakan sebagaimana diatur dalam peraturan perun
dang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam kondisi seperti
ini Wajib Pajak sering mengalami kesulitan dalam pembayaran
pajak tersebut. Selain itu, memunculkan kemungkinan jika ma
syarakat akan membayar kewajibannya lebih rendah (moral ha
zard) dari pada yang seharusnya yang dibayar, dikarenakan ada
nya informasi yang tidak merata (asymmetric information). Da
lam konteks ini, peran PPAT serta pemerintah daerah sangatlah
penting untuk menjelaskan dan mendiseminasi terkait aturan
dan tata laksana pembayaran pajak, untuk menghindari perilaku
penghindaran pajak (tax avoidance) tersebut. Oleh karena itu,
sangat penting meningkatkan kualitas SDM baik dilingkungan
pemerintah daerah, maupun di masyarakat sendiri (masyarakat
yang sadar pajak).
Dalam prakteknya dari informasi yang diperoleh umumnya ber
anggapan bahwa wajib pajak masih kesulitan dalam memahami
pajak BPHTB ini. Wajib Pajak juga menuntut kesiapan dari peja
bat pajak untuk bersedia membantu Wajib Pajak yang merasa
kesulitan dalam pembayaran pajak, misalnya kesulitan mengisi
formulir pembayaran pajak. Formulir perpajakan yang tidak be
gitu mudah untuk dipahami, akan menyulitkan mereka (Wajib
Pajak) dalam pembayaran pajak, karena sistem perpajakan yang
baru menerapkan atas sistem self assessment menuntut Wajib
Pajak untuk aktif mengisi formulir tersebut. Oleh karena itu petu
gas pajak diharapkan dapat mengurangi tingkat kesulitan Wajib
Pajak dengan cara membantu sebaik-baiknya terhadap Wajib

50 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Pajak. Dengan demikian rasa tanggung jawab Wajib Pajak tetap
terjaga dalam memenuhi kewajibannya setiap akan membayar
pajak. Ketersediaan sumber daya manusia di daerah yang mena
ngani perpajakan ini perlu dipersiapkan lebih baik.

- Nilai Transaksi
Sebagai pajak darerah yang relatif baru, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pelaksanaannya sederhana,
mudah, dan tidak perlu menggunakan Surat Ketetapan Pajak. Wa
jib Pajak langsung membayar besarnya pajak yang terutang tan
pa pemberitahuan dari KPP ataupun Dinas Pendapatan daerah.
Jual beli tanah dan atau bangunan didasarkan pada nilai
transaksi, yaitu harga yang terjadi dan telah disepakati oleh
pihak-pihak yang yang melakukan transaksi: Selain didasarkan
oleh nilai transaksi, khusus diluar jual beli didasarkan pada nilai
pasar, yaitu harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi disekitar letak tanah dan atau bangunan.
Orang pribadi atau badan hukum melakukan transaksi jual
beli di hadapan PPAT/Notaris, setelah ada kata sepakat dari para
pihak dan melalui perhitungan sesuai harga transaksi, ternyata
diperoleh bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) lebih besar
atau tidak sama dengan NPOPTKP ataupun hasilnya tidak nihil
setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta ru
piah), maka orang pribadi atau badan hukum tersebut dikenakan
pajak BPHTB sesuai yang terutang. Dalam prakteknya, penerimaan
BPHTB daerah sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai transaksi
(berdasar harga pasar) yang terjadi, walaupun secara hukum,
dasar pengenaan BPHTB adalah berdasarkan NJOP (Nilai Jual
Obyek Pajak). Sayangnya sebagian besar daerah belum melaku
kan penyesuaian data NJOP dengan harga pasar.

Analisa dan Pembahasan 51


- Kerjasama Antar Lembaga
Mengingat pengelolaan BPHTB sudah dilakukan oleh pemerintah
pusat, khususnya direktorat jendral pajak (DJP) melalui Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), tentunya KPP sudah memiliki semua yang
harus dimiliki, seperti informasi data tentang tanah dan bangun
an, SOP, NJOP maupun ZNT (Zona Nilai Tanah) serta SDM yang
mumpuni. Maka sangat diperlukan transfer knowledge dari
lembaga ini kepada lembaa pelaksana yang baru, dalam hal ini
dispenda. Dengan demikian, sangat penting kerjasama antar
lembaga yang terkait tersebut baik oleh pengelolah BPHTB se
perti KPP, Dispenda, BPN maupun notaris dan PPAT. Kerjasama
ini dilakukan untuk memperlancar kegiatan pengelolaan BPHTB
di pemerintah daerah, termasuk didalamnya adalah pengadaan
training dan pendampingan bagi pegawai dispenda. Selain itu,
keahlian penilaian (appraisal) perlu diperkuat pada pegawai
dispenda untuk bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan SOP
yang sudah ditetapkan oleh DJP. Faktor penting lain dalam kerja
sama tersebut adalah diserahkannya data-data tentang tanah
dan bangunan, termasuk NJOP sekaligus juga ZNT yang sangat
penting untuk perbaruan NJOP yang ada didaerah tersebut.
Pada prinsipnya tidak ada lembaga yang paling penting peran
nya, tetapi lembagalembaga tersebut seperti KPP, Dispenda,
BPN, dan notariat sangat berperan penting untuk optimalisasi
penerimaan BPHTB di daerah.
Untuk mengefektifkan kerjasama antar lembaga tersebut,
penting sekali untuk menerapkan teknologi informasi (TI) yang
terintegrasi, dengan tujuan untuk menciptakan pengelolaan
BPHTB yang efisien. Di Kabupaten Lebak dan kabupaten Lombok
Utara (merupakan daerah pemekaran) pengelolaan BPHTB masih

52 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
berbasis manual, sehingga kemungkinan terjadi kebocoran
masih cukup besar.

INSENTIF NOTARIS DAN INTEL DESA


Masalah yang banyak dikeluhkan oleh Pemerintah Daerah dalam
pemungutan BPHTB setelah pengalihan adalah adanya transaksi
diam-diam, dimana wajib pajak bekerja sama dengan Notaris/
PPAT mencantumkan nilai transaksi yang jauh dari nilai sebe
narnya (harga pasar) atau bahkan menjadikan nilai transaksi
berada di bawah NPOPTKP. Hal ini tentu sangat merugikan dae
rah karena realisasi penerimaan BPHTB menjadi jauh lebih ren
dah dari potensi, sehingga sulit untuk mencapai target PAD
yang ditetapkan dalam APBD. Beberapa daerah yang menjadi
lokasi FGD ternyata mempunyai cara unik untuk mengatasi tran
saksi diam-diam tersebut. Disebut unik karena cara yang mereka
lakukan cenderung melanggar peraturan, meskipun secara logi
ka masih dapat dibenarkan.

Pemerintah Kota Medan menyadari betul bahwa faktor kunci


keberlangsungan transaksi diam-diam tersebut ada pada Nota
ris/PPAT. Oleh karena itu, mereka mencoba memotivasi Notaris/
PPAT untuk mencantumkan transaksi sesuai harga pasar dengan
memberikan insentif. Padahal, berdasarkan PP No. 69 Tahun
2010 tidak dibenarkan adanya pemberian insentif pada Notaris/
PPAT. Untuk mendalami hal ini pokja BPHTB mendatangi Asosiasi
Notaris/PPAT dan mereka mengakui adanya insentif tersebut
serta dampak positifnya terhadap semakin berkurangnya tran
saksi diam-diam di Kota Medan. Akan tetapi sebenarnya mereka
juga sadar bahwa hal itu melanggar aturan dan sangat khawatir
akan menjadi temuan BPK di kemudian hari. Namun keberanian
Pemerintah Kota Medan memberikan insentif sangat mereka
hargai dan memotivasi mereka untuk terus bekerja sama

Analisa dan Pembahasan 53


meningkatkan kapasitas fiskal daerah melalui peningkatan
penerimaan BPHTB.

Cara unik lainnya ditemukan di Kabupaten Gianyar, dimana me


reka meminta bantuan terhadap aparatur desa untuk menjadi
semacam intel yang mematai-matai atau mencari informasi
tentang besaran transaksi riil dari penjualan tanah di desanya.
Informasi itu kemudian akan dibandingkan dengan nilai tran
saksi yang dilaporkan Notaris/PPAT dalam perhitungan BPHTB
dan menjadi dasar dalam proses verifikasi. Cara seperti ini sebe
narnya tidak tepat dalam perhitungan BPHTB yang menganut
metode Self Assessment. Akan tetapi Pemda Gianyar beralasan
bahwa mereka harus mencari cara untuk bisa memenuhi target
penerimaan BPHTB yang relatif tinggi.

- Nilai NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak)


Prinsip keadilan dalam pengenaan pajak perlu diberlakukan,
mengingat adanya masyarakat yang masih hidup dibawah garis
kemiskinan. Bagi kelompok masyarakat yang seperti itu, maka
negara membebaskan mereka untuk tidak dikenakan pajak.
Wajib Pajak yang memiliki Nilai Jual Objek Pajak di bawah
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) tidak dikenakan pa
jak, batasan ini diharapkan mencerminkan keadilan kepada se
mua wajib pajak.
Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang terutang
sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani
oleh PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli
tanah dan atau bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani
sebelum dilunasinya pajak BPHTB yang terutang, maka PPAT/

54 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan yang ber
laku, yaitu Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Nilai NPOPTKP dianggap oleh beberapa daerah masih terlalu
tinggi, sehingga tax base daerah menjadi berkurang. Sebelum
di daerahkan nilai tersebut sebesar Rupiah 20 juta, sehingga bisa
menjangkau wajib pajak yang kecil (masih terdapat harga tanah
senilai Rp3.500,00 Rp4.500,00 per meter). Untuk menghindar
kan kondisi itu, sebaiknya kedepan nilai NPOPTKP ini perlu ditin
jau ulang, selain itu kedepan perlu dibuat pengelompokan daerah
(cluster) dalam penetapan nilai NPOPTKP.
Di Kota Medan pembayaran terhadap BPHTB (walaupun nilainya
dibawah NPOPTKP) tetap dilakukan oleh wajib pajak dengan ha
rapan bukti pembayaran tersebut, dapat dianggap sebagai bukti
kepemilikan atas tanah dan bangunan. Pengembang perumahan
biasa menginformasikan (dalam brosur) harga rumah yang lebih
murah dari harga sebenarnya (disesuaikan dengan NPOPTKP),
sehingga wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban mem
bayar pajak.
Secara umum Pemerintah Kabupaten/kota yang diteliti meng
alami kenaikan penerimaan BPHTB Lonjakan yang sangat tinggi
dibeberapa daerah umumnya disebabkan karena kemampuan
daerah dalam menyiapkan pendataan yang baik, penyiapan
SDM yang mumpuni, serta penerapan teknologi yang mampu
meminimalisasi perilaku yang menyimpang (moral hazard).

Dari beberapa gambaran deskripsi diatas, dapat disimpulkan bebe


rapa permasalahan yang ada, seperti berikut:

- Permasalahan data yang belum mengalami pemutakhiran;


- Kualitas SDM yang ada di pemerintah daerah kurang memadai, salah
satunya pemahaman akan Tupoksi, SOP, SOTK terkait dengan penge
lolaan BPHTB;

Analisa dan Pembahasan 55


- Kerjasama antara lembaga yang terkait dengan pengelolaan seperti
KPP, BPN, Notariat, dan pemda tidak selalu menunjukkan keharmo
nisan.
- Aplikasi teknologi informasi (IT) mulai dari system pembayaran, ZNT,
proses verifikasi, yang masih belum memadai, bahkan untuk daerah
pemekaran aplikasi teknologi informasi membutuhkan waktu lebih
lama;
- Masih adanya transaksi diamdiam untuk mengupayakan nilai tran
saksi dibawah NPOPTKP (60 juta rupiah)
- Nilai NPOPTKP terlalu tinggi untuk beberapa daerah, maupun bebe
rapa wilayah (pinggiran kota) di daerah perkotaan yang memiliki
pertumbuhan ekonomi tinggi

4.3. Analisis Kuantitatif

4.3.1. Pengantar
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pada dasarnya merupakan penyerahan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah,
khususnya dari sisi penerimaan. Dalam UU tersebut BPHTB menjadi salah
satu jenis pajak baru yang diberikan wewenang pemungutan sepenuhnya
kepada pemerintah kabupaten dan kota, sebagaimana diatur dalam pasal
85 sampai dengan pasal 93. Tujuan utama pengalihan kewenangan itu
sangat relevan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk meningkat
kan local taxing power pemerintah kabupaten dan kota. Akan tetapi ter
nyata tidak semua daerah memberikan respon positif terhadap pengalihan
ini. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di enam
kabupaten/kota masih sering terungkap pernyataan beberapa pimpinan
SKPD yang cenderung pesimis terhadap keberhasilan pengalihan tersebut.
Ada kekhawatiran bahwa daerah kabupaten dan kota tidak akan mampu

56 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
melakukan pemungutan sebaik pemerintah pusat. Akibatnya, penerimaan
BPHTB setelah pengalihan akan jauh lebih rendah dari sebelumnya.
Oleh karena itu, kajian ini mengumpulkan data penerimaan BPHTB
tahun 2010 yang dipungut oleh pusat dan data penerimaan BPHTB tahun
2011 yang dipungut oleh daerah. Berdasarkan data tersebut dilakukan uji
beda berpasangan untuk mengetahui apakah secara statistik terdapat
perbedaan penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pusat dengan pene
rimaan BPHTB yang dipungut oleh daerah. Di samping itu, untuk mem
perkaya analisis, kajian ini juga akan melihat faktor-faktor apa saja yang
secara statistik mempengaruhi besarnya penerimaan BPHTB. Ada beberapa
faktor yang dikumpulkan datanya dan dilakukan pengujian secara statistik.
Faktor-faktor itu antara lain adalah:

Pertumbuhan Ekonomi, yang menggambarkan kemajuan pemba


ngunan ekonomi di suatu daerah, dimana diduga bahwa semakin
tinggi pertumbuhan ekonomi maka penerimaan BPHTB juga akan
semakin besar.
Density atau Kepadatan Penduduk yaitu pembagian antara variabel
Jumlah Penduduk dengan variabel Luas Wilayah, yang menggambarkan
seberapa besar permintaan terhadap tanah dan bangunan di suatu
daerah, dimana diduga bahwa semakin tinggi density akan mendo
rong harga tanah dan bangunan semakin mahal, maka penerimaan
BPHTB juga akan semakin besar.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) yang menggambarkan ketersediaan
infrastruktur di suatu daerah, dimana diduga semakin tinggi IKK
menunjukkan semakin buruknya ketersediaan infrastruktur, sehingga
harga tanah dan bangunan akan semakin rendah yang mengakibatkan
penerimaan BPHTB juga akan semakin kecil.

Dengan demikian, pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap


penerimaan BPHTB mengikuti hipotesis sebagai berikut:

Analisa dan Pembahasan 57


Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan
BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah
maka akan semakin besar penerimaan BPHTB di daerah tersebut.
Density berpengaruh positif terhadap penerimaan BPHTB, semakin
tinggi density pada suatu daerah maka akan semakin besar peneri
maan BPHTB di daerah tersebut.
IKK berpengaruh negatif terhadap penerimaan BPHTB, semakin tinggi
IKK pada suatu daerah maka akan semakin rendah penerimaan BPHTB
di daerah tersebut.

4.3.2. Hasil Pengalohan Data


UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, telah menetapkan bahwa BPHTB me
rupakan pajak pusat. Namun, meskipun berstatus sebagai pajak pusat,
penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kembali kepada daerah
kabupaten/kota. Cara seperti ini sebenarnya lebih disukai oleh banyak
pemerintah kabupaten/kota, karena mereka tidak perlu mengeluarkan
pikiran, tenaga, dan biaya untuk memungut pajak tersebut. Pemerintah
daerah tinggal menerima dana bagi hasilnya dari pemerintah pusat. De
ngan demikian tidak aneh jika masih ada daerah yang tidak ikhlas mene
rima pengalihan ini. Pada saat FGD, beberapa pimpinan SKPD bahkan
secara terbuka mengemukakan keluhan dan pesimisme mereka terhadap
pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah. Mereka memperkirakan peng
alihan itu akan menurunkan penerimaan BPHTB.
Untuk menjawab keraguan dan pesimisme tersebut, dilakukan uji
beda berpasangan terhadap penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipu
ngut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang dipungut
oleh daerah. Hasilnya adalah sebagai berikut:

58 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Tabel 4.2.
Uji Beda Berpasangan Antara Penerimaan BPHTB tahun 2010
dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011

t-Test: Paired Two Sample for Means

Tahun 2010 Tahun 2011

Mean 19632885530 20357307332

Variance 1.7329E+22 2.09173E+22

Observations 405 405

Pearson Correlation 0.993156177

Hypothesized Mean Difference 0

df 404

t Stat -0.703627581

P(T<=t) one-tail 0.241035025

t Critical one-tail 1.64863405

P(T<=t) two-tail 0.482070049

t Critical two-tail 1.965853199

Sumber: Data Hasil Olahan

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar -0.703627581


sedangkan t-tabel untuk pengujian dua arah sebesar 1.965853199, karena
nilai t hitung lebih kecil dari t tabel maka dapat disimpulkan penerimaan
BPHTB tahun 2010 tidak sama dengan penerimaan BPHTB tahun 2011.
Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun
2010 yang dipungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011
yang dipungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) lebih tinggi dari penerimaan
BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat (Rp19.632.885.530,00).

Analisa dan Pembahasan 59


Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari pembahasan sebelumnya
diketahui bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses
pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan lain-lain,
tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikhawatirkan bebe
rapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya
yang masih dipungut oleh pemerintah pusat. Fakta ini mengantarkan kita
pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah merupa
kan kebijakan yang tepat (on the right track) untuk meningkatkan kapa
sitas fiskal Pemerintah Daerah. Meskipun, sudah barang tentu, keyakinan
itu tidak boleh menutup mata kita terhadap berbagai persoalan yang
masih dihadapi daerah dalam pemungutan BPHTB, sebagaimana dikemu
kakan peserta dalam FGD.
Setelah mengetahui bahwa penerimaan BPHTB yang dipungut oleh
pemerintah daerah ternyata sedikit lebih tinggi dibandingkan penerimaan
BPHTB yang dipungut oleh pemerintah pusat, maka dianggap penting
juga untuk mengetahui faktor apa saja yang secara statistik signifikan
mempengaruhi besarnya penerimaan BPHTB. Secara umum kita memahami
bahwa terdapat dua faktor yang menentukan keberhasilan pemungutan
BPHTB, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara
lain adalah ketersediaan data, kualitas SDM, regulasi (kepastian hukum),
teknologi, kerja sama, dan insentif. Sementara faktor eksternal terdiri dari
jumlah penduduk, kemajuan ekonomi, luas wilayah, kondisi infrastruktur,
dan kesadaran masyarakat.
Karena pada FGD sebagian besar pembahasan sudah mengarah pada
faktor internal, maka analisis statistik lebih difokuskan pada pengaruh
faktor eksternal terhadap penerimaan BPHTB. Meskipun demikian, keter
batasan data dan kemungkinan pelanggaran terhadap asumsi OLS, me
maksa kami untuk tidak bisa memasukkan semua faktor eksternal dimak
sud. Faktor eksternal sangat penting seperti kesadaran masyarakat mem
bayar pajak tidak bisa dimasukkan karena ketiadaan data. Sementara vari

60 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
abel PDRB terpaksa didrop karena mengandung masalah multikolinearitas
dengan variabel BPHTB. Setelah melakukan beberapa kali pengujian, maka
model terbaik yang kami pilih untuk dianalisis adalah perubahan peneri
maan BPHTB merupakan fungsi dari perubahan pertumbuhan ekonomi,
Density (kepadatan penduduk), dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3.
Pengaruh Perubahan Pertumbuhan Ekonomi, Density, dan IKK
terhadap Perubahan Penerimaan BPHTB

LnBPHTB Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

LnPertumb.
0.8264954 0.2313143 3.57 0.000 0.3724806 1.28051
Eko.

LnDensity 0.8115440 0.0450224 18.03 0.000 0.7231757 0.8999123

LnIKK -0.2830037 0.6862218 -0.41 0.680 -1.629894 1.063886

Cons. 16.25419 3.2373860 5.02 0.000 9.899967 22.60841

Number of obs = 853


F( 3, 849) = 170.85
Prob > F = 0.0000
R-squared = 0.3764
Adj R-squared = 0.3742
Root MSE = 1.9389

Sumber: Data Hasil Olahan

Berdasarkan uji F dan nilai p value, dapat disimpulkan bahwa dengan


tingkat keyakinan 95%, model pada tabel di atas signifikan dalam men
jelaskan perubahan penerimaan BPHTB. Di samping itu, meskipun kemam
puan model dalam menjelaskan variasi dari perubahan penerimaan BPHTB
hanya sekitar 37%, namun koefisien arah dari semua variabel bebasnya
sesuai dengan hipotesa. Dimana perubahan pertumbuhan ekonomi mem
punyai pengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB dengan
koefisien arah sebesar 0,8264954, perubahan density juga mempunyai

Analisa dan Pembahasan 61


pengaruh positif terhadap perubahan penerimaan BPHTB dengan koefisien
arah sebesar 0,811544. Kedua variabel ini selain mempunyai pengaruh
positif sebagaimana hipotesis, juga signifikan secara statistik. Sementara
perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan
penerimaan BPHTB dengan koefisien arah sebesar -0,2830037. Pengaruh
variabel IKK yang negatif tersebut juga sesuai hipotesis, namun tidak
signifikan secara statistik.

4.3.3. Analisis dan Pembahasan


Hasil uji beda berpasangan telah membuktikan secara statistik bahwa
penerimaan BPHTB setelah pengalihan lebih tinggi dibandingkan sebelum
nya. Hasil ini seharusnya semakin menambah keyakinan, terutama bagi
pemerintah daerah, bahwa kebijakan pengalihan BPHTB ke daerah seba
gaimana diatur pada pasal 85 sampai dengan pasal 93 Undang-Undang
No. 28 tahun 2009 merupakan kebijakan yang baik dan sejalan dengan
semangat otonomi daerah. Meskipun demikian bukan berarti pengalihan
ini tidak ada masalah. Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-ma
sing daerah akan tampak bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru ber
hasil dipungut di 406 daerah (bandingkan dengan tahun 2010 yang ber
hasil dipungut di 461 daerah). Disamping itu, dari 406 daerah yang telah
memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan yang
sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil memungut
kurang dari Rp20 juta, sebagaimana tampak pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.4.
Daerah dengan Penerimaan BPHTB tahun 2011 di bawah Rp20 juta

No Daerah Penerimaan BPHTB (Rp)

1 Kab Aceh Singkil 13.000.000

2 Kab Gayo Lues 600.000

62 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
3 Kab Bener Meriah 2.800.000

4 Kab Pakpak Bharat 4.864.886

5 Kab Kepulauan Meranti 953.000

6 Kab Kerinci 500.000

7 Kota Sungai Penuh 2.608.548

8 Kab Kaur 7.626.950

9 Kab Bengkayang 19.318.985

10 Kab Katingan 8.468.400

11 Kab Bolaang Mongondow 12.600.000

12 Kota Kotamobagu 18.562.400

13 Kab Kep Siau Tagulandang Biaro 8.750.000

14 Kab Bolaang Mongondow Selatan 1.858.548

15 Kab Morowali 7.941.510

16 Kab Kepulauan Selayar 13.239.500

17 Kab Takalar 10.350.000

18 Kab Buton 1.000.000

19 Kab Dompu 15.525.000

20 Kab Flores Timur 164.000

21 Kab Lembata 14.423.175

22 Kab Sumba Barat 2.000.000

23 Kab Nagekeo 19.550.000

24 Kab Sumba Tengah 1.750.000

25 Kab Manggarai Timur 250.000

26 Kab Maluku Tengah 10.002.650

27 Kab Halmahera Barat 13.006.000

28 Kab Kep Anambas 3.000.000

Sumber: DJPK, Penerimaan BPHTB 2011

Analisa dan Pembahasan 63


Di samping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB su
atu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai transaksi
sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 menetapkan NPOPTKP
paling rendah Rp 60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi sebagian daerah, ter
utama yang memiliki prospek kurang baik dalam bisnis properti, dirasakan
terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelumnya melalui Undang-Undang
No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun
1997 tentang BPHTB, NPOPTKP itu ditetapkan secara regional setinggi-
tingginya Rp60 juta.
Oleh karena itu, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal
87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada
pemerintah daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60
juta, atau bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai de
ngan kesamaan karakteristik masing-masing daerah. Disamping itu, harus
ada kepastian hukum (tidak multi tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 belum memberikan batasan waktu
terkait apakah wajib pajak yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak
itu dalam tanggal yang sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seha
rusnya, seorang wajib pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak
atas tanah dan/atau bangunan lebih dari satu objek hanya akan diberikan
NPOPTKP satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap
aturan (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKP-
nya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membedakan
tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib pajak itu dapat
memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap perolehan hak. Kondisi
demikian tentu sangat merugikan bagi daerah, terutama pada daerah
yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Keinginan (aspirasi) yang seringkali dikemukakan terhadap daerah-
daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah adalah tetap adanya
semacam bantuan pusat sebagai pengganti bagi hasil BPHTB yang

64 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
sebelumnya mereka terima. Namun menurut kami keinginan seperti ini
kurang baik direalisasikan, disamping karena formula DAU sudah menam
pung dampak penurunan kapasitas fiskal akibat tidak adanya bagi hasil
BPHTB, juga karena bantuan pusat dimaksud akan menjadikan daerah
manja dan kurang kreatif dalam proses pemungutan BPHTB. Pemerintah
pusat memang harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Akan tetapi jenis bantuan yang diberikan
sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM, pendampingan untuk pe
rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan kuali
tas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama de
ngan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk
pemanfaatan teknologi informasi.
Sementara itu, hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa koefisien
arah semua variabel bebas sesuai dengan hipotesis.

1. Pertumbuhan Ekonomi
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap per
ubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka
penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerimaan BPHTB
bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti data, kualitas
SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung meningkatkan pe
nerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sangat terkait dengan se
berapa baik pemerintah daerah merancang dan menjalankan program
ekonominya.
Oleh karena itu, upaya untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi
tinggi adalah suatu keniscayaan jika daerah ingin memperoleh peningkatan
penerimaan BPHTB. Sudah barang tentu pertumbuhan ekonomi tinggi ha
nya akan terjadi jika investasi meningkat. Sementara investasi hanya akan
meningkat jika daerah itu dapat memahami potensinya, mampu meng
efisienkan birokrasi, menyediakan infrastruktur, menciptakan keamanan,

Analisa dan Pembahasan 65


dan melahirkan regulasi yang membuat daerah menjadi lebih kompetitif
(menarik). Untuk itu, bagi daerah dengan penerimaan BPHTB sangat ren
dah sebaiknya tidak menetapkan tarif BPHTB maksimum, yaitu 5%. Daerah
itu sebaiknya menetapkan tarif BPHTB yang lebih rendah dibanding dae
rah sekitarnya agar investor lebih tertarik masuk, atau daerah menetapkan
tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk tiap zona sesuai
dengan karakteristiknya.

2. Population Density
Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan penerimaan
BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga akan semakin
tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor penting dalam
penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya menggambarkan
tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan yang
menyebabkan harga akan meningkat. Peningkatan harga merupakan
sumber utama potensi peningkatan penerimaan BPHTB. Hal inilah yang
menjadi penyebab mengapa penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih
padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten. Hasil
pengolahan data pada tabel berikut membuktikan hal itu:

Tabel 4.5.
Uji Beda Rata-Rata Antara Penerimaan BPHTB Pemerintah Kota
dengan Penerimaan BPHTB Pemerintah Kabupaten Tahun 2011

t-Test: Two-Sample Assuming Equal variances

Kabupaten Kota

Mean 7373102876 50116748167

Variance 8.48658E+20 1.44944E+22

Observations 316 89

Pooled Variance 3.82837E+21

66 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Hypothesized Mean Difference 0

Df 403

t Stat -5.75672671

P(T<=t) one-tail 8.50753E-09

t Critical one-tail 1.648643452

P(T<=t) two-tail 1.70151E-08

t Critical two-tail 1.965867856

Sumber: Data Hasil Olahan

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata peneri


maan BPHTB Kota sekitar Rp50,11 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan
rata-rata penerimaan BPHTB Kabupaten yang hanya sekitar Rp7,37 miliar.
Hasil ini kembali menunjukkan bahwa penerimaan BPHTB tidak hanya
tergantung pada faktor internal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh
kemampuan pemerintah daerah membangun ekonominya. Suatu daerah
yang ekonominya maju akan mengundang orang dari daerah lain masuk,
untuk bekerja, berusaha, dan bertempat tinggal. Kehadiran lebih banyak
orang akan meningkatkan transaksi tanah dan bangunan yang berpotensi
meningkatkan penerimaan BPHTB. Dengan demikian, keberhasilan me
ningkatkan penerimaan BPHTB juga sangat terkait dengan kemampuan
pemerintah daerah menjadikan daerahnya menarik baik untuk tinggal
maupun untuk berusaha dan berinvestasi.

3. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)


Meskipun tidak signifikan secara statistik, namun arah hubungan antara
perubahan IKK dengan perubahan penerimaan BPHTB sudah sesuai de
ngan hipotesa. Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap
perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan
semakin buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan se
makin kecil penerimaan BPHTB. Dengan demikian, tidak heran jika Peme

Analisa dan Pembahasan 67


rintah Kota yang luas wilayahnya relatif kecil dengan ketersediaan infra
struktur relatif baik memiliki penerimaan BPHTB yang jauh lebih tinggi
dibanding Pemerintah Kabupaten yang jauh lebih luas dan minim infra
struktur.
Memperhatikan Tabel 4.4 yang menunjukkan data 28 kabupaten/
kota dengan penerimaan BPHTB terendah di Indonesia pada tahun 2011
akan tampak bahwa hanya ada 2 dari 28 daerah tersebut yang merupakan
Pemerintah Kota, yaitu Kota Sungai Penuh dan Kota Kotamobagu. Sisanya
merupakan daerah kabupaten yang sebagian besar terletak di kawasan
timur Indonesia dan merupakan daerah pemekaran yang memang memi
liki keterbatasan infrastruktur. Sebagai contoh, pada tahun 2011 Kabupa
ten Flores Timur dan Kabupaten Manggarai Timur masing-masing hanya
memperoleh penerimaan BPHTB sebesar Rp164.000,00 dan Rp250.000,00.
Temuan ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ketersediaan
infrastruktur bukan saja akan menjadi daya tarik bagi investasi masuk
serta kemajuan ekonomi, tetapi juga akan menjadi pendorong bagi pe
ningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Masyarakat
yang tinggal di daerah dengan infrastruktur baik akan termotivasi mem
bayar pajak karena merasa membutuhkan dan menikmati infrastruktur
yang baik tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah yang mengalami
penerimaan BPHTB rendah sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap
alokasi belanja dalam APBD nya agar proporsi untuk belanja modal (infra
struktur) terus mengalami kenaikan. Sementara Pemerintah Pusat juga
harus memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan untuk peningkatan
kapasitas SDM dan kualitas data, pendampingan untuk penyusunan pe
rencanaan dan anggaran, dan pendampingan untuk memperoleh pin
jaman dan melakukan kerjasama.

68 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
BAB V
Penutup

5. 1. Kesimpulan

B
erdasarkan analisis yang dilakukan baik menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, maka diperoleh beberapa simpulan
atas pengalihan BPHTB ke daerah sebagai berikut:

Permasalahan data merupakan permasalahan yang mendesak, terma


suk pemutakhiran data yang ada pada data base pemerintah daerah.
Selain itu peran SDM sangat penting didalam operasionalisasi penge
lolaan BPHTB di daerah. Untuk itu, perlu dikembangkan kerjasama
dengan lembaga lain (KPP) untuk pengembangan dan penguatan
SDM di pemerintah daerah. Pemutakhiran NJOP dengan mempertim
bangkan nilai Zona Nilai Tanah untuk menghasilkan nilai NJOP
yang semakin mendekati nilai transaksi, sekaligus menghindari tran
saksi diam-diam;
Penyerahan data, dari pemerintah pusat, dalam hal ini KPP perlu ce
pat dilakukan dengan pertimbangan optimalisasi penerimaan BPHTB
di daerah. Selain itu, diseminasi terkait dengan kesadaran pajak, perlu
dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat;

PENUTUP 69
Kerjasama yang baik antar lembaga yang terkait dengan pengelolaan
BPHTB (misal: dibentuk forum) seperti Notaris, PPAT, BPN, KPP serta
pemda sendiri sangat penting untuk menghasilkan nilai transaksi yang
mendekati nilai sebenarnya serta meningkatkan layanan yang baik
kepada wajib pajak;
Perlu segera dibentuk SOTK yang fokus mengurusi bidang PBB dan
BPHTB serta merumuskan SOP yang jelas mengenai standar pelayanan
agar masing-masing kecamatan daerah memiliki standar pelayanan
yang sama;
Penerapan teknologi informasi mendesak dilakukan untuk mencipta
kan proses yang lebih transparan dan peningkatan pelayanan kepada
pembayar pajak;
Hasil uji beda berpasangan membuktikan secara statistik bahwa
terdapat perbedaan antara penerimaan BPHTB tahun 2010 yang
dipungut oleh pusat dengan penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah. Dimana penerimaan BPHTB tahun 2011 yang
dipungut oleh daerah (Rp20.357.307.332,00) sedikit lebih tinggi dari
penerimaan BPHTB tahun 2010 yang dipungut oleh pusat
(Rp19.632.885.530,00).
Dengan demikian, meskipun tahun 2011 merupakan tahun pertama
pemungutan BPHTB oleh daerah, yang dari analisis kualitatif diketahui
bahwa daerah masih menghadapi banyak masalah dalam proses
pemungutan ini, seperti kelembagaan, data, teknologi, SDM, dan
lain-lain, tetapi hasilnya ternyata tidak menurun sebagaimana dikha
watirkan beberapa pemerintah daerah, bahkan sedikit lebih tinggi
dari tahun sebelumnya yang masih dipungut oleh pemerintah pusat.
Fakta ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat (on the right
track) untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah.
Meskipun demikian bukan berarti pengalihan ini tidak ada masalah.
Kalau diperhatikan lebih dalam untuk masing-masing daerah tampak

70 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
bahwa penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406
daerah, masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang
berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah yang
telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan
yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil
memungut kurang dari Rp20 juta.
Disamping karena faktor internal, rendahnya penerimaan BPHTB su
atu daerah juga disebabkan oleh rendahnya potensi, dimana nilai
transaksi sebagian besar berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Undang-Undang No. 28 tahun 2009 me
netapkan NPOPTKP paling rendah Rp60 juta. Nilai NPOPTKP ini bagi
sebagian daerah, terutama yang memiliki prospek kurang baik dalam
bisnis properti, dirasakan terlalu tinggi. Apalagi mengingat sebelum
nya melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, NPOPTKP
itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp60 juta.
Penerimaan BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor inter
nal seperti data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat
langsung meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ter
nyata sangat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah me
rancang dan menjalankan program ekonominya, seberapa menarik
suatu daerah menjadi tempat tinggal, tempat berusaha, dan tempat
berinvestasi, dan seberapa baik kondisi infrastruktur yang disediakan
oleh pemerintah daerah.
Perubahan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap
perubahan penerimaan BPHTB, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
maka penerimaan BPHTB juga akan semakin tinggi. Artinya, penerima
an BPHTB bukanlah proses sederhana, yang jika faktor internal seperti
data, kualitas SDM, IT, dan lain-lain diperbaiki akan dapat langsung
meningkatkan penerimaan BPHTB. Penerimaan BPHTB ternyata sa

PENUTUP 71
ngat terkait dengan seberapa baik pemerintah daerah merancang
dan menjalankan program ekonominya.
Perubahan density berpengaruh positif terhadap perubahan peneri
maan BPHTB, semakin tinggi density maka penerimaan BPHTB juga
akan semakin tinggi. Artinya, kepadatan penduduk merupakan faktor
penting dalam penerimaan BPHTB. Daerah yang padat penduduknya
menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah
dan bangunan yang menyebabkan harga akan meningkat. Pening
katan harga merupakan sumber utama potensi peningkatan peneri
maan BPHTB. Buktinya, penerimaan BPHTB Kota (yang biasanya lebih
padat) jauh lebih tinggi dibanding penerimaan BPHTB kabupaten.
Perubahan IKK mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan
penerimaan BPHTB, semakin tinggi IKK yang menunjukkan semakin
buruknya kondisi infrastruktur di suatu daerah, maka akan semakin
kecil penerimaan BPHTB.

5.2. Rekomendasi

Bagi Pemerintah Pusat


Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan
(5) perlu direvisi dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah
daerah dalam menetapkan NPOPTKP setinggi-tingginya Rp60 juta, atau
bisa juga dengan menetapkan NPOPTKP per klaster sesuai dengan
kesamaan karakteristik masing-masing daerah.
Pemerintah harus memastikan adanya kepastian hukum (tidak multi
tafsir) terhadap penetapan NPOPTKP. Undang-Undang No. 28 tahun
2009 belum memberikan batasan waktu terkait apakah wajib pajak
yang memperoleh NPOPTKP memperoleh hak itu dalam tanggal yang
sama/bulan yang sama/tahun yang sama. Seharusnya, seorang wajib
pajak yang pada saat yang sama memperoleh hak atas tanah dan/

72 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
atau bangunan lebih dari satu objek hanya akan diberikan NPOPTKP
satu kali. Akan tetapi karena ketidakjelasan interpretasi terhadap atur
an (multi tafsir), maka wajib pajak seringkali berusaha agar NPOPTKP-
nya dapat diberikan pada setiap transaksi perolehan dengan membe
dakan tanggal dan bulan saat perolehan haknya, sehingga wajib
pajak itu dapat memperoleh pengurang NPOPTKP pada setiap per
olehan hak. Kondisi demikian tentu sangat merugikan bagi daerah,
terutama pada daerah yang harga tanahnya masih relatif rendah.
Pemerintah harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan pe
nerimaan BPHTB sangat rendah. Jenis bantuan yang diberikan seba
iknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti
pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya
penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) untuk menghasil
kan NJOP yang mendekati nilai transaksi, pendampingan untuk pe
rumusan regulasi, SOP, dan program, pelatihan untuk peningkatan
kualitas data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja
sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pela
tihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.

Bagi Pemerintah Daerah


Daerah dengan penerimaan BPHTB sangat rendah sebaiknya tidak
menetapkan tarif BPHTB maksimum (5%), sebaliknya untuk lebih
menarik bagi investor, maka daerah tersebut harus menetapkan tarif
BPHTB yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah
menetapkan tarif BPHTB yang bervariasi antara 0% hingga 5% untuk
tiap zona sesuai dengan karakteristiknya.
Pemerintah daerah harus bisa menjadikan daerahnya menarik baik
untuk tinggal maupun untuk berusaha dan berinvestasi melalui pu
blikasi potensi daerah, efisiensi birokrasi, penyediaan infrastruktur,

PENUTUP 73
penciptaan keamanan, dan penyediaan regulasi yang menjamin ke
pastian hukum.
Pemerintah Daerah terutama yang mengalami penerimaan BPHTB
rendah harus melakukan evaluasi terhadap alokasi belanja dalam
APBD nya agar proporsi belanja modal (infrastruktur) terus mengalami
kenaikan. Dengan harapan bahwa pengembangan infrastruktur akan
meningkatkan nilai tanah dan bangunan di daerah tersebut.

74 Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Daftar Pustaka

Andrea, Monza, 2012, Permasalahan-permasalahan yang Terkait dengan


Penarikan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Untuk
Bekas Tanah Adat di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Skripsi
(Tidak Diterbitkan), Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Ikhsan, Muhammad, 2006, Analisis Sistem Aplikasi Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan Cibinong, Tesis (Tidak Diterbitkan), Jakarta: Univer
sitas Indonesia.
Karpala, Doni, 2007, Efektivitas, Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Pajak
BPHTB terhadap Bagi Hasil Pajak Kota Bandar Lampung, Tesis (Tidak
Diterbitkan), Lampung: Universitas Lampung.
Pokok-pokok Pengaturan Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, http://www.syukriy.wordpress.
com/2009/10/17/

DaftAR PUSTAKA 75
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Analisa Dampak
Pengalihan
Pemungutan BPHTB
Ke Daerah Terhadap
Kondisi Fiskal Daerah
PENULIS
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Eddy Suratman Universitas Tanjungpura
Dr. Abdul Hamid Paddu Universitas Hasanuddin

EDITOR
Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak Universitas Indonesia
Dr. Hefrizal Handra Universitas Andalas

TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN


BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2012
Gedung Radius Prawiro Lantai 9
Jl.Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat
www.djpk.depkeu.go.id
Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP Australian
FOR DECENTRALISATION (AIPD) AID

You might also like