You are on page 1of 45

Tugas Tutorial

Seksio Sesaria Atas indikasi Malpresentasi Malposisi

Residen
Dr. Gita Adelia Sari

Pemandu
Dr. H. Zaimursyaf Aziz, SpOG(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

I. PENDAHULUAN

Seksio sesarea telah menjadi operasi yang paling sering dilakukan di berbagai negara. Di
Amerika, frekuensi bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea terus meningkat lebih dari
50% dari tahun 1996 sampai 31,8% pada tahun 2007. 1 Alasan meningkatnya angka ini
bermacam-macam. Persalinan yang lambat, peningkatan indeks massa tubuh, kemajuan
teknologi ultrasonografi dalam mendeteksi kelainan kehamilan, permintaan dari pasien,
ketakutan akan persalinan pervaginam, dan juga pilihan aman bagi para ahli obstetri untuk
menghindari cedera pada persalinan dengan tindakan yang dapat berakhir dengan tuntutan
malpraktik.
Berbagai macam penelitian mengenai teknik seksio sesarea telah banyak dilakukan. Hal
ini tentu saja untuk mencari teknik terbaik sehingga morbiditas dan mortalitas dalam seksio
sesara dapat dihindari. Banyak penelitian yang dilakukan mulai dari penelitian tentang perlu
tidaknya pemberian antibiotik profilaksis, saat yang tepat dalam pemberian antibiotik, jenis
insisi pada dinding abdomen, mulai dari kutis, subkutis, fasia, peritoneum, insisi pada uterus,
cara melahirkan bayi, teknik penjahitan, penutupan uterus, dinding abdomen, sampai
perawatan post operatif.
Tidak ada prosedur baku dalam teknik seksio sesarea. Di tiap negara, setiap rumah sakit,
atau bahkan di setiap senter pendidikan pun dapat berbeda-beda. Setiap ahli obstetri pun
seringkali memiliki teknik yang berbeda, berawal dari apa yang mereka pelajari di buku,
sampai akhirnya berkembang karena pengalaman yang dimiliki para ahli obstetri tersebut.2
II. DEFINISI

Seksio sesarea didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui sayatan pada dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin
dari rongga abdomen dalam kasus ruptur uterus atau dalam kasus kehamilan abdominal.
Dalam beberapa kasus, dan yang paling sering adalah perdarahan post partum, dimana
histerektomi abdominal dilakukan setelah bayi lahir. Ketika dilakukan pada saat seksio
sesarea, operasi seksio sesarea disebut histerektomi. Jika dilakukan dalam waktu singkat
setelah persalinan pervaginam, hal ini disebut histerektomi postpartum.3
III.

SEJARAH SEKSIO SESAREA


Asal dari istilah seksio sesarea tidak diketahui dengan pasti, namun terdapat tigateori yang
dikenal sampai saat ini. Yang pertama, menurut legenda, Julius Caesar dilahirkan dengan
cara ini, dengan hasil bahwa prosedur ini dikenal sebagai operasi caesar. Namun beberapa
pendapat meragukan penjelasan ini. Pertama, ibu dari Julius Caesar hidup selama bertahuntahun setelah kelahirannya pada 100 SM, dan hingga akhir abad ke-17, operasi itu hampir
selalu berakibat fatal. Kedua, operasi tersebut, apakah dilakukan pada hidup atau mati, tidak
disebutkan oleh penulis medis sebelum abad pertengahan. Rincian sejarah tentang asal-usul
nama keluarga Caesar ditemukan dalam monografi oleh Pickrell (1935).3
Teori kedua adalah bahwa nama operasi ini berasal dari hukum Romawi, konon dibuat pada
abad ke-8 SM oleh Numa Pompilius, memerintahkan bahwa prosedur bedah dalam
melahirkan anak dilakukan pada perempuan yang telah meninggal dalam beberapa minggu
terakhir kehamilan dengan harapan dapat menyelamatkan sang anak. Hukum ini dibuat oleh
ini raja Romawi sat itu, Lex Regia, yang kemudian dikenal menjadi lex caesarea, dan
operasi itu sendiri dikenal sebagai operasi caesar.
Penjelasan ketiga adalah bahwa kata ini muncul pada abad pertengahan , yang berasal dari
caedere , kata kerja latin, yang berarti untuk memotong. Penjelasan ini tampaknya adalah
yang paling logis. Di Amerika Serikat, huruf ae di suku kata pertama caesar diganti
dengan huruf e. Di Inggris, Australia, dan sebagian besar negara persemakmuran, huruf ae
ini tetap dipertahankan.3

IV.

PERUBAHAN PADA INDIKASI SEKSIO SESAREA


Dulu, indikasi untuk melakukan seksio sesarea terbatas pada persalinanpervaginam yang
gagal dalam obervasi dengan kurva Friedman ataupun dengan partograf WHO (secondary
cesarean). Selain itu juga seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi janin seperti gawat
janin, letak melintang (primarycesarean), dan lain sebagainya.

Namun dengan kesadaran akan pentingnya meningkatkan pelayanan dalam menurunkan


morbiditas dan mortalitas ibu dan anak, ditambah dengan semakin berkembangnya tehnologi
ultrasonografi, dan berbagai studi yang banyak dilakukan, maka indikasi untuk melakukan
seksio sesarea semakin bertambah, mulai dari presentasi dengan kepala defleksi,
oligohidramnion, panjang serviks, serta profil biofisik, sehingga angka seksio sesarea
semakin meningkat.
Jun Zhang dan kawan-kawan (2010) dalam penelitiannya yang dilakukan pada 19 rumah
sakit ternama di Amerika Serikat, mendapatkan angka 30,5% dengan variasi sekitar 20%
sampai 44% angka kejadian seksio sesarea. Pada penelitiannya, ia menggolongkan seksio
sesarea menjadi empat kategori, yaitu seksio sesarea primer, seksio sesarea sekunder, seksio
sesarea berulang, seksio sesarea dimana ibu belum memasuki fase persalinan atau inpartu
(prelaborcesarean) , dan saat inpartu (intrapartum cesarean).1
Pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, prevalensi seksio sesarea meningkat dua kali
lipat (21,0%). Hal yang sama juga terjadi pada wanita dengan
usia lebih dari 35 tahun (42%). Obesitas merupakan salah satu faktor yang mendominasi
indikasi dilakukan seksio sesarea pada tiap-tiap kategori grup. Sedangkan berdasarkan
paritas, tidak didapatkan perbedaan prevalensi yang berarti, dimana nullipara berada di
angka 30,0%, dan multipara 31,2%.
Pada persalinan yang dilakukan induksi, didapatkan juga prevalensi seksio sesarea yang
meningkat lebih dari dua kali lipat. (21,1% vs 11,8%). Pada wanita dengan riwayat seksio
sesarea, didapatkan angka 83,6% prevalensi seksio sesarea.Angka yang mengejutkan juga
didapatkan pada persalinan yang bukan dengan presentasi belakang kepala, dimana
prevalensinya adalah 92,8%.1
Prevalensi seksio sesarea juga meningkat hampir tiga kali lipat pada presentasi bokong,
dimana didapatkan angka 88,3% seksio sesarea pada presentasi bokong, dengan atau tanpa
penyulit. Hal yang hampir sama juga didapatkan pada pasien dengan pecah ketuban dan
prematur. Meningkatnya prevalensi ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Berghella dan kawan-kawan (2005), dimana seksio sesarea dilakukan atas indikasi
permintaaan pasien sendiri.2
Indikasi1,2
Indikasi ibu:
- Panggul sempit absolute
- Plasenta previa sentralis dan lateralis

Disproporsi sefalo pelvic


Rupture uteri imminen
Partus lama/ partus macet/ partus tak maju
Distosia serviks
Preeklampsi dan hipertensi

Indikasi janin:
-

Kelainan letak (letak lintang, letak bokong)


Gawat janin
Presentasi dahi atau muka
Presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil
Gemelli, bila: janin pertama lintang, terjadi interloking, distosia karena adanya tumor,
dll

V. ANATOMI ABDOMEN
A. Anatomi dinding abdomen
Dinding abdomen disusun sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi untuk mengatur
pergerakan rahim serta memberikan perlindungan isi abdomen dan alat genitaila wanita.
Susunan dinding abdomen antara lain:3,4
1. kulit
2. lemak subkutan,
Terdiri dari jaringan lemak yang disekat oleh septum sehingga perut menjadi lebih tegang
untuk menahan organ visera, septum jaringan ikat ini dibentuk oleh dua fasia yang sulit
dipisahkan, yaitu:
- jaringan lemak superficial (Fascia camper)
- lapisan membranosa (fascia Scarpa)
3. Dinding abdomen bagian otot:
- Otot-otot dinding ventral abdomen:
M. rectus abdominis
M. piramidalis
- Otot-otot dinding lateral abdomen:
M. obliquus abdominis eksterna
M. obliquus abdoiminis interna
M. transverses abdominis
4. Fascia transversalis
5. Peritoneum
Merupakan suatu selaput tipis dan mengkilap yang melapisi dinding kavum
abdomen dari sebelah dalam. Peritoneum dibagi menjadi:
-

Peritoneum parietalis
Langsung melekat pada dinding abdomen
Peritoneum viseralis

Menutupi organ-organ viseralis, peritoneum yang menhubungkan organ dan


dinding abdomen ini disebut mesenterium.

Kuadran abdomen

Abdomen dibagi menjadi 9 regio oleh dua garis vertikal dan dua garis horizontal:4
1. Garis vertikal:
Melalui pertengahan antara spina iliaka anterior superior dan simfisis pubis
2. Garis horizontal:
-

Bidang subkostalis, menghubungkan titik terbawah tepi kosta satusama lain,


merupakan tepi inferior tulang rawan kosta X dan terletak bersebrangan dengan

vertebra lumbalis III.


Bidang intertuberkularis, menghubungkan tuberkulum pada Krista iliaka yang
terletak setinggi korpus vertebra lumbalis V.

B. Anatomi Genitalia Interna

1. Uterus dan Serviks


Uterus merupakan organ fibromuskuler yang terletak antara vesiko urinaria dan rektum. Bentuk
dan ukuran uterus bervariasi, tergantung pada paritas dan stimulasi estrogen. Pada wanita dewasa
yang tidak hamil, berat uterus kira-kira 30-40 gram dengan panjang kira-kira 7 cm dan lebar 5
cm.3-4
Bagian-bagian uterus yaitu:
a. Fundus Uteri, merupakan bagian uterus yang cembung dan terletak di sebelah ventrokranial
dari tempat masuknya tuba kedalam uterus.
b. Korpus Uteri, merupakan bagian utama uterus yang makin kearah dorsokaudal makin
mengecil dan berakhir pada isthmus.
c. Isthmus Uteri, merupakan bagian ueterus yang sempit dan terletak antara korpus dan
serviks.
d. Serviks Uteri, dimulai dari bagian bawah isthmus uteri sepanjang kira-kira 2 cm.
Dindingnya sebagian besar tersusun dari jaringan ikat.
Vaskularisasi Uterus
a. Arteri Uterina, berjalan dari dinding pelvis kearah medial menuju serviks. Setelah
mencapai serviks, arteri ini bercabang ke serviks dan vagina bagian atas. Selanjutnya
berjalan ke kranial diantara kedua lapisan ligamen latum sepajang margo lateralis uteri
sambil memberikan cabang-cabang untuk korpus uteri.
b. Arteri ovarika.

2. Tuba Falopii
Merupakan organ berbentuk tubular dengan panjang kira-kira 8 cm. Tuba falopii divaskularisasi
dari cabang-cabang arteri dan vena ovarika. Tuba falopii terdiri dari beberapa bagian yaitu: 3-4
a. Pars Uterina, yaitu bagian tub yang berjalan didalam dinding uterus.
b. Isthmus yaitu bagian tuba yang menyempit.
c. Ampula yaitu bagian tuba yang paling lebar
d. Infundibulum, bagian ujung dari tuba yang bentuknya seperti terompet dan mempunyai
lubang yang disebut ostium abdominalis yang merupakan jalan masuk ovum kedalam tuba.
Diameter abdominalis ini sekitar 2 mm.
3. Ovarium
Berbentuk oval, berukuran 3x2x1 cm. Letak ovarium berada di fossa waldeyer, yaitu bagian
pelvis yang berada pada sudut antara vena iliaka eksterna dan ureter. Vaskularisasi ovarium
berasal dari arteri dan vena ovarika dan cabang ovarium dari arteri uterina.

DEFINISI MALPRESENTASI
Pengertian Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex,sedangkan Malposisi
adalah kepala janin relatif terhadap pelvix dengan oksiput sebagai titik referensi,masalah: janin
yang dalam keadaan malpresntasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau
partus macet.
KONSEP DASAR KELAINAN PADA MALPRESENTASI
1. Presentasi Oksiput Posterior
Pada

letak belakang kepala biasanya ubun- ubun kecil akan memutar ke depan dengan

sendirinya dan janin lahir secara spontan. Kadang -kadamg UUK tidak berputar kedepan tetapi
tetap berada di belakang, yang disebut POSITIO OCIPUT POSTERIOR. Dalam mengahadapi
persalinan d imana UUK terdapat di belakang kita harus sabar, sebab rotasi kedepan kadangkadang baru terjadi di dasar panggul..
v Etiologi
a.

Sering dijumpai pada panggul andropoid, endroid dan kesempitan midpelvis.

b.

Letak

c.

punggung janin dorsoposterior

d. Putar paksi salah satu tidak berlangsung pada :


1) . Perut gantung
2). Janin kecil atau janin mati
3). Arkus pubis sangat luas
4) . Dolichocephali
5) . Panggul sempit
v Patofisiologi
Kelahiran janin dengan ubun- ubun kecil dibelakang menyebabkan regangan yang besar pada
vagina dan perineum, hal ini disebabkan karena kepala yang sudah dalam keadaan fleksi

maksimal tidak dapat menambah fleksinya lagi. Selain itu seringkali fleksi kepala tidak dapat
maksimal, sehingga kepala lahir melalui pintu bawah panggul dengan sirkumferensia
frontooksipitalis yang lebih besar dibandingkan dengan sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Oleh sebab itu persalinan pada umumnya berlangsung lama, yang mengakibatkan kerusakan
jalan lahir lebih besar, dan kematian perinatal lebih tinggi bila dibandingkan dengan keadaan
di mana ubun- ubun kecil berada di depan.
v Diagnosis
a.

Pemeriksaan abdomen

Bagian bawah perut mendatar, ekstremitas janin teraba anterior.


b.

Auskultasi

DJJ terdengar di samping


c.

Pemeriksaan vagina

Fontanella posterior dekat sakrum, fontanella anterior dengan mudah teraba jika kepala
dalamkeadaan defleks.
v Penanganan
Dalam menghadapi persalinan dengan ubun- ubun

kecil di belakang sebaiknya dilakukan

pengawasan persalinan yang saksama dengan harapan terjadinya persalinan spontan. Tindakan
untuk mempercepat persalinan dilakukan apabila kala II terlalu lama, atau adanya tanda- tanda
bahaya terhadap janin. Tindakan yang dilakukan yaitu : ekstraksi cunam atau ektraksi vakum.
2.

Presentasi puncak kepala

Presentasi puncak kepala adalah keadaan dimana puncak kepala merupakan bagian terendah, hal
ini terjadi apabila derajat defleksinya ringan.
Presentasi puncak kepala adalah presentasi kepala dengan defleksi/ekstensi minimal dengan
sinsiput merupakan bagian terendah.
Presentasi puncak kepala adalah bagian terbawah janin yaitu puncak kepala, pada pemeriksaan
dalam teraba UUB yang paling rendah, dan UUB sudah berputar ke depan (Muchtar, 2002).

v Etiologi
Menurut statistik hal ini terjadi pada 1% dari seluruh persalinan. Letak defleksi ringan dalam
buku synopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi (2002) biasanya disebabkan:
1.

Kelainan panggul (panggul picak)

2.

Kepala bentuknya bundar

3.

Anak kecil atau mati

4.

Kerusakan dasar panggul

Sedangkan sebab lainnya yaitu :


Penyebabnya keadaan keadaan yang memaksa terjadi defleksi kepala atau keadaan yang
menghalangi terjadinya fleksi kepala.
1.

Sering ditemukan pada janin besar atau panggul sempit.

2.

Multiparitas, perut gantung

3.

Anensefalus, tumor leher bagian depan.

v Patofisiologi
Pada kehamilan normal, kepala janin pada waktu melewati jalan lahir berada dalam keadaan
fleksi tetapi pada kasus ini fleksi tidak terjadi sehingga kepala dalam keadaan defleksi, jadi yang
melewati jalan lahir adalah sirkumferensia frontooksipitalisdengan titik perputaran yang berada
di bawah simfisis ialah glabella (Sarwono,2005).
Dengan posisi seperti itu mengakibatkan terjadinya partus lama dan robekan jalan lahir yang
lebih luas selain itu karena partus lama dan moulage yang hebat maka mortalitas perinatal agak
tinggi (9%) (Moctar,2002).
v Diagnosis
Pada pemeriksaan dalam didapati UUB paling rendah dan berputar ke depan atau sesudah anak
lahir caput terdapat di daerah UUB.
Diagnosis kedudukan : Presentasi puncak kepala

1. Pemeriksaan abdominal
a. Sumbu panjang janin sejajar dengan sumbu panjang ibu
b. Di atas panggul teraba kepala
c. Punggung terdapat pada satu sisi, bagian-bagian kecil terdapat pada sisi yang berlawanan
d. Di fundus uteri teraba bokong
e. Oleh karena tidak ada fleksi maupun ekstensi maka tidak teraba dengan jelas adanya tonjolan
kepala pada sisi yang satu maupun sisi lainnya.
2. Auskultsi
Denyut jantung janin terdengar paling keras di kuadran bawah perut ibu, pada sisi yang sama
dengan punggung janin
3. Pemeriksaan vaginal
a. Sutura sagitalis umumnya teraba pada diameter transversa panggul,
b. Kedua ubun-ubun sama-sama dengan mudah dapat diraba dan dikenal. Keduanya sama tinggi
dalam panggul.
4. Pemeriksaan sinar- X
Pemeriksaan radiologis Presentasi Puncak Kepala membantu dalam menegakkan diagnosis
kedudukan dan menilai panggul.
v Penanganan
a. Dapat ditunggu kelahiran spontan
b. Episiotomi
c. Bila 1 jam dipimpin mengejan tak lahir, dan kepala bayi sudah didasar panggul, maka
dilakukan ekstraksi forcep. Usahakan lahir pervaginam karena kira-kira 75 % bisa lahir spontan.
Bila ada indikasi ditolong dengan vakum/forsep biasanya anak yang lahir di dapati caput daerah
UUB (Mochtar, 2002).
3. Presentasi dahi

Persentase dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi
maksimal,sehingga dahi merupakan bagian terendah. Pada umumnya presentasi dahi ini hanya
bersifat sementara, dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau belakang
kepala.
v Etiologi
Sebab terjadinya presentasi dahi pada dasarnya sama dengan sebab terjadinya presentasi muka
yaitu:
1.Panggul sempit
2.Janin besar
3.Multiparitas
4.Kelainan janin (anansefalus)
v Patofisiologi
Karena kepala turun melalui pintu atas panggul dengan sirkumferensia maksilloparietalis (35cm)
yang lebih besar daripada lingkar pintu atas panggul maka janin dengan berat dan besar normal
tidak bisa lahir secara pervaginam kecuali janin yang kecil masih mungkin lahir spontan. Hal itu
bisa mengakibatkan persalinan lama, robekan jalan lahir yang lebih luas dan kematian perinatal.
v Diagnosis
a.

Pemeriksaan abdomen

Dada janin akan teraba seperti punggung, dan bagian kepala menonjol diarah yang berlawanan.
b.

Auskultasi

DJJ terdengar jelas di salah satu sisi abdomen ibu


c.

Pemeriksaan vagina

Akan teraba sutura frontalis, yang bila diikuti, pada ujung yang satu diraba ubun- ubun besar dan
pada ujung lain teraba pangkal hidung dan lingkaran orbita.
v Penanganan

Presentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang normal, tidak akan dapat lahir spontan per
vaginam, sehingga harus dilahirkan dengan seksio sesarea. Pada janin yang kecil dan panggul
yang luas pada garis besarnya sikap dalam mengahadapi persalinan presentasi dahi sama dengan
sikap dalam menghadapi presentasi muka.
Bila persalinan menunjukkan kemajuan, tidak perlu dilakukakn tindakan. Demikian pula bila
harapanpresentasi dahi dapat berubah menjadi presentasi belakang kepala atau presentasi muka.
Jika pada akhir kala I kepala belum masuk kedalam kedalam rongga panggul, dapat diusahakan
mengubah presentasi dengan parasat thorn, tetapi jika tidak berhasil, sebaiknya dilakukan SC.
Meskipun kepala sudah masuk ke rongga panggul, tetapi bila kala II tidak mengalami kemajuan
sebaiknya dilakukan SC.
Penanganan lain yaitu : jika janin mati dan pembukaan lengkap dilakukan kraniotomi.
4. Presentasi muka
Letak muka adalalah letak kepala dengan defleksi maksimal, hingga occiput mengenai
punggung dan muka terarah kebawah. Presentasi muka dikatakan primer apabila sudah terjadi
sejak masa kehamilan, dan dikatakan sekunder bila baru terjadi pada waktu persalinan.
v Etiologi
Pada umumnya penyebab terjadinya presentasi muka adalah keadaan- keadaan yang memaksa
terjadinya defleksi kepala atau keadaan-keadaan yang menghalangi terjadinya defleksi kepala.
Yaitu karena:
1.

Panggul sempit

2.

Janin besar

3.

Multiparitas

4.

Perut gantung

5.

Kelainan janin (anensefalus)

6.

Lilitan tali pusa.

v Patofisiologi
Pada umumnya persalinan pada presentasi muka berlangsung tanpa kesulitan. Hal ini dapat
dijelaskan karena kepala masuk ke dalam panggul dengan sirkumferensia trakeloparietal yang
sedikit lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipitobregmatika. Tetapi kesulitan dapat terjadi
karena

adanya kesempitan panggul dan janin besar yang merupakan penyebab terjadinya

presentasi muka karena kepala menagalami defleksi.


v Diagnosis
a.

Pemeriksaan abdomen

Sama pada presentasi dahi yaitu ketika dipalpasi akan teraba dada yang seperti punggung, bagian
kepala yang menonjol yang berada di sebelah berlawanan dengan letak dada.
b.

Auskultasi

DJJ terdengar jelas di bagian sisi abdomen ibu


c.

Pemeriksaan vagina

Akan teraba dagu, mulut, hidung dan pinggir orbita.


v Penanganan
Pada persalinan dengan presentasi muka harus dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk
menentukan adanya disproporsi sefalopelvik dan apabila ada harus dilakukan seksio sesarea. Dan
indikasi lain dilakukannya Sc yaitu posisi mento posterior persistens dan sulitnya kepala turun
dalam rongga panggul (CPD). Dan apabila pembukaan belum lengkap, dan tidak ada tandatanda CPD, dilakukan drip oksitosin dan lakukan persalinan sama dengan persalinan vertex.
Dalam keadaan tertentu dapat dicoba untuk mengubah presentasi muka menjadi presentasi
belakang kepala dengan cara perasat Thorn. Dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.

Dagu harus berada dibelakang, sebab bila dagu berada di depan akan terjadi presentasi

belakang kepala dengan ubun-ubun kecil dibelakang yang tidak lebih menguntungkan bila
dibandingkan dengan presentasi muka dengan dagu di depan.
2.

Kepala belum turun ke dalam rongga panggul dan masih mudah didorong ke atas.

C. KONSEP DASAR KELAINAN PADA MALPOSISI


1) Letak sungsang
v Defenisi dan kiteria
Letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang

terendah

(persentasi bokong ) di bagi menjadi:

a.

Letak bokong murni (franch breech) : bokong yang menjadi bagian depan ,kedua tungkai

lurus keatas
b.

Letak bokong kaki (complete breech) : di samping bokong teraba kaki,biasa disebut letak

bokong kaki sempurna jika di samping bokong teraba kedua kaki atau tidak sempurna jika di
samping bokong teraba satu kaki
c.

Letak bokong tak sempurna: teraba bokong dan disamping bokong teraba kaki.

d.

Letak kaki ( incomplete brech presentation ) : bila bagian terendah teraba salah satu dan

kedua kaki atau lutut. Dapat dibedakan letak kaki bila kaki terendah, letak lutut bila lutut yang
terendah.
v Etilogi
1. Sudut ibu
a. Keadaan rahim
- Rahim arkuatus
- Septum pada rahim
- Uterus dupleks
- Mioma bersama kehamilan.
b. Keadaan plasenta
- Plasenta letak rendah

- Plasenta previa
c. Keadaan jalan lahir
- Kesempitan panggul
- Deformitas tulang panggul
- Terdapat tumor menghalangi jalan lahir dan perputaran ke posisi kepala.
2. Sudut janin
- Tali pusat pendek atau lilitan tali pusat
- Hidrosefalus atau anensefalus
- Kehamilan kembar
- Hidramnion atau oligohidramnion
- Prematuritas
v Patofisiologi
Bayi letak sungsang disebabkan :
1. Hidramnion

: anak mudah bergerak karena mobilisasi

2. Plasenta Previda

: Menghalangi kepala turun ke panggul

3. Panggul Sempit

: Kepala susah menyesuaikan ke jalan lahir

v Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa maka yang harus dilakukan adalah dengan melakukan:
(a) Anamnesis : Pergerakan anak teraba oleh ibu di bagian perut bawah, ibu sering
merasa ada benda keras(kepala) yang mendesak tulang iga dan rasa nyeri pada
daerah iga karena kepala janin.

(b) Palpasi : Teraba bagian keras , bundar, melenting pada fundus. Punggung dapat diraba pada
salah satu sisi perut , bagian kecil, pada sisi yang berlawanan,jelas pada tempat diatas simpisis
teraba bagian yang kurang bundar dan lunak.
(c)

Auskultasi : Denyut jantung janin(DJJ) sepusat atau DJJ ditemukan paling jelas
pada tempat yang lebih tinggi( sejajar atau lebih tinggih dari pusat).

(d) Vagina toucher : Terbagi 3 tonjolan tulang yaitu kedua tubera ossis ischii dan
ujung os sacrum , anus, genetalia anak jikan oedema tidaknterlalu besar dapat
diraba.

20

VI.

MANAJEMEN PRAOPERASI
A. Pemeriksaan praoperasi
Mutlak dilakukan sebelum operasi, meliputi:3-4
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui permasalahan yang ada
-

dan yang dioerkirakan dapat muncul selama operasi


Menilai sistem kardiovaskuler dan resirasi pasien.
Pemeriksaan penunjang
Konsultasi dengan ahli anestesi

B. Informend consent (persetujuan atas penjelasan)


Setiap tindakan medis memerlukan persetujuan atas penjelasan baik secara lisan
maupun tulisa, kecuali untuk tindakan darurat yang bertujuan menyelamatkan
jiwa.
Menurut UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 45 ayat 3,
informasi yang harus diberikan meliputi:3
- Diagnosis dan tatacara tindakan medis
- Tujuan tindakan medis yang dilakukan
- Alternatif tindakan lain dan risikonya
- Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
C. Puasa
Sebaiknya puasa minimal enam jam sebeum operasi, kecuali minum air putih
dapat dilakukan hingga dua jam sebelum operasi dimulai. 3

D. Pencegahan infeksi
- Pemberian antibiotik profilaksis
- Suplementasi oksigen
- Menjaga suhu tubuh pasien
- Menghentikan merokok
- Memperbaiki gizi
- Mempersingkat masa rawat inap
Masa rawat inap yang panjang, terutama bagi mereka yang akan dioperasi
elektif, meningkatkan risiko terjadinya infeksi
E. Persiapan
- Persiapan kulit: pencukuran rambut, mengoleskan lapangan operasi dengan
-

povidon iodine secara spiral keluar mulai dari tempat yang akan diinsisi.
Persiapan vagina: dapat dilakukan vaginal scrub dengan povidon iodine
karena menurunkan risiko endometritis pascaoperasi
Persiapan kandung kencing dan ureter
Pasien yang menjalani operasi dengan anestesi regional membutuhkan
kateterisasi dengan foley catheter. Hal ini bertujuan untuk mencegah

21

overdistensi dari kading kemih karena anestesi regional akan mempengaruhi


fungsi kandung kemih
F. Persiapan Operator
Terutama untuk pencegahan infeksi nosokomial, yaitu degan mencuci tangan
selama lima menit, terutama kuku. Selain itu juga dengan mensterilkan alat-alat
operasi. Setelah cuci tangan lima menit, baju operasi dan sarung tangan dicapai
tanpa menyentuhnya sehingga operator tertutup oleh baju dan sarung tangan yang
steril. Dinding abdomen disterilkan dengan cara yang sama yaitu memakai
povidone iodine. Lalu pasang doek steril sehingga tampak antara pusat dan
umbilicus serta lebar ke samping.3

VII.

MANAJEMEN INTRA OPERASI


A. Hemostasis intraoperasi
Risiko pendarahan meningkat pada operasi seksio dalam keadaan inpartu,
sehingga untuk menekan risiko ini, sebaiknya seksio sesar dilakukan sebelum
inpartu. Jika terjadi pendarahan intraoperasi maka perlu dilakukan: 4
1. Ligasi arteri uterina
Ligasi ini efektif untuk mengatasi pendarahan dari korpus uteri. Uterus
diangkat keluar dari kavum abdomen, fundus disingkapkan ke samping
sehingga bagian korpus uteri yang hendak diligasi dapat terlihat dengan
jelas. Dengan benang absorbable nomor 1 atau 0, jarum berpenampang bulat
(tapered) dilewatkan melalui miometrium dari anterior ke posterior, sekitar 2
cm dari tepi korpus uteri dan sekitar 2-3 cm di bawah tempat low transverse
caesarean incision. Kemudian benang disimpul melewati ligamentum latum.
Pastikan kandung kencing telah dipinggirkan agar tidak terkena jarum.

22

2. Ligasi arteri ovarika


Adanya anastomosis antara arteri ovarika dengan ramus asenden arteri
uterina menyebabkan ligasi arteri uterina harus diikuti dengan ligasi arteri
ovarika. Uterus diangkat dari kavum abdomen sehingga ovarium terlihat,
dengan jarum tapered dan benang absorbable nomor 1 atau 0, buatlah
simpul tepat di bawah ligamentum utero-ovarika.

3. Ligasi arteri iliaka interna


Ligasi ini efektif untuk menghentikan pendarahan dari segmen bawah
Rahim, ligamentum latum, serviks dan paravagina. Uterus diangkat keluar
dari kavum abdomen dan fundus disingkapkan ke samping sehingga bagian
yang akan diligasi dapat terlihat dengan baik. Bagian tengah dari
ligamentum rotundum diklem dan dipisahkan dengan dua forsep. Langkah
ini memungkinkan akses retroperitoneal. Lalu sisi posterior ligamentum
latum yang avaskuler dapat dipisahkan secara tajam. Dengan menggunakan
kasa basah yang diklem, rongga retroperitoneal dapat dibuka secara tumpul.
Umumnya setelah ini arteri iliaka komunis dan percabangannya sudah

23

terlihat. Bila belum, dapat dilakukan palpasi untuk mengetahui letak arteri
tersebut

dan percabangannya.

Ureter

harus

dapat

ditemukan

dan

dipinggirkan. Angkat dengan perlahan arteri iliaka interna dengan


menggunakan klem Babcock. Dengan menggunakan forsep, lewatkan
benang absorbable dari bawah. Untuk menghindari cedera pada vena iliaka
interna, lewatkan klem dari lateral ke medial. Buatlah simpul sekitar 3 cm
dari percabangan.

4. Embolisasi pembuluh darah pelvis


Tidak seperti metode sebelumnya, embolisasi pembuluh darah pelvis
memiliki kerugian yaitu membutuhkan tenaga ahli dan fasilitas yang belum
tentu siap sewaktu-waktu. Pemasangan tampon pada uterus dapat mengulur
waktu sementara pasien dipindahkan ke instansi yang mampu melakukan
metode ini.
B. Cedera organ terdekat
Terutama terjadi jika operasi dilakukan dalam keadaan inpartu. Risiko cedera
organ terdekat dapat ditekan dengan cara-cara berikut: 4
1. Cedera ureter
Untuk itu, setiap operasi ureter harus diidentifikasi dan disingkirkan ke tepi
sehingga ureter aman dari risiko cedera selama operasi.
2. Cedera kandung kencing
Risikonya meningkat pada operasi seksio sesar berulang, dan insisi midline
memiliki risiko lebih besar dibanding insisi pfannensteil.
3. Cedera usus
Juga lebih besar risikonya pada insisi midline daripada pfannensteil.
4. Laserasi uterus

24

Harus dicurigai sebagai penyebab pendarahan terutama jika tonus otot tidak
baik, tidak ada sisa jaringan yang tertinggal di dalam uterus.Carilah letak
laserasi lalu jahitlah. Laserasi yang dijahit adalah yang berdarah dan
ukurannya lebih dari 2cm. Bila puncak luka tidak terlihat, mulailah jahiran
setinggi mungkin, menggunakan benang absorbable secara continue
interlocking.
5. Atoni uterus
Pencegahannya dengan manajemen kala tiga melalui pemberian oksitosin 10
iu secara intramuskuler. Oksitosin memiliki efek samping yang lebih kecil
dibandingkan ergot alkaloid. Namun jika atoni tidak responsive dengan
pemberian oksitosin, lakukan masase dan kompresi uterus (secara manual
atau menggunakan kateter balon) sambil mengatasi penyebabnya (mis. Sisa
jaringan yang tertinggal, adanya clot). Bila tidak berhasil, gunakan beberapa
metode jahitan kompresi uterus yang masing-masing memiliki keuntungan
dan kerugian. Beberapa metode tersebut adalah:
- Jahitan B-Lynch
Berikut ini langkah melakukan jahitan B-lych:
Dengan menggunakan catgut kromik no. 2, tusukkan jarum tapered
hingga menembus kavum uteri pada 3 cm di bawah tepi kanan
insisi uterus dan 3 cm dari tepi lateral kanan uterus. Keluarkan
jarum pada 3 cm di atas insisi uterus dan 4 cm dari lateral kanan

uterus (dikarenakan uterus melebar ke atas).


Benang catgut diteruskan untuk menekan fundus hingga 3-4 cm
dari batas kornu uteri kanan ke bagian posterior secra vertikal kira-

kira pada titik yang sama dengan tusukan pertama.


Tusukkan jarum hingga menembus kavum uteri dan terlihat dari

bukaan insisi uterus.


Keluarkan jarum melalui dinding posterior uterus pada ketinggian
yang sama dengan tempat jarum masuk tetapi 4 cm dari tepi lateral

kiri uterus.
Lewatkan catgut melalui fundus sekitar 3-4 cm dari kornu uteri kiri
ke bagian anterior hingga ketinggian yang sama dengan tempat

jarum yang pertama keluar.


Tusukkan jarum hingga menembus kavum uteri pada 3 cm di atas
inisis uterus dan 4 cm dari tepi lateral kiri uterus. Keluarkan jarum
di 3 cm bawah insisi uterus dan 3 cm dari tepi lateral kiri uterus.

25

Ikat dengan kencang

Gambar 5. B lynch suture


-

Jahitan-U
Keunggulan metode ini adalah aman, efektif dan tekniknya sederhana.

Gambar 6. Jahitan-U
Jahitan Pereira
Metode Pereira termasuk baru dan belum dikenal luas. Metode ini
menawarkan beberapa keuntungan teoritis terutama terhadap metode
klasik jahitan B-lynch. Namun, kelemahannya metode ini lebih rumit
sehingga sering terlupakan dalam keadaan darurat. Keuntungan tersebut
antara lain:
Jahitan diletakkan secara longitudinal dan trasversal. Simpul yang
unik

serta

ditambah

jumlah

simpul

yang

lebih

banyak

26

menyebabkan tekanan tersebar merata ke seluruh area uterus,


sehingga kompresi terhadap uterus dan pembuluh darah menjadi

lebih efektif.
Jarum tidak menembus kavum uteri sehingga menurunkan risiko

infeksi
Jarum tidak menembus kavum uteri sehingga saat ini hanya

metode Pereira yang tidak terasosiasi dengan Sindroma Asherman.


Jahitan yang terletak longitudinal dan transversal terdiri atas small
bites. Hal ini menurunkan risiko terikutnya omentum dan usus
dalam pembuatan simpul.

Berikut ini metode Pereira:

Pembuatan transveral suture


Lewatkan jarum melalui bagian avaskuler lig. Latum. Buatlah tiga
tranversal suture.
Pembuatan longitudinal suture
Buatlah dua longitudinal suture dengan superficial bites pada

intramyometrial.
Buatlah simpul (knot) pada transversal suture
Fiksasi longitudinal suture ke transversal suture anterior dan

posterior (pertama)
Fiksasi longitudinal suture ke transversal suture anterior dan
posterior (kedua)

Bila perdarahan masih belum juga berhenti, lakukan ligasi arteri dan bila
terpaksa histerektomi. Akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi.
VIII.

TEKNIK SEKSIO SESAREA


Semakin

berkembangnya

ilmu

teknologi,

munculnya

berbagai

hasil

penelitian,membuat adanya perbedaan dalam teknik seksio sesarea di setiap negara.


Bahkandapat dikatakan bahwa setiap ahli obstetri pun memiliki teknik yang berbeda
dalam melakukan seksio sesarea. Di Amerika pun, hal yang sama terjadi. Seluruhahli
obstetri memiliki teknik yang berbeda-beda, semuanya berdasarkan literatur dan
dikembangkan berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Untuk menyamakan
persepsi dan mendapatkan peningkatan kualitas kesehatan yang terbaik, maka
Amerika Serikat memakai standar rekomendasi yang dikeluarkanoleh US Preventive
Services Task Force (USPSTF) untuk menyamakan persepsirekomendasi yang
didapatkan dari berbagai hasil penelitian medis.

27

USPSTFS adalah sebuah organisasi independen dalam perawatan dan pencegahan


kesehatan primer yang secara sistematis mengkaji bukti efektivitas dan
mengembangkan rekomendasi untuk layanan pencegahan klinis, dan ditunjuk
langsung oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan di Amerika
Serikat. Deskripsi untuk anjuran pelayanan medis yang dikeluarkan oleh USPSTF
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Standar rekomendasi untuk kualitas pelayanan berdasarkan kualitas


penelitian yang dikeluarkan oleh USPSTF

28

Dikutip dari Berghella2

A. Pertimbangan Preoperatif
Persiapan preoperatif pada pasien yang akan dilakukan seksio sesarea
telahbanyak diteliti di hampir seluruh negara berkembang dan seluruh negara
maju. Tiga faktor yang paling sering dibahas adalah risiko aspirasi, perdarahan
daninfeksi. Namun hal yang paling sering dibahas adalah risiko infeksi

29

postoperatif. Sumber utama infeksi pada seksio sesarea adalah traktus


genitalisbagian bawah. Organisme penyebab yang paling umum adalah
Ureoplasmaspp., Mycoplasma spp., anaerob atau Gardnerella vaginalis.3
Untuk mengatasiini, telah disepakati bahwa penggunaan antibiotik profilaksis
adalah halterbaik.Lamont dan kawan-kawan (2010) dalam penelitiannya
mendapatkanbahwa penggunaan antibiotik spektrum luas memiliki korelasi
yang bermaknadengan penurunan angka infeksi, terutama endometritis (60%)
dan

lukaterinfeksi

(25%-65%).

Hopkins

dan

kawan-kawan

(2007)

mendapatkanefikasi yang sama antara ampisilin dan cefalosporin generasi


pertama seperticefazolin. Dalam penelitiannya juga didapatkan bahwa
penggunaan antibiotikspektrum luas generasi terbaru dengan harga yang lebih
mahal tidakdidapatkan perbedaan dibandingkan dengan pemberian ampisilin.
Juga tidakdidapatkan perbedaan angka infeksi pada antibiotik yang diberikan
dengandosis 1g dan 2 g, dan juga waktu pemberian antara satu jam, 6 jam, 12
jamsebelum seksio sesarea dimulai.2
Pitt dan kawan-kawan (2009) mendapatkan bahwa pemberianmetronidazole gel
5 g secara intravaginal sebelum seksio sesarea dimulaidapat menurunkan
insiden endometritis dari 17% menjadi 7%.2
Stutchfield dan kawan-kawan (2008) menganjurkan pemberianbethamethasone
12 mg sebanyak dua kali dengan selang waktu 4 jam padausia kehamilan 37-39
minggu, dimana ia mendapatkan penurunan angka RDS(respiratory distress
syndrome) dari 0,051% menjadi 0,024%.Meskipunbegitu, ACOG (American
College of Obstetric and Gynecology) belummenjadikan hal ini sebagai
rekomendasi.5
Starr dan Reid

(2005)

tidak

mendapatkan

penurunan

angka

kejadianendometritis yang berarti pada penggunaan povidon iodine 7,5%


denganpovidone iodine 10% pada saat melakukan aseptik dan antiseptik
padalapangan operasi.5
B. Insisi Dinding Abdomen / Laparotomi
Telah banyak dilakukan studi tentang jenis insisi pada dinding abdomen,secara
umum, insisi transversal lebih dianjurkan, dengan alasan dapatberkurangnya
nyeri operasi dan unsur kosmetik dibandingkan insisi vertikal.Insisi
Pfannensteil ataupun transversal pada 2 jari di atas simfisis,insisi Joel-Cohen,
dan teknik lain yang merupakan variasi dari Joel-Cohen,yaitu Misgav Ladach,
adalah insisi yang dianjurkan.

30

Telah banyak penelitian yang membandingkan ketiga teknik iniberdasarkan


keuntungan

dan

kerugiannya.

Didapatkan

sebelas

penelitian

yangmembandingkan antara teknik Joel-Cohen dan Pfannenstiel. Dari


penelitian-penelitiantersebut didapatkan beberapa poin penting diantaranya
yaitu:6-17
1. Dari lima penelitian, didapatkan perdarahan yang lebih sedikit pada481
wanita yang dilakukan seksio sesarea dengan teknik Joel-Cohen.
2. Dengan menggunakan teknik Joel-Cohen, didapatkan waktu operasiyang
lebih singkat.
3. Tidak didapatkan perbedaan angka kejadian infeksi antara teknikJoel-Cohen
dan Pfannenstiel.
4. Didapatkan angka kejadian hematom yang lebih tinggi pada lukaoperasi
dengan teknik Joel-Cohen.
5. Tidak didapatkan perbedaan waktu pada gerakan peristaltik usus,dan
mobilisasi pasien.
6. Didapatkan angka kejadian demam yang lebih sedikit pada pasienpasca
operasi dengan teknik Joel-Cohen dibandingkan denganPfannenstiel.
7. Didapatkan nyeri post operasi yang lebih sedikit pada pasien yangdioperasi
dengan teknik Joel-Cohen.

Gambar. 1. Insisi dinding abdomen. A. Insisi Pfannenstiel, sayatan harus


dibuatdalam mode lengkung sekitar 2-3 cm di atas simfisis pubis. B. JoelCohen sayatan harus dibuat secara linear sekitar 2-3 cm di atas sayatan
Pfannenstiel. C. Insisi mediana, sayatan vertikal harus dibuat di garis tengah
dan membentang dari tepat di bawah umbilikus ke tepat di atas simfisis pubis
dan dapat dilanjutkan di sekitar umbilikus jika diperlukan.
Dikutip dari Glown18

31

Mengenai panjang insisi pada kulit, belum ada penelitian khusus yang meneliti
hal ini, namun ada dua penelitian yang menganjurkan bahwa insisi pada operasi
abdomen minimal 15 cm untuk memastikan outcome yang baik bagi ibu dan
anak.
Mengganti scalpel setelah scalpel pertama yang digunakan untuk insisi pada
kulit telah diteliti, mendapatkan hasil dimana tidak didapatkan perbedaanyang
signifikan antara mengganti scalpel setelah insisi pada kulit dengan tidak
menggantinya. Angka kejadian infeksi pada kedua teknik ini tidak didapatkan
hasil yang bermakna.5
Teknik dalam membuka subkutis juga belum dilakukan penelitiankhusus,
namun kebanyakan operator menggunakan scalpel seminimalmungkin, dimana
mereka melakukan insisi pada subkutis pada bagian medial,dan melakukan
perluasan insisi secara tumpul untuk menghindari perdarahanyang tidak perlu.
Penelitian mengenai insisi pada fasia juga belum dilakukan secaraterpisah,
namun para ahli merekomendasikan insisi transversal dengan scalpelpada
bagian medial dan diperluas secara tajam dengan menggunakan gunting.Ada
juga yang merekomendasikan perluasan insisi pada fascia diperluassecara
tumpul dengan menggunakan jari tangan, seperti pada teknik seksiosesarea
menurut Misgav-Ladach. Beberapa klinisi ada juga yangmenganjurkan, apapun
jenis insisi pada kulit, namun insisi pada fasiasebaiknya dilakukan secara
vertikal pada garis tengah fasia, tepat pada rectussheath, dan diperluas secara
tajam dengan menggunakan gunting.
Telah didapatkan tiga penelitian yang membahas tentang pemotonganotot rektus
dalam membuka dinding abdomen yang melibatkan 313 wanita. 19 Mereka
terpilih secara acak untuk dilakukannya insisi otot baik insisi Maylardatau
Cherney dengan Pfannenstiel.

32

Gambar 2. Insisi Maylard, dilakukan dengan memotong otot rectus abdominis.


Lebih seringdipakai pada operasi ginekologi yang membutuhkan akses yang
luas pada kavum abdomen.
Dikutip dari Schorge20
Dari hasil penelitian tidak didapatkan perbedaan dalam morbiditaspascaoperasi,
kesulitan dalam melahirkan janin, komplikasi pascaoperasi, danskor nyeri
pascaoperasi. Satu penelitian menunjukkan hasil bahwa kekuatanotot abdomen
yang dilakukan insisi, dibandingkan yang tidak dilakukan insisi,memiliki
kekuatan yang sama. Namun para klinisi tidak menganjurkan untukdilakukan
insisi pada otot rectus jika tidak ada indikasi yang mendesak.

Gambar 3. Insisi Cherney, pada teknik ini tendon dari otot-otot rektus dilakukan
transeksi 1sampai 2 cm di atas insersi tendon ke simfisis pubis. Otot-otot ini
kemudian diangkat ke arahcephalad untuk memberi akses yang leluasa ke
peritoneum.
Dikutip dari Schorge20
Membuka peritoneum juga tidak dilakukan penelitian secara khusus. Mimpi
buruk bagi ahli obstetri pada saat membuka peritoneum adalahterpotongnya
bladder atau usus pada saat ini. Peritoneum biasanya dibukasecara hati-hati
secara tajam atau tumpul, dan diperluas secara tumpul, jauhdi atas bladder,
sehingga dapat mencegah cedera pada organ tersebut.

33

Tabel 2. Rekomendasi teknik insisi dinding abdomen berdasarkan evidencebased olehUSPSTF

Dikutip dari Berghella2


C. Insisi Uterus
Pada tahun 80-90 an, membuka plica vesicouterina untuk membuat bladderflap
adalah hal yang wajib dilakukan, dengan tujuan untuk mencegahterjadinya
cedera pada bladder. Namun sekarang, setelah banyak penelitianyang dilakukan
untuk mengetahui kerugian dan keuntungan dari pembuatanbladder flap, maka
hal ini sudah mulai ditinggalkan. Hoglagschwandtner dankawan-kawan dalam
penelitiannya terhadap 102 wanita membandingkanmembuat bladder flap
dengan insisi langsung 1 cm di atas lekukan bladder.Dari hasil penelitiannya
didapatkan bahwa pembuatan bladder flapberhubungan dengan waktu insisi
yang lebih lama untuk melahirkan bayi (P <.001), durasi operasi yang lebih
lama (P = .004), dan penurunan hemoglobinyang cukup signifikan (1 vs
0,5g/dL, P = 009). Pembuatan bladder flap jugaberhubungan dengan
mikrohematuria pascaoperasi (47% vs 21%; P < .01)dan kebutuhan obat
analgetik yang lebih banyak (55% vs 26%; P = .006) padadua hari pascaoperasi.
Namun sayangnya belum dilakukan penelitian spesifikmengenai efek jangka
panjang dari pembuatan bladder flap ini (misalnyaperlengketan, fungsi bladder,
dan fertilitas). Dari hasil ini, maka lebihdirekomendasikan untuk tidak membuat
bladder flap sebelum melakukaninsisi pada uterus.20-23
Sampai sekarang insisi pada uterus yang sangat dianjurkan adalah
insisitransversal. Belum ada penelitian terbaru yang mengkhususkan tentang

34

insisipada uterus.Dikenal beberapa jenis insisi pada uterus. Masing-masing jenis


inimemiliki keuntungan dan kerugian tersendiri:24
1. Low transverse incision: insisi yang paling

sering

digunakan,

memilikibeberapa keuntungan, diantaranya adalah risiko untuk mencederai


arteriuterina jauh lebih sedikit, dan operator memiliki akses yang lebih
luasdalam melahirkan janin.
2. J incision: jarang digunakan, dengan insisi ini operator memiliki aksesyang
lebih leluasa dalam melahirkan janin, terutama pada janin denganletak
lintang. Kelemahannya adalah penyembuhan miometrium padainsisi ini
kurang baik, sehingga jarang digunakan, dan juga besarnyarisiko bagi janin
untuk terluka akibat terkena insisi scalpel.25
3. T incision: Insisi ini biasanya merupakan

insisi

yang

bersifat

darurat,berawal dari low transverse incision, namun kemudian operator


menemuikendala dalam melahirkan bayi (letak lintang, presentasi bokong,
anakkembar) sehingga dilakukan insisi ini. Kelemahannya adalah insisi
inimemiliki tingkat penyembuhan yang paling buruk setelah classic
incision.
4. Low vertical

incision:

insisi

ini,

meskipun

memiliki

tingkat

kesembuhanyang lebih baik dibandingkan insisi klasik, namun tidak


banyakdigunakan karena risiko untuk meluas sampai ke bladder cukup
tinggi.
5. Double J atau Trap door incision: ini adalah alternatif insisi
daruratyang lebih dianjurkan jika operator menemui kesulitan dalam
melahirkanjanin dengan low vertical incision. Insisi ini dianggap lebih
amandaripada T incision pada kasus persalinan pervaginam pada bekas
SC.Namun kelemahan insisi ini adalah besarnya risiko bagi janin
untukterluka akibat terkena insisi scalpel.25
6. Classic incision: Insisi ini adalah inisi yang memberikan operator
ruangyang lebih leluasa dalam melahirkan janin. Namun memiliki
banyakkelemahan, seperti perdarahan intraoperatif yang lebih banyak,
durasioperasi yang lebih lama, risiko ruptur uteri yang tinggi. Insisi
inidianjurkan jika ibu tidak berencana memiliki anak lagi.

35

Gambar 4. Macam-macam insisi pada uterus


Dikutip dari OGrady24
Hameed
dan
kawan-kawan
(2002)

dalam

penelitiannya

yangmembandingkan insisi transversal pada segmen bawah rahim (SBR)


secarasemilunar yang diperluas secara tumpul dan insisi transversal
sepanjang 3 cmyang juga diperluas secara tumpul mendapatkan hasil bahwa
insisi transversalsepanjang 3 cm yang diperluas secara tumpul berhubungan
dengan perdarahanintraoperatif yang lebih sedikit, dan penyembuhan uterus
yang lebihsempurna.26
Selain jenis insisi, teknik meluaskan insisi juga diyakini sangatberpengaruh
terhadap

outcome

pasien

pascaoperasi.

Beberapa

penelitian

telahmenyimpulkan bahwa perluasan (expansion) insisi pada uterus


lebihdianjurkan untuk dilakukan secara tumpul (dengan jari) daripada
secara tajam(dengan scalpel ataupun gunting). Perluasan insisi SBR secara
tumpul denganmenggunakan jari telah terbukti mengurangi risiko
perdarahan, perluasansampai ke arteri uterina, menghemat waktu operasi,
dan menghindari cederapada janin.27-29
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh

Cromi

dan

kawan-kawan

(2008)tentang perluasan insisi secara tumpul ini. Ia membandingkan dua


teknikperluasan insisi secara tumpul pada insisi transversal pada SBR,
yaituperluasan dengan jari telunjuk yang diarahkan ke lateral-lateral
denganperluasan insisi dengan jari telunjuk yang diarahkan ke arah
cephalad-caudal.
Perluasan insisi

ke

arah

cephalad-caudalini

memiliki

beberapa

kelebihan,diantaranya adalah mencegah perluasan ke arteri uterina yang

36

sering

terjadipada

perluasan

ke

lateral-lateral,

dan

memperkecil

kemungkinan trauma,dengan menarik miometrium ke cephalad-caudad,


insisi akan meluas sesuaidengan alur lapisan otot miometrium yang
sirkuler.27
Dari hasil penelitiannyadidapatkan bahwa dengan melakukan perluasan
insisi secara tumpul ke arahcephalad-caudal, risiko untuk terjadinya
perluasan insisi sampai ke arteriuterina dapat diperkecil (7,4% vs 3,7%, P
= .03), dan perdarahan intraoperatiflebih sedikit (2,0% vs 0,2%, P = .04). 27

Gambar 5. Perluasan insisi uterus. A. Perluasan insisi secara tumpul dengan


jari telunjukyang diarahkan ke lateral-lateral. B. Perluasan insisi secara
tumpul dengan jari telunjukyang diarahkan ke cephalad-caudad.
Dikutip dari Cromi27
Tabel 3. Rekomendasi teknik insisi uterus berdasarkan evidence-based
olehUSPSTF

Dikutip dari Berghella2


D. Teknik Melahirkan Janin dan Plasenta

37

Teknik melahirkan janin sangat berpengaruh dengan outcome pada saat


lahir.Pada presentasi kepala, USPSTF merekomendasikan untuk melahirkan
janindengan cara meluksir kepala.2 Hal ini adalah teknik teraman,
jikadibandingkan dengan menggunakan vakum , ataupun forceps. Clark
(2008)melaporkan bahwa risiko bagi bayi untuk mengalami asfiksia dan
cephalhematome lebih tinggi jika dilahirkan dengan menggunakan vakum
danforceps dibandingkan dengan meluksir kepala. Dengan kata lain,
penggunaanvakum dan forceps adalah pilihan kedua untuk melahirkan janin jika
denganmeluksir kepala janin sulit dilahirkan.30
Pada presentasi bokong, manuver Pinard lebih dianjurkan untukmelahirkan kaki
terlebih dahulu, kemudian dapat dilanjutkan dengan manuverLovset, Classic,
ataupun Muller. Kepala dapat dilahirkan dengan manuverMauriceau.5
Pada letak lintang, jika kepala sulit untuk dicapai, dapat dicoba denganmenarik
kaki atau bokong terlebih dahulu, kemudian untuk melahirkan bahudan kepala
dapat dipakai manuver yang sama seperti presentasi bokong. 24
Untuk melahirkan plasenta, dapat dilakukan secara spontan dan manual.Morales
dan kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa waktuyang
diperlukan untuk melahirkan plasenta secara spontan lebih lamadaripada
manual, namun tidak didapatkan perbedaan durasi operasi yangbermakna pada
seksio sesar dengan plasenta yang dilahirkan secara spontandan plasenta yang
dilahirkan manual. Perdarahan intra operatif pada seksiosesarea dengan plasenta
yang dilahirkan secara spontan lebih sedikitdibandingkan pada seksio sesarea
dengan plasenta yang dilahirkan secaramanual.31
Wilkinson dan kawan-kawan (2007) dalam penelitiannyamendapatkan hasil
bahwa melahirkan plasenta secara spontan dapatmengurangi risiko untuk
terjadinya komplikasi endometritis dan perdarahanintraoperatif yang lebih
sedikit dan luka terinfeksi yang lebih sedikit.5
Mengganti sarung tangan sebelum melepaskan plasenta secara manualtidak
menurunkan angka kejadian endometritis. Membersihkan sisa plasentayang ada
dari kavum uterus dengan kassa, sampai saat ini belum dilakukanpenelitian
secara khusus.
Pencegahan atonia uteri dengan pemberian oksitosin ke dalam infus
dapatmengurangi angka kejadian perdarahan post partum sampai 40%.
Oksitosinlebih dipilih dibandingkan ergometrin karena efek sampingnya yang
lebihsedikit.

38

Tabel 4. Rekomendasi teknik melahirkan janin, plasenta dan pencegahan atonia


uteriberdasarkan evidence-based oleh USPSTF

Dikutip dari Berghella2


E. Penjahitan Uterus
Penelitian yang membandingkan penjahitan uterus baik dengan satu lapis
ataudengan dua lapis telah banyak dilakukan. Penelitian terbesar (dengan
jumlahsampel 906 wanita) mendapatkan penurunan yang signifikan pada
durasioperasi sebanyak 5,6 menit (P= 0,001). Didapatkan juga perbedaan
yangsignifikan pada perdarahan intraoperatif dan kebutuhan akan transfusi
darah(12% vs 34%). Sedangkan pada angka kejadian endometritis tidak
didapatkanperbedaan yang bermakna antara kedua teknik tersebut. Enkin dan
kawan-kawan(2007)

dalam

penelitiannya

mendapatkan

angka

kejadian

dehisensiuterus yang lebih rendah pada teknik penjahitan uterus dengan satu
lapissetelah

tiga

bulan

pascaoperasi

dengan

pemeriksaan

histerografi

dibandingkandengan teknik penjahitan uterus dengan dua lapis. 5


Teknik penjahitan secara jelujur dapat menghemat durasi

operasi

danmengurangi perdarahan intraoperatif dibandingkan dengan penjahitan


secaraterputus. Penjahitan secara jelujur dibandingkan dengan penjahitan
jelujurterkunci (continous locking suture), dapat menghemat waktu operasi
danperdarahan. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada angka
kejadiandehisensi uterus.5,32
Colin (2009) dan kawan-kawan mendapatkan hasil dari penelitiannyabahwa
mengeluarkan uterus dari cavum abdomen pada saat penjahitandengan tujuan
untuk mempermudah dalam mengidentifikasi luka pada uterusmemiliki
hubungan yang signifikan dengan angka kejadian komplikasipascaoperasi, yaitu
muntah dan nyeri.33
Irigasi intraabdominal dengan cairan garam fisiologis sebanyak 500-1000ml
sebelum penutupan abdomen sebaiknya tidak dilakukan secara rutin karenatidak
memberikan perbedaan yang signifikan pada jumlah perdarahan,komplikasi
intrapartum, perlengketan, lama perawatan dan kejadian infeksipascaoperasi. 5

39

Tabel 5. Rekomendasi teknik melahirkan janin, plasenta dan pencegahan atonia


uteriberdasarkan evidence-based oleh USPSTF

Dikutip dari Berghella2


F. Penutupan Dinding Abdomen
Penjahitan Peritoneum
Manfaat penutupan peritoneum telah diteliti di berbagai negara, dandidapatkan
sembilan penelitian yang valid yang melibatkan 1811 wanita.Beberapa dari
penelitian ini mengevaluasi baik penutupan peritoneumparietal ataupun
visceral secara satu persatu. Meskipun beberapa penelitianlainnya meneliti
penutupan keduanya.
Berghella
(2005)

mendapatkan

bahwa

peritoneum

yang

tidak

dijahitberhubungan dengan pengurangan durasi operasi baik itu lapisan


parietalataupun visceral. Pada peritoneum yang kedua lapisannya tidak
dijahit,didapatkan pengurangan durasi operasi sampai 7,33 menit (-8,43 vs
-6,24).Didapatkan angka nyeri dan demam pascaoperasi yang menurun
secarasignifikan dan juga waktu rawat inap pada pasien yang tidak
dilakukanpenjahitan peritoneum. Selain itu juga didapatkan kecenderungan
kebutuhanobat-obat analgesik dan angka kejadian infeksi yang lebih sedikit
pada pasienyang tidak dilakukan penjahitan peritoneum. Pada follow up jangka
panjang,setelah tujuh tahun menunjukkan tidak ada perbedaan pada rasa
nyeri,fertilitas,

keluhan

miksi,

dan

perlengketan.

Studi

observasional

membuktikanbahwa peritoneum akan meregenerasi dalam waktu 5 sampai 6


hari.
Tulandi (2009) dalam penelitiannya tidak mendapatkan hubunganyang
bermakna antara angka kejadian perlengketan yang ditemukan padawanita yang

40

memiliki riwayat seksio sesarea yang lapisan peritoneumnyatidak dilakukan


penjahitan.33
Penjahitan Otot
Penelitian yang

menunjukkan

keuntungan

penjahitan

otot

rectus

abdominisbelum ditemui sampai saat ini. Para ahli meyakini bahwa otot
tersebut akanmenemukan jalan sendiri untuk menyatu, selain itu dengan
menjahit otottersebut akan menambah nyeri pascaoperasi yang tidak perlu pada
saat pasienakan belajar mobilisasi.2
Penjahitan Fasia
Belum ada penelitian khusus tentang hubungan teknik penjahitan fasia
danhubungannya

terhadap

outcome

pascaoperasi.

Namun

para

ahli

lebihmenganjurkan penjahitan secara jelujur. Teknik penjahitan secara


jelujurterkunci

yang

lebih

bertujuan

untuk

hemostasis

tidak

direkomendasikandengan alasan tidak adanya vaskularisasi pada fasia. 2


Penjahitan Subkutis
Penelitian yang membandingkan penjahitan pada lapisan subkutis telahbanyak
dilakukan. Chelmow dan kawan-kawan (2004) mendapatkan angkakejadian
infeksi luka operasi lebih sedikit pada kelompok wanita yang dijahitpada
lapisan subkutis (2:91). Ketebalan lapisan subkutis adalah faktor yangharus
diperhatikan. Dari berbagai penelitian, didapatkan hasil bahwa padalapisan
subkutis dengan tebal < 2 cm tidak didapatkan perbedaan pada angkakejadian
infeksi pada kelompok yang dijahit dan tidak dijahit, sehinggapenjahitan pada
lapisan subkutis dengan tebal < 2 cm tidak dianjurkan untukmenjadi sebuah
kegiatan yang rutin.
Chelmow dan kawan-kawan (2005) dalam penelitiannya jugamendapatkan
angka kejadian infeksi lebih sedikit pada wanita denganketebalan subkutis < 2
cm yang tidak dijahit. Penjahitan subkutis denganteknik jelujur lebih
menguntungkan dalam hal waktu. Didapatkan perbedaandalam durasi operasi
sampai 4,8 menit antara penjahitan lapisan subkutis yangdijahit secara jelujur
dan yang dijahit secara terputus. Meskipun tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna pada angkakejadian infeksi dengan teknik penjahitan.Pada subkutis
dengan ketebalan > 2 cm, penjahitan subkutis adalah halyang dianjurkan.
Penutupan Kulit
Penutupan kulit
denganstaples

dengan

juga

telah

menggunakan
dibandingkan

penjahitan
dalam

subkutikuler

beberapa

atau

penelitian.

41

Frishmandalam penelitiannya pada 50 wanita yang dilakukan seksio sesarea


denganinsisi Pfannenstiel, ia membandingkan kedua teknik penutupan kulit ini.
Pada kulit yang ditutup dengan staples, didapatkan penurunan durasioperasi
yang bermakna (<1 vs 10 menit, P < .001), namun denganpeningkatan konsumsi
pil analgesik selama 6 minggu pascaoperasi. Secaraumum literatur didapatkan
bahwa penutupan kulit dengan penjahitansubkutikuler berhubungan dengan
nyeri pascaoperasi yang lebih sedikit dantampilan kosmetik yang lebih baik.
Tabel 6. Rekomendasi teknik penutupan dinding abdomen berdasarkan
evidence-based olehUSPSTF

Dikutip dari Berghella2


G. Penggunaan Jarum dan Benang
1. Uterus : dijahit jelujur, 1 lapis atau 2 lapis
Benang yang dapat dipakai : catgut kromik, poliglecaprone 25(monocry),
polyglactin 910.Ukuran benang 0,1 , 2/0
2. Fasia : dijahit jelujur atau jelujur terkunci.
Benang : polyglactin 910, polydiaxone (PDS II).Ukuran benang 2/0, 1. Ujung
jarum taperpoint.
3. Peritoneum : dijahit jelujur
Benang catgut , ujung jarum tapper point
4. Otot : dijahit interrupted
Benang catgut 2/0

42

5. Subkutis : dijahit interrupted


Benang catgut 2/0
6. Kulit : dijahit subkutikuler
Benang : polyglactin 910. Ukuran 3/0, 4/0.Ujung jarum cutting.
IX.

MANAJEMEN PASKA OPERASI4


A. Perawatan umum pasca operasi
1. Pasien perlu diobservasi hingga mampu mempertahankan jalan nafas dan
stabillitas kardiovaskuler serta mampu berkomunikasi
2. Observasi tanda-tanda vital pasien (tekanan darah, nadi, temperature,
frekuensi nafas), bila stabil observasi dilakukan tiap satu jam.
3. Pasien diperbolehkan minum cairan jernih enam jam paska operasidan
makan setelah mual hilang
4. Kateter yang dipasang dapat dilepas saat pasien dapat berjalan dan minimal
12 jam dari dosis terakhir anestesi regional
5. Perban luka diganti setelah 24 jam pertama dan nilai keadaan luka bekas
operasi
B. Hemostasis pasca operasi
Umumnya wanita muda yang sehat mempunyai toleransi yang baik terhadap
anesthesia, namun demikian perlu waspada terhadap hipovolemia.Untuk itu
produksi urin harus diatas 0,5ml/kg/jam.Adanya tanda hipotnesi ortostatik berupa
penurunan tekanan darah sebesar 10mmHg menandakan kemungkinan terjadinya
penurunan volume darah sebesar 20%.
C. Demam
Didefinisikan sebagai suhu tubuh 38C atau lebih yang muncul setelah hari kedua
hingga hari kesepuluh paska persalinan. Etiologi terbanyak adalah infeksi traktus
urogenitalia dengan kuman terbanyak Streptokokus grup A atau B.
D. Infeksi
1. Infeksi saluran kemih
Sering diderita pasien pascaoperasi.Manifestasi klinis meliputi urgensi,
frekuensi,diusuria, dll.Urinalisis diperlukan yang menunjukkan adanya
leukosituri dan bakteriuri. Diatasi dengan antibiotik serta perlunya melepas
kateter 12 jam paska operasi.
2. Infeksi luka
Penatalaksanaan dengan wound toilet disertai perawatan luka dan antibiotic
3. Endometritis

43

Endometritis puerperal disebabkan oleh infeksi asenden dari traktus genitalia


bawah

atau

traktus

gastrointestinal.Bakteri

penyebab

bersifat

polimikrobial.Klinis berupa nyeri tekan perut.Demam terjadi 24-72 jam pasca


persalinan. Tanda-tanda lain yang dapat muncul adalah pucat, takikardi,
leukositosis, sertalokia yang bau. Pada pemeriksaan dalam uterus teraba
membesar, nyeri dan lunak.Adanya indurasi yang menyebar ke dinding pelvis
disertai nyeri hebat dan demam tinggi menandai infeksi yang telah menyebar
ke parametrium.
4. Peritonitis
Dapat terjadi akibat komplikasi dehisensi lukapaska seksio atau rupture
adneksa. Manifestasi klinisnya ileus paralikit. Terapi berupa antibiotic, selain
itu bias diperlukan operasi ulangan untuk membersihkanluka bekas operasi.
5. Tromboflebitis
Merupakan perluasan infeksi ke vena sekitar, klinis dengan demam
menggigil. Diagnosis pasti ditegakkan dengan CT scan atau MRI
E. Komplikasi gastrointestinal
1. Mual dan muntah paskaoperasi
2. Obstruksi mekanik usus halus
3. Obstruksi mekanis usus besar
4. Ileus paralitik
5. Pseudoobstruksi kolon akut (sindroma Ogilvie)
F. Manajemen nyeri pasca operasi
Caranya:
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap, karena nyeri merupakan
keluhan subjektif
2. Tentukan penyebab nyeri dan terapi yang sesuai, analgesic hanya diberikan
jika penyebab nyeri telah diketahui
3. Tentukan obat yang tepat dan rute pemberian yang kurang invasive
G. Depresi paska persalinan
Perawatan pasien yang mengalami depresi pascapersalinan seksio sesaria tidak
berbeda dengan pasien yang tidak menjalani seksio sesaria.
H. Akhir masa perawatan
RUJUKAN

44

1. Zhang J, Troendle J, Reddy UM, Laughon K, Branch DW, Burkman R et al.


Contemporary cesarean delivery practice in the United States. Am J Obstet
Gynecol 2010; 203: 326.e1-10.
2. Berghella V, Baxter JK, Chauhan SP. Evidence based surgery for cesarean
section. Am J Obstet Gynecol 2005; 193, 1607-17.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD.
Williams obstetric. 23rd ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2010.
4. Rasjidi I. Manual seksio sesarea. 2011; 6673.
5. Obstetric evidence based
6. Johanson RB, Menon V. Vacuum extraction versus forceps for assisted vaginal
delivery. Cochrane Database Syst Rev 2007;1.
7. Smaill F, Hofmeyr GJ. Antibiotic prophylaxis for cesarean section.Cochrane
Database Syst Rev 2007;1
8. Hopkins L, Smaill F. Antibiotic prophylaxis regimens and drugs for cesarean
section. Cochrane Database Syst Rev 2007;1.
9. Lasley DS, Eblen A, Yancey MK, Duff P. The effect of placental removal method
on the incidence of postcesarean infections. Am J Obstet Gynecol
2007;176:1250-4.
10. Chandra P, Schiavelo HJ, Kluge JE, Holloway SL. Manual removal of the
placenta and postcesarean endometritis. J Reprod Med 2006;47:101-6.
11. Wilkinson C, Enkin MW. Manual removal of placenta at cesarean section.
Cochrane Database Syst Rev 2008;4.
12. Yancey MK, Clark P, Duff P. The frequency of glove contamination during
cesarean delivery. Obstet Gynecol 2004;83:538-42.
13. Hershey DW, Quilligan EJ. Extraabdominal uterine exteriorization at cesarean
section. Obstet Gynecol 2008;72:189-92.
14. Edi-Osagie ECO, Hopkins RE, Ogbo V, Lockhat-Clegg F, Ayeko M, Akpala WO,
et al. Uterine exteriorisation at caesarean section: influence on maternal
morbidity. BJOG 2008;105:1070-8.
15. Wahab MA, Karantzis P, Eccersley PS, Russell IF, Thompson JW, Lindow SW. A
randomised, controlled study of uterine exteriorisation and repair at caesarean
section. BJOG 2009;106:913-6
16. Jacobs-Jokhan D, Hofmeyr GJ. Extra-abdominal versus intraabdominal repair of
the uterine incision at caesarean section. Cochrane Database Syst Rev 2005;1.
17. Hofmeyr JG, Novikora N, Mathai M, Shah A. Techniques for cesarean section.
Am J Obstet Gynecol 2009; 200: 431`-44.
18. Bolissa Y. Closure of abdominal wall. [monograph on the internet] (cited 2013
June 16). Available from: http://www.glowm.com/?
p=glowm.cml/section_view&articleid=133.
19. Giacalone PL, Daures JP, Vignal J, Herisson C, Hedon B, Laffargue F.
Pfannenstiel versus Maylard incision for cesarean delivery: a randomized
controlled trial. Obstet Gynecol. 2006;99:745-50.
20. Schorge J, Schaffer J, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams
Gynecology 22ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008.
21. Stark M, Chavkin Y, Kupfersztain C, Guedj P, Finkel AR. Evaluation of
combinations of procedures in cesarean section. Int J Gynaecol Obstet
2007;48:273-6.
22. Pelosi MA, Pelosi MA III, Giblin S. Simplified cesarean section. Contemp Obstet
Gynecol 2008;40:89-100.

45

23. Hohlagschwandtner M, Ruecklinger E, Husslein P, Joura EA. Is the formation of


a bladder flap at cesarean necessary? A randomized trial. Obstet Gynecol
2004;98:1089-92.
24. OGrady JP, Gimovsky ML, Bayer-Zwirello LA, Giordano K. Operative
Obstetrics 3rd Ed. New York: Cambridge University Press; 2008.
25. Gajjar K, Spencer C. Fetal laceration injury during cesarean section and its longterm sequelae: a case report. Am J Obstet Gynecol 2009; 055: e5-e7.
26. Maayan-Metzger A, Schushan-Eisen I, Todris L, et al. Maternal hypotension
during elective cesarean section and short-term neonatal outcome. Am J Obstet
Gynecol 2010;202:56.e1-5.
27. Cromi A, Ghezzi F, Di Naro E, Siesto G, Loverro G, Bolis P. Blunt expansion of
the low transverse uterine incision at cesarean delivery: a randomized comparison
of 2 techniques. Am J Obstet Gynecol 2008;199:292.e1-292.e6.
28. Young RC. Myocytes, myometrium, and uterine contractions. Ann N Y Acad Sci
2007;1101:72-84.
29. Pelosi MA 2nd, Pelosi MA 3rd. Pelosi minimally invasive technique of cesarean
section. Surg Technol Int 2004;13:137-46.
30. Clark S, Vines CL, Belfort MA. Fetal injury associated with routine vacuum use
during cesarean delivery. Am J Obstet Gynecol 2008; 009: e4.
31. Morales M, Ceysens G, Jastrow N, Viardot C, Faron G, Vial Y. Kirkpatrick C,
Irion O, Boulvain M. Spontaneous delivery manual removal of the placenta
during cesarean section: a randomised controlled trial. Int J Gynaecol Obstet
2004; 111: 908-12.
32. Berghella V, Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa Healthcare:
2008.
33. Doganav M, Esra AT, Var T. Effect of method of uterine repair on surgical
outcome of cesarean delivery. Int J Gynaecol Obstet 2010; 111:2: 175-8.
34. Walsh CA, Walsh SR. Extraabdominal vs intraabdominal uterine repair at
cesarean delivery: a metaanalysis. Am J Obstet Gynecol 2009;200:625.e1-625.e8.

You might also like