You are on page 1of 35

LAPORAN KASUS

Identitas
Nama

: By. D.Z.A.

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 26 Agustus 2014

Tanggal Dirawat : 12 September 2014


Tanggal Diperiksa : 15 September 2014
Alamat

: Jl. Suryani Dalam 1. Jamika. Bandung

Bangsa

: Indonesia

No. RM

: 01176160

Anamnesis
Keluhan utama:
Perut kembung sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit
Perjalanan Penyakit
Sejak + 10 hari yang lalu, penderita mengalami BAB cair 2 hari sekali,
sebanyak satu sendok makan, lendir (-), darah (-), perut belum tampak
kembung, muntah tidak ada, demam, terus menerus tapi tidak terlalu tinggi,
penderita tidak rewel, penderita tidak dibawa berobat.
6 hari SMRS perut penderita tampak semakin kembung, BAB satu kali
dalam seminggu, sebanyak satu sendok makan, lendir(-), darah(-), muntah
ada, + 5kali, sebanyak satu sendok , tidak menyemprot, warna kehijauan,
demam tidak terlalu tinggi, penderita kemudian dibawa berobat ke RS
Immanuel.
Riwayat Kehamilan dan persalinan
Anak ke 1 dari 1 anak. Lahir hidup 1.
Riwayat obstetri:
Trimester I, II, III ANC teratur di bidan
Riwayat persalinan
1

Lahir : aterm (38-39 minggu gestasi)


Spontan ditolong oleh bidan
BB lahir : 2600 gram
PB lahir : 48 cm
Riwayat Imunisasi
Hepatitis B segera setelah lahir
Makanan
ASI
Status Generalis
Kesadaran

: compos mentis

Nadi

: 130 x/menit, isi dan tegangan cukup

Pernapasan

: 40 x/menit

Temperatur

: 37,6oC

Berat badan

: 3200 gram

Panjang badan

: 45 cm

Kulit:
Warna sawo matang, tidak pucat, tidak sianosis, ikterik
Turgor kembali cepat
Tidak ada edema
Rambut:
Warna hitam, tersebar merata, tumbuh lebat
Kelenjar getah bening:
Tidak teraba membesar
Kepala:
Normocephal, ubun-ubun normal

Mata:
Conjunctiva tidak anemis, reflex kornea +/+, sclera ikterik, pupil bulat isokor
THT:
Tidak ada kelainan
Mulut:
Tidak ada kelainan
Leher:
Tidak ada kelainan
Dada:
Bentuk normal, simetris, retraksi (-)
Pulmo:
Tidak ada kelainan
Jantung:
Tidak ada kelainan
Abdomen:
Inspeksi: cembung, distensi (+)
Palpasi : lembut
Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus (+)
Alat kelamin:
Laki-laki, tidak ada kelainan
Ektremitas:
3

Tidak ada kelainan

Pemeriksaan penunjang
Hematologi rutin (12 September 2014)
Hb

: 11,6 gr/dL

Ht

: 33%

Leukosit

: 10.400 /mm3

Trombosit

: 508.000/mm3

Bilirubin total

: 12,24 mg/dL

Bilirubin direk

: 0,84 mg/dL

Bilirubin indirek
SGOT

: 38

SGPT

: 12

Na

: 128

: 4,7

GDS

: 344

: 11,40 mg/dL

Hematologi rutin (14 September 2014)


Hb

: 10,1 gr/dl

Ht

: 28,2 %

Leukosit

: 11.110 / mm3

Trombosit

: 383.000/mm3

Eritrosit

: 3,4 juta/mm3

Bilirubin total
Bilirubin direk

: 11,05 mg/dL
: 0,43 mg/dL
4

Bilirubin indirek

: 10,62 mg/dL

Radiologi (12 September 2014)


Barium enema
Kesan : Elongasi sigmoid dengan kemungkinan Hirschsprungs disease di
distal sigmoid ultra short segment.

RESUME
Seorang bayi laki-laki usia 17 hari berat badan 3200 gram panjang
badan 45 cm datang dengan keluhan perut kembung.
Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan sejak + 10 hari yang lalu,
penderita mengalami BAB cair 2 hari sekali, sebanyak satu sendok makan,
lendir (-), darah (-), perut belum tampak kembung, muntah tidak ada,
demam, terus menerus tapi tidak terlalu tinggi, penderita tidak rewel,
penderita tidak dibawa berobat.
Sejak 6 hari SMRS perut penderita tampak semakin kembung, BAB
satu kali dalam seminggu, sebanyak satu sendok makan, lendir(-), darah(-),
muntah ada, + 5kali, sebanyak satu sendok , tidak menyemprot, warna
kehijauan, demam tidak terlalu tinggi, penderita kemudian dibawa berobat
ke RS Immanuel.
Tanda Vital
Kesadaran

: compos mentis

Nadi

: 130 x/menit, isi dan tegangan cukup

Pernapasan

: 40 x/menit

Temperatur

: 37,6oC

Berat badan

: 3200 gram

Panjang badan

: 45 cm

Pemeriksaan Fisik
Kulit

: tidak sianosis, turgor kembali cepat, ikterik

Rambut

: warna hitam, tersebar merata, tumbuh lebat

Kelenjar getah bening

: tidak teraba membesar

Kepala

: normocephal, ubun-ubun normal

Mata

: conjunctiva tidak anemis, reflex kornea +/+, sclera

ikterik
THT

: tidak ada kelainan

Mulut

: tidak ada kelainan


6

Leher

: tidak ada kelainan

Dada

: bentuk normal, simetris, retraksi -

Pulmo

: VBS kiri=kanan, Rh -/-, Wh -/-

Jantung

: tidak ada kelainan

Abdomen

: cembung, distensi +, lembut, timpani, bising usus

+
Alat kelamin

: laki-laki, tidak ada kelainan

Ektremitas

: akral hangat, CRT <2 detik.

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin (12 September 2014)
Hb

: 11,6 gr/dL

Ht

: 33%

Leukosit

: 10.400 /mm3

Trombosit

: 508.000/mm3

Bilirubin total

: 12,24 mg/dL

Bilirubin direk

: 0,84 mg/dL

Bilirubin indirek
SGOT

: 38

SGPT

: 12

Na

: 128

: 4,7

GDS

: 344

: 11,40 mg/dL

Hematologi rutin (14 September 2014)


Hb

: 10,1 gr/dl

Ht

: 28,2 %

Leukosit

: 11.110 / mm3
7

Trombosit

: 383.000/mm3

Eritrosit

: 3,4 juta/mm3

Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek

: 11,05 mg/dL
: 0,43 mg/dL
: 10,62 mg/dL

GDS (07.00)

: 27

GDS (14.00)

: 77

Radiologi (12 September 2014)


Barium enema
Kesan : Elongasi sigmoid dengan kemungkinan Hirschsprungs disease ultra
short segment.

Diagnosis
Differential Diagnosis

: Hirschsprungs disease

Diagnosis tambahan

: Icterus neonatorum Kramer 3

Status gizi

: baik

Diagnosis kerja: Hirschsprungs disease dengan Icterus neonatorum

Penatalaksanaan
a.

Nonmedikamentosa:
NGT
Colostomy (tanggal 15 September 2014)
Infus Dextrose 40% 5 ml stat.
Fototerapi

b.

Medikamentosa:
Metronidazole 500 mg. 1,5 mg tiap 12 jam
Ceftriaxone 100 mg. tiap 12 jam
Ranitidine 40 mg. 0,1 cc 3 x/hari
Norages 0,2 cc/8jam

Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

HIRSCHSPRUNGS DISEASE
Definisi
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel
ganglion di pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissners).
Insidensi
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang
mempunyai

riwayat

keluarga

Penyakit

hirschprung

dan

pada

pasien

penderita Down Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75%


kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinyapenyakit

hirschsprung.

Laporan

insidensi

tersebut

bervariasi

sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan
360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih
sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah.
Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada
colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat
keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan
mengalami long segment aganglionosis.
Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel
saraf parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel
ganglion selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi
keproksimal.
Anatomi dan fisiologi colon
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi,
sedangkan

1/3

bagian

proksimal

terletak

dirongga

abdomen

dan
10

relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum


dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani
(eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke
dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3sling : atas, medial dan
depan .
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf
simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
saraf parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus
levator ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis
mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis
tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N.
splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi
oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf parasimpatis).
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga
pleksus tersebut.
Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga

bagian

yang

normal

akan

mengalami

dilatasi

di

bagian

proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapt dibagian distal rectum.


Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive
dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
11

disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus


besar.
Hipoganglionosis
Pada

proximal

hipoganglionosis.

segmen

Area

dari

tersebut

bagian
dapat

aganglion

juga

terdapat

merupakan

area

terisolasi.

Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10


kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah
normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari
normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun
ada pula yang mengenai seluruh colon.
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal
dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksiTrypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena
aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat
tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.

12

Tipe Hirschsprungs Disease:


Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena. Tipe Hirschsprun disease meliputi:

Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat
kecil dari rectum.

Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil
dari colon.

Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar
colon.

Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan
rectum dan kadang sebagian usus kecil.

Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi
pada

neonatus.

Gejala

konstipasi

yang

sering

ditemukan

adalah

terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir.


Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain
yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase
usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang
berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain
yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada
neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai
adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan
sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik
adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan
barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan
13

tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran
maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik
ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal intestinal dan
dilatasi pada bagian proksimal intestinal.
Gejala klinik:
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan
tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang
baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis.
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan

makan,

distensi

abdomen

yang

kronis

dan

ada

riwayat

konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti


adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan
peritonitis.
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya
yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi
abdomen dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi
antara pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi
dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa
gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan.
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada
pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau
makanan padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena
adanya

riwayat

konstipasi,

kembung

berat

dan

perut

seperti

tong, massa faeses multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat
terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu
kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur sphincter
ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.
14

Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung


yang berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis
dimana merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun
hubungan antara penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum
dimengerti. Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri
adalah enterocolitis ringan.
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin

E 1,

infeksi

oleh Clostridium

difficile atau Rotavirus.

Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala


walaupun telah dilakukan colostomy.Enterocolitis yang berat dapat berupa
toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam,
muntah berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal,
dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang
berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus
dipertimbangkan

pada

semua

anak

dengan enterocolisis

necrotican.

Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan penyakit hirschsprung. Ada


hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi.
Pemeriksaan penunjang :
Diagnostik

utama

pada

penyakit

hirschprung

adalah

dengan

pemeriksaan:
1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal
rectum

memberikan

gambaran

seperti

kaliber/peluru

kecil

jika

dibandingkan colon sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi


dapat membantu diagnosis penyakit hirschprung. Segmen aganglion
biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang mempunyai
ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran radiologis terlihat
zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus memerlukan waktu, mungkin
15

dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi yang baru lahir. Radiologis
konvensional menunjukkan berbagai macam stadium distensi usus kecil
dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling penting adalah
zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat penting untuk melihat
dilatasi dari rektum secara lebih optimal. Retensi dari barium pada 24 jam
dan disertai distensi dari kolon ada tanda yang penting tapi tidak spesifik.
Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos
abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.
Nilai prediksi biopsi 100% penting pada penyakit Hirschsprung jika sel
ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion, perlu dipikirkan ada teknik yang
tidak benar dan dilakukan biopsi yang lebih tebal. Diagnosis radiologi
sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen , sering seluruh
colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon
mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang
paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus
dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal
sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua
neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil
atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun.
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung,

gejala

yang

ditemukan

adalah

kegagalan

relaksasi

sphincter ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan


metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung
pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering
dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus.
3. Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
16

rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea


dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion

hingga

yang

aganglionik.

Metode

ini

biasanya

harus

menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa


rectal lebih tebal.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan
dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik

Meconium ileus

Simple

Complicated (with meconium cyst or peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon syndrome

Malrotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusception

NEC
Obstruksi fungsional

Sepsis

Intracranial hemorrhage

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or addiction


17

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia
Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk
melakukan Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi
anak dan respon dari terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar,
diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus
dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik
dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu
dilakukan colostomy
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk

kolostomi

pada

neonatus,

diikuti

dengan

operasi pull-

through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan
yang dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan
termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus
ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan
melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan
mukosa rektum.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat
melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter
bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini
terutama

banyak

pada

periode

neonatus

yang

dapat

menyediakan

visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang
signifikan

adalah

penting

untuk

dilakukannya

periode

dekompresi
18

menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada
anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi
dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum
dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas
umur pada prosedur pull-through.
Dari

ketiga

prosedur pull-through yang

dilakukan

pada

penyakit

Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini


rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon
ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada
prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal
dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus.
Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum
aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur
ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan
kerusakan

syaraf

parasimpatis

yang

menempel

pada

rektum.

Untuk

mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari


rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang
ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini
dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat
penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak
ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari
daerah

yang

sel

ganglion

terdeteksi.

Dihindari

dilakukannya

pull-

through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya angka


komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang
aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi akan
membutuhkan reoperasi.
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post
operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur
sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan

19

yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon
total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through.
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit
hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dilakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas
sphincter ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada
perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian
yang

ganglionik

ditarik

ke

bagian

belakang

ujung

daerah

aganglioner. stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus.


3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya
berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga
konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.

20

IKTERUS NEONATORUM
Definisi
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit, mukosa membran, sklera atau organ lain oleh
karena peningkatan kadar bilirubin dalam serum (> 2mg/dl). Ikterus secara klinis akan tampak
pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin

berasal

dari

pemecahan

protein

yang

mengandung

heme

di

sistem

retikuloendotelial. Bayi baru lahir memproduksi bilirubin 6-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4mg/kgBB/hari.

Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis


Bilirubin sebagai suatu produk metabolisme pada suatu saat oleh suatu sebab dan keadaan
dapat menumpuk. Penumpukan adalah suatu penyimpangan dari normal jadi dengan sendirinya

21

ikterus itu adalah patologis. Masalahnya ialah apakah konsentrasi bilirubin tersebut mengganggu,
merusak atau tidak. Bila tidak menimbulkan patologi itulah yang disebut ikterus fisiologis.
Ikterus dapat diklasifikasikan menjadi ikterus fisiologis dan ikterus patologis berdasarkan
waktu timbulnya ikterus, pemeriksaan klinik, dan peningkatan kadar bilirubin.
Ikterus Fisiologis
1

Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi aterm nilai puncak 6-8 mg/dL, biasanya
tercapai pada hari ke 3-5. pada bayi prematur nilainya 10-12 mg/dL bahkan sampai 15
mg/dL.

2.

Peningkatan /akumulasi bilirubin serum <5 mg/dL/hr.

Ikterus Patologis
Ikterus diduga patologis apabila:
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Peningkatan atau akumulasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dl/24jam.
3.

Kadar bilirubin total serum lebih dari 17 mg/dl pada bayi yang mendapat ASI.

4. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.
5. Kadar bilirubin direk lebih dari 2 mg/dl.
Perbedaan bilirubin direk dan indirek
Bilirubin unconjugated bebas sedikit ditemukan dalam darah, apabila kadarnya tinggi di
dalam darah kemungkinan terdapat overproduksi, kelainan konjugasi di hati, dan terdapatnya
substansi yang mengganggu ikatan bilirubin-albumin, yaitu sulfonamid, asam lemak panjang dari
ASI, salisilat, zat kontras, dan zat-zat lain yang berikatan dengan albumin. Bersama albumin,
bilirubin ini ditransport melalui darah ke dalam hepar. Bilirubin masuk ke dalam hepatosit
melalui permukaan sinusoid. Pada proses ini albumin akan dilepas oleh bilirubin sehingga
albumin tetap di dalam darah. Proses ini berlangsung sangat cepat. Gangguan pada proses ini
akan menyebabkan hiperbilirubinemia unconjugated.

22

Bilirubin terkonjugasi yang terbentuk akan disekresikan melalui sinusoid, melalui traktus
biliaris interna (canaliculi biliaris, duktulus biliaris, duktus biliaris), duktus biliaris eksterna
(duktus biliaris, ductus systicus), kantung empedu, duktus biliaris eksterna (duktus systicus,
duktus choledochus) dan ke duodenum. Kelainan yang terjadi pada proses ini akan menyebabkan
hiperbilirubinemi conjugated.
Perbedaan Bilirubin direk dan indirek
Bilirubin direk

Bilirubin indirek

Larut dalam air dan plasma

Sedikit larut dalam air, larut dalam


lemak

Tidak toksis, tidak dapat melalui blood


brain barrier
Ditemukan dalam urine
Bereaksi langsung dengan reaksi Van
den Berg

Sangat toksis, dapat melalui blood


brain barrier, menyebabkan kern ikterus
Tidak ditemukan dalam urine
Tidak bereaksi langsung dengan reaksi
Van den Berg

Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1.

Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0,
golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
2.

Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,

akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim


glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu

23

defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam


uptake bilirubin ke sel hepar.
3.

Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke

hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
4.

Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar

hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.


Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.
Diperkirakan

dari

setiap

200

bayi

aterm,

yang

menyusu,

memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti


antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27
mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia
secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama
3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan
menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya
kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun
dengan cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai
timbulnya

kembali

hiperbilirubinemia

dengan

kadar

tinggi,

seperti

sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan


kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu
mengandung 5 -pregnan-3 , 2-diol dan asam lemak rantai panjang, takteresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi
glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu
24

lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin


bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan
dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara
hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam
minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau
terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang
atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya
pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi
yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal
atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya
kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri.
25

Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi
terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma
atau infeksi.
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari.
Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kirakira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah
satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan
mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan
jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya.

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer


Zona

Bagian tubuh yang


kuning

Rata-rata serum bilirubin indirek (


mol/l)

1.

Kepala dan leher

100

2.

Pusat-leher

150

3.

Pusat-paha

200

4.

Lengan + tungkai

250

5.

Tangan + kaki

> 250

26

Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam
hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi
tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko
kehamilan

dan

persalinan

juga

berperan

dalam

diagnosis

dini

ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah


kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat
yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan
diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan
lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung
kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin
indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada
penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat
agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat,
tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat
dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya
memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum
berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia,
petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas,
gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan
pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus
tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan
darah

lain).

Infeksi

intra

uterin

seperti

rubela,

penyakit

sitomegali,
27

toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus


pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya
merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab lain
seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis
karena

perdarahan

tertutup,

kelainan

morfologi

eritrosit

(misalnya

sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan


lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan
kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari
ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah
minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis
neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal,
dan lain-lain.
Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama
kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit
inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi
yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh
proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus yang
baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik,
tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang
dinamakan

hiperbilirubinemia

neonatus.

Ikterus

nonhemolitik

familial

(sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2


atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu
pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya;
keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis,
toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul
sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari
pertama

kelahiran

atau

sesudahnya,

terutama

pada

bayi

prematur.

Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.

28

Ikterus

yang

permulaannya

ditemukan

setelah

minggu

pertama

kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran


empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran
idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital
(sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi
enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit,
anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh
obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat
dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation
peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk
adanya apa yang dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi
menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi
sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia
kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau
galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total.
Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai
beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme
atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus,
hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang
lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan
tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes
Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis

dan

sediaan

apus

yang memperlihatkan bukti

adanya

penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak


terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan
kemungkinan

adanya

hemolisis

akibat

nonimunologik.

Jika

terdapat

hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan,


fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan

29

diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal,
maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik.
Penatalaksanaan
I. Menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan

yang

banyak

dan

mahal,

sehingga

dibutuhkan

suatu

pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan


yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu

menggunakan saat timbulnya

ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadangkadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Kadar bilirubin serum berkala
-

Darah tepi lengkap

Golongan darah ibu dan bayi

Uji coombs

Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau


biopsi hepar bila perlu.

B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir


- Biasanya ikterus fisiologis
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar
bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
- Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
30

- Polisitemia
- Hemolisis

perdarahan

tertutup

(perdarahan

subaponeurosis,

perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).


- Hipoksia.
- Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
- Dehidrasi asidosis.
- Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat
dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
- Biasanya karena obstruksi.
- Hipotiroidisme.
- breast milk jaundice
- Infeksi.
- Neonatal hepatitis.
- Galaktosemia.
- Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
- Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
31

- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.


- Pemeriksaan

lainnya

yang

berkaitan

dengan

kemungkinan

penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis
sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kernicterus.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik,
infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada
masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin,
oksitosin dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.
Mengatasi hiperbilirubinemia
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Obat ini bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat
32

dipercepat. Pengobatan dengan cara

ini tidak

begitu efektif

dan

membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti.


Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya yaitu

pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang

bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20


ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan
oleh

karena

albumin

akan

mempercepat

keluarnya

bilirubin

dari

ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah


dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi
dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat
menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi
dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.
Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
- Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%.
- Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.
- Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
- Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs
direk positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan
seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia,
kadar protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir
kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat,
penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi
berikutnya.

33

Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan
perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu

pemberian

makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar
bersalin dan bangsal bayi yang baik.
Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu kernicterus. Oleh karena itu terhadap
bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai
berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek
telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin
menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris
ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah
beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat
ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia.
Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada
stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan
pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan
hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan
motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.

34

Daftar Pustaka
1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK
of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114
2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft Pediatric
Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468
3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in: Schwartzs
PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page 1496-1498
4. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In:
Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640
5. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The
Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10thedition. ElsevierMosby. Philadelphia. Page 148-153
6.

Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.

7.

Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th
edition. Saunders. 596-598.

8.

Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103

35

You might also like