Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
DR. dr. Aloysius Suryawan, Sp.OG (K)
BAB I
PENDAHULUAN
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin
mampu bertahan hidup diluar rahim (<20 minggu, BB <500 gram). 1 Abortus
diklasifikasikan menjadi abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan
adalah abortus yang berlangsung tanpa suatu tindakan, sedangkan abortus yang
dilakukan dengan sengaja disebut abortus provokatus. Abortus provokatus dibagi
dua kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus kriminalis.2
Abortus merupakan kejadian yang sering ditemukan sehari-hari. Penyebab
abortus spontan tersering adalah akibat abnormalitas kromosom, pada masa usia
kehamilan sebelum 12 minggu, dan lebih dari 90% konsepsi yang memiliki
kariotipe normal akan berlanjut. Keguguran dapat dilihat sebagai proses seleksi
alamiah untuk kontrol kualitas hasil konsepsi.1
Abortus saat ini masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat
Indonesia. Jenis abortus terbanyak di Indonesia adalah abortus kriminalis. Angka
kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak
dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi Secara keseluruhan, kira-kira 1215% dari seluruh kehamilan yang dapat dikenali secara klinis berakhir pada
keguguran, tetapi insidensi sebenarnya dari keguguran, termasuk keguguran yang
tidak dikenali, adalah 2-4 kali lebih tinggi (30-60%). Risiko abortus meningkat
seiring dengan jumlah keguguran pada kehamilan sebelumnya dan perjalanan
usia, tetapi jarang mencapai 40-50%.2,9
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar dua juta abortus terjadi. Estimasi abortus
berdasarkan penelitian ini adalah angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk
setiap 1.000 perempuan usia reproduksi, 15 49 tahun. Perkiraan ini cukup tinggi
bila dibandingkan dengan negara negara lain di Asia dengan skala regional
sekitar 29 aborsi terjadi setiap 1.000 perempuan usia reproduksi.
Alasan seorang wanita melakukan abortus beraneka ragam, yang tersering
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Pengguguran kandungan yang
kebanyakan dipilih adalah cara tidak aman dikarenakan oleh keterbatasan biaya
dan pengetahuan masyarakat mengenai bahaya bahaya abortus tersebut. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan bahwa aborsi yang tidak aman
bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu di Asia Tenggara.
Upaya untuk menurunkan angka kejadian abortus melibatkan kerja sama
banyak pihak; baik pemerintah, tenaga medis, tokoh yang berpengaruh di suatu
daerah dan diri pribadi tiap orang. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menghindari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, tersedianya informasi
dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk kaula muda,
pelayanan pemasangan kontrasepsi, dirumuskannya kebijakan untuk menurunkan
insidensi abortus yang tidak aman serta tersedianya perawatan paska abortus pada
pasien yang mengalami komplikasi.2,9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abortus (aborsi/ abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun
sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas
pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu berdasarkan pada tanggal hari
pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah
keluarnya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram. Definisi abortus
bervariasi, tergantung dari kebijakan hukum dalam melaporkan abortus, kematian
janin, dan kematian neonatus.2
Abortus spontan adalah abortus terjadi tanpa intervensi medis atau mekanis
untuk mengosongkan uterus. Istilah lain yang digunakan adalah miscarriage.1
2.2. Etiologi
Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setengahnya
disebabkan oleh kelainan kromosom, dan setelah trimester pertama, angka
kejadian abortus dan insidensi dari kelainan kromosom menurun (Gambar 2.1).
Mekanisme pasti yang menyebabkan abortus tidak selalu jelas, tetapi pada
bulan-bulan awal kehamilan, ekspulsi ovum secara spontan hampir selalu
didahului oleh kematian mudigah atau janin. Karena itu, pertimbangan etiologis
pada abortus dini antara lain mencakup pemastian kausa kematian janin (apabila
mungkin). Pada bulan-bulan selanjutnya, janin sering belum meninggal in utero
sebelum ekspulsi, dan penyebab ekspulsi tersebut perlu diteliti.1
Gambar 2.1. Frekuensi kelainan kromosom pada abortus dan bayi lahir
mati untuk tiap semester dibandingkan dengan frekuensi kelainan
kromosom pada bayi lahir hidup
Gambar 2.2 Abortus spontan trimester pertama dan kedua dengan usia ibu
Mekanisme pasti yang menyebabkan abortus tidak selalu jelas, tetapi pada
bulan-bulan awal kehamilan, ekspulsi ovum secara spontan hampir selalu
didahului oleh kematian mudigah atau janin. Karena itu, pertimbangan etiologis
pada abortus dini antara lain mencakup pemastian kausa kematian janin (apabila
mungkin). Pada bulan-bulan selanjutnya, janin sering belum meninggal in utero
sebelum ekspulsi, dan penyebab ekspulsi tersebut perlu diteliti.1
2.2.1. Faktor janin
Perkembangan Zigot Abnormal
Temuan morfologis tersering pada abortus spontan dini adalah kelainan
perkembangan zigot, mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang plasenta.
Dalam suatu analisis terhadap 1000 abortus spontan, Hertig dan Sheldon (1943)
menjumpai ovum patologis ("blighted") yang pada separuhnya mudigah
mengalami degenerasi atau tidak ada sama sekali. Ovum yang abnormal semacam
itu dapat dilihat di Gambar 2.3. 1
Gambar 2.3. Ovum abnormal. Potongan melintang sebuah ovum cacat yang
memperlihatkan kantung korion yang kosong yang tertanam didalam massa
endometrium polipoid ( dari Hertig dan Rock, 1944).2
Abortus Aneuploidi
Jacobs dan Hassold (1980) melaporkan bahwa sekitar 95% dari kelainan
kromosom disebabkan oleh kesalahan gametogenesis maternal dan 5 % oleh
kesalahan paternal. Kelainanan kromosom yang sering dijumpai pada abortus
tertera pada tabel 2.2
Tabel 2.1 Temuan Kromosom pada Abortus1
Pemeriksaan Kromosom
Kajii et al.
Eiben et
(1980)
al. (1990)
(%)
(%)
46
51
54
Trisomi autosom
31
31
22
Monosomi X (45,X)
10
Triploidi
Tetraploidi
Anomali structural
Trisomi ganda
0,9
0,7
Trisomi Tripel
0,4
TT
0.8
TT
Simpson
(1980) (%)
Abnormal ( euploidi)
Monosomi autosom G
TT
0,1
Trisomi mosaic
TT
0,1
TT
0,2
TT
0,9
TT = Tidak Tercantum
Trisomi autosom merupakan kelainan kromosom yang tersering dijumpai pada
abortus trimester pertama. Trisomi dapat disebabkan oleh nondisjunction
tersendiri, translokasi seimbang maternal atau paternal, atau inversi kromosom
seimbang. Penataan ulang struktur kromosom secara seimbang djumpai pada 2
sampai 4 persen pasangan dengan riwayat abortus rekuren. Translokasi dapat
ditemukan pada kedua orang tua. Inversi kromosom seimbang juga dapat
dijumpai pada pasangan dengan abortus rekuren. Trisomi untuk semua autosom
kecuali kromosom nomor 1 pernah dijumpai pada abortus, tetapi yang tersering
adalah autosom 13,16,18, 21, dan 22.
Monosomi X (45,X) adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan
memungkinkan lahirnya bayi perempuan hidup (sindrom Turner).
Triploidi sering berhubungan dengan degenerasi plasenta, inkomplet (parsial)
hydatidiform mola mengandung triploidi atau trisomi untuk kromosom 16,
walaupun kebanyakan janin ini mengalami abortus awal, namun beberapa dapat
bertahan lebih lama dan mengalami malformasi. Keadaan ibu dan ayah tidak
meningkatkan insidensi dari triploidi.
Tetraploidi abortus jarang yang dapat lahir hidup dan biasanya terjadi abortus
pada awal gestasi.
Kelainan struktural kromosom jarang menyebabkan abortus dan baru
teridentifikasi setelah dikembangkannya teknik-teknik pemitaan (banding).
Sebagian dari bayi ini lahir hidup dengan translokasi seimbang dan mungkin
normal.1
Abortus Euploidi
Kajii dkk., (1980) melaporkan bahwa 75% dari abortus aneuploid terjadi
sebelum minggu ke-8, sedangkan abortus euploid memuncak pada usia gestasi
sekitar 13 minggu. Stein dkk., (1980) membuktikan bahwa insidensi abortus
euploid meningkat secara drastis setelah usia ibu 35 tahun.1
2.2.2. Fakor Maternal
Infeksi
Infeksi jarang menyebabkan abortus pada manusia. Sejumlah penyakit kronik
diperkirakan dapat menyebabkan abortus. Menurut Sauerwein dkk., 1993.
Brucella abortus dan Campyloacter fetus merupakan kausa abortus pada sapi
yang telah lama dikenal, tetapi keduanya bukan kausa signifikan pada manusia.
Bukti bahwa Toxoplasma gondii menyebabkan abortus pada manusia kurang
meyakinkan. Tidak terdapat bukti bahwa Listeria monocytogenes atau Chlamydia
trachomatis menyebabkan abortus pada manusia (Feist dkk., 1999; Osser dan
Persson, 1996; Paukku dkk., 1999). Menurut Brown dkk., 1997, herpes simpleks
tidak dilaporkan meningkatkan insidensi terjadinya abortus.
Bukti serologis yang mendukung mengenai peran Mycoplasma hominis dan
Ureaplasma urealyticum pada abortus telah disediakan oleh Quinn dkk (1983).
sebaliknya Temmerman dkk. (1992) tidak mendapatkan keterkaitan antara
mikoplasma genital dan abortus spontan. Namun mereka melaporkan bahwa
abortus
spontan
secara
independen
berkaitan
dengan
antibodi
virus
Nutrisi
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa defisiensi salah satu zat gizi atau
defisiensi sedang semua nutrien merupakan kausa abortus yang penting. Mual dan
muntah yang timbul agak sering pada awal kehamilan, dan semua penyakit yang
dipicunya, jarang diikuti oleh abortus spontan. Menurut Maconochie dkk, 2007
menemukan adanya pengurangan resiko abortus pada ibu yang mengkonsumsi
buah dan sayuran segar setiap.1
Pemakaian Obat dan Faktor Lingkungan
Alkohol
Kafein
Radiasi
Faktor Imunologis
Banyak perhatian ditujukan pada sistem imun sebagai faktor penting dalam
kematian janin berulang. Dua model patofisiologis utama yang berkembang
adalah teori autoimun (imunitas terhadap tubuh sendiri) dan teori aloimun
(imunitas terhadap orang lain).1
a. Faktor autoimun
Penyakit kolagen pada pembuluh darah adalah penyakit dimana sistem imun
yang terdapat dalam tubuh menyerang organ tubuh itu sendiri. Penyakit ini sangat
berbahaya pada saat kehamilan maupun diantara kehamilan. Pada penyakit ini,
wanita membuat antibodi untuk jaringan tubuhnya sendiri. Contoh dari penyakit
kolagen yang berhubungan dengan abortus adalah Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan sindroma antibodi antifosfolipid (Antiphopholipid Syndrome/APS).
10
serum
ibu
mendeteksi
faktor-faktor
penyekat
12
13
14
15
3.Abortus Inkomplet
Abortus inkomplet ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersamasama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila seluruh atau
sebagian placenta tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan
16
yang merupakan tanda utama abortus inkomplet. Pada abortus yang lebih lanjut,
perdarahan
kadang-kadang
sedemikian
masif,
sehingga
menyebabkan
hipovolemia berat.1
17
Prakiraan Insiden
5%
Kromosomal
Multifaktorial
19
Faktor Anatomik
12 %
1. Kongenital
a. Incomplete Mullerian fusion or septum
rearsorbtion
b. Paparan Diethylstillbestrol
c. Anomali arteria uterine
d. Inkompetentia serviks
2. Didapat/Akuisita
a. Inkompetentia serviks
b. Sinekhia
c. Leiomioma
d. Endometriosis, adenomiosis
Faktor Endokrin
a. Insufisiensi
17 %
fase
luteal
termasuk
kelainan
luteinizing hormone
b. Kelainan tiroid
c. Diabetes Mellitus
d. Kelainan androgen
e. Kelainan prolaktin
Faktor Infeksi
5%
1. Bakteri
2. Virus
3. Parasit
4. Zoonotik
5. Fungus
Faktor Immunologi
50 %
1. Mekanisme Humoral
a. Antibodi Antiphospholipid
b. Antibodi antisperm
c. Antibodi Antitrofoblast
d. Blocking antibody deficiency
20
2. Mekanisme seluler
a. Respon imun seluler TH1 pada antigen
reproduksi
(embryo/trophoblast-toxic
factors/cytokines)
b. Sitokin
TH2,
growth
factor
dan
defisiensi onkogen
c. Supressor cell and factor deficiency
d.
Major
histocompatibility
antigen
expression
Faktor-faktor lain
10 %
1. Lingkungan
2. Obat-obatan
3. Abnormalitas plasenta
Sirkumvalata
Marginal
4. Kelainan Medis
a. Faktor kelainan jantung
b. Faktor renal
c. Faktor hematologik
5. Faktor Pria
6. Koitus
7. Latihan
2.4.3 Patofisiologi
Pada awal terjadinya abortus terjadi perdarahan pada desidua basalis
sehingga embrio lepas partial atau total, diikuti nekrosis jaringan sekitarnya.
Kemudian plasenta menjadi tidak berfungsi. Hasil konsepsi yang terlepas
sebagian atau seluruhnya akan menjadi benda asing dalam uterus. Hal ini yang
menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, diikuti dilatasi
cervix dan pengeluaran sebagian atau seluruh hasil konsepsi.8
21
terjadinya
antiphospholipid
syndrome"
(trombosis,
autoimmune phenomena)
5. Faktor genetika antara suami istri (kosanguinitas)
22
23
24
25
menyelamatkan
nyawa
ibu.
Karena
abortus
terapeutik
untuk
26
27
sehingga terjadi dilatasi serviks yang memadai sehingga dapat dilakukan dilatasi
mekanik dan kuretase. Laminaria dapat menyebabkan kram.1
Teknik dilatasi dan kuretase
Bibir serviks anterior dijepit dengan tenakulum bergerigi, anestetik lokal
misalnya Lidokain 1 atau 2 persen sebanyak 5 ml disuntikkan secara bilateral ke
dalam serviks. Cara lain, digunakan blok paraservikal.1
Uterus disonde dengan hati-hati untuk mengidentifikasi status os internum dan
untuk memastikan ukuran dan posisi uterus. Serviks diperlebar labih lanjut
dengan dilator Hegar atau Pratt sampai kuret isap aspirator vakum dengan ukuran
diameter yang memadai dapat dimasukkan. Jari keempat dan kelima tangan yang
memasukkan dilator harus diletakkan di perineum dan bokong sewaktu dilator
didorong melewati os internum. Hal ini merupakan pengamanan tambahan agar
tidak terjadi perforasi uterus.1
Kemudian digunakan kuretase isap untuk mengaspirasi produk kehamilan.
Aspirasi vakum digerakkan di atas permukaan secara sistematis agar seluruh
rongga uterus tercakup. Apabila ini telah dilakukan dan tidak ada lagi jaringan
yang terhisap, dilakukan kuretase tajam dengan hati-hati apabila diperkirakan
masih terdapat potongan janin atau plasenta. Kuret tajam lebih efektif, dan bahaya
yang ditimbulkan seharusnya tidak lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh
instrumen tumpul. Perforasi uterus jarang terjadi saat kuret digerakkan ke bawah,
tetapi dapat terjadi saat memasukkan instrumen ke dalam uterus, manipulasi
hanya dilakukan oleh ibu jari dan telunjuk.1
Perlu ditekankan kembali bahwa morbiditas, segera atau belakangan, dapat
dijaga minimal apabila :
1.
2.
3.
Perforasi uterus
28
Perforasi uterus secara tidak sengaja dapat terjadi saat sondase uterus, dilatasi
atau kuretase. Dua penentu penting terjadinya peyulit ini adalah keterampilan
dokter dan posisi uterus; kemungkinan perforasi uterus meningkat apabila uterus
terletak retrofleksi. Perforasi uterus ini mudah dikenali, karena instrumen masuk
lebih jauh tanpa tahanan yang seharusnya. Observasi saja mungkin memadai
apabila perforasi uterusnya kecil, seperti yang ditimbulkan oleh sonde uterus atau
dilator kecil.1
Kerusakan intraabdomen yang sangat besar dapat ditimbukan oleh instrumen
yang melewati suatu defek uterus dan masuk ke dalam rongga peritoneum. Hal ini
terutama berlaku kuret isap dan tajam. Dalam hal ini, tindakan yang paling aman
dilakukan adalah laparotomi untuk memeriksa isi abdomen, terutama usus. Cedera
usus yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan peritonitis berat dan sepsis.1
Sejumlah wanita mungkin mengalami serviks inkompeten atau senekie uterus
setelah dilatasi dan kuretase. Secara umum, risiko terjadi keduanya kecil.
Sayangnya, abortus pada tahap kehamilan lebih lanjut dengan kuretase dapat
memicu koagulasi intravaskular difus mendadak yang berat dan dapat
mematikan.1
Laparatomi
Pada beberapa kasus, histerotomi atau histerektomi abdomen untuk abortus
lebih disukai daripada kuretase atau induksi medis. Apabila terdapat penyakit
yang cukup signifikan pada uterus, histerektomi mungkin merupakan terapi yang
ideal. Apabila akan dilakukan sterilisasi, mungkin diindikasikan histerotomi
disertai ligasi tuba atau histerektomi. Kadang-kadang harus dilakukan histerotomi
atau histerketomi karena induksi medis pada kehamilan trimester ke dua gagal.1
Induksi abortus secara medis
Sepanjang sejarah,banyak bahan alami pernah dicoba sebagai abortifasien oleh
wanita yang berupaya keras untuk tidak hamil. Umumnya yang terjadi bukan
abortus tetapi penyakit sistemik serius atau bahkan kematian. Bahkan saat ini,
hanya terdapat sedikit obat abortufasien yang aman dan efektif.1
Oksitosin. Pemberian oksitosin dosis tinggi dalam sedikit cairan intravena
dapat menginduksi abortus pada kehamilan trimester kedua. Salah satu regimen
29
30
31
dan metotreksat dengan misoprostol. Mereka menyimpulkan bahwa regimenregimen ini memiliki angka keberhasilan yang tinggi untuk gestasi dini.1
Mifepriston (RU 486). Antiprogesteron oral ini telah digunakan untuk
menimbulkan abortus pada gestasi dini. Baik tersendiri atau kombinasi dengan
prostaglandin oral. Efektivitas obat ini sebagai abortifasien didasarkan pada
afinitas reseptornya yang tinggi terhadap tempat pengikatan progesteron (Healy
dkk.,1983). RU 486 dosis tunggal 600 mg yang diberikan sebelum gestasi 6
minggu menyebabkan abortus pada 85 persen kasus. RU 486 juga sangat efektif
untuk kontrasepsi paskakoitus darurat apabila diberikan dalam 72 jam (Glasier
dkk., 1993). Setelah 72 jam, obat ini semakin berkurang efektifitasnya.
Penambahan berbagai prostaglandin oral, pervaginam, atau suntikan ke regimen
ini menghasilkan angka abortus sebesar 95 persen atau lebih.1
Efek samping RU 486 adalah mual, muntah dan kram pencernaan. Risiko
utama yang terkait adalah perdarahan akibat ekspulsi kehamilan parsial dan akibat
perdarahan intraabdomen dari kehamilan ektopik dini yang tidak diperkirakan
sebelumnya. Durasi perdarahan pervaginam adalah sekitar 2 minggu setelah RU
486 saja dan sekitar 1 sampai 2 minggu setelah RU 486 plus prostaglandin.1
Epostan. Inhibitor hidroksisteroid-3 dehidrogenase ini menghambat sintesis
progesteron endogen. Apabila diberikan dalam 4 minggu setelah hari pertama haid
terakhir, obat ini akan memicu abortus pada sekitar 85 persen wanita. Mual
merupakan efek samping tersering dan apabila abortusnya tidak komplet terdapat
resiko perdarahan. Antiprogestin yang lain, misalnya ZK 98.734.1
2.7.1 Legalitas
Pada tahun 1973 yang lalu abortus elektif kembali dilegalkan di Amerika
Serikat. Dalam sejarah abortus terdapat beberapa keputusan Mahkamah Agung
yang perlu diketahui.
Roe Versus Wade
32
Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
2.
waktunya.
Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamatamati dengan teliti. Jika`ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparotomi dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka
3.
4.
33
34
BAB III
KESIMPULAN
1. Abortus adalah pengakhiran kehamilan, baik secara spontan maupun
dengan sengaja, sebelum janin berkembang secukupnya untuk bertahan di
luar kandungan, pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu masa gestasi
atau berat badan lahir kurang dari 500 gram.
2. Abortus dibagi atas abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan
dibagi atas abortus iminens (keguguran mengancam), abortus insipiens
(keguguran berlangsung), abortus inkomplet (keguguran tidak lengkap),
abortus komplet (keguguran lengkap), missed abortion (abortus tertunda)
dan abortus habitualis (keguguran berulang).
3. Abortus habitualis adalah pengakhiran kehamilan secara spontan tiga kali
berturut-turut pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat badan
janin kurang dari 500 gram.
4. Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari
sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang.
Bila tejadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lebih
cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan
adanya myoma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks.
5. Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi,
infeksi dan syok.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hauth J, Wenstrom K,
editors. Abortion. In Williams Obstetrics. New York: Mc. Graw Hill; 2010.
p. 215.
2. Handono B, Firman FW, Mose JC, editors. Abortus Berulang Bandung:
Refika Aditama; 2009.
3. Anonim. eMedicineHealth. [Online].; 2010 [cited 2015 Januari 27.
Available from:
http://www.emedicinehealth.com/abortion/article_em.htm.
4. Kalolo L, Darmadi S. Abortus Habitualis pada Antiphospholipid
Syndrome. Laporan Kasus. Surabaya: Univeritas Airlangga; 2009.
5. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Dalam Wiknjosastro H,
editor. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2008. p. 460-473.
6. Wibowo B. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam Wiknjosastro H,
editor. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2008. p. 302-312.
7. Krisnadi SR. Kelainan Lama Kehamilan. Dalam Obstetri Patologi Ilmu
Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC; 2005. p. 1-9.
8. James S. Early Pregnancy Loss. Dalam Danforth's Obstetrics and
Gynecology. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2000. p. 143153.
9. Hadijanto B. Abortus Spontan Berulang. Dalam Ilmu Kedokteran
Fetomaternal.
Surabaya:
Himpunan
Kedokteran
Fetomaternal
36