You are on page 1of 59

ISSN 0215-1243

WARTA

IHP

JURNAL INDUSTRI HASIL PERTANIAN


Journal of Agro-based Industry

Warta IHP

Vol. 32

No.2

Hal 45--82

Bogor,
Desember 2015

ISSN
0215-1243

Halaman | i

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) adalah wadah informasi bidang riset teknologi industri hasil pertanian
yang meliputi makalah penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan teknologi pangan,
teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan, mikrobiologi pangan, energi
terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)). Terbitan pertama dimulai pada tahun 1984
dan selanjutnya terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juli dan Desember pada tahun berjalan.
Penanggungjawab

Kepala Balai Besar Industri Agro

Officially incharge

Head of Center for Agro-based Industry

Ketua Dewan Redaksi

Dr. Ir. Rizal Alamsyah, M.Sc. (Teknologi Pertanian, Bioenergy dan


Food Engineering) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;

Chief Editor

rizalams@yahoo.com

Anggota Dewan Redaksi Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc (Postharvest Technology)
Editorial board

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering


and Technology, Bogor Agricultural University, Gedung Fateta Lantai 2, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680
Dr. Ir. Tania Surya Utami, M.T. (Bioseparation) Departemen Teknik Kimia,
Universitas Indonesia; nana@che.ui.ac.id

Dr. Ir. Lamhot Parulian Manalu, M.Si. (Teknologi Pertanian)


BPPT Gd. 2 Lt 15 Jl. MH. Thamrin 8 Jakarta 10340; lpmanalu@yahoo.com,
lamhot.parulian@bppt.go.id

Dr. Hendra Wijaya, S.Si., M.Si. (Kimia Pangan, Pangan Fungsional)


Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122; faizawijaya@gmail.com

Ir. Agus Sudibyo, M.P. (Rekayasa dan Teknologi Pangan)


Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122; asdibyo_as@yahoo.co.id

Ning Ima Arie Wardayanie, S.T.P., M.PharmSc. (Kimia Pangan, Analisis Kimia,
Pangan Fungsional) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
ni_arie@yahoo.com

Mitra Bestari

Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T. (Teknologi Proses Industri Pertanian)

Peer Reviewer

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian


Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220, Bogor 16002; ono.suparno@ipb.ac.id

Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech. (Environmental (Bio)Process Engineering)


Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia; mgozan@che.ui.ac.id

Prof. Dr. Ir. Sutrisno Mardjan, M.Agr. (Teknik Biosistem dan Teknik Pasca
Panen) Department of Mechanical and Bio-System Engineering, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor; kensutrisno@yahoo.com

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. (Food Processing and Engineering,
Food Process and Engineering Laboratory)
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and
Technology, Bogor Agricultural University. PO Box 220 Bogor 16110; hariyadi@seafast.org,
phariyadi@ipb.ac.id

Dr. Ir. Inggrid S. Surono, M.Sc. (Mikrobiologi Pangan dan Bioteknologi


Pangan) Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Bina
Nusantara; gridsw@yahoo.com

Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si. (Teknik Pertanian Pengolahan Pangan)


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung BPPT II Lt. 15, Jl. MH. Thamrin No. 8
Jakarta Pusat

Redaksi Pelaksana
Copyeditor
Desain Grafis
Graphic Design
Sekretariat
Secretariat

Rina Septi Agnisari, S.T.


Anggraeni, S.A.P.
Rika Sumarteliani, S.T.
Meity Suryeti

ALAMAT:
Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI), Kementerian Perindustrian
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122 Tel.: 0251 8324068; Fax.: 0251 8323339 e-mail : warta.ihp@gmail.com

Halaman | ii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .............................................................................................................
Daftar Isi .....................................................................................................................
Kata Pengantar ............................................................................................................
Lembar Abstrak ...........................................................................................................

i
ii
iii
iv

Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur Berbahan Minyak Sawit dan Minyak Inti
Sawit menjadi Produk Olesan untuk Roti Tawar
Hasrul Abdi Hasibuan dan Aga Prima Hardika ...............................................................

45-50

Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin
terhadap Kandungan Nutrisi Cokelat Oles
Nami Lestari, Mirna Isyanti dan Aries Wibisono ............................................................

51-61

Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba (Neem Seed Oil) dan Purifikasinya
Tiurlan Farida Hutajulu dan Nobel Christian Siregar ................................................
62-67
Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol
Enny Hawani Loebis, Yuliasri Ramadhani Meutia, dan Lukman Junaidi ...........................

68-74

Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan
Mikroba
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Loebis ......................................................................

75-82

Indeks Subyek ......................................................................................................................


Indeks Pengarang .................................................................................................................
Pedoman Penulisan Warta IHP .....................................................................................
Ucapan Terima Kasih ...........................................................................................................

x
xi
xii
xix

Halaman | iii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

KATA PENGANTAR
Warta IHP adalah majalah ilmiah Balai Besar Industri Agro (BBIA), Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri (BPPI), Kementerian Perindustrian, yang diterbitkan dua kali dalam
setahun.
Warta IHP mempublikasikan hasil penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan
teknologi pangan, teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan,
mikrobiologi pangan, energi terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)).
Dalam penerbitan Warta IHP Volume 32 No. 2 Desember 2015 ini menyajikan 5 (lima) karya tulis
ilmiah yang merupakan hasil litbang, yaitu: (1) Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur Berbahan
Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit menjadi Produk Olesan untuk Roti Tawar; (2) Pengaruh Variasi
Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap Kandungan Nutrisi Cokelat
Oles; (3) Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba (Neem Seed Oil) dan Purifikasinya; (4)
Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol; dan (5) Pembuatan Nata dari bahan
Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba.
Kami mengharapkan kritik dan saran para pembaca agar dapat meningkatkan kualitas majalah
ilmiah ini.
Demikian semoga majalah ilmiah ini menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang bermanfaat
bagi pembaca dan pelaku industri.
Dewan Redaksi

Halaman | iv

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

LEMBAR ABSTRAK

Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur Berbahan Minyak Sawit


dan Minyak Inti Sawit menjadi Produk Olesan untuk Roti Tawar
Hasrul Abdi Hasibuan dan Aga Prima Hardika
Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
hasibuan_abdi@yahoo.com

Margarin dan cokelat tabur (meses) sering digunakan secara bersamaan sebagai selai untuk menambah cita
rasa pada roti tawar. Secara komersial, kedua produk tersebut dikemas secara terpisah, dengan demikian
penelitian ini dilakukan untuk memformulasi margarin dan meses menjadi satu produk olesan. Margarin
dibuat dengan mencampurkan antara fase lemak (palm oil, palm stearin dan red palm oil pada rasio 70:25:5),
flavor, lesitin, BHA & BHT) dan fase air (air dan garam) yang didinginkan pada suhu 4 C dan diaduk hingga
homogen. Setelah margarin membentuk kristal semi padat, sejumlah meses yang terbuat dari cocoa butter
substitute, gula dan cocoa powder ditambahkan ke dalamnya dengan konsentrasi 5-50% b/b terhadap
margarin. Produk di-tempering pada suhu 18-22 C selama 2x24 jam kemudian dipindah ke ruangan suhu
28-30 C. Mutu produk dianalisa meliputi kadar lemak, air, karoten dan gizi serta uji organoleptiknya.
Hasilnya adalah produk berbentuk semi padat dengan tekstur lunak dan berwarna kuning kecokelatan.
Semakin banyak cokelat tabur membuat kadar lemak, air dan karoten pada margarin menurun sementara
warna semakin cokelat. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah cokelat tabur
memberikan tingkat kesukaan panelis relatif tinggi terhadap tekstur, rasa, warna dan bentuk. Produk yang
paling disukai oleh panelis adalah campuran cokelat tabur sebanyak 40-50 %.
Kata kunci: margarin, cokelat tabur, karoten, minyak sawit, minyak inti sawit

Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan


Minyak Ikan Patin terhadap Kandungan Nutrisi Cokelat Oles
Nami Lestari1), Mirna Isyanti1), dan Aries Wibisono2)
1)Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
2)Mahasiswa S1 Universitas Pakuan dan Staf BBIA

namilestari65@gmail.com

Ikan patin merupakan salah satu hasil perikanan yang cukup berpotensi dikembangkan di Indonesia. Minyak
ikan patin memiliki kandungan asam lemak esensial (omega 3, omega 6, omega 9) dan vitamin D yang cukup
tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu produk pangan salah
satunya cokelat oles. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat produk cokelat oles yang lebih kaya nutrisi
dan bermutu baik dengan menentukan formulasi penambahan minyak ikan patin sebagai salah satu bahan
utama penyusun selain lemak cokelat dan olein sawit serta dengan menentukan teknologi yang tepat dalam
proses pembuatan cokelat oles berdasarkan tingkat kesukaan masyarakat. Penelitian ini dibagi menjadi
empat tahap yaitu pembuatan minyak ikan patin, analisis bahan baku, pembuatan cokelat oles, serta uji
karakteristik fisik dan kimia produk cokelat oles yang dibuat. Cokelat oles dibuat dengan dua variabel
perlakuan yaitu perbandingan komposisi lemak cokelat, olein sawit dan minyak ikan patin serta teknologi

Halaman | v

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
pencampurannya. Formulasi perbandingan komposisi lemak cokelat : olein sawit : minyak ikan patin yang
digunakan secara berturut-turut yaitu (1) 40% : 60% : 0%; (2) 40% : 50% : 10%; (3) 40% : 40% : 20% dan
(4) 40% : 30% : 30%. Teknologi pencampuran yang digunakan adalah dengan mixer + waterbath, ball mill 1
jam, dan ball mill 2 jam. Cokelat oles selanjutnya diuji secara organoleptik. Cokelat oles yang terpilih dari
hasil uji organoleptik kemudian diuji kandungan nutrisinya. Cokelat oles terbaik adalah cokelat oles dengan
komposisi 40% lemak cokelat, 40% olein sawit dan 20% minyak ikan patin serta dibuat dengan teknologi
pengolahan menggunakan alat ball mill selama 1 jam. Cokelat oles tersebut memiliki nilai hardness 11,00 g;
kadar air 8,34%; abu 2,98%; protein 1,97%; lemak 29,20%; karbohidrat 57,51%; asam lemak bebas 0,35%;
asam oleat 11,63%; asam linoleat 2,98%; asam linolenat 0,05% serta vitamin D 7,57 ug/100 g. Cokelat oles
dengan kandungan minyak ikan patin ini memiliki kadar protein, lemak, asam oleat dan asam linolenat yang
lebih tinggi daripada cokelat oles tanpa kandungan minyak ikan patin.
Kata kunci: lemak cokelat, olein sawit, minyak ikan patin, cokelat oles

Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba


(Neem Seed Oil) dan Purifikasinya
Tiurlan Farida Hutajulu dan Nobel Christian Siregar
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
tiurlan.hutajulu@yahoo.com

Minyak mimba (neem seed oil) dapat dimanfaatkan dalam bidang kosmetika antara lain: sabun antiseptik,
shampoo, krim lulur, dan lotion anti-serangga. Minyak mimba dapat diperoleh dengandi press ataupun
diekstrak menghunakan heksan. Rendemen minyak mimba dengan cara pengepresan relatif lebih sedikit
Sehingga dilakukan pengembangan ekstraksi minyak mimba dengan pengukusan biji mimba selama 30 menit
untuk membuka sel-sel dari jaringan minyak sebelum dilakukan hydroulic press dan screw press. Kemudian
dilakukan penjernihan minyak dengan bleaching earth dan arang aktif sehingga diperoleh minyak yang lebih
jernih. Pada penelitian ini dilakukan 2 (dua) tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.
Penelitian pendahuluan dibagi 2 (dua) tahap yaitu tahap ke-1, persiapan bahan baku dengan cara pemisahan
kulit biji mimba dan penggilingan sehingga bubuk. Tahap ke-2, proses pengukusan bubuk biji mimba selama
30 menit dan dikeringkan dioven 50oC selama 30 menit kemudian di ekstrak dengan cara hydroulic press dan
screw press. Pada penelitian lanjutan, purifikasi minyak dengan arang aktif dan silikat (bleaching earth) untuk
memperoleh minyak mimba yang lebih jernih. Hasil penelitian diperoleh rendemen minyak tertinggi dengan
cara kukus sekitar 22 % serta hasil purifikasi/penjernihan minyak diperoleh warna minyak lebih jernih.
Minyak mimba diesterifikasi dan dianalisis menggunakan Gas chromatography (GC) Hasil analisis minyak
dengan gas kromatografi diperoleh dua komponen tertinggi yaitu senyawa eugenol dan asam palmitat.
Kata kunci : biji mimba, ekstraksi, purifikasi, press hidroulik, bleaching earth

Halaman | vi

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol


Delignification Process of Market-place Waste for Bioethanol Production
Enny Hawani Loebis, Yuliasri Ramadhani Meutia, dan Lukman Junaidi
Balai Besar Industri Agro Bogor
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
loebis_enny@yahoo.com.com

Limbah organik pasar merupakan sumber biomassa yang cukup penting untuk dimanfaatkan menjadi
bioetanol. Salah satu permasalahan dalam produksi bioethanol dari biomassa adalah adanya kandungan
lignin yang sulit untuk diuraikan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses delignifikasi limbah
pasar untuk produksi bioetanol. Tahapan proses produksi bioetanol yang diamati meliputi proses
delignifikasi serta hidrolisis enzimatis dan fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan proses delignifikasi
pada sabut kelapa dapat menurunkan kadar lignin sebesar 21,64 %. Proses fermentasi simultan
menggunakan Trichoderma pada sabut kelapa menghasilkan bioetanol 0,07 % pada hari ke-4 dan hari ke-5.
Fermentasi simultan menggunakan P. nalgiovense S11, menghasilkan bioetanol mulai pada hari ke-3, dan
cenderung terjadi peningkatan sampai hari ke-5. Fermentasi simultan menggunakan P. nalgiovense S11
menghasilkan kadar bioetanol, untuk sabut kelapa maksimum 1,07%; kulit jagung maksimum 1%, dan
tongkol jagung maksimum 5,51 %. Pada fermentasi terpisah menggunakan P. nalgiovense S11, pembentukan
bioetanol untuk kulit jagung dan jerami terjadi pada hari ke-4 dan ke-5 maksimum 0,8%. Secara keseluruhan,
bioetanol yang terbentuk dari proses fermentasi simultan lebih besar daripada proses fermentasi terpisah.
Kata kunci: limbah organik, delignifikasi, hidrolisis enzimatis, fermentasi, bioetanol

Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan


Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Loebis
Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
rizalams@kemenperin.go.id; rizalams@yahoo.com

Masalah dalam produksi nata de coco adalah keterbatasan air kelapa sebagai bahan baku. Kendala lain adalah
bahwa air kelapa tidak dapat disimpan untuk waktu yang lama yang diakibatkan kerusakan nutrisi dalam air
kelapa oleh mikroba. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari mikroba dan konsentrasi nutrisi pada
produksi nata dengan menggunakan air tawar sebagai bahan baku. Produksi nata dengan menggunakan
substrat air dilakukan dengan menambahkan gula sukrosa (gula) 10%, urea 0,5%, asam glacial asetat 2 %
atau cuka dapur 25% sebanyak 16 ml / liter air kelapa. Nata pembuatan dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut: peremajaan kultur A. xylinum, preparasi substrat, preparasi starter, fermentasi, pemanenan produk,
dan evaluasi hasil. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis air yang memberikan kualitas terbaik
berasal dari air mineral dengan pendidihan terlebih dahulu. Hasil yang sama juga menunjukkan dari nata
berasal dari air sumur. Kekurangan nata de coco yang dihasilkan dari air adalah rendemen yang lebih rendah
dibandingkan dengan nata yang dihasilkan dari media air kelapa. Karakteristik lain dari nata yang dihasilkan
dari air adalah elastisitas produk yang sama, kadar abu yang rendah, dan warna putih.
Kata kunci: nata de coco, air kelapa, air tawar, mikroba

Halaman | vii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

Formulation of Margarine and Chocolate Sprinkles Made With Palm Oil and Palm
Kernel Oil into Spread Product for White Bread
Hasrul Abdi Hasibuan dan Aga Prima Hardika
Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
hasibuan_abdi@yahoo.com

Margarine and chocolate sprinkles (meises) are often used simultaneously as spread for increasing taste of
white bread. Commercially, both of the product are packaged separately, therefore this research was
conducted to formulate margarine and mesises become one spread product. Margarine was prepared by
mixing the oil phase (palm oil, palm stearin and red palm oil at ratio 70:25:5, flavour, lecithin, BHA&BHT) and
the water phase (water and salt) and then were chilled using cooling media at 4 C and stirred until
homogeneous. After the margarine form semi solid crystal then chocolate sprinkles made with cocoa butter
substitute, sugar and cocoa powder was added at different percentage 5 to 50% (w/w of the margarine) and
were mixed well. The product was tempered at 18-20 C for 2x24 hours and then kept at room temperature
(28-30 C). The quality of products were analyzed of the fat, water, carotene, nutritional content and
organoleptic test. The results were products with semi solid form, soft texture and yellowish brown color.
The higher the concentration of chocolate sprinkles in product provide fat content, water content and
carotene content decreased while brown color increased. The result of organoleptic test was shown that the
increase of the concentration of chocolate sprinkles the higher the preference of the panelists on texture,
taste, color and form. Adding 40-50 % chocolate sprinkles was the most prefered by panelysts.
Keywords: margarine, chocolate sprinkles, carotene, palm oil, palm kernel oil

The Effects of Cocoa Butter, Palm Olein and Catfish Oil Composition Variation
on The Nutritional Value of Chocolate Spread
Nami Lestari1), Mirna Isyanti1), dan Aries Wibisono2)
1)Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
2)Mahasiswa S1 Universitas Pakuan dan Staf BBIA

namilestari65@gmail.com

Catfish is one of Indonesian fishery products which have the potential to be developed. The amount of
essential fatty acids (omega 3, omega 6), omega 9 and vitamin D in catfish oil are quite high. They can be used
to increase the nutritional value of a food product such as chocolate spread. The purpose of this research is to
determine the appropriate formula of catfish oil, palm olein and cocoa butter as ingredients chocolate
spread and its processing technology to produce a chocolate spread with a good quality and having high
nutritive value based preference level of society. The research was divided into four phases, the
manufacture of catfish oil, analysis of raw materials, manufacture of chocolate spread, and analysis of the
physical and chemical characteristics of chocolate spread products. Chocolate spread was made with
tobservation of two treatment variables. The first is composition ratio of cocoa butter, palm olein and
catfish oil. The second is a processing technology to produce the chocolate spread. The composition ratio (%)
were (1) 40: 60 : 0 ; (2) 40 : 50 : 10 ; (3) 40 : 40 : 20 and (4) 40 : 30 : 30 . The processing technology use were
mixer + waterbath, 1 hour ball mill, and 2 hours ball mill. Chocolate spread was further tested
organoleptically. Then the selected spread was tested for the nutritional content. The best chocolate spread

Halaman | viii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
was the one with 40 % cocoa butter, 40 % palm olein and 20 % catfish oil formulation with 1 hour ball mill
processing technology. That product had hardness value of 11.00 g and contained 8.34 % water; 2.98 % ash;
1.97 % protein; 29.20 % fat; 57.51 % carbohydrate; 0.35 % free fatty acids; 11.63 % oleic acid; 2.98 %
linoleic acid; 0.05 % linolenic acid and 7.57 ug/100 g vitamin D. The chocolate spread with catfish oil has
levels of protein, fat, oleic acid and linoleic acid higher than the chocolate spread without catfish oil content.
Keywords: cocoa butter, olein, catfish oil, chocolate spread

Extraction Process Improvement of Neem Seed Oil and Its Purification


Tiurlan Farida Hutajulu dan Nobel Christian Siregar
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
tiurlan.hutajulu@yahoo.com

Neem oil (neem seed oil) can be utilized in the field of cosmetics, among others: antiseptic soap, shampoo,
cream scrub , and anti-insect lotion. Neem oil can be obtained by means of pressing or extracted with hexane.
The yield of oil from pressed neem seed is relatively less. Therefore it was conducted to develope of neem oil
extraction to increase oil yield by steaming of neem seed for 30 minutes to open the cells of the tissue prior
to pressing by hydroulic oil press and a screw press. Then purification was conducted using bleaching earth
and activated charcoal in order to obtain clearer neem seed oil. In this research, two (2) phases of research
Preliminary research conducted two (2) phases: 1st, preparation of raw materials by means of the separation
of the skin from neem seeds and grinding to powder. Phase 2, steaming process neem seed powder for 30
minutes and dried 50 C oven for 30 minutes ,then extract the oil by means hydroulic pressed and screw
press. On further research, oil purification with active charcoal and silicate (bleaching earth) to obtain a
clearerneem oil. The results obtained by the highest oil yield by means of steam around 22% and the results
of purification was clearer oil colors. Neem seed oil was esterified and analyzed by using Gas
Chromatography. Oil analysis resulted by gas chromatography showed two main components namely
eugenol and palmitic acid.
Keywords : neem seed, extraction, purification, hydraulic press, bleaching earth.

Delignification Process of Market-place Waste for Bioethanol Production


Enny Hawani Loebis, Yuliasri Ramadhani Meutia, dan Lukman Junaidi
Balai Besar Industri Agro Bogor
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
loebis_enny@yahoo.com.com

Biomass waste from market-place is an important source to be utilized in bioethanol production. One of the
problems in the production of bioethanol from biomass is the lignin content that is difficult to degradate. This
research aims to study the process of delignification of biomass waste for bioethanol production. Bioethanol
production process observed consist of: delignification processes, enzymatic hydrolysis and fermentation.
The results showed delignification process in coco-husk can lower lignin content by 21.64%. The
simultaneous fermentation process using Trichoderma on coconut fiber produce bioethanol 0.07% on day 4
and day 5. The simultaneous fermentation using P. nalgiovense S11, produce bioethanol started on the 3rd
day of fermentation, and tends to increase until day 5. The simultaneous fermentation using P. nalgiovense

Halaman | ix

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
S11 on coconut husk produced bioethanol content maximum 1.07%; corn husk maximum 1% and corn cobs
maximum 5.51%. On a separate fermentation using P. nalgiovense S11, the production of bioethanol for raw
material corn husks and straw occurred on days 4 and 5 maximum 0.8%. Overall, ethanol produce by
simultaneous fermentation process is greater than the separate fermentation process.
Keywords: organic waste, delignification, enzymatic hydrolisis, fermentation, bioethanol

Production Bacterial Celllulose from Fresh Water with Nutritional and Microbial
Treatment
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Loebis
Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
rizalams@kemenperin.go.id; rizalams@yahoo.com

The problems of production of nata de coco is the limition of coconut water as a raw material. The other
constrain relates to the coconut water storage for a long time causes damage to the nutrients contained in
coconut water by microbes. This study aimed to assess the effect of microbial and nutrition consentration on
the production of nata using fresh water as raw materials. Production of Nata by using water substrate is
done by adding the sugar sucrose (sugar) 10%, urea 0.5%, 2% glacial acetic acid or vinegar kitchen 25% as
much as 16 ml / liter of coconut water. Nata -making process through the following stages: maintenance and
rejuvenation of culture A. xylinum, substrate preparation, preparation starter, fermentation, harvesting,
processing the results. From research conducted, it can seen that the type of water that result in the best
quality mineral water that is heated to boiling, but these results are also not significantly different from that
grown on media nata well water. In general, lack of nata de coco with medium amount of water contained in
the resulting rendemen which is lower when compared to the coconut water media. Besides elasticity is not
significantly different, lower ash content, and the resulting color is more white. nowdays people tend to
substitute such raw materilas to other raw materials.
Keywords: nata de coco, coconut water, fresh water, microbes

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 45-50


Halaman | 45

Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur Berbahan Minyak Sawit


dan Minyak Inti Sawit menjadi Produk Olesan untuk Roti Tawar
Formulation of Margarine and Chocolate Sprinkles Made With Palm Oil and Palm
Kernel Oil into Spread Product for White Bread
Hasrul Abdi Hasibuan dan Aga Prima Hardika
Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
hasibuan_abdi@yahoo.com

Riwayat Naskah:
Diterima 01,2015
Direvisi 02, 2015
Disetujui 08, 2015

ABSTRAK: Margarin dan cokelat tabur (meses) sering digunakan secara


bersamaan sebagai selai untuk menambah cita rasa pada roti tawar. Secara
komersial, kedua produk tersebut dikemas secara terpisah, dengan demikian
penelitian ini dilakukan untuk memformulasi margarin dan meses menjadi satu
produk olesan. Margarin dibuat dengan mencampurkan antara fase lemak (palm
oil, palm stearin dan red palm oil pada rasio 70:25:5), flavor, lesitin, BHA & BHT)
dan fase air (air dan garam) yang didinginkan pada suhu 4 C dan diaduk hingga
homogen. Setelah margarin membentuk kristal semi padat, sejumlah meses yang
terbuat dari cocoa butter substitute, gula dan cocoa powder ditambahkan ke
dalamnya dengan konsentrasi 5-50% b/b terhadap margarin. Produk di-tempering
pada suhu 18-22 C selama 2x24 jam kemudian dipindah ke ruangan suhu 28-30
C. Mutu produk dianalisa meliputi kadar lemak, air, karoten dan gizi serta uji
organoleptiknya. Hasilnya adalah produk berbentuk semi padat dengan tekstur
lunak dan berwarna kuning kecokelatan. Semakin banyak cokelat tabur membuat
kadar lemak, air dan karoten pada margarin menurun sementara warna semakin
cokelat. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
cokelat tabur memberikan tingkat kesukaan panelis relatif tinggi terhadap tekstur,
rasa, warna dan bentuk. Produk yang paling disukai oleh panelis adalah campuran
cokelat tabur sebanyak 40-50 %.
Kata kunci: margarin, cokelat tabur, karoten, minyak sawit, minyak inti sawit

ABSTRACT: Margarine and chocolate sprinkles (meises) are often used


simultaneously as spread for increasing taste of white bread. Commercially, both
of the product are packaged separately, therefore this research was conducted to
formulate margarine and mesises become one spread product. Margarine was
prepared by mixing the oil phase (palm oil, palm stearin and red palm oil at ratio
70:25:5, flavour, lecithin, BHA & BHT) and the water phase (water and salt) and
then were chilled using cooling media at 4 C and stirred until homogeneous. After
the margarine form semi solid crystal then chocolate sprinkles made with cocoa
butter substitute, sugar and cocoa powder was added at different percentage 5 to
50% (w/w of the margarine) and were mixed well. The product was tempered at
18-20 C for 2x24 hours and then kept at room temperature (28-30 C). The
quality of products were analyzed of the fat, water, carotene, nutritional content
and organoleptic test. The results were products with semi solid form, soft texture
and yellowish brown color. The higher the concentration of chocolate sprinkles in
product provide fat content, water content and carotene content decreased while
brown color increased. The result of organoleptic test was shown that the increase
of the concentration of chocolate sprinkles the higher the preference of the
panelists on texture, taste, color and form. Adding 40-50 % chocolate sprinkles
was the most prefered by panelysts.
Keywords: margarine, chocolate sprinkles, carotene, palm oil, palm kernel oil

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation:Hasibuan, H. A. & Hardika, A.P. (2015) Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur menjadi Produk Olesan Berbahan Minyak Sawit dan Minyak Inti
Sawit.Warta IHP, 32(2), 45-50

Halaman | 46

1. Pendahuluan
Margarin adalah produk lemak setengah padat
yang merupakan emulsi air di dalam lemak yang
stabilitasnya meningkat dengan penambahan
emulsifier (Zaeroomali et al. 2014). Margarin
mengandung lemak, air dan bahan lainnya meliputi
lesitin, cita rasa, aroma, garam, pewarna, vitamin A
dan vitamin E (Basiron et al. 2000; Berger & Idris,
2005; Hasibuan et al. 2009). Pembuatan margarin
dilakukan dengan cara membuat emulsi antara fase
minyak dan fase air yang dikristalkan dengan
proses teksturisasi. Kekhasan dari produk margarin
adalah warna kekuningan berasal dari zat pewarna
baik alami maupun sintetik yang ditambahkan ke
dalam formula. Zat pewarna alami yang umum
digunakan adalah konsentrat karoten (Jatmika,
1997; Hasibuan, 2009).
Awalnya, margarin dibuat dengan menggunakan
lemak hewani kemudian beralih ke lemak nabati
non tropis seperti minyak kedelai, jagung, atau
bunga matahari terhidrogenasi agar teksturnya
semi padat. Sayangnya, margarin yang mengandung
minyak terhidrogenasi mengandung sejumlah asam
lemak trans (ALT) yang berbahaya bagi kesehatan
(Berger & Idris, 2005). Meskipun demikian, proses
hidrogenasi masih dapat digunakan namun
terbentuknya ALT harus diminimalisisr dengan
cara hidrogenasi total/penuh atau sempurna (Jang
et al. 2005). Beberapa peneliti telah menganalisa
kadar ALT pada margarin diantaranya Sughara et
al. 2006 melaporkan ALT pada margarin lokal yang
beredar di Jepang sebesar 2,9-22,4%. Butt & Sultan,
2009 melaporkan kadar ALT pada margarin yang
beredar di Argentina sebesar 18,15-31,84%. Naz et
al. 2012 melaporkan ALT pada margarin yang
beredar di Pakistan sebesar 1,56-23,99%.Siahaan &
Sinaga, 2014 melaporkan dua dari delapan sampel
margarin yang beredar di Indonesia mengandung
ALT sebesar 0,11-0,5%.
Oleh karena itu, penggunaan lemak alternatif
yang tidak mengandung ALT sangat diperlukan
dalam pembuatan margarin. Fraksi minyak sawit
(palm oil, palm stearin dan palm olein)dan fraksi
minyak inti sawit(palm kernel oil, palm kernel olein
dan palm kernel stearin) merupakan jenis lemak
yang sangat baik digunakan sebagai bahan baku
margarin(Basiron et al. 2000; Hasibuan et al. 2009;
Sahri & Idris, 2010). Selain dari fraksi-fraksi
tersebut, Jatmika, 1997 menggunakan minyak sawit
merah (red palm oil, RPO) dalam formulasi
margarin sebagai pemberi warna kekuningan dan
pro-vitamin A. Menurut Rice & Burns, 2010 dan
Ayeleso et al. 2012 bahwa RPO mengandung
sejumlah fitonutrien meliputi karoten (pro-vitamin
A) dan tokoferol & tokotrienol (vitamin E) dalam
jumlah tinggi yang berguna untuk kesehatan.
Margarin sering diaplikasikan dalam produk
makanan sebagai selai pada roti tawar untuk

menambah cita rasa. Selain itu, margarin juga


sering dikombinasikan dengan cokelat tabur
(meses) yang ditabur di atas permukaan roti.
Cokelat tabur mengandung lemak, gula, cocoa
powder dan ada juga yang dicampur dengan susu.
Awalnya, lemak yang digunakan dalam pembuatan
cokelat tabur adalah lemak dari biji buah cokelat
namun karena karakteristiknya mudah mencair
maka digunakan lemak alternatif dengan titik leleh
tinggi seperti cocoa butter substitute (CBS). CBS
dapat dibuat dari minyak inti sawit dengan proses
hidrogenasi penuh/sempurna. Minyak inti sawit
mengandung asam laurat dan miristat yang tinggi
sehingga sangat ideal sebagai bahan baku cokelat
compound (Calliauw et al. 2005; Zaidul et al. 2007;
Siahaan & Hasibuan, 2012). Dalam proses
pembuatan meses dilakukan beberapa tahapan
meliputi pencampuran adonan (lemak, gula, cocoa
powder, dan ada yang menambahkan susu),
pencetakan cokelat berbentuk mie, pemotongan
cokelat menjadi ukuran tertentu dan pelapisan
dengan coating (Hasibuan & Siahaan, 2013).
Margarin dan cokelat tabur diproduksi, dikemas
dan dipasarkan secara terpisah. Hingga saat ini,
produsen baik margarin maupun cokelat tabur
belum
ada
yang
menghasilkan
produk
campurannya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji pembuatan dan penerimaan produk
olesan dari margarin dan cokelat tabur berbahan
minyak sawit dan minyak inti sawit. Penggunaan
minyak sawit dan minyak inti sawit adalah untuk
meminimalisir bahkan meniadakan ALT. Selain itu,
pemanfaatan RPO pada pembuatan margarin
sebagai sumber karoten dapat meminimalisir biaya
produksi karena meniadakan penambahan vitamin
A dan E sintetik. Dengan demikian, produk olesan
dari margarin dan cokelat tabur yang dihasilkan
memiliki kadar gizi yang baik serta diharapkan
dapat memberikan inovasi baru dalam diversifikasi
minyak sawit dan minyak inti sawit.

2. Bahan dan Metode


2.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini
adalah refined bleached deodorized palm oil, RBDPO
(bilangan iod 51,9 Wijs dan titik leleh 36,0 C) dan
refined bleached deodorized palm stearin, RBDPS
(bilangan iod 32,0 Wijs dan titik leleh 54,0 C)
diperoleh dari PT. Wilmar Internasional di
Sumatera Utara. Red palm oil, RPO (bilangan iod
53,0 Wijs, titik leleh 37 C dan kadar karoten 252
ppm) dan cokelat tabur diperoleh dari
laboratorium oleopangan Kelompok Peneliti
Pengolahan Hasil dan Mutu Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Garam, flavour, lesitin, BHA&BHT diperoleh
dari toko bahan kue di Medan.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 45-50


Halaman | 47

2.2. Formulasi produk olesan

Tabel 1
Formula margarin

Produk olesan dari margarin dan cokelat tabur


(meses)dibuat sebanyak 1 kg dengan skema proses
pembuatan disajikan pada Gambar 1. Pembuatan
produk dilakukan dengan mencampurkan antara
margarin dan cokelat tabur. Margarin dibuat
dengan menggunakan formula Pusat Penelitian
Kelapa Sawit seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Jenis minyak yang digunakan adalah RBDPO,
RBDPS dan RPO dengan rasio 70:25:5. Penambahan
cokelat tabur ke dalam margarin dilakukan dengan
memvariasikan jumlahnya dari 5 % sampai dengan
50 % seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Margarin dibuat terlebih dahulu dengan


mencampurkan fase minyak dan fase air. Fase
minyak dibuat dengan mencampurkan RBDPO,
RBDPS, RPO, lesitin, flavor dan BHA&BHT
kemudian campuran dipanaskan pada suhu 50
C selama 15 menit. Fase air dibuat dengan
mencampurkan sejumlah air dan garam dan
diaduk hingga homogen. Ke dalam fase minyak
ditambahkan fase air lalu diaduk selama 10
menit hingga homogen. Campuran didinginkan
pada suhu media pendingin 4 C (Thermo
Scientific, Jerman) sambil diaduk hingga
terbentuk kristal semi padat yang homogen.
Selanjutnya, ke dalam margarin ditambahkan
cokelat tabur dengan jumlah tertentu.
Campuran diaduk perlahan agar cokelat tabur
tidak terpotong. Setelah homogen, produk ditempering pada suhu 18-22 C selama 2x24
jam.

Bahan adonan
Minyak
Air
Garam
Lesitin
Flavour
BHA&BHT

Persentasi
82
15,5
2
0,3
0,2
0,01

Tabel 2
Formula produk olesan dari margarin dan cokelat tabur
Formula
Margarin
(%)
Cokelat
tabur (%)

10

95

90

85

80

75

70

65

60

55

50

10

15

20

25

30

35

40

45

50

2.3. Uji sifat fisikokimia dan analisa mutu


Sifat fisikokimia bahan baku dan produk
meliputi bilangan iod, titik leleh dan kadar karoten
ditentukan menggunakan metode standar yang
mengacu pada MPOB, 2004. Mutu produk juga
ditentukan meliputi kadar lemak, air dan karoten
menggunakan metode standar yang mengacu pada
MPOB, 2004 dan warna secara visual.
2.4. Uji organoleptik produk olesan
Uji organoleptik dilakukan oleh 25 orang panelis
terhadap produk berdasarkan uji penerimaan.
Panelis diminta untuk menilai berdasarkan tingkat
kesukaan meliputi rasa, tekstur, dan kenampakan
(warna dan aroma). Penilaian kesukaan sesuai
skala hedonik. Skor skala hedonik yang digunakan
untuk rasa, tekstur dan kenampakan adalah 5
(sangat suka), 4 (suka), 3 (cukup suka), 2 ( kurang
suka), dan 1 (tidak suka).Data yang diperoleh
diolah secara statistik dan dilanjutkan dengan uji
Duncan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
jumlah penambahan cokelat tabur.
2.5. Uji kadar gizi produk olesan
Kadar gizi produk yang paling disukai oleh
panelis ditentukan dengan menguji kadar lemak,
air, protein, karbohidrat dan natrium menggunakan
metode standar yang mengacu pada AOAC, 2005.
Dari kadar gizi ini ditentukan pula jumlah energi
yang dikandung produk dan dibandingkan dengan
beberapa produk margarin komersial yang tertera
pada kemasan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pengaruh penambahan meses pada margarin

Gambar 1. Pembuatan produk olesan dari margarin dan cokelat


taburskala 1 kg/batch menggunakan chiller/refrigerated batch

Margarin dibuat dengan cara mencampurkan


antara fase minyak dan fase air dengan cara
pendinginan dan pengadukan agar terbentuk

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation:Hasibuan, H. A. & Hardika, A.P. (2015) Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur menjadi Produk Olesan Berbahan Minyak Sawit dan Minyak Inti
Sawit.Warta IHP, 32(2), 45-50

Halaman | 48

tekstur yang baik. Pada penelitian ini untuk


membentuk
tekstur
menggunakan
proses
pendinginan pada suhu media pendingin 4 C. Hal
ini sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh
Haryati & Siahaan, 2007 dan Siahaan et al. 2013
bahwa pembentukan plastisasi minyak/lemak yang
baik dapat dilakukan pada suhu media pendingin 38 C.
Sifat yang terpenting dari margarin target
adalah berbentuk semi padat dan tidak mudah
mencair serta mudah dioles pada permukaan roti.
Hasil
formulasi
margarin
menggunakan
RBDPO:RBDPS:RPO pada 70:25:5 menghasilkan
karakteristik produk dengan bilangan iod 47,0 wijs,
titik leleh 40,6 C dan kadar karoten 13,6 ppm. Nilai
titik leleh margarin ini sesuai dan tidak mudah
mencair pada suhu ruangan 28-30 C. Dengan
karakteristik tersebut margarin yang dihasilkan
berbentuk semi padat dan teksturnya lunak. Kadar
karoten pada margarin yang dihasilkan ini juga
setara dengan margarin komersial yang biasanya
mengandung karoten 10 ppm.
Penambahan RPO sebanyak 5% tidak
memberikan perubahan yang besar terhadap
karakteristik campuran RBDPO dan RBDPS namun
berkontribusi dalam merubah warna menjadi
kekuningan. Hal ini disebabkan oleh komposisi
asam lemak RPO mirip dengan RBDPO. Menurut
Hayes and Kohla, 2007 bahwa RPO mengandung
asam palmitat dan stearat masing-masing 45% dan
5%. Sementara itu, menurut Hasibuan, 2012 bahwa
RBDPO mengandung asam palmitat (42,4648,54%) dan asam stearat (4,10-4,75%).

0,4 % sementara margarin mengandung lemak 82


% dan air 15,5 %. Hal yang sama juga ditunjukkan
pada Gambar 4 bahwa meningkatnya jumlah
cokelat tabur kadar karoten menurun. Penurunan
kadar karoten ini menimbulkan warna kekuningan
semakin hilang dan warna cokelat dari meses
menjadi lebih dominan seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.

Gambar 3. Kadar lemak dan air pada formula (Keterangan:


formula dapat dilihat pada Tabel 2)

Gambar 4. Kadar karoten pada formula (Keterangan: formula


dapat dilihat pada Tabel 2)

3.2. Uji organoleptik produk olesan

Gambar 2. Produk olesan cokelat tabur dengan variasi 5, 10, 15,


20, 25, 30, 35, 40, 45 dan 50% terhadap margarine

Penambahan cokelat tabur ke dalam margarin


menyebabkan aroma dan warna berubah dari
kekuningan menjadi kecokelatan. Perubahan ini
disebabkan oleh adanya cocoa powder terkandung
pada cokelat tabur yang berwarna cokelat dan
aroma cokelat yang khas. Selain itu, komposisi
kimia produk juga berubah meliputi kadar lemak,
air, dan karoten. Peningkatan jumlah cokelat tabur
menyebabkan kadar lemak dan air menurun
(Gambar 3). Penurunan kadar lemak dan air
disebabkan oleh cokelat tabur mengandung lemak
sebesar 34 % dan air dalam jumlah yang rendah <

Tabel 3
Nilai rerata uji organoleptik produk olesan terhadap rasa,
tekstur dan kenampakan
Jumlah Meses, % Tekstur
Rasa
Kenampakan
5
1,96 c 1,96 c
2,28 b
10
2,28 c 2,00 c
2,36 b
15
2,64 bc 2,52 b
2,28 b
20
3,24 b 2,96 b
3,08 a
25
3,20 b 3,12 b
3.00 a
30
2,84 b 2,92 b
3,12 a
35
3,12 b 2,92 b
3,12 a
40
3,56 ab 3,44 a
3,28 a
45
3,64 ab 3,76 a
3,12 a
50
4,08 a 4,00 a
3,44 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu
kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan

Hasil uji organoleptik produk olesan terhadap


penambahan jumlah cokelat tabur yang bervariasi
ditunjukkan pada Tabel 3. Nilai rerata tingkat
kesukaan terhadap tekstur berkisar antara 1,96
(kurang suka) sampai 4,08 (suka). Semakin banyak
jumlah cokelat
tabur
yang
ditambahkan
menunjukkan tingkat kesukaan terhadap tekstur
yang lebih disukai. Panelis menyatakan produk

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 45-50


Halaman | 49

yang mengandung cokelaat tabur dalam jumlah


tinggi memiliki tekstur lebih lembut seperti cream.
Hal ini disebabkan oleh cokelat tabur terbuat dari
cocoa butter substitute (CBS) berbahan minyak inti
sawit terhidrogenasi. Menurut Basiron et al.2000,
minyak inti sawit terhidrogenasi memiliki daya
creaming yang cukup baik sehingga sering dan
sangat sesuai digunakan dalam pembuatan produkproduk creaming seperti cokelat, whitener dan
creamer.
Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk
olesan berada pada kisaran 1,96 (kurang suka)
sampai 4,0 (suka). Hal yang sama seperti tingkat
kesukaan terhadap tekstur, semakin banyak jumlah
cokelat tabur menunjukkan tingkat kesukaan
terhadap rasa relatif tinggi. Hal ini disebabkan oleh
tercampurnya rasa asin dari margarin dan manis
dari cokelat tabur memberikan rasa yang
menyenangkan pada produk olesan.
Pada jumlah cokelat tabur yang sedikit, beberapa
panelis menyatakan rasa produk asin. Hal ini
disebabkan oleh produk mengandung 80-95%
margarin. Sesuai dengan formulasinya peningkatan
jumlah cokelat tabur menyebabkan kadar garam
menurun sebaliknya kadar gula meningkat seperti
yang disajikan pada Gambar 5. Perubahanperubahan
ini
terjadi
disebabkan
oleh
meningkatnya jumlah cokelat tabur dan rasio
margarin semakin rendah. Cokelat tabur
mengandung gula tinggi (54%) sementara margarin
mengandung garam sebesar 2%.

Gambar 5. Kadar gula dan garam pada formula (Keterangan:


formula dapat dilihat pada Tabel 2)

Tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan


produk olesanberada pada kisaran 2,24 (kurang
suka) sampai 3,44 (cukup suka). Semakin banyak
jumlah cokelat tabur menunjukkan tingkat
kesukaan terhadap kenampakan relatif lebih tinggi
namun nilainya masih pada taraf cukup suka. Nilai
penerimaan kenampakan produk olesan sedikit
rendah hal ini lebih dipengaruhi oleh pengetahuan
konsumen terhadap produk margarin. Beberapa
panelis menyatakan bahwa warna kuning dari
margarin hilang menjadi kecokelatan. Selain warna,

aroma produk yang mengandung cokelat tabur


dalam jumlah banyak cukup disukai.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap
tekstur, rasa dan kenampakan dari produk
olesandengan variasi jumlah cokelat tabur
sebanyak 40-50% secara bermakna lebih disukai
dibanding dengan formulasi dengan kandungan
cokelat tabur lebih rendah (5-35%). Selain itu,
penilaian organoleptik terhadap jumlah cokelat
tabur 40, 45 dan 50% tidak berbeda nyata dan
disukai
oleh
panelis.
Dengan
demikian
direkomendasikan jumlah penambahan cokelat
tabur pada produk margarin adalah sebanyak 4050%
3.3. Kadar gizi produk olesaan pada rasio margarin
dan cokelat tabur 50:50
Hasil analisa kadar air produk olesan yang
mendapat tingkat kesukaan tertinggi (dengan
jumlah cokelat tabur sebanyak 50%) adalah 7,5 %.
Nilai ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan
margarin meja yang mengandung air maksimum
16% (Azizkhani & Zandi, 2009). Informasi kadar
gizi produk olesan ditunjukkan pada Tabel 4. Dari
kadar gizi tersebut ditentukan nilai kalori produk
olesan. Nilai kalori digunakan untuk menunjukkan
jumlah energi yang terkandung dalam makanan.
Kalori dapat diperoleh dari asupan gizi yang
mengandung komponen gizi seperti karbohidrat,
lemak, protein dan alkohol (Whitney & Rolfes,
2010). Dihitung dari jumlah angka kecukupan gizi
(AKG) sebesar 2000 kkal produk olesan
mengandung energi sebesar 164 kkal dengan
takaran saji 30 g. Nilai kalori yang dikandung pada
produk olesan ini berada pada kisaran sedang. Nilai
ini mendekati beberapa produk margarin komersial
yang memiliki kalori berkisar antara 102-180 kkal
dengan takaran saji 14-30 g.
Dari tabel 4 juga disajikan bahwa kadar natrium
pada produk olesan sebesar 0,37 mg dalam takaran
saji 30 g sementara margarin komersial umumnya
mengandung natrium sebesar 120-150 mg. Kadar
natrium pada produk makanan berkaitan dengan
rasa asin. Dengan demikian, produk olesan ini
memiliki rasa asin lebih rendah dibandingkan
dengan margarin komersial. Selain kadar natrium,
produk olesan mengandung kadar karoten sebesar
0,16 mg dalam takaran saji 30 g. Karoten ini
berfungsi sebagai pewarna alami dan pro-vitamin
A.
Tabel 4
Informasi nilai gizi produk 3 in 1rasio margarin:meses
50:50(takaran saji 30 g)
Parameter
Jumlah
Lemak total
17,61 g
Karbohidrat total
1,30 g
Protein
0g
Natrium
0,37 mg
Karoten
0,16 mg
Kalori
164 kkal

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation:Hasibuan, H. A. & Hardika, A.P. (2015) Formulasi Margarin dan Cokelat Tabur menjadi Produk Olesan Berbahan Minyak Sawit dan Minyak Inti
Sawit.Warta IHP, 32(2), 45-50

Halaman | 50

4. Kesimpulan
Produk olesan dari margarin dan cokelat tabur
berbahan minyak sawit dan minyak inti sawit telah
dikaji pembuatannya dan diuji daya terimanya oleh
panelis. Semakin banyak jumlah cokelat tabur pada
margarin kadar air, lemak dan karoten semakin
menurun sementara warna kuning semakin hilang.
Selain itu, aroma dari produk semakin harum yang
berasal dari flavor karoten, perisa margarin dan
cokelat tabur. Dari hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa produk olesan dapat diterima
oleh konsumen. Jumlah penambahan cokelat tabur
yang mendapat secara nyata lebih disukai 40%
dengan demikian produk olesan ini dapat
diproduksi sebagai produk inovasi baru yang dapat
mengisi peluang pasar di industri bakery.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ijah
atas bantuannya untuk menganalisa produk di
Laboratorium Oleopangan Kelti. Pengolahan Hasil
dan Mutu dan Laboratorium Pelayanan sehingga
penelitian dapat berjalan dengan baik.
Daftar Pustaka
AOAC. (2005).Official Methods of Analysis of the Association of
Official Analytical Chemists. Arlington: AOAC.
Ayeleso, A.O., Oguntibeju, O.O. & Brooks, N.L. (2012). Effects of
Dietary Intake of Red Palm Oil on Fattty Acid Composition

and Lipid Profiles in Male Wistar Rats. African Journal of


Biotechnology,11, 8275-8279.
Azizkhani, M. & Zandi, P. (2009). Effects of Some Natural
Antioxidants Mixtures on Margarine Stability. World
Academy of Science, Engineering and Technology, 3, 59-62.
Basiron, Y., Jalani, B.S.& Weng, C.K. (2000).Advances Oil Palm
Research. Volume II. Malaysian Palm Oil Board. Malaysia.
815-820.
Berger, K.G.& Idris, N.A. (2005). Formulation of Zero-Trans Acid
Shortenings and Maragarins and Other Food Fats with
Products of The Oil Palm. Journal of the American Oil
Chemists' Society, 82, 775-780.
Butt, M.S.&Sultan, M.T.(2009). Levels of Trans Fats in Diets
Consumed in Developing Economies. Journal of AOAC
International,92, 1277-1283.
Calliauw, G., Foubert, I., Greyt, W.D.& Dijckmans, P. (2005).
Production of Cocoa Butter Substitute via Two-Stage
Fractionation of Palm Kernel Oil. Journal of the American Oil
Chemists' Society,82, 783-790.
Haryati, T. & D. Siahaan. (2007). Pengembangan proses
Pembuatan Frying Shortening dari Fraksi Minyak Sawit.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit,15, 119-136.
Hasibuan, H.A. (2009). Plastic Fat dan Specialty Fat Berbahan
Dasar Inyak Sawit dan Minyak Inti Sawit. Monograf. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Hasibuan, H.A., Siahaan, D., Rivani, M. & Panjaitan, F. (2009).
Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit Sebagai Bahan Baku
Formulasi Plastic Fat dan Specialty Fat. Prosiding Pertemuan
Teknis Kelapa Sawit. Jakarta.
Hasibuan, H.A. (2012). Kajian Mutu dan Karakteristik Minyak
Sawit serta Produk Fraksinasinya.Jurnal Standardisasi.14,
13-21.
Hasibuan, H.A. & Siahaan, D. (2013).Pembuatan Cokelat dan
Mesis Berbahan Minyak Inti Sawit. Prosiding Pertemuan
Teknis Kelapa Sawit. Jakarta Convention Center. Mei 2013.
Hal, 470-477.
Hayes, K.C. & Kohsla, P. (2007).The Complex Interplay of Palm
Oil Fatty Acids on Blood Lipids. European Journal Lipid
Science Technology,109, 453-464

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 51-61


Halaman | 51

Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan


Minyak Ikan Patin terhadap Kandungan Nutrisi Cokelat Oles
The Effects of Cocoa Butter, Palm Olein and Catfish Oil Composition Variation
on The Nutritional Value of Chocolate Spread
Nami Lestari1), Mirna Isyanti1), dan Aries Wibisono2)
1)Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
2)Mahasiswa S1 Universitas Pakuan dan Staf BBIA

namilestari65@gmail.com

Riwayat Naskah:
Diterima 05,2015
Direvisi 06, 2015
Disetujui 11, 2015

ABSTRAK : Ikan patin merupakan salah satu hasil perikanan yang cukup
berpotensi dikembangkan di Indonesia. Minyak ikan patin memiliki kandungan
asam lemak esensial (omega 3, omega 6, omega 9) dan vitamin D yang cukup
tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu
produk pangan salah satunya cokelat oles. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuat produk cokelat oles yang lebih kaya nutrisi dan bermutu baik dengan
menentukan formulasi penambahan minyak ikan patin sebagai salah satu bahan
utama penyusun selain lemak cokelat dan olein sawit serta dengan menentukan
teknologi yang tepat dalam proses pembuatan cokelat oles berdasarkan tingkat
kesukaan masyarakat. Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap yaitu pembuatan
minyak ikan patin, analisis bahan baku, pembuatan cokelat oles, serta uji
karakteristik fisik dan kimia produk cokelat oles yang dibuat. Cokelat oles dibuat
dengan dua variabel perlakuan yaitu perbandingan komposisi lemak cokelat, olein
sawit dan minyak ikan patin serta teknologi pencampurannya. Formulasi
perbandingan komposisi lemak cokelat : olein sawit : minyak ikan patin yang
digunakan secara berturut-turut yaitu (1) 40% : 60% : 0%; (2) 40% : 50% : 10%;
(3) 40% : 40% : 20% dan (4) 40% : 30% : 30%. Teknologi pencampuran yang
digunakan adalah dengan mixer + waterbath, ball mill 1 jam, dan ball mill 2 jam.
Cokelat oles selanjutnya diuji secara organoleptik. Cokelat oles yang terpilih dari
hasil uji organoleptik kemudian diuji kandungan nutrisinya. Cokelat oles terbaik
adalah cokelat oles dengan komposisi 40% lemak cokelat, 40% olein sawit dan
20% minyak ikan patin serta dibuat dengan teknologi pengolahan menggunakan
alat ball mill selama 1 jam. Cokelat oles tersebut memiliki nilai hardness 11,00 g;
kadar air 8,34%; abu 2,98%; protein 1,97%; lemak 29,20%; karbohidrat 57,51%;
asam lemak bebas 0,35%; asam oleat 11,63%; asam linoleat 2,98%; asam linolenat
0,05% serta vitamin D 7,57 ug/100 g. Cokelat oles dengan kandungan minyak ikan
patin ini memiliki kadar protein, lemak, asam oleat dan asam linolenat yang lebih
tinggi daripada cokelat oles tanpa kandungan minyak ikan patin.
Kata kunci: lemak cokelat, olein sawit, minyak ikan patin, cokelat oles

ABSTRACT : Catfish is one of Indonesian fishery products which have the


potential to be developed. The amount of essential fatty acids (omega 3, omega 6),
omega 9 and vitamin D in catfish oil are quite high. They can be used to increase
the nutritional value of a food product such as chocolate spread. The purpose of
this research is to determine the appropriate formula of catfish oil, palm olein
and cocoa butter as ingredients chocolate spread and its processing technology to
produce a chocolate spread with a good quality and having high nutritive value
based preference level of society. The research was divided into four phases, the
manufacture of catfish oil, analysis of raw materials, manufacture of chocolate
spread, and analysis of the physical and chemical characteristics of chocolate
spread products. Chocolate spread was made with tobservation of two
treatment variables. The first is composition ratio of cocoa butter, palm olein and
WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Wibisono, A., Isyanti, M., & Lestari, N. (2015) Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap
Kandungan Nutrisi Cokelat Oles.Warta IHP, 32(2), 51-61

Halaman | 52

catfish oil. The second is a processing technology to produce the chocolate spread.
The composition ratio (%) were (1) 40: 60 : 0 ; (2) 40 : 50 : 10 ; (3) 40 : 40 : 20
and (4) 40 : 30 : 30 . The processing technology use were mixer + waterbath, 1
hour ball mill, and 2 hours ball mill. Chocolate spread was further tested
organoleptically. Then the selected spread was tested for the nutritional content.
The best chocolate spread was the one with 40 % cocoa butter, 40 % palm olein
and 20 % catfish oil formulation with 1 hour ball mill processing technology.
That product had hardness value of 11.00 g and contained 8.34 % water; 2.98 %
ash; 1.97 % protein; 29.20 % fat; 57.51 % carbohydrate; 0.35 % free fatty acids;
11.63 % oleic acid; 2.98 % linoleic acid; 0.05 % linolenic acid and 7.57 ug/100 g
vitamin D. The chocolate spread with catfish oil has levels of protein, fat, oleic
acid and linoleic acid higher than the chocolate spread without catfish oil content.
Keywords: cocoa butter, olein, cat fish oil, chocolate spread

1. Pendahuluan
Salah satu produk olahan lemak cokelat adalah
cokelat oles (chololate spread). Cokelat oles adalah
pasta rasa cokelat yang digunakan sebagai olesan di
permukaan roti. Meskipun rasa, bau, dan
penampakan seperti cokelat namun tidak
menggunakan cokelat atau kakao murni. Cokelat
oles biasanya mengandung kakao dan minyak, juga
mungkin mengandung komponen susu dan
tambahan rasa dan bau (Ginting, 2011).
Isyanti, dkk (2012) telah melakukan penelitian
mengenai cokelat oles berbasis sawit, dengan hasil
terbaik secara organoleptik adalah cokelat oles
dengan komposisi olein sawit (60%) dan lemak
cokelat (40%). Secara organoleptik, cokelat oles
berbasis sawit tersebut disukai terhadap parameter
rasa, aroma, tekstur, warna dan daya oles. Cokelat
oles tersebut bersifat lebih spreadable pada suhu
kamar dibandingkan penggunaan lemak cokelat
100%.
Proses pembuatan cokelat oles menurut Isyanti,
dkk (2012) adalah campuran fraksi air (air, susu
skim, gula halus dan kalium sorbat) dicampur
(blending) dengan fraksi lemak (olein sawit, lemak
cokelat, bubuk cokelat dan lesitin) menggunakan
mixer di atas waterbath (pada suhu 90-100 oC)
selama 15 menit, diisikan ke dalam kemasan jar dan
dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 15 menit.
Beberapa penelitian tentang pembuatan cokelat
oles diantaranya dilakukan oleh El Hadad, et al
(2011) dan Isyanti, dkk (2012). Pemanfaatan
turunan minyak sawit berupa RBD palm olein dan
RBD palm stearin, atau campuran keduanya sebagai
bahan pensubstitusi lemak cokelat (CB) untuk
menghasilkan produk chocolate spread dapat
dilakukan dengan metode blending (pencampuran).
Berdasarkan uji organoleptik, penggunaan RBD
palm olein sebesar 60 % dan lemak cokelat sebesar
40 % pada produk cokelat oles, lebih disukai untuk
parameter rasa, aroma, tekstur, warna serta daya
oles (Isyanti, 2012).

Perlu penambahan zat gizi agar nutrisi produk


cokelat oles berbasis sawit lebih bernilai tinggi.
Diantaranya dapat ditambahkan lemak hewani
yang mengandung zat-zat gizi yang bermanfaat bagi
kesehatan.
Lemak
hewani
yang
banyak
mengandung asam lemak omega-9, omega-6,
omega-3 serta sumber vitamin A, D dan E adalah
minyak ikan ( Lestari, 2006).
Ikan patin adalah salah satu hasil perikanan
yang cukup berpotensi untuk dikembangkan di
Indonesia saat ini. Ikan patin mempunyai
kandungan lemak tinggi dan aroma khas. Selain
dikonsumsi langsung, dapat diolah menjadi produk
awetan seperti nugget, bakso, abon, dan lain-lain.
Kandungan lemak yang tinggi pada ikan patin dapat
menurunkan mutu produk awetan ikan tersebut
karena produk menjadi lebih berminyak dan tidak
tahan lama (Lestari, 2006). Untuk mengurangi
kandungan lemak itu, Lestari dkk pada tahun 2010
telah melakukan penelitian untuk mendapatkan
teknologi ekstraksi, pemurnian minyak ikan patin
dan pemanfaatan minyak ikan patin tersebut untuk
pembuatan high nutritive value margarin.
Dari hasil penelitian Lestari dkk (2010)
diperoleh teknologi ekstraksi dan pemurnian yang
dapat mengurangi bau amis ikan dan diperoleh
minyak murni yang mengandung asam lemak
essensial seperti oleat (omega-9), asam linoleat
(omega-6), linolenat (omega-3), vitamin A, vitamin
D, vitamin E serta kandungan asam lemak jenuh
yang rendah. Oleh karena itu, untuk lebih
memperkaya nilai gizi dan manfaatnya bagi
kesehatan, maka dilakukan pengolahan cokelat oles
menggunakan olein sawit, lemak cokelat, dan
minyak ikan patin dalam proses pembuatannya.
2. Bahan dan Metode
2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan
minyak ikan antara lain ikan patin, H3PO4 dan arang
aktif sedangkan bahan untuk pembuatan cokelat

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 51-61


Halaman | 53

oles adalah olein sawit, lemak kakao (cocoa butter),


cokelat bubuk (cocoa powder), susu skim, gula
pasir, bubuk kakao, emulsifier, kalium sorbat, dan
bahan pengemas (stand up pouch) .
2.2. Alat
Alat-alat proses yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari alat-alat untuk proses
pembuatan minyak ikan patin dan alat-alat proses
pembuatan cokelat oles. Alat-alat proses
pembuatan minyak ikan patin terdiri dari dari alat
ekstraksi minyak ikan patin seperti pisau, alat
pengukus dan alat pengepres minyak serta alat-alat
pemurnian minyak ikan patin. Sedangkan alat-alat
untuk proses pembuatan cokelat oles terdiri dari
hand mixer, waterbath, ball mill, termometer,
timbangan, refrigerator, panci dan wadah stainless
steel.
2.3. Metode
Penelitian dilakukan untuk pencarian kondisi
optimum proses dan formulasi cokelat oles dari
campuran olein sawit, , cocoa butter (CB) dan
minyak ikan patin. Penelitian ini dibagi menjadi
tiga tahap yaitu :

2.3.1. Penelitian tahap pertama : pembuatan


minyak ikan patin dan penentuan formulasi
cokelat oles
Pada penelitian tahap pertama
dilakukan
pembuatan minyak ikan patin, analisis bahan baku
dan pembuatan cokelat oles dengan 4 formulasi
yang berbeda. Pembuatan minyak ikan patin
melalui dua tahapan proses, yaitu proses ekstraksi
dan pemurnian minyak.
2.3.1.1. Proses ekstraksi
Daging, tulang dan kepala ikan patin segar
dipisahkan dari bagian jeroannya, dicuci hingga
bersih dan dipotong kecil kemudian dikukus
menggunakan pengaliran uap panas. Setelah itu
dipress, dipisahkan antara ampas ikan dengan
campuran minyak dan air kemudian diambil
minyak ikannya dengan corong pisah.
2.3.1.2. Proses pemurnian
Proses pemurnian minyak kasar hasil ekstraksi
meliputi proses degumming, bleaching dan
deodorisasi. Ditambahkan kedalam minyak kasar
ikan patin larutan asam fosfat 2% dan dipanaskan
pada suhu 700C selama 20 menit, selanjutnya

diendapkan, dicuci dan dipisahkan. Kemudian


dialirkan uap panas kedalamnya selama 1 jam, dan
ditambahkan arang aktif sebanyak 0.1-0.2% dari
berat minyak. Minyak dipisahkan dari adsorben
dengan cara disaring menggunakan filter vakum.
Minyak tersebut kemudian dipanaskan pada suhu
200-250oC pada tekanan 1 atmosfer dan
selanjutnya pada tekanan rendah sambil dialiri
dengan dengan uap panas selama 4-6 jam. Setelah
selesai, minyak didinginkan dan dikeluarkan dari
ketel.
Sedangkan pembuatan cokelat oles dilakukan
dengan membagi bahan menjadi 2 bagian, yaitu: (1)
air, susu skim, gula pasir dan kalium sorbat; (2)
lemak cokelat, olein sawit, minyak ikan patin,
lesitin, GMS dan cokelat bubuk. Bagian pertama dan
kedua masing-masing dicampur dengan mixer di
atas waterbath pada suhu lebih kurang 60oC.
Kemudian campuran kedua dimasukkan ke dalam
campuran pertama dan dicampur pada suhu yang
sama di atas waterbath selama 15 menit. Terakhir
campuran dimasukkan ke dalam kemasan plastik
stand up pouch atau gelas plastik dan dipasteurisasi
selama 15 menit pada suhu 70-80oC. Pada
penelitian ini akan dibuat cokelat oles dengan 4
formulasi lemak yang berbeda, yaitu:
1. A0 : 60% olein sawit dan 40% lemak cokelat.
2. A1 : 50% olein sawit, 10% minyak ikan patin dan
40% lemak cokelat.
3. A2 : 40% olein sawit, 20% minyak ikan patin dan
40% lemak cokelat
4. A3 : 30% olein sawit, 30% minyak ikan patin dan
40% lemak cokelat.
Formulasi lengkap cokelat oles A0 sampai
dengan A3 dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tahap ini
dilakukan uji organoleptik (warna, aroma, rasa dan daya
oles) serta analisis tekstur yang akan menentukan
formulasi terbaik untuk digunakan pada Penelitian
Tahap Kedua.
Tabel 1.
Formulasi cokelat oles
Bahan
Penyusun
A0
Air
500 ml
Susu skim
540 g
Gula pasir
1000 g
Kalium sorbet
2,5 g
Lemak cokelat
288 g
Olein sawit
432 g
Minyak
0g
ikan patin
Lesitin
22 g
GMS
5g
Cokelat bubuk
180 g

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Formulasi
A1
A2
500 ml
500 ml
540 g
540 g
1000 g
1000 g
2,5 g
2,5 g
288 g
288 g
360 g
288 g
72 g
144 g
22 g
5g
180 g

22 g
5g
180 g

A3
500 ml
540 g
1000 g
2,5 g
288 g
216 g
216 g
22 g
5g
180 g

Citation: Wibisono, A., Isyanti, M., & Lestari, N. (2015) Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap
Kandungan Nutrisi Cokelat Oles.Warta IHP, 32(2), 51-61

Halaman | 54

2.3.2. Penelitian tahap kedua : pembuatan cokelat


oles dengan variasi campuran
Pada penelitian tahap kedua dilakukan
pembuatan cokelat oles dengan formulasi terpilih
dari penelitian pada tahap pertama, yang diberi 3
perlakuan berbeda dalam proses pencampurannya,
yaitu:
1. Pencampuran secara manual dengan mixer di
atas waterbath (dapat dilihat pada Gambar 1)
2. Pencampuran dengan ball mill selama 1 jam
(dapat dilihat pada Gambar 2)
3. Pencampuran dengan ball mill selama 2 jam
(dapat dilihat pada Gambar 2)
Air
Susu skim
Gula halus
Kalium sorbat

Lesitin
GMS

Pencampuran
(mixer) di atas
waterbath
(90-100oC)

Pencampuran
(mixer) di atas
waterbath
(90-100oC)

Formulasi (olein
+ cocoa butter +
minyak ikan)

orang panelis akan memberikan penilaian


berdasarkan tingkat kesukaannya terhadap warna,
aroma, rasa dan daya oles produk.

Air
Susu skim
Gula halus
Kalium sorbat

Lesitin
GMS
Formulasi (olein + cocoa butter +
minyak ikan)
Bubuk cokelat

Pencampuran (blending) dengan ball


mill (60oC) selama 1 dan 2 jam

Pasteurisasi 70-80oC, 15 menit


Dimasukkan ke kemasan plastik
stand up pouch
Cokelat Oles
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan cokela oles dengan
ball mill

Bubuk cokelat

Pencampuran (mixer) di atas


waterbath (90-100oC) selama 15
menit
Pasteurisasi 70-80oC, 15 menit
Dimasukkan ke kemasan plastik
stand up pouch
Cokelat Oles
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan cokelat oles secara
manual dengan mixer di atas waterbath

Setelah itu dilakukan uji organoleptik yang


dilanjutkan dengan analisis sidik ragam dan uji
Duncan serta analisis ukuran partikel untuk
menentukan proses pencampuran yang dipilih
untuk menghasilkan produk cokelat oles terbaik.
Selanjutnya cokelat oles dengan formula terpilih
dari penelitian tahap kedua dianalisis karakteristik
fisiko kimianya yang meliputi kadar air (SNI 012891-1992), kadar asam lemak bebas (SNI 012901-2006), vitamin A, D dan E (HPLC), komposisi
asam lemak (GC), komposisi trigliserida / TAG
(HPLC) dan nilai nutrisi / nutrition facts
(perhitungan).
2.3.3. Analisis produk cokelat oles
2.3.3.1. Uji organoleptik

2.3.3.2. Analisis tekstur (LFRA)


Cara kerja uji tekstur dengan menggunakan
LFRA Texture Analyzer yaitu pertama alat diset,
kemudian dipilih alat penekan sesuai dengan jenis
produk yang akan dianalisis (bentuk jarum untuk
kekerasan). Sampel ditempatkan di atas meja
(ketinggian meja diatur sampai permukaan sampel
dengan jarak 5 mm dari alat penekan) kemudian
diset cara uji alat, kecepatan dan jarak yang
diperlukan. Ditekan kenop start dan dicatat angka
yang diperoleh (dalam gram). Setelah itu, alat
penekan dibersihkan dan dipindahkan sampelnya.
2.3.3.3. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992)
Kotak timbang beserta tutupnya dikeringkan
dalam oven 105oC selama 30 menit, kemudian
didinginkan dalam eksikator selama 25-30 menit
dan ditimbang bobot kosongnya. Sampel yang telah
homogen ditimbang secara teliti sebanyak 2 gram
ke dalam kotak timbang tersebut. Kotak timbang
yang berisi sampel kemudian dimasukkan ke dalam
oven 105oC dan dikeringkan selama 3 jam. Sampel
kemudian didinginkan di dalam eksikator selama
25-30 menit. Setelah dingin, kotak timbang berisi
sampel ditimbang. Kotak timbang berisi sampel
kemudian dikeringkan kembali di dalam oven
105oC selama 1 jam, didinginkan di dalam eksikator
selama 25-30 menit dan ditimbang kembali.
2.3.3.4. Analisis kadar abu (SNI 01-2891-1992)

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui


respon panelis terhadap produk cokelat oles.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji
hedonik (uji kesukaan) dengan kriteria yang
digunakan terdiri dari 1 (sangat tidak suka), 2
(tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka). 20

Cawan porselen dipijarkan dalam tanur dengan


suhu 550oC selama 1 jam, kemudian didinginkan di
dalam eksikator selama 25-30 menit, lalu ditimbang
bobot kosong cawan porselen. Sampel yang telah
homogen ditimbang dengan teliti sebanyak 2 gram

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 51-61


Halaman | 55

ke dalam cawan porselen. Cawan porselen berisi


sampel kemudian diarangkan di atas penangas
listrik dengan nyala kecil. Cawan berisi sampel
kemudian diabukan di dalam tanur dengan suhu
550oC sampai abu berubah menjadi putih dan
seluruh jelaga hilang selama 4-8 jam. Cawan
didinginkan di dalam eksikator selama 25-30 menit,
kemudian ditimbang bobot cawan beserta abu.
Cawan dimasukkan lagi ke dalam tanur 550oC
selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam
eksikator kemudian ditimbang kembali. Analisis
dilakukan sampai diperoleh bobot tetap.

selama 25-30 menit kemudian ditimbang.


Pengeringan diulangi di dalam oven selama 60
menit dan pendinginan dalam eksikator selama 30
menit dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap
(W3).

2.3.3.5. Analisis kadar protein (SNI 01-2891-1992)

2.3.3.8. Analisis kadar asam lemak bebas (SNI


7709:2012)

Sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 0,5


gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
digesti. Sampel ditambah 2 gram campuran selen
dan 25 ml H2SO4 pekat. Sampel dalam tabung
digesti dipasangkan pada digestor sampai mendidih
dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan selama
2 jam. Sampel dibiarkan sampai dingin, kemudian
tabung digesti dipasangkan pada alat kjeltec.
Erlenmeyer disiapkan sebagai penampung hasil
destilasi dan alat yang sudah terprogram
dinyalakan. Setelah selesai bilas ujung pendingin
dengan air suling. Sampel dititar dengan larutan
HCl 0,1 N. Penetapan terhadap blanko dilakukan
tanpa mengandung sampel.
2.3.3.6. Analisis kadar lemak (SNI 01-2891-1992)
Sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 0,5-1
gram ke dalam piala gelas 250 ml. Selanjutnya ke
dalam gelas piala ditambahkan 20 ml air dan 30
ml HCl 25% serta batu didih. Piala gelas ditutup
dengan kaca arloji dan dididihkan selama 15 menit.
Sampel disaring dalam keadaan panas dan dicuci
dengan air panas hingga bebas asam (diuji dengan
kertas lakmus). Sampel beserta kertas saring
dikeringkan pada suhu 100-105oC. Sampel
kemudian dimasukkan ke dalam selongsong kertas
yang dialasi dengan kapas. Sampel dalam
selongsong dipasangkan ke dalam thimble,
selanjutnya dipasangkan pada alat penyangga
thimble di dalam alat soxtec lalu dinaikkan.
Penampumg lemak yang sudah diketahui bobotnya
dan sudah berisi 50 ml pelarut heksana
selanjutnya dimasukkan, dibawah penyangga
thimble. Penampung lemak dinaikkan sampai
benar-benar tidak ada yang bocor. Sampel
diekstrak selama 20 menit, diteruskan dengan
pembilasan selama 45 menit. Pelarut disuling dan
dikeringkan dengan mengalirkan udara panas
selama 20 menit. Pemanas dimatikan dan
penampung
lemak
diturunkan,
kemudian
dikeluarkan dari alat soxtec. Penampung lemak
dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC 1oC
selama 30 menit, didinginkan di dalam eksikator

2.3.3.7. Analisis kadar karbohidrat (AOAC, 2005)


Kandungan karbohidrat dihitung secara by
difference antara jumlah kandungan air, protein,
lemak dan abu dengan 100. Kadar karbohidrat (%)
= 100 - (% air + % abu + % protein + % lemak)

Sebanyak 10 g sampai dengan 50 g sampel


dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Dilarutkan
dengan 50 ml etanol 95% panas dan ditambahkan 5
tetes larutan fenolftalein sebagai indikator. Dititrasi
larutan tersebut dengan KOH atau NaOH 0,1 N
sampai terbentuk warna merah muda (warna
merah muda bertahan selama 30 detik). Dilakukan
pengadukan
dengan
cara
menggoyangkan
erlenmeyer selama titrasi. Dicatat volume KOH atau
NaOH yang diperlukan.
2.3.3.9. Analisis asam lemak (AOAC 1999)
Sampel ditimbang sebanyak lebih kurang 2-3
gram ke dalam erlenmeyer, kemudian dilarutkan
dalam campuran chloroform-metanol (2:1), distirer
selama lebih kurang 12 jam. Setelah itu disaring
dengan menggunakan kertas saring whatman no.42
(yang telah di tambahkan dengan Na2SO4
secukupnya) kedalam labu didih 50 ml yang telah
diketahui bobot kosongnya, larutan kemudian di
evaporator, setelah kering labu didih ditimbang
bobotnya. Sampel yang telah didapatkan bobot
lemaknya
kemudian
ditambahkan
natrium
hidroksida dalam methanol 0,2 N sebanyak 10 ml
dan batu didih. Selanjutnya labu di pasangkan di
pendingin tegak (direfluks) sambil dipanaskan
dalam waterbath dengan suhu lebih kurang 95 oC
selama 15 menit. Setelah itu dipindahkan labu dari
sumber panas, dilepaskan dari pendingin tegak dan
ditambahkan larutan fenolftalein 0,2 % sampai
larutan berwarna merah muda, kemudian
ditambahkan beberapa ml asam sulfat dalam
metanol 1 N sampai warna merah muda hilang dan
larutan menjadi tidak berwarna, dan kemudian
ditambahkan 1 ml lagi. Dipasangkan dengan
pendingin tegak dan dididihkan kembali selama 20
menit. Setelah itu dijauhkan dari sumber panas,
dilepaskan dari pendingin tegak dan dinginkan labu
di bawah air mengalir. Kemudian ditambahkan 20
ml larutan natrium klorida jenuh dan dikocok.
Ditambahkan 5 ml heptana kemudian labu ditutup
dan dikocok kuat selama 30 detik. Dibiarkan

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Wibisono, A., Isyanti, M., & Lestari, N. (2015) Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap
Kandungan Nutrisi Cokelat Oles.Warta IHP, 32(2), 51-61

Halaman | 56

sampai terbentuk dua fase, ditambahkan larutan


natrium klorida jenuh kembali sampai lapisan
heptane yang mengandung metil ester mencapai
bagian atas leher labu agar mudah di pipet, larutan
ini siap untuk disuntikkan ke GC. Sebanyak 1 l
sampel lemak diinjeksikan ke dalam gas
chromatography. Asam lemak yang ada dalam metil
ester akan diidentifikasi oleh flame ionization
detector (FID) atau detektor ionisasi nyala dan
respon yang ada akan tercatat melalui
kromatogram (peak).
2.3.3.10. Analisis vitamin D (AOAC, 2002.05)
Dibuat larutan standar stok 0,1 mg/ml vitamin
D3 cholecalciferol dengan ditimbang teliti masingmasing 0,0025 g vitamin D3 dilarutkan dengan
etanol, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml dan
diimpitkan hingga tanda garis dengan etanol.
Dibuat larutan standar kerja 1 g/ml dengan
dipipet 0,25 ml larutan stok standar ke dalam labu
ukur 25 ml dan diimpitkan hingga tanda garis
dengan etanol, kemudian dipipet 0,5 ml, 1,0 ml, dan
2,0 ml larutan standar kerja tersebut masingmasing ke dalam labu ukur 5 ml dan diimpitkan
hingga tanda garis dengan etanol untuk membuat
larutan deret standar 0,1 g/ml, 0,2 g/ml, dan 0,4
g/ml. Ditimbang dengan teliti 5 g contoh,
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml bertutup
asah, ditambahkan 50 ml larutan etanol dan 37,5 ml
KOH 50% kemudian direfluks selama 2 jam pada
suhu 70 oC atau didiamkan semalaman. Dikocok
larutan dengan magnetik stirer selama 30 menit,
dimasukkan dengan teliti larutan hasil penyabunan
ke dalam labu ekstraksi, ditambahkan 50 ml nheptan kemudian dikocok. Ditampung larutan
lapisan bawah pada labu kocok yang berbeda,
ditambahkan n-heptan 30 ml dan dikocok. Dibuang
larutan lapisan bawah, disatukan larutan lapisan
atas dengan larutan lapisan atas yang sebelumnya.
Larutan
lapisan atas
tersebut
kemudian
ditambahkan KOH 1 M sebanyak 30 ml, dikocok dan
dibuang larutan lapisan bawahnya. Ditambahkan
30 ml etanol 40%, dikocok dan dibuang larutan
lapisan bawahnya. Dicuci larutan lapisan atas
dengan 30 ml aquadest sebanyak 4 kali ulangan.
Dibuang larutan lapisan bawah, ditampung larutan
lapisan atas ke labu didih, dievaporasi sampai
kering pada suhu 40 oC. Dilarutkan residu dengan 2
ml larutan THF-etanol (1:1), disaring dengan
milipore 0,2 l dan larutan siap untuk diinjek.
3.

Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik bahan baku


Sebelum dilakukan proses pembuatan cokelat
oles, dilakukan analisis kandungan asam lemak
bebas, komposisi asam lemak dan vitamin D dari

bahan baku minyak goreng, lemak cokelat, dan


minyak ikan patin. Hasil analisisnya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2.
Hasil analisis komposisi bahan baku minyak goreng, lemak
cokelat dan minyak ikan patin
Minyak
Minyak
Lemak
Goreng
Ikan
Parameter
Cokelat
sawit
Patin
Asam Lemak Bebas %
0,04*
0,87**
0,05
Vitamin D, g/100g
3,70
4,70
20,2
Asam Lemak Jenuh
Butirat, %
0
0
0
Kaproat, %
0
0
0
Kaprilat, %
0
0
0
Kaprat, %
0
0
0,03
Laurat, %
0,42
0,03
0,86
Miristat, %
1,84
0,08
4,27
Palmitat, %
67,25
18,26
30,3
Stearat, %
6,71
24,52
7,51
Asam Lemak Tidak
Jenuh
Oleat (Omega 9) %
0,08
22,38
41,50
Linoleat (omega 6), %
23,44
2,02
13,90
Linolenat (omega 3), %
0,24
0,07
1,51
* SNI 01- 0018 2006 Palm Oil asam lemak bebas maks 0,05 %
**SNI 01 - 3748-2009 Lemak Cokelat asam lemak bebas maks 1,57 %

Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa kandungan


asam lemak bebas dari minyak goreng sawit lemak
memenuhi persyaratan SNI 01-0018-2006 untuk
palm olein (maks 0,05%) dan lemak cokelat
memenuhi persyaratan SNI 01 - 3748- 2009 untuk
Lemak Cokelat (maks 1,57%). Minyak ikan patin
mengandung vitamin D dan omega 9 (oleat) cukup
tinggi yaitu vitamin D sebesar 20,2 g/100 gram
dan omega 9 (oleat) sebesar 41,5 %. Sementara
minyak goreng sawit mengandung omega 6
(linoleat) yang cukup tinggi sebesar 23,44 %.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa
campuran bahan minyak goreng sawit, lemak
cokelat dan minyak ikan patin cukup potensial
untuk menjadi bahan untuk pembuatan cokelat oles
yang diharapkan mengandung nutrisi lebih baik.
Asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh tubuh
adalah oleat (omega 9), linoleat (omega 6) dan
linolenat (omega 3). Asam lemak tersebut sangat
dibutuhkan sebagai nutrisi jaringan otak, fungsi
reproduksi, pengaturan fluiditas dan permeabilitas
membran sel, menurunkan kadar lemak dalam
plasma darah sehingga dapat mencegah penyakit
jantung koroner dan ateorosklerosis (Jorgensen,
1977, Simopoulus, 1994 dan Hardoko, 1995 dalam
Salim, dkk, 2004).
Nilai tambah ekonomi yang diharapkan adalah
diversifikasi produk dari komoditas sawit (olein
sawit / minyak goreng sawit), lemak cokelat dan
minyak ikan patin menjadi produk cokelat oles
yang lebih kaya nutrisi dan bermanfaat bagi
kesehatan, terutama dari kandungan vitamin D
serta kandungan omega 9, omega 6 dan omega 3.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 51-61


Halaman | 57

3.2. Uji organoleptik produk cokelat oles


Uji sensori atau uji organoleptik merupakan
pengujian yang menggunakan indera manusia
untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan
rasa suatu produk pangan dengan menggunakan
indera penglihatan, pengecap, pembau, peraba dan
pendengar. Penilaian konsumen terhadap mutu
suatu produk pangan diawali dengan penilaian
secara organoleptik ini. Panelis sering digunakan
untuk menguji sebagai perwakilan dari penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Uji organoleptik
dilakukan di Balai Besar Pasca Panen , Kementerian
Pertanian. Panelis yang digunakan pada penelitian
ini adalah panelis terlatih. Parameter yang diuji
pada uji organoleptik cokelat oles antara lain
warna, aroma, rasa, dan daya oles. Hasil penilaian
panelis uji organoleptik produk cokelat oles dan
hasil uji statistiknya dapat dilihat pada Tabel 3.
Warna adalah karakter visual pertama yang
dapat dinilai langsung dengan mata. Apabila suatu
produk pangan memiliki warna yang kurang
menarik, maka orang akan mempertimbangkan
untuk mengkonsumsinya meskipun bisa saja
produk tersebut memiliki rasa, aroma, dan daya
oles yang baik. Berdasarkan Tabel 10 untuk
parameter warna didapatkan nilai tertinggi (3,95)
pada perlakuan formulasi cokelat oles A3 (40%
lemak cokelat, 30% olein sawit, 30% minyak ikan
patin). Akan tetapi berdasarkan analisis sidik
ragam dan uji Duncan formulasi ini tidak berbeda
nyata dengan formulasi cokelat oles yang lain.
Keempat formulasi cokelat oles tersebut memliki
warna yang sama yakni cokelat kehitaman. Hasil
yang sama diperoleh untuk perlakuan proses
pencampuran (Tabel 4).

Pencampuran dengan ball mill menghasilkan


warna yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan
dengan teknik pencampuran menggunakan mixer +
waterbath walau tidak berbeda nyata. Tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara keempat formula
cokelat oles disebabkan karena warna pada cokelat
oles dominan dipengaruhi oleh penggunaan cokelat
bubuk sedangkan penggantian sebagian olein sawit
dengan minyak ikan patin tidak memberikan hasil
yang berbeda nyata. Cokelat bubuk yang
dipergunakan jumlahnya sama pada keempat
formula cokelat oles tersebut.
Aroma merupakan sensasi bau yang
ditimbulkan oleh rangsangan yang tercium oleh
syaraf-syaraf indera penciuman. Bau yang enak
dapat
meningkatkan
minat
orang
untuk
mengkonsumsi suatu produk pangan karena aroma
makanan banyak mempengaruhi kelezatan dan
penilaian makanan. Berdasarkan Tabel 3.
didapatkan nilai tertinggi (3,33) pada formulasi
cokelat oles A0, A1 dan A2 sedangkan untuk
formulasi A3 memiliki nilai yang terendah (paling
tidak disukai). Formulasi cokelat oles A0, A1 dan A2
tidak berbeda nyata sedangkan formulasi A3
memperoleh hasil yang berbeda nyata dengan
ketiga formulasi tersebut. Formulasi A3 adalah
cokelat oles dengan kandungan minyak ikan patin
tertinggi.
Aroma cokelat oles pada umumnya adalah
harum khas coklat, namun penggantian sebagian
olein sawit dengan minyak ikan patin tampaknya
memberi pengaruh terhadap aroma cokelat oles
tersebut. Untuk formulasi A1 dan A2 dengan
kandungan minyak ikan patin sebanyak 10% dan

Tabel 3.
Uji Organoleptik dan analisa tekstur produk cokelat oles beberapa formulasi hasil penelitian tahap pertama
Kekerasan
Organoleptik
Perlakuan
(Hardness)
Jumlah
Warna
Aroma
Rasa
Daya Oles
A0

3,80 a

3,33 b

3,28 b

4,02 a

14,43

17,61 b

A1

3,80 a

3,33 b

3,02 ab

4,02 a

14,17

16,63 b

A2

3,87 a

3,33 b

3,13 b

4,15 a

14,48

16,61 b

A3

3,95 a

2,87 a

2,72 a

4,15 a

13,69

14,78 a

Tabel 4.
Uji organoleptik dan analisa tekstur produk cokelat oles dari variasi pencampuran hasil penelitian tahap kedua
Kekerasan
Parameter
Perlakuan
(Hardness)
Jumlah
Warna
Aroma
Rasa
Daya Oles
Mixer + Waterbath

3,76 a

3,18 a

3,46 b

3,94 a

14,34

26,96 b

Ball Mill 1 jam

3,90 a

3,35 a

3,35 b

4,20 b

14,80

11,12 a

Ball Mill 2 jam

3,90 a

3.12 a

2,30 a

4,11 ab

13,43

10,92 a

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Wibisono, A., Isyanti, M., & Lestari, N. (2015) Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap
Kandungan Nutrisi Cokelat Oles.Warta IHP, 32(2), 51-61

Halaman | 58

20% dari total 100% kandungan campuran lemak


cokelat, olein sawit dan minyak ikan patin menurut
panelis belum begitu mempengaruhi aroma cokelat
dari produk cokelat oles. Berbeda halnya dengan
aroma cokelat pada Formulasi A3 yang kurang
begitu disukai oleh panelis. Sedangkan untuk
proses pencampuran (Tabel 4) tidak berpengaruh
nyata terhadap aroma cokelat oles dengan nilai
tertinggi (3,35) adalah teknik pencampuran dengan
ball mill selama 1 jam.
Rasa didefinisikan sebagai rangsangan yang
ditimbulkan oleh bahan yang dimakan, terutama
yang dirasakan oleh indera pengecap. Rasa yang
enak tentunya akan meningkatkan tingkat
konsumsi suatu produk pangan. Kesukaan terhadap
rasa tidak dapat diukur secara instrumental karena
merupakan interaksi antara konsumen dengan
produk. Berdasarkan Tabel 3 didapatkan nilai
tertinggi (3,28) pada formulasi A0 (40% lemak
cokelat, 60% olein sawit, 0% minyak ikan patin)
dan nilai terendah (2,72) pada formulasi A3 ((40%
lemak cokelat, 30% olein sawit, 30% minyak ikan
patin).
Formulasi A0 tidak berbeda nyata dengan
formulasi A1 dan A2 tetapi berbeda nyata dengan
formulasi A3. Penggantian 30 % dari total 60 %
total kandungan olein sawit dalam cokelat oles
sudah mulai memberikan pengaruh terhadap cita
rasa dari cokelat oles yang dihasilkan. Sementara
untuk perlakuan proses pencampuran (Tabel 4)
didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata antara
pencampuran dengan mixer + waterbath dan ball
mill selama 1 jam serta hasil yang berbeda nyata
antara ball mill 2 jam dengan waterbath dan ball
mill 1 jam. Didapatkan nilai tertinggi (3,46) pada
proses pencampuran menggunakan waterbath dan
nilai terendah (2,30) pada proses pencampuran
menggunakan ball mill selama 2 jam. Walaupun
secara tekstur proses pengadukan yang lebih lama
akan menghasilkan homogenitas dan tingkat
kehalusan yang lebih baik ternyata waktu
pengadukan disertai pemanasan yang terlalu lama
dapat mengganggu kestabilan emulsi yang
terbentuk sehingga mempengaruhi rasa cokelat
oles tersebut. Pengadukan yang terlalu lama pada
saat dan setelah emulsi terbentuk dapat
menyebabkan terjadinya penggabungan partikel.
Pengadukan akan mengurangi ukuran partikel dan
mempengaruhi viskositas emulsi yang dihasilkan.
Semakin kecil ukuran partikel akan menyebabkan
semakin meningkatnya viskositas emulsi (Lachman,
dkk., 1994).
Daya oles adalah salah satu sifak sensorik yang
tidak kalah penting dalam produk cokelat oles. Bilai
nilai daya oles rendah, cokelat oles terlalu encer
atau terlalu keras/kental yang menyebabkan
cokelat oles sulit dioles pada roti. Hal ini biasanya
akan menurunkan penerimaan konsumen. Hasil
analisis sidik ragam dan uji Duncan yang terlihat

pada Tabel 3, menunjukkan bahwa formulasi


cokelat oles tidak berpengaruh nyata terhadap
parameter daya oles pada selang kepercayaan 95
%. Keempat formulasi cokelat oles (A0, A1, A2 dan
A3) tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata
dengan nilai rata-rata masing-masing secara
berurutan yaitu 4,02; 4,02; 4,15 dan 4,15. Hal ini
dikarenakan viskositas dari olein sawit yang tidak
jauh berbeda dengan minyak ikan patin sehingga
perbedaan persentase keduanya tidak memberikan
hasil yang berbeda nyata. Sedangkan bila dilihat
dari proses pencampurannya diperoleh hasil yang
berbeda nyata antara penggunaan mixer +
waterbath dan ball mill dengan teknik
pencampuran ball mill 1 jam yang memperoleh
hasil terbaik.
Dari hasil uji organoleptik (Tabel 3 dan Tabel 4)
terhadap keempat parameter (warna, aroma, rasa
dan daya oles) diperoleh formulasi cokelat oles
terbaik adalah formula A2 dengan total nilai 14,48
atau rata-rata 3,62 yaitu perbandingan komposisi
olein sawit : minyak ikan patin : lemak cokelat
adalah 40 % : 20 % : 40 % dan teknologi
pengolahan terbaik adalah dengan ball mill selama
1 jam dengan total nilai14,80 atau rata-rata 3,70.
3.3.

Analisis kekerasan produk cokelat oles

Uji sensori atau uji organoleptik merupakan


pengujian yang menggunakan indera manusia
untuk mengukur tekstur, penampakan, aroma dan
rasa suatu produk pangan dengan menggunakan
indera penglihatan, pengecap, pembau, peraba dan
pendengar. Penilaian konsumen terhadap mutu
suatu produk pangan diawali dengan penilaian
secara organoleptik ini. Panelis sering digunakan
untuk menguji sebagai perwakilan dari penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Panelis yang
digunakan pada penelitian ini adalah panelis semi
terlatih karena walaupun tidak terlatih mereka
suka mengkonsumsi cokelat.
Kualitas dari cokelat oles dapat dinilai dengan
analisis tekstur secara instrumental. Ada hubungan
yang signifikan antara pengukuran tekstur dengan
karakteristik sensori dari produk cokelat oles. Sifat
tekstur seperti hardness (kekerasan) biasanya
digunakan
untuk
menggambarkan
kualitas
penyebaran (spreadability) dari cokelat oles dan
memprediksi penerimaan konsumen. Produk
spread harus memiliki tekstur yang lembut dan
mudah dioles untuk menghindari merobek roti.
Hardness (kekerasan) adalah gaya yang berupa
tekanan atau tegangan yang diperlukan untuk
merubah bentuk fisik bahan (Diniyati, 2012). Nilai
hardness yang tinggi akan memberikan kemampuan
penyebaran yang rendah pada produk cokelat oles.
Pengukuran kekerasan produk dapat dilakukan
dengan menggunakan gaya kompresi standar
dalam waktu tertentu untuk mengetahui deformasi

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 51-61


Halaman | 59

yang terjadi pada produk. Selain itu dapat juga


dengan menggunakan jarak kompresi tertentu dan
mengukur gaya yang dibutuhkan untuk mencapai
persen deformasi yang diinginkan.
Dari Tabel 3 diperoleh tingkat kekerasan
terendah adalah cokelat oles dengan formulasi A3
dan tertinggi adalah formulasi A0. Formulasi A0
(tanpa minyak ikan patin) berbeda nyata dengan
formulasi A1, A2, dan A3 (dengan minyak ikan
patin). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak
jumlah olein sawit yang diganti dengan minyak ikan
patin maka tingkat kekerasannya akan semakin
rendah. Sedangkan dari Tabel 4 diperoleh tingkat
kekerasan terendah adalah cokelat oles dengan
teknik pencampuran menggunakan hand mixer +
waterbath. Penggunaan mixer + waterbath juga
dapat menghasilkan tekstur cokelat oles yang tidak
konsisten karena dapat menyebabkan variasi nilai
hardness
yang
lebih
lebar
dibandingkan
pencampuran menggunakan ball mill, Sedangkan
proses pencampuran bahan dengan ball mill selama
1 jam dan 2 jam diperoleh hasil yang tidak berbeda
nyata atau perbedaannya tipis. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan proses pencampuran
yang hanya 1 jam sudah diperoleh tingkat hardness
yang mendekati maksimal sehingga walaupun
waktu pencampurannya ditambah menjadi 2 jam
hasilnya tidak akan terlalu berbeda.
3.4.

Karakteristik kimia produk cokelat oles


terpilih

Analisis kimia dari formulasi cokelat oles


terpilih yaitu A2 (40% lemak cokelat : 40% olein
sawit : 20% minyak ikan patin) dan cokelat oles A0
(40% lemak cokelat : 60% olein sawit) sebagai
standar dengan proses pencampuran terpilih
menggunakan alat ball mill selama 1 jam, dapat
dilihat pada Tabel 5.
Kadar air merupakan karakteristik yang sangat
mempengaruhi bahan pangan karena kandungan
air ini dapat mempengaruhi penampakan, tekstur
dan cita rasa makanan. Kadar air dalam makanan
juga ikut menentukan daya awet atau daya simpan
bahan makanan tersebut. Selain kerusakan
mikrobiologis, kadar air juga mempengaruhi sifatsifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat
fisiko-kimia (Bucle et al, 1987).
Dari Tabel 5 dapat diketahui kandungan kadar
air pada cokelat oles terpilih yaitu sebesar 8,34 %,
lebih tinggi daripada kadar air cokelat oles kontrol
yaitu sebesar 6,28 %. Menurut penelitian Isyanti
dkk, 2012 pada suhu penyimpanan 25 oC cokelat
oles masih aman dikonsumsi sampai 8 - 13 minggu.
Abu adalah residu anorganik dari proses
pembakaran atau oksidasi komponen organik
bahan pangan. Kadar abu merupakan bagian dari

analisis proksimat yang bertujuan untuk


mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan
terutama total mineral. Menurut Winarno (2004)
komponen yang biasanya terdapat pada senyawa
anorganik alami adalah kalium, kalsium, natrium,
besi, magnesium, dan mangan.
Dari Tabel 5 diketahui kadar abu pada cokelat
oles terpilih adalah 2,98% sedangkan cokelat oles
kontrol adalah 2,48%. Hal ini menunjukkan bahwa
cokelat oles yang mengandung minyak ikan patin
memiliki kadar mineral yang sedikit lebih banyak
daripada cokelat oles yang tidak mengandung
minyak ikan patin.
Protein adalah sumber-sumber asam amino
yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Protein
merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh
manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar
dalam tubuh dan juga sebagai bahan pembangun
dan pengatur (Winarno, 2004). Protein juga
berfungsi sebagai zat pengatur proses metabolisme
tubuh. Kandungan kadar protein pada cokelat oles
terpilih adalah 1,97% lebih tinggi daripada cokelat
oles kontrol, 1,65%.
Salah satu komponen yang paling penting dalam
pembuatan produk olesan/ spread adalah lemak.
Lemak akan memberikan efek seperti mentega,
memperkaya rasa (richness), memberikan tekstur
yang lembut (tenderness), serta akan meningkatkan
mouthfell, flavor dan persepsi (Mousazadeh, et al.,
2013). Menurut Moran (1994), fungsi lemak
spreads adalah meningkatkan patabilitas produk
roti dan kue seperti meminyaki roti ketika dimakan,
sebagai sumber energi, vitamin, dan asam lemak
esensial serta memberikan flavor pangan,
berkontribusi pada rasa dingin ketika dimakan, dan
membentuk struktur produk. Palatabilitas adalah
derajat kesukaan pada makanan tertentu yang
terpilih dan dimakan.
Dari Tabel 5 diketahui kadar lemak pada cokelat
oles terpilih adalah 29,20% sedangkan cokelat oles
kontrol adalah 28,98%. Kadar lemak cokelat oles
terpilih lebih tinggi daripada cokelat oles kontrol.
Kedua cokelat oles tersebut memenuhi syarat mutu
pasta cokelat yaitu minimum 25%.
Karbohidrat secara sederhana dapat diartikan
sebagai suatu senyawa yang terdiri dari molekulmolekul karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O)
atau karbon dan hidrat (H2O). Ada banyak fungsi
dari karbohidrat dalam penerapannya di industri
pangan, farmasi maupun dalam kehidupan manusia
sehari-hari, diantaranya adalah sebagai sumber
kalori atau energi, sebagai bahan pemanis dan
pengawet, sebagai bahan pengisi dan pembentuk,
sebagai sumber flavor dan sebagai sumber serat.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Wibisono, A., Isyanti, M., & Lestari, N. (2015) Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin terhadap
Kandungan Nutrisi Cokelat Oles.Warta IHP, 32(2), 51-61

Halaman | 60
Tabel 5.
Karakteristik fisik dan kimia produk cokelat oles terpilih (a2) dan cokelat oles kontrol (A0)
No

Parameter

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Warna
Aroma
Rasa
Daya oles
Hardness
Air
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Asam lemak bebas
(sebagai laurat)
Asam lemak jenuh
Butirat (C4:0)
Kaproat (C6:0)
Kaprilat (C8:0)
Kaprat (C10:0)
Laurat (C12:0)
Miristat (C14:0)
Palmitat (C16:0)
Stearat (C18:0)
Asam lemak tidak jenuh
Oleat (C18:1)
Linoleat (C18:2)
Linolenat (C18:3)
Vitamin D

12

13

14

Satuan

Cokelat Oles A2

Cokelat Oles A0

SNI Pasta Cokelat

Normal
Normal
Normal
Normal
11,67
6,58
2,48
1,65
28,98
60,31
0,33

Normal
Normal

G
%
%
%
%
%
%

Normal
Normal
Normal
Normal
11,00
8,34
2,98
1,97
29,20
57,51
0,35

%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
ug/100 gram

11,79
0
0
0
0
0,16
0,38
9,40
5,08
14,66
11,63
2,98
0,05
7,57

11,75
0
0
0
0
0,08
0,23
9,90
4,13
14,64
11,32
3,30
0,02
4,48

Penentuan karbohidrat dalam penelitian ini


dihitung secara by difference, yaitu dengan
menghitung selisih antara 100% dengan total kadar
air, abu, protein dan lemak. Semakin tinggi kadar
air, abu, protein dan lemak maka semakin menurun
kadar karbohidrat yang dihasilkan. Dari Tabel 5,
diketahui kadar karbohidrat cokelat oles terpilih
adalah sebesar 57,51% sedangkan kadar
karbohidrat cokelat oles kontrol sedikit lebih tinggi
yaitu 60,31%.
Asam lemak bebas diperoleh dari proses
hidrolisis, yaitu penguraian lemak atau trigliserida
oleh molekul air yang menghasilkan gliserol dan
asam lemak bebas. Asam lemak bebas yang
dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi
biasanya bergabung dengan lemak netral. Lemak
dengan kadar asam lemak bebas lebih dari 1%, jika
dicicipi akan terasa membentuk film pada
permukaan lidah dan tidak berbau tengik, namun
intensitasnya
tidak
bertambah
dengan
bertambahnya jumlah asam lemak bebas (Ketaren,
1986).
Dari hasil pengujian didapat kadar asam lemak
bebas cokelat oles terpilih sebesar 0,33 % dan
cokelat oles kontrol sebesar 0,35 %. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua cokelat
oles. Hal ini dikarenakan kadar asam lemak dari
olein sawit dan minyak ikan patin yang rendah
dengan nilai yang hampir sama. Syarat mutu kadar
asam lemak bebas untuk pasta cokelat maksimum
adalah 0,3 %.
Cokelat oles harus bersifat plastis sehingga
mempunyai kemampuan untuk dioles pada suatu
permukaan. Menurut Gaman dan Sherrington

Maks 2

Min 25
Maks 0,3

(1992), plastisitas lemak disebabkan karena lemak


merupakan campuran trigliserida yang masingmasing mempunyai titik leleh sendiri-sendiri. Hal
ini berarti pada suhu tertentu sebagian lemak
mencair dan sebagian lagi dalam bentuk kristal
padat.
Dari hasil pengujian diperoleh informasi bahwa
kedua cokelat oles mengandung asam lemak jenuh
dan asam lemak tidak jenuh dengan perbandingan
yang hampir sama. Kandungan asam lemak tidak
jenuh pada kedua produk lebih tinggi daripada
asam lemak jenuhnya. Kandungan asam lemak
tidak jenuh oleat (omega 9) dan linolenat (omega 3)
pada cokelat oles terpilih lebih tinggi daripada
cokelat oles kontrol, sedangkan kandungan asam
lemak tidak jenuh linoleat cokelat oles kontrol lebih
tinggi daripada cokelat oles terpilih. Hal ini
dikarenakan kandungan asam lemak olein dan
linolenat pada minyak ikan patin lebih tinggi
daripada minyak olein sawit sedangkan kandungan
asam lemak linoleatnya lebih rendah. Penambahan
kandungan asam lemak laurat, miristat dan stearat
pada produk cokelat oles sesuai dengan rasio
penambahan minyak ikan patin, sedangkan untuk
asam oleat dan linolenatnya lebih rendah.
Vitamin D adalah salah satu jenis vitamin larut
lemak prohormon yang juga dikenal dengan nama
kalsiferol. Vitamin D sendiri memiliki 2 bentuk aktif
yaitu vitamin D2 dan Vitamin D3. Selain sebagai
pelancar penyerapan kalsium pada tulang dan gigi
kita, vitamin D juga memiliki peran utama sebagai
penghancur berbagai macam bakteri dan virus yang
bersarang dalam tubuh kita. Vitamin D juga dapat
memperkuat metabolisme tubuh kita sehingga

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 072015: 51-61


Halaman | 61

tubuh kita dapat tahan terhadap berbagai penyakit


apalagi penyakit yang mudah menular dengan kata
lain dapat meningkatkan imunitas tubuh. Dari
Tabel 5 diperoleh hasil bahwa cokelat oles terpilih
(dengan kandungan minyak ikan patin) memiliki
kandungan vitamin D yang lebih tinggi (7,57 ppm)
daripada cokelat oles kontrol yang tanpa minyak
ikan patin (4,48 ppm). Hal ini disebabkan
kandungan vitamin D pada bahan baku minyak ikan
patin memang lebih tinggi daripada minyak goreng
sawit. Akan tetapi, penambahannya tidak sesuai
dengan rasio penambahan minyak ikan patin (lebih
rendah). Hal ini dapat disebabkan karena proses
pencampuran dalam pembuatan cokelat oles yang
kurang homogen dan kualitas bahan baku yang
tidak konsisten.
Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa produk
cokelat oles terpilih (formulasi A2, proses
pencampuran ball mill 1 jam) memiliki
karakteristik fisik warna dan aroma yang sesuai
dengan standar SNI No. 01-4458-1198 untuk pasta
cokelat yaitu normal. Karakteristik kimia untuk
kadar lemak dan asam lemak bebasnya pun
memenuhi persyaratan SNI pasta cokelat, yaitu
minimum 25 % untuk kadar lemak dan maksimum
0,3 % untuk kadar asam lemak bebas.
4.

Kesimpulan

Berdasarkan uji hedonik (kesukaan) diperoleh


formulasi cokelat oles terbaik yang terpilih dari
hasil penelitian adalah cokelat oles dengan
perbandingan komposisi lemak cokelat, olein sawit
dan minyak ikan patin sebesar 40 % : 40 % : 20 %
serta teknologi pengolahan cokelat oles terbaik
adalah dengan menggunakan ball mill selama 1 jam.
Cokelat oles yang dibuat dengan formulasi 40 %
lemak cokelat, 40 % olein sawit dan 20 % minyak
ikan patin menggunakan ball mill selama 1 jam
memiliki karakteristik fisik warna, aroma, rasa dan
daya oles yang sesuai dengan standar SNI pasta
cokelat serta nilai hardness 11,00 g. Karakteristik
kimia yang dimiliki, yaitu kadar air 8,34 %, abu 2,98
%, protein 1,97 %, lemak 29,20 %, karbohidrat
57,51 %, asam lemak bebas 0,35 %, asam lemak
jenuh 11,79 %, asam lemak tidak jenuh 14,66 %
dan vitamin D 7,57 ug/100 gram.

Minyak ikan patin terbukti dapat meningkatkan


nutrisi produk cokelat oles dari segi kandungan
protein, lemak, asam oleat, asam linolenat dan
vitamin D nya.
Daftar Pustaka
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton, 1987. Ilmu
Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI-Press,
Jakarta.
Diniyati, B. 2012. Kadar Betakaroten, Protein, Tingkat Kekerasan,
dan Mutu Organoleptik Mie Instan dengan Substitusi Tepung
Ubi Jalar Merah (Ipomoea batatas) dan Kacang Hijau (Vigna
radiata).
Program
Studi
Ilmu
Gizi,
Fakultas
Kedokteran,Universitas Diponegoro. Semarang.
El-Hadad Nesma N. M, Mohammed M. Youssef, Mohammed H.
Abd El-Aal, Hani H. Abou-Gharbia. Utilisation of red palm
olein in formulating functional chocolate spread. Food
Chemistry 124 (2011) 285-290.
Gaman, P.M. dan Sherrington, K.B. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar
Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobologi, Murdijati G, et al,
penerjemah. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University
Press. Terjemahan dari: The Science of Food, An Introduction
to Food Science, Nutrition and Microbiology.
Ginting, Danni. 2011. Pengaruh Subtitusi Minyak Sawit dan
Pemanasan Terhadap Mutu Selai Cokelat. Universitas
Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Isyanti, Mirna, dkk. 2012. Penelitian Pengembangan Pembuatan
Produk Olahan Cokelat (Chocolate Spread) Berbasis Sawit.
Laporan Litbang Balai Besar Industri Agro. Balai Besar
Industri Agro. Bogor.
Ketaren,S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Lachman, L., Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi kedua. UI Press. Jakarta.
Lestari, Nami, Kurniawati dan Arba Susanty. 2006. Diversifikasi
Ikan Patin untuk Pembuatan Nugget, Baso dan Abon.
Laporan Litbang Baristan Industri Samarinda. Baristan
Industri Samarinda, Samarinda.
Lestari, Nami, Yuni Adiningsih, Fauziati dan Titi Puji Lestari.
2010. Pengembangan Teknologi Proses Pembuatan High
Nutritive Value Margarinbdari Minyak Ikan Patin. Laporan
Penelitian Program Insentif Peningkatan Peneliti dan
Prerkaya Tahun 2010. Baristan Industri Samarinda dan
BBIA, Bogor.
Moran, D. P. J. dan Rajah, K. K. 1994. Fat in Food Product. Blackie
Academic & Professional. London.
Mousazadeh, M., Mousavi, S. M., Djomeh, Z. E., Hadinezhad, M.
dan Rahmati, N. U. 2011. Stability and Dynamic Rheological
Characterization of Spread Develop Based on Pistochio Oil.
International Journal of Biological Macromolecules, Vol. 56:
133-139. 2013.
Sriharti, Tahiyah Salim dan Sukirno. 2004. Teknologi
Penganganan Limbah Cair Tahu. Prosiding Seminar Nasional
Rekayasa Kimia dan Proses. Jurusan Teknik Kimia
Universitas Diponegoro. Semarang.
Winarno. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta. 1987.jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hutajulu, T.H. & Siregar, N.C. (2015) Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba (Neem Seed Oil) dan Purifikasinya. Warta IHP,
32(02),62-67

Halaman | 62

Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba


(Neem Seed Oil) dan Purifikasinya
Extraction Process Improvement of Neem Seed Oil and Its Purification
Tiurlan Farida Hutajulu dan Nobel Christian Siregar
Balai Besar Industri Agro (BBIA)
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
tiurlan.hutajulu@yahoo.com

Riwayat Naskah:
Diterima 07, 2015
Direvisi 09, 2015
Disetujui 11, 2015

ABSTRAK : Minyak mimba (neem seed oil) dapat dimanfaatkan dalam bidang
kosmetika antara lain: sabun antiseptik, shampoo, krim lulur, dan lotion antiserangga. Minyak mimba dapat diperoleh dengandi press ataupun diekstrak
menghunakan heksan. Rendemen minyak mimba dengan cara pengepresan
relatif lebih sedikit Sehingga dilakukan pengembangan ekstraksi minyak mimba
dengan pengukusan biji mimba selama 30 menit untuk membuka sel-sel dari
jaringan minyak sebelum dilakukan hydroulic press dan screw press. Kemudian
dilakukan penjernihan minyak dengan bleaching earth dan arang aktifsehingga
diperoleh minyak yang lebih jernih. Pada penelitian ini dilakukan 2 (dua) tahap
yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan
dibagi 2 (dua) tahap yaitu tahap ke-1, persiapan bahan baku dengan cara
pemisahan kulit biji mimba dan penggilingan sehingga bubuk. Tahap ke-2, proses
pengukusan bubuk biji mimba selama 30 menit dan dikeringkan dioven 50oC
selama 30 menit kemudian di ekstrak dengan cara hydroulic press dan screw
press. Pada penelitian lanjutan, purifikasi minyak dengan arang aktif dan silikat
(bleaching earth) untuk memperoleh minyak mimba yang lebih jernih. Hasil
penelitian diperoleh rendemen minyak tertinggi dengan cara kukus sekitar 22 %
serta hasil purifikasi/penjernihan minyak diperoleh warna minyak lebih jernih.
Minyak mimba diesterifikasi dan dianalisis menggunakan Gas chromatography
(GC) Hasil analisis minyak dengan gas kromatografi diperoleh dua komponen
tertinggi yaitu senyawa eugenol dan asam palmitat.
Kata kunci : biji mimba, ekstraksi, purifikasi, press hidroulik, bleaching earth

ABSTRACT: Neem oil (neem seed oil) can be utilized in the field of cosmetics,
among others: antiseptic soap, shampoo, cream scrub , and anti-insect lotion.
Neem oil can be obtained by means of pressing or extracted with hexane. The
yield of oil from pressed neem seed is relatively less. Therefore it was conducted
to develope of neem oil extraction to increase oil yield by steaming of neem seed
for 30 minutes to open the cells of the tissue prior to pressing by hydroulic oil
press and a screw press. Then purification was conducted using bleaching earth
and activated charcoal in order to obtain clearer neem seed oil. In this research,
two (2) phases of research Preliminary research conducted two (2) phases: 1st,
preparation of raw materials by means of the separation of the skin from neem
seeds and grinding to powder. Phase 2, steaming process neem seed powder for
30 minutes and dried 50 C oven for 30 minutes ,then extract the oil by means
hydroulic pressed and screw press. On further research, oil purification with
active charcoal and silicate (bleaching earth) to obtain a clearerneem oil. The
results obtained by the highest oil yield by means of steam around 22% and the
results of purification was clearer oil colors. Neem seed oil was esterified and
analyzed by using Gas Chromatography. Oil analysis resulted by gas
chromatography showed two main components namely eugenol and palmitic
acid.
Keywords : neem seed, extraction, purification, hydraulic press, bleaching earth

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 62-67


Halaman | 63

1. Pendahuluan
Tanaman mimba/neem (Azadirachta indica A.
Juss)merupakan salah satu tanaman multikhasiat
yang dapat tumbuh baik diIndonesia.Tanaman
mimba ini biasanya digunakan untuk tanaman
penghijauan, mudah tumbuh serta mampu
beradaptasi dengan tanah yang kurang subur atau
gersang. Tanaman mimba(biji maupun daun)
mengandung bahanaktif utama azadirachtin serta
meliantriol, salanin, nimbindan nimbidin (Sudarsono
et al., 2002).Senyawa azadirachtin (C35H44O16)dapat
bersifat anti septikdansangat bermanfaat dalam
bidang pertanian (pestisida dan pupuk), maupun
farmasi (kosmetik dan obat-obatan)(MesakTombe,
2001).
Beberapa peneliti telah banyak memanfaatkan
biopestida, minyak mimba sebagai pestisida hayati
yang aman dan ramah lingkungan (Oparaeke, et
al.(2005); David BV. 2008) sehingga dapat
digunakan sebagai pengganti pestisida sintetis,
yang penggunaannya dalam waktu lama akan
mencemari lingkungan. Begitu juga, minyak mimba
dimanfaatkan dalam bidang kosmetika (Wiratno
dan MesakTombe, 2001) dan beberapa produk
telahdihasilkanantara
lain:
sabun
mandi
antiseptik,shampoo, krimlulur (SPA),lotion antiseranggayang sekaligusmemberikan kelembaban
dan kesehatan pada kulit. Beberapa informasi, juga
menjelaskan bahwa mimba dapat bermanfaat
untuk obat apabila dikonsumsi dalam dosis tepat
dan diolah dengan cara tersendiri sehingga mampu
menghasilkan khasiat obat untuk menanggulangi
penyakit tumor, kanker, diabetes, kolesterol, asma,
darah tinggi, asam urat dan lainnya (Karjono, 1998;
Dr. Sukrasno, 2003).
Mimba juga sudah sejak lama digunakan sebagai
obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai
macam penyakit, khususnya daun mimba
(Ruskin,1993). Mimba berkhasiat sebagai antibakteri, anti-virus, berkhasiat menanggulangi
penyakit kulit, menjaga kesehatan mulut dan gigi,
sebagai obat malaria yang dapat disetarakan
dengan kina, mengurangi rasa sakit (pain relief),
obat demam, dapat mengontrol kelahiran (birth
control), obat cacing untuk ternak, bahkan mampu
menghambat pertumbuhan HIV (virus penyebab
penyakit AIDS). Walaupun demikian, sampai saat
ini
masih
terjadi
kontroversi
mengenai
digunakannya daun mimba sebagai obat
tradisional. Satu pihak ada yang berpendapat
bahwa mimba adalah racun yang apabila digunakan
sebagai obat akan sangat membahayakan. Dilain
pihak ada yang mempercayai bahwa mimba dapat
digunakan sebagi obat tradisional untuk berbagai
jenis penyakit, karena telah digunakan sejak jaman
dahulu dan sudah banyak bukti akan khasiat mimba
dalam menanggulangi berbagai macam penyakit,
hanya proses pembuatan dan dosisnya yang harus

diperhatikan secara tepat dan benar.


Sebagai produk pestisida, mimba sudah sejak
lama digunakan sebagai pestisida nabati dengan
kemampuan yang cukup luas (Broad spectrum),
baik digunakan secara sederhana maupun secara
terformula Di Amerika Serikat, mimba sudah
digunakan secara meluas, untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan pada tanaman
yang bukan untuk dikonsumsi (non-food crops) dan
pada tanaman pangan (foodcrops), dengan berbagai
jenis merk dagang, diantaranya adalah Margosan,
Aligin, Turpex, Azatin dan Bio-neem. Negara
lainpun di Asia sudah banyak yang memproduksi
pestisida nabati dari mimba seperti India,
Singapura, Thailand, dan Myanmar.
Bungkil atau dedak biji mimba yang telah
diambil minyaknya, baik secara dipres, maupun di
ekstrak dengan heksan, merupakan vahan pupuk
organik yang kaya akan nutrisi yang bermanfaat
bagi pertumbuhan tanaman. Selain mengandung
nutrisi tanaman, baik unsur makro, maupun mikro,
bungkil biji mimba ini juga masih mengandung
senyawa aktif pestisida nabati, seperti azadirachtin
yang akan bermanfaat mengendalikan organismo
pengganggu tumbuhan yang berada di dalam tanah,
seperti hama rayap, nematoda dan hama lainnya,
sehinggapenggunaannya sebagai pupuk organik
akan bermanfaat ganda, yaitu secara tidak langsung
akan bermanfaat sebagai pestisida (Ronny
Y.G.,2010).
Minyak mimba dapat diperoleh dengan cara di
press ataupun diekstrak dengan heksan (pelarut
organik). Rendemen minyak dalam biji mimba
dengan cara pengepresan pada umumnya relatif
lebih kecil dari potensi kandungan minyak pada biji
mimba. Oleh karena itu dalam percobaan lanjutan
akan dilakukan peningkatan teknologi ekstraksi
minyak mimba yaitu diberi perlakuan pendahuluan
terhadap biji mimba dengan pengukusan biji
mimba selama 30 menit, untuk membuka sel-sel
dari jaringan minyak sebelum dilakukan hydroulic
press. Tujuan penelitian ini diperoleh rendemen
minyak mimba yang lebih tinggi dan penjernihan
dengan bleaching earth (Anonimus, 2015) pada
minyak mimba diperoleh minyak yang lebih jernih.
2. Bahan Dan Metode
2.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini
adalah biji mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang
sudah tua dan kering yang diperoleh dan
dikumpulkan dari Kebun Percobaan Balitro,
Bogor.Bahan penolong yang digunakan adalah
bleaching earth, asam phosphat (H3PO4), air suling

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hutajulu, T.H. & Siregar, N.C. (2015) Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba (Neem Seed Oil) dan Purifikasinya. Warta IHP,
32(02),62-67

Halaman | 64

2.2. Alat
Tahap I: Menggunakan arang aktif
Minyak dipanaskan sampai suhu 70oC,
kemudian tambahkan arang aktif sebanyak 1 - 2 %
sambil diaduk cepat sambil dipanaskan terus
selama 15 menit pada suhu tetap70oC. kemudian
disaring dengan buchner menggunakan kertas
saring whatman 41 42.

Peralatan yang digunakan antara lain adalah :


tampi terbuat dari kayu, dandang stainless steel,
botol kaca gelap, hydraulic press, screw press,
vacum,Gas Chromatography (GC)dan peralatan
laboratorium lainnya.
2.3. Metode

Tahap II: Menggunakan bleaching earth (BE)


Minyak dipanaskan sampai suhu 99oC,
kemudian tambahkan phosphoric acid sebanyak 2
tetes sambil diaduk perlahan, panaskan terus
selama 15 menit pada suhu tetap 99oC, kemudian
tambahkan bleaching earth sebanyak 3%,
dipanaskan terus sampai 15 menit dan akhirnya
disaring dengan corong buchner menggunakan
kertas saring whatman 41 42. Proses ekstraksi
biji mimba cara kukus dapat dilihat pada Gambar 2.

Penelitian ini mencakup penelitian perdahuluan


dan
penelitian
lanjutan.
Pada
penelitian
pendahuluan terdiri dari 2 (dua) tahap penelitian
yaitu tahap pertama, dilakukan penyortiran bahan
baku dengan cara dipisahkan kulit dari bijinya yang
keras kemudian di grinding hingga memperoleh biji
mimba bubuk. Pada Tahap kedua, biji mimba bubuk
diberi 2 (dua) perlakuan yaitu dikukus selama 30
menit dan dikeringkan dioven 50oC selama 30
menit kemudian masing-masing di ekstrak
minyaknya dengan cara hydroulic press dan screw
press. Proses ekstraksi biji mimba dapat dilakukan
pada Gambar 1.
Penelitian
lanjutan
dilakukan
dengan
memggunakan cara ekstraksi dengan menghasilkan
rendemen minyak tertinggi, yaitudengan perlakuan
kukus terhadap biji mimba bubuk (percobaan
pendahuluan) dan dilanjutkan purifikasi minyak
dengan arang aktif dan campuran silikat (bleaching
earth) untuk memperoleh minyak mimba yang
lebih jernih. Purifikasi minyak biji mimba dilakukan
dua tahap:

2.4. Analisis
Analisis minyak mimba dilakukan untuk
mengetahui komponen minyak mimba dan
rendemen yaitu :
- Analisis komponen minyak mimba .
Analisis ini dilakukan terhadap minyak mimba
sebelum dan sesudah purifikasi Analisisminyak
mimba dilakukan dengan menggunakan gas
kromatografi.

Biji

dikuliti

dihancurkan

Bubuk

Pengering oven
kukus
Hydroulic press

Expelling(Screw press)

Hydroulic press

Oil
Oil

Cake

Oil

Cake
Gambar 1. Proses ekstraksi biji mimba

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Cake

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 62-67


Halaman | 65

Biji mimba

Giling

Kukus, 30 menit

Press

Crude oil

Gambar 2. Proses ekstraksi biji mimba cara kukus

Analisis Rendemen (AOAC, 1984)


Analisisinidilakukan berdasarkan perbandingan
berat minyak yang diperoleh dengan beratbiji
mimba, dikalikan 100 %.
-

Berdasarkan hasil rendemen minyak mimba


tersebut diatas, maka pada percobaan lanjutan,
dilakukan dengan melalui cara kukus dan
dilanjutkan dengan proses purifikasi minyak.
3.2. Percobaan lanjutan
3.2.1. Rendemen

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Penelitian pendahuluan
Hasil
yang
diperoleh
dari
penelitian
pendahuluan
adalah meliputi pengamatan
rendemen minyak yang diperoleh dari berbagai
proses ekstraksi biji mimba. Hasil pengamatan
rendemen minyak biji mimba, dapat dilihat pada
Tabel 1.
Dari Tabel 1 diatas, terlihat hasil pengamatan
rendemen minyak biji mimba tertinggi diperoleh
dengan perlakuan kukus baik setelah dikeringkan
yaitu sebesar 22% maupun tidak melalui
pengeringan yaitu sebesar 20 %. Sedangkan
pengamatan terhadap warna minyak mimba yang
diperoleh ternyata dengan perlakuan kukus
memberikan warna yang lebih tua dari pada warna
minyak tanpa melalui kukus. Pada proses
pengukusan
dengan
suhu
diatas
1000C
menyebabkan minyak mengalami
oksidasi,
sehingga terjadi perubahan warna kearah yang
lebih tua. Bila dibandingkan perlakuan dengan cara
oven, dimana pemanasan dilakukan pada suhu yang
lebih rendah yaitu suhu 50oC.

Hasil yang diperoleh dari percobaan lanjutan


adalah meliputi pengamatan rendemen minyak
yang diperoleh dari ekstraksi biji mimba dengan
perlakuan kukus. Berdasarkan literatur, densitas
(beratjenis) rata-rata dari minyak biji mimba
adalah sebesar 0,889 g/mL. Sehingga dapat disusun
rendemen minyak yang diperoleh seperti pada
Tabel 2.
Dari Tabel 2 diatas, berdasarkan perhitungan
rendemen
minyak biji mimbayang diperoleh
sangat rendah yaitu rata- rata 9,83 %. Hal ini
mumgkin disebabkan keadaan bahan baku biji
mimba mutunya sudah berkurang, karena
penyimpanan yang terlalu lama. Sedangkan
pengamatan hasil warna minyak secara visual
berwarna coklat sama seperti percobaan
pendahuluan. Pengamatan warna minyak mimba
yang berwarna gelap tersebut sesuai dengan
penelitian dengan cara pengepresan sederhana,
minyak yang terambil dari bijinya berkiasr antar
15-20% , berwarna coklat gelap, pahit dan berbau
tajam seperti bawang (Kardinan,et.al, (2003) dan
Hellpapp, et.al.,(1995).kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkfff

Tabel 1.
Hasil pengamatan rendemen minyak biji mimba padapercobaan pendahuluan
No.
Perlakuan
Rendemen (%)
1.
Langsung dipress
10 %
2.
Kering oven
18 %
3.
Kukus langsung
20%
4.
Kering oven dan kukus
22%

Warna
coklat
coklat
coklat tua
coklat tua

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Hutajulu, T.H. & Siregar, N.C. (2015) Peningkatan Proses Ekstraksi Minyak Biji Mimba (Neem Seed Oil) dan Purifikasinya. Warta IHP,
32(02),62-67

Halaman | 66
Tabel 2.
Hasil pengamatan rendemen minyak biji mimba pada percobaan lanjutan
No.
Jumlah (kg)
Hasilminyak (g)
Rendemen (%)
1.
4
400.05
0.100
2.
4
408.94
0.102
3.
3,9
400.05
0.103
4.
5
435.61
0.087
5
5
524.51
0.105
6
5
466.73
0.093

Warna
Coklat tua
Coklat tua
Coklat tua
Coklat tua
Coklat tua
Coklat tua

3.2.2. Hasil pengamatan purifikasi

4. Kesimpulan

Purifikasi dengan bleachingearth (Kalsium


bentonit) terdapat dua jenis yaitu bleaching earth
sangat aktif dan ringan. Bleaching earth yang
sangat aktif untuk produk dimana warna minyak
olahan yang diinginkan menjadi lebih jernih, Biasa
digunakan untuk pemunian minyak murni seperti
rapeseed dan minyak kedelai, minyak sawit,
minyak inti sawit dan minyak kelapa. Sedang
bleaching earth (1%-2%) untuk penyulingan
minyak kelapa sawit berkualitas baik terutama
minyak mentah sawit (CPO) dan minyak inti
sawit. Kemampuan bleaching earth untuk
pemunian minyak karena mempunyai luas
permukaan tinggi dan porositas yang optimum
untuk pemutihan dan filterability (Anonimus,
2015). Purifikasi minyak biji mimba menggunakan
arang aktif bertujuan untuk menjernihkan warna
dan mengurangi bau yang tajam dari minyak
dengan cara minyak dipanaskan sampai suhu 70oC
dilanjukan penambahan arang aktif sebanyak 1
2 % sambil diaduk cepat sambil dipanaskan terus
selama 15 menit pada suhu tetap 70oC. kemudian
disaring dengan corong buchner menggunakan
kertas saring whatman 41 42. Hasil pengamatan
warna minyak mimba secara visual berwarna
kuning kecoklatan..Hasil pengamatan minyak
secara visual memberikan warna yang lebih
jernih.

Rendemen minyak mimba diperoleh tertinggi


dengan perlakuan kukus yaitu sebesar 22%
dibandingkan dengan rendemen minyak mimba
dengancarapress tanpa pemanasan yaitu sebesar
10.78%. DanHasil purifikasi minyak mimba
dengan bleaching earthdiperoleh warna minyak
yang lebih jernih bila dibandingkan dengan
menggunakan arang aktif. Serta Hasil analisis
minyak mimba dengan gas kromatografi
memberikan dua komponen tertinggi yaitu
eugenol dan asam palmitat.

3.2.3. Analisis dengan gas kromatografi


Hasil analisis minyak sebelum purifikasi dan
setelah purifikasi menggunakan gas kromatografi
memberikan dua peak tertinggi dari komponen
yang dikandungnya yaitu pada menit ke -10 dan
menit ke-15. Komponen minyak mimba tersebut
adalah eugenol dan asam palmitat. Asam palmitat
merupakan salah satu komponen asam lemak
jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair
(meelting point) yang tinggi yaitu 64C. Suirta,
et.al., 2005, telah mengisolasi Asam palmitat dari
biji mimba. Menurut Yang et.al., Asam palmitat
dapat menghambat pertumbuhan
bakteri
propionobacterium acnes.

Ucapan terima kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Balai Besar Industri Agro yang telah memfasilitasi
kegiatan penelitian ini
Daftar Pustaka
AOAC (1984), Official Methods of Analysis of The AOAC, 14 th
ed, Association of Official Analitical Chemist, Washington
DC.
Anonim, (2007), Serial Tanaman Obat Mimba, Badan
Pengawas Obat dan Makanan Deputi Bidang
Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen direktorat Obat Asli Indonesia
Anonim,
(2015).http://www.dwijayastone.com/products/activatedbleaching-earth. diunduh tanggal 6 April 2015
David BV. (2008). Biotechnological approached in IPM and
their impact on environment. J Biopest. 1:1-5
Hellpap C., Dreyer, M. (1995). The Smallhodders homemade
products, In Schumuttterer, H. (Ed). The Neem Tree,
Weinheim VCH, p. 367-374
Kardinan A, Dhalimi A. (2003). Mimba (Azadirerachta indica
A..Juss) tanaman multi manfaat. In Rosman, S., et.al. 9Eds).
Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, vol.
XV. No. 1, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan.
Karjono, (1998).Tujuh Lembar Mamba Tolak Vonis Mati
Dokter. Trubus, Desember 1998
Nyoman Budhiana, 2012, Ratusan Tanaman Penghasil Minyak
Atsiri, http ://www.antarabali.com/berita/22203/ratusantanaman-penghasil-minyak-atsiri,Diakses Desember 2014
Oparaeke, A.M., M.C. Dike, & C.I. Amatobi. (2005). Botanical
Pesticide Mixtures for Insect Pest Management on Cowpea,
Vignaunguiculata (L.)WALP PLANTS 2. The Pod Borer,
Marucavitrata FAB. (Lepidoptera: Pyralidae) and Pod
Sucking Bug, Clavigrallatomentosicollis STAL (Heteroptera:
Coreidae).AgriculturaTropicaetSubtropica. 38(2), 33-38

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 62-67


Halaman | 67
Romadhon, Syahrul B. (2010). SintesisdanKarakterisasiMetil
Ester Minyak Biji Mimba (AzadirachtaIndica A Juss)
melaluiReaksi Trans-esterifikasi serta Potensinya sebagai
Biodiesel. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri
Malang.
Ronny Yuniar Galingging (2010). Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kalimantan Tengah (Dimuat di Palangka Post,
Rabu 28 April 2010)
Ruskin, F.R., 1993. Neem : A Tree For Solving Global Problems.
National Academy
Pres. Mimba , insektisida alami.
Trubus.Thn IV, no. 44, hal 20-21.
Sudarsono,et.al.,(2002). Tumbuhan Obat II, Hasil Penelitian,
Sifat-Sifat, dan Penggunaan. Yogyakarta: Pusat Studi Obat
Tradisional UGM.
Suirta, I.W, Puspawati, N. M., danGumiati, N. K., (2007), Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Aktif Larvasi dadari Biji Mimba
(Azadirachtaindica A. Juss) terhadap Larva nyamuk
Demam Berdarah (Aedesaegypti), Jurnal Kimia, vol. 1 , hal.
47-54.

Sukrasno, (2003), Mimba Tanaman Obat Multifungsi, Penerbit


PT Agro Media Pustaka
Talib, Wajdi Yahya. (2010). Sintesis dan Karakterisasi Ester Etil
Asam Lemak dari Minyak Biji Mimba (AzadirachtaIndica A.
Juss) Sebagai Potensi Biodiesel. Skripsi, Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Negeri Malang
Wikipedia,
(2014),
Kutu
Daun,
http
:
//id.wikipedia.org/wiki/kutudaun, Diakses Desember 2014
Wiratno dan MesakTombe, (2001) Budidaya Tanaman Mimba
(Azadirachtaindica A. Juss) Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Yang, Det.al.,(2009), The Antimicrobial Activityof Liposomal
Lauric
Acids
Against
Propionibacterium
acnes,
Biomaterials,. 30
Zulkifli,dkk (2014) Sabun dari Distilat Asam Lemak Minyak
Sawit. Jurnal Pangandan Agroindustri 2No 4 p.170-177

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Loebis, E. H. Meutie, Y. R, & Junaidi, L. (2015) Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol.Warta IHP, 32(2), 68-74

Halaman | 68

Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol


Delignification Process of Market-place Waste for Bioethanol Production
Enny Hawani Loebis, Yuliasri Ramadhani Meutia, dan Lukman Junaidi
Balai Besar Industri Agro Bogor
Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
loebis_enny@yahoo.com.com

Riwayat Naskah:
Diterima 07, 2015
Direvisi 08, 2015
Disetujui 11, 2015

ABSTRAK: Limbah organik pasar merupakan sumber biomassa yang cukup


penting untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol. Salah satu permasalahan dalam
produksi bioethanol dari biomassa adalah adanya kandungan lignin yang sulit
untuk diuraikan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses delignifikasi
limbah pasar untuk produksi bioetanol. Tahapan proses produksi bioetanol yang
diamati meliputi proses delignifikasi serta hidrolisis enzimatis dan fermentasi.
Hasil penelitian menunjukkan proses delignifikasi pada sabut kelapa dapat
menurunkan kadar lignin sebesar 21,64 %. Proses fermentasi simultan
menggunakan Trichoderma pada sabut kelapa menghasilkan bioetanol 0,07 %
pada hari ke-4 dan hari ke-5. Fermentasi simultan menggunakan P. nalgiovense
S11, menghasilkan bioetanol mulai pada hari ke-3, dan cenderung terjadi
peningkatan sampai hari ke-5. Fermentasi simultan menggunakan P. nalgiovense
S11 menghasilkan kadar bioetanol, untuk sabut kelapa maksimum 1,07%; kulit
jagung maksimum 1%, dan tongkol jagung maksimum 5,51 %. Pada fermentasi
terpisah menggunakan P. nalgiovense S11, pembentukan bioetanol untuk kulit
jagung dan jerami terjadi pada hari ke-4 dan ke-5 maksimum 0,8%. Secara
keseluruhan, bioetanol yang terbentuk dari proses fermentasi simultan lebih
besar daripada proses fermentasi terpisah.
Kata kunci: limbah organik, delignifikasi, hidrolisis enzimatis, fermentasi, bioetanol

ABSTRACT: Biomass waste from market-place is an important source to be


utilized in bioethanol production. One of the problems in the production of
bioethanol from biomass is the lignin content that is difficult to degradate. This
research aims to study the process of delignification of biomass waste for
bioethanol production. Bioethanol production process observed consist of:
delignification processes, enzymatic hydrolysis and fermentation. The results
showed delignification process in coco-husk can lower lignin content by 21.64%.
The simultaneous fermentation process using Trichoderma on coconut fiber
produce bioethanol 0.07% on day 4 and day 5. The simultaneous fermentation
using P. nalgiovense S11, produce bioethanol started on the 3rd day of
fermentation, and tends to increase until day 5. The simultaneous fermentation
using P. nalgiovense S11 on coconut husk produced bioethanol content
maximum 1.07%; corn husk maximum 1% and corn cobs maximum 5.51%. On a
separate fermentation using P. nalgiovense S11, the production of bioethanol for
raw material corn husks and straw occurred on days 4 and 5 maximum 0.8%.
Overall, ethanol produce by simultaneous fermentation process is greater than
the separate fermentation process.
Keywords: organic waste, delignification, enzymatic hydrolisis, fermentation, bioethanol

1. Pendahuluan
Bioetanol yang diproduksi saat ini berasal dari
bioetanol generasi pertama yaitu bioetanol yang
dibuat dari gula (tebu, molase) atau pati-patian
(jagung, singkong). Bahan-bahan tersebut adalah
bahan pangan yang jika dikonversi menjadi

bioetanol menjadi salah satu penyebab naiknya


harga-harga
pangan.
Oleh
karena
itu
pengembangan bioetanol diarahkan ke arah
pengembangan bioetanol generasi kedua, yaitu
bioetanol dari biomassa lignoselulosa. Indonesia
memiliki keunggulan dalam hal biomassa
lignoselulosa
karena
biomassa
tersebut

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 68-74


Halaman | 69

melimpah, murah, dan juga banyak yang


terbuang.Sumber biomassa lignoselulosa antara
lain: limbah pertanian (jerami, tongkol jagung,
onggok dll), limbah perkebunan (tandan kosong
kelapa sawit (TKKS), bagase, kulit buah kakao/
kopi), limbah kayu dan kehutanan (sisa gergajian,
limbah sludge pabrik kertas dll) dan sampah
organik (sampah rumah tangga dan sampah pasar).
Sampah
pasar
(sampah
organik)
perlu
dimanfaatkan
sebagai
sumber
biomassa
lignoselulosa mengingat sampah tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan masyarakat.
Biomassa yang mengandung lignoselulosa
merupakan bahan yang cukup sulit digunakan
sebagai bahan baku produksi bioetanol. Salah satu
kendala yang dihadapi dalam hidrolisis enzimatik
bahan lignoselulosa adalah adanya kandungan
lignin yang menyebabkan rendahnya laju hidrolisis.
Menurut Hendriks & Zeeman, (2009), lignin
menyebabkan
terbatasnya
daya
cerna
(digiestibility) hemiselulosa dan selulosa. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilakukan proses pretreatment. Delignifikasi atau penghilangan lignin
perlu dilakukan sebelum fermentasi untuk
meningkatkan kemampuan hidrolisis enzim
Akhir-akhir ini banyak penelitian yang
dilakukan terkait dengan pre-treatment (termal,
mekanis, kimiawi, dan mikrobial) dalam proses
delignifikasi untuk produksi etanol. Produksi etanol
dari bahan lignoselulosa terdiri dari 3 tahap utama
yaitu: delignifikasi, depolimerisasi dan fermentasi.
Metode pre-treatment yang dipilih memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap efisiensi
produksi bioetanol dari biomass (Singh et al. 2014).
Karakeristik biomasa yang mempengaruhi
efisiensi hidrolisis enzimatis, antara lain:
kandungan lignin, distribusi lignin, struktur area
permukaan lignin, dimensi serat, derajat
polimerisasi,
jenis
ikatan
lignin
dengan
karbohidrat, dan interaksi hidropobik antara lignin
dan enzim (Berlin et al. 2006 dan 2005; Chang and
Holtzapple, 2000; Lu et al. 2002; Mooney et al.
1998). Hidrolisis enzimatis merupakan tahapan
proses
yang
sangat
menentukan
untuk
mengkonversi
biomas
yang
mengandung
lignoselulosa menjadi bioetanol (Yu et al. 2011 dan
Chen et al. 2012).
Selulosa di hidrolisis menjadi mono, di atau
oligosakarida secara kimia menggunakan asam
kuat, sedangkan dengan cara hayati dapat
menggunakan enzim murni atau mikroorganisme
(jamur) penghasil enzim selulase. Kemampuan
jamur untuk mendegradasi bahan lignoselulosa
disebabkan sistem enzimatis yang sangat efisien
yang dikandung jamur. Jamur memiliki dua jenis
sistem enzim ekstraseluler, yaitu: sistem hidrolitik
yang menghasilkan hidrolase yang terkait dengan
degradasi polisakharida dan sistem ekstraseluler

ligninolitik yang mendegradasi lignin (Sanchez,


2009).
Proses hidrolisis secara enzimatis dari bahan
selulosa menjadi glukosa lebih ramah lingkungan.
Produksi glukosa dari selulosa yang ideal adalah
dengan bakteri selulolitik penghasil enzim selulase
karena dapat dilakukan pada suhu rendah sehingga
akan menghemat energi. Glukosa hasil hidrolisis
tersebut
selanjutnya
dapat
difermentasi
menghasilkan bioetanol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari pembuatan bioetanol berbahan baku
lignoselulosa (sampah organik dari pasar) dengan
mengaplikasikan mikroba selulolitik asal rayap.
2. Bahan dan Metoda
2.1. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sampah organik
berupa sabut kelapa, kulit jagung, tongkol jagung,
dan jerami; isolat mikroba selulolitik asal rayap
Penicillium nelgiovense S11 yang merupakan
koleksi Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi,
jamur pelapuk putih (Omphalina sp.), khamir
Saccharomyces cerevisiae, Isolat Trichoderma serta
bahan penunjang lain pada penelitian ini seperti
media Potato Dextrose Agar (PDA), dan Potato
Dextrose Broth (PDB), Yeast Ekstrak, Bacto agar,
Pepton, glukosa.
Bahan kimia yang digunakan adalah Na 2SO4,
NaOH, CaCl2, (NH4)2SO4, K2HPO4, KH2PO4, NaOCl,
Alkohol, zeolit, spiritus. Sedang bahan kimia untuk
analisis komponen kimiawi terdiri dari DNS
(Dinitro Salicylic acid), fenol, Na2SO4,Ca (OH)2,
CH3COOH, kalium Natrium Tartarat, CMC, Selulosa
serta bahan kimia untuk analisis lainnya.
Bahan penolong yang digunakan pada penelitian
ini antara lain plastik untuk baglog, kertas pH,
kertas Saring.
2.2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini:
autoklaf, oven, refluks, penanggas, desikator, shaker
inkubator, neraca halus, neraca kasar, pompa
vacum, ayakan 50 mesh, vortex, spektrofotometer
UVVIS, pH-meter, erlenmeyer, gelas ukur, tabung
reaksi, pipet, gelas piala, cawan petri, jarum
inkubasi, plastik tahan panas, kapas, lakmus, kertas
saring, karet, paralon dan lain-lain.
2.3. Metode
2.3.1. Pembuatan media
Media PDA dan PDB dibuat dengan cara seperti
diuraikan dalam Fassatiova, 1986. Sedangkan

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Loebis, E. H. Meutie, Y. R, & Junaidi, L. (2015) Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol.Warta IHP, 32(2), 68-74

Halaman | 70

Media Fermentasi untuk hidrolisis Enzimatis dibuat


dengan cara seperti diuraikan pada Ito et al. (2003).
2.3.2. Penyegaran isolat mikroba selulolitik
Penyegaran
kultur
dilakukan
dengan
memindahkan sebanyak 1 ose P.nalgiovense S11
dari stok kultur ke dalam erlenmeyer 100 mL yang
berisi media PDB dan diinkubasi pada suhu kamar
selama 3 hari, sambil dikocok dengan kecepatan
120 RPM. Selain itu dilakukan penyegaran terhadap
stok kultur setiap minggu, serta dilakukan
pengawetan kultur stok dengan melakukan proses
liofilisasi sel kultur tersebut.
2.3.3. Persiapan bahan baku sampah organik
2.3.3.1.

Pengumpulan
organik

dan

pemilahan

sampah

Sampah
organik
dari
sampah
pasar
dikumpulkan dan dipilah sesuai jenis sampah
organiknya, kemudian dicuci, dicacah, serta
direndam 1 malam dan ditiriskan. Cacahan sampah
organik kemudian dimasukkan ke dalam plastik
tahan panas dan dilanjutkan dengan perlakuan
delignifikasi.
2.3.3.2. Delignifikasi oleh jamur perlapuk putih
(Omphalina sp.)
Cacahan sampah organik yang telah dimasukkan
ke dalam plastik tahan panas masing-masing
sebanyak 240 gram disterilisasi tiga kali ulangan
dengan suhu 121oC dan tekanan 760 mmHg selama
15 menit. Setelah dingin sebanyak 100 ml inokulum
Jamur Pelapuk Putih (JPP) Omphalina sp dari media
PDB (stok kerja) diinokulasikan ke dalam cacahan
sampah organik tersebut dan diinkubasi selama 20
hari pada suhu ruang (30oC) dan pH 6-7 sampai
miselium JPP Omphalina sp menyelimutinya.
Setelah itu dikeringkan dalam oven 60oC atau
dijemur di bawah sinar matahari. Kemudian
digiling dengan pen mill 40 mesh. Sebelum dan
sesudah delignifikasi dilakukan analisis kadar air,
kadar lignin, dan kadar selulosa.
2.3.3.3. Hidrolisis enzimatis sampah
menggunakan bakteri selulolitik

organik

Hidrolisis secara enzimatis dan fermentasi


etanol dilakukan dengan metode simultan dan
terpisah.
2.3.3.3.1. Metode simultan
Hidrolisis dan fermentasi dilakukan dengan cara
menambahkan
100
g
sampah
organik
terdelignifikasi yang telah steril ke dalam 1000 ml

media fermentasi. Kemudian ditambahkan 5%


isolat mikroba selulolitik asal rayap dan 10%
inokulum cair Sacharomyces cerevisiae (v/v).
Inkubasi dilakukan selama 5 hari (120 jam). Tiap
24 jam dilakukan pengambilan contoh untuk
dianalisis kadar gula pereduksi, pH, etanol, dan CO2
(Ito et al. 2003).
2.3.3.3.2. Metode terpisah
Ke dalam 1000 ml media fermentasi
dimasukkan 100 g sampah organik terdelignifikasi
yang telah steril, dan ditambahkan 5% isolat
bakteri selulolitik asal rayap, kemudian diinkubasi
selama 48 jam. Setiap 24 jam dilakukan
pengambilan contoh untuk dianalisis kadar gula
pereduksi, pH, dan CO2. Setelah 48 jam
ditambahkan 10 % inokulum cair Saccharomyces
cerevisiae (v/v), inkubasi dilanjutkan hingga 120
jam. Setiap 2 jam dilakukan pengambilan contoh
untuk dianalisis kadar gula pereduksi (metode
DNS), kadar etanol (metode hidrometer), pH (pH
meter), dan volume CO2 (Spangler and Emert,
1986).
2.4. Analisis bahan baku dan produk
Analisis yang dilakukan meliputi: Analisis
Selulosa, Analisis Lignin, Analisis Kadar Air, Analisis
Kadar Gula Pereduksi, dan Analisis Kadar Etanol.
Analisis selulosa dilakukan sesuai dengan TAPPI
Metode T203 (Anaonim, 1983). Analisis lignin
dilakukan sesuai dengan metode yang diuraikan
dalam Goering dan Van soest (1970). Analisis Kadar
Air (AOAC, 1984). Analisis Kadar Gula Pereduksi
dilakukan sesuai dengan Metode Dinitro salicyclic
Acid (Loebis et al., 2011). Analisis Kadar Etanol
dilakukan menggunakan Metode Hydrometer
(AOAC, 1984) dengan membandingkan volume
sulingan dengan nilai air pada suhu 20oC, sehingga
nilai bobot jenis (BJ) sulingan dapat diketahui.
Dengan menggunakan daftar BJ dapat ditetapkan
kadar etanol.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Delignifikasi oleh
(Omphalina sp.)

jamur

perlapuk

putih

Proses delignifikasi mereduksi kandungan lignin


yang terdapat pada sampah organik. Sebelumnya
isolat JPP ditumbuhkan pada media PDB selama 5
hari, kemudian dituangkan sebanyak 100 ml ke
dalam masing-masing baglog dan kemudian
didiamkan selama 20 hari.
Pengamatan
pada
pertumbuhan
JPP
menunukkan bahwa isolat JPP dapat tumbuh baik
pada baglog yang tidak terlalu basah dan lebih

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 68-74


Halaman | 71

sering terpapar sinar matahari.


Kandungan lignin pada bahan baku sebelum dan
sesudah proses delignifikasi dengan Omphalina sp.
Dapat dilihat pada grafik pada Gambar 1 berikut.

Kadar Lignin (%)

50
40

sebelum
delignifi
kasi

30
20
10

sesudah
delignifi
kasi

0
Sabut
kelapa

Tongkol
Jagung

Kulit
jagung

Jerami

simultan. Trichoderma hanya digunakan pada


proses fermentasi simultan sedangkan Penicillium
nalgiovense S11 digunakan pada proses fermentasi
secara terpisah dan juga proses fermentasi secara
simultan.
Selama proses fermentasi simultan dengan
menggunakan Trichoderma sp. terjadi penurunan
pH selama 5 hari fermentasi seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2. Pada hidrolisis dengan
Trichoderma bahan baku diberi kode sesuai dengan
jenisnya yaitu JRTr untuk jerami, KJTr untuk kulit
jagung, BJTr untuk bonggol jagung, dan SBTr untuk
sabut kelapa.
6
jerami
5.5

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat penurunan


kadar lignin setelah proses delignifikasi hanya
terjadi pada sabut kelapa sebesar 21,64 %.
Sedangkan pada tongkol jagung, kulit jagung, dan
jerami kadar lignin tidak mengalami penurunan,
bahkan terlihat mengalami peningkatan. Hal ini
diduga dikarenakan JPP tidak memilih lignin yang
terdapat pada bahan baku untuk menjadi
substratnya. Van Dyk and Pletschke (2012)
menyatakan jamur bersifat selektif dalam
melakukan kolonisasi pada jaringan lignoselulosa.
Jamur tidak memilih untuk mendegradasi
komponen lignin pada bahan dikarenakan
kelarutan lignin tersebut pada dinding sel tanaman.
Jadi diduga isolat JPP yang digunakan belum dapat
merombak kandungan lignin yang terdapat pada
bahan baku. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kurang optimumnya kerja JPP
dalam mendegradasi lignin. Selain sifatnya yang
selektif, juga dipengaruhi oleh kondisi pH. Kondisi
pH optimum untuk degradasi lignin berbeda antara
spesies JPP satu dengan lainnya. Pedersen and
Meyer (2010) melaporkan adanya hubungan antara
pH pre-treatment dengan yield dari proses
hidrolisis.
3.2. Hidrolisis
selulosa
secara
enzimatis
menggunakan
mikroba
selulolitik
dan
fermentasi etanol dengan Saccharomyces
cerevisiae
Bahan baku sabut kelapa, kulit jagung, tongkol
jagung, dan jerami yang telah didelignifikasi dengan
Omphalina sp. kemudian dilanjutkan ke tahapan
hidrolisis secara enzimatis dengan menggunakan 2
jenis mikroba selulolitik yaitu Trichoderma dan
Penicillium nalgiovense S11.
Tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi etanol
dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode
fermentasi terpisah dan metode fermentasi

kulit
jagung

bonggol
jagung

4.5
4

sabut
kelapa

3.5
1

Fermentasi hari keGambar 2. Penurunan pH pada fermentasi simultan


menggunakan Trichoderma

Berdasarkan Gambar 2, dari keempat bahan


baku tersebut yang memiliki pH paling tinggi
(penurunan pH paling rendah) adalah sabut kelapa
(SBTr), diikuti dengan jerami (JRTr). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Gozan et al. (2007)
yang membandingkan berbagai tingkat pH (pH 4,0;
4,5; dan 5,0) terhadap fermentasi bagas tebu
menjadi bioetanol dilaporkan bahwa pada pH lebih
tinggi (pH 5,0) menghasilkan konsentrasi etanol
yang lebih tinggi sehingga disimpulkan bahwa pH
5,0 merupakan pH optimum untuk pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae.
Hasil analisis gula pereduksi pada fermentasi
simultan dengan Trichoderma ini dapat dilihat pada
Gambar 3. Proses hidrolisis dengan Trichoderma
diharapkan dapat meningkatkan kadar gula
pereduksi pada bahan baku yang menandakan
berhasilnya proses degradasi selulosa menjadi
monosakarida.
Kadar gula pereduksi

Gambar 1. Kadar lignin pada bahan baku sebelum dan sesudah


proses delignifikasi

pH

Bahan baku

0.15
BJTr

0.1

SBTr
KJTr

0.05

JRTr

0
0

Fermentasi hari keGambar 3. Kadar gula pereduksi pada fermentasi simultan


dengan Trichoderma sebagai mikroba selulolitik

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Loebis, E. H. Meutie, Y. R, & Junaidi, L. (2015) Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol.Warta IHP, 32(2), 68-74

Halaman | 72

Kadar etanol (%)

0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0

BJTr
SBTr
KJTr
JRTr

0 Fermentasi
1
2hari ke3

Gambar 4. Kadar etanol pada fermentasi simultan dengan


Trichoderma sebagai mikroba selulolitik

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa


etanol hanya terbentuk pada bahan baku sabut
kelapa (SBTr) yaitu sebesar 0,07 % pada hari ke-4
hari ke-5. Hal ini memperkuat hasil analisis kadar
gula pereduksi pada Gambar 3, dimana diantara
sampel bahan baku yang digunakan, kadar gula
pereduksi paling tinggi terdapat pada SBTr. Pada
bahan baku lainnya alkohol tidak dapat terbentuk
karena gula pereduksi yang digunakan untuk
mengkonversi gula menjadi etanol kurang
mencukupi atau bahkan tidak ada. Karena itu
tahapan sakarifikasi proses pembuatan bioetanol
dari bahan baku sampah organik berlignoselulosa
menjadi hal penting untuk diperhatikan, karena
semakin banyak kandungan selulosa yang
terombak menjadi gula pereduksi, maka akan
semakin tinggi pula kadar alkohol yang terbentuk.
Pembentukan alkohol pada sampel SBTr
menyebabkan pH sedikit di atas sampel bahan baku
yang lain (pH > 5). Hal ini disebabkan dengan
terbentuknya alkohol maka akan bertambah gugus
OH dalam larutan yang menyebabkan pH larutan
akan meningkat. Fermentasi simultan dengan
P.nalgiovense S11 menghasilkan perubahan pH
seperti pada Gambar 4.
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa
semua sampel mengalami sedikit penurunan pH.
Sampel sabut kelapa (SBSs) mempunyai pH awal
tertinggi yaitu 5,43 namun pH semakin menurun
dengan bertambahnya waktu fermentasi.
5.6
5.4

jerami

5.2

kulit
jagung
bonggol
jagung
sabut
kelapa

pH

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa


pada bahan baku tongkol jagung (BJTr) sama sekali
tidak terdeteksi pembentukan gula pereduksi
selama 5 hari fermentasi, pada bahan baku sabut
kelapa (SBTr) gula pereduksi baru dapat diukur
setelah 3 hari fermentasi dan segera mengalami
penurunan pada hari ke empat dan kelima, diduga
karena gula pereduksi tersebut terkonversi menjadi
alkohol. Pada bahan baku kulit jagung (KJTr) dan
jerami (JRTr) gula pereduksi dapat diukur mulai
dari hari pertama fermentasi, dan mengalami
penurunan kembali pada hari ke-4 dan ke-5
fermentasi. Meskipun kadar gula pereduksi dapat
diukur pada fermentasi dengan Trichoderma ini,
namun kadar gula pereduksi tersebut dapat
dikatakan sangat kecil (di bawah 1%), dan dapat
dikatakan pula bahwa perombakan selulosa oleh
Trichoderma tidak berlangsung optimum. Banyak
hal yang mempengaruhi tahap hidrolisis selulosa
dan fermentasi alkohol ini. Diduga hal yang
menyebabkan Trichoderma tidak dapat bekerja
optimum adalah kesalahan atau human error pada
saat proses fermentasi. Pada saat proses desinfeksi
wadah untuk fermentasi digunakan cairan klorin
yang cukup pekat, sehingga pada saat fermentasi
berlangsung, masih terdapat residu-residu klorin
yang menghambat aktivitas Trichoderma dalam
menghidrolisis selulosa pada bahan baku. Selain itu
aktivitas Trichoderma yang rendah diduga juga
karena kultur Trichoderma yang digunakan
sebelum proses fermentasi tidak dimasukkan
dalam shaker terlebih dahulu, karena proses
shaking dapat menstimulasi sel untuk dapat
memproduksi metabolitnya berupa enzim-enzim
pemecah selulosa. Sesuai dengan pernyataan
Scragg (1988) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi proses fermentasi antara lain media
fermentasi, inokulum, dan oksigen terlarut. Proses
shaker dapat membantu meningkatkan kadar
oksigen terlarut pada media pertumbuhan kultur
sehingga pada saat digunakan pada proses
fermentasi, kultur yang digunakan dalam kondisi
siap pakai.
Alkohol yang terbentuk selama proses
fermentasi simultan dengan Trichoderma ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

4.8
4.6
4.4
4.2
4
1

Fermentasi hari keGambar 4. Penurunan pH pada fermentasi simultan bioetanol


dengan P. nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

Kadar gula pereduksi pada fermentasi simultan


dengan Penicillium nalgiovense S11 sebagai
mikroba selulolitik ditunjukkan pada Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa
pembentukan gula pereduksi tertinggi terjadi pada
bahan baku sabut kelapa (SBSs), diikuti oleh kulit
jagung (KJSs), jerami (JRSs), dan tongkol jagung
(BJSs). Namun pembentukan gula pereduksi
sebagai hasil hidrolisis selulosa pada bahan baku
tidak terlalu besar (di bawah 1%). Sehingga
bioetanol yang terbentuk pada tahapan fermentasi
lanjutannya (fermentasi alkohol) tidak dapat

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 68-74


Halaman | 73

BJSs
SBSs

0.15

KJSs

0.1

pH

Kadar gula pereduksi


(%)

0.2

JRSs

0.05
0
1

2
3
4
5
Fermentasi hari ke-

BJSs
SBSs
KJSs

JRSs

Fermentasi hari ke-

SBS11
KJS11
JRS11

Gambar 6. Kadar etanol pada fermentasi simultan dengan


Penicillium nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

diharapkan terlalu tinggi. Etanol yang terbentuk


pada fermentasi simultan ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa
proses pembentukan etanol dimulai pada hari ke-3
fermentasi, dimana kecenderungnnya terus terjadi
peningkatan pada hari ke-5. Bahan baku yang
sudah mengalami pembentukan alkohol pada hari
pertama fermentasi adalah sabut kelapa (SBSs)
dimana bahan baku tersebut juga memiliki kadar
gula pereduksi tertinggi pada saat awal fermentasi
dibandingkan bahan baku lainnya. Namun
pembentukan alkohol tersebut terhenti pada hari
ke-4 fermentasi yaitu maksimum sebesar 1,07 %.
Pada bahan baku kulit jagung (KJSs), alkohol
terbentuk mulai hari hari ke-3 fermentasi hingga
hari ke-5 fermentasi dengan kadar alkohol
maksimum 1%. Pada bahan baku tongkol jagung
(BJSs) alkohol mulai terbentuk pada hari ke-2
fermentasi dan terus mengalami peningkatan
hingga hari ke-5 fermentasi dengan kadar alkohol
maksimum 5,51 %. Bila dilihat dari trend
pembentukan alkohol pada bahan baku tongkol
jagung dapat dilihat bahwa fermentasi alkohol
masih terus berlangsung, dalam artian belum
terjadi penghambatan yang disebabkan oleh
product inhibition atau penurunan dari fase
pertumbuhan S.cerevisiae yang digunakan.
Fermentasi
terpisah dengan
Penicillium
nalgiovense S11 menghasilkan perubahan pH
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Perubahan pH pada fermentasi terpisah bioetanol


dengan P. nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa pH


pada hasil fermentasi hari pertama mengalami
penurunan, kemudian pada hari ke-2 fermentasi
kembali mengalami kenaikan pH yang perlahan
menurun kembali hingga hari ke-5 fermentasi.
Penurunan pH pada hari pertama fermentasi
terpisah ini dikarenakan proses yang terjadi adalah
proses hidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi
tanpa pembentukan etanol. Setelah etanol mulai
terbentuk pada hari berikutnya, maka pH
mengalami peningkatan karena gugus OH yang
terdapat pada etanol dapat meningkatkan pH pada
larutan.
Kadar gula pereduksi dan kadar etanol pada
fermentasi terpisah dengan P. nalgiovense S11
dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9 berikut .
Kadar gula pereduksi (%)

Kadar etanol (%)

6
5
4
3
2
1
0

BJS11

Gambar 5. Kadar gula pereduksi pada fermentasi simultan


dengan Penicillium nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

8
7
6
5
4
3
2
1
0

0.2

0.15

BJS11

0.1

SBS11

0.05

KJS11
JRS11

0
0

Fermentasi hari keGambar 8. Kadar gula pereduksi pada fermentasi terpisah


dengan Penicillium nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

Kadar gula pereduksi pada fermentasi terpisah


dengan P. nalgiovense S11 tidak terlalu besar. Hal
ini disebabkan oleh proses hidrolisis selulosa dan
gula pereduksi yang terjadi tidak terlalu optimum.
Ketidakoptimalan ini dapat disebabkan oleh kondisi
inokulum pada saat digunakan, kandungan oksigen
terlarut pada jar fermentasi, suhu, dan lain
sebagainya. Terbatasnya kadar gula pereduksi yang
terbentuk berakibat pula dengan rendahnya kadar
alkohol pada fermentasi tersebut, karena gula yang
akan dikonversi menjadi alkohol juga dalam jumlah
yang terbatas. Kadar alkohol pada fermentasi
bertahap ini dapat dilihat pada Gambar 9.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Loebis, E. H. Meutie, Y. R, & Junaidi, L. (2015) Proses Delignifikasi Limbah Pasar untuk Produksi Bioetanol.Warta IHP, 32(2), 68-74

Halaman | 74

Daftar Pustaka

Kadar etanol (%)

1
0.8
0.6

BJS11

0.4

SBS11
KJS11

0.2

JRS11

0
1

2
3
4
5
Fermentasi hari ke-

Gambar 9. Kadar etanol pada fermentasi terpisah dengan


Penicillium nalgiovense S11 sebagai mikroba selulolitik

4. Kesimpulan
Hasil proses delignifikasi menunjukan bahwa
penurunan kadar lignin terjadi pada sampel sabut
kelapa sebesar 21,64 %, yaitu dari kadar lignin
43,95 % (sebelum delignifikasi) menjadi 22,31 %
(setelah delignifikasi).
Pada proses Fermentasi simultan menggunakan
Trichoderma produk bioetanol hanya terbentuk
pada proses yang menggunakan bahan baku sabut
kelapa yaitu sebesar 0,07 % pada hari ke-4 dan hari
ke-5.
Pada proses Fermentasi simultan menggunakan
P. nalgiovense S11, pembentukan bioetanol dimulai
pada
hari
ke-3
fermentasi,
dimana
kecenderungnnya terus terjadi peningkatan pada
hari ke-5 (kecualai untuk bahan baku sabut kelapa,
yang sudah mengalami pembentukan bioetanol
pada hari pertama fermentasi).
Proses Fermentasi simultan menggunakan P.
Nalgiovense S11, untuk sabut kelapa menghasilkan
kadar bioetanol maksimum sebesar 1,07%; kulit
jagung, menghasilkan kadar bioetanol maksimum
1%; tongkol jagung, menghasilkan kadar bioetanol
maksimum 5,51 %.
Pada proses Fermentasi terpisah menggunakan
P. Nalgiovense S11, pembentukan bioetanol untuk
bahan baku kulit jagung dan jerami baru terjadi
pada hari ke-4 dan ke-5 fermentasi dengan
menghasilkan kadar bioetanol maksimum 0,8 %.
Secara keseluruhan, bioetanol yang terbentuk
dari proses sakarifikasi-fermentasi simultan lebih
besar daripada proses sakarifikasi-fermentasi
terpisah.
Ucapan terima kasih
Terima kasih diucapkan kepada BBIA yang telah
mendanai kegiatan penelitian ini.

Anonim, 1983. Alpha Beta and Gamma-Cellulose of pulp. TAPPI


Testing Procedure. (TAPPI T 203, OM d3) USA
AOAC. 1984. Official Method of Analysis. Association of Official
Analytical Chemist. Washington DC.
Berlin, A., Balakshin, M., Gilkes, N., Kadla, J., Maximenko, V., Kubo,
S., Saddler, J. (2006). Inhibition of cellulase, xylanase and
b-glucosidase activities by softwood lignin preparations.
Journal of Biotechnology 125 (2), 198209.
Berlin, A., Gilkes, N., Kurabi, A., Bura, R., Tu, M., Kilburn, D.,
Saddler, J. (2005). Weak lignin-binding enzymes. Applied
Biochemistry and Biotechnology 121124, 163170.
Chang, V.S., Holtzapple, M.T. (2000). Fundamental factors
affecting
biomass
enzymatic
reactivity.
Applied
Biochemistry and Biotechnology 8486, 537.
Chen W. H., Ye S.C., Sheen, H.K. (2012). Hydrolysis characteristics
of sugarcane bagasse pretreated by dilute acid solution in
a microwave irradiation environment. Applied Energy 93
(2012) 237244.
Fassatiova, O. (1986). Moulds and Filamentaneous Fungi in
Technical Microbiology. New York Elsevier.
Gozan, M., M. Samsuri, F. Siti, P. Bambang, dan M. Nasikin.
(2007). Sakarifikasi dan Fermentasi Bagas Menjadi
Ethanol Menggunakan Enzim Selulase Dan Enzim
Sellobiase. Jurnal Teknologi 209 -215.
Goering, H.K. and Van Soest P.J. 1970. Forage Fiber Analysis. U.S.
Department Agriculture, Agrie, Handb. 379: 1-19.
Hendriks, A.T.W.M. and Zeeman, G. (2009). Pretreatments to
enhance the digestibility of lignocellulosic biomass.
Bioresource Technology 100: 1018.
Ito H, Wada M, Honda Y, Kuwahara M, Watanabe T. (2003).
Bioorganosolve
Prectreatments
for
Simultanequs
Saccharification and Fermentation of Buch Wood by
Ethanolysis and White Rot. Fungi. Journal of Biotechnology,
103 : 273-280.
Loebis, E.H., Meutia, Y.R., Junaidi, L., Heryani, S. Wirawan, I., dan
Sudewi, I. (2011). Aplikasi Mikroba Selulolitik Penghasil
Enzim Selulase untuk Produksi Bioetanol dengan Bahan
Baku Lignoselulosa. Laporan Penelitian DIPA BBIA 2011.
Lu, Y., Yang, B., Gregg, D., Saddler, J., Mansfield, S.D. (2002).
Cellulase adsorption and an evaluation of enzyme recycle
during hydrolysis of steam-exploded softwood residues.
Applied Biochemistry and Biotechnology 98100, 641654.
Mooney, C.A., Mansfield, S.D., Touhy, M.G., Saddler, J.N. (1998).
The effect of initial pore volume and lignin content on the
enzymatic hydrolysis of softwoods. Bioresource
Technology 64, 113119.
Pedersen, M., & Meyer, A. S. (2010). Lignocellulose pretreatment
severityrelating pH to biomatrix opening. New
Biotechnology, 27(6), 739-750.
Sanchez, C. (2009). Lignocellulosic residues: Biodegradation and
bioconversion by fungi. Biotechnology Advances, Vol 27,
Issue 2, 185194.
Schragg, A.H. (1988). Biotechnology for Engineers. Biological
Systems in Technological Processes. Ellis Horwood Ltd.
Chichester, UK
Singh, R., Shukla A., Tiwari, S. and Srivastava, M. (2014). A
review on delignification of lignocellulosic biomass for
enhancement of ethanol production potential. Renewable
and Sustainable Energy Reviews. Vol 32, Pages 713728.
Spangler, D.J and Emert, G.H. (1986). Simultaneous
Saccharificationl Fermentation with Zymomonas mobilis.
Biotechnology and Bioengineering, Vol. XXVIII, Pp. 115-1
18.
Van Dyk, J. S. and Pletschke, B. I. (2012). A review of
lignocelluloses bioconversion using enzymatic hydrolysis
and synergistic cooperation between enzymes-factors
affecting enzymes, conversion and synergy. Biotechnology
advances, 30(6), 1458-1480.
Yu, Z., Jameel, H., Chang, H.M., and Park, S.K. (2011). The effect of
delignification of forest biomass on enzymatic hydrolysis.
Bioresource Technology 102. Pp. 90839089.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 75-82


Halaman | 75

Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan


Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba
Production Bacterial Celllulose from Fresh Water with Nutritional and Microbial
Treatment
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Loebis
Balai Besar Industri Agro (BBIA),
Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122
rizalams@kemenperin.go.id; rizalams@yahoo.com

Riwayat Naskah: ABSTRAK: Masalah dalam produksi nata de coco adalah keterbatasan air kelapa sebagai
Diterima 02, 2015
Direvisi 05, 2015
Disetujui 12, 2015

bahan baku. Kendala lain adalah bahwa air kelapa tidak dapat disimpan untuk waktu yang
lama yang diakibatkan kerusakan nutrisi dalam air kelapa oleh mikroba. Penelitian ini
bertujuan untuk menilai efek dari mikroba dan konsentrasi nutrisi pada produksi nata
dengan menggunakan air tawar sebagai bahan baku. Produksi nata dengan menggunakan
substrat air dilakukan dengan menambahkan gula sukrosa (gula) 10%, urea 0,5%, asam
glacial asetat 2 % atau cuka dapur 25% sebanyak 16 ml / liter air kelapa. Nata pembuatan
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: peremajaan kultur A. xylinum, preparasi
substrat, preparasi starter, fermentasi, pemanenan produk, dan evaluasi hasil. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa jenis air yang memberikan kualitas terbaik berasal dari air
mineral dengan pendidihan terlebih dahulu. Hasil yang sama juga menunjukkan dari nata
berasal dari air sumur. Kekurangan nata de coco yang dihasilkan dari air adalah rendemen
yang lebih rendah dibandingkan dengan nata yang dihasilkan dari media air kelapa.
Karakteristik lain dari nata yang dihasilkan dari air adalah elastisitas produk yang sama,
kadar abu yang rendah, dan warna putih.
Kata kunci: nata de coco, air kelapa, air tawar, mikroba

ABSTRACT: The problems of production of nata de coco is the limition of coconut water as
a raw material. The other constrain relates to the coconut water storage for a long time
causes damage to the nutrients contained in coconut water by microbes. This study aimed
to assess the effect of microbial and nutrition consentration on the production of nata using
fresh water as raw materials. Production of Nata by using water substrate is done by
adding the sugar sucrose (sugar) 10%, urea 0.5%, 2% glacial acetic acid or vinegar kitchen
25% as much as 16 ml / liter of coconut water. Nata -making process through the following
stages: maintenance and rejuvenation of culture A. xylinum, substrate preparation,
preparation starter, fermentation, harvesting, processing the results. From research
conducted, it can seen that the type of water that result in the best quality mineral water
that is heated to boiling, but these results are also not significantly different from that
grown on media nata well water. In general, lack of nata de coco with medium amount of
water contained in the resulting rendemen which is lower when compared to the coconut
water media. Besides elasticity is not significantly different, lower ash content, and the
resulting color is more white. nowdays people tend to substitute such raw materilas to
other raw materials.
Keywords: nata de coco, coconut water, fresh water, microbes

1. Pendahuluan
Permasalahan yang dihadapi produsen sari
kelapa atau nata de coco di Indonesia saat ini
adalah keterbatasan jumlah air kelapa yang dapat

dijadikan sebagai bahan baku. Masalah lain dari


air kelapa sebagai bahan baku nata de coco adalah
terkait dengan mutu yang mudah mengalami
penurunan sehingga tidak tahan disimpan dalam
waktu lama. Hal ini terjadi karena komponen gula

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Alamsyah, R. & Loebis, E.H. (2015) Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba. Warta IHP,
32(1), 75-82

Halaman | 76

yang terkandung didalamnya mudah mengalami


fermentasi spontan dan membuat rasa cepat
menjadi
asam.
Dengan
kondisi
tersebut
penggunaan air kelapa bisa dianggap kurang
ekonomis (Woodroof, 1979; Rindengan, 2004;
Haryadi, 2009). Sebagai konsekuensinya, untuk
pembuatan nata de coco, industri atau pabrik nata
de coco harus berlokasi tidak jauh dari bahan baku
(penghasil air kelapa). Kondisi tersebut di atas
menyebabkan keterbatasan yang mengikat pada
produsen nata de coco sehingga perlu dicari
solusinya.
Pembuatan nata de coco dari bahan dasar air
yang ditambahkan nutrien dan senyawa pendukung
merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah tersebut. Kondisi gizi air kelapa dapat
ditiru dengan cara penambahan senyawa-senyawa
tertentu
dalam air hingga
komposisinya
menyerupai nutrisi air kelapa (Polungkun, 2006 ;
Tonouchi et al., 2006; Tarigasa, et al., 2011).
Dengan pengkondisian air dengan nutrisi tersebut,
maka diharapkan Acetobacter xylinum dapat
tumbuh dan mengeksresikan polisakarida hingga
akhirnya akan menghasilkan lapisan selulosa yang
dikenal dengan nata (Huda, 2009; Misgiyarta, 2007;
Krystynowicz, 2005). Sejauh ini penelitian nata
yang berasal dari air masih sangat terbatas.
Hidayatullah
(2012)
melakukan
penelitian
pemanfaatan limbah air cucian beras sebagai
pengganti bahan baku air kelapa.
Pembuatan nata de coco dengan cara
melarutkan komponen yang dibutuhkan dalam air
diharapkan dapat mempermudah pembuatan nata.
Kebutuhan nutrisi dipenuhi dengan penambahan
sukrosa sebagai sumber karbon. Sementara untuk
kebutuhan nitrogen akan dicari sumber yang
menghasilkan produk terbaik antara amonium
sulfat ataupun amonium posfa (Suryani, et al.,
2005; pambayun, 2002) . Komposisi penambahan
komponen nutrisi dan mineral yang tepat akan
menghasilkan nata yang berkualitas tinggi. Untuk
mengetahui pertumbuhan bakteri Acetobacter
xylinum maka didalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan beberapa perlakuan yaitu
media air yang bebas dari cemaran mikroba lain,
mengandung mineral anti toxic bagi bakteri, dan
pengaturan suasana asam sebagai dasar
pertumbuhan bakteri tersebut (Estu, 2009;
Wijayanti, 2012; Okiyama, 1992).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
pembuatan nata dari bahan baku air dengan
memodifikasi sifat-sifat air sehingga menyerupai
air kelapa melalui cara penambahan konsentrasi
nutrisi dan mikroba Acetobacter xylinum dalam
media air.
Hasil yang diharapkan adalah
tersedianya informasi atau teknologi proses
pengolahan nata dengan bahan baku air yang lebih
praktis dan dapat diterapkan dalam skala usaha
kecil dan menengah.

2. Bahan dan Metode


2.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini
adalah air segar yang terdiri dari air mineral (air
minum dalam kemasan) dan air bersih (air sumur).
Bahan penolong terdiri dari amonium sulfat.
kalsium sulfat, sukrosa, biakan murni Acetobacter
xylinum, asam asetat glacial. natrium metabisulfit,
asam sitrat, asam askorbat, kain saring, dan bahanbahan kimia untuk pengujian.
Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri
dari timbangan analitik, oven merk Memmert
(skala suhu 100oC), Whiteness tester, Brabender
Viscoamylograph, baskom berukuran 26 cm x 20
cm x 10 cm, slicer, pisau stainless steel, alat
pengemas, loyang plastik, kompor, panci stainless
steel, tray besi, kain saring, gelas ukur plastik, dan
pengaduk.
2.2. Metode
2.2.1. Penelitian pendahuluan
Penelitian
pendahuluan
diawali
dengan
penelitian pembuatan nata dari air dengan
penambahan sukrosa (6%, 7%, 8%, 9%, 10%, dan
11%) dan pembuatan nata dari air dengan
penambahan sukrosa (0%, 0.2%, 0.4%, 0.6%, 0.8%,
dan 1%).
Dalam penelitian ini dilakukan
pengamatan pertumbuhan nata (ketebalan).
Penelitian kedua, dilakukan percobaan dengan
perlakuan penambahan ammonium sulfat dan
sukrosa. Perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari
1) perlakuan variasi konsentrasi sukrosa dan
konsentrasi ammonium tetap, dan 2) perlakuan
variasi konsentrasi ammonium sulfat dengan
kansentrasi sukrosa tetap. Konsentrasi sukrosa
yang digunakan 6%, 7%, 8%, 9%, 10%, dan 11%
sementara konsentrasi ammonium sulfat adalah 0,5
%. Variasi konsentrasi ammonium sulfat adalah
0%, 0.2%, 0.4%, 0.6%, 0.8%, dan 1%, sedangkan
sukrosa yang digunakan yaitu 7.5 %.
Dari percobaan kedua di atas kemudian diamati
dan diambil 3 hasil terbaik dari masing-masing
perlakuan dan selanjutnya dilakukan percobaan
dengan mengkombinasikan konsentrasi dari hasil
yang terbaik tersebut.
Dalam tahap ini
ditambahkan asam askorbat (0,2 gr), kalium sulfat
(0,5 gr), dan ekstrak yeast (1 gram). Tujuan
penambahan asam askorbat, kalium sulfat dan
ekstrak yeast adalah untuk memberikan nutrisi
(makanan) kepada Acetobacter xylinum sehingga
terbentuk ketebalan nata yang optimum (Wijayanti,
2012)). Dari hasil percobaan tersebut selanjutnya
diamati
ketebalan
nata
yang
dihasilkan.
Berdasarkan ketebalan nata hasil kombinasi
ammonium sulfat dan sukrosa yang terbaik

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 75-82


Halaman | 77

selanjutnya dibuat nata dengan perlakuan


penambahan Acetobacter xylinum (10 - 20 %) serta
ekstrak yeast (1,5 3,5 %).
Percobaan penambahan Acetobacter xylinum di
atas kemudian diamati ketebalan nata serta hasil
yang terbaik dilanjutkan dengan percobaan
penambahan kultur, ekstrak yeast dan diamonium
sulfat (DAP). Konsentrasi DAP yang digunakan
adalah 0,3 %, 0,4 %, 0,5 %, 0,6 %, dan 0,7 %. Dari
hasil nata yang memberikan ketebalan terbaik
kemudian dijadikan dasar atau formula pada
percobaan pembuatan nata menggunakan beberpa
jenis air (penelitian lanjutan).

0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8% dan 1%) dapat dilihat


pada gambar 1 dibawah ini. Untuk hasil percobaan
kedua dengan variasi konsentrasi sukrosa
(ammonium sulfat tetap) dan variasi ammonium
sulfat (sukrosa tetap) dapat dilihat dalam Gambar
2. Berdasarkan kedua hasil tersebut dipilih metoda
percobaan variasi konsentrasi sukrosa dan
konsentrasi Ammonium Sulfat (sukrosa tetap)
karena memberikan hasil ketebalan yang lebih
besar, sehingga percobaan selanjutnya didasarkan
atas hasil tersebut.

12

Penelitian
lanjutan
adalah
perlakuan
penggunaan jenis air sebagai bahan baku pengganti
air kelapa dengan menggunakan formula hasil
percobaan pendahuluan. Dalam formula tersebut
dilihat konsentrasi sukrosa, DAP, ekstrak yeast,
acetobacter xylinum, MgSO4, dan NaCl. Jenis air
yang digunakan terdiri dari air RO (Reverse
osmosis), air mineral, air suling, dan air sumur.
Sebagai pembanding dilakukan pembuatan nata
dari bahan air kelapa.
2.2.3. Prosedur analisis
Analisis-analisis yang dilakukan terhadap hasil
nata yang diolah dari bahan baku air terdiri dari
berat nata, ketebalan lapisan nata, kekenyalan
tekstur nata, derajat putih, kadar serat kasar.
Rendemen atau berat nata diukur dengan metode
gravimetric (AOAC, 1979) dan dinyatakan dalam
gram.
Pengukuran ketebalan lapisan nata
dilakukan dengan alat mikrometer skrup dan nilai
ketebalan yang dihasilkan merupakan rata-rata dari
pengukuran
lima
tempat
yang
berbeda.
Kekenyalan
tekstur
nata
diukur
dengan
menggunakan penetromete (Hubeis, 1985).
Pengukuran dilakukan dengan melakukan pada
lima tempat dari nata yang dihasilkan.
Analisis
derajat
putih
diukur
dengan
menggunakan alat Whiteness Meter Model C-100.
Prinsip pengukuran alat ini adalah melalui
pengukuran indeks refleksi (reflective index)
permukan contoh dengan sensor foto diode (AOAC,
1984).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pertumbuhan ketebalan nata dengan
penambahan sukrosa dan amonium sulfat
Pertumbuhan nata decoco dengan variasi
penambahan sukrosa ( 6%, 7%, 8%, 9%, 10%,
11%) dan penambahan ammonium sulfat ( 0%,

Ketebalan (mm)

2.2.2. Penelitian lanjutan

9
8
6

9 9
8

6
5

1A 1B 1C 1D 1E 1F 2A 2B 2C 2D 2E 2F
Perlakuan Penambahan sukrosa

Perlakuan Penambahan Am. Sulfat

Gambar 1. Pertumbuhan ketebalan nata perlakuan


penambahan sukrosa dan amonuum sulfat
Keterangan
1A
: penambahan sukrosa 6 %
2A
: tanpa penambahan amonium sulfat
1B
: penambahan sukrosa 7 %
2B
: penambahan amonium sulfat 0,2 %
1C
: penambahan sukrosa 8 %
3C
: penambahan amonium sulfat 0,4 %
1D
: penambahan sukrosa 9 %
4D
: penambahan amonium sulfat 0,6 %
1E
: penambahan sukrosa 10 %
5E
: penambahan amonium sulfat 0,8 %
1F
: penambahan sukrosa 11 %
6F
: penambahan amonium sulfat 1 %

Untuk mendapatkan ketebalan nata lebih jauh,


maka hasil yang diperoleh percobaan 2 tersebut
dipilih 3 terbaik dari masing-masing perlakuan dan
selanjutnya dilakukan kombinasi konsentrasinya.
Untuk variasi sukrosa diambil konsentrasi 9%, 10%
dan 11% sedangkan untuk variasi Ammonium
Sulfat diambil konsentrasi 0,6%; 0.8%; 1.0%.
Sehingga dari kombinasi konsentrasi terpilih
tersebut didapat 9 kombinasi sukrosa-ammonium
yaitu: (9%-0,6%), (9%-0,8%), (9%-0.9%), (10%0,6%), (10%-0.8%), (10%-1,0%), (11%-0,6%),
(11%-0,8%), dan (11%-1,0%). Perlakuan tersebut
dinotasikan sebagai 1a, 1b, 1c. 1d, 1e, 1f, 2a, 2b, 2c,
2d, 2e, dan 2f. Hasil pengamatan percobaan ini
disajikan pada Gambar 2.
Pertumbuhan yang belum optimal dari gambar
2, maka dilakukan percobaan lanjutan. Percobaan
lanjutan dilakukan dengan perlakuan variasi
konsentrasi sama dengan percobaan pada gambar 2
akan tetapi ditambahkan nutrisi pendukung yaitu

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Alamsyah, R. & Loebis, E.H. (2015) Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba. Warta IHP,
32(1), 75-82

Halaman | 78

15
10
5
0
1a 1b 1c 1d 1e 1f 2a 2b 2c 2d 2e 2f
Perlakuan

Gambar 2. Pertumbuhan ketebalan nata perlakuan kombinasi


penambahan sukrosa dan amonuum sulfat

8
6
4
2
0

3.2. Pertumbuhan ketebalan nata dengan variasi


kultur starter dan extract yeast
Pertumbuhan
ketebalan
nata
dengan
perlakuan penambahan kultur (Acetobacter
xylinum) dan ekstrak yeast disajikan dalam Gambar
4. Penambahan Acetobacter xylinum yang dilakukan
adalah penambahan yang umum digunakan untuk
memproduksi nata berkisar 10%-20%. Dalam
tahap percobaan ini dilakukan juga variasi
penambahan ekstrak yeast 1,5% hingga 3,5 %
dengan
tujuan
untuk
menambah
nutrisi
pertumbuhan
Acetobacter
xylinum
dengan
konsentrasi starter dibuat tetap yaitu 15% (Efendi,
2009). Di samping itu juga dibuat dua percobaan
kontrol dari air kelapa yang telah disimpan selama
2 hari.
20
16
12

Perlakuan
Gambar 3. Pertumbuhan ketebalan nata perlakuan kombinasi
penambahan sukrosa dan ammonium sulfat dengan
penambahan nutrisi
Keterangan:
A1B1 : sukrosa 9% + ammonium sulfat 0,6 % + nutrisi (asam
askorbat 0,2 gram, kalium sulfat 0,5 gram dan ekstrak
yeast 1 gram.)
A1B2 : sukrosa 9% + ammonium sulfat 0,8% + nutrisi
A1B2 : sukrosa 9% + ammonium sulfat 0,8% + nutrisi
A1B3 : sukrosa 9% + ammonium sulfat 1,0% + nutrisi
A2B1 : sukrosa 10% + ammonium sulfat 0,6% + nutrisi
A2B2 : sukrosa 10% + ammonium sulfat 0,8% + nutrisi
A2B3 : sukrosa 10% + ammonium sulfat 1,0% + nutrisi
A3B1 : sukrosa 11% + ammonium sulfat 0,6% + nutrisi
A3B2 : sukrosa 11% + ammonium sulfat 0,8% + nutrisi
A3B3 : sukrosa 11% + ammonium sulfat 1,0% + nutrisi
Kontrol : sukrosa 3% + ammonium sulfat 0,4% + nutrisi
Blanko : Tanpa penambahan sukrosa atau ammonium sulfat

Dari percobaan di atas ketebalan nata yang


diperoleh belum menunjukkan hasil yang
maksimal.
Berdasarkan hasil perlakuan pada

8
4
0
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
S11
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Kontrol 1
Kontrol 2

A1B1
A1B2
A1B3
A2B1
A2B2
A2B3
A3B1
A3B2
A3B3
kontrol
Blanko

Ketebalan (mm)

Pada perlakuan lanjutan ini juga dibuat kontrol


dengan air mineral yang ditambahkan sukrosa 3%
dan ammonium sulfat 0.4% lalu ditambahkan
starter; dan blanko yaitu air mineral dan starter;
untuk melihat apakah ada perbedaan yang
signifikan antara ditambahkan atau tidaknya
mineral kedalam medium air mineral.
Dari
perlakuan lanjutan didapatkan data hasil seperti
pada Gambar 3. Pada percobaan pendahuluan ini,
pengkondisian air mineral yang digunakan
disesuaikan dengan penambahan mineral MgSO4
(00,2%) dan CaSO4 (0,05%) dengan maksud untuk
menyamai kondisi air kelapa.

Gambar 3 diperoleh perlakuan A1B3 memberikan


hasil yang maksimal yaitu dengan berat 137,41
gram dan ketebalan nata terbaik yaitu 7,33 mm.
Kombinasi yang diperoleh adalah sukrosa 9%,
ammonium 1.0% dengan penambahan nutrisi.
Karena belum diperoleh hasil yang optimal, maka
dilakukan percobaan lanjutan yang didasarkan
perlakuan A1B3 ini akan tetapi dilakukan
penambahan kultur starter (Acetobacter xylinum).

Ketebalan (mm)

Ketebalan (mm)

asam askorbat 0,2 gram, kalium sulfat 0.5 gram dan


ekstrak yeast 1 gram.

Perlakuan

Gambar 4. Pertumbuhan ketebalan nata perlakuan


penambahan starter Acetobacter xylinum dan ekstrak
yeast
Keterangan:
S1 : Penambahan starter (Acetobacter xylinum) 10%
S2 : Penambahan starter 11%
S3 : Penambahan starter 12%
S4 : Penambahan starter 13%
S5 : Penambahan starter 14%
S6 : Penambahan starter 15%
S7 : Penambahan starter 16%
S8 : Penambahan starter 17%
S9 : Penambahan starter 18%
S10 : Penambahan starter 19%
S11 : Penambahan starter 20%
Y1 : Penambahan ekstrak yeast 1,5%
Y2 : Penambahan ekstrak yeast 2,0%
Y3 : Penambahan ekstrak yeast 2,5%

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 75-82


Halaman | 79
Y4 : Penambahan ekstrak yeast 3,0%
Y5 : Penambahan ekstrak yeast 3,5%
Kontrol 1 : air kelapa yang ditambahkan nutrisi sesuai
formulasi A1B3
Kontrol 2 : air kelapa yang ditambahkan sukrosa 3% dan
ammonium sulfat 0,4%

Berdasarkan data hasil panen nata pada Gambar


4, konsentrasi starter yang menghasilkan nata
dengan rendemen terbaik adalah S11 yaitu starter
dengan konsentrasi 20 %. Sehingga konsentrasi 20
% ini yang akan dijadikan konsentrasi tetap untuk
perlakuan selanjutnya.
Dari data hasil panen,
konsentrasi extract yeast yang menghasilkan nata
dengan rendemen terbesar adalah Y5 yaitu 3,5%.
Bila dibandingkan dengan percobaan kontrol yang
ada, rendemen yang dihasilkan sangat berbeda jauh
sehingga sumber nitrogen yang awalnya dari
ammonium sulfat diganti dengan diamonium sulfat
(DAP), sedangkan penambahan jumlah konsentrasi
MgSO4 yang digunakan dari 0,015% menjadi 0,2%,
dan penambahan NaCl sebagai sumber asam amino.
3.3. Pertumbuhan ketebalan nata dengan variasi
DAP

15

3.4. Penggunaan jenis air


Dari rangkaian perlakuan yang dilakukan di atas
didapatkan bahwa formulasi yang tepat untuk
menghasilkan nata dengan ketebalan yang tinggi
dapat dilihat pada percobaan d2 dengan bahan
antara lain dengan penambahan DAP (0,4 %),
sukrosa (9 %), CaSO (0,2 %), MgSO (0,2 %),
Acetobacter xylinum (19 %), K2SO4 (0.29%), asam
askorbat (0,02 %), yeast extract (0,3 %), dan NaCl
(0,04 %). Dalam penelitian utama (penggunaan
jenis air) dilakukan perlakuan variasi jenis air dan
pengaruh pemasakan kepada kualitas nata yang
dihasilkan. Pada Gambar 7 dan Tabel 1 dibawah ini
dapat dilihat pengaruh jenis air yang digunakan
sebagai medium pembuatan nata terhadap
rendemen (ketebalan) dan kualitas nata. Dilihat
dari data diatas, terlihat bahwa rendemen tertinggi
diperoleh dari medium air mineral yang dimasak
penuh. Hal dimungkinkan kualitas air mineral yang
digunakan lebih bagus dari jenias airnya ditinjau
dari kandungan mineral dan total mikroorganisme
awal sesuai dengan persyaratan SNI.

10

16

14.9

14

0
d1

d2

d3

d4

d5

Perlakuan

Ketebalan (mm)

Ketebalan (mm)

Untuk mengetahui konsentrasi DAP yang


tepat, dilakukan
variasi konsentrasi DAP, dari
konsentrasi 0,3% hingga 0,7% (Nur, 2009). Angka
ini didapat dari kisaran konsentrasi DAP yang biasa
digunakan oleh produsen nata de coco di Indonesia
dalam mengolah produknya. Pada Gambar 5
disajikan pembentukan nata sebagai pengaruh dari
penambahan DAP.

Berdasarkan data hasil panen dengan


penambahan variasi konsentrasi DAP, didapatkan
bahwa konsentasri DAP yang menghasilkan nata
dengan rendemen terbaik adalah D2 yaitu
perlakuan dengan penambahan DAP sebanyak
0,4%. Hal ini menunjukkan perbedaan ketika
sumber nitrogen yang digunakan diganti dari
penambahan konsentrasi MgSO4, dan penambahan
NaCl sebagai sumber asam amino. Sehingga
perbedaan rendemen yang dihasilkan tidak
berbeda jauh jika menggunakan air kelapa.

12

10.1 10.27

10.63

11.1

11.6
9.93

10

10.3

10
8
6
4

Gambar 5. Pertumbuhan ketebalan nata sebagai pengaruh


penambahan DAP
Keterangan :
d1 : penambahan DAP (0,3 %)
d2 : penambahan DAP (0,4 %)
d3 : penambahan DAP (0,5 %)
d4 : penambahan DAP (0,6 %)
d5 : penambahan DAP (0,7 %)

Jenis Air
Gambar 7. Ketebalan nata menggunakan berbagai jenis air

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Alamsyah, R. & Loebis, E.H. (2015) Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba. Warta IHP,
32(1), 75-82

Halaman | 80
Tabel 1
Data hasil panen nata dengan berbagai jenis air
Perlakuan

Ketebalan (mm)

Berat
nata
(gr)

Bentuk
permukaan

Mineral-mineral bivalen yang terdapat pada


media fermentasi cenderung untuk berikatan
dengan selulosa nata. Kadar abu nata dari media
air kelapa lebih besar dibandingkan dengan media
air mineral dan media air sumur. Semakin tinggi
kadar abu yang dihasilkan kurang baik karena
residu logam juga akan semakin besar.

RO1

9,7

10,2

10,4

Ratarata
10,1

171,04

Rata

RO2

10,4

10,2

10,2

10,27

164,50

Rata

AMDK 1
(air mineral)
AMDK 2
(air mineral)
Suling 1

10,2

10,8

10,9

10,63

188,11

Rata

11,8

11,6

11,4

11,6

207,95

Rata

0.68

10.2

9,8

9,8

9,93

170,04

Rata

0.64

Suling 2

10,2

9,4

10,4

10,00

165,26

Rata

Sumur 1

10,3

1,.2

10,4

10,30

161,89

Rata

Sumur 2

11,4

11,5

10,6

11,1

190,92

Rata

Kontrol 2

14,6

15,1

15

14,9

243,13

bergelombang

3.5. Kadar serat kasar


Hasil analisis serat kasar dari produk nata yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8 Serat
kasar merupakan residu dari bahan makanan
setelah perlakuan dengan asam dan alkali
mendidih, yang terdiri dari selulosa dan sedikit
lignin dan pentosan. Nata tidak mengandung lignin.
Oleh karena itu hasil analisis nata ini hanya
menunjukkan kadar selulosa nata. Semakin banyak
glukosa yang ditambahkan, jumlah serat nata
semakin meningkat karena glukosa merupakan
precursor selulosa. Namun apabila jumlahnya
terlalu besar rendemennya justru menurun karena
akan banyak glukosa yang dirubah menjadi asam.
Dari Gambar 9 terlihat bahwa kadar serat tertingi
yaitu pada medium air mineral diikuti air sumur
dan air kelapa.

Kadar serat (%)

Kadar abu (%)

0.52
0.48

Air mineral

Air Sumur
Jenis air

Air kelapa

Gambar 9. Perbandingan kadar serat nata berbahan baku air


mineral, air sumur, dan air kelapa

3.6. Kekenyalaan
Kekenyalan nata ditentukan oleh keberadaan
serat yang terdapat pada nata. Nata yang memiliki
struktrur serat yang kompak dan besar cenderung
memiliki kekenyalan yang besar Data dari hasil uji
terhadap nilai kekenyalan nata yang dihasilkan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara
ketiga hasil data, walaupun terlihat bahwa nata dari
air kelapa memiliki kekenyalan terbesar.

Kekenyalan
10.5

10.383

10.2

9.917

9.9

9.717
9.6
9.3

AMDK

Air Sumur
Jenis Air

Air Kelapa

Gambar 10. Perbandingan kekenyalan nata berbahan baku air


mineral, air sumur, dan air kelapa

3.7. Warna

Kadar Serat Kasar


0.88
0.84
0.8
0.76
Air mineral Air Sumur

0.6

0.56

Nilai Kekenyalan

Keterangan:
RO1 : air reverse osmosis, 1 bagian direbus dicampur dengan
2,5 bagian air belum masak
RO2 : air reverse osmosis , direbus hingga mendidih
Aqua1 : air mineral , 1 bagian direbus dicampur dengan 2,5
bagian air belum masak
Aqua 2 : air mineral, direbus hingga mendidih
Suling 1: air suling, 1 bagian direbus dicampur dengan 2,5
bagian air belum masak
Suling 2 : air suling, direbus hingga mendidih
Sumur 1: air sumur, 1 bagian direbus dicampur dengan 2,5
bagian air belum masak
Sumur 2: air sumur, direbus hingga mendidih
Kontrol : air kelapa umur 3 hari sebagai pembanding

Kadar Abu

Air kelapa

Jenis air
Gambar 8. Perbandingan kadar serat nata berbahan baku air
mineral, air sumur, dan air kelapa

Hasil analisis warna terhadap produk nata yang


dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah
ini. Munsell value yang semakin besar menunjukkan
warna nata yang semakin putih. Dari data diatas
diketahui bahwa nata yang diproduksi dari media
air mineral dan air sumur memiliki warna yang
lebih putih dibanding nata yang diproduksi dari air
kelapa. Warna nata yang semakin putih pada saat
dipanen akan mempermudah dalam pengolahan
nata berikutnya. Sehingga tidak banyak waktu yang

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.2) 12 2015: 75-82


Halaman | 81

dibutuhkan untuk membuat nata menjadi putih


seperti yang diharapkan oleh konsumen. Menurut
Edria et al. (2018) warna nata dipengaruhi oleh
interaksi sukrosa dengan nutrisi dalam bahan baku
air yang bisa, semakin banyak interaksi antara
keduanya makan warn anata cenderung menjadi
tidak cerah (kurang putih).
Warna nata ini dipengaruhi dari banyaknya
glukosa yang terdapat pada media. Pada media air
kelapa, didalamnya sudah terdapat gula alami yang
ikut dipanaskan sampai mendidih sehingga
mengalami karamelisasi dan berpengaruh terhadap
warna nata. Sementara pada media air, gula hanya
ditambahkan sesaat menjelang mendidih sehingga
gula tersebut tidak banyak mengalami karamelisasi.
Hasil
analisis
berdasarkan
Gambar
11
menunjukkan bahwa warna nata dari media air
sumur dan air mineral tidak berbeda nyata,
sementara antara air kelapa dengan keduanya
sangat berbeda nyata lebih gelap.

Rata-rata nilai skala


Munsell

nilai skala Munsell


3.8. KadarRata-rata
serat
Hasil 5.6
analisis kadar serat pada tempe
a 8. Nilaib kadar serat tempe
ditunjukkan oleh Gambar
5.2
berkisar 3,48-3,78 %.
4.8
c
4.4
4
Air mineral Air Sumur Air kelapa
Jenis air
Gambar 11. Perbandingan nilai Munsell warna nata berbahan
baku air mineral , air sumur, dan air kelapa

4. Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa
jenis air yang mengahasilkan kualitas terbaik dalam
pembuatan nata adalah air mineral yang
dipanaskan hingga mendidih, namun hasil ini juga
tidak berbeda nyata dengan nata yang
ditumbuhkan dari media air sumur. Secara umum
kekurangan pembuatan nata de coco dengan media
air terdapat pada jumlah rendeman yang dihasilkan
masih rendah jika dibandingkan dengan media air
kelapa. Disamping itu kekenyalan tidak berbeda
jauh, kadar abu lebih rendah, dan warna yang
dihasilkan lebih putih. Perlu di optimalkan sumber
nutrisi dan mineral untuk menghasilkan nata dari
media air yang menghasilkan rendemen yang lebih
besar.
Ucapan terima kasih
Terima kasih kami ucapkan kepada Balai Besar
Industri Agro.

Daftar Pustaka
Agus (2006). Pengaruh pH Awal dan Jumlah Inokulum
Acetobacter xylinum Pada Pembuatan Nata Sari Buah Nanas
(Ananas comosus (L) Merr). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Unibraw. Malang.
AOAC (1979). Official Methodes of Analysis of the Association of
official Analyical Chemist. Washington DC
AOAC (1984). Official Methodes of Analysis of the Association of
official Analyical Chemist. Washington DC
Arsatmojo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata Depina,
Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari NL., Sedarwati,
Budiyanto, S. (1989). Penuntun Praktikum Analisis Pangan
Bogor, PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Budiarti, R.S. (2008). Pengaruh Konsentrasi Starter Acetobacter
Xylinum Terhadap Ketebalan dan Rendemen Selulosa Nata
De Soya, Buletin P MIPA, FKIP Universitas Jambi, Jambi
36124: Vol 1 No 1 Februari: 19 24
Efendi, N.H. (2009). Pengaruh penambahan variasi massa pati
(soluble starch) pada pembuatan nata de coco dalam
medium fermentasi bakteri Acetobacter Rylinu, Skripsi
Departemen Kimia, fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.
Edria, D., M. Wibowo Elvita, K. (2008). Pengaruh Penambahan
Kadar Gulad an Kadar Nitrogen Terhadap Ketebalan,
Tekstur, dan Warna Nata de Coco, Skripsi, Institut Pertanian
Bogor.
Estu, M.D,A. (2009). Bakteri Acetobacter xylinum, Estuelektro,
Desember 19, 2009
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. PAU, IPB. Bogor
Hidayatullah, R.H (2012). Pemanfaatan limbah air cucian
Pemanfaatan Limbah Air Cucian Beras Sebagai Substrat
Pembuatan Nata De Leri Dengan Penambahan Kadar Gula
PasirDan Starter Berbeda, Skripsi, Fakultas Sains Dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta,
Haryadi (2009). Pembuatan Nata de Phina dari Kulit Nanas.
Laporan Penelitian Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro. Semarang
Hubeiz, M. 1985. Penuntun Praktikum Pengawasan Mutu
Pangan. Jurusan TPG, Fateta, IPB. Bogor.
Huda, N.E. (2009). Pengaruh Penambahan Variasi Masa Pati
(soluble starch) pada Pembuatan Nata de Coco dalam
Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter Xylinum, Skripsi,
Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan
Krystynowicz, A. 2005. Molecular Basis of Celullose Biosynthesis
Disappearance in Submerged Culture of Acetobacter
xylinum. Acta Biochimica Polonia, 52 (3): 691-698.
Lapuz (1963). The Nata Organism-Cultural Requirements,
Characteristics and Identity. Philiphine J sci. 90(2) : 91-107
Nur, A. (2009).
Karakteristik Nata de cottonii dengan
penambahan DAP dan Asam Asetat Glasial. Skripsi Sarjana,
Fakultas PErikanan an Ilmu Kelautan , Institut Pertanian
Bogor
Okiyama, A. M. Motoki dan S. Yamanaka (1992). Bacterial
Cellulose H: Processing of Gelatinous Cellulose for Food
Material. Food Hydrocoloid. 6 : 479-489.
Misgiyarta (2009). Teknologi Pembuatan Nata de Coco, Balai
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor
Pambayun, R.
(2002).
Teknologi Pengolahan Nata de
Coco.Kanisius.Yogyakarta.
Polungkun, R. (2006). Aneka Produ Olahan Kelapa, Penebar
Swadaya, Jakarta
Rindengan, B. (2004). Potensi Buah Kelapa Muda Untuk
Kesehatan dan Pengolahannya, Perspektif, Manado, 3 (2):
Soekarto, S.T. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri
Pangan. Bhatara Karya Antara, Jakarta.
Soeseno, S. (1984). Sari Kelapa. Majalah Intisari, Jakarta, 100.
246: 54-61.
Suryani,A., E. Hambali, dan P. Suryadarma (2005). Membuat
Aneka Nata. Penebar Swadaya. Jakarta.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Citation: Alamsyah, R. & Loebis, E.H. (2015) Pembuatan Nata dari bahan Baku Air dengan Perlakuan Konsentrasi Nutrisi dan Mikroba. Warta IHP,
32(1), 75-82

Halaman | 82
Tarigasa, O., Ahmadi, Sapara, I., Zakiyatulyaqin (2011).
Pengaruh Lama Fermentasi Bahan Baku Nata De Coco
Terhadap Kemampuan Sintesis Selulosa oleh Acetobacter
xylinum, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura
Pontianak
Thampan, D.K. (1982). Handbook of Coconut Palm. Oxford and
Ibit Publishing. Co.Wetsport. New Delhi.
Tonouchi, N., T. Tsuchida, F. Yoshinaga. and Beppu T. (2006).
Characterization of the Biosynthetic Pathway of Cellulose

from Glucose and Fructose in Acetobacter xylinum. Journal of


Bioscience, Biotechnology and Biochemistry. 75: 1377-1379.
Wijayanti, F., Kumalaningsih, S, dan Effendi, M
(2012).
Pengaruh Penambahan Sukrosa Dan Asam Asetat Glacial
Terhadap Kualitas Nata Dari Whey Tahu Dan Substrat Air
Kelapa, Jurnal Industria 1(2): 86 93.
Woodroof, JG.1979. Coconut : Production, Processing, Product.
AVI. Pub. Co. West Port, Connecticut.

WIHP ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved

Halaman | x

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 - 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

INDEKS SUBYEK

Andaliman 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15


Air kelapa 76. 77, 78, 79, 80, 81, 82
Air tawar - 76
ASLT 1, 2, 8

Lemak cokelat 51, 52, 53, 56, 57, 58, 61


Lemak pangan 16
Limbah organik - 68

B
Beras Cerdas 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8
Biji mimba 62, 63, 64, 65, 66, 67
Bioetanol 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75
Bleaching earth 62, 63, 64, 66

C
Cocoa Butter Substitute (CBS)33, 34, 38, 40, 43
Cokelat batangan 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
42, 43
Cokelat oles 51, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 60,
61
Cokelat tabur 45, 46, 47, 48, 49, 50

D
Delignifikasi 68, 69, 70, 71, 74

M
Margarin 45, 46, 47, 48, 49, 50
Maserasi 9, 10, 11, 12, 13, 14
Mikroba 76, 77
Minyak 16
Minyak Ikan Patin 51, 52, 53, 55, 56, 57, 58,
59, 60, 61
Minyak Inti Sawit 33, 34, 38, 39, 40, 43, 44, 45,
46, 49, 50
Minyak Sawit 24, 25, 32, 45, 46, 50,

N
Nata de coco 76, 77, 80, 82

O
Olein sawit 51, 52, 53, 56, 57, 58, 59, 60, 61
Optimasi kondisi proses 24

Ekstraksi 62, 63, 64, 65


Ester 3-MCPD 16

Pendekatan Arrhenius 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Press hidroulik - 62
Purifikasi 62, 64, 65, 66

Fermentasi 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75


Flavor 9, 10, 11, 12, 14

Reaktor texturing 24, 25

H
Hidrogenasi 33, 34, 35, 37, 38, 41, 43
Hidrolisis enzimatis 68, 69, 70

S
Shortening 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32

Tekstur 24, 25, 26, 27, 29, 32

Kajian 16
Karoten 45, 46, 47, 48, 49, 50
Keamanan pangan - 16
Komponen volatil 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15

Z
Zanthoxylum acanthopodium 9, 10, 14, 15

Halaman | xi

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 - 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

INDEKS PENGARANG

Alamsyah, R 76
Akhiriani, R, A - 1

Mahardini, T 9
Mangindrin - 24
Meutia, Y. R 9, 68

D
Diniyah, N 1

R
Rienoviar 9

Giyarto 1

Siregar, N, C 62
Subagio, A - 1
Sudibyo, A 16, 33
Suherman, A - 33
Supriatna, D 33

Hardika, A, P - 45
Hasibuan, H, A 24, 45
Hutajulu, T. F - 62

I
Isyanti, M 33, 51

Wardayanie, N, I, A - 9
Wibisono, A 51
Wirawan, I - 9

Junaidi, L 68

L
Lestari, N 16, 51, 63
Loebis, E, H 68, 76

Halaman | xii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
PEDOMAN PENULISAN WARTA IHP
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

8.

9.
10.

Makalah merupakan pemikiran sendiri, belum pernah dipublikasikan, mengandung unsur kekinian dan
bersifat ilmiah.
Judul makalah harus spesifik, jelas, singkat, informatif dan menggambarkan substansi dari tulisan; judul
ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan Inggris); judul diketik dengan huruf besar pada awal
kata; judul bahasa lainnya di-italic.
Nama penulis ditampilkan dengan jelas; lengkap tanpa menyebutkan gelar; nama asli; penulisan nama
sebaiknya tidak disingkat, bila dilakukan penyingkatan nama harus mengikuti kaidah dan konsisten;
nama penulis utama berada pada urutan paling depan.
Identitas penulis berisi nama instansi/lembaga tempat penulis bekerja dan alamat; alamat e-mail khusus
untuk penulis utama.
Abstrak ditulis dalam dua bahasa; tidak boleh lebih dari 200 kata. Abstrak harus mencakup tujuan
penelitian, bahan dan metode singkat, hasil dan kesimpulan. Hasil dapat didukung dengan data
kuantitatif. Pada akhir abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/info baru hasil litbang
(Font Cambria, 10 pt dan spasi 1).
Kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), ditempatkan di bawah
abstrak, dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk yang terdiri dari 3 sampai dengan 5 kata (Font
Cambria, 8 pt, italic dan spasi 1).
Isi makalah penelitian terdiri dari:
o Pendahuluan (latar belakang, state of the art, dan tujuan penelitian)
o Bahan dan metode
o Hasil dan pembahasan (ilustrasi : gambar, tabel, grafik, foto, diagram dll)
o Kesimpulan
o Ucapan Terima Kasih (opsional)
o Daftar Pustaka (paling sedikit 12 referensi).
Isi makalah ulasan/ review terdiri dari:
o Pendahuluan (latar belakang, tujuan penelitian)
o Pembahasan (dapat terdiri dari beberapa bab sesuai kebutuhan)
o Kesimpulan
o Daftar Pustaka (paling sedikit 25 referensi)
Makalah ditulis 1 spasi pada kertas A4 dengan batas atas dan batas bawah 2,5 cm tepi kiri 3 cm dan tepi
kanan masing-masing 1,5 cm, huruf Cambria Font 10, dengan jumlah halaman makalah maksimal 10
halaman.
Tabel diberi nomer berurutan, judul tabel ditempatkan di atas tabel (rata kiri), ditulis dengan huruf kecil
kecuali huruf pertama pada kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8
pt dan spasi 1); Tabel dibuat hanya dengan garis horisontal dan diletakkan rata kiri. Pencantuman
sumber dan keterangan diletakkan di bawah tabel rata kiri (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1).
Contoh:
Tabel 2.
Perlakuan penyimpanan starter
Kode Perlakuan pada Penyimpanan
No.
Suhu ruang
Suhu pendingin
1.
RBa1
RBa2
2.
RBb1
RBb2
3.
RBc1
RBc2
4.
RBd1
RBd2

11. Gambar, grafik, foto atau diagram diletakkan ditengah (center) dan diberi nomer berurutan. Judul
gambar ditempatkan di bawah gambar (center), ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama pada
kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1). Keterangan
gambar, grafik, foto atau diagram menyatu dengan judul gambar.
12. Cara dan contoh penulisan kutipan dan daftar pustaka disesuaikan dengan American Psycological
Association (APA) style:

Halaman | xiii

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Contoh :
a. Terbitan buku (satu penulis):
Daftar referensi
Mandelbaum, M. (2002). The ideas that conquered the world: Peace, democracy, and free markets in the twentyfirst century. New York: Public Affairs.
Kutipan : ( Mandelbaum, 2002)

b.

Terbitan buku (beberapa penulis):


Daftar referensi
Reiter, D., & Stam, A. C. (2002). Democracies at war. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
Kutipan
Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 )
Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis
penulis pertama dan ditambahkan et al.

c.

Terbitan buku (beberapa edisi)


Strunk,W., Jr., & White, E. B. (2000). The elements of style (4th ed.). New York: Longman.
Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
Kutipan
Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 )
Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis
penulis pertama dan ditambahkan et al.

d.

Buku online
Daftar referensi
Reed, J. (1922). Ten days that shook the world. Project Gutenberg. Etext 3076. Retrieved January 12, 2004, from
ftp://ibiblio.org/pub/docs/books/gutenberg/etext02/10daz10.txt
APA tidak mencantumkan tahun setelah URL, ini membuat APA berbeda dengan model referensi lainnya.
Kutipan : (Reed, 1922)

e.

Jurnal (satu penulis) :


Daftar referensi
Lipson, C. (1991). Why are some international agreements informal? International organization, 45, 495538.
No. volume pada jurnal diketik italic tetapi no. Penerbitan dan halaman halaman tidak.
Kata "Volume" (atau "vol.") dihilangkan. Tidak perlu untuk nama penerbitan tertentu jika halaman jurnal
diberi nomor berkelanjutan sepanjang tahun. Namun, jika setiap penerbitan dimulai dengan halaman 1,
nomor atau bulan penerbitan diperlukan: 45 (2), 15-30.
Kutipan : (Lipson, 1991)

f.

Jurnal (beberapa penulis)


Daftar referensi
Koremenos, B., Lipson, C., & Snidal, D. (2001). Therational design of international institutions.International
Organization, 55, 761799.
Hansen, S. S., Munk-Jorgensen, P., Guldbaek, B., Solgard, T., Lauszus, K. S., Albrechtsen, N., et al. (2000).
Psychoactive substance use diagnoses among psychiatric in-patients. Acta Psychiatrica
Scandinavica, 102, 432438.
Jika penulis lebih dari enam maka ditambahkan et al.
Kutipan
(Koremenos, Lipson, & Snidal, 2001)
(Koremenos et al., 2001)

Halaman | xiv

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
g.

Surat kabar/ artikel majalah (tidak mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
The United States and the Americas: One history in two halves. (2003, December 13). Economist, 36.
Strong aftershocks continue in California. (2003,December 26). New York Times [national ed.], p. A23.

No. Surat kabar : p atau pp

Kutipan
(United States and the Americas, 2003)
(Strong aftershocks, 2003)

h.

Surat kabar/ artikel majalah (mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
Bruni, F. (2003, December 26). Pope pleads for end to terrorism and war. New York Times [national ed.], p.
A21.
Kutipan
(Bruni, 2003) or, if necessary, (Bruni, 2003, December 26)

i.

Surat kabar/ artikel majalah online


Daftar referensi
Vick, K. (2003, December 27). Quake in Iran kills at least 5,000: Temblor devastates ancient city; officials
appeal for assistance. Washington Post [online], p. A01. Retrieved January 2, 2004, from
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A31539-2003Dec26.html
Jehl, D. (2004, January 1). U.S. hunts terror clues in case of 2 brothers. New York Times [online], p. A10.
Retrieved February 6, 2004, from ProQuest Newspapers database.
Kutipan
(Vick, 2003) or (Vick, 2003, December 27)
(Jehl, 2004) or (Jehl, 2004, January 1)

j.

Naskah yang tidak diterbitkan (poster, tesis, disertasi)


Daftar referensi
Tsygankov, A. (2004, February). Russias identity and foreign policy choices. Paper presented
at the Program on International Politics, Economics, and Security, University of Chicago.
Hanya diperlukan bulan dan tahun untuk paper.
Cheng, D. T., Smith, C. N., Thomas, T. L., Richards, J. A., Knight, D. C., Rao, S. M., et al. (2003, June). Differential
reinforcement of stimulus dimensions during human Pavlovian fear conditioning. Poster session presented at the
9th Annual Meeting of the Organization for Human Brain Mapping, New York, NY.
Reid, P. (1998). Beginning therapists and difficult clients: An exploratory study. Unpublished masters thesis,
University of Massachusetts, Amherst.
Gomez, C. (2003). Identifying early indicators for autism in self-regulatory difficulties. Unpublished doctoral
dissertation. Auburn University, AL.
Kutipan
(Tsygankov, 2004)
(Cheng et al., 2003)
(Reid, 1998)
(Gomez, 2003)

k.

Abstrak
Daftar referensi
Kremer, M., & Zwane, A. P. (2005). Encouraging private sector research for tropical agriculture
[Abstract]. World Development, 33, 87.
Abstrak diambil dari sumber asli/ utama, menggunakan format yang sama seperti mensitasi abstrak dari
seminar prosiding yang diterbitkan.
Albin, C. (2003). Negotiating international cooperation: Global public goods and fairness. Review of
International Studies, 29, 36585. Abstract obtained from Peace Research Abstracts Journal, 42, 2005, 6,
Abstract No. 236625.

Halaman | xv

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)
Abstrak diambil dari sumber kedua.
Kutipan
(Kremer & Zwane, 2005)
(Albin, 2003/2005)
Jika abstrak yang berasal dari sumber kedua diterbitkan dalam tahun yang berbeda dari sumber utama
maka sitasi dengan memisahkan antara dua tahun tersebut dengan garis miring.

l.

Website
Daftar referensi
Digital History Web site. (2004). S. Mintz (Ed.). Retrieved January 10, 2004, from http://www
.digitalhistory.uh.edu/index.cfm?
Internet Public Library (IPL) (2003, November 17). Retrieved January 5, 2004, from http://www.ipl.org/
Yale University, History Department home page. (2003). Retrieved January 6, 2004, from
http://www.yale.edu/history/

Jika website/ halaman web tidak menampilkan tanggal ketika ditulis/ diperbarui, maka cukup
menampilkan tahun.

Kutipan
(Digital History, 2004)
(Internet Public Library, 2003) or (IPL, 2003)
(Yale History Department home page, 2003)

m. Halaman Website (mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
Lipson, C. (2004). Advice on getting a great recommendation. Retrieved February 1, 2004, from
http://www.charleslipson.com/courses/ Getting-a-good-recommendation.htm
Kutipan
(Lipson, 2004)

n.

Halaman Website (tidak mencantumkan nama pengarang)


Daftar referensi
I Love Lucy: Series summary. (2004).
http://www.sitcomsonline.com/ilovelucy.html

Sitcoms

Online.

Retrieved

May

4,

2005,

from

Kutipan
(I Love Lucy: Series summary, 2004)

a.

Jika sitasi mempunyai satu atau dua penulis maka nama belakang penulis dicantumkan
semua (tanpa inisial); apabila penulis 3 orang maka yang dicantumkan nama penulis
pertama (tanpa inisial) ditambah kata et al.
b. Apabila kalimat langsung mengacu kepada nama penulis maka yang dalam tanda kurung
adalah tahun publikasi; apabila kalimat tidak langsung mengacu kepada nama penulis maka
yang didalam tanda kurung adalah nama penulis (tanpa inisial) dan tahun publikasi.
13. Catatan kaki (footnotes) adalah suatu informasi yang merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu yang
dinyatakan dalam teks. Penjelasan itu diluar konteks dari teks tersebut. Biasanya catatan kaki itu diberi
nomor berturut menurut teks. Tempat catatan kaki itu dibagian bawah halaman yang bersangkutan
dengan apa yang dijelaskan. Catatan kaki berisi:
1. Keterangan khusus atau tambahan penting, tetapi tidak dimasukkan dalam teks karena uraiannya
akan menyimpang dari garis besar karya ilmiah atau karena uraiannya akan bersifat berlarut-larut
dan di luar konteks.
2. Komentar khusus mengenai bagian yang bersangkutan dalam teks.
3. Kutipan yang akan mengganggu kelancaran penyajian uraian bila dimuat dalam teks.
4. Penunjuk sumber yang diberi komentar tambahan
14. Didukung minimal 13 (tiga belas) daftar pustaka, 80% mengacu pustaka 10 (sepuluh) tahun terakhir, dan
80% berasal dari sumber acuan primer.
15. Lampiran hanya digunakan sebagai data pendukung dalam penilaian dan tidak dicetak dalam Warta IHP.

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx

2,5 cm

Halaman | xx

Judul Artikel (Cambria, 17 pt, spasi 1)


Judul artikel translasi (Cambria, 13 pt, italic, spasi 1)

3 cm

Penulis Utamaa, Penulis ke-2b and Penulis-ke-na (Cambria, 13 pt)


a Institusi

penulis (Cambria, 8 pt)


alamat (Cambria, 8 pt)

b Institusi

selain penulis utama (Cambria, 8 pt)


alamat (Cambria, 8 pt)

e-mail penulis utama (Cambria, 8 pt)

Riwayat Naskah:
Diterimaxx,xxx
Direvisi xx,xxx
Disetujui xx,xxx

ABSTRAK: Abstrak harus dimulai dengan latar belakang singkat, tujuan penelitian, bahan
dan metode singkat dan hasil. Hasil dapat didukung dengan data kuantitatif. Pada akhir
abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/ info baru hasil litbang. Abstrak ini
ditulis dalam bahasa sesuai isi artikel (Font Cambria, 10 pt dan spasi 1).
Kata kunci: kata kunci 1, kata kunci 2, kata kunci 5 (Cambria, 8 pt)

ABSTRACT: Abstract should be started with the short background of the study, short
material and method, and result. The result may be supported by quantitative data. At the
end of the abstract should show the final conclusion of the research/ new information
about result. This abstract is written accordance to language of article content (Font
Cambria, 10 pt and single space).
Keywords: key word1, keyword 2, keyword 5 (Cambria, 8 pt)

1. Pendahuluan

2. Bahan dan Metode

Pendahuluan harus menunjukkan sitasi pustaka


yang mendukung penelitian. Untuk mensitasi
pustaka harus mengikuti petunjuk penulisan
(Hirsch et al. 2005; Meng & Bentley 2008; Bardi
2009). Format penulisan sitasi dan daftar pustaka
mengikuti aturan APA (American Psychological
Association).
Pendahuluan berbentuk dua kolom dengan
huruf Cambria, 10pt dan spasi satu.

2.1. Bahan
Tuliskan semua bahan yang digunakan dalam
penelitian.
2.2. Alat
Tuliskan semua alat yang digunakan pada
penelitian ini beserta spesifikasinya.
0.85 2.3. Metode
cm
2.3.1. Bagaimana menulis persamaan
contoh persamaan adalah sebagai berikut:
k
k v
f(v)= ( )(k-1) e(-v)/c)
c c

(k > 0, v > 0, c > 1)

(1)
Gambar 1. A typical power- wind speed curve (kurva kecepatan
angin-Jenis kekuatan)

Pada akhir pendahuluan harus menunjukkan


tujuan naskah.
2,5 cm

Keterangan:
k = parameter bentuk,
Faktor bentuk k berhubungan dengan perubahan
kecepatan angin; oleh karena itu berlokasi ditempat
tertentu.
c = parameter skala

WIHP ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved

1,5 cm

Citation: Author1, Author2., & Author 3 (xxx) Title of your manuscript. Warta IHP, x(x),xx-xx

Halaman | xx

n
f i vi
and
v i 1N

fi
i 1

f v
N

i 1

f
i 1

(2)

Keterangan:
(v)
= mean wind velocity,
v
= actual wind speed in m/s,
N
= number of different values of wind
speeds
observed,
fi
= the numbers of observations of a specific
wind speed vi and
n
= 1 for arithmetic mean,
n
= 2 for root mean square,
n
= 3 for cubic mean cube root.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Cara mendeskripsikan
Cara
mendeskripsikan
dengan
cara
menggabungkan antara hasil dan pembahasan
sekaligus.
3.2. Cara penulisan tabel
Tabel harus ditulis secara ilmiah seperti
ditunjukkan oleh Tabel 1, Tabel 2. Garis hanya
untuk heading dan garis tertutup. Tidak
diperbolehkan garis vertikal.
Cara penulisan tabel dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu: (1) untuk tabel berukuran kecil
dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada
Tabel 1.; (2) untuk tabel berukuran besar dapat
dibuat dalam format satu kolom, dengan ketentuan.

peletakan tabel pada bagian bawah atau atas dari


halaman tersebut
Tabel 1
Monthly means and standard deviations of wind speed data
Cubic
Standar
Arithmetic
Month
d
Mean v 3
Mean v (m/s)
Deviatio
(m/s)
n
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December

5.1427
5.2659
4.7767
6.2008
9.4697
9.6657
10.5473
9.4452
7.1930
4.5461
6.8517
5.8205

Tabel 2
Weibull Parameters for The Test Site
Month
k
January
3.1085
February
2.4533
March
2.2102
April
2.1894
May
2.7570
June
3.6749
July
3.2969
August
3.3358
September
2.7045
October
2.2725
November
3.6044
December
2.9325

5.7955
6.3556
6.0523
7.8349
10.9003
10.4821
11.7628
10.4108
8.2827
5.6524
7.5004
6.6385

2.0396
2.7814
2.9158
3.8077
4.2843
3.1620
3.9213
3.4333
3.3136
2.6543
2.3033
2.4651

c
6.4796
7.1633
6.8338
8.8468
12.2484
11.6195
13.1139
11.5997
9.3133
6.3811
8.3230
7.4414

3.3. Cara penulisan gambar


Cara penulisan gambar dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu: (1) untuk gambar berukuran kecil
dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada
Gambar 1.; (2) untuk gambar berukuran besar
dapat dibuat dalam format satu kolom, dengan
ketentuan peletakan gambar pada bagian bawah
atau atas dari halaman tersebut, seperti pada
Gambar 2 dan Gambar . Gambar harus dijelaskan
pada
kalimat/
pernyataan.

Gambar 2. Keandalan dibandingkan dengan kecepatan angin

WIHP ISSN: 0215-1243, xxxx, All rights reserved

Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx


Halaman | xx

Gambar 3. Keandalan dibandingkan dengan kekuatan per unit menyapu wilayah/ daerah

4. Kesimpulan
Mohon menyampaikan kesimpulan penemuan
disini
Ucapan terima kasih
Mohon memberikan ucapan terima kasih disini
Daftar Pustaka
A Survey of Canadian Utilities. (1995) Isolated Systems
Generating Planning Practices.
Abed, K.A. & El-Mallah, A.A. (1997) Capacity Factor of Wind
Turbines. Energy, 22, 487-91.
Albadi, M.H. & EI- Saadany, E.F. (2010) Optimum Turbine- Site
Matching. Energy, 35, 3593-3602.
Bardi, U. (2009) Peak Oil: The Four Stages of A New Idea. Energy,
34, 323-6.
Billinton, R. & Allan, R.N. (1996) Reliability Evaluation of Power
Systems. Plenum Press, 2nd ed. New York.
Charles, E.E. (2000) An Introduction to reliability and
maintainability engineering, 1st edition , New Delhi; Tata
McGraw Hill Publishing company Ltd.
Dong Li, D. & Niu, L.Q. (2008) Reliability Analysis of Electric
Distribution System Integrated with Wind Power, IEEE
International Conference on Industrial Electronics and
Applications ICIEA, Singapore pp 729- 733.
Hirsch, R.L., Bezdec, R. & Wendling, R. (2005) Peaking of World
Oil Production: Impacts, Mitigation and Risk Management.
DOE
Report.
Available
from,

http://www.netl.doe.gov/publications/others/pdf/Oil_Peak
ing_NETL.pdf.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (1999) Site Matching of Wind
Turbine Generators: A Case Study. IEEE Transactions on
Energy Conversion, 14(4), 1537-1543.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001a) Optimum Siting of Wind
Turbine Generators. IEEE Transactions on Energy
Conversion, 16(1), 8-13.
Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001b) Normalized Power Curves
as A Tool for Identification of Optimum Wind Turbine
Generator Parameters. IEEE Transactions on Energy
Conversion, 16(3), 283-288.
Johnson & Gary, L. (1985) Wind Energy Systems, Prentice Hall
Inc., Englewood Cliffs, NJ 07632.
Justus, C.G. (1978) Winds and System Performance, Franklin
Institute Press, Philadelphia.
Karki, R. & Billinton, R. (2004) Cost- Effective Wind Energy
Utilization for Reliable Power Supply. IEEE Transactions on
Energy Conversion, 19(2), 435-440.
Karki. R. & Po, Hu. (2005) Wind Power Simulation Model for
Reliability Evaluation, In Proc.IEEE Can. Con. Electr. Comput.
Eng. Saskatoon, 541-544.
Manwell, J.F., McGowan, J.G. & Rogers, A.L. (2002) Wind Energy
Explained Theory, Design and Application. West Sussex:
John Wiley & Sons Ltd.
Meng, Q.Y. & Bentley, R.W. (2008) Global Oil Peaking:
Responding to The Case for Abundant Supplies of Oil.
Energy, 33, 1179-84.
Salameh, Z.M. & Safari, I. (1992) Optimum Windmill-Site
Matching. IEEE Transaction on Energy Conversion, 7, 669-76.
Srinath, L.S. (2005) Reliability Engineering, 3rd edition, New
Delhi. Affiliated East- West Press.
Suchitra, G. & Jangamshetti, S.H. (2008) Reliability Evaluation of
Wind Power in North Karnataka, India- A Case Study. IEEE
International Conference on Sustainable Energy Technologies
ICSET Singapore, 24-27, 478-482.

WIHP ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved

Halaman | xix

ISSN 0215-1243
VOL 32 No. 2 Desember 2015 Hal 45 82

Warta Industri Hasil Pertanian (IHP)


(Journal of Agro-based Industry)

UCAPAN TERIMA KASIH


Redaksi Warta IHP mengucapkan terima kasih kepada para Redaktur dan Mitra Bestari
dalam menelaah naskah yang diterbitkan di Jurnal ilmah ini, sehingga jurnal ini dapat
terbit tepat pada waktunya. Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam terbitan volume
32 No. 2 Desember 2015 adalah:

Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T.

Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech

Prof. Dr. Ir. Sutrisno Marjan, M.Eng

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc

Dr. Ir. Ingrid S. Surono, M.Sc

Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si.

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI


BALAI BESAR INDUSTRI AGRO
Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
Telp. 0251-8324068 Fax. 0251-8323339
email : cabi@bbia.go.id / warta.ihp@gmail.com
website : www.bbia.go.id

You might also like