Professional Documents
Culture Documents
junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu
kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
BAB II
FARDHU-FARDHU WUDHU
Fardhu adalah ketetapan atau rukun yang harus dilakukan
oleh orang yang berwudhu agar wudhunya sah, adapun dasar
hukum fardhu wudhu adalah surah al Maidah ayat ke-6 yang telah
kami sebutkan diatas, menurut madzhab al Imam Abu Hanifah
fardhu wudhu hanya teringkas pada empat hal yang disebutkan
dalam ayat tersebut, yaitu membasuh wajah, membasuh tangan
sampai kedua siku, mengusap / menyapu kepala, membasuh kaki
sampai dua mata kaki, dan menurut madzhab ini jika seseorang
hanya melakukan terbatas dengan apa yang disebutkan pada ayat
tersebut, maka wudhunya sah dan otomatis sholatnyapun sah dan
boleh melakukan segala sesuatu perbuatan yang memerlukan
wudhu untuk membolehkannya.
Dalam masalah fardhu wudhu, seluruh ulama telah sepakat
bahwa fardhu wudhu adalah yang telah disebutkan dalam ayat
tersebut, sebagaimana telah dikutip diatas bahwa madzhab
Hanafiyah tidak menambahkan fardhu-fardhu tersebut sedikitpun.
Menurut madzhab al Imam Malik bin Anas ( Malikiyah ) fardhu
wudhu terdiri dari tujuh hal; yaitu niat, membasuh wajah,
membasuh dua tangan sampai dua siku-nya, menyapu seluruh
kepala, membasuh kaki sampai dua mata kaki-nya, muwalat
yaitu berturut-turut, dalam artian dilakukan bersambung dari satu
anggota basuhan ke anggota yang lain tanpa ada jeda waktu yang
lama, yang terakhir menggosok ( ) anggota wudhu disetiap
basuhannya. Sedangkan menurut madzhab al Imam asy Syafii,
fardhu wudhu terdiri dari enam hal yaitu pertama niat sebagaimana
madzhab malikiyah meletakkan niyat dalam bagian fardhu wudhu,
adapun dalil yang digunakan adalah surah al Bayyinah ayat ke 5
yang ber bunyi :
Dan hadits masyhur yang berbunyi :
yang menunjukkan bahwa kepala dalam ayat ini
adalah mutlak kepala, dalam kaidah ushul fiqh disebutkan
yang artinya apabila sesuatu disebutkan dalam
pekerjaan sunnah adalah Imam Syafii dan Imam Malik itu pun jika
yakin bahwa tangan tersebut suci, ada juga yang pendapat yang
mengatakan bahwa pekerjaan itu mustahab dan pendapat ini juga
diriwayatkan dari pendapat Imam Malik. Menurut Daud az Zhohiri
dan kalangan Ashhab-nya perbuatan itu wajib sebagai peringatan
bagi yang tidur dimalam hari[9]. Adapun hadits yang berkaitan
dengan masalah ini adalah :
[10]
Dalam kitab Mishbah az Zholam karangan Syeikh Moh.
[14]
pokok perdebatan dalam masalah ini adalah apakah hadits
yang berbunyi :
Apakah hadits itu menjadi penjelas dari mujmalnya al Quran
atau tidak ? bagi yang mengatakan tidak berarti tidak bisa
memasukkan telinga dalam fardhu wudhu karena akan ada itirodh
antara ayat dan hadits, bagi yang berpendapat hadits itu adalah
penjelas ayat tentang wudhu yang telah disebutkan diatas maka
bias menempatkan telinga sebagai salah satu fardhu wudhu, namun
kami tidak bisa mengambil keputusan-keputusan yang valid karena
dalam Bidayah al Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusydy, banyak
didapati pendapat-pendapat yang hanya sebuah tawil-tawil kepada
salah seorang imam empat madzhab.
Pada masalah tartib wudhu yang dinyatakan oleh Imam Syafii
wajib ada beberapa pendapat, diantaranya seperti yang dikatakan
oleh Imam Abu Hanifah, Malik, golongan ashhab Imam Malik yang
modern, ats Tsaury, dan Daud az Zhohiry. Sedangkan yang
sependapat dengan Imam Syafii adalah Imam Ahmad bin Hanbal
dan Abu Ubaid. Sebab perbedaan pendapat ini terpusat pada huruf
wau dalam ayat tentang wudhu apakah berfaidah tartib dan nasaq
( tersusun ) seperti yang dikatakan oleh ulama Kufah ataukah hanya
bersifat menjama saja, seperti yang diutarakan oleh ulama Bashrah
? inilah yang menjadi perbedaan pendapat antara alim ulama, maka
jikalau kita lebih condrong ke pendapat ulama Kufah maka tertib
adalah sebuah fardhu wudhu. Terlebih ada hadits nabi yang
berbunyi
jika kita tinjau hadits ini, kita dapat fahami bahwa muwalat
bukan termasuk salah satu fardhu wudhu.
BAB IV
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU
Diantara hal-hal yang dapat membatalkan wudhu ialah :
hilang akal, dan tidur termasuk dalam hal ini namun ada
pengecualian bagi tidur yang duburnya tidak terangkat artinya
keadaannya tetap. Dalam masalah ini ada delapan pendapat[16].
haidh, dengan redaksi hadits :
dan bisa difahami wudhu pun menjadi batal.
keluar madzi, dengan redaksi hadits :
bertemunya dua kulit laki-perempuan yang kedunya lain
mahrom dan keduanya sedah mukallaf, dalam hal ini ada beberapa
pendapat karena membicarakan hadits :
Imam Abu Ahnifah berpandapat mengecup indentik dengan
bersentuhannya kulit terledih bertemunya dua khitan ( kelamin )
dan dari hadits ini bias difahami bahwa bersentuhan kulit antara
perempuan tidak membatalkan wudhu, karena yang dimaksud
dalam ayat
adalah jima menurut Imam Abu Hanifah.
Menurut Imam Malik jika dengan syahwat batal dan jika tidak maka
tidak batal, ini seperti yang diutarakan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, menurut Imam Syafii bersentuhannya kulit laki-laki dan
perempuan baik dengan syahwat maupun tidak tetap mwmbatalkan
wudhu, karena beliau mengartikan
dalam ayat diatas muthlak
bersentuhan. keluar sesuatu dari salah satu dua jalan baik dalam
bentuk padat, gas, cair, menyentuh dzakar, walaupun ada hadits
yang menyatakan tidak apa-apa dalam arti tida perlu berwudhu,
tapi dating hadits selanjutnya yang menyatakan harus berwudhu,
hadits ini menasakh hadits yang sebelumnya, karena Ibnu Hajar al
Asqalani mempunyai karateristik penyusunan seperti demikian