You are on page 1of 13

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Ketorolac Dan Parecoxib Terhadap Ekspresi Sel T CD4+ Di
Jaringan Luka Pada Tikus Wistar
The Effect Of Ketorolac And Parecoxib To The CD4+ Gene Expression On
Wistars Rats Wound Tissue
Kurnia ji *, Dedy Fa chr ian** , W itjak sono ***
*RSUD Arifin Ahmad, Pekanbaru, Riau
**Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
***Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang.

ABSTRACT
Background: CD4+ T cells play a role in wound healing by producing cytokines and
growth factors. Postoperative pain can seriously affect the patient's recovery and
delay wound healing. Ketorolac and parecoxib are potent COX-1 and COX-2
inhibitors with different mechanism and potential.
Objective: To determine the differences in histological scores of CD4+ T cells in
wounded tissue around incision in Wistar rats receiving ketorolac vs parecoxib with
equal doses.
Methods : A laboratory experimental study with randomized post-test only design was
conducted on 20 male Wistar rats given 2 cm long incision. They were divided
randomly into two groups. Group 1 (K1) and Group 2 (K2) each get ketorolac and
parecoxib IM injection at a dose comparable to the human dose of 30 mg/6 hours and
40 mg/12 hours. The tissue surround the wound were taken on the third and fifth day
post treatment for immunohistochemical examination of CD4+ T cells. CD4+ T cells
scores were analyzed using One-way ANOVA followed by Post Hoc analysis.
Result: The mean histology score of CD4+ T cells was significantly higher in
parecoxib IM treated group than ketorolac IM on the third day (8,36 0,805 vs. 7,28
0,228; p=0,009) and fifth day (9,12 0,672 vs. 7,68 0,415; p=0.001 ) after
incision. There was no significant difference between CD4+ T cells score on third and
fifth day within the same group (p=0,288 and p=0,053, K1 and K2 group
respectively).
Conclusion: Histologic score of CD4+ T cells in tissue around the wound treated by
parecoxib IM was significantly higher than ketorolac IM treated group.
Keyword: CD4+ T cells expression, ketorolac, parecoxib
ABSTRAK
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014
Volume VI, Nomor
2, Tahunmasa
2014berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Terakreditasi
DIKTI dengan
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

101

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Latar Belakang: Sel T CD4+ berperan dalam penyembuhan luka karena memproduksi
sitokin dan faktor pertumbuhan. Nyeri pasca bedah dapat berpengaruh serius terhadap
pemulihan pasien dan penyembuhan luka yang tertunda. Ketorolac dan parecoxib secara
poten menghambat COX-1 dan COX-2 dengan potensi yang berbeda.
Tujuan: Mengetahui perbedaan skor histologi sel T CD4+ di jaringan sekitar luka insisi
pada tikus Wistar yang mendapatkan ketorolac dibandingkan parecoxib dengan dosis
sebanding.
Metode: Penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only
design dilakukan pada 20 ekor tikus wistar jantan yang diinsisi subkutan sepanjang 2 cm
pada punggungnya dan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan secara acak. Kelompok
1 (K1) dan Kelompok 2 (K2) masing-masing mendapatkan injeksi ketorolac dan
parecoxib IM dengan dosis yang sebanding dosis manusia 30 mg/6 jam dan 40 mg/12
jam. Potongan jaringan diambil pada hari ketiga dan kelima pasca perlakuan untuk
dilakukan pemeriksaan immunohistokimia sel T CD4+ . Data ekspresi sel T CD4+
dianalisis dengan uji beda One-way ANOVA dan dilanjutkan dengan analisis Post Hoc.
Hasil: Rerata skor histologi sel T CD4+ lebih tinggi pada kelompok yang mendapakan
injeksi parecoxib IM dibandingkan ketorolac IM baik pada hari ketiga (8,36 0,805 vs
7,28 0,228, p=0,009) ataupun hari kelima (9,12 0,672 vs 7,68 0,415; p=0,001)
pasca insisi. Skor tersebut tidak berbeda secara signifikan pada hari ketiga dan kelima
dalam satu kelompok yang sama (p=0,288 dan p=0,053 masing-masing pada K1 dan
K2).
Kesimpulan: Skor histologi sel T CD4+ di jaringan sekitar luka yang mendapatkan
injeksi parecoxib IM secara signifikan lebih tinggi dibandingkan injeksi ketorolac IM.
Kata kunci: Ekspresi sel T CD4+, ketorolac, parecoxib
PENDAHULUAN
Nyeri pasca bedah adalah nyeri
akut yang diawali oleh perlukaan/
kerusakan jaringan akibat tindakan
pembedahan.1
Mc
Guire
dkk
menjelaskan bahwa nyeri
yang
terkendali membuat respon berupa
perbaikan proses penyembuhan luka.2
Karena itu penanganan nyeri pasca
bedah merupakan masalah klinis yang
penting dan dapat berpengaruh serius

102

terhadap pemulihan pasien bedah.


Obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) merupakan obat analgetik
yang bekerja pada proses transduksi
dengan
menghambat
sintesis
prostaglandin melalui penghambatan
enzim
siklooksigenase
(COX).
Keuntungan pemberian OAINS untuk
analgesi adalah tidak adanya efek
depresi
respirasi
maupun
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kardiovaskular dan bersifat sinergis


dengan opioid, sehingga OAINS
menjadi obat terpilih untuk mengatasi
nyeri pasca operasi.3 Ketorolac dan
parecoxib merupakan OAINS yang
secara poten menghambat COX-1 dan
COX-2 dengan potensi yang berbeda.
COX-2 meningkat
pada daerah
inflamasi dan pada kondisi basal
seringkali tidak terdeteksi di jaringan
tersebut.3
Beberapa penelitian juga telah
dilakukan
untuk
membuktikan
penggunaan
OAINS
dalam
penyembuhan luka. Hawks dkk
melaporkan
bahwa
penggunaan
ketorolac selama satu minggu sebelum
operasi pada tikus menghasilkan
penurunan yang signifikan dalam
kekuatan putus luka.4
Eck dkk
menyatakan
bahwa
penggunaan
ketorolac pada periode segera pasca
operasi
tidak
mengakibatkan
peningkatan risiko komplikasi pada
model
tikus.5
Somprasong
dkk
mengatakan bahwa infiltrasi lokal
parecoxib
tidak
mengganggu
6
penyembuhan luka.
Penyembuhan luka merupakan
proses perbaikan struktur sel dan
jaringan yang kompleks dan dinamis.
Pembagian secara garis besar meliputi
fase
inflamasi,
proliferasi
dan
7,8
remodeling.
Perbaikan
proses
penyembuhan luka tersebut dapat
dilihat dari kandungan limfosit pada
akhir fase inflamasi. Limfosit T
merupakan komponen sel yang

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

berperan utama dalam sistim imun. Sel


ini berfungsi dalam pertahanan
terhadap infeksi melawan organisme
dan berperan dalam penyembuhan luka.
Limfosit T terbagi menjadi dua
populasi, yaitu sel T CD4+ dan sel
TCD8+. Sel T CD4+ berperan dalam
penyembuhan
luka
karena
memproduksi sitokin dan faktor
pertumbuhan. Isolasi limfosit T
terutama sel T CD4+ dari darah tepi
manusia
menghasilkan
dua
karakteristik faktor pertumbuhan yaitu
heparin binding epidermal groth factor
(HBEGF) dan basic fibroblast growth
factor (BFGF). Sel T CD4+ diketahui
dapat menginduksi dan mengatur
respon imun dengan memproduksi
sitokin seperti IL2, IPFNy, TNF dan
granulosit atau macrophage-colony
stimulating factor yang berperan dalam
proses perbaikan luka. Sel limfosit T
CD4+ merupakan up regulator proses
penyembuhan luka.7,9 Andri
S
menunjukan bahwa infiltrasi lokal
anestesi levobupivakain meningkatkan
skor histologi sel T CD4+ dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan
infiltrasi pada penyembuhan luka.10
Penulis
ingin
mengetahui
keadaan yang terjadi pada penggunaan
ketorolac atau parecoxib untuk nyeri
akut pasca bedah, terhadap perbaikan
proses penyembuhan luka khususnya
pada tahap inflamasi dengan melihat
skor histologi sel T CD4+.
METODE

103

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penelitian
ini
merupakan
penelitian eksperimental laboratorik
dengan desain randomized post test
only design dengan tujuan mencari
perbandingan pengaruh pemberian
ketorolac dan parecoxib intramuskular
terhadap ekspresi sel T CD4+ di
jaringan luka insisi. Sampel penelitian
ini adalah 20 ekor tikus wistar jantan,
sehat dan tidak tampak cacat secara
anatomi. Penentuan besar sampel
menurut rumus WHO yaitu 5 ekor tiap
kelompok.
Setelah diadaptasi selama tujuh
hari, semua tikus diinsisi pada
punggungnya sepanjang 2 cm dengan
kedalaman subkutis. Sebelum diinsisi,
punggung tikus didesinfeksi dengan
betadine kemudian luka ditutup dengan
lima
jahitan
tunggal
sederhana
menggunakan benang side. Selanjutnya
jahitan dibersihkan, diolesi betadin dan
dirawat. Pasca pembedahan juga
diberikan penisilin oil 15 mg. 20 tikus
wistar tersebut secara acak dibagi
menjadi dua kelompok perlakuan
dengan 10 ekor tikus wistar setiap
kelompoknya. Kelompok perlakuan 1
(K1) mendapatkan injeksi ketorolac
intramuskular yang sebanding dengan
dosis manusia 30 mg tiap 6 jam
sementara kelompok perlakuan 2 (K2)
mendapatkan
injeksi
parecoxib
intramuskular yang sebanding dengan
dosis manusia 40 mg tiap 12 jam.
Pada hari ke-3 dam ke-5 pasca
perlakuan, dilakukan pembiusan, lalu 5
ekor tikus dari tiap kelompok dilakukan
104

eksisi dan biopsi kira-kira 0,5 cm


persegi melintasi garis irisan pada
bagian tengah dan tepi. Jaringan biopsi
diproses menjadi preparat histologik
setelah dibuat dengan blok parafin.
Pemeriksaan
imunohistokimia
dimaksudkan
untuk
menentukan
+
ekspresi sel T CD4 . Ekspresi area
dilakukan
lewat
pemeriksaan
imunohistokimia dengan pewarnaan
metode
streptavidin-biotin
pada
jaringan sekitar luka yang dapat dilihat
pada mikroskop cahaya. Dipilih
lapangan pandang yang paling banyak
area positifnya dengan pembesaran
1000 kali, selanjutnya dihitung jumlah
area positif pada lima lapangan
pandang searah jarum jam. Tingkat
ekspresi ditentukan secara kuantitatif
sebagai nilai rata-rata pengamatan.
Analisis dan dokumentasi hasil
pengamatan
diinterpretasikan
berdasarkan perbedaan warna spesimen
perlakuan. Proses pemeliharaan hewan
coba, perlakuan, eksisi-biopsi dan
pemeriksaan
immunohistokimia
dilakukan di Laboratorium Biologi dan
Patologi Anatomi FK Unissula.
Data dikumpulkan dan diolah
dengan menggunakan program SPSS
for windows. Analisa data meliputi
analisa deskriptif dalam bentuk rerata,
standar deviation dan grafik. Normal
tidaknya distribusi data diuji dengan uji
Shapiro-Wilk
(untuk sampel kecil
50). Jika distribusi data normal, uji
beda skor histologi sel T CD4+ antar
kelompok
dilakukan
dengan
menggunakan uji Oneway ANOVA dan
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilanjutkan analisis Post Hoc. Uji


Kruskal-Wallis akan dilakukan jika
distribusinya tidak normal. Batas
derajat kemaknaan yang digunakan
adalah
p<0,05
dengan
interval
kepercayaan 95%. Data disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik.
Penelitian ini telah mendapat
persetujuan dari Komisi Bioetika
Penelitian Kedokteran/Kesehatan FK
Unissula, Ethical Clearance No. 133/
V/2014/Komisi
Bioetik
sebelum
penelitian dilakukan.
HASIL
Dengan
menggunakan
mikroskop cahaya, intensitas warna
area sel T CD4+ dapat diketahui sebagai
penilaian kuantitatif. Nilai intensitas
warna dikelompokkan sebagai berikut :
Intensitas kuat 45-85, lemah 86-125,
sedang 126-165, negatif 166-206.
Masing-masing sediaan dilihat 5
lapangan pandang, dan setiap lapangan
pandang akan dihitung sebagai ekspresi
skor histologi untuk menentukan nilai
ekspresi sel T CD4+ secara kuantitatif.

Sistem perhitungan dengan


penentuan skor histologi adalah:
presentasi luas area sel T CD4+, jika
tidak terdapat presentasi diberi nilai 0,
< 1 % diberi nilai 1, 1 10%, diberi
nilai 2, 11 33% diberi nilai 3, 34 66
% diberi nilai 4, 67 100% diberi nilai
5. Intensitas ekspresi sel T CD4+ dinilai
dengan 0 = negatif, 1= positif lemah,
2= positif sedang, 3= positif kuat.
Nilai skor histologi tampilan sel
T CD4 ditentukan dengan rumus skor
histologi : ( IK x PK ) + ( IS x PS ) +
( IL x PL ) + ( IN x PN )11 Dengan : P=
prosentase, I= intensitas, K= intensitas
positif kuat, L= intensitas positif lemah,
S= intensitas positif sedang, N=
intensitas negatif.
+

Skor histologis tampilan sel T


CD4 dari kelima lapangan pandang
diambil reratanya untuk menentukan
ekspresi secara kuantitatif dari sediaan.
Hasilnya adalah sesuai tabel 1.
+

Sebelum menilai hubungan


antar variabel,
uji homogenitas
dilakukan terlebih dahulu untuk
mengetahui apakah data parameter

Tabel 1. Hasil pengamatan rerata SD (median) skor histologi sel T CD4+


Variabel
Perlakuan 1 (K1)

Skor Histologi
Hari ke- 3

Hari ke- 5

7,28 0,228 (7,2)

7,68 0,415

Perlakuan 2 (K2)
8,36 0,805 (8,4)
Keterangan : dalam satuan skor histologi

(7,8)
9,12 0,672
(9,0)

Sumber : data primer 2014

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

105

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 2. Hasil uji homogenitas varian berat badan hewan coba (mg)
Kelompok

Mean SD

K1

270,3 10,34

0,238*

K2

271,7 8,85

Data dinyatakan dalam rerata simpang baku


*uji homogenitas variansi
Sumber : data primer 2014

Tabel 3. Uji normalitas data skor histologi sel T CD4+


Shapiro Wilk

Kelompok

Test of

Statistik

df

sig

Perlakuan 1 (K1)

0,961

0,814*

Perlakuan 2 (K2)

0,842

0,171*

homogenity

Histologi hari ke- 3

Histologi hari ke- 5

p=0,103**

Perlakuan 1 (K1)

0,952

0,750*

Perlakuan 2 (K2)

0,942

0,677*

Keterangan: *Saphiro Wilk test


**Test of homogenity of variances
Sumber : data primer 2014

106

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Uji normlitas data ekspresi sel T CD4+

memiliki skor histologi sel T CD4+ di

menunjukkan nilai p>0,05 pada semua

hari ke-3 dan hari ke-5 yang juga tidak

kelompok

yang

berbeda

data

(p=0,053; p<0,05).

perlakuan

menunjukkan

bahwa

semua

bermakna

secara

statistik

Sedangkan bila

dibandingkan skor histologi sel T CD4+

tersebut berdistribusi normal.


Uji homogenitas varian data

antara kelompok K1 dan kelompok K2

sel T CD4+ menunjukkan signifikansi

pada hari ke-3 terdapat perbedaan

p=0,103. Oleh karena p>0,05, maka

bermakna (p=0,009; p<0,05), begitu

dapat disimpulkan bahwa data berasal

juga pada hari ke-5 terdapat perbedaan

dari kelompok-kelompok yang homo-

bermakna (p=0,001; p<0,05).


Uji One-way ANOVA menun-

gen.
Data hasil penelitian merupakan

jukkan nilai p=0,001 (p<0,05) yang

data numerik dengan lebih dari 2

artinya terdapat perbedaan ekspresi sel

kelompok

berpasangan,

T CD4+ yang bermakna setidaknya pa-

berdistribusi normal dan homogen,

da dua kelompok. Untuk mengetahui

sehingga dilakukan uji

pada kelompok mana saja perbedaan

One-way

tidak

ANOVA.

beda dengan
Tabel

diatas

menunjukkan skor histologi sel T CD4+

tersebut bermakna, dilakukan analisis


Post Hoc yang ditunjukkan tabel 5.

antara kelompok yang diberi ketorolac


berbeda bermakna (p=0,288; p<0,05).

PEMBAHASAN
Penanganan nyeri pasca bedah

Kelompok yang diberi parecoxib (K2)

yang terkendali membuat respon berupa

(K1) hari ke-3 dan hari ke-5 tidak

Tabel 4. Hasil uji beda One-way ANOVA kelompok K1 dan K2 terhadap skor histologi sel T CD4+
Kelompok

Mean SD

K1H3

7,28 0,228

K1H5

7,68 0,415

K2H3

8,36 0,805

K2H5

9,12 0,672

0,001*

*One-way ANOVA
Sumber : data primer 2014

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

107

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Tabel 5. Hasil analisis Post Hoc kelompok K1 dan K2 terhadap skor histologi sel T CD4+
P

Kelompok

K1H3

K1H5

K2H3

K2H5

K1H3

0,288

0,009*

0,000*

K1H5

0,288

0,080

0,001*

K2H3

0,009*

0,080

0,053

K2H5

0,000*

0,001*

0,053

p<0,05
*Analisis Post Hoc,
Sumber : data primer 2014

perbaikan proses penyembuhan luka.2

infiltrasi,

Perbaikan proses penyembuhan luka

berasosiasi

dapat dilihat dari kandungan limfosit

sehingga

pada akhir fase inflamasi. Limfosit T

nyeri

merupakan

penyembuhan luka.12

komponen

sel

yang

berperan utama dalam sistim imun.

dimana

MHC

dengan

sel

disimpulkan
akut

akan

Penelitian

kelas
T

CD8+,

pengendalian
memperbaiki

ini

menunjukkan

dua

hubungan ekspresi sel T CD4+ di

populasi, yaitu sel T CD4+ dan sel T

sekitar luka insisi setelah pemberian

CD8+. Sel T CD4+ berperan dalam

analgetik OAINS yaitu, ketorolac dan

penyembuhan

karena

parecoxib dengan dosis sebanding.

dan

faktor

Aktifitas antiinflamasi dari OAINS

2005

terutama diperantarai melalui hambatan

lokal

biosintesis

Limfosit

terbagi

luka

memproduksi

sitokin

pertumbuhan.7
menunjukan

menjadi

Andri
bahwa

infiltrasi

prostaglandin.

anestesi levobupivakain meningkatkan

obat

skor histologi sel T CD4+ dibandingkan

siklooksigenase

dengan

asam

yang

tidak

mendapatkan

ini

Golongan

menghambat
sehingga

arakhidonat

menjadi

enzim
konversi
PGG2

infiltrasi pada penyembuhan luka.10

terganggu. Setiap OAINS menghambat

Aria DP 2010 menyatakan ekspresi

siklooksigenase dengan kekuatan dan

MHC kelas I (skor MHC kelas I) pada

selektifitas

kelompok

infiltrasi

siklooksigenase terdapat dalam dua

rendah

isoform yaitu COX-1 dan COX-2.

dibandingkan dengan kelompok tanpa

Secara garis besar COX-1 penting

levobupivakain

108

dengan
lebih

yang

berbeda.13

Enzim

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dalam pemeliharaan fungsi normal dari

infark

jaringan ginjal,

kardiovaskuler

saluran cerna dan

trombosit. Sedangkan COX-2 diinduksi


dan

merupakan

endotoksin.

yang

seperti

kejadian
stroke

dan

Beta

2013

melaporkan

efektifitas penggunaan ketorolac dan

secara

parecoxib

kedua

menekan respon stress akibat luka

isoenzim siklooksigenase, sedangkan

insisi, yang ditunjukkan dengan lebih

parecoxib merupakan inhibitor COX-2

rendahnya

spesifik.14,15

kelompok

kompetitif

OAINS

Ketorolac

dan

tromboemboli.16

oleh adanya stimulus inflamasi yaitu


sitokin

miokard

menghambat

sebagai

analgetik

kadar

untuk

kortisol

perlakuan

plasma
dibanding

Terdapat tiga prinsip yang pent-

kelompok kontrol dan efektifitas anti

untuk

pada

nyeri yang sebanding antar kedua

penggunaan OAINS pada penanganan

OAINS tersebut, dimana kadar kortisol

nyeri perioperatif, yaitu dosis, waktu

kedua

pemberian dan efek samping. OAINS

bermakna.17 Penggunaan OAINS juga

adalah obat yang mempunyai efek ceil-

bermanfaat

ing,

akut

efektifitas penggunaan opioid dengan

penggunaan OAINS diharapkan sesuai

mengurangi kebutuhan opioid, kontrol

dosis maksimal dengan rentang klinis

nyeri yang lebih baik dan mengurangi

yang tetap aman pada pasien secara in-

efek

dividual. Waktu pemberian dan toksisi-

opioid.18

ing

diperhatikan

sehingga

pada

nyeri

kelompok

tidak

untuk

merugikan

berbeda

meningkatkan

akibat

pemakaian

tas obat perlu diperhatikan berdasarkan

Data rerata berat badan tikus

laporan tinjauan farmakokinetik, farma-

antara kelompok yang diberikan injeksi

kodinamik dan farmakoterapi. Toksisi-

ketorolac

tas ketorolac dibandingkan parecoxib

penelitian ini secara umum hampir

pada penggunaan klinis telah ditunjuk-

sama karakteristiknya dimana pada uji

kan oleh penelitian efek samping sela-

homogenitas pada kedua kelompok

ma ini. Aktifitas inhibisi fungsi trom-

didapatkan p=0,238 (p<0,05). Hal ini

bosit, penurunan fungsi ginjal dan uls-

berarti meskipun ada perbedaan berat

erasi gaster sering dihubungkan dengan

badan tikus pada kedua kelompok

penggunaan

tetapi tidak bermakna atau dikatakan

ketorolac.

Sedangkan

parecoxib dihubungkan dengan risiko


Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

homogen

maupun

sehingga

parecoxib

layak

pada

untuk
109

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dibandingkan.

Adaptasi

selama

yang diharapkan penyembuhan luka

seminggu dengan memberikan makan

yang

dan minum standar yang sama serta

primer

asal

intentionem.19

tikus

dari

satu

keturunan

terjadi

adalah

penyembuhan

atau

sanatio

per

Ekspresi sel T CD4+ pada ke-

menyebabkan berat badan tikus pada


kedua kelompok secara umum hampir

lompok

yang

sama.

secara

bermakna

Respon inflamasi akibat insisi

primam

diberikan

parecoxib

lebih

tinggi

dibandingkan dengan yang diberikan

khususnya berupa pelepasan sel lim-

ketorolac

fosit T CD4+ pada jaringan sekitar luka

(p=0,009; p<0,05) maupun hari kelima

setelah pemberian OAINS dengan po-

(p=0,001;

tensi yang berbeda yaitu ketorolac dan

masing kelompok perlakuan, perbedaan

parecoxib dosis sebanding kemudian

ekspresi sel T CD4+ pada ketiga dan

dilakukan pemeriksaan pada hari ketiga

kelima tidak bermakna secara statistik

dan kelima. Pada hari kelima, akhir fase

meskipun terjadi peningkatan ekspresi

inflamasi, jumlah sel T CD4+ mengala-

sel T CD4+ pada hari kelima (p=0,288

mi peningkatan yang bermakna. Pada

dan p=0,053, masing-masing untuk K1

penelitian ini dilakukan juga pemerik-

dan K2). Hal ini sesuai dengan fase

saan pada hari ketiga untuk mengetahui

penyembuhan luka dimana sel T CD4+

peningkatan tersebut. Jaringan luka dil-

akan meningkat secara bermakna pada

akukan

hari kelima.20

dengan

membuat

irisan

baik

pada

p<0,05).

hari

Pada

ketiga
masing-

Berdasarkan fase penyembuhan

sepanjang 2 cm dan kedalaman sampai


subkutan pada punggung tikus setelah

luka

sebelumnya dibersihkan bulunya dan

adalah sel pertama yang menuju ke

didesinfeksi dengan betadine, kemudian

tempat

luka

meningkat

ditutup

tunggal

dengan

sederhana

lima

jahitan

menggunakan

sel

polimorfonuklear

terjadinya
cepat

(PMN)

luka.

Jumlahnya

dan

mencapai

puncaknya pada 24 48 jam. Fungsi

benang side. Sehingga luka yang dibuat

utamanya

disini tergolong luka bersih karena luka

bakteri yang masuk. Bila pada jaringan

tersebut tidak terinfeksi akibat prosedur

luka tidak terjadi infeksi, sel-sel PMN

antisepsis,

berumur

penggunaan

antibiotik

topikal dan ditautkan dengan jahitan


110

adalah

pendek

memfagositosis

dan

jumlahnya

menurun dengan cepat setelah hari


Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ketiga. Elemen imun seluler yang

arthritis

berikutnya adalah makrofag. Sel ini

OAINS dengan aktifitas anti COX2

turunan dari monosit yang bersirkulasi,

selektif.21

terbentuk karena proses kemotaksis dan

menyatakan

migrasi. Makrofag muncul pertama 48

ketorolac selama satu minggu sebelum

96 jam setelah terjadi luka dan

operasi

mencapai puncak pada hari ketiga.

penurunan

Makrofag

kekuatan putus luka.4

berumur

lebih

panjang

yang

mendapatkan

Penelitian
bahwa

pada

tikus

yang

terapi

lain

juga

penggunaan
menghasilkan

signifikan

dalam

dibanding dengan sel PMN dan tetap

Pada dasarnya, proses inflamasi

ada di dalam luka sampai proses

merupakan respon fisiologis sebagai

penyembuhan

sempurna.

mekanisme pertahanan tubuh yang ber-

muncul

tujuan untuk membersihkan atau mem-

limfosit T (sel T CD4+ ) dengan jumlah

buang penyebab cedera (seperti toksin

bermakna

atau mikroba) serta penyembuhan luka

Sesudah

berjalan

makrofag
pada

akan

hari

kelima

dan

mencapai puncak pada hari ketujuh.7,20

yang membutuhkan komponen seluler

Dari gambaran secara deskriptif,

untuk membersihkan debris di lokasi

hasil skor histologi sel T CD4+ antara

cedera serta meningkatkan perbaikan

kelompok

tinggi

jaringan. Namun aktifitas sitokin proin-

dibanding kelompok ketorolac pada

flamasi yang berlebih dapat mengaki-

hari ketiga dan kelima. Perbedaan

batkan gangguan metabolisme berat,

tersebut bermakna secara statistik. Hal

stabilitas

ini

aktifitas antiinflamasi yang berlebih

parecoxib

sesuai

dengan

lebih

hipotesis

yang
+

hemodinamik

dan

jika

diharapkan bahwa ekspresi sel T CD4

juga

sebagai salah satu sitokin antiinflamasi

imunocompremised serta kerentanan

akan lebih meningkat pada kelompok

terhadap infeksi.22

parecoxib

dibanding

ketorolac.

Respon

dapat

menyebabkan

kondisi

kelompok

Pada hewan percobaan yang

antiinflamasi

dilakukan deplesi limfosit T, terjadi

parecoxib secara teori lebih tinggi

penghambatan

dibandingkan

ketorolac

luka. Limfosit CD4+ (sel Thelper) dan

berhubungan dengan aktifitas COX1

CD8+ (sel Tsitotoksik), pembagian

dan COX2. Hal ini dilaporkan pada

fungsinya mengikuti aturan dari kese-

kasus osteoarthritis dan rheumatoid

imbangan respon imun. Terbukti hub-

dengan

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

proses

penyembuhan

111

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ungan

yang

relevan

pada

proses

Namun kondisi ini kurang dapat meng-

penyembuhan luka hewan percobaan,

gambarkan

bahwa limfosit CD8+ menghambat

flamasi di jaringan yang memang san-

penyembuhan luka dan limfosit CD4+

gat komplek dan dipengaruhi oleh

mendorong penyembuhan luka dalam

berbagai faktor seperti neuroendokrin,

model penyembuhan tikus in vitro.

metabolik dan imunologi. Oleh sebab

Dukungan terhadap percobaan ini beru-

itu, perlu dilakukan penelitian lebih

pa penelitian pada manusia selama satu

lanjut

minggu

bila

inflamasi di jaringan yang berhubungan

ditemukan peningkatan level sel-sel

dengan proses perbaikan jaringan luka

CD4+ dibandingkan dengan kenaikan

berkaitan dengan faktor-faktor tersebut.

setelah

pembedahan,

keseluruhan

untuk

proses

melihat

in-

fenomena

jumlah sel-sel CD8+, akan terjadi


dengan

segera

penutupan

luka.20

Penelitian lain menunjukan deplesi lim-

SIMPULAN
Skor histologi ekspresi sel T

fosit CD4+ memperlihatkan penurunan

CD4+ di jaringan sekitar luka insisi

yang signifikan terhadap kekuatan,

pada tikus wistar yang mendapatkan

kekenyalan dan kekerasan jaringan lu-

parecoxib lebih tinggi dibandingkan

ka. Sedangkan deplesi limfosit CD8+

dengan tikus wistar yang mendapatkan

memperlihatkan kenaikan yang signif-

ketorolac

ikan terhadap kekuatan, kekenyalan dan

dosis sebanding. Parecoxib maupun

kekerasan jaringan luka. Dapat disim-

ketorolac dapat

pulkan bahwa deplesi limfosit T pada

analgesi

penyembuhan luka pada subset terdapat

mengurangi proses inflamasi pasca

pengaturan yang berlawanan,

operasi.

yaitu

sebagai analgetik dengan


digunakan

perioperatif
Perlu

sebagai

dan

dilakukan

dapat

penelitian

CD8+ merupakan downregulator of

dengan jangka waktu yang lebih lama

wound healing sedangkan CD4+ meru-

untuk melihat efek pemberian analgetik

pakan upregulator of wound healing.22

pada

Pada penelitian ini pemberian

penyembuhan

makroskopis dan

luka

secara

kaitannya dengan

parecoxib memang dapat meningkatkan

aktivitas imunologis di tingkat jaringan.

ekspresi sel T CD4+ di jaringan luka

DAFTAR PUSTAKA

dibandingkan pemberian ketorolac pada hewan coba yang dilakukan insisi.


112

1. Wu CL, Raja SN. Treatment of acute


postoperative pain. Lancet. 2011; 377:2215

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia


-8.
2. McGuire L, Heffner K. Pain and wound
healing in surgical patients. Ann Behav
Med. 2006; 31 (2):165-8.
3. Stoelting RK. Cyclooxygenase-2 inhibitors
and
nonspecific
nonsteroidal
antiinflamantory drug. In : Stoelting RK,
Hiller SC. Pharmacology and physiology in
anesthetic practice. 4th ed. Philladelphia:
Lippincot Williams & Willkins, 2006 ; 275
-88.
4. Haws MJ et al. The effect of chronic
ketorolac tromethamine (toradol) on wound
healing. Ann Plast Surg. 1996; 37 (2) :14751.
5. Eck JS, Gomez BA, Yaszemski MJ. The
effect of postoperative ketorolac on wound
healing rat model. Orthopedics. 2009;32
(11) : 827.
6. Somprasong C, Lertakyarnanee N. The
effect of local infiltration of NSAIDs on
surgical wound healing in rats. Thai Journal
of Surgery. 2005;26: 65-68.
7. Monaco JL, Lawrence WT. Acute wound
healing. Clin Plastic Surg. 2003; 30:1-12.
8. Upton D, Soloweij K. Pain and stress as
contributors to delayed wound healing.
Wound Practice and Research. 2010; 18
(3):114-7.
9. Oberyszyn TM. Inflammation and wound
healing. Departement of Pathology, The
Ohio State University. 2007; 2289 : 2993-9.
10. Setiabudi A. Perbandingan ekspresi sel T
CD4+ di sekitar luka dengan dan tanpa
infiltrasi levobupivakain pada nyeri pasca
insisi [tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro 2005: 55.
11. Leake R, Barnes D, Pinder S. Immunohistochemical detection of steroid receptors
in breast cancer : a working protocol. J Clin
Pathol. 2000;53:634-5.
12. Primatika AD, Budiono U, Leksana E.
Pengaruh infiltrasi levobuipakain pada skor
histologist MHC kelas I pada penyembuhan
luka. Jurnal Anestesiologi Indonesia.
2010;2(2):81-90.

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

13. Munir MA, Enany N, Zhang JM.


Nonopioid analgesics. Anesthesiology
Clinics. 2007; 25 : 761-774.
14. Warden SJ. Cyclo-oxygenase-2 inhibitors.
Sports Med. 2005; 35(9):271-283.
15. Rajakariar R, Yaqoob MM, Gilroy DW.
COX-2 in inflammation and resolution.
Centre for Clinical Pharmacology and
Therapeutics University College London.
2006 [cited 2013 Jun 7]; 6 (4) : 199-207.
Available
from
:
http://
discovery.ucl.ac.uk/162882.
16. Ashburn MA, Ballantyne JC. Optimal postoperative analgesia In: Fleisher LA,editor.
Evidence based practice of anesthesiology
2ed. Philadelpia: Elseviers Saunders. 2009;
485-500.
17. Raditya B. Pengaruh ketorolac dan
parecoxib terhadap kortisol serta kuantitas
neutrofil jaringan pada tikus wistar [tesis].
Semarang: Universitas Diponegoro; 2013:
31.
18. Ng A, Smith G, Davidson AC. Analgesic
effects of parecoxib following total abdominal hysterectomy. British Journal of
Anaesthesia. 2003;90(6):746-9.
19. Lorenz HP, Longnaker MT. Wounds: Biology, Pathology and Management. In : Norton JA, editor. Surgery: Basic science and
clinical evidence. NewYork; Springers.2010:221-36.
20. Mast AB. Normal wound healing. In :
Achauer BM, Erikson E, eds. Plastic
surgery, indication, operation and outcome.
Mosby Inc, 2000;37-40.
21. Lelo A, Hidayat DS, Juli S. Penggunaan
anti-inflamasi non steroid yang rasional
pada penanggulangan nyeri rematik.
Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK
USU 2004 [cited 2013 Mei 15]: 1-2.
Available from : e-USU repository.
22. Rumalla V, Lowry SF. Counterregulation
of Severe Inflammation. In: Baue AE, Faist
E, editor. Multiple Organ Failure. New
York; Springers. 2010:155-60.

113

You might also like