Professional Documents
Culture Documents
AKALASIA
Membedakan Primer dan Sekunder
Oleh :
dr. Ana Basirotul Alawiyah
Pembimbing :
dr. Bambang Purwanto Utomo, Sp Rad
DAFTAR ISI
Halaman Judul
.....................................................................................
Halaman Persetujuan .......................................................................................
Daftar Isi
..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
A. Definisi
.....................................................................................
B. Epidemiologi ................................................................................
C. Anatomi Esofagus .........................................................................
D. Patofisiologi .....................................................................................
1. Adanya kemampuan inervasi kolinergik ............................
2. Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat) ........................
E. Etiopatogenesis
..........................................................................
1. Akalasia Primer
...............................................................
a. Teori genetika
......................................................
b. Teori hipotesis viral ....................................................
c. Teori hipotesis autoimun ...........................................
d. Teori hipotesis neurodegenerasi ..............................
2. Akalasia Sekunder / pseudoakalasia ......................................
F. Gejala Klinis ....................................................................................
G. Diagnosis .......................................................................................
1. Endoskopi gastrointestinal ......................................................
2. Pemeriksaan dada x-ray ........................................................
3. Barium esofagogram dan timed barium esophagogram (TBE) ..
4. Pemeriksaan CT scan ........................................................
5. Pemeriksaan sonografi ........................................................
6. Manometri esophagus .......................................................
H. Penatalaksanaan.............................................................................
I. Diagnosis Banding ...........................................................................
1. Diffuse esophageal spasme (DES) ..........................................
2. Proses keganasan ..................................................................
3. Penyakit chagas ...................................................................
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................... .........
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................
DAFTAR GAMBAR DAN LAMPIRAN .......................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
i
ii
iii
1
3
3
3
3
5
5
6
7
7
7
8
8
9
10
11
12
12
13
13
17
18
18
20
21
21
21
23
24
28
29
35
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus akalasia pertama kali dilaporkan oleh Sir Thomas Willis di tahun 1674.
Selanjunya Von Mikulicz pada tahun 1882 dan Einhorn pada tahun 1888 memberikan
hipotesis bahwa akalasia disebabkan karena tidak adanya pembukaan pada cardia
atau "cardiospasm." Selama tiga abad terakhir, diketahui patofisiologi akalasia
merupakan gangguan motilitas yang berasal dari defek dalam sistem saraf enterik.
Gangguan ini merupakan gangguan motorik gastrointestinal.1
Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang tidak diketahui
penyebabnya dan ditandai dengan adanya aperistalsis di badan esofagus dan
lemahnya relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. Akalasia terjadi di segala usia
dengan gejala terutama sulit menelan makanan padat / cair dan adanya regurgitasi.
Diagnosis disarankan dengan barium esofagogram dan dikonfirmasi oleh manometri
esofagus. Akalasia tidak bisa disembuhkan. Tujuan pengobatan akalasia adalah
mengurangi
gejala,
meningkatkan
pengosongan
esofagus
dan
mencegah
perkembangan megaesofagus.1
Terapi yang paling sukses adalah pelebaran pneumatik dan bedah myotomi.
Tingkat keberhasilan secara keseluruhan dengan pelebaran pneumatik adalah 78% 87 %.1
Alasan penulisan referat ini adalah Penulis sering menemukan kasus dengan
curiga akalasia selama stase GI, dan Penulis masih kesulitan membedakan apakah
akalasia tersebut primer atau sekunder berdasarkan pemeriksaan radiologi. Tujuan
2
penulisan referet ini adalah mengetahui gambaran akalasia dan membedakan antara
akalasia primer dan sekunder berdasarkan pemeriksaan radiologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah achalasia dalam bahasa Yunani berarti lack of relaxation, pertama
kali di kenalkan oleh Arthur Hurst di awal tahun 1927. Akalasia didefinisikan sebagai
gangguan motilitas esofagus ditandai dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis
esofagus dan relaksasi yang inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower
esophageal
sphincter/LES)
yang
disebabkan
karena
kerusakan
pleksus
myenterikus.2,3
B. Epidemiologi
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi akalasia sekitar 110:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada
predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari
lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun. Pada anak
biasanya akalasia merupakan bagian dari sindrom triple A. Menurut spesialis
esofagus (gastroenterologist dan ahli bedah gastroenterologi) di USA, ditemukan
lebih kurang 10 kasus akalasia dalam setahun.1,4
C. Esofagus
Esofagus manusia dewasa merupakan tabung muskuler panjang sekitar 25 cm
yang terdiri atas bagian servikal, torakal, dan abdominal. Dinding esofagus terdiri
dari otot lurik di bagian atas, otot polos di bagian bawah, dan campuran keduanya
dibagian tengah. Lapisan otot (muskulus propria) terdiri dari lapisan internal berupa
serat sirkuler dan lapisan luar berupa serat longitudinal (gambar 1 dan 2). Terdapat
4
lapisan otot kurang prominen yang mempunyai arah longitudinal terdapat diantara
mukosa dan muskulus propria disebut muskulus mukosa.6 (Gambar 3)
Spingter esofagus (LES) merupakan zona tekanan tinggi yang terletak di
bagian esofagus yang menyatu dengan perut. LES adalah spingter fungsional terdiri
dari komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari otot
diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik esofagus
didominasi saraf vagus.6 (gambar 4)
Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi oleh preganglionik, serat
kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal Motorik Neuron/DMN) di
batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus (Auerbach). Ganglia pleksus
myenterikus terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkuler dan neuron
postganglion menginervasi dinding esofagus dan LES. Rangsangan neuron
postganglion melepaskan asetilkolin sedangkan neuron inhibisi postganglion
melepaskan oksida nitrat (NO) dan polipeptida vasoaktif intestinal (VIP). Dalam
kondisi istirahat (diantara menelan) LES dalam keadaan kontraksi tonik. Menelan
berkaitan dengan aktivasi refleks telan paksa. Setelah diaktifkan oleh refleks ini,
pusat neuron telan mengirim debit bermotif inhibisi dan dan eksitasi ke inti motor
dari saraf kranial. Pertama jalur inhibisi neuron diaktifkan dan mengakibatkan
penghambatan semua kegiatan yang sedang berlangsung di esofagus dan relaksasi
LES. Peristaltik merupakan hasil dari relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang
dimediasi oleh neuron pleksus myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang
esophagus.6 (Gambar 5)
5
D. Patofisiologi
Selama 75 tahun terakhir, penelitian terhadap patologi akalasia menunjukkan
adanya penurunan neuron pleksus myenterikus. Ilustrasi ini berdasarkan penelitian
oleh Goldblum pada 42 pasien akalasia yang menjalani esofagectomy, 64% tidak
didapatkan sel ganglion myenterikus dan 36 % terjadi penurunan sel ganglion
myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya dominasi
infiltrasi inflamasi sel T di pleksus myenterikus dan fibrosis. Penelitian terbaru
terhadap pasien akalasia yang diobati di stadium awal menunjukkan adanya sel
ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel berkurang. Pasien pada stadium awal
tersebut memiliki lama gejala yang lebih singkat dan tidak terjadi pelebaran
diesofagusnya. Terdapat anggapan bahwa peradangan di myenterikus merupakan fase
awal akalasia sehingga menyebabkan aganglionosis dan fibrosis. 1,7 Beberapa
hipotesis teori terjadinya akalasia antara lain:
1. Adanya kemampuan inervasi kolinergik
Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan kontraksi otot lurik
pada pasien akalasia merupakan kombinasi antara inhibitor acetylcholinesterase,
serine, agonis ganglionik dan nikotin. Aktivitas acetylcholinesterase di sel ganglion
LES
dengan akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan pada kelompok
kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan setelah pemberian atropin secara
signifikan lebih tinggi pada pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan dengan subyek
normal (5 mmHg).1,5,7
2. Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat)
Pada akalasia terjadi hilangnya neuron di persarafan kolinergik esofagus saat
eksitasi dan neuron tersebut selektif pada neuron penghambat. Pada pasien akalasia,
cholecystokinin menginduksi kontraksi LES dan sebaliknya menginduksi relaksasi
LES pada subyek sehat, sehingga membuktikan adanya gangguan saraf penghambat
postganglionik1.
Bukti yang mendukung konsep hilangnya neuron inhibitor berasal dari
penelitian secara imunohistokimia dan fisiologis. Penelitian awal menyatakan adanya
defek adrenergik saraf inhibitor esofagus pada pasien akalasia. Vasoaktif Intestinal
Polipeptida (VIP) juga dianggap sebagai inhibitor neurotransmitter esofagus, dan
penurunan neuron yang mengandung VIP terdapat pada pasien akalasia. Penelitian
lain menunjukkan tidak adanya nitric oxide synthase pada neuron di spesimen LES
pada pasien akalasia. Penelitian tersebut menunjukkan inhibitor nitrat oksida sintase
meningkatkan fase istirahat LES dan hampir meniadakan relaksasi LES. Di esofagus
inhibitor nitrat oksida sintase menyebabkan kontraksi di badan esofagus secara
simultan. Sehingga terdapat pendapat akalasia merupakan gabungan dari hilangnya
inhibitor selektif dan adanya fungsi saraf kolinergik enteric.1,5,7 (Gambar 6)
Penelitian patologis dari spesimen hasil reseksi esofagus pasien akalasia
stadium akhir menunjukkan adanya aganglionosis merupakan hasil akhir dari
inflamasi myentericus pada sebagian besar pasien akalasia. Hal ini mendukung bahwa
7
akalasia disebabkan oleh karena adanya eksitasi saraf kolinergik dan tidaka adanya
inhibitor nitrat oksida (Gambar). Dalam keadaan seperti itu, obstruksi fungsional
gastroesophageal junction disebabkan oleh sisa myogenik LES. Tidak adanya
aktivitas peristaltik esofagus merupakan hasil dari tidak adanya persarafan neural
enteric.1,3,7
E. Etiopatogenesis
Cacat neurologis utama yang bertanggung jawab terjadinya akalasia primer
tidak diketahui. Namun, temuan patologis yang paling konsisten adalah penurunan
atau tidak adanya degenerasi dari sel-sel ganglion dalam pleksus myentericus
(Auerbach) di LES. Hal ini menyebabkan tidak adanya inhibitor persarafan yang
normal di LES. Akalasia sekunder atau pseudoakalasia memiliki banyak etiologi,
tetapi paling sering disebabkan oleh karena keganasan2.
1. Akalasia primer
Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis
menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan
neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya
ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan bahwa
teori teori tersebut terjadi bersamaan.1,7
a. Teori genetika
Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga teori
genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa kasus
akalasia lahir dari orang tua atau kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada
satu laporan kasus kembar monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove.
merupakan penyakit resesif autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima,
insufisiensi adrenal, keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.1,7
8
mendeteksi antibodi dalam serum pasien dengan penyakit Hirschsprung atau kanker
esofagus dan hanya satu dari 11 pasien dengan esofagitis peptikum. Namun, karena
defek dalam akalasia primer cukup spesifik di esophagus, makna antibodi yang
beredar mempunyai target tidak hanya esofagus tetapi juga neuron di usus. Namun,
derajat immunostaining pada serum ditunjukkan oleh 8 dari 16 pasien dengan
penyakit gastroesophageal reflux. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi antineuronal
terdeteksi mungkin merupakan fenomena yang tidak spesifik atau fenomena sekunder
yang tidak memainkan peran dalam patogenesis akalasia.1,7
d. Teori hipotesis neurodegenerasi
Neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang diusulkan sebagai etiologi
akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam inti motorik
vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat
secara eksperimental di batang otak dan saraf vagus pada hewan menghasilkan
kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi
tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf
vagus yang menyebabkan kelainan myentericus sekunder. Mayoritas penelitian
patologis menemukan kelainan dominan akalasia di dalam pleksus myentericus
dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak adanya sel ganglion serta adanya
infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di persarafan vagal diperkirakan
menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus termasuk gangguan pengosongan
lambung, yang jarang terlihat pada pasien akalasia. Sangat mungkin adanya
10
11
terutama pada makanan padat, namun seiring waktu terjadi disfagia pada makanan
padat dan cair terutama minuman dingin. Adanya "power swallow" dan minuman
berkarbonasi meningkatkan tekanan intra esofageal dan dapat meningkatkan
pengosongan esofagus. Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan
penyakit, terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan
akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan postnasal dahak atau
bronkitis. Biasanya terjadi ketika setelah makan pada malam hari pasien sering
terbangun karena batuk dan tersedak. Aspirasi pneumonia merupakan masalah yang
jarang. Nyeri dada terjadi pada beberapa pasien, terutama pada malam dan terlihat
pada pasien dengan penyakit yang masih ringan atau esofagus masih melebar
minimal. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui, tetapi gejala ini bukan hanya
merupakan kontraksi simultan dari episode yang berulang, namun dapat
menyebabkan lumen esofagus tersumbat. Pelebaran pneumatik atau pembedahan
dapat mengurangi disfagia dan regurgitasi. Heartburn atau rasa seperti terbakar di
dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia, meskipun faktanya akalasia
tidak berhubungan dengan peningkatan episode refluks asam. Penyebab gejala ini
adalah spekulatif, mungkin berhubungan dengan retensi minuman asam seperti soda
atau minuman buah dan beberapa kasus disebabkan karena produksi asam laktat dari
makanan yang tertahan dalam esofagus yang melebar. Kebanyakan pasien akalasia
memiliki beberapa derajat penurunan berat badan namun biasanya dalam jangka lama
bulan sampai tahun.5,7
G. Diagnosis
12
13
14
sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi akalasia
sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini hanya untuk
mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain menunjukkan adanya
hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan temuan radiografi.10
Time barium esophagogram (TBE) diperkenalkan pada tahun 1997. TBE
merupakan metode yang sederhana dan obyektif untuk menilai pengosongan esofagus
secara kuantitatif dan kualitatif. Teknik TBE sama dengan esofagogram / barium
swallow namun dengan beberapa modifikasi, diantaranya pengambilan beberapa
gambar secara sekuen diantara interval waktu sesudah dilakukan barium esofagogram
dengan volume tertentu. Pada TBE dilakukan pengukuran tinggi dikali lebar dari
barium untuk evaluasi pengosongan esofagus.10
Teknik pemeriksaan TBE sebagai berikut : pasien pada posisi berdiri minum
suspensi barium sulfat low-density (berat 45 % dalam kurang lebih 250 cc). Pasien
diinstruksikan minum larutan barium dalam waktu satu menit. Volume barium yang
ditelan didasarkan pada toleransi pasien (pasien tidak mengalami regurgitasi maupun
aspirasi, selain itu dilatasi esofagus harus dapat di diisi secara adekuat). Volume yang
di minum harus dicatat. Pasien berdiri dengan posisi left posterior oblique untuk
menghindari proyeksi berlebih esofagus dan tulang belakang. Biasanya diambil spot
radiografi three on one dengan ukuran film 14inc x 14inc atau 14inc x 17inc. Jarak
fluoroskopi dari pasien dijaga konstan selama pemeriksaan. Pasien di ambil gambar
radiografi pada tiga posisi anteroposterior dan diambil pada menit 1, 2, dan 5 setelah
barium di minum. Pengambilan gambar pada menit ke 2 merupakan opsional, tetapi
16
pemeriksaan
sebelumnya
untuk
evaluasi
pengosongan
barium
di
esophagus.6,10
Pada akalasia esofagus yang aperistaltik disertai LES inkomplet menyebabkan
stasis di esofagus. Barium akan bertahan pada beberapa waktu yang lama
dibandingkan orang sehat. Terjadi obstruksi dan esofagus mengalami dilatasi pada
waktu yang lama (dekompensata). Barium yang persisten di esofagus dan LES
17
inkomplet atau mengalami pengosongan parsial lebih dari 5 menit disertai gambaran
birds beak atau rat tail appearance membantu diagnosis akalasia yang selanjutnya di
konfirmasi dengan pemeriksaan manometri.10
Perbaikan pengosongan esofagus sesudah terapi dapat di evaluasi secara
akurat dengan pemeriksaan TBE yang disesuaikan protokol sebelum terapi.
Kebanyakan peneliti mempunyai kriteria keberhasilan terapi jika terdapat penurunan
tinggi barium pada foto menit ke lima sebesar 50% atau lebih dibandingkan dengan
foto pre terapi pada menit yang sama.10
4. Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan CT tidak diindikasikan sebagai pemeriksaan rutin pada pasien
akalasia, tetapi beberapa kasus dengan komplikasi diperlukan pemeriksaan CT
sebagai konfirmasi diagnosis atau untuk mengetahui tanda lain yang mengarah
adanya penyakit lain atau proses benigna maupun maligna.12
Pemeriksaan CT dilakukan untuk mengetahui tidak ada atau adanya penebalan
minimal di dinding esofagus dan tidak adanya massa di cardia pada pasien akalasia
primer. Di beberapa kasus, CT dapat mengetahui adanya pseudomass di cardia pada
pasien non tumor yang menyebabkan distensi di daerah tersebut. Selain itu CT dapat
menunjukkan adanya penebalan asimetris di dinding esofagus distal, massa jaringan
lunak di kardia, atau adenopati mediastinum pada pasien dengan akalasia sekunder.
CT juga dapat membantu mengidentifikasi letak tumor primer pada pasien dengan
akalasia sekunder.13
18
I. Diagnosis Banding
1. Diffuse spasme esofagus (DES).
DES adalah kejadian yang jarang dan pertama kali dijelaskan oleh Osgood di
tahun 1889. Diagnosis didasarkan pada temuan adanya kontraksi simultan di badan
esofagus.
Pemeriksaan
radiologis
dengan
barium
menunjukkan
gangguan
22
Selain itu, beberapa tumor jauh dari esofagus distal dapat menyebabkan
akalasia melalui sindrom paraneoplastik. Proses ini merupakan respon autoimun di
mana tumor mengekspresikan antigen saraf dan host mengakui sebagai bukan dirinya.
Sel T aktif serta antibodi sel plasma diarahkan pada tindakan antigen untuk
menghambat pertumbuhan tumor, tetapi bereaksi dengan bagian-bagian dari sistem
saraf luar barrier darah-otak. Sindrom paraneoplastik yang paling sering adalah small
cell lung cancer, neuroblastoma dan kanker prostat. Manifestasi gastrointestinal
berhubungan
dengan
gastroparesis,
dan
encephalomyelitis,
sindrom
paraneoplastik
pseudo-obstruksi
neuropati
sensori,
usus.
dan
menyebabkan
Selain
itu
degenerasi
pseudoakalasia,
juga
serebral.
menyebabkan
Manifestasi
Meksiko. T.cruzi di tularkan dari orang ke orang melalui gigitan serangga. Sekiar 1030% individu yang terinfeksi berkembang menjadi infeksi kronis dan berada di tubuh
penderita sampai bertahun tahun sesudah infeksi awal. Saluran gastroentistinal yang
paling sering terkena adalah esophagus. Manifestasi penyakit chagas menjadi aklasia
sekunder 7%-10%.1
Antibodi di pleksus myenterikus dibuktikan pada pasien penyakit chagas yang
menyebabkan akalasia lebih banyak dibanding pasien chagas tanpa akalasia, akalasia
idiopatik, dan pasien sehat.1 Pemeriksaan esophagus dengan barium pada pasien
chagas disease dan akalasia primer hamper mirip. Tanda yang mungkin membantu
membedakan dengan chagas disease adalah adanya adanya megacolon dan
cardiomegali pada akalasia primer yang mungkin tampak pada pemeriksaan dengan
fluoroskopi.3 (gambar 18)
24
BAB III
PEMBAHASAN
Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai tidak adanya
peristaltik primer dan relaksasi inkomplet dari lower esophageal sphincter / LES.
Kebanyakan pasien merupakan akalasia primer (idiopatik) dan disebabkan karena
hilangnya sel-sel ganglion dalam pleksus myenterikus esofagus. Akalasia sekunder
(pseudoakalasia) disebabkan karena keganasan tumor di gastroesophageal junction
atau pada beberapa kasus disebabkan karena kondisi jinak seperti penyakit chagas,
scleroderma. Hampir 75 % pasien akalasia sekunder disebabkan karena karsinoma
kardia lambung, yang lain disebabkan karsinoma esofagus atau metastasis dari
karsinoma paru, payudara, pankreas, rahim, dan kelenjar prostat ke mediastinum atau
ke gastroesophageal junction.13
25
Tiga kriteria yang digunakan oleh radiologist untuk diagnosis akalasia adalah
dilatasi esofagus, penyempitan bentuk bird beak di gastroesophageal junction atau
rat tail appearance dan adanya bukti stasis dari sisa makanan dan air liur. Sedangkan
menurut penelitian amaravadi dkk, temuan secara radiologi diagnosis akalasia adalah
tidak adanya peristaltik primer, kegagalan pembukaan LES, dilatasi esofagus,
pengosongan barium yang tertunda dan adanya kontraksi nonperistaltik.
Sulit membedakan akalasia primer dari akalasia sekunder dengan pemeriksaan
barium esofagogram. Hanya sedikit data di literatur yang menyebutkan pemeriksaan
barium berguna untuk membedakan akalasia primer dari sekunder. Pada pemeriksaan
barium hallmark akalasia primer ditandai tidak adanya peristaltik primer dan adanya
penyempitan bertahap, mengerucut, bentuk lonjong di distal esofagus yang sifatnya
halus, simetris dengan panjang sekitar 1-3 cm (Gambar 19). Gambaran tersebut
disebabkan
karena
relaksasi
inkomplet
sfingter
esofagus
bagian
bawah
(gastroesophageal junction). Selain itu pada akalasia primer segmen esofagus lentur,
kontur mukosa mulus tanpa nodul, tanpa perubahan kontur yang tiba-tiba, dan tanpa
bukti massa intraluminal.3
Pemeriksaan
barium
pada
akalasia
sekunder
menunjukkan
adanya
penyempitan segmen yang sifatnya eksentris, nodular, angulasi yang lurus, atau
penyempitan bentuk shoulder. Namun beberapa kasus akalasia sekunder ditemukan
penyempitan didistal esofagus bersifat simetris dan bertahap.
Selain sifat penyempitan didistal esofagus, panjang penyempitan didistal
esofagus dan lebar diameter esofagus yang mengalami dilatasi dapat membedakan
26
akalasia primer dari sekunder. Pada akalasia sekunder penyempitan segmen didistal
esofagus lebih panjang (>3,5 cm) dan diameter esofagus mengalami dilatasi lebih
pendek (<4 cm) dibanding akalasia primer8 (gambar 17 dan 18). Meskipun
pengukuran tersebut sering bias akibat adanya magnifikasi yang tergantung dari
tinggi fluoroskopi diatas meja pemeriksaan.
Jika ditemukan adanya akalasia pada pemeriksaan barium esofagogram sangat
penting dilakukan evaluasi terhadap lambung bagian fundus dan kardia untuk
mengetahui adanya keganasan didaerah tersebut. Akalasia sekunder harus dicurigai
jika pada pemeriksaan barium terdapat adanya tumor di daerah tersebut.3,13
Selain dari pemeriksaan barium esofagogram, menurut woodwield et al, umur
pasien dan onset disfagia dapat digunakan sebagai poin untuk membedakan akalasia
primer dari sekunder. Akalasia primer cenderung lebih muda (rata-rata 53 tahun)
dibanding umur pasien akalasia sekunder (rata-rata 69 tahun) dan onset disfagia pada
akalasia primer cenderung lebih lama rata-rata 4,5 tahun dibanding akalasia sekunder
(kurang dari satu tahun). Selain itu penurunan berat badan yang signifikan (lebih
besar dari 15 pounds) cenderung pada akalasia sekunder.
Pada waktu yang lampau, pemeriksaan radiografi sederhana dapat
membedakan akalasia primer dengan pseudoakalasia, yaitu dengan pemberian
inhalasi amil nitrat, bubuk seidlitz atau mecholyl. Pemberian agen ini harus dibawah
fluoroskopi untuk mengetahui perubahan jelas di esofagus. Pemberian amil nitrat
(relaksan otot polos) menyebabkan peningkatan diameter spingter yang menyempit
kurang lebih 2,0 mm atau lebih. Mecholyl (asetilkolin sintetis) menyebabkan
27
29
BAB IV
KESIMPULAN
Membedakan akalasia primer dari sekunder sangat penting karena pengobatan
antara keduanya sangat berbeda. Akalasia primer dapat secara efektif di terapi dengan
dilatasi pneumatic atau myotomy Heller, sedangakan akalasia sekunder diterapi
sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Beberapa temuan pada pemeriksaan radiografi dapat membantu membedakan
akalasia primer dan sekunder. Temuan klinis akalasia primer antara lain usia pasien
lebih muda rata-rata 53 tahun dan onset disfagia lebih lama rata-rata lebih dari satu
tahun serta disertai sedikit penurunan berat badan. Pemeriksaan esofagogram
didapatkan adanya dilatasi esofagus di bagian proksimal dengan diameter lebih dari 4
cm, penyempitan di esofagus distal yang mengerucut bertahap dan sifat simetris
(birds beak appearance) dengan panjang penyempitan diatas EGJ lebih pendek
30
(kurang dari 3,5 cm). Sebaliknya pasien akalasia sekunder rata rata umur lebih tua
(>65 tahun) dan onset disfagia lebih pendek kurang dari satu tahun serta adanya
penurunan berat badan yang bermakna. Temuan pemeriksaan barium esofagogram
didapatkan dilatasi esofagus di bagian proksimal dengan diameter kurang dari 4 cm
dan penyempitan di esofagus mempunyai sifat asimetris, eksentrik, noduler, dan
panjang penyempitan lebih panjang (> 3,5 cm).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. GI
motility online. May, 2006. [cited 2014 March 05]. Available from
http://www.nature.com/gimo/contents /pt1/full/gimo 22.htm
2. Li YD, Tang GY, Cheng YS, Chen WX, Zhao JG. 13-year follow-up of a
prospective comparison of the long-term clinical efficacy of temporary selfexpanding metallic stents and pneumatic dilatation for the treatment of
achalasia in 120 patients. AJR. 2010; 195: 1429-37
3. Smith EM. Chaudhuri TK. What are the radiographic appearances of
secondary achalasia, and how can it be differentiated from primary achalasia
in
barium
studies.
[cited
2014
March
01].
Available
from
31
from
https://www.appliedradiology.com/articles/achalasia-and-
diffuse-esophageal-spasme-spectrum-of-finding-and-complementary-roles-ofbarium-studies-and-manometry.
32
18. Amaravadi R, Levine MS, Rubesin SE, Laufer I, Redfern RO, Katzka DA.
Achalasia
with
complete
relaxation
of
lower
esophageal
spincter:
33