You are on page 1of 34

REFFERAT

Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi

AKALASIA
Membedakan Primer dan Sekunder

Oleh :
dr. Ana Basirotul Alawiyah
Pembimbing :
dr. Bambang Purwanto Utomo, Sp Rad

BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
0

DAFTAR ISI
Halaman Judul
.....................................................................................
Halaman Persetujuan .......................................................................................
Daftar Isi
..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
A. Definisi
.....................................................................................
B. Epidemiologi ................................................................................
C. Anatomi Esofagus .........................................................................
D. Patofisiologi .....................................................................................
1. Adanya kemampuan inervasi kolinergik ............................
2. Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat) ........................
E. Etiopatogenesis
..........................................................................
1. Akalasia Primer
...............................................................
a. Teori genetika
......................................................
b. Teori hipotesis viral ....................................................
c. Teori hipotesis autoimun ...........................................
d. Teori hipotesis neurodegenerasi ..............................
2. Akalasia Sekunder / pseudoakalasia ......................................
F. Gejala Klinis ....................................................................................
G. Diagnosis .......................................................................................
1. Endoskopi gastrointestinal ......................................................
2. Pemeriksaan dada x-ray ........................................................
3. Barium esofagogram dan timed barium esophagogram (TBE) ..
4. Pemeriksaan CT scan ........................................................
5. Pemeriksaan sonografi ........................................................
6. Manometri esophagus .......................................................
H. Penatalaksanaan.............................................................................
I. Diagnosis Banding ...........................................................................
1. Diffuse esophageal spasme (DES) ..........................................
2. Proses keganasan ..................................................................
3. Penyakit chagas ...................................................................
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................... .........
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................
DAFTAR GAMBAR DAN LAMPIRAN .......................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

i
ii
iii
1
3
3
3
3
5
5
6
7
7
7
8
8
9
10
11
12
12
13
13
17
18
18
20
21
21
21
23
24
28
29
35

BAB I
PENDAHULUAN
Kasus akalasia pertama kali dilaporkan oleh Sir Thomas Willis di tahun 1674.
Selanjunya Von Mikulicz pada tahun 1882 dan Einhorn pada tahun 1888 memberikan
hipotesis bahwa akalasia disebabkan karena tidak adanya pembukaan pada cardia
atau "cardiospasm." Selama tiga abad terakhir, diketahui patofisiologi akalasia
merupakan gangguan motilitas yang berasal dari defek dalam sistem saraf enterik.
Gangguan ini merupakan gangguan motorik gastrointestinal.1
Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang tidak diketahui
penyebabnya dan ditandai dengan adanya aperistalsis di badan esofagus dan
lemahnya relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. Akalasia terjadi di segala usia
dengan gejala terutama sulit menelan makanan padat / cair dan adanya regurgitasi.
Diagnosis disarankan dengan barium esofagogram dan dikonfirmasi oleh manometri
esofagus. Akalasia tidak bisa disembuhkan. Tujuan pengobatan akalasia adalah
mengurangi

gejala,

meningkatkan

pengosongan

esofagus

dan

mencegah

perkembangan megaesofagus.1
Terapi yang paling sukses adalah pelebaran pneumatik dan bedah myotomi.
Tingkat keberhasilan secara keseluruhan dengan pelebaran pneumatik adalah 78% 87 %.1
Alasan penulisan referat ini adalah Penulis sering menemukan kasus dengan
curiga akalasia selama stase GI, dan Penulis masih kesulitan membedakan apakah
akalasia tersebut primer atau sekunder berdasarkan pemeriksaan radiologi. Tujuan
2

penulisan referet ini adalah mengetahui gambaran akalasia dan membedakan antara
akalasia primer dan sekunder berdasarkan pemeriksaan radiologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah achalasia dalam bahasa Yunani berarti lack of relaxation, pertama
kali di kenalkan oleh Arthur Hurst di awal tahun 1927. Akalasia didefinisikan sebagai
gangguan motilitas esofagus ditandai dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis
esofagus dan relaksasi yang inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower
esophageal

sphincter/LES)

yang

disebabkan

karena

kerusakan

pleksus

myenterikus.2,3
B. Epidemiologi
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi akalasia sekitar 110:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada
predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari
lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun. Pada anak
biasanya akalasia merupakan bagian dari sindrom triple A. Menurut spesialis
esofagus (gastroenterologist dan ahli bedah gastroenterologi) di USA, ditemukan
lebih kurang 10 kasus akalasia dalam setahun.1,4
C. Esofagus
Esofagus manusia dewasa merupakan tabung muskuler panjang sekitar 25 cm
yang terdiri atas bagian servikal, torakal, dan abdominal. Dinding esofagus terdiri
dari otot lurik di bagian atas, otot polos di bagian bawah, dan campuran keduanya
dibagian tengah. Lapisan otot (muskulus propria) terdiri dari lapisan internal berupa
serat sirkuler dan lapisan luar berupa serat longitudinal (gambar 1 dan 2). Terdapat
4

lapisan otot kurang prominen yang mempunyai arah longitudinal terdapat diantara
mukosa dan muskulus propria disebut muskulus mukosa.6 (Gambar 3)
Spingter esofagus (LES) merupakan zona tekanan tinggi yang terletak di
bagian esofagus yang menyatu dengan perut. LES adalah spingter fungsional terdiri
dari komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari otot
diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik esofagus
didominasi saraf vagus.6 (gambar 4)
Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi oleh preganglionik, serat
kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal Motorik Neuron/DMN) di
batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus (Auerbach). Ganglia pleksus
myenterikus terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkuler dan neuron
postganglion menginervasi dinding esofagus dan LES. Rangsangan neuron
postganglion melepaskan asetilkolin sedangkan neuron inhibisi postganglion
melepaskan oksida nitrat (NO) dan polipeptida vasoaktif intestinal (VIP). Dalam
kondisi istirahat (diantara menelan) LES dalam keadaan kontraksi tonik. Menelan
berkaitan dengan aktivasi refleks telan paksa. Setelah diaktifkan oleh refleks ini,
pusat neuron telan mengirim debit bermotif inhibisi dan dan eksitasi ke inti motor
dari saraf kranial. Pertama jalur inhibisi neuron diaktifkan dan mengakibatkan
penghambatan semua kegiatan yang sedang berlangsung di esofagus dan relaksasi
LES. Peristaltik merupakan hasil dari relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang
dimediasi oleh neuron pleksus myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang
esophagus.6 (Gambar 5)
5

D. Patofisiologi
Selama 75 tahun terakhir, penelitian terhadap patologi akalasia menunjukkan
adanya penurunan neuron pleksus myenterikus. Ilustrasi ini berdasarkan penelitian
oleh Goldblum pada 42 pasien akalasia yang menjalani esofagectomy, 64% tidak
didapatkan sel ganglion myenterikus dan 36 % terjadi penurunan sel ganglion
myenterikus di esofagus. Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya dominasi
infiltrasi inflamasi sel T di pleksus myenterikus dan fibrosis. Penelitian terbaru
terhadap pasien akalasia yang diobati di stadium awal menunjukkan adanya sel
ganglion yang intak, namun dengan jumlah sel berkurang. Pasien pada stadium awal
tersebut memiliki lama gejala yang lebih singkat dan tidak terjadi pelebaran
diesofagusnya. Terdapat anggapan bahwa peradangan di myenterikus merupakan fase
awal akalasia sehingga menyebabkan aganglionosis dan fibrosis. 1,7 Beberapa
hipotesis teori terjadinya akalasia antara lain:
1. Adanya kemampuan inervasi kolinergik
Penelitian in vitro oleh Trounce tahun 1957 menunjukkan kontraksi otot lurik
pada pasien akalasia merupakan kombinasi antara inhibitor acetylcholinesterase,
serine, agonis ganglionik dan nikotin. Aktivitas acetylcholinesterase di sel ganglion
LES

pada pasien akalasia digambarkan oleh Adams pada tahun 1961.

Acetylcholinesterase inhibitor edrophonium klorida kemudian terbukti secara


signifikan meningkatkan tekanan LES pada pasien dengan akalasia. Temuan ini
menunjukkan bahwa setidaknya beberapa ujung saraf kolinergik postganglionik tetap
utuh. Penelitian lain menunjukkan adanya efek agen antikolinergik atropin pada
pasien akalasia. Terjadi penurunan 30 % sampai 60 % pada tekanan LES pada pasien

dengan akalasia yang diberikan atropin. Penurunan serupa ditemukan pada kelompok
kontrol relawan sehat. Namun sisa tekanan setelah pemberian atropin secara
signifikan lebih tinggi pada pasien akalasia (17 mmHg) dibandingkan dengan subyek
normal (5 mmHg).1,5,7
2. Hilangnya inervasi inhibitor (penghambat)
Pada akalasia terjadi hilangnya neuron di persarafan kolinergik esofagus saat
eksitasi dan neuron tersebut selektif pada neuron penghambat. Pada pasien akalasia,
cholecystokinin menginduksi kontraksi LES dan sebaliknya menginduksi relaksasi
LES pada subyek sehat, sehingga membuktikan adanya gangguan saraf penghambat
postganglionik1.
Bukti yang mendukung konsep hilangnya neuron inhibitor berasal dari
penelitian secara imunohistokimia dan fisiologis. Penelitian awal menyatakan adanya
defek adrenergik saraf inhibitor esofagus pada pasien akalasia. Vasoaktif Intestinal
Polipeptida (VIP) juga dianggap sebagai inhibitor neurotransmitter esofagus, dan
penurunan neuron yang mengandung VIP terdapat pada pasien akalasia. Penelitian
lain menunjukkan tidak adanya nitric oxide synthase pada neuron di spesimen LES
pada pasien akalasia. Penelitian tersebut menunjukkan inhibitor nitrat oksida sintase
meningkatkan fase istirahat LES dan hampir meniadakan relaksasi LES. Di esofagus
inhibitor nitrat oksida sintase menyebabkan kontraksi di badan esofagus secara
simultan. Sehingga terdapat pendapat akalasia merupakan gabungan dari hilangnya
inhibitor selektif dan adanya fungsi saraf kolinergik enteric.1,5,7 (Gambar 6)
Penelitian patologis dari spesimen hasil reseksi esofagus pasien akalasia
stadium akhir menunjukkan adanya aganglionosis merupakan hasil akhir dari
inflamasi myentericus pada sebagian besar pasien akalasia. Hal ini mendukung bahwa
7

akalasia disebabkan oleh karena adanya eksitasi saraf kolinergik dan tidaka adanya
inhibitor nitrat oksida (Gambar). Dalam keadaan seperti itu, obstruksi fungsional
gastroesophageal junction disebabkan oleh sisa myogenik LES. Tidak adanya
aktivitas peristaltik esofagus merupakan hasil dari tidak adanya persarafan neural
enteric.1,3,7
E. Etiopatogenesis
Cacat neurologis utama yang bertanggung jawab terjadinya akalasia primer
tidak diketahui. Namun, temuan patologis yang paling konsisten adalah penurunan
atau tidak adanya degenerasi dari sel-sel ganglion dalam pleksus myentericus
(Auerbach) di LES. Hal ini menyebabkan tidak adanya inhibitor persarafan yang
normal di LES. Akalasia sekunder atau pseudoakalasia memiliki banyak etiologi,
tetapi paling sering disebabkan oleh karena keganasan2.
1. Akalasia primer
Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis
menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan
neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya
ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan bahwa
teori teori tersebut terjadi bersamaan.1,7
a. Teori genetika
Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga teori
genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa kasus
akalasia lahir dari orang tua atau kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada
satu laporan kasus kembar monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove.
merupakan penyakit resesif autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima,
insufisiensi adrenal, keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.1,7
8

b. Teori hipotesis viral


Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis akalasia.
Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien akalasia seragam.
Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular yang dapat
menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan signifikan secara
statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien dengan akalasia
dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum dibuktikan. Virus lain yang
di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella zoster. Penelitian terbaru
lain menggunakan teknik polymerase chain reaction tidak mendeteksi adanya
campak, herpes atau virus papiloma pada spesimen myotomy pasien akalasia.
Penelian dengan hasil yang negatif tidak mengesampingkan adanya specimen virus
yang lain sebagai etiologi dari akalasia. Kemungkinan yang mendukung etiologi ini
adalah penelitian terbaru yang menunjukkan immunoreaktif sel-sel inflamasi pasien
akalasia sebagai respon terhadap antigen virus meskipun peneliti tidak dapat
mendeteksi virus dalam sampel.1,7
c. Teori hipotesis autoimmun
Adanya infiltrasi inflamasi di esofagus yang terkena akalasia menimbulkan
spekulasi adanya patogenesis autoimun. Infiltrasi inflamasi pada pleksus myentericus
terdapat pada 100% specimen. Adanya infiltrasi sel pada imunohistokimiawi ditandai
dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi eosinofilik yang signifikan juga
dibuktikan pada beberapa pasien dengan akalasia. Storch et al menunjukkan adanya
antibody yang melawan pleksus myentericus di serum 37 dari 58 pasien akalasia dan
hanya ada empat dari 54 kontrol pada serum pasien sehat. Penelitian ini gagal
9

mendeteksi antibodi dalam serum pasien dengan penyakit Hirschsprung atau kanker
esofagus dan hanya satu dari 11 pasien dengan esofagitis peptikum. Namun, karena
defek dalam akalasia primer cukup spesifik di esophagus, makna antibodi yang
beredar mempunyai target tidak hanya esofagus tetapi juga neuron di usus. Namun,
derajat immunostaining pada serum ditunjukkan oleh 8 dari 16 pasien dengan
penyakit gastroesophageal reflux. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi antineuronal
terdeteksi mungkin merupakan fenomena yang tidak spesifik atau fenomena sekunder
yang tidak memainkan peran dalam patogenesis akalasia.1,7
d. Teori hipotesis neurodegenerasi
Neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang diusulkan sebagai etiologi
akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam inti motorik
vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat
secara eksperimental di batang otak dan saraf vagus pada hewan menghasilkan
kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi
tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf
vagus yang menyebabkan kelainan myentericus sekunder. Mayoritas penelitian
patologis menemukan kelainan dominan akalasia di dalam pleksus myentericus
dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak adanya sel ganglion serta adanya
infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di persarafan vagal diperkirakan
menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus termasuk gangguan pengosongan
lambung, yang jarang terlihat pada pasien akalasia. Sangat mungkin adanya

10

perubahan neurodegeneratif di akalasia merupakan sekunder dari adnaya virus atau


kerusakan karena autoimun diganglia enterik1.
2. Akalasia sekunder / pseudo akalasia
Pseudoakalasia adalah sindrom klinis yang mirip dengan akalasia. Kejadian
pseudoakalasia sekitar 2% -4% dari pasien dengan curiga akalasia. Secara umum,
pasien dengan pseudoakalasia lebih tua dengan riwayat disfagia lebih singkat dan
disertai penurunan berat badan. Namun, tiga tanda ini memiliki spesifitas yang
rendah. Penyebab umum pseudoakalasia adalah keganasan yang menginfiltrasi
gastroesophageal junction. Oleh karena itu, pasien dengan dugaan akalasia perlu
berhati-hati dalam melakukan tindakan endoskopi gastrointestinal bagian atas,
khususnya di dekat kardia dan gastroesophageal junction. Jika masih dicurigai
pseudoakalasia, USG endoskopik dengan probe 20 mHz atau Computed Tomography
scan dada dapat membantu penegakan diagnosis5.
Penyebab patologi selain keganasan yang diyakini menyebabkan akalasia
sekunder antara lain penyakit chagas, juvenile sjogrens, amyloidosis, chronik
idiopathic intestinal, sarcoidosis, neurofibromatosis, dan scleroderma1,8,9.
F. Gejala Klinis
Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder
mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan menelan /
disfagia progresif, odynofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan berat badan.
Diagnosis akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang mempunyai keluhan
disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan dan saliva. Terjadinya
disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai "rasa penuh di dada" atau
"sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap kali makan. Awalnya, disfagia

11

terutama pada makanan padat, namun seiring waktu terjadi disfagia pada makanan
padat dan cair terutama minuman dingin. Adanya "power swallow" dan minuman
berkarbonasi meningkatkan tekanan intra esofageal dan dapat meningkatkan
pengosongan esofagus. Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan
penyakit, terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan
akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan postnasal dahak atau
bronkitis. Biasanya terjadi ketika setelah makan pada malam hari pasien sering
terbangun karena batuk dan tersedak. Aspirasi pneumonia merupakan masalah yang
jarang. Nyeri dada terjadi pada beberapa pasien, terutama pada malam dan terlihat
pada pasien dengan penyakit yang masih ringan atau esofagus masih melebar
minimal. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui, tetapi gejala ini bukan hanya
merupakan kontraksi simultan dari episode yang berulang, namun dapat
menyebabkan lumen esofagus tersumbat. Pelebaran pneumatik atau pembedahan
dapat mengurangi disfagia dan regurgitasi. Heartburn atau rasa seperti terbakar di
dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia, meskipun faktanya akalasia
tidak berhubungan dengan peningkatan episode refluks asam. Penyebab gejala ini
adalah spekulatif, mungkin berhubungan dengan retensi minuman asam seperti soda
atau minuman buah dan beberapa kasus disebabkan karena produksi asam laktat dari
makanan yang tertahan dalam esofagus yang melebar. Kebanyakan pasien akalasia
memiliki beberapa derajat penurunan berat badan namun biasanya dalam jangka lama
bulan sampai tahun.5,7
G. Diagnosis

12

Diagnosis akalasia sering dibingungkan dengan entitas yang lebih umum


seperti gastroesophageal reflux disease. Diagnosis biasanya terlambat 2-3 tahun dari
gejala awal. Pemeriksaan akalasia antara lain endoskopi gastrointestinal bagian atas,
pemeriksaan radiologi (pemeriksaan dada x-ray, esofagogram, CT scan, USG), dan
manometri esofagus5. Gold standar penegakan diagnosis akalasia adalah manometri
esofagus.
1. Endoskopi gastrointestinal bagian atas
Pemeriksaan endoskopi dilakukan dengan ketentuan harus menyingkirkan
adanya keganasan. Pada akalasia, pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya
dilatasi esofagus dengan mukosa yang normal. Terdapat adanya cairan atau makanan
yang tersisa. Selain itu pada akalasia dapat menunjukkan adanya infeksi kandida yang
merupakan infeksi sekunder karena esofagus statis. Saat endoskop masuk melewati
LES tekanan yang di berikan mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan
karena neoplasia atau fibrosis.8
Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi tidak
akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun spesifik.
Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang lebih spesifik
dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut
dan gangguan transit yang berat. Candida esofagitis pada pasien kekebalan yang
kompeten harus meningkatkan kecurigaan retensi esophagus.8
2. Pemeriksaan dada x-ray

13

Pemeriksaan dada x-ray merupakan pemeriksaan awal pada pasien dengan


akalasia. Meskipun bukan pemeriksaan untuk tujuan diagnosis dan evaluasi, akalasia
kadang-kadang terdeteksi pada pemeriksaan dada x-ray terutama pada kasus yang
berat. Pemeriksaan dada x-ray akalasia berat menunjukkan adanya pelebaran
mediastinum yang disebabkan esofagus yang membesar dan melebar dengan
gambaran air fluid level di setinggi arkus aorta atau diatasnya disertai adanya sisa
makanan dan cairan di esofagus yang melebar. Selain itu pada akalasia tidak
didapatkan gelembung udara di lambung yang disebabkan karena kegagalan relaksasi
LES.9 (gambar 7)
3. Barium esofagogram dan timed barium esophagogram (TBE)
Pemeriksaan barium esofagogram dengan fluoroskopi pada pasien curiga
akalasia merupakan tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk diagnosis
akalasis 95%. Pada stadium awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer,
penyempian gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat
gelombang peristaltik nonpropusif di badan esofagus (vigorous achalasia) dengan
ditemukan gelombang sekunder sampai tersier (gambar 8a). Pada akalasia progresif
tampak gambaran birds beak di gastroesofageal junction dengan di bagian distalnya
membentuk sudut sebelum masuk ke lambung.9 (gambar 8b)
Fenomena hurst merupakan fenomena ketika pasien akalasia dilakukan
pemeriksaan esofagram diposisikan berdiri, barium terletak di titik dimana tekanan
hidrostatik barium diatas tekanan LES. Kadang-kadang karena dorongan barium,

14

gastroesofageal junction terbuka. Esofagus yang mengalami dilatasi dan berliku-liku


serta badan esofagus yang aperistaltik diasumsikan sebagai bentuk sigmoid.9
Pada akalasia berat esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan dan
kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur yang
tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium (gambar 8c).
Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap bentuk lonjong
halus menyerupai paruh burung (birds beak), dan kadang-kadang terdapat
divertikulum epifrenicus (gambar 9). Pada stadium lanjut seluruh esofagus
mengalami atonik.9
Pada pemeriksaan fluoroskopi selalu menunjukkan kurangnya peristaltik
dengan gerakan to-and-fro dalam posisi terlentang. Pemeriksaan esofagram pada
akalasia bersifat individu untuk masing masing pasien terutama dalam melihat
pengosongan esofagus dari barium pada posisi tegak (bisa lebih dari 5 menit).
Pemeriksaan dapat diulang secara serial setelah terapi untuk evaluasi pengosongan
esofagus sesuai gejala pasien.5
Kegagalan LES pada pemeriksaan barium dengan posisi pasien berdiri,
ditandai dengan adanya retensi barium di atas LES selama lebih dari 2,5 detik setelah
menelan. Tekanan hidrostatik menyebabkan barium yang ditelan memungkinkan
adanya aliran media kontras ke dalam perut. Jika esofagus sangat melebar, dapat
menyebabkan tidak adanya gambaran udara di lambung.3
Barium Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan
fungsional akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan ini sangat
15

sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi akalasia
sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini hanya untuk
mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain menunjukkan adanya
hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan temuan radiografi.10
Time barium esophagogram (TBE) diperkenalkan pada tahun 1997. TBE
merupakan metode yang sederhana dan obyektif untuk menilai pengosongan esofagus
secara kuantitatif dan kualitatif. Teknik TBE sama dengan esofagogram / barium
swallow namun dengan beberapa modifikasi, diantaranya pengambilan beberapa
gambar secara sekuen diantara interval waktu sesudah dilakukan barium esofagogram
dengan volume tertentu. Pada TBE dilakukan pengukuran tinggi dikali lebar dari
barium untuk evaluasi pengosongan esofagus.10
Teknik pemeriksaan TBE sebagai berikut : pasien pada posisi berdiri minum
suspensi barium sulfat low-density (berat 45 % dalam kurang lebih 250 cc). Pasien
diinstruksikan minum larutan barium dalam waktu satu menit. Volume barium yang
ditelan didasarkan pada toleransi pasien (pasien tidak mengalami regurgitasi maupun
aspirasi, selain itu dilatasi esofagus harus dapat di diisi secara adekuat). Volume yang
di minum harus dicatat. Pasien berdiri dengan posisi left posterior oblique untuk
menghindari proyeksi berlebih esofagus dan tulang belakang. Biasanya diambil spot
radiografi three on one dengan ukuran film 14inc x 14inc atau 14inc x 17inc. Jarak
fluoroskopi dari pasien dijaga konstan selama pemeriksaan. Pasien di ambil gambar
radiografi pada tiga posisi anteroposterior dan diambil pada menit 1, 2, dan 5 setelah
barium di minum. Pengambilan gambar pada menit ke 2 merupakan opsional, tetapi
16

fluoroskopi tetap dilakukan pada menit ke 2 untuk menentukan pengosongan


esofagus. Jika diameter esophagus lebih besar dari 7-9 cm, pengambilan gambar
menggunakan format two on one di esophagus.10,11 (gambar 10)
Derajat pengosongan esofagus di nilai secara kuantitatif dan kualitatif.
Penilaian kuantitatif dengan cara mengukur tinggi barium yang diukur dari level
superior esofagogastric junction dan diukur pada menit 1 dan 5. Pada pasien akalasia
esofagogastric junction tampak sebagai tampilan klasik berupa birds beak
appearance. Dua garis pararel horizontal, satu di level paling rendah dan yang lain di
level paling tinggi serta jarak diantara keduanya diukur. Diameter esofagus juga
diukur pada bagian yang paling lebar dari barium yang tegak lurus dengan esophagus
(gambar 10 dan 11). Pada pasien normal barium di esofagus akan kosong secara
komplet pada menit 1 dan kebanyakan pada menit ke 5.10
Pengosongan esofagus diukur secara kualitatif dengan membandingkan
gambar pada menit 1 - 5 secara subyektif dan disesuaikan dengan hasil pengukuran
secara kuantitatif. Metode subjektif lebih mudah dan lebih cepat dan dianjurkan
sebagai pemeriksaan rutin TBE. Meskipun hasilnya harus selalu dibandingkan
dengan

pemeriksaan

sebelumnya

untuk

evaluasi

pengosongan

barium

di

esophagus.6,10
Pada akalasia esofagus yang aperistaltik disertai LES inkomplet menyebabkan
stasis di esofagus. Barium akan bertahan pada beberapa waktu yang lama
dibandingkan orang sehat. Terjadi obstruksi dan esofagus mengalami dilatasi pada
waktu yang lama (dekompensata). Barium yang persisten di esofagus dan LES
17

inkomplet atau mengalami pengosongan parsial lebih dari 5 menit disertai gambaran
birds beak atau rat tail appearance membantu diagnosis akalasia yang selanjutnya di
konfirmasi dengan pemeriksaan manometri.10
Perbaikan pengosongan esofagus sesudah terapi dapat di evaluasi secara
akurat dengan pemeriksaan TBE yang disesuaikan protokol sebelum terapi.
Kebanyakan peneliti mempunyai kriteria keberhasilan terapi jika terdapat penurunan
tinggi barium pada foto menit ke lima sebesar 50% atau lebih dibandingkan dengan
foto pre terapi pada menit yang sama.10
4. Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan CT tidak diindikasikan sebagai pemeriksaan rutin pada pasien
akalasia, tetapi beberapa kasus dengan komplikasi diperlukan pemeriksaan CT
sebagai konfirmasi diagnosis atau untuk mengetahui tanda lain yang mengarah
adanya penyakit lain atau proses benigna maupun maligna.12
Pemeriksaan CT dilakukan untuk mengetahui tidak ada atau adanya penebalan
minimal di dinding esofagus dan tidak adanya massa di cardia pada pasien akalasia
primer. Di beberapa kasus, CT dapat mengetahui adanya pseudomass di cardia pada
pasien non tumor yang menyebabkan distensi di daerah tersebut. Selain itu CT dapat
menunjukkan adanya penebalan asimetris di dinding esofagus distal, massa jaringan
lunak di kardia, atau adenopati mediastinum pada pasien dengan akalasia sekunder.
CT juga dapat membantu mengidentifikasi letak tumor primer pada pasien dengan
akalasia sekunder.13

18

Temuan akalasia pada pemeriksaan CT antara lain adanya struktur luminal


esofagus yang dilatasi dengan debris disertai penyempitan di level gastroesofageal
junction.9 (gambar 12).
5. Pemeriksaan sonografi
Pemeriksaan sonografi pada pasien akalasia bukan pemeriksaan yang rutin.
Sonografi di lakukan jika pada pasien akalasia berat. Modalitas ini baik digunakan
untuk evaluasi tebal dinding esofagus. Sedang temuan pada akalasia primer
menunjukkan adanya penebalan reguler dinding esofagus, retensi air, dilatasi
esofagus bagian distal, dan gambaran birds peak. Sonografi dapat membantu
membedakan akalasia dari karsinoma dan sriktur peptikum di gastroesophageal
junction yang sulit di bedakan dengan modalitas yang lain.14 Adanya tebal dinding
esofagus asimetris merupakan temuan yang mengarah pada diagnosis akalasia
sekunder dibanding akalasia primer. Adanya ireguleritas atau gambaran eksentrik di
segmen penyempitan dan peningkatan panjang segmen diatas gastroesophageal
junction merupakan temuan dari akalasia sekunder.3
6. Manometri esofagus
Manometri esofagus merupakan gold standart dalam penegakan diagnosis
akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan
invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya
melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus
bagian distal3. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang
meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya peristaltik 6.
19

Menurut Ritcher et al, sekurangnya ditemukan 2 abnormalitas patognomonik pada


pasien akalasia, yaitu: aperistalsis dan relaksasi LES abnormal.5,15
Relaksasi abnormal LES terlihat di semua pasien akalasia. Relaksasi abnormal
dapat berupa tidak adanya relaksasi LES atau relaksasi inkomplet saat menelan (70%80%) dan relaksasi komplet namun lebih pendek (< 6 detik). Tekanan LES istirahat
meningkat pada sekitar 50 % pasien dengan akalasia.5,15
LES yang tidak mengalami relaksasi biasanya mempunyai tekanan LES > 8
mmH). Rata-rata tekanan puncak esofagus selama menelan digunakan membedakan
akalasia klasik dan akalasia kuat (vigorous achalasia). Vigorous achalasia
didefinisikan sebagai rata-rata kontraksi amplitudo di atas 37 mmHg.8 (gambar 15)
Pemeriksaan tekanan LES dengan manometri memiliki negatif palsu 48%.
Adanya manometri resolusi tinggi membantu membuat diagnosis akalasia secara teliti
dengan mengevaluasi LES dan relaksasi esofagogastric junction menggunakan
tekanan relaksasi terintegrasi. Terdapat 3 pola akalasia berdasar pemeriksaan
manometri resolusi tinggi, yaitu : Tipe I Gangguan relaksasi dengan pelebaran
esofagus namun tekanan esofagus diabaikan. Tipe II Terdapat tekanan di seluruh
esofagus dan Type III Adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal.5,15,16
H. Penatalaksanaan akalasia
Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan aktivitas otot dan
persyarafan di esofagus pada kasus akalasia. Terapi akalasia adalah mengurangi
gradien tekanan di LES. Tujuan terapi tersebut antara lain: 1. menghilangkan gejala
pasien, terutama disfagia dan regurgitasi, 2. meningkatkan pengosongan esofagus
20

dengan memperbaiki relaksasi LES yang terganggu. 3. Mencegah perkembangan


megaesofagus.5
Terapi akalasia meliputi dilatasi pneumatik, bedah myotomi dan agen
farmakologis. Terapi terhadap gangguan gradien LES yang paling sukses adalah
dengan dilatasi pneumatik atau myotomy bedah. Tingkat keberhasilan secara
keseluruhan dengan pelebaran pneumatik adalah 78%, dengan wanita dan pasien
yang lebih tua mempunyai respon yang bagus. Myotomi laparoskopi dikombinasikan
dengan fundoplikasi parsial memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi kurang lebih
87 %. Bedah myotomi lebih banyak dikerjakan pada pasien muda terutama laki-laki.
Pasien yang lebih tua diberikan injeksi toksin botulinum ke sfingter esofagus bagian
bawah dan relaksan otot polos.5
Pengobatan regurgitasi dan disfagia sangat mudah, tetapi nyeri dada dapat
menjadi masalah dalam beberapa pasien. Secara keseluruhan terapi tunggal atau
gabungan akan memberikan perbaikan lebih dari 90 %. Namun, akalasia tidak pernah
dapat disembuhkan sehingga terapi touch-up setelah pelebaran pneumatik atau bedah
myotomi Heller sering dibutuhkan. Oleh karena itu diperlukan tindak lanjut setiap 1
sampai 2 tahun oleh bedah gastroenterologist. Pemeriksaan esofagram dengan
menelan barium sangat membantu dalam evaluasi pasien akalasia. Namun beberapa
ahli menyukai evaluasi menggunakan pengukuran serial tekanan LES.3,16
Prognosis untuk pasien akalasia untuk kembali menelan normal baik, tetapi
penyakit ini jarang disembuhkan dengan prosedur tunggal, seringkali diperlukan
prosedur ganda dan lanjutan.
21

I. Diagnosis Banding
1. Diffuse spasme esofagus (DES).
DES adalah kejadian yang jarang dan pertama kali dijelaskan oleh Osgood di
tahun 1889. Diagnosis didasarkan pada temuan adanya kontraksi simultan di badan
esofagus.

Pemeriksaan

radiologis

dengan

barium

menunjukkan

gangguan

pengosongan esofagus dan adanya kontraksi simultan dan tersier menghasilkan


karakter "corkscrew" atau chain of beads di esofagus (Gambar 16). Kontraksi
esofagus simultan dan tidak spesifik pada DES dilaporkan pada pasien diabetes,
gangguan jaringan ikat, alkoholisme, dan penyakit gastroesophageal reflux.
Sebagian peneliti percaya dengan berjalannya waktu DES dapat berkembang
menjadi bentuk akalasia klasik dengan tidak adanya peristaltik di esofagus dan
kegagalan relaksasi LES. Hal itu didasarkan pada postulasi bahwa degenerasi nervus
vagus pada system parasimpatis yang merupakan jalur umum yang mendasari
terjadinya DES dan akalasia17.
2. Proses keganasan
Proses keganasan merupakan salah satu penyebab penting akalasia sekunder.
Proses keganasan di esofagus menghasilkan gambaran mirip akalasia melalui satu
dari tiga mekanisme. Pertama dan paling umum karena obstruksi mekanik langsung
di esofagus distal yang disebabkan oleh sejumlah kanker. Sel-sel neoplastik
menyerang submukosa LES dan mengganggu neuron myenterikus, menghasilkan
gambaran menyerupai akalasia dan mungkin tak tampak pada pemeriksaan
endoskopi.1

22

Selain itu, beberapa tumor jauh dari esofagus distal dapat menyebabkan
akalasia melalui sindrom paraneoplastik. Proses ini merupakan respon autoimun di
mana tumor mengekspresikan antigen saraf dan host mengakui sebagai bukan dirinya.
Sel T aktif serta antibodi sel plasma diarahkan pada tindakan antigen untuk
menghambat pertumbuhan tumor, tetapi bereaksi dengan bagian-bagian dari sistem
saraf luar barrier darah-otak. Sindrom paraneoplastik yang paling sering adalah small
cell lung cancer, neuroblastoma dan kanker prostat. Manifestasi gastrointestinal
berhubungan

dengan

gastroparesis,

dan

encephalomyelitis,

sindrom

paraneoplastik

pseudo-obstruksi
neuropati

sensori,

usus.
dan

menyebabkan

Selain

itu

degenerasi

pseudoakalasia,

juga
serebral.

menyebabkan
Manifestasi

gastrointestinal sering dapat mendahului diagnosis kanker, dan adanya respon


paraneoplastik menunjukkan prognosis yang lebih bagus.1 Pada penelitian
woodwield, proses keganasan yang merupakan akalasia sekunder yang paling serin
adalah karsinoma gaster bagian cardia dan fundus serta metastasis dari ca paru dan ca
uterus ke mediastinum dan ke GE junction. 13 Gambaran pada pemeriksaan barium
menunjukkan adanya penyempitan didistal esofagus yang eksentris, noduler disalah
satu sisi, dan asimetris. Beberapa kasus menunjukkan adanya penyempitan didistal
esophagus yang simetris dan halus namun disertai adanya penyempitan diatas GEJ
lebih panjang (gambar 17).
3. Penyakit chagas
Penyakit chagas merupakan infeksi parasit, disebabkan karena Trypanosoma
cruzi yang merupakan penyakit endemik di Amerika selatan dan tengah dan juga di
23

Meksiko. T.cruzi di tularkan dari orang ke orang melalui gigitan serangga. Sekiar 1030% individu yang terinfeksi berkembang menjadi infeksi kronis dan berada di tubuh
penderita sampai bertahun tahun sesudah infeksi awal. Saluran gastroentistinal yang
paling sering terkena adalah esophagus. Manifestasi penyakit chagas menjadi aklasia
sekunder 7%-10%.1
Antibodi di pleksus myenterikus dibuktikan pada pasien penyakit chagas yang
menyebabkan akalasia lebih banyak dibanding pasien chagas tanpa akalasia, akalasia
idiopatik, dan pasien sehat.1 Pemeriksaan esophagus dengan barium pada pasien
chagas disease dan akalasia primer hamper mirip. Tanda yang mungkin membantu
membedakan dengan chagas disease adalah adanya adanya megacolon dan
cardiomegali pada akalasia primer yang mungkin tampak pada pemeriksaan dengan
fluoroskopi.3 (gambar 18)

24

BAB III
PEMBAHASAN
Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai tidak adanya
peristaltik primer dan relaksasi inkomplet dari lower esophageal sphincter / LES.
Kebanyakan pasien merupakan akalasia primer (idiopatik) dan disebabkan karena
hilangnya sel-sel ganglion dalam pleksus myenterikus esofagus. Akalasia sekunder
(pseudoakalasia) disebabkan karena keganasan tumor di gastroesophageal junction
atau pada beberapa kasus disebabkan karena kondisi jinak seperti penyakit chagas,
scleroderma. Hampir 75 % pasien akalasia sekunder disebabkan karena karsinoma
kardia lambung, yang lain disebabkan karsinoma esofagus atau metastasis dari
karsinoma paru, payudara, pankreas, rahim, dan kelenjar prostat ke mediastinum atau
ke gastroesophageal junction.13
25

Tiga kriteria yang digunakan oleh radiologist untuk diagnosis akalasia adalah
dilatasi esofagus, penyempitan bentuk bird beak di gastroesophageal junction atau
rat tail appearance dan adanya bukti stasis dari sisa makanan dan air liur. Sedangkan
menurut penelitian amaravadi dkk, temuan secara radiologi diagnosis akalasia adalah
tidak adanya peristaltik primer, kegagalan pembukaan LES, dilatasi esofagus,
pengosongan barium yang tertunda dan adanya kontraksi nonperistaltik.
Sulit membedakan akalasia primer dari akalasia sekunder dengan pemeriksaan
barium esofagogram. Hanya sedikit data di literatur yang menyebutkan pemeriksaan
barium berguna untuk membedakan akalasia primer dari sekunder. Pada pemeriksaan
barium hallmark akalasia primer ditandai tidak adanya peristaltik primer dan adanya
penyempitan bertahap, mengerucut, bentuk lonjong di distal esofagus yang sifatnya
halus, simetris dengan panjang sekitar 1-3 cm (Gambar 19). Gambaran tersebut
disebabkan

karena

relaksasi

inkomplet

sfingter

esofagus

bagian

bawah

(gastroesophageal junction). Selain itu pada akalasia primer segmen esofagus lentur,
kontur mukosa mulus tanpa nodul, tanpa perubahan kontur yang tiba-tiba, dan tanpa
bukti massa intraluminal.3
Pemeriksaan

barium

pada

akalasia

sekunder

menunjukkan

adanya

penyempitan segmen yang sifatnya eksentris, nodular, angulasi yang lurus, atau
penyempitan bentuk shoulder. Namun beberapa kasus akalasia sekunder ditemukan
penyempitan didistal esofagus bersifat simetris dan bertahap.
Selain sifat penyempitan didistal esofagus, panjang penyempitan didistal
esofagus dan lebar diameter esofagus yang mengalami dilatasi dapat membedakan
26

akalasia primer dari sekunder. Pada akalasia sekunder penyempitan segmen didistal
esofagus lebih panjang (>3,5 cm) dan diameter esofagus mengalami dilatasi lebih
pendek (<4 cm) dibanding akalasia primer8 (gambar 17 dan 18). Meskipun
pengukuran tersebut sering bias akibat adanya magnifikasi yang tergantung dari
tinggi fluoroskopi diatas meja pemeriksaan.
Jika ditemukan adanya akalasia pada pemeriksaan barium esofagogram sangat
penting dilakukan evaluasi terhadap lambung bagian fundus dan kardia untuk
mengetahui adanya keganasan didaerah tersebut. Akalasia sekunder harus dicurigai
jika pada pemeriksaan barium terdapat adanya tumor di daerah tersebut.3,13
Selain dari pemeriksaan barium esofagogram, menurut woodwield et al, umur
pasien dan onset disfagia dapat digunakan sebagai poin untuk membedakan akalasia
primer dari sekunder. Akalasia primer cenderung lebih muda (rata-rata 53 tahun)
dibanding umur pasien akalasia sekunder (rata-rata 69 tahun) dan onset disfagia pada
akalasia primer cenderung lebih lama rata-rata 4,5 tahun dibanding akalasia sekunder
(kurang dari satu tahun). Selain itu penurunan berat badan yang signifikan (lebih
besar dari 15 pounds) cenderung pada akalasia sekunder.
Pada waktu yang lampau, pemeriksaan radiografi sederhana dapat
membedakan akalasia primer dengan pseudoakalasia, yaitu dengan pemberian
inhalasi amil nitrat, bubuk seidlitz atau mecholyl. Pemberian agen ini harus dibawah
fluoroskopi untuk mengetahui perubahan jelas di esofagus. Pemberian amil nitrat
(relaksan otot polos) menyebabkan peningkatan diameter spingter yang menyempit
kurang lebih 2,0 mm atau lebih. Mecholyl (asetilkolin sintetis) menyebabkan
27

peningkatan peristaltik oleh karena hipersensitifitas denervasi pada pasien akalasia


primer (gambar 21). Pada akalasia sekunder pemberian agen ini tidak berpengaruh
pada esofagus (esofagus tidak mengalami peningkatan diameter).3,19,20
Gambaran radiografi akalasia sekunder pada pemeriksaan barium bervariasi
tergantung etiologi. Keganasan primer atau metastasis sering dikaitkan dengan
ulserasi mukosa atau modularitas. Segmen yang terlibat dapat menunjukkan
penyempitan yang tidak teratur atau asimetris. Karsinoma kardia lambung merupakan
penyebab paling sering akalasia sekunder dan sering terdiagnosis pada pemeriksaan
barium. Adanya protusio atau lesi eksofitik yang menetap saat barium melewati
esofagus merupakan indikasi kuat akalasia sekunder. Temuan lain meliputi kekakuan
gastroesophageal juncion, deformitas kontur fundus, atau peningkatan ketebalan
jaringan lunak antara fundus dan diafragma. Adanya distorsi, obliterasi, atau
pembesaran regio cardia dengan gambaran "rosette" cenderung mengarah pada
akalasia sekunder. Massa mukosa jinak seperti leiomioma sering menunjukkan
adanya efek massa dan pelebaran esofagus proksimal tanpa adanya invasi ke esofagus
atau abnormalitas lain.3
Pemeriksaan barium esofagus pada penyakit chagas dan akalasia primer
hampir sama. Ciri yang membantu membedakan akalasia primer dan penyakit chagas
adalah adanya penyakit yang menyertai pada akalsia primer misalnya megacolon dan
kardiomegali yang tampak dengan pemeriksaan fluoroskopi.3
Sensitivitas pemeriksaan barium dalam mendiagnosis akalasia primer dari
akalasia sekunder bervariasi dari 25% sampai 87%. Ketika temuan pada pemeriksaan
28

barium meragukan namun terdapat kecurigaan secara klinis, maka diperlukan


evaluasi lebih lanjut. Evaluasi lebih lanjut menggunaan manometri, endoskopi,
kadang-kadang dengan biopsi jaringan, ultrasonografi, CT dan MRI.3
Manometri esofagus merupakan standar emas untuk diagnosis akalasia. Tiga
ciri klasik akalasia pada pemeriksaan manometrik adalah: aperistalsis di badan
esofagus, peningkatan tekanan LES lebih besar dari 45 mmHg (normal 15-30 mmg
Hg) dan gangguan relaksasi LES saat menelan. Endoskopi pada pasien dengan
akalasia bukan sebagai alat diagnosis, namun untuk mengecualikan adanya entitas
penyakit lain dan mengetahui adanya komplikasi. Temuan endoskopi pada akalasia
primer adalah mukosa esofagus normal dengan tingkat resistensi tekanan endoskopi
saat melalui persimpangan EG derajat ringan sampai moderat.3

29

BAB IV
KESIMPULAN
Membedakan akalasia primer dari sekunder sangat penting karena pengobatan
antara keduanya sangat berbeda. Akalasia primer dapat secara efektif di terapi dengan
dilatasi pneumatic atau myotomy Heller, sedangakan akalasia sekunder diterapi
sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Beberapa temuan pada pemeriksaan radiografi dapat membantu membedakan
akalasia primer dan sekunder. Temuan klinis akalasia primer antara lain usia pasien
lebih muda rata-rata 53 tahun dan onset disfagia lebih lama rata-rata lebih dari satu
tahun serta disertai sedikit penurunan berat badan. Pemeriksaan esofagogram
didapatkan adanya dilatasi esofagus di bagian proksimal dengan diameter lebih dari 4
cm, penyempitan di esofagus distal yang mengerucut bertahap dan sifat simetris
(birds beak appearance) dengan panjang penyempitan diatas EGJ lebih pendek
30

(kurang dari 3,5 cm). Sebaliknya pasien akalasia sekunder rata rata umur lebih tua
(>65 tahun) dan onset disfagia lebih pendek kurang dari satu tahun serta adanya
penurunan berat badan yang bermakna. Temuan pemeriksaan barium esofagogram
didapatkan dilatasi esofagus di bagian proksimal dengan diameter kurang dari 4 cm
dan penyempitan di esofagus mempunyai sifat asimetris, eksentrik, noduler, dan
panjang penyempitan lebih panjang (> 3,5 cm).

DAFTAR PUSTAKA
1. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. GI
motility online. May, 2006. [cited 2014 March 05]. Available from
http://www.nature.com/gimo/contents /pt1/full/gimo 22.htm
2. Li YD, Tang GY, Cheng YS, Chen WX, Zhao JG. 13-year follow-up of a
prospective comparison of the long-term clinical efficacy of temporary selfexpanding metallic stents and pneumatic dilatation for the treatment of
achalasia in 120 patients. AJR. 2010; 195: 1429-37
3. Smith EM. Chaudhuri TK. What are the radiographic appearances of
secondary achalasia, and how can it be differentiated from primary achalasia
in

barium

studies.

[cited

2014

March

01].

Available

from

https://www.hon.ch/OESO/books/Vol 5 Eso Junction/Articles/art366.html


4. Earlam R. Pathophysiology and clinical presentation of achalasia. Clinics in
gastroenterology. Januari, 1976; 5(1): 73-88
5. Ritcher JE. Achalasia - an update. J Neurogastroenterol Motil. July, 2010;
16(3): 232-42.

31

6. Anderson M. Radiological evaluation of esophageal function in dysphagia


with special emphasis on achalasia. Thesis. Department of Radiology-Institute
of Clinical Sciences University of Gothenburg Sweden. 2008: 10-4
7. Farrokhi F, Vaezi MF. Idiophaic (primary) achalasia. Orphanet Journal of Rare
Disease, 2007; 2(38):1-9
8. Pohl D, Tutuian R. Achalasia: an overview of diagnosis and treatment. J
gastrointestin Liver Dis. September, 2007; 16(3): 297-03
9. Berke SE. Achalasia. Learning radiologi. [cited 2014 March 09]. Available
from http://www.learningradiology.com/achalasia.htm
10. Neyaz Z, Gupta M, Ghoshal UC. How to perform and interpret timed barium
esophagogram. J Neurogastroenterol Motil. April, 2013; 19(12): 251-56
11. Baker, ME. Einstein DM. Herts BR. Remer EM. Ramirez, GAM. Ehrenwald
E. et al. Gastroesophageal reflux disease: integrating the barium esophagram
before and after antireflux surgery. RSNA. May, 2007; 243(2): 329-39
12. Rabushka LS, Fishman EK, Kuhlman JE. CT evaluation of achalasia.
Abstract. J Comput Assist Tomogr. May-Jun, 1991; 15(3): 434-39
13. Woodfiel CA, Levine MS, Rubesin SE, Langlotz CP, Laufer I. Diagnosis of
primary versus secondary achalasia: reassessment of clinical and radiographic
criteria. AJR: September, 2000; 175: 723-31
14. Sezgin O, Ulker A, Temucin G. Sonographic findings in achalasia. Abstract. J
Clin Ultrasound. January, 2001; 29(1): 31-40
15. Eckardt AJ, Eckardt VF. Current clinic approach to achalasia. World J
Gastroenterol: August, 2009; 15(32): 3969-75
16. Chuah SK, Hsu PI, Wu KL, Wu DC, Tai WC, Cangchien CS. 2011 update on
esophageal achalasia. World J Gastroenterol. April, 2012; 18(14): 1573-78
17. Levine S. Achalasia and diffuse esophageal spasm: spectrum of finding and
complementary roles of barium studies and manometry. Aplied radiology, The
journal of practical medical imaging and management. [cited 2014 Juni 06].
Available

from

https://www.appliedradiology.com/articles/achalasia-and-

diffuse-esophageal-spasme-spectrum-of-finding-and-complementary-roles-ofbarium-studies-and-manometry.

32

18. Amaravadi R, Levine MS, Rubesin SE, Laufer I, Redfern RO, Katzka DA.
Achalasia

with

complete

relaxation

of

lower

esophageal

spincter:

radiographic-manometric correlation. RSNA. 2005; 235(3): 886-91


19. Dodds WJ, Stewart ET, Kish SM, Kahrilas PJ, Hogan WJ. Radiologic amyl
nitrite test for distinguishing pseudoachalasia from idiopathic achalasia. AJR.
January, 1986; 146: 21-23
20. Champman AHA, Spencer JA, Guthrie JA, Robinson PJA, Sutton D, editor.
Text book of radiology and imaging. 7th ed. Churchill livingstones. Elsevier
science Ltd; 2003.

33

You might also like