You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Salah satu bidang ilmu agama Islam yang dikembangkan dalam


lingkungan perguruan tinggi ialah hukum Islam dan pranata sosial.
Ia terdiri atas berbagai bidang studi, di antaranya peradilan Islam
(al-Qadha fi al-Islam) yang mendapat perhatian cukup besar di
kalangan fuqaha dan para pakar di bidang lain. Demikian halnya
peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi dikenal sebagai
peradilan agama, mendapat perhatian dari kalangan pakar hukum
Islam, hukum tata negara, sejarah, politik, antropologi dan sosiologi.
Ia menjadi sasaran pengkajian, yang kemudian ditulis dalam bentuk
laporan penelitian, monografi, skripsi, tesis, disertasi dan buku
daras. Hasil pengkajian itu, sebagian diterbitkan dan disebarluaskan.
Di samping itu, peradilan Islam menjadi bahan pengkajian dalam
berbagia pertemuan ilmiah, baik yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi maupun di kalangan pembina badan peradilan dan
organisasi profesi di bidang itu. Publikasi hasil pengkajian itu dapat
ditemukan dalam berbagai kumpulan karangan dan dalam jurnal. Ia
akan tetap menarik sebagi sasaran pengkajian, khususnya di
Indonesia, karena memiliki keunikan tersendiri sebagi satu-satunya
institusi keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaraan
kekuasaan negara. Dengan sendirinya, muncul tuntutan pemetaan
wilayah pengkajian dan metode yang tepat untuk digunakan.
Bahkan, membutuhkan perumusan model pengkajian yang jelas,
agar pengkajian peradilan Islam dapat dilakukan secara sebenarnya.
BAB II
1

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan
Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan per dan imbuhan
an. Kata peradilan sebagai terjemah dari qadla yang berarti memutuskan,
melaksanakan, menyelesaikan (Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir:
Kamus Arab-Indonesia, cet.I, Jakarta,1996. h.1215). Dan umumnya kamus tidak
membedakan antara peradilan dengan pengadilan (Abdul Mujib Mbaruri Thalhah
AM., Kamus Istilah Fiqih, Pen. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta. 1994. Cet. ketiga.
hlm.258. Lihat juga kamus tim penbyusun kamus pusat Depdikbud, Balai
Pustaka. Cet. Ketujuh, Tahun 1996. Hlm7).
Dalam Islam peradilan disebut qadla artinya

menyelesaikan seperti

firman Allah:
Jn=s 4|s% y $pk]iB #\sur qtB $
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya). (Al-Ahzab: 37)
Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:
s*s Mu% o4qn=9$# (#rtFR$$s F{$##

Artinya: Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke peloksok


bumi. (Al-Jumah: 10)
Disamping arti menyelesaikan dan menunaikan seperti di atas. Arti
qadla yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau
menetapkan suatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar,
makna terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di
sini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah. Karenanya qadhi
dinamakan hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari
2

penganiyayaan. Karena itu apabila seseorang mengatakan hakim telah


menghukumkan begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak atau
mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak (Hasbi Ash-Shididdieqy,
Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta.
Pen. PT. Maarif. Hlm.29.).
Kata peradilan menurut istilah ahli fiqih adalah berarti:
1.
2.

Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan).


Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.
(Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan
September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Maarif. Hlm.30.).
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas
peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan
menempatkan sesuatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam
hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan
hukum umum. Dimana hukum Islam itu syariat, telah ada sebelum manusia
ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim
dalam hal ini hanya menerangkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan,
bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Disamping itu seperti yang telah diungkapkan oleh Ibnu Abidin, adapula
ulama yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan suatu
sengketa dengan hukum Allah (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum
Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Maarif.
Hlm.30. Yang dikutip oleh Ari Ibnu Abidin. Juz. IV. Hlm327).
Putusan sebagai produk peradilan, sangat erat kaitannya dengan ijtihad
dan fatwa. Dalam Islam, dalam kedua hal tersebut dianjurkan untuk berijtihad
(seorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut Islam bila seseorang yang
berijtihad tetapi hasilnya salah maka ia mendapat satu pahala. Dan bila hasil
3

ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu pahala ijtihad, satu
pahala kebenaran yang di dapat.
Untuk itu di sini perlu dijelaskan perbedaan qadha sebagai putusan
peradilan dengan ifta sebagai satu fatwa. Fatwa adalah jawaban terhadap satu
pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli dibidangnya (mufti) yang tidak
begitu jelas hukumnya. Menurut kenyataan memberi fatwa pada hakikatnya
adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seorang mufti
harus memahami tentang masalah yang disampaikan itu, dan ia harus orang yang
terkenal benar, baik tingkah laku, perkataan maupun perbuatan. Dan orang yang
memberi fatwa disebut mufti.
Fatwa sebagai hasil ijtihad dimana seseorang mujtahid mengistimbatkan
hukum untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah
terjadi dan terkadang mengenai hal yang belum terjadi. Sedang fatwa hanya
mengenai hal-hal yang telah terjadi saja.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang merahnya bahwa perbedaan
fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah:
Pertama, mufti bisa menolak untuk memberikan fatwa mengenai hal yang
dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan peradilan qadha tidaklah demikian,
tetapi harus memutus, artinya tidak boleh memihak para pihak yang mengajukan
mohon keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan tentang hal tersebut
belum ada.
Kedua, qadha itu dasarnya adalah fakta (kenyataan) yang dicari hakim, jadi
hakim memutuskan berdasarkan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya ilmu
(pengetahuan). Yakni si mufti memberi fatwa berddasarkan ilmu yang dimiliki
mufti.
Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai daya paksa,
yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan. Sedang fatwa
tidak harus orang mengikutinya dan Negara pun tidak campur tangan dalam
pelaksanaannya.
4

Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedang putusan (qadha) bisa


dibatalkan oleh peradilan yang lebih tinggi.
Kelima, fatwa adalah produk pribadi sedang putusan adalah produk
Negara.
Sebagai catatan bahwa mujtahid-mujtahid masa lalu, sangat ketat
membatasi para hakim dalam hal memberi fatwa, karena dikhawatirkan putusan
hakim terkontaminasi dengan fatwa-fatwa yang telah diberikan (A. Basiq Djalil,
Makalah Seminar Sehari Hukum Keluarga Islam di Indonesia Pada Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta. 31 Agustus 2004. h.3). Karenanya idealnya
seorang yang menjadi hakim adalah karena panggilan nuraninya dan kegiatannya
pun terbatas pada rumah dan ruang kerjanya. Itulah sebabnya sering kita dengar
ungkapan bahwa seorang hakim adalah manusia yang kesepian.
Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hambal dan As-Syafii memakruhkan
hakim mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang bersangkut paut
dengan tugas hakim. Mereka membolehkan fatwa dalam masalah ibadah dan
lainnya. Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara itu
diajukan ke pengadilan, pendapat hakim sudah berbeda dengan pendapat yang
sudah difatwakan. Itulah sebabnya hakim Syuraikh ketika seseorang meminta
fatwa kepadanya terhadap masalah yang mungkin diajukan ke pengadilan ia
berkata: Saya akan memutus perkaramu sedang saya tidak akan memberi fatwa
kepadamu (Ibnu al-Qayyim, Al Jauziyah, Syamsudin Abi Abdillah Muhammad
bin Abi Bakar, Alamu Al-Muaqqiin. Juz IV. Cet. Kedua. Pen. Al-Saadah.
Mesir. tahun 137 H/1995 M. h.220).

B. Unsur-Unsur Peradilan Islam


Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha. Secara
bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara
5

istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya
sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha (unsur-unsur
peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan
Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a) Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa
melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi
Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk
bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b) Hukum (qodho)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan
memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
o Qadla ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu
pihak dengan redaksi aku putuskan atasmu demikian, atau menetapkan suatu
hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
o

Qadla tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada

penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu
membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
c) Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak.
Pada qadla ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat.
6

Sedangkan pada qadla tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas


gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu
adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan
antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau
menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik
hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut
muddai (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan
tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak
yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu
merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa).
Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d) Al-mahkum alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum alaih yaitu orang
yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia muddaa alaih (tergugat) atau
muddai (penggugat).

e) Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata
(hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata.
Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan
7

perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke
persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata,
maka mahkum lah-nya adalah syara. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari
perorangan, tetapi sesuai syariat Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga
penuntut umum.

C. Prinsip Prinsip Peradilan


Negara-negara

modern

melaksanakan

kepentingannya

dengan

menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;


8

1) Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyriiyyah yang berwenang


membuat undang-undang.
2) Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan
undang-undang.
3)

Kekuasaan

kehakiman/as-sulthoh

al-qodloiyyah

yang

berwenang

menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan


keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua
kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak
diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan
peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting
dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a. Istiqlal al-qodlo(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan
tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena
pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua
kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional
dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b. Al-Musawah amamal qodlo (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan

orang

beranggapan

bahwa

prinsip

kemerdekaan,

persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi


9

Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah
dikemukakan baik dalam al-quran, hadits, dan ucapan Khulafaur Rosyidin sejak
abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di
antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafaur
rosyidin.
Amirul muminin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat
kepada seorang qodli: bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam
pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap
kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa
dari keadilanmu.
c. Majjaniyatul qodlo (peradilan gratis)
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh
memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk
menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang
Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip
seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi
Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang
berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang
positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi)
perkara yang diajukan

d. At-taqodli ala darojatain aw al-istinaf (upaya hukum naik banding).


Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan
keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh
10

mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding
untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang
lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan,
apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya)
dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua
undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia
mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal
dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu
bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di
kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam
keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan
melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak
diganti atau dianulir.
e. Al-qodlo fil Islam yaqumu ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam
menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia
adalah

seorang

qodli

saja.

Dalam

kondisi

ada

kebutuhan,

Fuqoha

memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama sebagai pendamping


yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka
(ulama) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang
disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi
hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f. Alaniyatu majlisil qodlo (sidang peradilan yang terbuka)

11

Fuqoha bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan


dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan
persidangan di masjid.
g.

Hushulul ijroat fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang

berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait
dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing).
Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada
kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak
tetap terjaga.
h.

Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-

undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam
menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.

D.

Sistem Peradilan dalam Islam

12

Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan


hukum yang bersifat mengikat. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga
peradilan ini adalah : (QS : Al-Maidah:49)

49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka
berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik.

Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesagesa memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan
perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya
engkau memutuskan perkara diantara mereka itu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

BAB III
PENUTUP
13

Kesimpulan
Pengadilan merupakan badan Peradilan dan bersifat konkrit. Bila
diperkenankan, antara Pengadilan dan Peradilan dapat dianalogikan dengan gelas
serta airnya. Pengadilan berkedudukan sebagai gelas yang merupakan wadahnya,
sedangkan Peradilan berkedudukan sebagai airnya yang merupakan isi dari gelas
tersebut. Jadi, kita dapat merasakan fungsi gelas tersebut bila telah diisi air, yaitu
untuk minum. Begitu pun Pengadilan dan Peradilan, yang dapat kita rasakan
fungsinya bila telah mengetahui kedudukan masing-masing. Dengan demikian,
semoga tulisan ini mampu membantu pembaca dalam membedakan Pengadilan
serta Peradilan dan, diharapkan tidak lagi keliru dalam menggunakan kata
Pengadilan serta Peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

14

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung : Fakultas


Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, 2011.
Peradilan Islam, Hery Sucipto.2012

15

You might also like