You are on page 1of 10

1 Pengertian dan Sejarah

Ada beberapa definisi akuntansi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh akuntansi. Beberapa diantaranya adalah :
Akuntansi adalah seni dalam menganalisa, mencatat, menggolongkan / mengklasifikasikan, mengikhtisarkan,
menafsirkan dan mengkomunikasikan dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi, dan kejadiankejadian ekonomi dari suatu entitas hukum sosial.
Akuntansi merupakan proses mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan
informasi dalam hal mempertimbangkan berbagai alternatif dalam mengambil kesimpulan bagi pemakainya.
Akuntasi adalah bahasa bisnis yang memberikan informasi tentang kondisi ekonomi suatu perusahaan / organisasi
dan hasil usaha / aktifitasnya pada suatu waktu atau periode tertentu, sebagai pertanggung jawaban manajemen
serta pengambilan keputusan.
Sedang menurut literatur Islam akuntansi (muhasabah) didefinisikan suatu aktifitas yang teratur berkaitan dengan
pencatatan transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan syariat, dan jumlahjumlahnya, di dalam catatan-catatan yang representatif, serta berkaitan dengan pengukuran hasil-hasil keuangan
yang berimplikasi pada transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan tersebut membantu
pengambilan keputusan yang tepat.[1]
Melalui definisi ini maka dapat dibatasi bahwa karakteristik muhasabah adalah :
1. Aktivitas yang teratur.
2. Pencatatan :
1.

Transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan yang sesuai dengan hukum.

2.

Jumlah-jumlahnya.

3.

Di dalam catatan-catatan yang representatif.

3.

Pengukuran hasil-hasil keuangan.

4.

Membantu dalam pengambilan keputusan.

Mayoritas ahli sejarah akuntansi, mengira bahwa akuntansi tumbuh karena tumbuhnya serikat dagang. Pada
hakekatnya tumbuhnya serikat dagang itu sebagai salah satu fenomena luasnya perdagangan tidaklah menjadi asas
dalam perkembangan akuntansi. Sebab tumbuhnya serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan
dengan tumbuhnya negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, barbagai negara seperti negeri Babil, Firaun dan Cina
telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk pencatatan transaksi keuangan.
Penggunaan tersebut menyerupai apa yang sekarang disebut Maskud Dafatir (Bookkeeping), dan bertujuan
mencatat pendapatan dan pengeluaran negara.[2]
Sejarah Islam menunjukkan bahwa negara Islam telah mendahului Republik Itali sekitar 800 tahun dalam
menggunakan sistem pembukuan. Selanjutnya salah satu sistem pembukuan modern yang dikenal dengan nama al
Qaidul Muzdawaj yang sesuai dengan kebutuhan negara dari satu sisi, dan sesuai dengan kebutuhan para
pedagang muslim disisi lain.
Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam,
sebelum munculnya buku Lucas Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H/ 1363 M.
Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah al Mazindaranidan
berjudul Risalah Falakiyah Kitab as Siyaqat. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman al Qanuni di
Istambul Tuki. Tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem
akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf arab. Tetapi bahasa yang digunakan
campuran antara bahasa arab, Persia, dan Turki yang populer di Daulah Utsmaniah. Jadi buku ini ditulis lebih awal
dari buku Pacioli Summa de Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalita, selama 131 tahun. Meskipun buku
Pacioli yang pertama kali dicetak.[3]

Dalam buku yang masih berbentuk manuskrip itu, al Mazindarani menjelaskan hal-hal berikut[4] :
1. Sistem akuntasi yang populer saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus bagi setiap sistem
akuntansi.
2. Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi keuangan.
3.

Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.

Menurutnya, sistem-sistem akuntansi yang populer saat itu (765 H/ 1363 M ) antara lain :
1. Akuntansi Bangunan
2. Akuntansi Pertanian
3.

Akuntansi Pergudangan

4.

Akuntansi Pembuatan Uang

5.

Akuntansi Pemeliharaan Binatang

Sesungguhnya pengertian akuntansi di negara Islam hingga pengklasifikasiannya pada tahun 1924 berbeda dengan
dengan apa yang ada di masyarakat lain di luar Islam. Karena pengertian akuntansi Islam atau muhasabah tidak
sekedar pencatatan data-data keuangan, tetapi lebih sempurna.
Salah seorang penulis muslim menemukan bahwa pelaksanaan pembukuan yang pernah digunakan negara Islam
diantaranya adalah sebagai berikut[5] :
1. Dimulai dengan ungkapan Bismillah
2. Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apapun, maka harus diberi garis pembatas.
Sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
3.

Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.

4.

Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.

5.

Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar dan hati-hati dalam menggunakan katakata.

6.

Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang
akuntan kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari
kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula jika seorang akuntan lupa mencatat transaksi
pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya
transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi sebesar
1300 dinar. Sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan
tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku dengan saldo buku bandingan
yang lain, dan saldo bandingannya yang ada di kantor.

7.

Pada akhir periode tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah
(uang) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah uang tersebut.

8.

Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan
tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.

9.

Harus mengelompokkan transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok
sejenis. Seperti mengelompokkan dan mencatat pajak yang memiliki satu karakter sejenis dalam satu
kelompok.

10. Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber pemasukan tersebut.
11. Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran tersebut.
12. Ketika menutup saldo harus meletakkan suatu tanda khusus padanya.
13. Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi sejenis ke dalam buku
khusus yang disediakan untuk transaksi yang sejenis itu saja (posting ke buku besar).
14. Harus memindahkan transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang independen, tidak terikat dengan orang
yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku yang lain.
15. Setelah mencatat dan memindahkan transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan
berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan keuangan itu harus rinci, menjelaskan
pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973:163-165).
2 Prinsip Prinsip Akuntansi Islam
Prinsip-prinsip akuntansi yaitu sekumpulan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum, yamg wajib diambil
dan dipergunakan sabagai petunjuk dalam mengetahui dasar-dasar umum bagi akuntansi. Adapun prinsip-prinsip
tersebut adalah[6] :
1. Prinsip Legitimasi Muamalat yaitu sasaransasaran, transaksi-transaksi, tindakan-tindakan dan
keputusan-keputusan itu sah menurut syariat.
2. Prinsip Entitas Spiritual adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan
pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut.
3.

Prinsip Kontinuitas yaitu prinsip yang keberadaanya dapat memberikan pandangan bahwa perusahaan itu
akan terus menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui, dan dilikuidasinya merupakan
masalah pengecualian, kecuali jika terdapat indikasi yang mengarah kepada kebalikannya. Dari prinsip ini
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

4.

Umur perusahaan tidak tergantung pada umur pemiliknya.

5.

Mendorong manusia agar salalu beramal dan bekerja keras, padahal ia mengetahui bahwa dia akan tiada
suatu saat nanti.

6.

Prinsip kontinuitas (going concern) merupakan kaidah umum dalam investasi.

7.

Prinsip ini menjadi dasar dalam pengambilan keputusan agar perusahan terus beroperasi.

1. Prinsip Matching yaitu suatu cermin yang memantulkan hubungan sebab akibat antara dua sisi,
dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil atau dari hubungan tersebut dari segi lainnya.
3 Kaidah-Kaidah Akuntansi Islam
Kaidah adalah sejumlah hukum-hukum pelaksanaan yang bersifat rinci dan saling terkait, yang berkaitan dengan
cara penerapan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang bersifat umum. Kaidah itu adalah[7] :
1. Kaidah obyektivitas
2. Kaidah accrual yaitu suatu kaidah yang menangani tentang penjadwalan perimbangan pemasukan dan
pengeluaran, baik yang diterima atau dibayarkan maupun yang belum diterima atau dibayarkan.
3.

Kaidah pengukuran

4.

Kaidah konsistensi adalah kaidah yang harus dipegang untuk menetapkan bahwa data akuntansi dapat
dibandingkan. Kaidah ini terkait komitmen untuk mengikuti prosedurnya sendiri.

5.

Kaidah periodisitas yaitu prinsip yang keberadaannya dapat memberikan pandangan bahwa perusahaan itu
melakukan pelaporan dalam tenggat waktu tertentu secara berkesinambungan dan terus menerus.

6.

Kaidah pencatatan sistematis ialah pencatatan dalam buku dengan angka atau kalimat untuk transaksi
transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan yang telah berlangsung pada saat kejadiannya,
secara sistematis dan sesuai dengan karakter perusahaan serta kebutuhan manajemennya.

7.

Kaidah transparansi yaitu penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu
bagian pun darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya, atau yang
menimbulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut.

Menurut Muhammad Akram Khan sifat akuntansi Islam adalah :


1. Penentuan laba rugi yang tepat
Walaupun penentuan laba rugi bersifat subyektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harus dilaksanakan agar
tercapai hasil yang bijaksana (sesuai syariah) dan konsisten, sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua
pihak pemakai laporan dilindungi
2. Mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinan
Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa
manajemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik yang mempromosikan amal baik, serta dapat menilai
efisiensi manajemen.
3.Ketaatan pada hukum syariah
Setiap aktifitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dikenali halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi
alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi, tetapi harus tetap tunduk terhadap syariat
Islam.
4.Keterikatan pada keadilan
Karena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan
harus mampu melaporkan setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan di
masyarakat.
5.Melaporkan dengan baik
Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan.
Perubahan dalam praktek akuntansi
Akuntansi harus mampu bekerjasama untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan.

Hal inilah yang membedakan penerapan sistemm ekonomi


syariah dan systemyang di bangun oleh ekonomi konvensional.
Konsep Akuntansi Syariah
Berdasarkan firmn Allah SWT . dalam Q.S Al-Baqarah : 282
tersebut
faktubuuhu (maka hendaklah ada yang menuliskannya),
memberikan isyarat bahwa

keberadaan akuntansi dalam sebuah lembaga keuangan atau


transaksi menjadi wajibadanya. Karena melalui akuntansi-lah,
seseorang dapat mengetahui secara baikdanbenar laporan
keuangan terhadap transaksi, neraca, atau laba rugi yang
perludilakukan.Dari ayat tersebut dapat pula ditarik benang
merahnya terhadap konsepakuntansi yang dibangun oleh islam,
yaitu :1.
Ketaatan pada hukum syariah.setiap aktivitas yang dilakukan
oleh unitekonomi harus dilihat dari sisi halal-haramnya suatu
barang atau nilai yangditransaksikan. Factor inilah yang
membedakan dengan prinsip-prinsipekonomi diluar islam.2.
Melaporkan dengan akurat, teliti, baik dan jujur. Seluruh laporan
keuanganharus dibuat secara accountable dan transparan.3.
Terkait pada keadilan . Karena tujuan utama syariah islam
adalah penerapankeadilan dalam masyarakat secara
keseluruhan. Informasi akuntan harusmampu melaporkan setiap
kegiatan atau keputusan yang dibuat.4.
Mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinan. System
akuntansiharus mampu memberikan standar berdasarkan hukum
sejarah untukmenjamin bahwa manajemen mengikuti
kebijaksanaan yang baik.5.
Penentuan laba rugi yang tepat. Walaupun penentuan laba rugi
agak bersifatsubyektif dan bergantung pada nilai, tetapi factor
kehati-hatian harusdilaksanakan agar tercapai hasil yang
bijaksana dan konsisten, sehinggadapat menjamin bahwa
kepentingan semua pihak memakai laporandilindungi.6.

Perubahan dalam praktik akuntansi. Peran akuntansi yang


demikian luasdalam kerangka islam memerlukan perubahan
yang sesuai dan cepat dalam
1. PENDAHULUAN
Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber daridan
diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di
Indonesia?
Seperti kita ketahui hampir seluruh peta akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi
konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat
dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori
yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada
landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee).
Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of
Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).
Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi baru yang
merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan,workshop,
lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga
mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010.
Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai
acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali
menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan market (pasar modal)
dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian
Indonesia lebih dari 90%[1]. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat
Indonesia.
Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan
besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan
perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi
dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga
mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan
Triyuwono 2003; Mulawarman 2006)[2]. Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis
akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter
akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomipolitik MNCs (Multi National Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang
diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme
ekonomi pula.
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita?
Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan

penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia
yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
2. AKUNTANSI SYARIAH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c)
masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan
dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori
akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis
antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi syariah pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep
dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya
Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk
kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan
legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional
tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for
Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI[3] secara internasional dan PSAK No. 59[4] atau
yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syariah
aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan
modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada
pendekatan kewajiban, berbasis entity theorydengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI
misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi
konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain
seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis
laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syariah; laporan
responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank
syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah,
sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar
tersebut, membuka peluang perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah,
sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman
dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik
pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI,
perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan
keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan
lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya
(2003b) menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta
pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di
Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai

tujuan syariah (maqasid syariah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang
diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi
yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan
keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim
adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi
budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan citacita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telahestablish dalam sistem
ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang
kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syariah lebih menekankan formalitas fiqh daripada
substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih mengerti
sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai
mekanisme dan prosedur di lapangan.
2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu terbuka dan longgar
jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi
konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta
didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan
2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a).Landasan filosofis seperti itu
jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan.
Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No.
59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity
theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan
merupakan perwujudan pandangan dunia Barat[5]. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan
keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang
membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan
pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan
akuntansi syariah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001;
2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut akuntansi
syariah aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan
akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b)
konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi
ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise
theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect
participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001)
mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shariate ET. Menurut konsep ini stakeholderspihak yang
berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct
participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholdersadalah pihak yang
terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan,
kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholdersadalah pihak yang tidak terkait
langsung
dengan
bisnis
perusahaan,
terdiri
dari:

masyarakatmustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk
pelestarian alam).
2.3. Komparasi Antara Akuntansi Syariah Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi
syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan
adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah
digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan
modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep
dasar teoritis berbasis shariate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk
laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan
konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis
dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

3. PROYEK IMPLEMENTASI SHARIATE ENTERPRISE THEORY


Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsepValue
Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan
Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang
konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar,
yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syariah
disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shariate value added (SVA). SVA dijadikansource untuk
melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) danExpanded Value Added
Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005)[6] menjadi Shariate Value Added Statement (SVAS)[7].
SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan
secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang
menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros
VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS
(distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan
Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang
bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun
ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan

pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua,
penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakanzakat dan
distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.

You might also like