You are on page 1of 13

PENDAPAT HUKUM

(Legal Opinion)
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia
Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
A. Opening Statement
Dikeluarkanya Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif, telah mendapat penolakan dari beberapa organisasi/kalangan.
Supriyadi W. Eddyono, Koordinator Indonesia Media Defense Litigation
Network (IMDLN), menjelaskan bahwa Rancangan Peraturan Menteri ini telah
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan juga pembatasan yang
sah yang dikenal dalam hukum internasional khususnya Pasal 19 Kovenan Hak
Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun
2005. Supriyadi mengingatkan untuk melakukan pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi Negara wajib lulus dalam uji tiga rangkai (three part test)
yaitu: (1) Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; (2)
Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah
disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol; dan (3)Pembatasan tersebut
benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah
tersebut. Di lain pihak, Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa ICJR menolak keras peran Menteri
Komunikasi dan Informatika dalam menentukan apakah suatu situs internet
mengandung muatan yang diduga melanggar hukum nasional. Anggara
mengingatkan bahwa penegak hukum tertinggi yang dapat melakukan penilaian
apakah suatu situs internet diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran hukum
hanyalah Jaksa Agung Republik Indonesia.
Apa pun alasan dari mereka yang menolak Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, Pemerintah dalam hal ini
Kementrian Komunikasi dan Informatika tidak bergeming sama sekali. Menurut
Juru bicara Kemenkominfo, Permen tersebut sudah baik untuk melindungi
masyarakat dari bahaya situs-situs negatif. Sehingga, kata dia, Permen tentang
situs negatif ini tak perlu direvisi.
Dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, wajar saja
terjadi penolakan oleh sebagian kalangan. Hal ini jelas sebagai konsekuensi dari
system demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, tidak baik
juga membiarkan satu persoalan berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah ditolak oleh masyarakat. Serta tidak baik pula, membiarkan
Pemerintah berbuat sesukanya dalam mengeluarkan suatu kebijakan tertulis
dalam bentuk regulasi.
Hal ini jelas, karena regulasi secara tertulis dalam konteks hukum adalah
dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa masyarakat dalam suatu hal yang
1

dilarang serta yang tidak dilarang. Kelurnya Perkominfo tentang Perkominfo


tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, yang pada satu
sisi ditolak oleh masyarakat, dan satu sisi dipaksa untuk dilaksanakan oleh
Pemerintah, jelas harus mendapatkan jalan kelaur yang baik bagi semua pihak.
Adanya lembaga peradilan menjadi salah satu jalan untuk memnetukan
apakah Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif memang dikelaurkan oleh Pemerintah dalam memberikan perlindungan
bagi masyarakat terhadap dari bahaya situs-situs negatif, ataukah Perkominfo
tersebut melanggar hak kebebasan berpendapat seperti yang dikemukakan oleh
sebagian uangmenolak Perkominfo tersebut.
Jika melihat Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, maka yang jelas pertema terlihat
bahwa Peraturan tersebut dikelaurkan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika. Sesuai dengan asas hukum dalam Negara hukum, maka
pertanyaannya apakah Menkominfo mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan Perkominfo tersebut? Kemudian, apakah materi yang diatur
dalam Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif adalah materi yang bertentangan dengan pertauran
perundang-undangan yang berlaku?
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka persoalan yang sangat mendasar
adalah apakah Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif bertentangan dengan Undang-undang?
B. Dasar
Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar bahwa Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, merugikan seluruh pelaku usaha
penyelenggara internet serta pengguna internet.
C. Asumsi
Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar asumsi bahwa Perkominfo tentang
Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif merugikan seluruh
pelaku usaha penyelenggara jaringan internet serta pengguna internet, dan
merupakan bentuk pengaturan yang bertentangan dengan undang-undang dan
konstitusi.
D. Analisis
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dan
Undang-undang No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Memberikan Wewenang Kepada Menkominfo Untuk Mengatur
Segala Hal Yang Berkaitan dengan Telekomunikasi Dalam
Perturan Menteri

Dalam penyelenggaraan negara, sebagian besar aturan dituangkan


dalam bentuk hukum tertulis, mulai dari Undang-undang Dasar, Undangundang, Peraturan Daerah, sampai pada peraturan yang paling rendah
kedudukannya. Sebagai negara hukum, hal yang harus selalu dijadikan
landasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan
hukum.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian konstitusi kita
secara tegas dan lugas memberikan sebutan bagi negara kita, sebagaimana
dirumuskan dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945
setelah perubahan. Artinya bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara terdapat aturan-aturan hukum yang mengaturnya.
Undang-undang Dasar itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar
yang tertulis. Selain Undang-undang Dasar, terdapat aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun
tidak tertulis.
Berkaitan dengan Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif, untuk mengetahui apakah bertentangan dengan
hukum atau tidak, maka harus dikaji baik secara formil maupun secara
materiil. Formil adalah berkaitan dengan wewenang pembentukan
Perkominfo tersebut dan prosesdur pembuatannya, sedangkan materiil
berkaitan dengan isi (materi) dari Perkominfo tersebut.
Dari sisi formal, Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif yang dikeluarkan oleh Menkominfo, harus dilihat
dari adanya wewenang yang dimiliki oleh Menkeominfo dalam mengeluarkan
Perkominfo tersebut. Artinya, apakah ada perintah dari Undang-undang
kepada Menkominfo untuk mengatur situs internet bermuatan negatif atau
adakah kewenangan yang dimiliki oleh Mekominfo untuk mengatur situs
internet bermuatan negatif.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 8 menyebutkan:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang


lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam penjelasannya, menyebutkan:
(1) Yang dimaksud dengan Peraturan Menteri adalah peraturan yang
ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
(2) Yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan ketentuan tersebut, ada 2 (dua) hal yang dapat dijadikan
dasar Menkominfo dalam mengeluarkan Perkominfo tersebut, yaitu Pertama,
adanya perintah dari Undang-undang. Kedua, adanya kewenangan
penyelenggaraan urusan tertentu Pemerintahan sesuai dengan ketentuan
perturan perundang-undangan. Kedua hal tersebut adalah bersifat pilihan,
hal ini karena adanya kata atau dalam rumusan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12
tahun 2011.
Merujuk pada Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet
Bermuatan Negatif, yang dalam bangian dasar hukum (konsideran
mengingat) mencantumkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi, maka dapat diliaht melalui ketentuan tersebut apakah ke
tiga Undang-undang tersebut memberikan perintah kepada Mekominfo
untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif.
Dalam UU telekomunikasi tidak terlihat adanya ketentuan Pasal yang
menyebutkan secara langsung Menkominfo mengatur penanganan situs
internet bermuatan negatif. Hanya saja, jika diliat dari Pasal 4 beserta yang
berbunyi:
(1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan
telekomunikasi
diarahkan
untuk
meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan
memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Penjelasan Pasal 4, berbunyi:
Ayat (1) Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi
yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka
penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraannya

ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran


rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai
perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi
nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau
teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan
perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan
terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi,
termasuk
pengawasan
terhadap
penguasaan,
pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit
satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian
dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi
pengaturan,
pengawasan
dan
pengendalian
penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi
dengan
instansi
terkait,
penyelenggara
telekomunikasi
dan
mengikutsertakan peran masyarakat.
Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka jelas
bahwa Menkominfo mempunyai wewenang untuk mengatur secara
menyeluruh dan terpadu di bidang telekomunikasi.
2. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dan UU
No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Tidak Memberikan Wewenang
Kepada Menkominfo Untuk Mengatur Pemblokiran Dengan
Permenkominfo
Kemudian, dalam UU Pronografi juga tidak ada perintah kepada
Mekominfo untuk mengatur PENANGANAN SITUS INTERNET
BERMUATAN NEGATIF. Berkaitan bidang telekomunikasi, UU Pornografi
yang merupakan lex specialis dalam pengaturan pornografi hanya mengatur
berkaitan dengan pemblokiran pornografi melalui internet. Pasal 18 UU
Pronografi menyebutkan: Untuk melakukan pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran
pornografi melalui internet;
5

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan


penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari
dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Lebih lanjut, hal yang sama dalam UU ITE juga tidak ditemukan
adanya perintah kepada Mekominfo untuk mengatur penanganan situs
internet bermuatan negatif. Dalam UU ITE, justru sebenarnya mengatur lebih
tegas dengan hal-hal yang dialarang.
Adapun hal-hal yang dilarang
berdasarkan UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
6

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.

Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau
milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang
tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
7

mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana


mestinya.
Terhadap palnggaran ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah
merupakan tindak pidana yang mendapatkan sanksi pidana. Hal tersebut
tegas diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 52 UU ITE. Pengenaan
sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE tidak dibarengi dengan pengenaan
sanksi pemblokiran, karena UU ITE tidak mengatur berkaitan dengan
pemblokiran terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 27-33 UU ITE.
UU ITE memang tidak mengatur pemblokiran berkaitan dengan hal
yang dilarang dalam UU ITE. Akan tetapi, UU ITE mengatur peran
Pemerintah penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
yang mengganggu ketertiban umum. Pasal 40 UU ITE menyebutkan:
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data
elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta
menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 40 UU ITE tersebut jelas mengatur adanya peran
pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana ketentuan tersebut
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Bila ketentuan Pasal 40
dihubungkan dengan Pasal 27-33, maka pemblokiran terhadap situs-situs
yang melanggar hal yang dilarang dalam Pasal 27-33 dapat diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut, berkaitan dengan kedua UU tersebut yakni UU
Pornografi dan UU ITE, yang dapat dikenakan sanksi pidana dan sekaligus
pemblokiran terhadap situs internet adalah hanya dapat dilakukan pada
pornografi saja, yang dalam UU ITE adalah melanggar kesusilaan.
8

Selebihnya, pelanggaran terhadap UU ITE yang bukan berkaitan dengan


pronografi dan kesusilaan, tidak dapat dilakukan pemblokiran.
Jika dikaji lebih dalam, wewenang pemblokiran terhadap situs
pornografi, ada pada Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pasal 18 UU
Pornografi tegas menyebut Pemerintah bukan Menteri atau Kementrian
Terkait. UU Pornografi secara umum tidak mengatuar tata cara berkaitan
dengan pemblokiran tersebut, sehingga untuk melaksanakan pemblokiran
tersebut dibutuhkan peraturan lebih lanjut. Oleh karena wewenang
pemblokiran tersebut ada pada Pemerintah, maka untuk mengatuar tata cara
pemblokiran haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan
Menteri.
Terhadap pemblokiran pornografi, jika dilihat dari kewenangan untuk
melakukannya jelas ada pada Pemerintah. Sehingga, tata cara
pemblokirannya
haruslah
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah.
Dikelaurkannya Permenkominfo Tentang Penanganan Situs Internet
Bermuatan Negatif oleh Menkominfo, di mana didalamnya mengataur
mengenai Pemblokiran, jelas bertentangan Pasal 18 UU Pornografi. Artinya,
Menkominfo tidak mempunyai wewenang untuk mengatur pemblokiran
dengan menggunakan Permenkominfo.
3. Tumpang Tindih Aturan Dalam Pemberian Wewenang
Kemudian, berkaitan dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal
yang telah diatur dalam pertauran perundang-undangan, kewenangan
menkominfo untuk mengaturnya dalam Permenkominfo adalah berdasar
pada Pasal 8 UU No. 12 tahun 2011 serta Pasal 4 dan Pasal 21 UU
Telekomunikasi.
Pasal 21 yang merupakan larangan bagi Penyelenggara telekomunikasi
melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berupa
pemberian sanksi administrasi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal
45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi, yang berbunyi:
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal
19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29
ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34
ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
diberi peringatan tertulis.
9

Persoalannya, UU Telekomunikasi tidak mengatur bagaimana tata cara


pemberian sanksi administrasi tersebut. Tidak ada kejelasan bagaimana
pencabutan izin itu dapat dilakukan, bahkan siapa lembaga yang secara
spesifik berwenang untuk melakukan pencabutan izin tersebut. Penjelasan
Pasal 21 hanya menjelaskan bahwa Penghentian kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah
diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi tsb melanggar kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 berserta Penjelasannya dan Pasal 45
dan 46 UU Telekomunikasi, maka jelas wewenang untukmelakukan
penghentian kegiatan usaha ada pada Pemerintah. Ironisnya, dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 UU Telekomunikasi, tidak ditemukan siapa yang
dimaksud dengan Pemerintah. Akan tetapi, jika dihubungkan antara Pasal
4 dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka yang disebut dengan
Pemerintah dapat dipersamakan dengan maknanya dengan Menteri.
Dengan demikian, jika merujuk pada Pasal-pasal undang-undang
tersebut, maka jelas Kemenkominfo mempunyai kewenangan untuk
mengatur segala hal yang berkaitan dengan telekomunikasi dengan
Permenkominfo.
Akan tetapi, jika dikaji antara Pasal 40 UU ITE dengan Pasal 4 dan
Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka terlihat tumpang tindihnya
aturan/ketentuan berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan
umum dari gangguan ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan
informasi elektronik.
Ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE jelas mengamanatkan untuk
mengatur perlindungan terhadap kepentingan umum dari gangguan
ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dengan
peraturan pemerintah. Sedangkan Pasal 21 UU Telekomunikasi, yang dalam
penejelasannya menyebutkan Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi
yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan tele
komunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum, maka pengehentian penyelnggaraan telekomunikasi yang
melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum
adalah menjadi wewenang Pemerintah.
Apabila Pasal 21 UU Telekomunikasi dihubungkan dengan Pasal 40
ayat (3) UU ITE, maka dapat dilihat keterkaitannya sebagai berikut:
1. Subyek perlindungan dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi dan Pasal 40
ayat (3) UU ITE adalah sama yaitu Kepentingan Umum.

10

2. Subyek yang dilarang dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah


Penyelenggara Telekomunikasi. Sedangkan Pasal 40 ayat (3) UU ITE
tidak menyebut tegas siapa yang dilarang. Akan tetapi, jika dilihat dari
rumsan norma Pasal 40 ayat (3) UU ITE, maka yang dilarang adalah
setiap orang yang meliputi orang (person) dan badan hukum (recht
person). Penyelenggara Telekomunikasi dalam hal ini bisa masuk
person atau recht person.
3. Subyek yang memberikan perlindungan kepentingan umum dalam
kedua Undang-undang tersebut adalah sama yaitu Pemerintah.
Penjelasan Pasal 21 UU Telekomunikasi memberikan amanat kepada
Pemerintah untk mencabut izin penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar Pasal 21. Pasal 40 ayat (6) UU ITE memberikan amanat
kepada Pemerintah untuk bereperan dalam memberikan perlindungan
kepentingan umum sebagai akibat dari penyelahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
4. Obyek Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah perlindungan terhadap
ketertiban umum, kepentingan umum, kesusilaan dan keamanan.
Sedangkan obyek dari Pasal 20 ayat (3) UU ITE adalah perlindungan
kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum. Dengan demikina, kedua ketentuan
tersebut mengatur mengenai ketertiban umum dan kepentingan umum
yang harus dilindungi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa hubungan
antara Pasal 21 UU Telekomunikasi dengan Pasal 40 ayat (3) UU ITE saling
berkaitan. Oleh karena, ketentuan Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU
Telekomunikasi tidak lengkap dan jelas dalam mengatur bagaimana tata cara
pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi oleh Pemerintah, maka
apabila kedua Undang-undang tersebut dikonstruksikan untuk mengatur
lebih lanjut berkaitan dengan peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap kepentingan umum, serta wewenang Pemerintah
dalam melakukan pencabutan izin terhadap penyelenggara telekomunikasi
yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE.
Pasal 40 ayat (6) UU ITE yang merupakan pemberian wewenang
kepada Pemerintah untuk mengatur peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum dalam Peraturan Pemerintah, adalah memiliki
makna bahwa Pemerintah dapat juga mengatur ketetntuan lebih lanjut
mengenai tata cara pencabutan izin Penyelenggara Telekomunikasi yang
melanggar Pasal 21 UU Telekomunikasi dalam Pertauran Pemerintah.
Artinya, Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi yang tidak rinci
mengatur pencabutan izin, harus mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah
11

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 ayat (6) UU ITE. Hal ini jelas,
karena kedua ketentuan undang-undang tersebut saling memiliki keterkaitan
yang erat.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, jelas terlihat bahwa tidak satu pun
Undang-undang yang menjadi dasar hukum Peraturan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif, memberikan wewenang secara tegas kepada
Menkominfo untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif
dalam Peraturan Menteri.
Bahkan pemblokiran terhadap situs internet yang bermuatan pornografi,
berdasarkan Pasal 18 UU Pornografi wewenang untuk melakukan pemblokiran
ada pada Pemerintah. Sehingga, regulasi yang tepat untuk mengatur hal tersebut
adalah Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri.
Begitupun terkait dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU Telekomunikasi dan
UU ITE yang menjadi dasar hukum dalam Permenkominfo tentang Penanganan
Situs Internet Bernuatan Negatif, terlihat tidak jelas dan saling tumpang tindih
dalam pengaturannya.
Pada satu sisi, UU Telekomunikasi mengatur bahwa penyelenggara
telekomunikasi dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan
dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Tidak main-main, sanksinya pun adalah pencabutan izin usaha penyelanggara
telekomunikasi tersebut. Hal mana, kewenangan pencabutan tersebut ada pada
Pemerintah. Di sisi lainnya, Pemerintah diberikan peran oleh UU ITE untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana, ketentuan lebih lanjut
menegnai peran Pemerintah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Oleh karenanya, seharusnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah yang mengatur mengenai peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum
dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik, yang dilakukan baik oleh orang (person) maupun
badan hukum (recht person). Dalam Peraturan Pemerintah ini lah seharusnya
diatur apakah pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi
pemblokiran ataukah langsung dikenakan sanksi pencabutan izin usaha.
Dengan demikian, wewenang Menkominfo mengeluarkan Permenkominfo
tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif adalah hanya berdasarkan
Pasal 4 UU Telekomunikasi dan Pasal 8 UU Pembentukan Perturan Perundangundangan. Hal mana, Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet
12

Bermuatan Negatif juga bertentangan dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi serta


Pasal 40 ayat (3) dan (6) UU ITE. Artinya, Menkominfo pada satu sisi
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Permenkominfo tentang
Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif, pada sisi lainnya Menkominfo
tidak mempunyai wewenang untuk mengelaurkan Permenkominfo tentang
Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif
F. Solusi Yang Dapat Diambil
Ada beberapa solusi yang dapat diambil berdasarkan analisis tersebut di atas,
yaitu:
1. Melakukan uji materi Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet
Bernuatan Negatif ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, tidak adanya hukum
acara uji materi di Mahkamah Agung, akan menjadi sangat sulit untuk
mengawal uji materi tersebut karena tidak ada transparansi persidangan
layaknya di Mahkamah Konstitusi.
2. Ada baiknya terlebih dahulu membenahi aturan mengenai uji materi di MA,
yaitu dengan membuat RUU Uji Materi di MA
3. Pembenahan terhadap carut marutnya regulasi dibidang telematika, yaitu
dengan membuat RUU yang komprehensif berkaitan dengan Telematika.
4. Uji materi Penjelasan Pasal 4 UU Telekomunikasi, untuk meminta tafsir
apakah dengan dasar Pasal 4 itu saja Menkominfo bisa menerbitkan segala
macam peraturan berkaitan dengan telekomunikasi.
Demikian pendapat hukum ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami
ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
DARU SUPRIYONO
PRADNANDA BERBUDY

13

You might also like