You are on page 1of 3

Pemblokiran Situs Internet: Menyeimbangkan Hukum,

Landasan Negara dan Demokrasi


Widowati Maisarah, M.A.*
Beberapa waktu terakhir, pemberitaan media massa dan diskusi di media
sosial cukup intens membahas rencana pemblokiran pemerintah terhadap
beberapa situs. Rencana pemblokiran tersebut dikemukakan menyusul
ditengarainya beberapa situs memuat propaganda radikalisme dan
penyebaran kebencian terhadap agama dan aliran agama tertentu.
Beberapa situs juga akan diblokir menyusul adanya penyebaran dukungan
dan perekrutan anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Pro kontra pun
mencuat. Satu pihak mendukung pemblokiran atas nama upaya
deradikalisasi dan kebebasan berkeyakinan, pihak lain mempertanyakan
kebebasan bermedia dan menyuarakan pendapat, termasuk kebebasan
meyakini satu ideologi tertentu.
Perdebatan mengenai penyensoran dan pemblokiran isi (content) internet
tidak hanya muncul di Indonesia. Di banyak negara, isu regulasi internet juga
pernah menjadi diskusi hangat. Batasan-batasan yang diberlakukan oleh
negara tidak jarang menimbulkan protes dari masyarakatnya. Misalnya saja
demonstrasi Dalam hal regulasi internet, Indonesia memang sudah memiliki
UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) meskipun masih
menuai pro kontra. Berbeda dengan negara-negara maju yang lebih dulu
menghadapi pengarus-utamaan internet, masyarakat Indonesia tampaknya
masih belum siap menghadapi era demokrasi media dan kebebasan
mengakses internet. Masyarakat masih banyak yang belum memaknai
demokrasi sebagai suatu bentuk kebebasan yang memiliki batasan tertentu.
Bisa jadi, perdebatan masih terus bergulir karena belum adanya pemahaman
dan kesepakatan atas batasan tersebut.
Batasan Kebebasan: Hukum, HAM dan Dasar Negara
Bagaimanapun, sistem dan regulasi media tidak bisa lepas dari sistem politik
suatu negara. Negara-negara yang menganut demokrasi liberal sudah
memiliki regulasi dan tentunya teknologi pendukung regulasi tersebut-yang jelas dan terarah. Di Amerika Serikat, pemerintah mengatur ketat isi
internet yang memuat visual kekerasan terhadap anak, pornografi anak,
pelanggaran hak cipta dan hak kekayaan intelektual, kriminalitas dan
ancaman kekerasan. Di Prancis dan Jerman, regulasi serupa diberlakukan,
dengan penambahan pelarangan isi internet yang memuat kebencian

terhadap ras, agama dan orientasi seksual, Holocaust dan genosida ras
Armenia (Wright & Breindl, 2013). Dalam negara demokrasi liberal,
kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet sangat dibatasi oleh
hukum yang berlaku, terutama menekankan pada perlindungan pada anakanak, hak cipta, dan HAM.Sementara itu, negara-negara dengan sistem
politik otoriter sangat membatasi sisi internet. Rusia, Cina, negara-negara di
Asia Tengah, Korea Utara dan beberapa negara Islam sangat ketat
membatasi akses internet bagi masyarakatnya. Bahkan, pemerintah Cina
sempat memblokir sosial media untuk mengantisipasi datangnya kritik dan
serangan terhadap pemerintah.
Lantas, bagaimana dengan regulasi internet di Indonesia? Pemberlakuan UU
ITE sejak tahun 2008 adalah salah satu bentuk regulasi pemerintah dalam
mengatur isi internet dan aktivitas penggunaannya. Dalam UU ITE telah ada
Bab VII yang mengatur hal-hal yang dilarang dalam internet. Selain terkait
hak cipta, pelarangan juga diberlakukan pada isi internet yang memuat
ancaman kekerasan, pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap suku,
ras dan agama (SARA). UU ITE memang masih diperdebatkan karena
sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap UU ITE membatasi
kebebasan berekspresi dan mengemukakan kritik, sementara pihak lain
merasa terlindungi hak-haknya dengan adanya UU ITE.
Terkait dengan rencana pemblokiran terhadap 22 situs bernuansa Islam,
pemerintah harus benar-benar mengkaji ulang apakah pemblokiran situs
akan mencederai kebebasan berekspresi dan berkeyakinan atau tidak.
Pemerintah harus memiliki argumen jelas dan landasan hukum yang kuat
untuk memblokir situs-situs tersebut. Secara legal formal, pemerintah
memang memiliki kewenangan untuk memblokir situs-situs yang masuk
dalam kategori merugikan pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan
negara, warga negara...dst sebagaimana tertulis dalam bagian penjelas
pasal 2 UU 11/2008. Bahkan, negara demokrasi liberal pun menerapkan
regulasi internet yang ketat untuk mengamankan kemanan nasional
(national security) . Pemerintah juga memiliki otoritas untuk mengatur
muatan internet yang tidak sesuai dengan landasan dan dasar hukum
negara Republik Indonesia, yaitu UUD 45 dan Pancasila sehingga apabila
didapati situs yang bermuatan makar, propagandis dan berpotensi
membahayakan keamanan nasional dan warga negara, pemerintah tentu
saja memiliki kewenangan untuk melakukan pemblokiran. Hanya saja,
diperlukan bukti-bukti yang kuat, faktual dan rasional untuk menyatakan
bahwa suatu situs internet benar-benar menyajikan muatan yang tidak
sesuai dengan dasar hukum negara dan berpotensi mengancam keamanan

nasional dan warga negara. Jika tidak ada bukti yang valid bahwa suatu situs
layak diblokir, maka pemblokiran yang dilakukan pemerintah akan
cenderung menjadi tindakan yang represif dan tidak selaras dengan
demokrasi.

*Penulis adalah peneliti di Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama


(PPKK) FISIPOL UGM yogyakarta.

You might also like